30 34 1 PB PDF
30 34 1 PB PDF
ABSTRAK
Sifilis dan infeksi menular seksual lain yang menyebabkan lesi genital atau respons inflamasi merupakan faktor risiko
penting dalam transmisi human immunodeficiency virus (HIV). Sifilis dan infeksi HIV merupakan penyakit yang dapat
ditularkan melalui hubungan seksual. Di beberapa negara berkembang, sifilis masih dianggap sebagai penyebab penting
kematian. Sifilis terbukti meningkatkan penyebaran infeksi HIV melalui transmisi seksual. Koinfeksi sifilis dan infeksi HIV
dapat mengubah manifestasi klinis, progresivitas penyakit lebih cepat, penegakan diagnosis lebih sulit, peningkatan risiko
komplikasi neurologis, dan risiko kegagalan terapi dengan rejimen standar lebih besar. Pasien sifilis dengan infeksi HIV lebih
sering datang pada stadium penyakit lebih lanjut dan gejala klinis tidak khas. Hasil pemeriksaan serologis dapat mengalami
perubahan, antara lain peningkatan hasil negatif palsu dari tes antibodi nontreponemal karena fenomena prozon dibandingkan
dengan pasien tanpa infeksi HIV. Hal tersebut sering menjadi kendala dalam keberhasilan pengobatan, sehingga diperlukan
pemeriksaan serologis yang teliti dan kompetensi dokter dalam mendiagnosis agar dapat dilakukan tatalaksana yang tepat bagi
pasien.
Kata kunci: sifilis, HIV
ABSTRACT
Syphilis and others sexual infections which cause genital ulcers or inflammation respons are important factors in
human immunodeficiency virus (HIV) transmission. Syphilis and HIV infection are both transmitted sexually. In some
developing countries, syphilis is still considered as an important cause of mortality. It increases sexual transmitted of HIV.
Syphilis and HIV co-infection can alter clinical features, rapid progression of the disease, make difficulties in diagnosis, increase
neurological involvement, and higher the risk of treatment failure to the standard regimen. In syphilis patients with HIV coinfection usually come with late stage of the disease and not specific clinical manifestation. There is increasing false negative
results in serologic tests of nontreponemal antibody in patients with HIV co-infection because of prozone phenomena. These
problems become obstacles in successful of treatment syphilis with standard regimen. Accurate serologic tests and capability the
doctor to diagnose are very important due to proper treatment for the patients.
Key words: syphilis, HIV
PENDAHULUAN
Sifilis dan infeksi human immunodeficiency virus (HIV) merupakan penyakit yang dapat
ditularkan melalui hubungan seksual, sehingga tidak mengherankan jika seseorang menderita keduanya
sekaligus.1 Di beberapa negara berkembang hingga tahun 1998, sifilis masih dianggap sebagai
penyebab penting kematian, dan dalam kaitannya dengan penyebaran infeksi HIV terbukti
meningkatkan transmisi seksual HIV.2 Pengaruh infeksi HIV terhadap sifilis dapat mengubah
manifestasi klinis, progresivitas penyakit lebih cepat, penegakan diagnosis lebih sulit, peningkatan
risiko komplikasi neurologis, dan risiko kegagalan terapi dengan rejimen standar lebih besar.3,4
World Health Organization (WHO) memperkirakan sekitar 12 juta kasus sifilis baru terjadi di
seluruh dunia setiap tahunnya, terutama di Asia Utara dan Tenggara, Afrika sub-Sahara, Amerika
Latin, dan Karibia.5 Pada kelompok pria homoseksual di Amerika Serikat, Irlandia dan Inggris, angka
kejadian sifilis diduga kembali meningkat, sejalan dengan meningkatnya jumlah individu terinfeksi
HIV dalam beberapa tahun terakhir.6-8 Dari data laporan morbiditas poliklinik Divisi Infeksi Menular
Seksual Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) bulan JanuariDesember 2005, proporsi kepositivan kasus baru sifilis stadium I (S I) sebesar 0.14%, sifilis stadium II
(S II) 0.7%, dan sifilis laten (S laten) 0.56%.9
