Anda di halaman 1dari 7

Judul Pertanyaan

Apakah Bumn Dapat Dipailitkan?


Pertanyaan
- Apakah Bumn Dapat Dipailitkan? - Aspek-Aspek Hukum Apa Saja Yang Perlu Di
Perhatikan Atau Terkait Pada Peristiwa Kepailitan Bumn?
Jawaban
Pada Dasarnya Uu Kepailitan Tidak Membedakan Kepailitan Berdasarkan Kepemilikian. Uu
Kepailitan Hanya Mendeskripsikan Debitur Yang Dapat Dipailitkan Menjadi Dua, Yaitu
Orang Perorangan (Pribadi), Dan Badan Hukum. Artinya, Baik Orang Perorangan, Maupun
Badan Hukum Dapat Dinyatakan Pailit.
Hal Ini Terlihat Dari Ps. 2 Ayat (5) Uu Kepailitan Yang Menyebutkan Bahwa Dalam Hal
Debitur Merupakan Badan Hukum, Maka Kedudukan Hukumnya Adalah Sebagaimana
Dimaksud Dalam Anggaran Dasarnya .
Selain Itu, Dalam Ps. 3 Ayat (1) Uu Kepailitan Disebutkan Bahwa Dalam Hal Permohonan
Pernyataan Pailit Diajukan Oleh Debitur Yang Menikah, Permohonan Hanya Dapat Diajukan
Atas Persetujuan Suami Atau Istrinya
Kedua Pasal Tersebut Dijadikan Dasar, Siapa Saja (Debitur) Yang Dapat Dipailitkan.
Namun Tidak Dengan Sendirinya Semua Jenis Pihak Dapat Dipailitkan, Harus Diperhatikan
Kualifikasi Dan Kapasitas Pihak Tersebut. Secara Logis Kepailitan Membutuhkan Pihak
Yang Cakap Melakukan Tindakan Keperdataan, Seperti Kapasitas Untuk Memiliki Aset,
Membuat Perjanjian Dengan Pihak Ketiga; Sehingga Dapat Dikatakan Bahwa Yang Dapat
Dipailitkan Hanyalah Pihak Yang Memenuhi Syarat Sebagai Subyek Hukum.
Hal Ini Karena Melihat Sifat Kepailitan Yang Merupakan Sita Umum Terhadap Harta
Kekayaaan Debitur, Maka Sifat Tersebut Menuntut Adanya Kepemilikan Mutlak Atas Harta
Yang Sedianya Akan Dijadikan Budel Pailit. Tidak Ada Artinya Memailitkan Suatu Entitas
Yang Tidak Memiliki Hak Milik Atau Kapasitas Dalam Lalu Lintas Keperdataan, Karena
Tidak Ada Apapun Yang Dapat Disita Sebagai Sita Umum.
Sehingga Untuk Kepailitan Suatu Persekutuan Perdata Seperti Firma, Cv, Joint Operation,
Maka Kepailitan Tidak Diarahkan Kepada Firma, Cv, Joint Operation Yang Bersangkutan,
Namun Diarahkan Kepada Persero-Persero Yang Memiliki Kapasitas Dalam Persekutuan

Perdata Tersebut. Tentunya Tidak Mungkin Dilakukan Sita Umum Terhadap Suatu Badan
Hukum Yang Tidak Memiliki Kapasitas Atas Harta Bendanya, Alias Barang Tersebut Milik
Orang Lain.
Jadi Dapat Disimpulkan Bahwa Yang Dibutuhkan Untuk Dapat Dinyatakan Pailit Adalah
Kapasitas Dan Kecakapan Suatu Subyek Hukum Untuk Melakukan Tindakan-Tindakan
Keperdataan, Dan Bukan Hal Lainnya.
Membicarakan

