Anda di halaman 1dari 38

ISLAM AGAMA POLITIK

Makalah Ini Diajukan Guna Melengkapi Sebagian Syarat


Untuk Materi: Sejarah Pemikiran Islam
Program Magister (S2) Pendidikan Islam
Pascasarjana Institut PTIQ Jakarta

Oleh :
AHMAD MULYONO
NIM: 162520003

KONSENTRASI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
PASCASARJANA INSTITUT PTIQ JAKARTA
2016 M./1437 H.

ISLAM AGAMA POLITIK

A. Latar belakang
Islam adalah agama yang ajarannya menyeluruh dalam segala aspek kehidupan. Dalam
mengimani, memahami, mengamalkan dan bahkan mendakwahkan Islam, tidak bisa
dilakukan secara parsial, missal, mengamalkan Islam dari aspek ubudiyahnya saja, lalu
mengabaikan arahannya dalam hal muamalah serta menolak ajarannya dalam bidang politik.
Hal tersebut bertentangan dengan arahan Al-Quran, dimana seorang muslim diwajibkan
masuk ke dalam agama Islam dan menjalankan semua ajarannya secara kaffah. Sebagaimana
yang dijelaskan dalam firman Allah SWT.














Artinya: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah
(keseluruhan), dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu
musuh yang nyata bagimu. (QS Al-Baqarah: 208)
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah Ta'ala memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya
yang beriman kepada-Nya dan membenarkan Rasul-nya, agar berpegang kepada seluruh tali
Islam dan syari'atnya, mengerjakan perintah-Nya, serta menjauhi semua larangan-Nya sekuat
tenaga. Ibnu Abbas , Abu al-Aliyah, Ikrimah, Rabi' bin Anas, As-Suddi, Muqtil bin Hayan,
Qatadah, dan adh-Dhahak mengatakan kaffah berarti

jami'an (keseluruhan)1 Sedangkan

Sayyid Quthb menjelaskan bahwa seruan ini (memasuki Islam dengan kaffah -pen) ditujukan
di setiap saat kepada orang-orang beriman , agar mereka bersikap ikhlas dan tajarrud
(totalitas), dan menyelaraskan semua detak jiwa dan arah perasaan mereka dengan apa yang
dikehendaki opleh Allah pada mereka dan dengan bimbingan yang diberikan oleh Nabi dan
agama mereka, tanpa mengulur-ulur, tanpa ragu dan tanpa berkelit.2
Selain kewajiban menjalankan Islam dengan kaffah, seorang Muslim juga wajib meyakini
bahwa ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW telah lengkap sempurna,
1 Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir (Bogor: Pustaka Imam SyafiI, 2004), dalam edisi terjemahan oleh
M Abd Ghofar EM, jilid 1, hal. 405
2 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran (Jakarta: Rabbani Press, 2005), dalam edisi terjemahan oleh
Aunur Rofiq Shaleh Tamhid, Jilid 1, hal.622-623

ajarannya universal mencakup semua sisi kehidupan manusia (syaamil). Sebagaimana firman
Allah SWT.













Artinya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (QS Al-Maidah: 3)
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ini merupakan nikmat Allah terbesar yang diberikan
kepada umat ini, tatkala Allah menyempurnakan agama mereka, sehingga mereka tidak
memerlukan agama yang lain, dan tidak pula Nabi lain selain Nabi mereka, yaitu Muhammad
SAW. Oleh karena itu, Allah ta'ala menjadikan beliau sebagai penutup para Nabi dan
mengutusnya kepada seluruh manusia dan jin. Sehingga, tidak ada yang halal kecuali yang
beliau halalkan, tidak ada yang haram, kecuali yang beliau haramkan, dan tidak ada agama
kecuali yang disyari'atkannya. Maka ridhailah Islam untuk diri kalian, karena ia merupakan
agama yang dicintai dan diridhai Allah Ta'ala.3
Terkait ayat ini, Sayyid Quthub juga menjelaskan bahwa di dalam risalah ini
(maksudnya adalah Islam) dijelaskan secara rinci syariat yang mengatur kehidupan manusia
dari semua sisinya, dan dalam semua aspek kegiatannya. Syariat yang merumuskan prinsipprinsip umum dan kaidah-kaidah dasar menyangkut hal-hal yang berkembang dan berubah
sesuai perubahan zaman dan tempat. Demikian pula syariat ini dengan prinsip-prinsipnya
yang umum dan hukum-hukumnya yang terperinci, meliputi semua yang diperlukan oleh
kehidupan manusia semenjak risalah tersebut lahir hingga akhir zaman, berupa berbagai
aturan, pengarahan, syariat dan tatanan, agar bisa berjalan terus, tumbuh, berkembang dan
aktual, di seputar poros ini dan di dalam kerangka ini.4
Terkait syumuliyatul Islam Yusuf Qardhawi juga menjelaskan bahwa Islam meliputi
seluruh sisi kehidupan manusia, dengan syariat dan petunjuknya, yang secara vertikal dimulai
semenjak dia dilahirkan hingga meninggal, bahkan sebelum dia dilahirkan dan setelah dia
meninggal. Sebab disana ada hukum-hukum yang berkaitan dengan janin dan hukum-hukum
yang berkaitan dengan manusia setelah meninggal dunia. Adapun secara horizontal, Islam

3 Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, jilid 3, hal. 18 (diringkas oleh penulis)
4 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran, jilid 3, hal. 515

menunjuki orang Muslim dalam kehidupan individualnya, keluarga, sosial dan politiknya,
dari adab istinja hingga penerapan hukum serta hubungan antara perdamaian dan perang.5
Dari konsep kaffah dan syaamil di atas, penulis berkesimpulan bahwa Islam sebagaimana
mengatur tata cara peribadatan, ia juga mengatur pengelolaan Negara. Sebagaimana banyak
disampaikan oleh orang-orang bahwa Islam adalah agama kasih sayang, akhlak dan
perdamaian, maka perlu juga penulis sampaikan bahwa Islam adalah agama politik, karena di
dalam Islam terdapat petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan politik yang harus diikuti oleh
setiap muslim, bahkan jika kita melihat kepada sejarah Islam masa lalu dapat disimpulkan
juga bahwa dakwah Islam dapat berdiri kokoh, tersebar luas serta diterima oleh banyak
manusia, salah satunya adalah karena faktor politik.
Berdasarkan penjelasan di atas, demi mendukung kesimpulan awal penulis, maka penulis
tertarik untuk membuat makalah Islam Agama Politik yang nantinya akan menjelaskan
hubungan Islam dan politik, petunjuk-petunjuk al-Quran, Sunnah dan ulama dalam bidang
politik, aktivitas politik Nabi SAW dan para khalifah, dan kajian politik Islam terkait Negara,
kepemimpinan dan demokrasi.
B. Islam dan Politik
1. Pengertian Politik dan Siyasah
Perkataan politik sekarang sudah menjadi bahasa internasional, dikenal oleh hampir
segenap manusia yang terdiri dari berbagai bangsa dan mempunyai bermacam-macam
bahasa. Perkataan itu sudah masuk di dalam bahasa berbagai bangsa, diucapkan, dipakai
dalam pergaulan sehari-hari dan diakui oleh masing-masing bangsa bahwa perkataan
politik sudah menjadi bahasa nasionalnya. Missal, polity, policy atau politics di dalam
bahasa Inggris, politique dalam bahasa Prancis, dan politiek dalam bahasa Belanda.6
Adapun asal-usul perkataan "politik" berasal dari bahasa Yunani "politikos" atau bahasa
Latin "politica". Asal katanya adalah "polis", berarti "negara kota." Filosof-filosof
Yunani mulai mempergunakan kata itu di dalam karangan-karangan yang mereka
tinggalkan. Misalnya Plato (427-347 SM) meninggalkan sebuah naskah yang
dinamakannya "politeia", dan Aristoteles (384-322 SM), meninggalkan naskah

5 Yusuf Qardhawy, Fiqh Daulah dalam Perspektif Al-Quran dan Sunnah (Jakarta: Pustaka AlKautsar, 1997), dalam edisi terjemahan oleh Kathur Suhardi, hal. 35
6 Zainal Abidin Ahmad, Ilmu Politik Islam (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, ), hal. 18

"politica". Naskah-naskah inilah yang dipandang oleh Sarjana Barat sebagai buku-buku
yang pertama merintis jalan di lapangan ilmu pengetahuan politik.7
Bangsa Yunani purbakala mengatakan bahwa politik ialah kecakapan bernegara. J
Kramer menegaskan bahwa politik sama dengan staat kunde, yaitu jawaban atas
pertanyaan bagaimana mestinya negara diperintah, diusahakan secara ilmu pengetahuan
dan secara kepandaian. Sedangkan Benedote Croce berpendapat politik sama artinya
dengan negara, ialah menyelesaikan segala soal-soal tentang perasaan, adat, kebiasaan
dan undang-undang yang mengatur akan tindakan-tindakan manusia, tegasnya segala
badan yang fundamental dan undang-undang yang konstitusional.8 Definisi-definisi ini
melihat politik melalui dimensi Negara.
Disamping melalui dimensi Negara, pengertian politik juga bisa dilihat dari dimensi
pengambilan keputusan, sebagaimana dijelaskan Joyce Mitchel bahwa politik adalah
pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan umum yang ditujukan kepada
seluruh masyarakat. Sedang menurut Karl W Deutch, politik adalah pengambilan
keputusan melalui sarana publik. Sehingga kekuatan (seharusnya) bukan menjadi tujuan
dari politik melainkan alat untuk memulihkan dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat secara keseluruhan.9
Dari pengertian-pengertian di atas, maka dapat penulis simpulkan bahwa politik
adalah sesuatu yang berkaitan dengan Negara, pengambilan keputusan dan pembuatan
kebijakan umum dengan dasar ilmu pengetahuan dan kepandaian untuk mengatur
anggota masyarakat.
Selain dari sudut dimensi Negara dan pengambilan keputusan, pengertian politik yang
lain juga bisa dilihat dari dimensi pelaksanaan, sebagaimana yang diungkapkan oleh
Macchiaveli. Macchiaveli membagi politik kepada 5 macam:10
a. Politik berarti kekuatan. Masing-masing pihak menunjukkan kekuatannya.
b. Politik berarti balas-membalas. Kalau satu pihak menyerang dengan kata-kata
pedas atau tindakan keras, mestilah dibalas dengan pedas atau keras pula.
7 Zainal Abidin Ahmad, Ilmu Politik Islam, hal. 20
8 Zainal Abidin Ahmad, Ilmu Politik Islam, hal. 47
9 Amin Sudarsono, Ijtihad Membangun Basis Gerakan (Jakarta: Muda Cendekia, 2010), hal. 59
10 Zainal Abidin Ahmad, Ilmu Politik Islam, hal. 89-90