Pada tahun 2004 di seluruh dunia diperkirakan sekitar 40 juta orang terinfeksi HIV, sebagian
besar di Afrika sub-Sahara. Pertumbuhan epidemik tercepat di Eropa Timur dan Asia Tengah. 5 Di
Indonesia pada tahun 2004, diperkirakan 130 ribu orang penduduk terinfeksi HIV, sebagian besar
terjadi pada kelompok dengan kebiasaan berisiko tinggi seperti wanita dan pria pekerja seksual dengan
kliennya, pria homoseksual, dan pengguna obat suntik.10,11
Rasio koinfeksi sifilis dan HIV bergantung dari prevalensi kedua infeksi tersebut dalam
komunitas atau kelompok yang diteliti.1 Pada satu penelitian di Amerika Serikat tahun 1996, lebih dari
1000 kasus HIV akuisita pada kelompok heteroseksual, sebelumnya didahului oleh infeksi sifilis. 5
Penelitian di Spanyol tahun 1998 melaporkan kepositifan serologik sifilis sebesar 13% dari 1161 kasus
pasien HIV, meningkat 4% dalam 38 bulan masa observasi.1 Bloker dkk*. melakukan penelitian
terhadap 30 kasus sifilis di Amerika Serikat untuk melihat rasio koinfeksi HIV, melaporkan kepositifan
serologik antibodi HIV sebesar 15,7% (27,5% pada pria dan 12,4% pada wanita). Kassu A dkk.12
melakukan penelitian di Etiopia terhadap 706 orang subyek, didapatkan kepositifan serologik antibodi
HIV sebesar 5% dan kepositivan serologik sifilis hanya sebesar 6% pada kelompok HIV-positif.
Kepositivan serologik sifilis pada pasien terinfeksi HIV di poliklinik Pokdisus AIDS RSCM/FKUI
sebesar 3,26%. 13
ETIOPATOGENESIS
Schaudin dan Hoffman pada tahun 1905 berhasil mengidentifikasi Spirochaeta pallida
sebagai bakteri penyebab sifilis.14 Klasifikasi sangat sulit dilakukan, karena spesies Treponema tidak
dapat dibiakkan in vitro. Sebagai dasar diferensiasi terdapat 4 spesies yaitu T. pallidum yang
menyebabkan sifilis, T. pertenue yang menyebabkan frambusia, T. endemicum yang menyebabkan
bejel, dan T. carateum yang menyebabkan pinta.15-17 Spirochaeta sendiri berasal dari bahasa Yunani
yang berarti coiled hair.18
Treponema pallidum subspesies pallidum merupakan agen penyebab sifilis. Organisme
tersebut merupakan parasit obligat bagi manusia.15,18,19 Treponema pallidum berbentuk spiral, negatifGram dengan panjang antara 6-20 m dan diameter antara 0,09-0,18 m. Pada umumnya dijumpai 1618 busur, yang terdiri atas membran luar (outer sheath), ruang periplasma dengan flagel periplasma,
dan lapisan peptidoglikan. Terdapat 3 macam gerakan yaitu rotasi cepat sepanjang aksis panjang heliks,
fleksi sel, dan maju seperti gerakan pembuka tutup botol.15,16,18
Treponema pallidum dapat berenang dalam lingkungan viscous (contohnya rongga mulut,
traktus intestinal), tetapi hanya dapat berputar dalam air karena gesekan minimal. Kontak dengan
udara, antiseptik, atau cahaya matahari akan membunuh mikroba tersebut. Jika diletakkan di luar tubuh
dalam lingkungan gelap dan lembab hanya bertahan tidak lebih dari 2 jam. Replikasi terbatas T.
pallidum didapatkan pada kultur sel epitel kelinci, dengan waktu untuk memperbanyak 2 kali lipat
adalah 30 jam, tetapi replikasi terjadi lambat dan hanya dapat dipertahankan beberapa generasi. 18
Genom lengkap dari T. pallidum terdiri atas satu kromosom sirkular yang terdiri dari 1.138.006 pasang
basa dan diperkirakan mengkode 1.041 gen.19
Transmisi seksual sifilis dimungkinkan karena inokulasi pada abrasi akibat trauma seksual
yang menyebabkan respons lokal sehingga terjadi erosi, lalu ulkus. Kejadian tersebut diikuti dengan
penyebaran treponema ke kelenjar getah bening regional dan penyebaran hematogen pada bagian lain
tubuh. Hingga kini belum sepenuhnya dimengerti bagaimana mekanisme kuman menyerang jaringan. 20
Pada sebagian besar stadium sifilis sering ditemukan gambaran vaskulitis obstruktif pembuluh
darah kecil, serta perivascular cuffing dengan sel bulat, sel plasma, dan adanya proliferasi sel endotel.