Konsep

Kepailitan

Bagi

Bumn,

Maka

Tidak

Boleh

Dibedakan Antara Kepailitan Terhadap Badan Hukum Privat Dan Badan Hukum Publik
Seperti Bumn. Baik Bumn Yang Berbentuk Persero, Maupun Perum Dapat Dipailitkan
Sebagaimana Layaknya Badan Hukum Privat Dapat Dipailitkan. Pertama Karena Uu
Kepailitan Tidak Membedakan Antara Kapasitas Badan Hukum Publik Bumn Dengan Badan
Hukum Privat, Kedua, Karena Dalam Pengaturan Mengenai Bumn Sendiri, Dimungkinkan
Terjadinya Kepailitan Bagi Bumn Baik Persero (Lihat Penjelasan Ps. 7 Peraturan Pemerintah
No. 12 Tahun 1998), Maupun Perum (Lihat Ps. 25 Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1998).
Dari Kacamata Itu, Maka Tidak Ada Masalah Dalam Mempailitkan Suatu Bumn Yang
Berbentuk Badan Hukum Persero, Karena Memang Uu Kepailitan Juga Tidak
Memberikanprivilege Terhadap Bumn Pada Umumnya (Perhatikan Privilege Yang Berlaku
Bagi Bank, Dan Perusahaan Efek, Yang Dengan Sendirinya Berlaku Mutatis Mutandis Bagi
Bumn Yang Merupakan Bank Dan Perusahaan Efek), Dan Oleh Karenanya Kepailitan Bumn
Harus Dipandang Sebagaimana Kepailitan Suatu Badan Hukum Biasa.
Praktis Tidak Ada Hal Spesifik Yang Perlu Diperhatikan Dalam Mengajukan Kepailitan Bagi
Bumn, Namun Untuk Memberi Contoh Pendapat Pengadilan Mengenai Kepailitan Bumn,
Maka Agak Sulit, Karena Sampai Saat Ini Belum Ada Satupun Bumn Di Indonesiadinyatakan
Pailit. Meskipun Beberapa Kali Permohonan Pailit Diajukan Antara Lain Terhadap Pt Dok &
Perkapalan Kodja Bahari (Persero), Pt Hutama Karya (Persero), Dan Pt Asuransi Jasa
Indonesia (Persero), Namun Tidak Ada Hal Penting Yang Dapat Dicatat Dari Pendirian
Hakim Mengenai Kepailitan Bumn Tersebut, Karena Kesemua Permohonan Tersebut Tidak
Didasarkan Atas Kapasitas Termohon Sebagai Bumn, Namun Karena Alasan-Alasan Lain
Yang Bersifat Prosedural.
Pengertian dan Syarat Kepailitan

Latar Belakang
Peraturan

mengenai kepailitan telah

ada

sejak

masa

lampau,

dimana

para

kreditor menggunakan pailit untuk mengancam debitor agar segera melunasi hutangnya.
Semakin pesatnya perkembangan ekonomi menimbulkan semakin banyaknya permasalahan
utang-piutang di masyarakat. Di Indonesia, peraturan mengenai kepailitan telah ada sejak
tahun 1905. Saat ini, Undang-Undang yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan
kepailitan adalah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan).
Pengertian Kepailitan
Pengertian dari bangkrut atau pailit menurut Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan
antara lain, keadaan dimana seseorang yang oleh suatu pengadilan dinyatakan bankrupt dan
yang aktivanya atau warisannya telah diperuntukkan untuk membayar utang-utangnya.
Sedangkan, kepailitan menurut UU Kepailitan diartikan sebagai sita umum atas semua
kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di
bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.
Syarat dan Putusan Kepailitan
Bilamana suatu perusahaan dapat dikatakan pailit, menurut UU Kepailitan adalah jika suatu
perusahaan memenuhi syarat-syarat yuridis kepailitan. Syarat-syarat tersebut menurut Pasal 2
UU Kepailitan meliputi adanya debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak
membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan
pailit dengan putusan pengadilan. Kreditor dalam hal ini adalah kreditor baik konkuren,
kreditor separatis maupun kreditor preferen. Sedangkan utang yang telah jatuh waktu berarti
kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan,
karena percepatan waktu penagihan sesuai perjanjian ataupun karena putusan pengadilan,
arbiter atau majelis arbitrase.
Permohonan pailit menurut UU Kepailitan dapat diajukan oleh debitor, satu atau lebih
kreditor, jaksa, Bank Indonesia, Perusahaan Efek atau Perusahaan Asuransi.

