Dari segi berlakunya, Hukum Agraria di Indonesia dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu
:
1. Hukum agraria Kolonial yang berlaku sebelum Indonesia merdeka bahkan
berlaku sebelum diundangkannya UUPA, yaitu tanggal 24 September 1960; dan
2. Hukum Agraria nasional yang berlaku setelah diundangkannya UUPA.
Dari konsideran UUPA di bawah kata menimbang, dapat diketahui beberapa ciri
dari hukum agraria kolonial pada huruf b, c dan d, sebagai berikut :
1. Hukum agraria yang masih berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan
tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan dan sebagian dipengaruhi
olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara di dalam
menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini serta pembangunan semesta;
2. Hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, dengan berlakunya hukum
adat di samping hukum agraria yang didasarkan atas hukum barat;
3. Bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum.
Beberapa ketentuan hukum agraria pada masa kolonial beserta ciri dan sifatnya dapat
diuraikan sebagai berikut :
1. Sebelum tahun 1870.
a. Pada masa VOC (Vernigde Oost Indische Compagnie).
VOC didirkan pada tahun 1602 1799 sebagai badan perdagangan sebagai
upaya guna menghindari persaingan antara pedagang Belanda kala itu. VOC tidak
mengubah struktur penguasaan dan pemilikan tanah, kecuali pajak hasil dan kerja
rodi.
Beberapa kebijaksanaan politik pertanian yang sangat menindas rakyat
Indonesia yang ditetapkan oleh VOC, antara lain :
1). Contingenten.
Pajak hasil atas tanah pertanian harus diserahkan kepada penguasa kolonial
(kompeni). Petani harus menyerahkan sebgaian dari hasil pertaniannya kepada
kompeni tanpa dibayar sepeser pun.
Pada tahun 1830 Gubernur Jenderal van den Bosch menetapkan kebijakan
pertanhan yang dikenal dengan sistem Tanam Paksa atauCultuur Stelsel.
Dalam sistem tanam paksa ini petani dipaksa untuk menanam suatu jenis
tanaman tertentu yang secara langsung maupun tidak lengsung dibutuhkan oleh
pasar internasional paa waktu itu. Hasil pertanian tersebut diserahkan kepada
pemerintah kolonial tanpa mendapat imbalan apapun, sedangkan bagi rakyat
yang tidak mempunyai tanah pertanian wajib menyerahkan tenaga kerjanya
yaitu seperlima bagian dari masa kerjanya atau 66 hari untuk waktu satu tahun.
Adanya monopoli pemerintah dengan sistem tanam paksa dalam lapangan
pertanian telah membatasi modal swasta dalam lapangan pertanian besar. Di
samping pada dasarnya para penguasa itu tidak mempunyai tanah sendiri yang
cukup luas dengan jaminan yang kuat guna dapat mengusahakan dan mengelola
tanah dengan waktu yang cukup lama. Usaha yang dilakukan oleh pengusaha
swasta pada waktu itu adalah menyewa tanah dari negara. Tanah-tanah yagn
biasa disewa adalah tanah-tanah negara nyang masih kosong.
2. Sesudah tahun 1870 (hukum tanah administratif Belanda).
a. Agrarische Wet(A W).
Pada tahun 1870 lahirlah Agrarische Wet yang merupakan pokok penting
dari hukum agraria dan semua peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan
pemerintah masa itu sebagai permulaan hukum agraria barat. Ide awal
dikelularkannya Agrarische Wet (AW) ini adalah sebagai respon terhadap
kaingina perusahaan-perusahaan asing yang bergerak dalam bidang pertanian
untuk berkembang di Indonesia, namun hak-hak rakyat atas tanahnya harus
dijamin.
AW ininmerupakan undnag-undang di negeri Belanda, yang diterbitkan
pada tahun 1870, dengan diundangkan dalam S.1870-55. dimasukkannya ke
Indonesia, dengan memasukkan Pasal 62 RR, yang pada mulanya terdiri dari 3
ayat, dengan penambahan 5 ayat tersebut sehingga Pasal 62 RR menjadi 8 ayat,
yakni ayat 4 sampai dengan ayat 8. pada akhirnya Pasal 62 RR ini menjadi Pasal
51 IS.
erfachtordonantie
Zelfbesturende.
Landschappen
Buitengewesten.
tanahnya,
dirubah
menjadi
Hak
Agrarische
eigendom,
maka
adanya
Agrarische
eigendom
sebetulnya
bertujuan
untuk
memberikan kepada orang-orang Indonesia asli dengan semata hak yang kuat,
yang pasti karena terdaftar dan haknya dapat dibebani dengan hypotheek. Tetapi
dalam praktiknya kesempatan untuk menggantikan hak miliknya dengan menjadi
Agrarische eigendom tidak banyak dipergunakan
3. Sesudah Tahun 1942.
Pada periode sesudah tahun 1942, terjadi situasi yang cenderung pada :
A.Periode kacau di bidang pemerintahan mengakibatkan kebijaksanaan
pemanfaatana tanah dan penguasaan tanah tidak tertib;
B. Tujuan utama, usaha menunjang kepentingan Jepang;
C. Permulaan akupasi liar pada tanah-tanah perkebunan atau penebangan liar;
D. Usaha pengembalian kembali perkebunan milik Belanda;
E. Kerusakan fisik tanah karena politik bumihangus dan penggunaan tanah
melampaui batas kemampuannya.