Gangguan vaskularisasi pada lesi turut berperan dalam mengakibatkan perubahan jaringan. 20 Infiltrat
pada lesi sifilis didominasi oleh limfosit dan makrofag.21
Sifilis dan infeksi menular seksual lain yang menyebabkan lesi genital atau respons inflamasi
merupakan faktor risiko penting dalam transmisi HIV. Faktor pada sifilis yang diperkirakan memiliki
kontribusi untuk terjadinya proses transmisi HIV adalah :
________________________________________
*) Dikutip dari kepustakaan 1
Sifilis Primer (S I)
Pada individu HIV-negatif, sifilis primer terjadi setelah periode inkubasi 14-21 hari di tempat
inokulasi sebagai papul yang tidak nyeri, cepat membesar dan berulserasi disebut sebagai chancre.
Chancre kadang tidak terlihat atau tidak disadari oleh pasien. Ciri khas ulkus ditandai oleh indurasi
(teraba keras di sekeliling ulkus), permukaan bersih, dinding tidak bergaung, tidak nyeri (jika tidak
disertai infeksi bakteri lain) dan soliter. Letak ulkus dapat ditemukan di luar area anogenital, yaitu bibir,
lidah, tonsil, puting susu, dan jari.1,4,16,20,32
Sifilis primer pada individu dengan infeksi HIV dapat berupa chancre multipel atau chancre
atipikal berupa ulkus nyeri dan lunak di sekelilingnya.1,4,16,20,32 Hall dkk.32 melaporkan bahwa individu
terinfeksi HIV lebih sering memiliki lesi inisial berupa chancre multipel (70%), dibandingkan dengan
individu HIV-negatif (34%). Pada beberapa pasien terkadang tidak ditemukan chancre primer, atau
chancre primer tidak terlihat. Dapat terjadi limfadenopati regional. 4
Komplikasi pada mata dapat terjadi berupa infeksi okular, yaitu uveitis, keratitis, neuritis
optik, konjungtivitis, atrofi optik dan korioretinitis. 3 Namun, tidak terdapat tanda yang patognomonik.
Kelainan mata yang terbanyak adalah uveitis (inflamasi intraokular) yang dapat terjadi pada semua
stadium dan dapat sembuh spontan, namun angka kekambuhannya tinggi bila sifilis tidak diobati. 1,32
Sifilis Sekunder (S II)
Sifilis sekunder biasanya ditemukan 2-8 minggu setelah infeksi awal dan dapat terjadi sampai
6 bulan setelah penyembuhan lesi primer.4,15 Sifilis sekunder dapat juga muncul sebelum chancre
primer menghilang. Pada stadium tersebut replikasi spirochaeta terus berlangsung dengan penyebaran
infeksi yang melibatkan berbagai sistem organ. Ruam kulit merupakan gejala yang paling sering
terlihat (80-95% kasus). Pada lebih dari 95% kasus ruam kulit berupa makula, makulopapular, papular
atau anular. Erupsi nodular dan pustular jarang terjadi. Ruam kulit sering terlihat pada batang tubuh
dan ekstremitas yang dapat melibatkan telapak tangan dan telapak kaki.4,17,33 Ruam kulit S II dapat
menyerupai berbagai kelainan kulit, yaitu pitiriasis versikolor, pitiriasis rosea, skabies, erupsi alergi
obat, dan eritema multiforme. Pada individu terinfeksi HIV yang mendapatkan obat antiretroviral, ruam
tersebut sering salah diagnosis sebagai erupsi obat alergik.32 Pada kulit kepala dapat dijumpai alopesia
yang disebut moth-eaten alopecia yang dimulai di daerah oksipital. Di daerah lembab terdapat papul
basah yang disebut kondiloma lata.17 Gejala konstitusi, limfadenopati generalisata, artralgia, mialgia,
dan gejala neurologis mungkin terjadi. Tanpa terapi, manifestasi S II berlangsung beberapa hari sampai
beberapa minggu, biasanya menyembuh spontan dalam 4-12 minggu dan masuk ke stadium laten.4
Pada pasien terinfeksi HIV, ruam kulit S II sering muncul dengan concomitant multipel genital ulcer.31
