DERMATITIS ATOPIK
Oleh
Mutiara Khalida, S.Ked
04084821517021
Pembimbing
Prof. DR. Dr. H. M. Athuf Thaha, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV
2016
HALAMAN PENGESAHAN
Referat
DERMATITIS ATOPIK
Oleh:
Mutiara Khalida, S.Ked
04084821517021
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
kepaniteraan klinik senior di Bagian/Departemen Dermatologi dan Venereologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/Rumah Sakit Umum Pusat Dr.
Mohammad Hoesin Palembang Periode 21 November 2016- 26 Desember 2016.
Dermatitis Atopik
Mutiara Khalida, S. Ked
Pembimbing: Prof. DR. dr. H. M. Athuf Thaha, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV
Bagian/Departemen Dermatologi dan Venerologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/ RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
2016
PENDAHULUAN
Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit inflamasi kronik residif yang ditandai
dengan lesi polimorfik dan pruritus, paling sering masa awal bayi dan anak.
Manifestasi kinis DA terlihat adanya lesi eritem, bersisik, kulit kering (xerosis),
likenifikasi dan sangat gatal. Meski etiologi penyakit tidak sepenuhnya dipahami,
dermatitis atopik diketahui sebagai interaksi kompleks antar gen susceptibility yang
mengakibatkan kerusakan fungsi sawar kulit, sistem imun bawaan dan respon
imunologi yang berlebihan terhadap alergen dan antigen mikrobial. 1 Sebagian besar
kelainan
genetik
merupakan
faktor
predisposisi
dermatitis
atopik,
asma,
ETIOPATOGENESIS
Patogenesis DA merupakan interaksi kompleks antar gen-gen suseptibel
mengakibatkan gangguan sawar kulit, serta gangguan imunologik yang juga
dipengaruhi faktor lingkungan dan stress. Berikut akan dijelaskan lebih lanjut
mengenai patogenesis DA.
Gangguan Sawar Kulit
Dermatitis atopik berhubungan dengan penurunan fungsi sawar kulit akibat
mutasi gen cytoskeleton keratin (filaggrin dan lorikrin), penurunan kadar seramid,
peningkatan enzim proteolitik endogen, dan peningkatan transepidermal waterloss.
Filaggrin (FLG) merupakan gen rentan pada DA dan menyandi profilagrin, yaitu
suatu protein penting untuk pembentukan dan hidrasi sawar kulit serta berperan
dalam mengikat air pada stratum korneum. Seramid merupakan kandungan di dalam
lipid yang bersifat hidrofobik dan berfungsi menghambat penguapan air. Perubahan
pada epidermal meningkatkan penyerapan alergen dan kolonisasi mikroba ke dalam
kulit. Paparan sabun dan deterjen akan meningkatkan pH kulit sehingga aktivitas
protease endogen meningkat dan menammbah kerusakan fungsi sawar epidermal.
Selain itu, paparan protease eksogen dari tungau dan Staphylococcus aureus juga
dapat merusak sawar epidermal.1
Gangguan Imunologik
Salah satu fungsi utama kulit adalah proteksi terhadap bahan patogen. Fungsi
tersebut dapat dicapai melalui dua mekanisme komplek yaitu mencegah masuknya
patogen dan pembentukan respons imun alami (innate) dan didapat (adaptive).5
Sistem pengenalan mikroba dan reaksi terhadap organisme melalui dua acara, yaitu
pengenalan patogen yang menginvasi dan membedakannya dengan mikroba non
patogen, dan bereaksi secara fisiologis untuk memusnahkan patogen tersebut.
