IJTIHAD
IJTIHAD
PE N D AH U L U AN
Islam sebagai agama yang berlaku abadi dan berlaku untuk seluruh umat manusia
mempunyai sumber yang lengkap pula. Sebagaimana diuraikan di awal bahwa sumber ajaran
islam adalah Al-Quran dan Sunnah yang sangat lengkap.
Seperti diketahui bahwa Al-Quran adalah merupakan sumber ajaran yang bersifat
pedoman pokok dan global, sedangkan penjelasannya banyak diterangkan dan dilengkapi oleh
Sunnah secara komprehensif, memerlukan penelaahan dan pengkajian ilmiah yang sungguhsungguh serta berkesinambungan.
Para ulama bersepakat tentang pengertian ijtihad secara bahasa berbeda pandangan,
mengenai pengertiannya secara istilah muncul belakangan, yaitu pada massa tasyri dan massa
sahabat. Ijtihad mempunyai definisi dan mempunyai landasan serta dasar-dasar dan
mempunyai hukum dan mempunyai unsur-unsur.
Dilihat dari fungsinya ijtihad berperan sebagai penyalur kretifitas pribadi atau kelompok
dalam merespon peristiwa yang dihadapi sesuai dengan pengalaman mereka.
Ijtihad juga berperan sebagai interpreter terhadap dalil-dalil yang zhanni al-wurud atau
zhanni ad-dalalah.
Ijtihad diperlukan untuk menumbuhkan ruh islam dan berperan sebagai penyalur
kretifitas pribadi.
A. LATAR BELAKANG
Mengingat pentingnya dalam syariat Islam yang disampaikan dalam Al-Quran dan
Assunah, secara komprehensif karena memerlukan penelaahan dan pengkajian ilmiah yang
sungguh-sungguh serta berkesinambungan.
Oleh karena itu diperlukan penyelesaian secara sungguh-sungguh atas persoalan-persoalan yang
tidak ditunjukan secara tegas oleh nas itu. Maka untuk itu ijtihad menjadi sangat penting. Kata
ijtihad terdapat dalam sabda Nabi yang artinya pada waktu sujud bersungguh-sungguh dalam
berdoa.
Dan ijtihad tidak membatasi bidang fikih saja dan banyak para pendapat ulama mempersamakan
ijtihad dengan qiyas. Adapun dasar hukum itu sendiri adalah Al-Quran dan Assunah.
Maka dari itu karena banyak persoalan di atas, kita sebagai umat Islam dituntut untuk keluar dari
kemelut itu yaitu dengan cara melaksanakan ijtihad.
BAB II
IJTIHAD SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM
Syariah islam yang disampaikan dalam Al-Quran dan Sunnah secara komprehensif,
memerlukan
penelaahan
dan
pengkajian
ilmiah
yang
sungguh-sungguh
serta
Kata ijtihad secara bahasa, Ahmad bin Ahmad bin Ali Al-Muqri Al-Fayumi (t.th: 112)
menjelaskan bahwa ijtihad secara bahasa adalah:
pengesahan kesanggupan dan kekuatan (mujtahid) dalam melakukan pencarian sesuatu,
supaya sampai pada ujung yang ditujunya.
Menurut Asy-Syaukani (t.th:250). Arti etimologi ijtihad adalah:
Pembicaraan mengenai pengarahan kemampuan dalm pekerjaan apa saja secara bahasa,
arti ijtihad dalam artian ja-ha-da terdapat di dalam Al-Quran surat An-Nahl (16) ayat 38,
surat An-nuur (24) ayat 53 dan surat Fathir (35) ayat 42.
Semua kata itu berarti pengerahan segala kemampuan dan kekuatan (badzl al-wusyi wa althaqah), atau juga berarti berlebihan dalam bersumpah (Al-Muhalaghat fi al-yamin).