Lesi oral dapat terjadi dengan atau tanpa infeksi HIV dan sering pada S II. Paru dan pleura
jarang terlibat, tetapi spirochaeta dapat terdeteksi dalam cairan pleura akibat pneumonia, meskipun
jumlah limfosit CD4+ masih baik. Sindrom nefrotik merupakan komplikasi ko-infeksi HIV dengan S
II.1
- Guma
Patogenesisnya belum jelas, tetapi diduga guma terjadi sebagai respons hipersensitivitas
terhadap antigen Treponema di jaringan. Lesi berbentuk nodus atau plak berwarna merah gelap dengan
diameter antara beberapa milimeter hingga sentimeter. Lesi mula-mula kenyal, tetapi kemudian
melunak seiring dengan terjadinya nekrosis jaringan. Guma dapat melibatkan organ dan jaringan
pendukung di sekitarnya dan dapat bersifat destruktif.17,20,33
Pemeriksaan histologis dari lesi mendukung diagnosis dan T. pallidum dapat diidentifikasi
dari nodus dengan pemeriksaan imunofluoresen.35 Progresivitas untuk terjadi guma sangat cepat pada
pasien dengan infeksi HIV.*
- Neurosifilis
Lynn, dkk.1 melaporkan bahwa insidens neurosifilis pada pasien HIV-positif yang tidak
mendapat terapi sifilis sebesar 23,3%, sedangkan pada pasien HIV-negatif hanya 10%. Neurosifilis
dapat terjadi setiap saat setelah infeksi inisial akibat penyebaran spirochaeta ke susunan saraf pusat.
Pada individu dengan infeksi HIV, neurosifilis lebih sering terjadi pada awal periode infeksi sifilis, saat
S II atau S laten.4,32 Neurosifilis sebaiknya dipertimbangkan dalam diagnosis banding penyakit
neurologis pada individu terinfeksi HIV.36 Gejala neurologis yang timbul yaitu abnormalitas saraf
kranial (terutama kelumpuhan otot ekstraokular atau otot wajah, tinitus atau hilangnya pendengaran)
dan gejala meningitis. Uveitis atau penyakit mata lain dapat berhubungan dengan neurosifilis. 4,35
- Kardiovaskular
Berbeda dengan neurosifilis, laporan tentang keterlibatan vaskular pada pasien sifilis dengan
infeksi HIV hanya sedikit. Kelainan tersebut berupa aneurisma arteri, keterlibatan arteri karotis
komunis dan aorta abdominal. 1 Gejala yang timbul dapat berupa angina.20
Tulang dan sendi
Artritis dapat menjadi manifestasi awal sifilis pada pasien dengan infeksi HIV. Sinovitis dapat
terjadi yang menandakan penurunan jumlah limfosit CD4+.1 Komplikasi S I atau S II berupa osteitis
dan osteomielitis jarang terjadi pada pasien dengan atau tanpa infeksi HIV. Nyeri tulang merupakan
gejala umum keterlibatan tulang. Lesi litik dapat terjadi. Osteitis tulang tengkorak pernah dilaporkan
pada pasien infeksi HIV seperti osteitis ulnaris dengan komplikasi fraktur patologis. 1
DIAGNOSIS
__________________
*) Dikutip dari kepustakaan 34
Pemeriksaan biopsi lesi, pemeriksaan mikroskop lapangan gelap, atau tes DFA dapat
membantu diagnosis sifilis dalam keadaan gejala klinis mendukung, namun tes serologis tidak reaktif
ataupun interpretasi yang tidak jelas.36
World Health Organization (WHO) sampai tahun 1982 masih merekomendasikan
pemeriksaan VDRL/RPR dan TPHA sebagai screening sifilis. Rekomendasi terbaru WHO,
pemeriksaan EIA sebagai alternatif yang tepat untuk menggantikan VDRL/RPR dan TPHA sebagai
screening sifilis.37
TERAPI
Pada dasarnya terapi sifilis pada pasien terinfeksi HIV secara umum sama dengan pasien
tanpa infeksi HIV, bergantung pada stadium dan ada atau tidaknya neurosifilis.4 Namun, pasien dengan
infeksi HIV sering mengalami abnormalitas neurologis yang sulit dibedakan dengan neurosifilis.