c. Politik berarti bahwa kebingungan adalah kemenangan pihak lawan. Semakin


hebat kebingungan satu pihak, bertambah beratlah kekalahannya.
d. Politik berarti memakai topeng. Kalau satu pihak memakai topeng menjalankan
maksudnya, maka pihak lain harus lebih cerdik mempergunakan topeng untuk
menangkis maksud lawannya itu.
e. Politik berarti mencari kelemahan lawan. Kalau satu pihak dapat mengetahui
tempat kelemahan lawannya, berarti dia sudah mencapai setengah kemenangan.
Untuk kemenangan setengahnya lagi sehingga menjadi kemenangan penuh,
bergantung kepada kecakapannya mengatur segala taktik dan strategi untuk
menggulingkan lawannya dari tempatnya yang lemah itu.
Di dalam Islam, kata yang berkesesuaian dengan pengertian politik di atas adalah assiyasah. Siyasah syar'iyah dapat dikatakan sebagai kebijakan syariah, yaitu sebuah
doktrin Islam yang memberi kekuasaan kepada penguasa atau pemerintah untuk
menentukan bagaimana syari'ah diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Ibnul Qoyyim mengatakan bahwa kebijakan apapun yang membawa orang
lebih dekat kepada shalah (kebaikan dan kecocokan dalam hidup) dan menjauhkan orang
dari fasad (semua yang merusak) telah melakukan siyasah (kebijakan) yang adil,
sekalipun tidak ditentukan oleh Nabi SAW atau tidak diatur oleh wahyu. sungguhpun
demikian, siyasah syar'iyyah sebenarnya harus dilakukan tanpa bertentangan dengan
prinsip-prinsip syari'ah.11
Syekh Mohd Bakhiet, berkata bahwa siyasah adalah peraturan-peraturan yang dibuat
untuk memlihara adab dan akhlaq (etik dan moral), memelihara kepentingan umum dan
menetapkan dasar-dasar keamanan. Abul Baqai di dalam kulliyatnya mengatakan siyasah
adalah memberikan perbaikan kepada rakyat dengan jalan memimpin mereka kepada
jalan kemenangan dan keberuntungan di dunia dan akhirat.12
Disimpulkan oleh Muhammad Hashim Kamali, kebijakan syariah dalam pengertian
luas meliputi perlindungan terhadap lima hal yaitu kehidupan, agama, pikiran, keturunan
dan harta benda, yang juga disebut sebagai maqashid asy-syari'ah (maksud-maksud
syari'ah).13
11 Rifyal Ka'bah, Politik dan Hukum dalam Al-Qur'an (Jakarta: Khairul Bayan, 2005), hal. 111
12 Zainal Abidin Ahmad, Ilmu Politik Islam, hal. 50
13 Rifyal Ka'bah, Politik dan Hukum dalam Al-Qur'an, hal. 112

Dari berbagai pengertian politik dan siyasah yang sudah penulis sampaikan di atas,
dapat dilihat bahwa politik dalam pengertian barat juga dilakukan di dalam Islam dengan
bentuk siyasah.
Namun terdapat perbedaan antara politik barat dengan siyasah, yaitu jika dilihat dari
sumber dan tujuan pelaksanaannya. Politik barat dibangun berdasarkan teori-teori yang
diciptakan oleh manusia dan tujuan pelaksanaanya-pun terbatas kepada manusia dalam
kehidupannya di dunia. Sedangkan siyasah dibangun berdasarkan petunjuk Ilahiah yang
tercatat dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul SAW. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh
Syaikh Mahmud Syaltut sebagai berikut.14
Dasar-dasar Islam bukanlah teori manusia. Adapun Islam, sebagai agama samawi
yang umum serta datang untuk menetapkan kebaikan-kebaikan bagi manusia di segala
liku-liku hidup dengan ketetapan-ketetapan Tuhan yang bersifat umum dan dasardasar umum yang menjadi landasan bagi segala peraturan-peraturan yang penting,
maka agama seperti itu tidak mungkin terdapat di dalam dasar-dasar umumnya "teori
manusia", sebab kaidah-kaidah umum di dalam Islam, baik mengenai ibadat dan
muamalah (pergaulan hidup)maupun mengenai soal-soal perdamaian dan perang serta
masalah-masalah politik dan perundang-undangan, diciptakan oleh Allah SWT Yang
Maha Pencipta. Sedangkan peranan para ulama hanyalah dalam memahami nash-nash
dan kaidah-kaidah umum itu. serta mengambil hukum furu' (cabang) dan hukumhukum khusus mengenai hal-hal yang timbul kemudian. Dasar-dasar politik bagi
Islam adalah dasar-dasar yang dibicarakan oleh pokok-pokok Islam yang dapat
diketahui di dalam Al-Qur'an dan hadist shahih dan dengan mengambil petunjuk
dalam hal ini dari pelaksanaan yang dipraktekkan Rasulullah SAW dan para khulafa
ar-rasyidin sesudah beliau.
2. Petunjuk-petunjuk Politik/Siyasah Di Dalam Al-Quran Dan As-Sunnah
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa siyasah bersumber dari sumber-sumber
pokok ajaran Islam, yakni Al-Quran dan As-Sunnah. Berikut adalah beberapa petunjuk
siyasah berdasar Al-Quran dan As-Sunnah yang dihimpun oleh A. Djazuli di dalam
bukunya Fiqh Siyasah.15
a. Dasar Al-Qur'anul Karim
1) Kemestian mewujudkan persatuan dan kesatuan umat, sebagaimana tertuan
dalam Al-Qur'an.
14 Mahmud Syaltut, Tuntunan Islam (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1974), dalam edisi terjemahan
oleh Bustani A Gani dan Chatibul Umam, Jilid V, Hal 178-179
15 A. Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Ummat Dalam Rambu-Rambu Syari'ah
(Jakarta: Prenada Media, 2003), hal. 4-14. diringkas oleh penulis










Artinya: Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua,
agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku. (QS
Al Mukminun: 52)






Artinya: dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu
menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. (QS Al Anfal: 46)
2) Kemestian bermusyawarah dalam menyelesaikan dan menyelenggarakan
masalah ijtihadiyah.



Artinya: "Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu." (QS 'Ali
Imran: 105)
(dalam perkataan "urusan", tercakup urusan ekonomi, politik, sosial, budaya
dan sebagainya)
3) Kemestian menunaikan amanat dan menetapkan hukum secara adil,
sebagaimana tertuang dalam Al-Qur'an.

Artinya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada


yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah
Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS An Nisaa: 58)
4) Kemestian mentaati Allah dan Rasul, dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan).

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. (QS An Nisaa: 59)
b. Dasar As-Sunnah
1) Keharusan mengangkat pemimpin.








Jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang
di antara mereka menjadi pemimpinnya. (HR Abu Dawud dari Abu Hurairah).
2) Kemestian pemimpin bertanggungjawab atas kepemimpinannya.
Abdullah bin umar r.a berkata : Rasulullah SAW bersabda : Kalian semuanya
pemimpin (pemelihara) dan bertannggungjawab terhadap rakyatnya. Seorang
Amir (raja) memelihara rakyat dan akan ditanya tentang pemeliharaannya.
Seorang suami memimpin keluarganya dan akan ditanya tentang pimpinannya.
Seorang Ibu memimpin rumah suaminya, dan anak-anaknya dan akan ditanya
tentang pimpinannya. Seorang hamba (buruh) memelihara harta milik
majikannya dan akan ditanya tentang pemeliharaannya. (HR. Bukhari dan
Muslim)
3) Kemestian menjadikan kecintaan dalam persaudaraan sebagai dasar hubungan
antara pemimpin dengan pengikut.
dari Auf bin Malik, bahwa Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:










Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka mencintai kalian dan kalian
mencintai mereka, mereka mendoakan kalian dan kalian mendoakan mereka. Dan
sejelek-jelek pemimpin kalian adalah mereka yang membenci kalian dan kalian
membenci mereka, mereka mengutuk kalian dan kalian mengutuk mereka.
Beliau ditanya, Wahai Rasulullah, tidakkah kita memerangi mereka? maka

beliau bersabda: Tidak, selagi mereka mendirikan shalat bersama kalian. Jika
kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang tidak baik maka bencilah
tindakannya, dan janganlah kalian melepas dari ketaatan kepada mereka. (HR
Muslim)
4) Kemestian pemimpin berfungsi sebagai perisai, tidak hanya berfungsi sebagai
alat menyerang, tetapi juga berfungsi sebagai alat berlindung.










Artinya: Sesungguhnya Imam (pemimpin) itu adalah perisai. Umat akan
diperangi dari belakangnya dan akan dijaga olehnya. Jika ia memerintahkan
taqwa kepada Allah dan berbuat adil maka ia akan akan mendapatkan pahala
(yang sangat besar). Namun jika memerintahkan selain itu maka ia akan
mendapat dosa karenanya. (HR.Muslim)
5) Kemestian pemimpin untuk berlaku adil dan dengan itu kemuliaannya tidak
hanya dihormati manusia dalam kehidupan dunia, tetapi juga dihormati Allah
dalam kehidupan akhirat.




:


:








Artinya: Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dari Nabi Shallallahu alaihi
wa sallam, Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Tujuh golongan yang
dinaungi Allh dalam naungan-Nya pada hari dimana tidak ada naungan kecuali
naungan-Nya: (1) Imam (pemimpin) yang adil. (HR Bukhari dan Muslim)
Selain al-hadits di atas, terdapat As-Sunnah yang berhubungan dengan perencanaan,
pelaksanaan dan penilaian siyasah syar'iyyah. Misalnya, upaya Rasulullah SAW
mempersatukan golongan Muhajirin dan Anshar, melakukan perjanjian dengan kelompok
non muslim, melakukan kontak bersenjata dengan kelompok musyrikin, dan sebagainya.

3. Pro-kontra Islam dan Politik


Penjelasan singkat tentang pro-kontra Islam dan politik sebagaimana disampaikan
Bahtiar Efendi bahwa soal pertautan antara Islam dan Politik, meskipun kalau dirunut
sejak awal munculnya Islam, tentu jenis-jenis pemikiran tentang Islam dan politik akan
sedemikian banyak dan beragam. Tetapi pada dasarnya orang akan mengelompokkan
ragam pemikiran tersebut di dalam tiga pandangan besar- (1) pemikiran yang
mengatakan bahwa antara Islam dan politik tidak bisa dipisahkan; (2) gagasan yang
melihat Islam dan politik sebagai dua entitas yang terpisah, dan karenanya harus
dipisahkan; dan (3) pandangan yang percaya bahwa Islam dan politik merupakan dua
persoalan berbeda, meskipun kaitan-kaitan yang bersifat substansial akan selalu ada.
Yang pertama muncul dari pandangan dasar bahwa Islam mencakup segala sesuatu,
termasuk persoalan negara dan politik, "Inna al-Islam diin wa dawlah" merupakan salah
satu jargon terpenting dari mazhab pemikiran seperti ini. Dalam pandangan aliran ini,
Islam merupakan tatanan dan panduan nilai sempurna- dan karenanya memiliki sistem
dan teori tentang politik, ekonomi, negara dan sebagainya. Karena kepercayaan teguh
bahwa antara Islam dan politik harus disatukan, banyak orang memberi penilaian
terhadap kelompok ini sebagai penganut mazhab teokratis. Hal ini tidak harus dipahami
semata-mata dalam konteks dimana para pemimpin agama (ulama) harus memimpin
negara, tetapi juga bisa dalam perspektif Al-Qur'an dan Sunnah sebagai hukum dan
undang-undang negara.
Kelompok kedua merupakan kelompok sebaliknya. Mereka ercaya bahwa Islam dan
politik harus dipisahkan. Dan tidak mungkin antara keduanya disatukan. Bagi mereka,
Islam adlah sistem keagamaan, dan tidak mengatur hal-hal yang berkaitan dengan politik
atau pemerintahan. Islam tidak mempunyai sistem politik, dan apa yang dilakukan Nabi
SAW pada masanya tidak bisa disebut sebagai pengalaman pemerintahan Islam
klasik.Kelompok ini sering disebut kalangan sekuleris, yang ingin memisahkan antara
agama dan politik. Kegagalan dunia Islam di dalam membangun sistem politik modern,
termasuk yang bertumpu pada demokrasi, diakibatkan oleh ketakmampuan melihat dan
memperlakukan agama dan politik sebagai dua entitas yang berbeda dan terpisah. Dalam
sejarah Islam, pandangan seperti ini sering diasosiasikan dengan praktik politik
Ataturkisme atau Kemalisme di Turki. Atau sering juga dirujukan kepada pemikiranpemikiran Ali bin Abd Raziq, pemikir Mesir pada pertengahan dasawarsa 1920-an.