Dalam sunnah, kata ijtihad terdapat dalam sabda Nabi yang artinya:
pada waktu sujud dan hadist lain yang artinya rosul Allah SAW para ulama bersepakat
tentang pengertian ijtihad secara bahasa, pengertian ijtihad secara istilah muncul
belakangan, yaitu pada masa tasyi dan masa sahabat.
Menurut Abu Zahrah secara istilah arti ijtihad adalah:
Upaya seseorang ahli fiqih dengan kemamapuannya dalam mewujudkan hukum-hukum
amalaiah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci.
Menurut Al-Amidi yang dikutip oleh Wahbah Al-Zuhaili (1978-480) Ijtihad adalah:
Pengerahan segala kemampuan untuk menentukakn sesuatu yang zhoni dari hukum-hukum
syara .
Definisi ijtihad di atas secara tersirat menunjukkan bahwa ijtihad hanya berlaku pada
bidang fiqih, bidang hukum yang berkenaan dengan amal. Bukan bidang pemikiran. Ijtihad
berkenaan dengan dalil zhoni berbeda dengan Husen, Harun Nasution menjelaskan bahwa
pengertian ijtihad hanya dalam lapangan fiqh adalah ijtihad daslam pengertian sempit.
Dalam arti luas menurutnya ijtihad juga berlaku dalam bidang politik, akidah, tasyawuf
dan filsafat.
Harun Nasution, Ibrahim Abbas Al-Dzarwi ( 1983 : 9 ) mendefinisikan ijtihad. Menurut
Fakhruddin ijtihad adalah pengarahan kemampuan untuk memikirkan apa saja yang tidak
mendatangkan celaan.
Sebagian ulama ada yang memmpersamakan ijtihad dengan Qiyas, ada pula yang
mepersamakan dengan ray. Dari definisi ijtihad seperti digambarkan diatas terlihat beberapa
persamaan dan perbedaan.
Perbedaanya adalah pertama terletak pada penggunaan bahasa. Kedua, terletak pada
subjek ijtihad dinisbatkan kepada kata mujtahid yang berkonotasi bahwa lapangan ijtihad itu
tidak hanya bidang fiqh. Ketiga, terletak pada metode ijtihad.
Metode mangkuli (dari Al-Quran dan Sunnah) yaitu metode yang mengikuti (Ittiba)
sebagian lagi menggunakan metode makuli (berdasarkan Ray dan akal). Metode ini
berdasarkan asumsi bahwa Rasulullah SAW.
Adapun persamaannya adalah pertama, hukum yang dihasilkan bersifat Zhanni. Kedua,
objek ijtihad berkisar seputar hukum taklifi yasitu hukum dengan amaliah ibadah.
B. DASAR-DASAR IJTIHAD
Dasar hukum ijtihad adalah Al-Quran dan Sunnah. Diantara ayat Al-Quran yang
menmmjadi dasar ijtihad: adapun Sunnah yang menjadi dasar ijtihad diantaranya Hadits Amr
bin Ash yang diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad yang menyebutkan
bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad kemudian dia benar maka ia
mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika ia menetapkan hukum dalam ijtihad itu salah
maka ia mendapatkan satu pahala . (HR. Muslim, 11,t.th :62).
C. SYARAT-SYARAT MUJTAHID
Syarat-syarat yang harus dimiliki seorang mujtahid ialah orang yang mampu melakukan
ijtihad melalui cara istimbath (mengeluarkan hukum dari sumber hukum syariat dan tathbiqh /
penerapan hukum)
Syarat-syarat mujtahid, ada baiknya dijelaskan dulu menurut hukum ijtihad, yaitu sebagai
berikut:
1. Al-Waqi yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi yang tidak diterangkan
oleh nas
2. Mujtahid yaitu orang yang melakukan ijtihad yang mempunyai kemampuan intuk
berijtihad dengan syarat-syarat tertentu
3. Mujtahid fih ialah hukum-hukum syariah yang bersifat amali (taqlifi).
4. Dalil syara untuk menentukan suatu hukum bagi mujtahid fih (Nadiah Syafari al-umari
t.tth:199-200)
Menurut fakkhr ad-din, Muhammad bin Umar bin Al Husin Ar Razi (1988:496-7) syaratsyarat adalah sebagai berikut:
1. Mukalaf, karena hanya mukalaflah yang mungkin dapat melakukan penerapan hukum.
2. Mengetahui makna-makna lafadz dan rahasianya.
3. Mengetahui keadaan mukhatab yang merupakan sebab pertama terjadinya perintah atau
larangan.