Pada masa penjajahan tersebut di atas keadaan hukum agraria Indonesia menurut
hukum adat tidak terlepas dari hukum adat daerah setempat antara lain, perangkat
hukumnya tidak tertulis, bersifat komunal, bersifat tunai dan bersifat langsung.
Sedangakan mengenaihak atas tanah mengenal peristilahan yang lain ;
A. Hak persekutuan atas tanah yaitu hak ulayatl;
B. Hak perorangan atas tanah :
tersbut
akan
mengambil
kebijakan
sendiri
dengan
memperhatikan :
1) Kepentingan rakyat dan kepentingan penduduk, letak perkebunan
yangbersangkutan;
2) Kedudukan perusahaan perkebunan di dalam susunan perekonomuian
negara. Agar pelaksanaan dari keputusan tersebut dapat berjalan dengan
sebaik-baiknya, maka diatur ketentuan sebagai berikut :
a.Kemungkinan pencabutan dan pembatalan hak atas tanah perkebunan
milik para pengusaha, baik sebagian meupun seluruhnya, jika mereka
dengan sengaja menghalangi upaya penyelesaian;
b.Ancaman hukum terhadap mereka yang melanggar atau menghalangi;
c.Ancaman hukuman terhadap mereka yang tidak dengan seizin pemilik
perkebunan, masih terus memakai tanah perkebunan sesudah tuntutan ini
diberlakukan;
d.Ketentuan tentang harus mengadakan pengosongan.
Untuk mencegah pendudukan kembali tanah perkebunan oleh rakyat, maka
pemerintah megeluarakan perarturan tentang larangan pendudukan tanah tanpa izin
yang berhak yaitu Undang-undang Nomor : 51 Prp. Tahun 1960.
Selain ketentuan dia atas, dalam upaya menata kembali hukum pertanahan
pemerintah telah membuat kebijakan dengan mengeluarkan peraturan perundangundangan sebagai berikut :
1. Undang-undang Nomor : 19 Tahun 1956 tentang : Penentuan Perusahaan
Pertanian/Perkebunan Milik Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi.
2. Undang-undang Nomor : 28 Tahun 1956 tentang : Pengawasan Terhadap
Pemindahan Hak Atas Tanah Perkebunan.
3. Undang-undang Nomor : 29 Tahun 1956 tentang : Peraturan Pemerintah dan
Tindakan-tindakan Mengenai Tanah Perkebunan.
4. Ketentuan lain yang menyangkut pemakaian tanah-tanah milik warga negara
Belanda yang kembali ke negerinya
Sejarah Penyusunan UUPA.
Perjalaanan panjang dalam uapaya perancangan UUPA dilakukakan oleh Lima
Panitia rancangan, yaitu Panitia Agraria Yogyakarta, Panitia Agraria Jakarta, Panitia
Rancangan Soewahjo, Panitia Rancangan Soenarjo, dan Rancangan Sadjarwo.
A. Dasar Hukum.
Panitia ini dibentuk dengan Penetapan Presiden Nomor : 16 Tahun 1948
tanggal 21 Mei 1948, berkedudukan di Yogyakarta diketuai oleh Sarimin
Reksodihardjo, Kepala Bagian Agraria Kementerian Agraria. Panitia ini bertugas
anatara lain :
1) Memberikan pertimbangan kepada pemerintah tentang soal-soal mengenai
hukum tanah pada umumnya;
2) Merencanakan dasar-dasar hukum tanah yang memuat politik agararia Republik
Indonesia;
3) Merencanakan peralihan, penggantian, pencabutan peraturan-peraturan lama
tentang tanah yang tidak sesuai lagi dengan kedudukan Republik Indonesia
sebagai negara yang merdeka;
4) Menyelidiki soal-soal lain yang berkenaan dengan hukum tanah.
B. Asas-asas yang Menjadai Dasar Hukum Agraria Indonesia.
Asas-asas yang akan merupakan dasar- dasar Hukum Agraria yang baru, yaitu :
1) Meniadakan asas domein dan pengakuan adanya hak ulayat;
2) Mengadakan peraturan yang memungkinkan adanya hak perseorangan yang
landreform sebagai
ini terdiri dari PKI, PNI dan Partai Murba. Golongan kedua adalah golongan
konservatif yang terdiri dari Partai-partai Islam dan sebagian PNI. Inti dari pendapat
golongan ini adalah penolakan dilakukannya pembatasan atas luas pemilikan tanah
dan tuduhan pemilikan tanah luas sebagai penghisapan. Sedangkan golongan ketiga
adalah golongan yang kompromis terhadap kedua golongan lainnya. Mereka
menerima pendapat golongan radikal tetapi dengan penerapan yang bertahap. Dalam
golongan inilah Soekarno dan Sadjarwo (Menteri Agraria) sebagai dua tokoh penting
dalam perumusan UUPA menjadi anggotanya.