Jenis pemikiran ketiga sebenarnya bisa dibilang pikiran tengah-tengah, yang


mengakomodir satu elemen dari mazhab pemikiran yang pertama (teokrasi), dan elemen
yang lain dari aliran pemikiran kelompok kedua (sekuler). Seperti disebutkan, mereka
percaya bahwa politik dan agama merupakan persoalan yang berbeda. Tetapi, antara
keduanya tidak mesti harus digabungkan atau dipisahkan. Secara legal formal dan
simbolik barangali kaitan antara Islam dan politik tidak selamanya bisa diterima.
Meskipun demikian, secara substansial keduanya sulit untuk dipisahkan. Menjadi
sekuler, dalam pengertian sebenarnya bukan perkara gampang-kalau tidak bisa sama
sekali. Selalu saja terdapat nilai-nilai yang akan mempengaruhi kehidupan sosial budaya,
ekonomi, dan politik kita. Termasuk dalam hal ini adalah nilai-nilai agama. 16
Dalam menyikapi perbedaan di antara kelompok ini, penulis mengambil sikap
sependapat dengan kelompok yang pertama bahwa Islam dan politik tidak bisa
dipisahkan dan menolak pendapat kelompok kedua. Hal yang mendasari hal tersebut
bersumber dari konsep kaffah dan syamil yang sudah penulis sampaikan di atas.
Yusuf Al-Qardhawi menyebutkan bahwa Islam yang disebutkan di dalam Al-Quran
dan Sunnah, yang dikenal ulama salaf maupun khalaf adalah Islam yang saling
melengkapi dan utuh tidak menerima pemilahan, yaitu Islam yang bermuatan rohani,
akhlak, pemikiran, pendidikan, jihad, social, ekonomi, dan politik. Semua sector
tercakup di dalamnya, karena Islam mempunyai tujuan dalam semua sector itu, yang juga
menyertainya dengan hukum dan petunjuk.17
Hasan al-Banna, yang juga merupakan salah seorang guru Yusuf Qardhawi
menjelaskan bahwa Islam adalah akidah dan ibadah, Negara dan kebangsaan, keluwesan
dan kekuatan, akhlak dan materi, peradaban dan undang-undang. Dengan status
keIslamannya, setipa orang muslim dituntut untuk membantu setiap urusan umat. Siapa
yang meremehkan urusan orang muslim, maka dia tidak termasuk golongan orang-orang
muslim. Kami yakin orang-orang salaf yang telah mendahului kita memahami Islam
seperti pemahaman ini. Dengan pemahaman seperti ini mereka menetapkan hukum, demi
Islam mereka berjihad, di atas landasannya mereka bermuamalah, dalam batasanbatasannya mereka menyusuri setiap urusan kehidupan yang praktis sebelum menyusuri
16 Bahtiar Efendi, Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi dan Negara Yang Tidak
Mudah (Jakarta: Ushul Press, 2005), hal. 7-8
17 Yusuf Qardhawy, Fiqh Daulah dalam Perspektif Al-Quran dan Sunnah, hal. 36

urusan akhirat dan rohani. Semoga Allah merahmati khalifah pertama, Abu Bakar AshShiddiq yang berkata, Seandainya aku kehilangan seutas tali unta, tentu bisa aku
mendapatkan hukumnya di dalam Kitab Allah.18
Dan penjelasan yang disampaikan oleh Syaikh Mahmud Syaltut, yang juga sudah
penulis sampaikan di atas bahwa dasar-dasar politik bagi Islam adalah dasar-dasar yang
dibicarakan oleh pokok-pokok Islam yang dapat diketahui di dalam Al-Qur'an dan hadist
shahih dan dengan mengambil petunjuk dalam hal ini dari pelaksanaan yang
dipraktekkan Rasulullah SAW dan para khulafa ar-rasyidin sesudah beliau.
Bahkan pandangan Islam dan politik adalah satu kesatuan, tidak bisa dipisahkan, juga
diaminkan oleh beberapa orientalis. Fitzgerald berkata Islam bukan hanya sekedar
agama (a religion), tetapi ia merupakan tatanan politik (a political system). Sekalipun
pada decade belakang ini muncul beberapa orang Islam yang biasa disebut modernis,
berusaha memisahkan dua sisi ini tetapi semua pemikiran Islam telah membangun suatu
landasan bahwa dua sisi ini saling bertautan, yang satu tidak mungkin dipisahkan dari
yang lain. R Strothman berkata Islam adalah fenomena agama yang berwawasan
politik. Sebab pendirinya adalah seorang Nabi dan sekaligus seorang politikus yang
bijak, atau disebut pula seorang negarawan.19
Jadi, Islam dan politik tidak bisa dipisahkan. Al-Quran dan As-Sunnah sudah
memberikan kaidah-kaidah umum dalam setiap persoalan yang penting, termasuk politik.
Kaidah-kaidah umum tersebut dijelaskan oleh para ulama untuk mengambil hukum furu'
(cabang) dan hukum-hukum khusus mengenai hal-hal yang timbul kemudian.
Adapun terkait kelompok ketiga, penulis merasa pendapat tersebut agak
membingungkan dan tidak jelas. Konsep kaffah dan syamil tidak bisa diterapkan dalam
pemahaman sekuler, begitupun sebaliknya tidak dapat dikatakan sekuler jika sudah
mengaitkan agama dan politik, meskipun dalam hal yang sepele.

18 Hasan al-Banna, Majmuatur Rasail: Kumpulan Risalah Dakwah Hasan al-Banna (Jakarta: Al
Itishom, 2012), dalam edisi terjemahan oleh Asep Sobari, hal. 253-254 (di dalam pembahasan
Risalah Para Pelajar al-Ikhwan al-Muslimun)
19 Yusuf Qardhawy, Fiqh Daulah dalam Perspektif Al-Quran dan Sunnah, hal. 40

C. Konsep Negara dan Kepemimpinan Dalam Islam


1. Konsep Negara Islam
Mac Iver di dalam suatu pasal di dalam bukunya yang berjudul "Timbulnya Negara"
(The Emergence Of The State), dia mengatakan bahwa untuk mencari asal-usul negara
yang sebenarnya adalah sukar, tetapi suatu kepastian bahwa negara adalah tumbuh di
dalam masyarakat, sedangkan sumber asli dari semua masyarakat ialah keluarga. Dengan
membuka sejarah lama dari pertumbuhan masyaraka hidup manusia sejak zaman
primitif, Mac Iver menceritakan tentang perkembangan keluarga (famili) meningkat
menjadi suku (clan) yang dinamakannya integral union, lalu suku-suku itu berkumpul
membentuk kabilah (tribe), yang berkembang menjadi persatuan kepala-kepala kabilah
(council of chiefs) yang dinamakannya federal union. Dari sinilah timbulnya negara
"state" yang kita kenal pada masa sekarang. Dengan mengemukakan pendapat ini,
dapatlah memudahkan kepada setiap orang tentang politik dan negara. Masing-masing
mereka merasakan bahwa negara sudah hidup di dalam jiwanya, karena dia memerlukan
rumah tangga yang menjadi asal dari adanya negara.20
Terdapat beberapa kata di dalam Islam yang pengertiannya berkesesuaian dengan
tema Negara dan kepemimpinan, diantaranya adalah khilafah, imamah, hukumah,
sulthanah dan dawlah.
Perkataan yang paling populer sekali ialah khilafah. Selain terdapat di dalam AlQur'an, perkataan itu muncul dengan hebatnya pada waktu meninggalnya Nabi
Muhammad SAW untuk mencari siapa yang mengganti Nabi buat memegang pimpinan
umat Islam. Jabatan pengganti Nabi itu dinamakan khalifah, sebagai kepala negara.
Empat orang sahabat Nabi yang memegang jabatan itu silih berganti dinamakan
khulafaur rasyidin, dan kemudian, segala semua kepala-kepala negara yang muncul
bergantian sesudah itu, tetap dinamakan khalifah. Sehingga segala persoalan yang timbul
mengenai kenegaraan dan politik umumnya, dipusatkan kepada perkataan khilafah itu.
Istilah ini senantiasa dipergunakan di dalam buku-buku politik dan pembahasan politik
sampai di zaman perkembangan ilmu pengetahuan di zaman bani Abbasiyah yang
pertama. Tetapi kemudian, perkataan itu kembali kepada tempatnya semula, ialah khusus
mengenai pimpinan negara, tidak lagi meliputi soal-soal politik lainnya

20 Zainal Abidin Ahmad, Ilmu Politik Islam, hal. 107-109. (diringkas oleh penulis)

Berikutnya adalah Imamah, yang arti aslinya ialah pemerintahan. Mula pertama
pemakaiannya ialah panggilan kehormatan kepada khalifah Umar bin Khattab, yaitu
Amirul Mukminin. Gelar itu hanya muncul satu kali saja, yaitu kepada Umar bin Khattab.
Perkataan Imam akhirnya berkembang di kalangan pengikut-pengikut syi'ah yang
menjunjung Sayidina Ali bin Abi Thalib dan semua keturunannya yang mereka pandang
paling berhak untuk menduduki kursi kepala negara. Bahkan ada diantara mazhab syi'ah
itu menamakan golongannya imamiyah.
Lalu ada kata Sulthanah yang arti aslinya sama dengan kata-kata di atas, yaitu
pimpinan negara. Pejabat kepala negara disebut sulthan. Perkataan ini berkembang di
zaman Abbasiyah setelah pimpinan negara berubah sifat menjadi Raja, berketurunan,
yang dinamakan monarchy. Maka terpakailah panggilan Sulthan Harun Ar Rasyid,
Sulthan Shalahuddin al Ayyubi dan lainnya.
Terdapat pula perkataan dawlah, yang artinya Negara, disamping itu perkataan
hukumah yang artinya pemerintahan. Kedua perkataan itu memang aslinya diperoleh di
dalam kitab Al Qur'an, dan pernah pula dipopulerkan di dalam pembahasan politik, tetapi
selalu dihubungkan kepada suatu negara atau pemerintahan tertentu. Misalnya Dawlah
Abbasiyah, Hukumah Harun Ar Rasyid dan seterusnya.21
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam Islam terdapat
beragam corak Negara yang pernah dipraktekkan sepanjang sejarah kaum Muslimin.
Dikursus tentang Islam dan Negara, di kalangan pemikir Islam terdapat pro kontra.
Ada yang tegas menolak konsep Negara Islam, mereka berpendapat bahwa Islam Nabi
tidak membangun Negara dan Islam tidak menentukan system pemerintahan definitive
dan seorang individu tidak memerlukan Negara untuk menjadi seorang muslim.
Disamping itu ada juga yang menyerukan agar umat Islam menegakkan khilafah,
membentuk sebuah daulah Islam berdasarkan petunjuk Al-Quran dan Sunnah.
Salah satu pemikir Islam modern yang menolak khiulafah adalah Muhammad Iqbal.
Bagi Iqbal, tidak ada pemisahan antara spiritual dan materiil, agama dan negara.
Keberadaan agama adalah untuk mengembangkan kedua aspek tersebut dan
menyelaraskannya dengan keinginan Tuhan. Negara harus mampu menajbarkan prinsipprinsip tauhid yang mengacu pada persamaan, kesetiakawanan, dan kebebasan. Negara
merupakan usaha untuk mentransformasikan prinsip-prinsip tersebut ke dalam kekuatan
21 Zainal Abidin Ahmad, Ilmu Politik Islam, hal. 41-42. (diringkas oleh penulis)