4. Mengetahui keadaan lafadz, apakah memiliki Qorinah atau tidak.
Berbeda dengan syarat-syarata terdahulu, Muhammad bin Ali bin Muhammad As
Syaukani (t.th: 250-252) menyodorkan syarat-syarat mujtahid sebagai berikut.
1. Mengetahui Al-Quran dan Sunnah yang berkaitan dengan masalah-masalah hukum.
Jumlah ayat-ayat hukum didalam Al-Quran sekitar 500 ayat.
2. Mengetahui ijma sehingga tidak berfatwa atau berpendapat yang menyalahi ijma ulama.
3. Mengetahui bahasa arab karena Al-Quran dan Sunnah disusun dalam bahasa arab.
4. Mengetahui ilmu Ushul Fiqh, membahas dasar-dasar serta hal-hal yang berkaitan dengan
ijtihad.
5. Mengetahui nasikh-mansukh sehingga tidak berfatwa berdasarkan dalil yang sudah
mansukh.
Adapun syarat-syrat mujtahid yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah (t.th:
250-2) adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui bahasa arab karena Al-Qur;an diturunkan dalam bahasa arab, As Sunnah,
sebagai penjelasn Al-Quran juga ditulis dalam bahasa arab.
2. Mengetahui nasikh-mansukh dalam Al-Quran.
3. Mengetahui Sunnah, baik perbuatan, perkataan maupun penetapan.
4. Menegtahui ijma dan iktilaf.
5. Menegetahui kiyas .
6. Mengetahui maqoshid As Syariah.
7. Memilki pemahaman yang tepat (Syihah Al Fahm) yang karenanya mujtahid dapat
memahami ilmu Mantiq.
8. Memilki niat.
Syarat-syarat yang diajukan oleh Abu Zahrah, Wahbah Al Juhaili (1977 : 487-492)
mengajukan syarat-syasrat mujtahid sebasgai berikut:
1. Mengetahui makna ayat-ayat hukum yang terdapat didalam Al-Quran baik secara bahasa
maupun secara istilah.
2. Mengetahui makna hadits-hadits hukum secara bahasa maupun istilah.
3. Mengetahui nasikh-mansukh baik dari Al-Quran maupun Sunnah.
4. Mengetahui ijma sehingga tidak berfatwa atau berpendapat yang menyalahi ijma
terdahulu.
5. Mengetahui kiyas dan syarat-syarat yang disepakati karenas kiyas merupakan salah satu
metode ijtihad, rincian hukum banyak dijelaskan dengan cara tersebut.
6. Mengetahui ilmu bahasa arab, seperti nahwu, sharaf, maani, dan bayan, karena Al-Quran
dan Sunnah disusun dalam bahasa arab.
7. Mengetahui ilmu Ushul Fiqh karena didalamnya dibahas dasar-dasar dan rukun-rukun
ijtihad.
8. Mengetahui maqoshid As Syariati dalam penerapan hukum, karena mujtahid wajib
menetahui rahasia-rahasia hukum disamping dilalat Al-Alfazh (penunjukan maknamakna lafadz).
Menurut Muhaimin dkk (1994: 198-199) mujtahid terbagi menjadi beberapa tingkatan:
Mujtahid Mutlaq dan Mujtahid Mazhab
Mujtahid mutlaq ialah mujtahid yang mampu menggali hukum-hukum agama dari
sumbernya
Mujtahid mutlaq terbagi menjadi beberapa tingkatan, tingkatan itu ialah mujtahid mutlaq
mustaqil dan mujtahid madzhab.