Sehingga sebagian ahli berpendapat pengobatan neurosifilis sebaiknya diberikan kepada semua pasien
HIV-positif dengan infeksi sifilis.34
Pasien HIV-positif pada stadium sifilis dini mempunyai risiko gagal terapi menggunakan
rejimen penisilin benzatin, namun tidak terdapat penelitian controlled trial dengan rejimen terapi
apapun untuk sifilis lanjut. Menurut CDC (1998) individu asimtomatik dengan ko-infeksi HIV dan
sifilis lanjut yang umumnya disertai dengan keterlibatan neurologis sebaiknya diterapi dengan rejimen
penisilin prokain.35
Banyak ahli berpendapat bahwa pasien sifilis stadium dini dengan infeksi HIV sebaiknya
diterapi dengan penisilin dosis lebih tinggi dari dosis yang direkomendasikan oleh CDC, karena invasi
T. pallidum pada susunan saraf pusat terjadi pada sifilis stadium dini.44
Sifilis Dini
Infeksi HIV tidak mengubah respons sifilis dini terhadap terapi, sehingga CDC tetap
merekomendasikan penisilin benzatin 2,4 juta unit, intramuskular (IM), dosis tunggal,4,32,34,45 atau dapat
diberikan penisilin prokain 750.000 unit, IM, setiap hari, selama 10 hari. 34 Terdapat beberapa kasus
individu HIV-positif dengan S I dan S II yang diterapi dengan penisilin benzatin memiliki progresivitas
cepat menjadi neurosifilis. Penemuan klinis ini didukung dengan menetapnya treponema di dalam CSS
pada pasien terinfeksi HIV setelah terapi. Sehingga di beberapa tempat berpedoman bahwa terapi
minimal untuk S I dan S II tanpa keterlibatan neurologis pada pasien terinfeksi HIV sebaiknya dengan
penisilin benzatin 2 dosis, masing-masing 2,4 juta unit, interval 1 minggu, dan dosis ketiga dapat
dipertimbangkan. Dapat pula diberikan terapi penisilin prokain 1,2 juta unit, IM, setiap hari, selama 10
hari.28,32 Bordon dkk.44 melaporkan pemberian penisilin benzatin 2,4 juta unit, tiga kali seminggu,
memberikan respons yang baik terhadap klinis dan serologis pasien sifilis stadium dini dengan infeksi
HIV.
Alternatif pada kondisi alergi penisilin adalah4,34:
Doksisiklin, 100mg, oral, 2x/hari, selama 14 hari.
Eritomisin, 500 mg, oral, 4x/hari, selama 14 hari.
Tetrasiklin, 500mg, oral, 4x/hari, selama 14 hari. Namun, terapi ini terdapat kegagalan dalam
menormalkan kembali CSS, sehingga tidak direkomendasikan.
Ceftriakson, 1g, IM atau intravena (IV), setiap hari, selama 8-15 hari.
Azitromisin, 2g, dosis tunggal, dilaporkan angka kegagalan terapi tinggi. Rejimen ini sebaiknya
digunakan hanya jika pilihan lain tidak dapat digunakan dan dilakukan pemantauan yang ketat.
REAKSI JARISCH-HERXHEIMER
Reaksi Jarisch-Herxheimer merupakan respons sistemik akut yang berhubungan dengan
pelepasan antigen treponemal dan endotoksin setelah pengobatan dalam 24 jam. Biasanya dimulai 2-8
jam setelah pengobatan penisilin dosis pertama. Lebih sering terjadi pada sifilis dini dibandingkan
sifilis lanjut. Reaksi tersebut tidak penting, kecuali terdapat keterlibatan neurologis, oftalmologis,
ataupun terjadi pada wanita hamil (dapat menyebabkan fetal distress ataupun kelahiran prematur).