ruang dan waktu. Dalam negara Islam semua anggotanya mempunyai kedudukan yang
sama. Tidak ada dominasi satu kelompok atas kelompok yang lain. Tiang utama negara
adalah doktrin tauhid dan kenabian Muhammad SAW. Tauhid memelihara kesatuan
religio-politik umat Islam. Komunitas umat Islam ada justru untuk menerjemahkan
prinsip-prinsip tauhid ini ke dalam realitas. Islam sebagai masyarakat politik, hanyalah
suatu alat untuk menjadikan prinsip tauhid ini sebagai faktor yang hidup dalam
kehidupan intelektual dan emosional manusia. Tauhid hanya menuntut ketaatan mutlak
kepada Allah, bukan kepada raja.
Terkait pandangannya tentang khilafah, Iqbal menjelaskan bahwa ide khilafah
universal yang pernah menjadikan umat Islam sebagai kekuatan raksasa dunia ternyata
telah berhenti secara operatif dan tidak berfungsi lagi dalam menyatukan kekuatan Islam.
Khilafah telah berubah menjadi kerajaan yang absolut dan tidak bisa dijadikan faktor
dinamis dalam organisasi Islam modern, bahkan menjadi penghambat persatuan dan
penyatuan negara-negara Islam.
Berdasarkan kegagalan khilafah dan penghapusannya oleh Kemal Ataturk, Iqbal
merumuskan bahwa untuk menciptakan kekuatan Islam universal, terlebih dahulu
bangsa-bangsa muslim harus melepaskan diri dari penjajahan barat. Mereka harus
memperkuat posisinya. Setelah itu barulah bangsa-bangsa muslim tersebut membentuk
persatuan dan kesatuandalam keluarga besar republik-republik. Jadi mereka tak perlu
meleburkan diri menjadi satu bangsa besar yang menghiolangkan batas-batas teritorial.22
Dari penjelasan di atas, Iqbal menyatakan bahwa Islam dan Negara tidak bisa
dipisahkan, hanya saja umat muslim tidak wajib untuk menegakkan khilafah Islam. Yang
harus dilakukan oleh umat Islam adalah memerdekakan negaranya, lalu membuat
persatuan Negara-negara Islam, tanpa harus melebur menjadi satu Negara besar.
Selain itu pemikir Islam lain yang menolak konsep Negara Islam adalah Ali Abdur
Raziq seorang hakim syari'ah lulusan Al-Azhar. Tesis utamanya adalah.23
a. Bahwa Nabi tidak membangun Negara dan otoritasnya murni bersifat spiritual

22 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer (Jakarta, Kencana, 2010), hal. 103-106
23Abdelwahab El-Affendi, Masyarakat Tak Bernegara (Yogyakarta: LKiS, 1994), dalam edisi
terjemahan oleh Amiruddin Ar-Rani, hal. 45-46

b. Bahwa Islam tidak menentukan sistem pemerintahan yang definitif. Karena itu
umat Islam bebas memilih bentuk pemerintahan apapun yang mereka rasakan
cocok.
c. Bahwa tipe-tipe pemerintahan yang dibentuk setelah wafatnya Nadi tidak
memiliki dasar dalam doktrin Islam. Sistem itu semata-mata diadopsi oleh orangorang Arab dan dinaikkan derajatnya dengan istilah khilafah untuk memberi
legitimasi religius.
d. Bahwa sistem ini telah menjadi sumber tipuan bagi sebagian besar persoalan
dunia Islam, karena ia digunakan untuk melegitimasi tirani dan menimbulkan
dekadensi umat Islam.
Abdelwahab El-Affendi- filosof asal Sudan- berdasarkan pandangan Raziq serta
penolakannya terhadap konsep Negara Islam yang dikemukakan oleh pemikir modern
(Maududi, Sayyid Quthb, Ghanousi) juga berkesimpulan bahwa konsep negara Islam
harus ditinggalkan sama sekali. Bila kita mau berbicara tentang wacana politik Islam,
kita harus berbicara tentang sebuah negara untuk umat Islam atau komunitas politik
Islam. Kita juga harus meninggalkan ilusi tentang millenium yang dijanjikan oleh
pembaharu negara utopia, yang menghadirkan orang saleh dan suci secara ajaib untuk
mengembalikan zaman keemasan harapan milenial itu kepada gerakan-gerakan yang
baru saja muncul dan mengharapkan akses kekuasaan mereka akan dengan sendirinya
mendatangkan era keadilan ilahiah dan pemerintahan yang bersih. Hikmah telah
mengajarkan, kita harus pesimis tehadap kualitas para penguasa, sebagaimana telah kita
ketahui dari pengalaman. Institusi-institusi masyarakat politik Islam dan konstitusi yang
dirancang untuk mengaturnya, harus didasarkan pada perkiraan paling pahit.
Kesalahan utama pemikiran politik Islam kontemporer terletak pada asumsi bahwa
Negara yang berdasarkan prinsip-prinsip Islam tidak lain adalah negara yang
memaksakan hidup sesuai dengan Islam. Yang benar, tujuan komunitas politik Islam
adalah memberi kemungkinan kepada umat Islam secara individual untuk hidup sesuai
dengan Islam dan melindungi mereka dari paksaan yang cenderung meruntuhkan
komitmen mereka pada Islam. Semua acuan yang berkenaan dengan syari'ah atau Negara
Islam, baik oleh para pemikir Islam maupun penentangnya, secara aktual hanyalah salah
paham terhadap persoalan tersebut. Syariah hanya mengatur dengan benar bila
masyarakat yang mentaatinya memahami hal-hal ini sebagai tindakan yang
membebaskan, sebagai pemenuhan yang sesungguhnya terhadap nilai diri, nilai moral
masyarakat dan masing-masing individu yang ada didalamnya. Karenanya syari'ah tidak

pernah dipaksakan. Bila ia dipaksakan, maka bukan syari'ah lagi. Bila hanya paksaan
yang menjadi tonggak syari'ah, maka yang muncul adalah sikap munafik.
Harus ditegaskan kembali bahwa seorang individu tidak memerlukan Negara untuk
menjadi seorang muslim. Dia mengIslamkan negara dan dia menciptakannya secara
sukarela untuk mempertinggi keIslaman hidupnya. Bagi umat Islam, tidak memiliki
negara sama sekali, lebih baik ketimbang memiliki negara yang ilegal.24
Alamsjah Ratu Prawiranegara juga mengungkapkan pandangan yang sama bahwa
Suatu pemikiran yang lebih obyektif dapat dikemukakan bahwa agama (Islam) mengajak
menciptakan suatu system kemasyarakatan yang baik, yang konsisten, selaras serasi dan
seimbang, yang mutual conceivable dan non contradictory. Jalan pemikiran mana sejajar
dengan pendapat bahwa Al-Quran memuat tuntunan bagi manusia, dan tidak memuat
hal yang lebih teknis seperti ideology kenegaraan, bentuk dan tipe Negara, dan
sebagainya.25 Meskipun dalam hal kepemimpinan muslim, Alamsjah berpendapat bahwa
kepemimpinan tunggal dalam kalangan umat Islamsebenarnya bukan mustahil. Ajaran
Agama Islam sendiri menuntun pada kepemimpinan di bidang keagamaan, di bidang
kemasyarakatan dan di bidang Negara.26
Sedangkan pemikir Islam yang menyerukan agar umat Islam menegakkan khilafah di
antaranya adalah Rasyid Ridha dan Qardhawi, serta banyak lagi selain mereka, tetapi
pada kesempatan ini penulis hanya menyampaikan pendapat keduanya.
Menurut Rasyid Ridha; Keberadaan khilafah adalah wajib syar'i dan sistem khilafah
baginya bersifat internasional (kekuasaan politik yang mendunia). Artinya, di dunia
Islam hanya boleh ada satu khilfah dengan seorang khalifah. Tidak dibernarkan ada dua
khalifah yang berkuasa. Ia beralasan kepada sabda Nabi SAW "Apabila satu negara
mempunyai dua khalifah, maka bunuhlah salah satu dari keduanya." (HR Muslim)
Dari hadist di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa bila ada khalifah lebih dari satu,
maka bertentangan dengan tujuan pembentukan khilafah untuk mempersatukan umat
Islam sedunia di bawah satu kekuasaan politik. Dengan satu konsep khilafah dan
24 Abdelwahab El-Affendi, Masyarakat Tak Bernegara (Yogyakarta: LKiS, 1994), hal. 89-91.
Penjelasan utuh kesimpulan Abdelwahhab bisa dibaca mulai halaman 41-91 di buku tersebut.
25 Alamsjah Ratu Perwiranegara, Islam Dan Perkembangan Politik Di Indonesia (Jakarta: CV. Haji
Masagung, 1987), hal. 51
26 Alamsjah Ratu Perwiranegara, Islam Dan Perkembangan Politik Di Indonesia, hal. 254

kesatuan umat, Ridha menolak negara kesatuan berdasarkan kebangsaan (nasionalisme)


menurut konsep barat dengan mengesampingkan fanatisme, sebab dalam Islam rasa
kebangsaan bisa tumbuh di atas dasar keagamaan.
Rasyid Ridha telah berusaha keras dalam merumuskan ide-idenya bahwa Islam
merupakan konsep yang utuh dalam lengkap dalam segala sesuatunya. Dalam akhir
pembahasannya Ridha menjelaskan bahwa tujuannya adalah menunjukkan bahwa teori
klasik tentang kekhalifahan telah menatapkan tolok ukur bagi penyelenggaraan
kekhalifahan secara benar.27
Sedangkan Yusuf Qardhawi menjelaskan bahwa Nash Islam tidak datang menegaskan
kewajiban mendirikan daulah bagi Islam. Sejarah Rasulullah dan para sahabat juga tidak
datang sebagai penerapan praktis dari seruan nash. Tetapi tabiat risalah Islam itu sendiri
sudaah memastikan keharusan adanya daulah atau wilayah bagi Islam, agar bisa
mengembangkan akidah, syiar, ajaran, pemahaman, akhlak, keutamaan, tradisi dan
syariat-syariatnya di sana.
Islam membutuhkan daulah yang bertanggungjawab pada setiap zaman. Tetapi ia
lebih jauh membutuhkannya pada zaman sekarang, yang lebih banyak memunculkan
Negara Ideologi.
Daulah Islam adalah daulah yang berbasis akidah dalam pemikiran, daulah yang
didirikan pada landasan akidah dan system, bukan sekedar perangkat proteksi yang
menjaga umat dari agresi dari dalam maupun invasi dari luar. Tetapi tugas daulah yang
paling mendalam dan paling besar adalah mengajari dan mendidik umat berdasarkan
ajaran dan prinsip Islam, menciptakan iklim yang baik, agar akidah Islam, pemikiran dan
ajaran-ajarannya beralih kea lam nyata yang bisa dirasakan , dapat menjadi panutan bagi
setiap orang yang mencari petunjuk, dan menjadi hujjah bagi setiap orang yang sudah
berjalan di atas petunjuk.
Oleh karena itu Allah mensifati orang-orang beriman, tatkala mereka diberi
kedudukan di dunia, atau dengan istilah lain tatkala mereka mengakkan daulah, dengan
berfirman