Patogen dikenali pathogen associated molecular pattern (PAMPs) melalui pattern
recognition receptors (PRRs) yang terdapat intrasel pada membran sel di plasma dan
jaringan. Toll like receptors (TLRs) merupakan PRRs yang diekspresikan oleh
keratinosit dan antigen presenting cells (APC). Toll like receptors akan memicu
ekspresi sitokin dan kemokin proinflamasi dan regulator termasuk interleukin 1 (IL-
1), tumor necrosis factor (TNF-), IL-6 dan IL-12. Setiap TLR akan mengenali PRR
tertentu (Gambar 1).5
Antimicrobial peptide (AMP) merupakan sistem yang digunakan kulit untuk
bereaksi dan mencegah perkembangan mikroba tidak terkontrol. Ekspresi dan fungsi
AMP berupa defensins, cathelicidins dan dermcidins pada pasien DA lebih sedikit
dibandingkan kulit orang normal. Terdapat empat macam defensin- pada manusia,
human -defensia 1 (HBD-1) terekspresi di epidermis dan duktus kelenjar keringat.
Human -defensia 2-3 terinduksi oleh infeksi bakteri, sitokin IL-1, IL-1, TNF-
dan pada proses diferensiasi memiliki aktivitas terhadap bakteri gram negatif dan
sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan.5
Cathelicidins di kulit disimpan di badan lamellar pada keratinosit dan
disekresi ke stratum granulosum dan spinosum. Cathelicidins mempunyai aktivitas
terhadap bakteri gram negatif serta positif, virus vaccinia, jamur dan dapat memicu
sekresi sitokin proinflamasi misalnya IL-6, IL-8, IL-10 serta kemokin. Cathelicidins
bersifat kemoatraktan terhadap netrofil, monosit dan sel T. Dermcidins hanya
dijumpai pada manusia di keringat serta bersifat anti mikroba kuat untuk
Staphylococcus aureus, Escherichia coli dan Candida.5
Sel natural killer (NK) dapat melisiskan sel penjamu yang terinfeksi mikroba
tanpa memerlukan pengenalan terlebih dahulu. Sel NK menyebabkan pengeluaran
berbagai macam sitokin proinflamasi dan memicu sel imun alami lain. Pada pasien
DA terdapat pengurangan sel NK yang bersirkulasi dengan fungsi yang juga
berkurang, ditandai dengan berkurangnya sitokin T helper 1 (Th-1) berupa IFN- dan
kadar normal sitokin Th-2 (IL-4), sedangkan proses apoptosis berjalan normal.5
Sel dendritic plasmacytoid (pDC) merupakan sumber antiviral IFN tipe 1
yaitu IFN- dan IFN-.Pada DA jumlah sel pDC yang bersirkulasi bertambah, namun
jumlahnya pada lesi kulit berkurang dengan penurunan fungsi sekresi IFN.
Hipersensitivitas tipe 1 dan tipe IV/seluler berperan dalam patogenesis DA, antara
lain ketidakseimbangan Th-1 dan Th-2. Sel Th-2 berperan pada fase akut sedangkan
sel Th-1 berperan fase kronik dan akan berkembang menjadi penyakit autoimun
dengan adanya reaksi IgE terhadap protein epidermal autolog disertai peran sel Th17. Sel Th-2 mensekresi IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, sedangkan sel Th-1 mensekresi
IFN-, granulocyte macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) dan IL-12.5
Sel Langerhans berperan dalam terjadinya respon imun alergik dan perubahan
sel T naif menjadi sel Th-2. Berbagai sel inflamasi dan tipe sel termasuk keratinosit
3
dan sel endotel vaskular berperan pada proses inflamasi. Keratinosit, eosinofil dan
basophil memicu respon sel Th-2. Sel Th-17 berperan dalam produksi interleukin 17
(IL-17). Interleukin 17 bersifat proinflamasi dan memicu autoimun derajat berat.Sel
Th-17 juga berperan dalam migrasi eosinofil dan monosit pada DA akut. Monosit
tersebut akan memproduksi protaglandin E2 (PGE-2) yang lebih berespon terhadap
Th-2 untuk mengurangi produksi IFN- . Produksi IFN- akan dihambat oleh IL-4,
sehingga pada DA akut terdapat respon Th-2/Th-17. Selain itu, IL-3 dan IL-4 akan
merangsang limfosit B untuk memproduksi IgE dan menyebabkan ekspresi vascular
cell adhesion molecule-1 (VCAM-1). Interleukin-5 berperan pada diferensiasi, adhesi
vaskular dan kelangsungan hidup eosinofil.5
Eosinofil dan makrofag akan memproduksi IL-12 untuk menginduksi
diferensiasi sel Th ke arah sel Th-1, yang berperan untuk menghentikan pembentukan
sitokin sel Th-2 atau Th-2/Th-17 pada fase akut ke fase kronik. Pada fase kronik
peran sel Th-1 sangat dominan, selain itu sel Th-1 juga mensekresi IL-2 dan IFN- .