Mujtahid mutlaq mustaqil yaitu mujtahid yang dalam ijtihadnya menggunakan metode dan
dasar yang ia susun sendiri.
Empat tokoh madzhab fiqh terkenal seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan
Imam Hambali. Kedua mujtahid mutlaq muntasib yaitu mujtahid yang telah mencapai derajat
mutlaq mustaqil tetapi ia tidak menyusun metode tersendiri, ia menggunakan keterangan
imammnya untuk meneliti dalil-dalil dan sumber-sumber pengambilannya. Contoh, AlMuzami dari madzhab Syafii dan Al-Hasan bin Ziad dari madzhab Hanafi mujtahid fi al
madzhab ialah mujtahid yang mampu mengeluarkan hukum-hukum agama yang tidak atau
belum di keluakan oleh madzhabnya itu. Contohnya, Abu Jafar al tahtawi dalam madzhab
Hanafi. Kelompok mujtahid ini terbagi dua:
1. Mujtahid tahkrij, dan
2. Mujtahid tarjih atau bisa disebut dengan mujtahid fatwa.
Tampaknya untuk masa sekarang ini akan sulit terpenuhi, oleh kaena itu ijtihad tidak
hanya dapat di lakukan oleh perorangan (ijtihad faridah), tetapi juga dapat dilakukan secara
kelompok (ijtihad jamai). Artinya sekelompok ulama dengan disiplin ilmu yang berbeda
secara bersama-sama melakukan ijtihad.
D. LAPANGAN IJTIHAD (MAJAL AL-IJTIHAD)
Wilayah ijtihad atau majal al ijtihad adalah masalah yang diperbolehkan penetapan
hukumnya dengan cara ijtihad itu.
Adapun hukum yang diketahui dari agama secara dharudoh dan bidah (pasti benar
berdasarkan pertimbangan akal). Dalil qothi al subut wal dalalah tidaklah termasuk lapangan
Pembicaraan mengenai ijtihad Rasululloh SAW di kalangan para ulama ternyata sangat
pelik dan berbelit-belit. Secara umummereka menyepakati dalam urusan keduniawiyaan (al
mashalih ad dunyawiyati) pengaturan taktik dan keputusan yang berhubungan dengan
persengketaan (al aqdiah wa al kushumah). Akan tetapi perbedaan pendapat mereka mengenai
ijtihaj Rasulullah SAW dalam hukum agama (wahbah al zuhaili 1978:499, asy syaukani,
t.th:234).
Dalam menanggapi ijtihad dalam hukum agama ulama berbeda pendapat.
Pertama, ahli ushul fiqh membolehkan karena ini pernah di lakukan oleh Rasulullah
SAW.
Kedua, pengikut Hanifah berpendapat Rasulullah SAW diperintah untuk berijtihad
setelah beliau menunggu wahyu untuk menyelesaikan peristiwa yang terjadi, beliau khawatir
peristiwa itu lenyap begitu saja.
Ketiga, kebanyakan pengikut As Syariah, ahli kalam, kebasnyakan pengikut uktazilah
tidak setuju ijtihad Rasulullah daslam urusan hukum agama.
Berikut dalil-dalil yang dikemukakan kelompok pertama, sesungguhnya pada yang dmikian itu
terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati (QS. Al-Imran {3}: 13).
Maka ambilah (kejadian itu) untuk menjadi pejaran bagi orang-orang yang mempunyai
pandangan (QS. Al-Hayr{59}: 2).
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang
mempunyai akal (QS. Yusuf {12}: 111).