27 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer (Jakarta, Kencana, 2010), hal. 84





Artinya: (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka
bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat
ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala
urusan. (QS Al Hajj: 41)
Daulah yang berbasis akidah dan pemikiran ini tidak hanya bersifat local, tatapi
merupakan daulah yang memiliki risalah mendunia. Sebab Allah telah menugasi umat
umat Islam untuk menyeru semua manusia kepada petunjuk dan cahaya, melimpahkan
kesaksian atas manusia dan pelopor bagi semua umat. Umat Islam bukan umat yang
berdiri sendiri secara tiba-tiba dan bukan berdiri untuk dirinya sendiri, tetapi umat Islam
dikeluarkan bagis semua manusia, dikeluarkan Allah sebagai umat yang paling baik.
Firman-Nya,






Artinya: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang
adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia (QS Al Baqarah:
143)
Qardhawi juga memberikan kritikannya kepada orang-orang barat yang membiarkan
berdirinya Negara Marxis dan Liberalis. Kritikan beliau: Orang-orang barat bisa
membiarkan berdirinya Negara Marxis. Orang-orang komunis bisa membiarkan
berdirinya Negara Liberalis, tetapi mereka tidak akan membiarkan berdirinya daulah
Islam yang sebenarnya. Setiap kali ada harakah (pergerakan) Islam yang sukses dan
mengkhawatirkan berkembang menjadi sebuah daulah, maka secepat itu semua kekuatan
orang-orng kafir, intenasional maupun local dikerahkan ke sana, lewat cara pengusiran,
embargo bahan makanan, penyiksaan, pembantaian, dan distorsi. Belum selesai dengan
satu cara, disusul dengan cara lain agar harakah itu terjepit dan menderita, tidak lagi
menuntut dan berambisi.28

28 Yusuf Qardhawy, Fiqh Daulah dalam Perspektif Al-Quran dan Sunnah, hal. 29-32. (diringkas
oleh penulis)

Terkait masalah ini, penulis berpendapat bahwa bersatunya umat Islam di dalam satu
pemerintahan yang dipimpin oleh orang yang berjuang menegakkaan syariat Islam
adalah janji yang telah Allah berikan. Sebagaimana firman-Nya.














Artinya: Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu
dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum
mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah
diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka,
sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahkuKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang
(tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.(QS AnNuur: 55)
Ibnu Katsir menjelaskan; Ini adalah janji Allah kepada Rasul-Nya bahwa Dia akan
menjadikan umat ini sebagai khalifah di muka bumi, yaitu menjadi pemimpin umat
manusia dan penguasa mereka. Di tangan merekalah negeri-negeri akan menjadi baik.
Umat manusia tunduk kepada mereka. Dan Dia benar-benar akan merubah (keadaan)
mereka setelah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa, menjadi hakim di
tengah manusia. Allah telah melaksanakan janji ini, segala puji dan karunia hanyalah
milik-Nya. Dlam kitab shahih diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya Allah SWT telah membentangkan bumi kepadaku sehingga aku dapat
melihat belahan timur dan belahan baratnya. Dan sesungguhnya kekuasaan umatku akan
mencapai belahan bumi yang telah dibentangkan kepadaku itu."29
2. Kepemimpinan Dalam Perspektif Islam

29 Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, jilid 6, hal. 77.

Sebelum membahas lebih jauh kepemimpinan dalam perspektif Islam, perlu kiranya
penulis

menyampaikan

konsepsi

pokok

kepemimpinan

dalam

Islam.

Syed

Mahmudunnasir ketika mengungkapkan konsepsi kepemimpinan Islam menyebutkan


bahwa Allah tidak melaksanakan kekuasaan-Nya secara langsung dalam masalahmasalah politik, tetapi mewakilkannya kepada manusia. Sesungguhnya konsep tentang
kekuasaan Allah dan perwakilan kekuasaan pada manusia (kekhalifahan manusia)
terletak pada prinsip bahwa Allah melaksanakan kekuasaan dan wewenang-Nya melalui
perwakilan manusia yang melaksanakannya, dan bahwa harus ada keseragaman perilaku
bagi para penguasa (khalifah) itu, seperti beriman dan siap berbuat kebajikan, sebab
tanpa hal itu, usaha menaati hukum alam yang universal pun tidak mungkin. Kitab suci
al-Quran memerintahkan: Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman
di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh
akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi (QS An-Nuur: 55)30
Dari konsepsi yang dikemukakan oleh Mahmudunnasir di atas, dapat disimpulkan
bahwa kepemimpinan di dalam Islam adalah konsep perwakilan kekuasaan Allah kepada
manusia (khalifah). Jadi, secara hakiki orang yang paling berhak memimpin manusia
adalah dia yang beriman, taat, tunduk patuh kepada Allah dan syariat-Nya, bukan orang
yang ingkar dan bermaksiat kepada-Nya. Karena itu Allah SWT memerintahkan kepada
orang-orang yang beriman untuk tidak menjadikan orang-orang yang ingkar dan
bermaksiat kepada Allah- yakni Yahudi dan Nasrani- sebagai pemimpin. Allah SWT
berfirman.





















Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah
pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka
menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS Al
Maidah: 51)

30 Syed Mahmudunnasir, Islam: Konsepsi dan Sejarahnya (Bandung: Rosdakarya, 1993), dalam
edisi terjemahan oleh Adang Affandi, cet 3, hal. 536-537

Terkait ayat ini, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah Tabaraka wa Ta'ala melarang
hamba-hamba-Nya yang beriman mengangkat orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai
pemimpin mereka, karena mereka itu adalah musuh-musuh Islam dan musuh para
pemeluknya. Selanjutnya Allah Ta'ala memberitahukan bahwa sebagian mereka adalah
pemimpin bagi sebagian lainnya. Dan Setelah itu Allah mengancam dan menjanjikan
siksaan bagi orang yang mengerjakan hal tersebut. Allah SWT berfirman Barangsiapa
diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka.31
Sayyid Quthb di dalam mukaddimah tafsir surat Al-Maidah berkata; Diantara
konsekuensi sebagai umat pewaris semua risalah, pemilik risalah terakhir, pengemban
agama terakhir, pemilik mandate kepemimpinan bagi umat manusia dengan agama
terakhir ini adalah tidak mengangkat menjadi pemimpin orang-orang yang mengingkari
agama ini dan memperlakukan berbagai kewajiban dan syiar agama sebagai bahan olokolokan dan senda gurau. Tetapi hanya menjadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai
pemimpin, dan tidak tunduk kepada kepemimpinan orang-orang yang tidak beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya. Umat ini terbentuk hanya karena aqidahnya, bukan karena
suku bangsa, bukan karena wilayah territorial, dan bukan pula karena warisan-warisan
jahiliyahnya. Ia adalah umat dengan aqidah yang baru, dengan manhaj Rabbani dan
dengan risalah yang terakhir.32
Setelah mengetahui konsepsi pokok kepemimpinan di dalam Islam, apakah syaratsyarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk menjadi seorang pemimpin di dalam
Islaam? Dalam hal ini Said Hawa berkata; tidak semua orang laik untuk menjadi
seorang imam atau khalifah (pemimpin). Karena jabatan ini mempunyai tugas besar dan
sangat penting. Seorang imam harus memiliki sifat-sifat tertentu dan syarat-syrat tertentu
pula. Antara lain:33
a. Islam. Syarat pertama seorang imam ialah dia harus seorang muslim karena
tugas khalifah adalah menegakkan diin Islam dan mengarahkan politik
kenegaraannya secara Islami.
31 Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, jilid 3, hal. 106
32 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran, jilid 3, hal. 484
33 Said Hawa, Al-Islam (Jakarta: Al Itishom, 2002), dalam edisi terjemahan oleh Fakhrudin Nur
Syam dan Muhil Dhofir, Jilid 2, hal. 75-78. (diringkas oleh penulis)

b. Laki-laki. Imam disyaratkan harus seorang laki-laki. Karena karakter wanita


tidak patut menjadi kepala Negara.
c. Baligh. Seorang imam harus sudah mukallaf, akil dan baligh. Karena itu orang
gila, kurang akal dan anak kecil tidak boleh diangkat jadi imam.
d. Berilmu. Pengetahuan yang paling pertama harus dimilikinya ialah
pengetahuan keIslaman. Selain itu juga, ia wajib memiliki ilmu-ilmu lainnya.
Ia harus seorang intelek yang berpengetahuan tinggi dilengkapi dengan ilmuilmu modern.
e. Adil. Pemimpin harus adil, karena ia menduduki satu jabatan paling mulia.
Keadilan menurut fuqaha, harus tehiasi dengan kefardhuan dan keutamaan
serta terhindari dari dosa, kekejian dan seluruh hal-hal yang merusak harga
diri manusia.
f. Cukup Mampu. Disyaratkan, seorang imam haruslah orang yang mampu
memimpin

manusia

dan

mengarahkan

serta

mampu

mengendalikan

manajemen dan politik.


g. Tidak cacat. Sebagian ulama mensyaratkan orang yang akan menjadi imam
tidak cacat mental dan indera, seperti buta, tuli dan semacamnya. Mereka
beralasan kecacatan semcam itu akan mengganggu dan mengurangi
kemampuan kerjanya.
h. Quraisy. Syarat ini masih diperselisihkan oleh para ulama
Demikianlah syarat-syarat imam (pemimpin) yang disebutkan oleh Said Hawa,
namun menurut beliau juga tidak ada halangan untuk menambah syarat-syarat di atas jika
dipandang perlu oleh kepentingan umum.
Adapun tugas-tugas yang harus dilakukan oleh pemimpin menurut Al-Mawardi
adalah sebagai berikut.34
a. Melindungi keutuhan agama sesuai dengan prinsip-prinsipnya yang establish,
dan ijma generasi salaf.
b. Menerapkan hukum kepada dua pihak yang berperkara, dan menghentikan
perseteruan di antara dua pihak yang berselisih, agar keadilan menyebar secara
merata, kemudian orang-orang tiranik tidak sewenang-wenang, dan orang
orang teraniaya tidak merasa lemah.