Kelangsungan hidup eosinofil dan makrofag pada fase kronik ini akan dibantu oleh
GM-CSF yang merupakan produksi dari keratinosit. Jumlah sel Langerhans pada lesi
DA kronik akan bertambah sehingga memicu perubahan sel Th-1 menjadi sel Th-2.
Pada DA berat akan menjadi fenomena autoimunitas. Pruritus pada DA merupakan
pemicu pengeluaran protein epidermal dari luka akibat garukan dan berperan sebagai
self antigen. Self antigen merupakan faktor pencetus terhadap terjadinya kronisitas
penyakit.5
MANIFESTASI KLINIS
Dermatitis atopik dibagi menjadi 3 tipe berdasarkan lokalisasi terhadap usia
yaitu tipe infantil, yang terjadi pada usia mulai 2 bulan2 tahun, tipe anak, yang
terjadi pada usia 2-10 tahun dan tipe dewasa. Pruritus merupakan ciri khas yang
timbul pada ketiga tipe DA tersebut. Berikut akan dijelaskan tipe DA.2,6
Dermatitis Atopik Tipe Infantil
Lebih dari 50% kasus DA terjadi pada usia 1 tahun, umumnya pada usia lebih
dari 2 bulan. Eksim pada infantil dimulai dengan timbul eritema dan skuama pada
daerah pipi (Gambar 1 dan Gambar 2).
Gambar 2. Gambaran
DA berupa papul eritema
konfluens di regio
buccalis 1
Erupsi dapat menyebar sampai ke kulit kepala, leher, dahi, pergelangan tangan
dan ektremitas bagian ekstensor. Daerah yang terkena berhubungan dengan
kemampuan infantil dalam menggaruk daerah lesi dan aktivitas infantil. Eksdat
merupakan efek sekunder menggaruk dan infeksi yang menimbulkan krusta, infiltrasi
dan pustul. Plak yang terinfiltrasi akan menimbulkan gambaran karakteristik
likenifikasi. Pola DA infantil menghilang pada akhir usia 2 tahun. Imunisasi atau
infeksi virus dapat memperburuk DA pada infantil.2,7
Dermatitis Atopik Tipe Anak
Dapat merupakan lanjutan dari tipe infantil atau timbul sendiri. Lesi lebih
kering, tidak begitu eksudatif, lebih banyak papul, likenifikasi, dan sedikit skuama.
Lesi biasanya terdapat di daerah lipat siku, lipat lutut (Gambar 3), kelopak mata,
wajah, dan leher. Likenifikasi dan plak jarang terjadi pada lesi. Pasien keturunan
Afrika-Amerika memiliki gambaran likenoid dan sering terjadi pada permukaan
ekstensor. Lesi tersebut bercampur dengan papul ukuran 2-4 mm yang mengalami
ekskoriasi dan menyebar lebih luas pada daerah yang terbuka.2,7
Sebagian besar perubahan kulit merupakan efek sekunder pruritus. Garukan
dapat menyebabkan likenifikasi dan infeksi sekunder (Gambar 4). Dermatitis atopik
berat pada daerah yang luas dapat dihubungkan dengan keterlambatan pertumbuhan.