Proses Perkara Kepailitan di Pengadilan Niaga

Sesuai

dengan

Pasal

angka

Undang-Undang

Nomor

37

Tahun

2004

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan), Proses
penyelesaian perkara kepailitan di Indonesia dilakukan di Pengadilan Niaga (Pengadilan)
dalam lingkungan peradilan umum.
Prosedur pengajuan permohonan perkara kepailitan, dapat dilihat di dalam Artikel Prosedur
Permohonan Pernyataan Pailit pada Pengadilan Niaga.
Dalam hal wilayah Pengadilan yang berwenang memutus perkara kepailitan, terdapat
beberapa hal yang harus diketahui oleh debitor dan kreditor, yaitu:
1. Permohonan pernyataan pailit diputuskan di Pengadilan di daerah tempat kedudukan
hukum debitor.
2. Apabila debitor telah meninggalkan wilayah Negara Republik Indonesia, Pengadilan yang
berwenang menjatuhkan putusan adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kedudukan hukum terakhir debitor.
3. Dalam hal debitor adalah pesero suatu firma, Pengadilan yang berwenang menjatuhkan
putusan adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma
tersebut.
4. Dalam hal debitor tidak berkedudukan di wilayah Negara Republik Indonesia tetapi
menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia, Pengadilan yang
berwenang menjatuhkan putusan adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kedudukan atau kantor pusat debitor menjalankan profesi atau usahanya di wilayah Negara
Republik Indonesia.
5. Dalam hal debitor merupakan badan hukum, Pengadilan yang berwenang menjatuhkan
putusan adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum
sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar badan hukum tersebut.
Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan dalam jangka waktu
paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Atas permohonan
debitor dan berdasarkan alasan yang cukup, Pengadilan dapat menunda penyelenggaraan
sidang sampai dengan paling lambat 25 (dua puluh lima) hari setelah tanggal permohonan
didaftarkan. Putusan Pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling
lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan.
Putusan Pengadilan tersebut wajib memuat:
1.

Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dan/atau sumber


hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili; dan

2.

Pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota atau ketua
majelis.

Putusan atas permohonan pernyataan pailit yang memuat secara lengkap pertimbangan
hukum yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum
dan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu
upaya hukum.
Berdasarkan Pasal 10 UU Kepailitan, selama putusan atas permohonan pernyataan pailit
belum diucapkan, setiap kreditor, kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal,
atau Menteri Keuangan dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk:
1)

meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitor; atau

2)

menunjuk kurator sementara untuk mengawasi:

a)

pengelolaan usaha debitor; dan

b) pembayaran kepada kreditor, pengalihan, atau pengagunan kekayaan debitor yang dalam
kepailitan merupakan wewenang kurator.
Untuk kepentingan harta pailit, dapat dimintakan pembatalan atas segala perbuatan hukum
debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan kreditor. Pembatalan
diajukan kepada Pengadilan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan. Pembatalan hanya
dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan,
debitor dan pihak lain yang bersangkutan, mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan
mengakibatkan kerugian bagi kreditor.
Pengadilan dengan putusan pernyataan pailit, atas usul Hakim Pengawas, permintaan kurator,
atau atas permintaan seorang kreditor atau lebih dan setelah mendengar Hakim Pengawas,
dapat memerintahkan supaya debitor pailit ditahan, baik ditempatkan di Rumah Tahanan
Negara maupun di rumahnya sendiri, di bawah pengawasan jaksa yang ditunjuk oleh Hakim
Pengawas. Perintah penahanan dilaksanakan oleh jaksa yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas.

SUMBER HUKUM DAN ASAS HUKUM PENGANGKUTAN


Sumber Hukum dan Asas Hukum Pengangkutan
A.

Pengertian Sumber Hukum


Sumber hukum adalah segala atau apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang
mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar
mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. Secara sederhana, sumber hukum adalah
segala sesuatu yang dapat menimbulkan aturan hukum serta tempat ditemukakannya
aturan-aturan hukum. Sumber hukum dapat dilihat dari 2 segi, yaitu segi materiil dan
formil.