Kata-kata ulul Al-Abshar ulu al albab, ibram pada ayat terdahulu tidak hanya berlaku
bagi khitab ketika ayat itu diturunkan tetapi berlaku bagi khitab ketika ayat itu diturunkan
tetapi berlasku juga bagi Rasulullah SAW karena sesungguhnya beliaulah yang lebih tepast
disebut ulul abshar dan ulul al basb. Kata kata tersebut menggambarkan suatu perintah
memprediksi masa depan cara perbandingan dengan cara istilah ushul adalah Qiyas adalah
bagian dari kegiatan ijtihad.
I. PENGERTIAN IJTIHAD
Ijtihad menurut bahasa ialah percurahan segenap kesanggupan untuk mendatangkan
sesuatu dari berbagai urusan atau perbuatan. Berasal dari kata ja-ha-da yang artinya berusaha
keras atau berusaha sekuat tenaga: ijtihad secara harfiah mengndung arti yang sama.
Menurut Muhammad Syaltut, ijtihad artinya sama dengan ar-rayu yang perinciannya
berarti:
a. Pemikiran arti yang mengandung oleh Al-Quran dan sunnah.
b. Mendapat ketentuan hukum sesuatu yang tidak diajukan oleh nass dengan suatu masalah
yang hukumnya ditetapkan oleh nass.
c. Pencerahan seganap kesanggupan untuk mendapatkan hukum syara amali tentang masalah
yang tidak ditunjukan hukunya oleh suatu nass secara langsung.
J. LANDASAN IJTIHAD
Dalam islam akal sangat dihargai. Banyak ayat-ayat Al-Quran yang menagtaka suruhan
untuk mempergunakan akal, sebagaimana dapat dilihat dari terjemaahan ayat-ayat ini:
Sesungguhnya pencptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang yang berakal (Q.S 8:22)
Sesungguhnya bunatang (makhluk) yang seburuk-buruknya disisi Allah ialah orang yang
peka dan tuli yang mengerti apapun (Q.S 8:22)
Untuk memberikan bukti bahea ijtihad pernah dilakukan para sahabat, pada massa nabi
sekalipun hadist yang di riwayatkan oleh Al-Baghawi dari Muadz bin Jabal yang artinya
sebagai berikut:
: : : :
: :
Pada waktu Rosulullah SAW mengutusnya (Muadz bin Jabal) ke Yaman, Nabi Mahammad
SAW berkata: bagaimana jika engkau diserahi urusan peradilan?, jawabnya: saya
menetapkan perkara berdasarkan Al-Quran, nabi berkata: bagaimana kalau kau tidak
mendapati dalam Al-Quran?, jawabnya: dengan sunnah nabi, selanjutnya nabi berkata:
bila dalam sunnah pun tidak kau dapati?, jawabnya: saya akan mengerahkan
kesanggupan saya untuk menetapkan hukum dengan pikiran saya, akhirnya nabi
Muhammad SAW menepuk dada dengan mengucapkan segala puji bagi Allah yang telah
memberikan taufiq (kecocokan) pada utusan Rosulullah (Muadz)
Sebagai bukti bahwa ijtihad yang dilakukan para sahabat adalah ketika Abu Bakar menjadi
khalifah, waktu itu terdapat sekelompok yang tidak mambayar zakat fitrah. Abu Bakar
bertindak memerangi mereka. Tidakan Abu Bakar tidak disetujui oleh Umar bin Khatab
dengan alasan menggunakan sabda Nabi SAW yang artinya:
Saya diperintahkan untuk memerangi orang banyak (yang mengganggu islam) sehingga
mereka mau mengucapkan syahadat. Kalau mereka telah mengucapkannnya, terjagalah
darah dan harta mereka, kecuali dengan cara yang benar
Dalam peristiwa itu Abu Bakar berargumen berdasarkan sabda nabi SAW, ILLAHI
HAQQIKA. Dalam kata-kata itu menunaikan zakat adalah sebagaimana mengerjakan shalat
termasuk haq.