Pembatasan dalam diet serta penggunaan steroid dapat memperburuk keterlambatan
Gambar
4. Likenifikasi
dan ekskoriasi di regio dorsalis manus pada anak dengan DA1
Gambar 3. DA anak
pada daerah
lipatan2
Pasien
DA
remaja/dewasa,
akan
mengalami
perbaikan
seiring
berjalan
waktu
jarang
terjadi
dan
Gambar 5. Likenifikasi daerah
lipatan pada dermatitis atopik
dewasa2
setelah usia paruh baya (45-63 tahun). Kekambuhan rentan terjadi jika alergen
terpajan ulang. Kisaran 65% pasien sensitif terhadap ultraviolet A (UVA) dan
ultraviolet B (UVB). Kisaran 17% hanya sensitif terhadap UVA atau UVB saja.
Infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dapat juga sebagai pemicu dan onset
baru dari DA pada orang dewasa.2
Dermatitis pada tangan umumnya terjadi pada orang dewasa dengan riwayat
DA. Pekerjaan yang berhubungan dengan air merupakan faktor utama timbulnya
eksim pada tangan, termasuk pasien dengan DA. Dermatitis atopik tangan dapat
terjadi baik di permukaan dorsal ataupun palmar.2
DIAGNOSIS
Penegakkan diagnosis DA dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang dan memenuhi kriteria Hannifin dan Rajka (Tabel 1 dan 2)
Diagnosis DA ditegakkan jika didapatkan minimal tiga kriteria mayor ditambah tiga
kriteria minor.2
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Kriteriaminor
Xerosis
Ichthyosis/hiperlinear plantaris/keratosis
linear
IgE reaktif
Peningkatan serum IgE
Awitan pada usia dini
Infeksi kutaneus
Dermatitis non spesifik pada kaki/tangan
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
1.
2.
3.
4.
5.
Fitur Penting
Onset dini
Atopi
Riwayat personal dan atau
keluarga
Reaktivitas IgE
Xerosis
1.
2.
3.
4.
5.
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis
banding
terdiri
atas
beberapa
penyakit
kulit
inflamasi,
alergen makanan maupun inhalan. Beberapa pasien masih mempunyai sensitisasi IgE
terhadap antigen mikrobial seperti toksin Staphylococcusaureus dan candida albicans
atau sympodialis malassezia. Uji tempel menunjukkan reaksi positif meskipun tes
kulit langsung menghasilkan negatif.1
Pada hasil biopsi pasien DA, didapatkan garukan kuat di kulit, kolonisasi S.
aureus atau infeksi jumlah sel polimorfo nuklear (PMN) berkurang. Sel PMN
merupakan pertahanan pertama untuk semua patogen sehingga kurangnya jumlah
PMN membuat pasien DA lebih rentan terhadap mikroba kutan.5
TATALAKSANA
Tatalaksana DA membutuhkan pendekatan multidisiplin. Para klinisi perlu
membuat dasar-dasar dari pengobatan yang ingin dicapai, baik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang. Penatalaksanaan dermatitis atopik meliputi edukasi, terapi
topikal maupun sistemik (Gambar 7).9
Edukasi
Edukasi pasien memberikan efektivitas manajemen DA. Edukasi pasien
meliputi penjelasan mengenai perjalanan DA, faktor yang dapat mencetuskan,
memperparah dan mengurangi gejala, pengobatan jangka pendek maupun panjang
harus dicapai dan dinilai secara berkala. Edukasi diberikan kepada keluarga dan
pengasuh yang merawat DA dengan menjelaskan kombinasi modalitas pengobatan
agar mencapai tujuan terapi.9
Identifikasi dan Eliminasi Faktor Pencetus
Pasien DA memiliki ambang batas yang rendah terhadap bahan iritan,
sehingga barang-barang iritan harus dihindari. Bahan iritan merupakan substansi yang
menimbulkan efek toksik dan merusak kulit secara langsung tanpa fase sensitisasi.