Angka kejadiannya lebih sering pada pasien terinfeksi HIV. Rolf dkk.* melaporkan reaksi JarischHerxheimer terjadi pada 22% pasien terinfeksi HIV, dibandingkan hanya 12% pada pasien tanpa
infeksi HIV. Gejala menyerupai flu yaitu demam, malaise, artralgia, kecenderungan limfadenopati,
perburukan ruam kulit dan lesi mukokutan. Reaksi akan menyembuh dalam 24 jam.4,30,35 Reaksi ini
dapat dihindari dengan pemberian prednison 10-20mg, 3x sehari, selama 3 hari, dimulai 24 jam
sebelum terapi sifilis diberikan.20
TINDAK LANJUT
S I dan S II
Pasien sifilis yang terinfeksi HIV sebaiknya dievaluasi secara klinis dan serologis untuk
memantau terjadinya kegagalan terapi pada bulan ke-3, 6, 9,12, dan 24 setelah pengobatan.
Keberhasilan terapi ditandai dengan penurunan titer RPR atau VDRL pada 6-12 bulan setelah terapi.
Jika tidak terjadi penurunan titer kemungkinan disebabkan karena kegagalan terapi atau reinfeksi. 4,36
Relaps atau reinfeksi ditandai dengan peningkatan titer RPR atau VDRL 4x lipat.42 Meskipun tidak
terbukti bermanfaat, beberapa ahli merekomendasikan dilakukan PL untuk pemeriksaan CSS 6 bulan
setelah terapi. Pemeriksaan CSS dan pengobatan ulang dilakukan untuk pasien terinfeksi HIV yang
mengalami kegagalan terapi atau tidak terdapat penurunan titer tes nontreponemal 6-12 bulan setelah
terapi.4,36
Sifilis laten
Pasien sebaiknya dievaluasi secara klinis dan serologis pada bulan ke-6, 12, 18, dan 24 setelah
terapi. Keberhasilan terapi ditandai oleh penurunan titer RPR atau VDRL pada 12-24 bulan setelah
terapi. Jika tidak terjadi penurunan titer kemungkinan disebabkan karena kegagalan terapi atau
reinfeksi. Pengaturan terapi disesuaikan berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut. 4,36
PENUTUP
Sifilis akan meningkatkan risiko penularan HIV. Pasien sifilis dengan infeksi HIV lebih sering
datang pada stadium penyakit yang lebih lanjut dan gejala klinis yang tidak khas. Untuk itu diperlukan
pemeriksaan serologis yang teliti dan kemampuan dokter yang baik dalam mendiagnosis sehingga
dapat dilakukan tatalaksana yang tepat bagi pasien.
__________________
*) Dikutip dari kepustakaan 30
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
Lynn WA, Lightman S. Syphilis and HIV: a dangerous combination. The Lancet Infectious Diseases Juli
2004; 4: 1061-8.
Dorigo-Zetsma JW, Belewu D, Meless H, Sanders E, Countinho RA, Schaap A, dkk. Performance of
routine syphilis serology in the ethiopian cohort on HIV/AIDS. Sex Transm Infect 2004; 80: 96-9.
Chan DJ. Syphilis and HIV co-infection: when is lumbar puncture indicated ?. Current HIV Research
2005; 3: 95-98.
AIDS Education & Training Centers National Resource Center. Clinical manual for management of the
HIV-infected adult, 2005 edition. Terakhir diperbarui 2006. Tersedia dari: http://www.aidsetc.org
Marra MC. Syphilis and Human Immunodeficiency Virus. Arch Neurol 2004; 61:1505-08.
Primary and secondary syphilis among men who have sex with men New York city, 2001. Dalam:
Morbidity and Mortality Weekly Report 7th September 2002; 51:38.
Hopkins S, Lyons F, Coleman C, Courtney G, Bergin C, Mulcahy F. Resurgence in infectious syphilis in
Ireland. Sex Transm Dis 2004; 31: 317-21.
Simms I, Fenton KA, Ashton M, Turner KME, Crawley-Boevey EE, Gorton R, dkk. The re-emergence
of syphilis in United Kingdom: The new endemic phases. Sex Transm Dis 2005; 32: 220-6.