34 Al Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah: Hukum-hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat


Islam (Bekasi: Darul Falah, 2006), dalam edisi terjemahan oleh Fadli Bahri, cet 6, hal. 23-24

c. Melindungi wilayah Negara dan tempat-tempat suci, agar manusia dapat


leluasa bekerja, dan bepergian ke tempat manapun dengan aman dari
gangguan terhdap jiwa dan harta.
d. Menegakkan supremasi hukum.
e. Melindungi daerah-daerah perbatasan dengan benteng yang kokoh dan
kekuatan yang tangguh hingga musuh tidak mampu menerobos masuk guna
merusak kehormatan atau menumpahkan darah orang muslim, atau orang yang
berdamai dengan orang muslim (muahid).
f. Memerangi orang yang menentang Islam setelah sebelumnya ia dakwahi
hingga ia masuk Islam, atau masuk dalam perlindungan kaum muslimin (ahlu
dzimmah).
g. Mengumpulkan harta fai (harta yang didapatkan kaum muslimin tanpa
pertempuran), dan sedekah sesuai yang diwajibkan syariat
h. Menetapkan pengeluaran dan apa saja yang diperlukan dalam baitul mal (kas
Negara) tanpa berlebih-lebihan, kemudian mengeluarkannya tepat pada
waktunya; tidak mempercepat atau menunda-nunda.
i. Mengangkat orang-orang yang dipercaya untuk memangku jabatan dan untuk
menyerahkan hak pengelolaan keuangan Negara.
j. Terjun langsung menangani segala persoalan, dan menginspeksi keadaan, agar
ia sendiri yang memimpin umat dan melindungi agama.
Jabatan imamah (kepemimpinan) dianggap sah dengan dua cara; pertama oleh ahlu
al-aqdi wa al-hal (parlemen). Kedua penunjukan oleh imam (pemimpin) sebelumnya.35
Seorang imam dapat dipecat dari jabatannya jika terjadi cacat dalam keadilannya dan
cacat dalam tubuhnya. Adapun cacat dalam keadilannya alias fasik terbagi ke dalam dua
bagian; pertama akibat dari syahwat, dan kedua akibat dari syubhat. Sedangkan cacat
yang terjadi pada tubuh imam, maka terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu cacat panca
indera, cacat organ tubuh, cacat tindakan.36
D. Musyawarah dan Demokrasi
Pembahasan terakhir dalam makalah ini adalah tentang musyawarah dan demokrasi.
Membicarakan musyawarah menurut Islam, ada dua hal yang cukup menarik untuk
dicermati dalam hubungan Islam dan demokrasi. Pertama, ketika Islam dibandingkan dengan
demokrasi, dan kedua, ketika dikatakan bahwa Islam bertentangan dengan demokrasi.
35 Al Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, hal. 4
36 Al Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, hal. 26-27

Membandingkan antara Islam dengan demokrasi merupakan hal yang salah, seperti halnya
menganggap keduanya saling bertentangan juga salah.
Kalau dicermati dari segi metode, perbandingan kedua hal di atas tidak bisa dibenarkan,
karena Islam merupakan agama dan risalah yang mengandung asas-asas yang mengatur
ibadah, akhlak, dan muamalah manusia. Sedangkan demokrasi hanyalah sebuah sistem
pemerintahan dan mekanisme kerjasama antara anggota masyarakat serta simbol yang
diharapkan membawa nilai-nilai positif.
Perbedaan ini tidak sepatutnya diartikan sebagai bertolak belakang, berlawanan atau
bermusuhan, karena masih terdapat beberapa keserasian pada sebagian nilai-nilai dasar,
tetapi hal itu harus dipahami dalam sudut variasi dan diferensiasi.37
1. Demokrasi38
Untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih luas tentang demokrasi perlu kiranya
untuk terlebih dahulu dijabarkan secara ringkas pengertian, prinsip, metodologi benar
dan adil, serta karakteristik di dalam demokrasi. Untuk membahas ini penulis telah
meringkas bahasan tersebut yang diambi dari buku Filsafat demokrasi yang dikarang
oleh Hendra Nurtjahjo yang diterbitkan oleh Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI.
Kepercayaan yang kuat atas sempurnanya teori politik demokrasi belum dapat
tergoyahkan secara filosofis, sosiologis, maupun dalam format yuridis ketatanegaraan.
Kedudukan sentra ini bahkan semakin menguat diiringi dengan konsep-konsep human
rights, civil society, maupun good governance, yang pada akhirnya menegaskan posisi
teori demokrasi sebagai konsep terbaik yang pernah dicapai oleh pemikiran manusia.
Hampir di seluruh belahan dunia gerakan demokratisasi kehidupan politik telah
menjadi fenomena yang tak terelakkan dalam merubah persepsi sejarah tentang
bagaimana menyelenggarakan kekuasaan secara etis, rasional, dan bertanggung jawab.
Jelas bahwa demokrasi mempunyai potensi untuk memberikan yang terbaik bagi
manusia, terutama dalam melindungi hak-hak individu dalam menghadapi kekuasaan
negara dan pemerintah.

37 Artani Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), hal. xxi
38 Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2005), hal.
2

a. Pengertian
Demokrasi adalah spirit (ide) dan institusionalisasi dari prinsip-prinsip kebebasan dan
kesamaan dengan segala derivatifnya menuju persetujuan politik melalui kedaulatan
suara mayoritas yang dimasukkan ke dalam kerangka yuridis, Jadi dalam hal ini
demokrasi mengandung tiga fenomena sekaligus, yaitu fenomena politik (kekuasaan),
fenomena etika (ajaran moral), dan fenomena hukum, yang saling berjalin kelindan
membetuk teori ini dengan pendasaran teoritis yang tegas-tegas menolak tatanan
kekuasaan (politik) yang otoriter dan totaliter.
b. Kebenaran dan Keadilan dalam Demokrasi
Dalam demokrasi ada prosedur dan metode untuk mendapatkan kebenaran dan
keadilan yang kemudian digunakan sebagai keputusan dalam persetujuan bersama oleh
seluruh rakyat atau wakil-wakilnya.
Metode demokrasi berjalan dimulai dengan adanya kebebasan hak pilih setiap warga
negara untuk turut serta dalam pengambilan keputusan politik. Setiap partisipan memiliki
kesamaan hak dalam menentukan pilihannya sendiri dan juga kesempatan untuk dapat
dipilih. Prinsip suara mayoritas merupakan hal yang esensial dalam konsep demokrasi.
Model pengambilan keputusan demokratis lainnya yang mendasarkan diri pada tahaptahap perkembangan masyarakat adaalah sebagai berikut: (1) Sistem konsensus, yaitu
setiap orang harus menyetujui suatu keputusan sebelum keputusan itu dilakukan. Jadi,
sistem ini menghendaki suatu keputusan secara bulat. Sistem ini berkecenderungan elitis,
otoritarian, oligarkis dan dapat melahirkan diktatur. Umumnya berlaku pada masyarakat
facis dan sosialis. (2) Sistem Ganda atau Bergilir. Sistem ini ditemukan pada bentuk
demokrasi-ganda (dual-democracy) yang ditandai dengan adanya perwakilan secara
bergiliran dari dua kelompok besar keluarga atau klan. Sistem ini menganut dwi-partai
dan tidak didasarkan atas pemilihan umum, melainkan pergiliran kekuasaan belaka.
Umumnya berlaku pada masyarakat sederhana/tradisionil. (3) Sistem Mayoritas. Sistem
ini mengambil keputusan melalui pemilihan bebas untuk menentukan suara mayoritas.
Sistem ini merupakan konsekuensi logis dari berlakunya sistem perwakilan dalam
demokrasi modern. Dalam pengambilan keputusan ini, rasionalisasi atas suatu kebenaran
dan keadilan setelah melalui dialog atau discourse dapat dinyatakan dalam bentuk
pemungutan suara (voting).

c. Karakteristik Demokrasi
William Ebenstein menyebutkan ada delapan ciri utama dari konsep demokrasi
barat, yakni (1) empirisme rasional, (2) penekanan pada individu, (3) negara sebagai alat,
(4) kesukarelaan (voluntarism), (5) hukum di atas hukum, (6) penekanan pada cara
(prosedural), (7) persetujuan sebagai dasar dalam hubungan antarmanusia, dan (8)
persamaan semua manusia. Bernhard Sutor menyebutkan bahwa demokrasi memiliki
tanda-tanda empiris, yaitu jaminan terhadap hak-hak untuk mengeluarkan pendapat,
memperoleh informasi bebas, kebebasan pers, berserikat dan berkoalisi, berkumpul dan
berdemonstrasi, mendirikan partai-partai, beroposisi, lalu pemilihan yang bebasm, sama,
rahasia, atas dasar minimal dua alternatif, dimana para wakil dipilih untuk waktu
terbatas. Henry B Mayo mencatat ada paling tidak semilan nilai yang mendasari
demokrasi, yakni (1) menyelesaikan perselisihan dengan damai dan sukarela, (2)
menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang
sedang berubah, (3) menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur, (4)
membatasi pemakaian kekerasan secara minimum, (5) adanya keanekaragaman
(plurality), (6) tercapainya keadilan, (7) yang paling baik dalam memajukan
pengetahuan, (8) kebebasan, dan (9) adanya nilai-nilai yang dihasilkan oleh kelemahankelemahan sistem yang lain. Miriam Budiardjo menyebutkan salah satu unsur
terpenting dari semua definis demokrasi adalah accountability. Accountability adalah
pertanggungjawaban dari pihak yang diberi mandat untuk memerintah, kepada mereka
yang memberi mandat itu. Dalam teori politik tradisonal rakyatlah yang memberi
kekuasaan kepada pihak lain untuk memerintah dan pemerintah bertanggungjawab
kepada rakyat.
2. Musyawarah
Marilah kita awali pembahasan musyawarah ini dengan terlebih dahulu menyimak
firman Allah SWT berikut.

Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut

terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah

ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
(QS Ali Imran: 159)
Berikut penjelasan Ibnu Katsir di dalam kitab tafsirnya; Karena itu ma'afkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka
dalam urusan itu. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Rasulullah senantiasa mengajak
para sahabatnya bermusyawarah mengenai suatu persoalan yang terjadi untuk
menjadikan hati mereka senang dan supaya mereka lebih semangat dalam berbuat.
Sebagaimana beliau pernah mengajak mereka bermusyawarah pada waktu perang
Badar mengenai keberangkatan menghadang pasukan orang-orang kafir. Para sahabat
berkata "Ya Rasulullah, jika engkau menyeberangi lautan, niscaya kami akan ikut
menyeberanginya bersamamu. Dan jika engkau menelusuri daratan dalam kegelapan
ke Barkil Ghimad, niscaya kami akan ikut berjalan bersamamu. Kami tidak akan
mengatakan apa yang dikatakan kaum Musa kepadanya, "Pergilah engkau bersama
Rabb-mu dan berperanglah, kami akan duduk-duduk disini saja." Tetapi kami akan
mengatakan kepadamu, "Pergilah, dan kami akan senantiasa bersamamu, di depan, di
kanan dan kirimu untuk ikut berperang." selain itu Rasulullah juga pernah mengajak
mereka bermusyawarah, hingga akhirnya al-Mundzir bin 'Amr menyarankan untuk
bertempat di hadapan lawan. Hal ini (bermusyawarah) juga terjadi pada perang uhud,
perang khandaq, perjanjian Hudaibiyah, bahkan pada saat membahas perceraiannya
dengan 'Aisyah dalam peristiwa haditsul ifki beliaupun bermusyawarah, meminta
pendapat Ali dan Usamah. Demikianlah, beliau bermusyawarah dengan para
sahabatnya baik dalam masalah perang atau masalah-masalah lainnya.39
Jimly Ash-Shiddiqie memberikan penjelasan tentang relasi filsafat hukum Islam,
Negara, dan sistem musyawarah sebagai berikut.
Dalam filasafat hukum Islam, hukum ada sebelum terwujudnya negara.
Artinya, negara itu dibentuk dan dijalankan atas dasar hukum yang bersumber
dari Allah SWT. Negara didirikan justeru untuk mendukung usaha penegakan itu.
Seperti dikatakan oleh Ibn Taimiyah "Memimpin umat merupakan kewajiban, dan
agama tidak akan tegak kokoh tanpa pemimpin. Karena Allah telah mewajibkan
kaum muslimin untuk menyeru kepada kebaikan dan melarang setiap
kemungkaran, membela orang teraniaya, berjihad, melaksanakan ketentuan39 Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, jilid 2, hal. 174 (diringkas oleh penulis)