Bahan iritan yang umumnya ditemukan antara lain sabun atau detergen, asam, alkali,
debu dan bahan air. Pasien DA disarankan menggunakan pembersih atau sabun
dengan pH netral untuk mengurangi terjadinya iritasi.9
Bayi dan anak-anak lebih banyak mengalami alergi makanan sementara orang
dewasa lebih banyak mengalami alergi aeroalergen lingkungan. Alergen potensial
dapat diidentifikasi dengan cara anamnesis, uji tusuk selektif, dan kadar spesifik IgE.1
+
Langkah-langkah perawatan kulit umum:
Edukasi
Hidrasi kulit dan pemberian emolien
Identifikasi dan eliminasi faktor pencetus
Terapi anti inflamasi (steroid topikal, inhibitor kalsineurin topikal)
Intervensi antipruritik (antihistamin, modifikasi perilaku)
Identifikasi dan terapi untuk infeksi sekunder bakteri, virus, atau jamur.
Terapi untuk aspek psikososial dari penyakit
Pengobatan berhasil?
Titrasi terapi topikal, penggunaan emolien, steroid topikal atau inhibitor kalsineurin topikal secara berkala
11
12
perawatan kulit secara intensif, terutama dengan glukokortikoid topikal dan sering
mandi, dilanjutkan dengan pemberian emolien untuk mencegah rebound flare DA.1,12
Siklosporin
Siklosporin adalah obat imunosupresif poten yang bekerja terhadap sel T
dengan cara menekan transkrip sitokin. Siklosporin mengikat sitopilin (protein
intraseluler) dan komplek ini selanjutnya menekan kalsineurin (molekul yang
diperlukan untuk memulai transkripsi gen sitokin). Dosis jangka pendek diberikan
sebanyak 3-5 mg/kgBB/hari selama 1 tahun, sedangkan untuk dewasa adalah 150 mg
sampai 300 mg perhari. Efek samping penggunaan sikloskporin adalah mual,
parestesi, kreatinin serum meningkat, gangguan ginjal dan hipertensi.9,13
Anti Metabolit.
Mikofenolat mofetil (MMF) adalah inhibitor biosintesis purin yang digunakan
sebagai imunosupresan pada transplantasi organ, juga dapat digunakan dalam terapi
penyakit kulit inflamatori. Dosis penggunaan sebesar 2 gram/hari/oral, dalam jangka
pendek. Penggunaan monoterapi ini menghasilkan perbaikan kulit pada dermatitis
atopik dewasa yang resisten steroid oral dan topikal, sinar UVA. Efek samping obat
ini dapat menekan sumsung tulang. Apabila dalam 4-8 minggu tidak menunjukkan
kemajuan terapi, penggunaan obat ini sebaiknya dihentikan.1 Metotreksat dosis 1022,5 mg/minggu dan azatioprin 1,5-2,5 mg/kg/hari dapat digunakan untuk
pengobatan DA derajat berat.9
PROGNOSIS
Penyakit DA cenderung lebih berat dan persisten pada anak. Periode remisi
lebih sering terjadi seiring dengan pertambahan usia. Perubahan DA terjadi setelah
usia 5 tahun pada 40-60% pasien yang terkena pada masa bayi, terutama jika ringan.
Penelitian sebelumnya menunjukkan kisaran 84% anak akan menderita DA sampai
dewasa, namun penelitian terbaru menunjukkan kisaran 20% anak pasien DA bisa
sembuh dan 65% anak mengalami penurunan tingkat keparahan DA. Faktor yang
menyebabkan prognosis buruk DA adalah luas lesi masa anak-anak disertai rhinitis
alergi dan asma, riwayat DA pada keluarga atau saudara kandung, onset dini, anak
tunggal dan kadar serum IgE yang tinggi.1
13
KOMPLIKASI
Dermatitis atopik juga dapat menimbulkan komplikasi seperti penyakit lain.