B. Klasifikasi pengangkutan:
Pengangkutan dapat dikelompokan menurut macam atau moda atau jenisnya (modes
of transportation) yang dapat ditinjau dari segi barang yang diangkut, dari segi geografis
transportasi itu berlangsung, dari sudut teknis serta dari sudut alat angkutannya. Secara
rinci klasifikasi transportasi sebagai berikut:
1. Dari segi barang yang diangkut, transportasi meliputi:
a.

Angkutan penumpang (passanger);

b.

Angkutan barang (goods);

c.

Angkutan pos (mail);

2. Ditinjau dari sudut geografis, transportasi dapat dibagi menjadi;


a. Angkutan antar benua: misalnya dari Asia ke Eropah;
b. Angkutan antar kontinental: misalnya dari Francis ke Swiss dan diseterusnya
sampai ke Timur Tengah;
c. Angkutan antar pulau: misalnya dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera;
d. Angkutan antar kota: misalnya dari Jakarta ke Bandung;
e. Angkutan antar daerah: misalnya dari Jawa Barat ke Jawa Timur;
f. Angkutan di dalam kota: misalnya kota Medan, Surabaya dan lain-lain.
3. Dilihat dari sudut teknis dan alat angkutnya, maka transportasi dapat dibedakan
sebagai berikut:

A Angkutan
jalan
raya
atau highway
transportation
(road
transportation), seperti pengangkutan dengan menggunakan truk,bus dan sedan;
b. Pengangkutan rel (rail transportation), yaitu angkutan kereta api, trem listrik
dan sebagainya. Pengangkutan jalan raya dan pengangkutan rel kadang-kadang
keduanya digabung dalam golongan yang disebut rail and road transportation atau
land transportation (angkutan darat);
c. Pengangkutan melalui air di pedalaman (inland transportation), seperti
pengangkutan sungai,
kanal,
danau
dan
sebagainya;
d. Pengangkutan pipa (pipe line transportation), seperti transportasi untuk
mengangkut atau
mengalirkan
minyak
tanah,bensin dan
air minum;
e. Pengangkutan laut atau samudera (ocean transportation), yaitu angkutan
dengan menggunakan
kapal
laut
yang
mengarungi
samudera;
f. Pengangkutan udara (transportation by air atau air transportation),
yaitu pengangkutan dengan menggunakan kapal terbang yang melalui jalan udara.
C. Sumber
Hukum
Pengangkutan
Ketentuan-ketentuan umum mengenai pengangkutan dalam Kitab UndangUndangHukum Dagang dapat ditemukan di dalam beberapa pasal, yaitu sebagai
berikut:
1. Buku 1 Bab V bagian 2 dan 3, mulai dari Pasal 90 sampai dengan Pasal 98
TentangPengangkutan
darat
Dan
Pengangkutan
Perairan
Darat;
2. Buku II Bab V Pasal 453 sampai dengan Pasal 465 Tentang Pencarteran Kapal,
Buku IIBab V A Pasal 466 sampai dengan Pasal 520 Tentang Pengangkutan
Barang, dan Buku IIBab V B Pasal 521 sampai Pasal 544a Tentang Pengangkutan
Orang;
3. Buku I Bab V Bagian II Pasal 86 sampai dengan Pasal 90 mengenai Kedudukan
Para
Ekspeditur
sebagai
Pengusaha
Perantara;
4. Buku I Bab XIII Pasal 748 sampai dengan Pasal 754 mengenai Kapal-Kapal
yang
melalui
perairan
darat
Sedangkan ketentuan-ketentuan tentang pengangkutan di luar KUH Dagang
terdapat dalam
sumber-sumber
khusus,
yaitu
antara
lain:
1.
Konvensi-konvensi
internasional;
2. Perjanjian
bilateral
atau
perjanjian
multilateral;
3.
Peraturan
perundang-undangan
nasional;
4.
Yurisprudensi
5. Perjanjian-perjanjian antara:
a.

Pemerintah-Perusahaan Angkutan

b.

Perusahaan Angkutan- Perusahaan Angkutan

c.

Perusahaan Angkutan- pribadi/swasta

Anda mungkin juga menyukai