Laporan morbiditas poliklinik divisi Infeksi Menular Seksual RSCM tahun 2005.
Pisani E, Girault P, Gultom M, Sukartini N, Kumalawati J, Jazan S, dkk. HIV, syphilis infection, and
sexual practices among transgenders, male sex workers, and other men who have sex with men in
Jakarta, Indonesia. Sex Transm Infect 2004; 80: 536-40.
Statistik kasus HIV/AIDS di Indonesia 2004. Ditjen PPM dan PL Depkes RI.
Kassu A, Mekonnen A, Bekele A, Abseno N, Melese E, Moges F. HIV and syphilis infection among
elderly people in Northwest Ethiopia. J Infect Dis 2004; 57: 264-7.
Rihatmadja R. Proporsi kepositivan uji serologik terhadap virus herpes simpleks tipe 2 dan Treponema
pallidum pada pasien yang terinfeksi human immunodeficiency virus di poliklinik pokdisus AIDS
RSCM/FKUI Jakarta [tesis]. Jakarta: Univesitas Indonesia; 2006.
Baughh RE, Musher DM. Immune-mediated mechanism in syphilis. Dalam: Cunningham MW, Fujinami
RS, ed. Effect of microbes on the immune system. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins; 2000. h.
219-32.
Stamm LV. Biology of Treponema pallidum. Dalam: Holmes KK, Mardh PA, Sparling PF, Lemon SM,
Stamm WE, Piot P, dkk, ed. Sexually transmitted diseases. Edisi ke-3. New York: McGraw-Hill; 1999.
h. 467-72.
Hutapea NO. Syphilis. Dalam: Daili SF, Indriatmi W, Zubier F, Judanarso J, ed. Infeksi menular seksual.
Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit; 2005. h. 70-87.
Sanchez MR. Syphilis. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen, et al, eds. Fitzpatricks
Dermatology in general medicine. 6th ed. New York: McGraw-Hill; 2003. h. 2163-88.
Dingel W. Syphilis. Tersedia dari: http://www.tjclarkinc.com
Weinstock GM, Hardham JM, McLeod MP, Sodergren EJ, Norris SJ. The genome of Treponema
pallidum: new light on the agent of syphilis. FEMS Microbiology Reviews 1998; 22: 323-32.
Goh BT. Syphilis in adult. Sex Transm Infect 2005; 81: 448-52.
Sellati TJ, Waldrop SL, Salazar JC, Bergstresser PR, Picker LJ, Radolf JD. The cutaneous response in
humans to Treponema pallidum lipoprotein analogues involves cellular elements of both innate and
adaptive immunity. J Immunol 2001; 166: 4141-40.
Theus SA, Harrich DA, Gaynor R, Radolf JD, Norgard MV. Treponema pallidum, lipoprotein, and
synthetic lipoprotein analogues induce human immunodeficiency virus type-1 gene expression in
monocytes via NF-B activation. J Infect Dis 1998; 177: 941-50.
Sellati TJ, Wilkinson DA, Sheffield JS, Koup RA, Radolf JD, Norgard MV. Virulent Treponema
pallidum, lipoprotein, and enhance their susceptibility to infection by human immunodeficiency virus
type-1. J Infect Dis; 181: 283-93.
Hyde RM. Immunodeficiency disorder. Dalam: Nieginski EA, Martinez JP, Linkins E, Siegfried D,
Bolger L, dkk, ed. Immunology. Edisi ke-4. Phyladelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2000. h. 149160.
E Rebecca, LaFond, Lukehart SA. Biological basis for syphilis. Cinical Microbiology Review January
2006; 19: 29-49.
Hutchinson CM, Hook EW, Shepard M, Verley J, Rompalo AM. Altered clinical presentation of early
syphilis in patients with Human Immunodeficiency Virus infection. Ann Intern Med 1994; 121: 94-9.
Gwanzura L, Latief A, Basset M, Machekano R, Katzenstein DA, Mason PR. Syphilis serology and HIV
infection in Harare, Zimbabwe. Sex Transm Inf 1999; 75: 426-30.