Komplikasi dapat berupa gangguan pada mata, infeksi, dermatitis pada tangan dan
dermatitis eksfoliatif. Berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai komplikasikomplikasi tersebut.
Gangguan pada Mata
Komplikasi mata yang terjadi pada pasien DA berat menyebabkan morbiditas
yang signifikan.Dermatitis pada kelopak mata dan blepharitis kronis berkaitan dengan
DA dan dapat mengakibatkan gangguan penglihatan akibat jaringan parut pada
kornea. Keratokonjungtivitis atopik biasanya bilateral dan dapat mengaburkan gejala
lainseperti gatal, rasa terbakar, robek dan dischargeyang berlebihan. Konjungtivitis
vernal merupakan proses inflamasi kronis berat berulang dan bilateral yang
berhubungan dengan hipertrofi papiler atau cobblestoning dari konjungtiva tarsal
superior. Biasanya terjadi pada pasienusia lebih muda dan terjadi pada musim semi.
Intensitas
gatal
dapat
diperberat
oleh
paparan
iritan,
cahaya
atau
14
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Leung DY, Eichenfield LF, Boguniewicz M. Atopic dermatitis. In: Goldsmith LA,
Katz Stephen I, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, eds. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: McGraw-Hill;2012,p.165182.
2. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews Diseases of The Skin: Clinical
Dermatology, 11th ed. California: Saunder Elseiver 2011. Chapter 5, p. 62-70.
3. Sehgal VN, Khurana A. Atopic dermatitis: etiopatogenesis, overview. Indian J of
Dermatol 2015;60(4):327-31.
4. Ludfi, Syaeful A, Agustina L, Fetrayani D. Baskoro A. Gatos S. Asosiasi penyakit
alergi atopi anak dengan atopi orang tua dan faktor lingkungan. J Elect Airlangga
Univ2012;9(3):92-8.
5. Soebaryo RW. Patogenesis dan gangguan imunologis pada dermatitis atopik. In:
Diana IA, et.al. Dermatitis atopik: diagnosis dan tatalaksana terkini. Jakarta:
FKUI Press 2014, p.1-7.
6. Kang K, Polster AM, Nedorost ST, Stevens SR, Cooper KD. Atopic dermatitis.
In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, eds. Dermatology, vol.1 2nd ed. New York:
Mosby 2004, Chapter 13, p. 181-195.
7. Friedmann PS, Jones MR, Holden CA. Atopic dermatitis. Burns T, Breathnach S,
Cox N, Griffith C, eds. In: Rooks textbook of Dermatology. 8th ed. Chichester:
Blackwell 2010, Vol 1, pp. 24.1-24.33.
8. Thomsen SF. Atopic dermatitis: natural history, diagnosis and treatment. J
Hindawi pub 2014;2(1):10-7.
9. Zulkarnain I, Citrashanty I. Konsesus pedoman penatalaksanaan dermatitis
atopik: perspektif Asia Pasifik. In: Diana IA, et.al. Dermatitis atopik: diagnosis
dan tatalaksana terkini. Jakarta: FKUI Press 2014, p. 65-81.
10. Silverberg JI. Atopic dermatitis: an evidence-based treatment update. Am J Clin
Dermatol 2014;15:149-64.
11. Natalia, Menaldi SL, Agustin T. Perkembangan terkini pada terapi dermatitis
atopik. J Indon Med Assoc 2011;61(7):299-304.
12. Mesquita K, Costa IM, Igreja AC. Ultraviolet index: a light in atopic dermatitis
and vitamin D research. An Bras J Dermatol 2016;91(1):34-9.
13. Brown SJ. Atopic eczema. J Clin Med. 2016;16(1):66-9.
17