ketentuan Allah, berlaku adil dalam menjatuhkan hukum, hal mana memerlukan
kekuasaan dan komando."
Sejalan dengan itu Abdul Karim Zaidan menyatakan bahwa negara harus
diadakan untuk terlaksananya hukum (Islam). Artinya negara dalam konsep Islam
pertama-tama adalah non demokrasi. Namun demikian, untuk mendirikan negara
dan menajalankan fungsi-fungsi negara itu sendiri, selain harus didasarkan
kepada standar yang ditentukan oleh hukum syariat, harus pula didasarkan kepada
musyawarah mufakat antar sesama warga masyarakat.
Prinsip musayawarah ini penting karena dalam Islam, setiap manusia
mempunyai predikat sebagai 'khalifah' Allah di atas muka bumi. Setiap manusia
disebut oleh Alah dengan predikat khalifah Allah di atas muka bumi. Bahkan,
Nabi Muhammad menyatakan kullukum masulun an roiyatihi.
Karena itu setiap manusia memiliki kualitasnya masiang-masing sebagai
pribadi otonom dalam menentukan kehendak atas dasar batasan-batasan yang
ditentukan oleh Tuhan. Kedudukan antar sesama manusia dalam masyarakat
adalah sederajat (egaliter), dan untuk itu diperlukan suatu mekanisme hubungan
antar mereka dalam mengambil keputusan-keputusan yang dapat mengikat
mereka bersama. Mekanisme pengambilan keputusan inilah yang dikenal dalam
Islam dengan prinsip 'musyawarah'. Dalam Al-Qur'an setiap orang diperintahkan
agar mengadakan musyawarah untuk menyelesaikan berbagai urusan duniawi
yang dihadapi (wa syawirhum fi al amri wa amruhum syuro bainahum).40
Terkait musyawarah ini juga Mahmud Syaltut menjelaskan bahwa Allah SWT
menetapkan bahwa pemerintahan Islam itu haruslah atas dasar musyawarah di antara
kaum muslimin, dan memerintahkan Rasulullah yang ma'shum (yang dipelihara Allah)
supaya bermusyawarah dengan kaum muslimin dalam semua urusan mereka. Dan beliau
tentu saja tidak bermusyawarah dengan mereka dalam hal yang berhubungan dengan
wahyu dan syari'at, akan tetapi mengenai urusan-urusan lainnya. Urusan kaum muslimin
yang terpenting dan tidak termasuk urusan wahyu adalah urusan hukumpemerintahan.
Urusan itu harus dimusyawarahkan di kalangan mereka, dimana seorang hakim
(penguasa) tidak akan berbuat sewenang-wenang, meskipun ia seorang Rasul yang
ma'shum.41
Adapun prinsip-prinsip musyawarah menurut Artani Hasbi di antaranya persamaan
dalam hak dan kewajiban, keadilan, dan kebebasan.42

40 Jimly Asshiddiqie, Islam dan Kedaulatan Rakyat (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hal. 18-19
41 Mahmud Syaltut, Tuntunan Islam, hal. 192

Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa musyawarah


adalah ajaran pokok di dalam Islam serta keteladanan yang sudah dicontohkan
Rasulullah SAW dalam mengambil keputusan-keputusan bersama berdasar pada prinsip
persamaan, keadilan dan kebebasan.
3. Pro-Kontra Demokrasi
a. Hizbut Tahrir Indonesia Menolak Demokrasi43
Siapapun yang secara jujur menyelami hakikat demokrasi dan mengaitkannya dengan
dalil syari'ah pasti tidak akan sampai pada kesimpulan yang dangkal (bahwa Islam
mengakui demokrasi). Demokrasi sama sekali bukanlah ide yang berasal dari Islam,
tidak ada kemiripannya dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan Islam. bahkan
terminologi Islam dan demokrasi saja sudah contradictio in terminis, alias saling
bertentangan satu sama lain, karena Islam menentang demokrasi dan demokrasi menolak
kehadiran Islam. Jadi, mengatakan bahwa demokrasi sesuai dengan Islam atau
sebaliknya merupakan tesis yang terburu-buru, terlalu simplisitis, gegabah dan
cenderung menyesatkan.
Menurut kalangan ini demokrasi adalah anak kandung sekularisme karena secara
historis demokrasi jelas dilahirkan dari rahim sekularisme yang menolak campur tangan
agama untuk mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk di dalamnya negara. Selain
itu demokrasi juga murni berasal dari rekacipta dan hawa nafsu manusia, bukan berasal
dari agama samawi manapun, apalagi Islam. Selain itu, penolakan juga didasarkan pada
prinsip kedaulatan rakyat yang menjadi prinsip utama demokrasi, dalam pandangan
beliau manusia bukan al-Hakim. Akal manusia sama sekalai tidak dapat menilai apakah
sesuatu perbuatan itu baik atau buruk, terpuji atau tercela. Hanya Allah yang dapat
menilai baik-buruk dan terpuji-tercelanya sesuatu.
Penolakan demokrasi juga disebakan bahwa demokrasi adalah gagasan utopis
(khayalan). Salah satu jargon penting dalam demokrasi adalah pemerintahan rakyat. Para
pegiat demokrasi ingin memunculkan kesan bahwa negara yang demokratis adalh negara
42 Penjelasan lengkap mengenai prinsip musyawarah ini bisa dilihat pada Artani Hasbi, Musyawarah
dan Demokrasi, hal. 35-50
43 Farid Wajdi dan Shiddiq Al-Jawi dkk, Ilusi Negara Demokrasi (Jakarta: Al-Azhar Press, 2009),
hal. 297-303. Buku ini berisi gagasan-gagasan pemikiran para tokoh Hizbut Tahrir Indonesia terkait
dengan politik, Negara dan demokrasi. Yang dapat disimpulkan bahwa Hizbut Tahrir Indonesia
menolak system demokrasi.

yang mengakomodasi aspirasi masyarakat. Padahal sejatinya, praktek demokrasi yang


saat ini berkembang dengan konsep representasi alia demokrasi perwakilan hanyalah
ilusi yang mustahil diwujudkan. Istilah pemerintahan rakyat hanyalah jargon yang
sengaja dipropagandakan untuk menipu rakyat, agar mereka merasa ikut serta dalam
menentukan arah pemerintahan dealam mekanisme demokrasi. Padahal sejatinya yang
diuntungkan hanyalah segelintir orang, utamanya pemilik modal dan elit partai politik.
Terakhir, mereka menolak demokrasi juga disebabkan karena demokrai adalah alat
penjajahan. Untuk memperjuangkan ideologinya, yang dilakukan negara kapitalis adalah
mengajak seluruh dunia untuk menjadikan kapitalisme -termasuk demokrasi- sebagai
standar, persepsi, serta keyakinan yang berlaku di segala aspek kehidupan bagi seluruh
umat manusia.
Untuk memperkuat argumentasinya, mereka juga menyampaiakan pendapat-pendapat
pemikir Islam yang juga menolak demokrasi. Diantaranya, yaitu Adnan Ali Ridha Annahwi; Dalam kehidupan dunia, kebenaran (pendapat) tidaklah diukur dan ditetapkan
oleh sedikit dan banyaknya jumlah yang orang yang melakukannya. Kebenaran itu harus
diukur dan ditetapkan oleh kaidah-kaidah, prinsip-prinsip dan manhaj rabbani yang
diturunkan dari langit. Syaikh Abul A'la Al Maududi; Telah saya katakan sebelumnya
bahwa pengertian demokrasi dalam peradaban modern adalah memberikan wewenang
membuat hukum kepada mayoritas rakyat. Maka dari itu, kita menentang sistem sekular
yang nasionalistis-demokratis, baik yang ditegakkan oleh orang-orang barat maupun
timur, muslim ataupun non-muslim. Muhammad Yusuf Musa; Sesungguhnya sistem
pemerintahan Islam bukanlah sistem demokrasi, baik dalam pengertiannya menurut
kaum Yunani kuno maupun dalam pengertiannya yang modern.
b. Mereka Yang Menerima Sistem Demokrasi
Alamsjah Ratu Perwiranegara berpendapat bahwa Risalah Nabi SAW menunjukkan,
dalam masa kepemimpinan politik beliau dan para khalifah setelah wafatnya Nabi,
demokrasi telah merupakan praktek kehidupan masyarakat Muslim. Mengakui pendapat
bahkan keyakinan agama yang beredar, pencapaian sesuatu maslah dengan musyawarah,
serta pula dalam penentuan hukum secara adil merupakan sendi-sendi demokrasi yang
diajarkan Islam. Tentang tanggungjawab kepada rakyat yang berdaulat, Allah berfirman
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu (pemimpin) menyampaikan amanat kepada yang

berhak menerima (rakyat), dan menyuruh kamu apabila menteapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. (QS An Nisaa: 58)
Adanya prinsip Ijma dalam ajaran Islam, yang berarti hasil mufakat (consensus)
menunjukkan hakikat demokrasi bagi kaum Muslim. Consensus pertama sahabat
Rasulullah SAW setelah beliau wafat adalah pada waktu terdapat perselisihan tentang
dimana jenazah dimakamkan. Ada yang berpendapat dimakamkan di masjid, tapi ada
pula yang berpendapat dimakamkan di tempat Nabi wafat. Maka karena perbedaan
pendapat itu mereka kembali kepada Sunnah Nabi, ketika itu Abu Bakar berucap Saya
mendengar Rasulullah SAW pernah berkata: Setiap Nabi yang wafat, dikuburkan di
tempat wafatnya. Pelaksanaan demokrasi berikutnya, yang langsung mengenai
pemimpin umat waktu itu ialah terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah pertama, yang
berlangsung dengan musyawarah.44
Amin Rais mengemukakan tiga alasan dalam penerimaannya terhadap demokrasi; (1)
secara konsep dasar, Al-Qur'an memerintahkan umat Islam agar melaksanakan
musyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah mereka. (2) Secara historis, nabi
mempraktekkan musyawarah dengan para sahabat, (3) Secara rasional umat Islam
diperintahkan untuk menyelesaikan dilema dan maslah-masalah mereka, menunjukkan
bahwa sistem politik yang demokratis adalah bentuk tertinggi mengenai sistem politik
dalam sejarah umat manusia. Jadi, Amin tidak melihat ada pertentangan antara Islam
(musyawarah) dengan demokrasi.45
Selain dua pemikir di atas, Yusuf Qardhawi juga termasuk pemikir Islam yang
menerima demokrasi. Alasan Qardhawi menerima demokrasi karena Beliau melihat ada
sisi manfaat dari demokrasi, yakni demokrasi dapat mewujudkan keadilan dan syura,
menghormati hak-hak asasi manusia, serta menghadang langkah para tiran di muka bumi
ini. Selain itu beliau juga berpendapat bahwa sisi-sisi negatif demokrasi bisa ditinggalkan
dan sisi positifnya merupakan hikmah, yang mana orang mukmin lebih berhak terhadap
hikmah tersebut. Secara lengkap pendpat beliau adalah sebagai berikut.
Sesungguhnya Islam telah mendahului sistem demokrasi dengan menetapkan
beberapa kaidah yang menjadi pijakan substansinya, tetapi Islam menyerahkan berbagai
44 Alamsjah Ratu Perwiranegara, Islam Dan Perkembangan Politik Di Indonesia, hal. 32-35
(diringkas oleh penulis)
45 Artani Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi, hal. 147