Kofoed K, Gerstoft J, Mathiesen LR, Benfield T. Syphilis and human immunodeficiency virus (HIV)-1
coinfection: influence on CD4 T-cell count, HIV-1 viral load, and treatment response. Sex Transm Dis
2006; 33: 143-8.
Sadiq ST, McSorley J, Copas AJ, Bennet J, Edwards SJ, Kaye S, dkk. The effects of early syphilis on
CD4 counts and HIV-1 RNA viral loads in blood and semen. Sex Transm Dis 2005; 81: 380-5.
Hall CS, Klausne JD, Bolan GA. Managing syphilis in the HIV-infected patient. Current Infectious
Disease Reports 2004; 6: 72-81.
31. Rompolo AM, Lawlor J, Seaman P, Quinn TC, Zenilman JM, Hook EW. Modification of syphilitic
genital ulcer manifestation by coexistent HIV infection. Sex Transm Dis 2001; 28: 448-53.
32. Musher DM. Early syphilis. Dalam: Holmes KK, Mardh PA, Sparling PF, Lemon SM, Stamm WE, Piot
P, dkk, ed. Sexually transmitted diseases. Edisi ke-3. New York: Mc Graw-Hill; 1999. h. 479-85.
33. Sparling PF. Natural history of syphilis. Dalam: Holmes KK, Mardh PA, Sparling PF, Lemon SM,
Stamm WE, Piot P, dkk, ed. Sexually transmitted diseases. Edisi ke-3. New York: McGraw-Hill; 1999.
h. 473-8.
34. Lewis D, Goh B, French P, Young H, Wilson H, Jenkins J, dkk. 2002 national guidlines on the
management of early syphilis. Terakhir diperbarui 2002. Tersedia dari: http://www.guideline.gov
35. Lewis D, Goh B, French P, Young H, Wilson H, Jenkins J, dkk. 2002 national guideline for management
of late syphilis. Terakhir diperbarui 2002. Tersedia dari: http:// www.guideline.gov
36. Disease characterized by genital ulcers 2002. Tersedia dari: http://www.cdc.gov
37. Young H. Guidelines for serological testing for syphilis. Sex Transm Dis 2000; 76: 403-5.
38. Jurado RL, Campbell J, Martin PD. Prozone phenomenon in secondary syphilis. Has its time arrived?.
Artikel dari Pubmed, 1993; 152: 21.
39. Tambunan KL. Sindroma antifosfolipid. Subbagian Hematologi-Onkologi Medik, Bagian Ilmu Penyakit
Dalam, FKUI-RSUPNCM, 2005.
40. Yinnon AM, Doniger PC, Polito R, Reichman RC. Serologic response to treatment of syphilis in patients
with HIV infection. Arch Intern Med 1996;156: 321-5.
41. Hass JS, Bolan G, Larsen SA, Clement MJ, Bacchetti P, Moss AR. Sensitivity of treponemal test for
detecting prior treated syphilis during human immunodeficiency virus infection. J Infect Dis 1990; 162:
862-6.
42. Fisher M, Nandwani R, Nelson M, Peters B, Radcliffe K, Williams I. Clinical standards for the screening
and management of acquired syphilis in HIV-positive adult. Terakhir diperbarui Februari 2002. Tersedia
dari: http:// www.guideline.gov
43. Marra CM, Tantalo LC, Maxwell CL, Dougherty K, Wood B. Alternative serebropinal fluid tests to
diagnose neurosyphilis in HIV-infected individuals. American Academy of Neurology 2004; 63: 110-14.
44. Bordon J, Vasquez CM, Aguado JF, Sopena B, Hermida AO, Torron JN, dkk. Response to standard
syphilis treatment in patients infected with human immunodeficiency virus. Clin Microbial Infect Dis
1999; 18: 729-32.
45. Centers for Disease Control and Prevention. Sexually transmitted disease treatmnt guidelines 2002.
MMWR 2002; 51: 20-32.
Alamat penulis:
Departemen IK. Kulit dan Kelamin
FKUI/RSUP Dr. CIpto Mangunkusumo
Jl. Diponegoro 71 Jakarta Pusat
Telp/Fax: 021 31935383
Email: Dr_fitria_irzan@yahoo.com