Dalam hal itu Umar berpendirian bahwa merupakan suatu kebaikan bagi kepentingan
umat islam dan umat mukmin.
K. MACAM-MACAM IJTIHAD
Ditinjau dari segi pelakunya ijtihad dibagi menjadi dua, yaitu: ijtihad perorangan dan
ijtihad jami. Ijtihad perorangan yaitu suatu ijtihad yang dilakukan oleh seorang mujtahid
dalam suatu persoalan hukum. Sedangkan ijtihad jami atau ijtihad kelompok adalah ijtihad
yang dilakukan oleh sekelompok mujtahidin dalam menganalisa suatu masalah untuk
menentukan suatu hukum.
nabi ada belum ada permasalahan padi. Dengan demikian diperlukan ijtihad dengan jalan
qiyas dalam menentukan zakat.
b. Ijma atau konsensus. Kata ijma berasal dari kata jamun yang artinya menghimpun atau
mengumpulkan. Ijma mempunyai dua makna, yaitu menyusun dan mengatur sesuatu hal
yang tidak teratur. Oleh sebab itu, ia berarti menetapkan dan memutuskan suatu perkara,
dan berarti pula sepakat atau bersatu dalam pendapat. Persetujuan pendapat berdasarkan
dengan hasil ijma ini contohnya bagaimana masalah kelurga berencana.
c. ISTIHSAN, istihsan artinya preference, makna aslinya ialah menganggap baik suatu
barang atau menyukai barang itu menurut terminlogi para ahli hukum, berarti didasarkan
atas kepentingan umum atau kepentingan keadilan, sebagai cotoh adalah peristiwa
Ummar bin hatab yang tidak melaksanakan hukum potong tangan kepada seorang
pencuri pada masa peceklik.
d. MASLAHAT AL-MURSALAT artinya : keputusan yang berdasarkan guna dan manfaat
sesuai dengan tujuan hukum syara. Kepentingan umum yang menjadi dasar
pertimbangan maslahat dari suatu peristiwa. Contoh metode ini adalah tentang khamar
dan judi. Dala ketentuan nash bahwa khamar dan judi itu manfaat bagi manusia, tetapi
bahayanya lebih besar daripada manfaatnya. Dari sebuah nash dapat dilihat bahwa suatu
masalah yang mengandung masalahat dan manfaat, di dahulukan menolak mafsadat.
Untuk ini terdapat kaidah,
menolak kerusakan lebih diutamakan dari pada menarik kemaslahatannya, dan
apabila berlawanan antara mafsadat dan maslahat dahulukanlah menolak mafsadat.
Disamping itu masih terdapat metode ijtihad yang lain, seperti istidlal, Al-Urf dan Istishab.
B A B III
K E S I M P U LAN
Ijtihad merupakan suatu proses pengadilan hukum islam yaqng berkaitan erat dengan
bidang fiqih, bidang hukum yasng berkenaan dengan amal atau perbuatan. oleh karena itu,
menurut ulama fiqih, ijtihad tidak terdapat dalam ilmu kalam dan tasawuf, karena ijtihad
hanyas berkenaan dengasn dalil-dalil zhanni, sedangka ilmu kalam menggunakan dalil yasng
qhati, baik dalam Al-Quran mapun Sunnah.
Ijtihad digambarkan ada beberapa persamaan dan perbedaan dan adapun yang menjadi
dasar hukum ijtihad ialah Al-Quran dan Sunnah.
Hukum ijtihad bagi orang itu bisa wajib ain, wajib kifayat, Sunat atau haram, bergantung
pada kapasitas orang tersebut.
Dewasa ini umat islam dihadapkan kepada sejumlah peristiwa keinginan yang
menyangkut berbagai aspek kehidupan.
Melihat persoalan-persoalan diatas umat islam dituntut untuk keluar dari kemelut itu.
Karena itu ijtihad menjadi sangat penting meskipun tidask bisa dilakukan oleh setiap orang.