rinciannya kepada ijtihad kaum muslimin sesuai dengan pokok-pokok agama mereka,
kepentingan dunia mereka, serta perkembangan kehidupan mereka sesuai dengan zaman
dan tempat, dan juga pembaharuan keadaan manusia.
Di antara kelebihan demokrasi kelebihan system demokrasi yang pernah
diperjuangkan secara mati-matian dalam menghadapi para tiran ialah menuntun ke
beberapa bentuk dan sarana, yang hingga kini dianggap sebagai satu-satunya system
yang memberi jaminan keselamatan bagi rakyat dari jarahan tangan para tiran, sekalipun
system ini tidak lepas dari cacat dan kekurangan, seperti lazimnya perbuatan manusia
yang tidak lepas dari kekurangan.
Tidak ada larangan bagi umat manusia, para pemikir dan pemimpin mereka untuk
memikirkan bentuk dan cara lain, barangkali cara baru itu akan mengantarkan kepada
yang lebih baik dan ideal. Tetapi, untuk mempermudah kepada hal tersebut dan merealisasikannya ke dalam realitas manusia, kita melihat bahwa kita harus mengambil
beberapa hal dari cara-cara demokrasi guna mewujudkan keadilan dan syura,
menghormati hak-hak asasi manusia, serta menghadang langkah para tiran di muka bumi
ini.
Di antara kaidah penentapan hukum yang sudah berlaku ialah, bahwa sesuatu yang
menjadikan hal yang wajib tidak sempurna kecuali dengannya, maka ia itu menjadi
wajib, dan bahwasanya tujuantujuan syariat yang diharapkan adalah jika tujuan-tujuan
itu mempunyai sarana pencapaiannya, maka sarana ini boleh diambil sebagai alat
menggapai tujuan tersebut.
Tidak ada satu syariat pun yang melarang penyerapan pemikiran teori atau praktek
empiris dari kalangan non-muslim. Karena, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sendiri
pada perang Ahzab telah mengambil pemikiran penggalian parit, padahal strategi
tersebut berasal dari strategi bangsa Parsi.
Beliau juga mengambil manfaat dari tawanan musyrikin dalam perang Badar dari
orang-orang yang mampu membaca dan menulis untuk mengajarkan baca tulis anakanak kaum muslim.in, meski mereka itu musyrik. Inilah yang disebut hikmah. Dan
hikmah itu adalah barang temuan orang Mukmin yang hilang lalu ditemukan lagi.Jadi dia
lebih berhak terhadap barang itu.
Seperti yang telah kami isyaratkan dalam beberapa buku dan tulisan kami bahwa, ada
baiknya jika kita mengambil pemikiran, system, metode dan aturan yang bisa

memberikan manfaat kepada kita, selama tidak bertentangan dengan nash yang jelas
makna dan hukumnya dan kaidah hukum yang sudah tetap. Kita bisa merembug hal-hal
yang kita ambil itu, kita tambahi apa yang bisa ditambahkan dan kita singkirkan jenisnya
yang asli.
Dari sini kita bisa mengambil tata cara demokrasi dan kandungan-kandungannya yang
sesuai dengan diri kita. Kita bisa menyaring dan membenahinya. Kita tidak perlu
mengambil filsafatnya yang bisa menghalakan yang haram, mengharamkan yang halal
atau yang menggugurkan kewajiban.46
Dari uraian panjang mengenai musyawarah dan demokrasi di atas, yang berdasarkan
prinsip-prinsip yang sudah dikemukakan oleh pemikir demokrasi di dalam makalah ini,
serta konsep-konsep human rights, civil society, maupun good governance yang
merupakan pengembangan dari demokrasi, maka penulis mengambil sikap sependapat
dengan para pemikir Islam yang menerima demokrasi berikut alasan-alasan yang sudah
mereka sampaikan.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa demokrasi adalah anak kandung
sekularisme hanya karena ajaran demokrasi lahir pada saat Yunani kuno, dimana pada
saat itu muncul ajakan untuk memisahkan agama, menurut penulis hal ini sudah tidak
relevan, karena demokrasi tidak dapat diberi batasan (definisi) karena rentang sejarahnya
yang amat panjang dan telah berevolusi sebagai konsep yang menentukan. 47 Dengan kata
lain demokrasi sudah melewati rentang kehidupan sejarah manusia, bertransformasi
sesuai perkembangan sejarahnya, dan kemungkinan besar akan terus berkembang dan
timbul definisi yang baru dari demokrasi. Bahkan sebenarnya musyawarah yang menjadi
element penting dalam pemerintahan Islam juga tidak orisinil ajaran Islam, karena
sebelum kedatangan Islam masyarakat Arabia sudah mempraktikkannya. Musyawarah
itu dilakukan dalam bentuk sidang dimana para pemuka suku atau kabilah membahas
berbagai persoalan yang mereka hadapi.48 Sehingga tidak tepat bila dikatakan bahwa
demokrasi adalah anak kandung sekularisme.
E. Kesimpulan
46 Yusuf Qardhawy, Fiqh Daulah dalam Perspektif Al-Quran dan Sunnah, hal. 192-193
47 Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, hal. 140
48 Masykuri Abdillah di dalam kata pengantarnya terhadap buku Artani Hasbi, Musyawarah dan
Demokrasi, hal. ix

Dari berbagai pemaparan yang telah disebutkan di atas, dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Seorang Muslim berkewajiban menjalankan Islam dengan kaffah dan syaamil , yakni
totalitas dan menyeluruh dalam mengimani, memahami, mengamalkan dan
mendakwahkan Islam.
2. Sebagaimana banyak disampaikan oleh orang-orang bahwa Islam adalah agama kasih
sayang, akhlak dan perdamaian, maka perlu juga penulis sampaikan bahwa Islam
adalah agama politik, karena di dalam Islam terdapat petunjuk-petunjuk yang
berkaitan dengan politik yang harus diikuti oleh setiap muslim.
3. Islam dan politik tidak bisa dipisahkan. Al-Quran dan As-Sunnah sudah memberikan
kaidah-kaidah umum dalam setiap persoalan yang penting, termasuk politik. Kaidahkaidah umum tersebut dijelaskan oleh para ulama untuk mengambil hukum furu'
(cabang) dan hukum-hukum khusus mengenai hal-hal yang timbul kemudian.
4. Islam dan Negara tidak dapat dipisahkan, dan bersatunya umat Islam di dalam satu
pemerintahan yang dipimpin oleh orang yang berjuang menegakkaan syariat Islam
adalah janji yang telah Allah berikan. Sebagaimana firman Allah di dalam surat AnNuur ayat 55.
5. Konsep kepemimpinan di dalam Islam adalah konsep perwakilan kekuasaan Allah
kepada manusia (khalifah). Jadi, secara hakiki orang yang paling berhak memimpin
manusia adalah dia yang beriman, taat, tunduk patuh kepada Allah dan syariat-Nya,
bukan orang yang ingkar dan bermaksiat kepada-Nya. Karena itu dilarang memilih
orang kafir sebagai pemimpin orang beriman.
6. Pemerintahan Islam itu haruslah atas dasar musyawarah di antara kaum muslimin
sebab musyawarah adalah ajaran pokok di dalam Islam serta keteladanan yang sudah
dicontohkan Rasulullah SAW dalam mengambil keputusan-keputusan bersama
berdasar pada prinsip persamaan, keadilan dan kebebasan.
7. Demokrasi yang berdasarkan prinsip-prinsip yang sudah dikemukakan oleh para
ilmuwan barat

di dalam makalah ini, serta konsep-konsep human rights, civil

society, maupun good governance yang merupakan pengembangan dari demokrasi


adalah hikmah, yang mana orang mukmin lebih berhak atau hal tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Quranul Karim
Ahmad, Zainal Abidin, Ilmu Politik Islam (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang,tt )
al-Banna, Hasan, Majmuatur Rasail: Kumpulan Risalah Dakwah Hasan al-Banna
(Jakarta: Al Itishom, 2012), dalam edisi terjemahan oleh Asep Sobari
Al Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah: Hukum-hukum Penyelenggaraan Negara
dalam Syariat Islam (Bekasi: Darul Falah, 2006), dalam edisi terjemahan oleh Fadli Bahri
Asshiddiqie, Jimly, Islam dan Kedaulatan Rakyat (Jakarta: Gema Insani Press, 1995)
Djazuli, A, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Ummat Dalam Rambu-Rambu
Syari'ah (Jakarta: Prenada Media, 2003)
Efendi, Bahtiar, Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi dan Negara
Yang Tidak Mudah (Jakarta: Ushul Press, 2005)
El-Affendi, Abdelwahab, Masyarakat Tak Bernegara (Yogyakarta: LKiS, 1994),
dalam edisi terjemahan oleh Amiruddin Ar-Rani
Hasbi, Artani, Musyawarah dan Demokrasi (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001)
Hawa, Said, Al-Islam (Jakarta: Al Itishom, 2002), dalam edisi terjemahan oleh
Fakhrudin Nur Syam dan Muhil Dhofir, Jilid 2
Iqbal, Muhammad dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa
Klasik Hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta, Kencana, 2010)
Katsir, Ibnu, Tafsir Ibnu Katsir (Bogor: Pustaka Imam SyafiI, 2004), dalam edisi
terjemahan oleh M Abd Ghofar EM, jilid 1
Katsir, Ibnu, Tafsir Ibnu Katsir,____________ jilid 2
Katsir, Ibnu, Tafsir Ibnu Katsir,____________ jilid 3
Katsir, Ibnu, Tafsir Ibnu Katsir,____________ jilid 6
Ka'bah, Rifyal, Politik dan Hukum dalam Al-Qur'an (Jakarta: Khairul Bayan, 2005)
Mahmudunnasir, Syed, Islam: Konsepsi dan Sejarahnya (Bandung: Rosdakarya,
1993), dalam edisi terjemahan oleh Adang Affandi, cet 3
Nurtjahjo, Hendra, Filsafat Demokrasi (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara
FHUI, 2005)
Perwiranegara, Alamsjah Ratu, Islam Dan Perkembangan Politik Di Indonesia
(Jakarta: CV. Haji Masagung, 1987)
Qardhawy, Yusuf, Fiqh Daulah dalam Perspektif Al-Quran dan Sunnah (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 1997), dalam edisi terjemahan oleh Kathur Suhardi

Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Quran (Jakarta: Rabbani Press, 2005), dalam edisi
terjemahan oleh Aunur Rofiq Shaleh Tamhid, Jilid 1
Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Quran, ____________ jilid 3
Sudarsono, Amin, Ijtihad Membangun Basis Gerakan (Jakarta: Muda Cendekia,
2010)
Syaltut, Mahmud, Tuntunan Islam (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1974), dalam
edisi terjemahan oleh Bustani A Gani dan Chatibul Umam, Jilid V
Wajdi, Farid dan Shiddiq Al-Jawi dkk, Ilusi Negara Demokrasi (Jakarta: Al-Azhar
Press, 2009)

Anda mungkin juga menyukai