Pelaksanaan program ini ditandai dengan program pendaftaran tanah berdasar
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, untuk mengetahui dan memberi
kepastian hukum tentang pemilikan dan penguasaan tanah. Kemudian penentuan
tanah-tanah berlebih (melebihi batas maksimum pemilikan) yang selanjutnya dibagibagikan kepada sebanyak mungkin petani tidak bertanah. Termasuk juga pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil.
Tetapi ketiga program tersebut mengalami hambatan sebagaimana dikatakan
oleh Sadjarwo bahwa kelemahan administrasi yang tidak sempurna yang menyulitkan
redistribusi tanah; dan kurangnya dukungan baik itu dari rakyat, organisasi petani,
organisasi politik, tokoh-tokoh dan panitia landreform sendiri. Hal ini kemudian
menyebabknan terjadinya aksi sepihak, baik itu oleh petani yang lapar tanah maupun
tuan tanah18. Akibat banyaknya aksi sepihak ini, dikeluarkanlah Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1964 tentang Pengadilan Landreform.
Sehingga dapat dikatakan bahwa program landreform sebagai awalan
pelaksanaan tujuan tersebut, pada penerapannya mengalami kegagalan19. Hal itu
karena :
1. Kelambanan praktek-praktek pemerintah dalam pelaksanaan Hak Menguasai
Negara;
2. Tuntutan organisasi dan massa petani yang ingin meredistribusikan tanah secara
segera sehingga kemudian timbul aksi sepihak;
3. Unsur-unsur anti landreform yang melakukan berbagai mobilisasi kekuatan tanding
dan siasat mengelak dari dan untuk menggagalkan landreform;
4. Terlibatnya unsur kekerasan antara kedua pihak yaitu yang pro dan kontra
landreform. Konflik ini bahkan memuncak dan menimbulkan konflik yang lebih
besar di dalam konflik elite politik yang berujung pada peristiwa Gerakan 30
September 1965 dan jatuhnya rezim Orde Lama.
Akan halnya hasil dari program
apa-apa yang terdaftar tidak secara otomatis dan mutlak menjamin kebenaran akan
pemilikan tanah. Sebaliknya dalam stelsel positif, apa-apa yang terdaftar
merefleksikan keadaan yang sebenarnya. Dalam stelsel negatif, orang yang
sebenarnya berhak atas tanah dapat mengajukan gugatan pada pengadilan atas tanah
miliknya meskipun tanah tersebut telah didaftarkan sebagai hak orang lain. Dalam
peraturan yang baru disebutkan bahwa masih digunakan stelsel negatif sesuai dengan
UUPA. Tapi diakomodir juga stelsel positif, yang diimbangi dengan upaya untuk
meningkatkan kebenaran dari data yang terdaftar itu.
Ketika ini dikaitkan dengan LAP (Proyek Administrasi Pertanahan) yang
mengatakan:
...permasalahan tanah selama ini terletak pada sistem administrasi yang pluralistik
yang dimiliki masyarakat adat... terlihat bahwa peraturan ini bertujuan untuk
menciptakan homogenitas administrasi pertanahan akan memudahkan kepentingan
bisnis untuk memperoleh tanah yang selama ini dimiliki masyarakat adat secara
komunal. Dan inilah yang kemudian dinilai banyak pihak semakin mengeliminir
keberadaan tanah ulayat.
Hasil redistribusi tanah yang didapat pada Juni 1998 adalah dari 1.397.167
hektar yang menjadi objek landreform, baru diredistribusikan sejumlah 787.931
hektar (56,4%) yang diterima oleh sejumlah 1.267.961 rumah tangga tani.
ORDE REFORMASI
Seiring dengan perubahan konstelasi politik, alam demokrasi yang semakin
menguat, dan dilaksanakannya sistem desentralisasi, maka semangat pembaruan
agraria juga menggema dan kemudian melahirkan Ketetapan MPR Nomor IX Tahun
2001 yang merekomendasikan dilakukannya pembaruan atau revisi terhadap UUPA.
Beberapa peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan sumber daya alam
(agraria) dikeluarkan sejak dilakukannya reformasi pemerintahan di tahun 1998. Baik
itu yang kemudian dinilai merupakan langkah maju maupun yang justru dinilai
mundur dari substansi peraturan-peraturan sebelumnya.
pemilikan,
penggunaan
dan
pemanfaatan
tanah
secara
DAFTAR PUSTAKA
Fauzi, Noer, 1999,
Jakarta;
Ismail, Nurhasan, 2006,