Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

DENGAN GANGGUAN MOBILITAS FISIK


PRAKTIK PROFESI NERS KEPERAWATAN GERONTIK

A. Konsep Penyakit
1. Definisi
Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaaan yang terjadi
didalam kehidupan manusia. Proses menua

merupakan

proses

sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi
dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses
alamiah,

yang

berarti

seseorang

telah

melalui

tiga

tahap

kehidupannya, yaitu anak, dewasa dan tua. Tiga tahap ini berbeda,
baik secara biologis maupun psikologis. Memasuki usia tua berarti
mengalami kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang ditandai
dengan

kulit

yang

ompong, pendengaran

mengendur,
kurang

rambut
jelas,

memutih,
pengelihatan

gigi

mulai

semakin

memburuk, gerakan lambat dan figur tubuh yang tidak proporsional


(Nugroho, 2008).
WHO dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang
kesejahteraan lanjut usia pada Bab 1 Pasal 1 Ayat 2 menyebutkan
bahwa usia 60 tahun adalah usia permulaan tua. Menua bukanlah
suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur
mengakibatkan perubahan kumulatif, merupakan proses menurunya
daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan
luar tubuh.
Usia lanjut adalah sesuatu yang harus diterima sebagai suatu
kenyataan dan fenomena biologis. Kehidupan itu akan diakhiri dengan
proses penuaan yang berakhir dengan kematian (Hutapea, 2005).

Batasan lansia :

WHO (1999) menggolongkan lanjut usia berdasarkan usia kronologis/


biologis menjadi 4 kelompok yaitu :
1)
2)
3)
4)

usia pertengahan (middle age) antara usia 45 sampai 59


lanjut usia (elderly) berusia antara 60 dan 74 tahun
lanjut usia tua (old) 75 90 tahun
usia sangat tua (Very old) di atas 90 tahun.
Menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1965 Pasal 1 seseorang

dapat dinyatakan sebagai seorang jompo atau lanjut usia setelah


bersangkutan mencapai umur 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak
berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari
dan menerima nafkah dari orang lain. Undang-Undang No. 13 Tahun
1998 tentang kesejahteraan lansia bahwa lansia adalah seseorang yang
mencapai usia 60 tahun keatas.
Mobilisasi adalah kemampuan seseorang untuk bergerak secara
bebas, mudah dan teratur yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehat. Mobilisasi diperlukan untuk meninngkatkan kesehatan,
memperlambat proses penyakit khususnya penyakit degeneratif dan
untuk aktualisasi. Mobilisasi menyebabkan perbaikan sirkulasi,
membuat

napas

dalam

dan

menstimulasi

kembali

fungsi

gastrointestinal normal, dorong untuk menggerakkan kaki dan tungkai


bawah sesegera mungkin, biasanya dalam waktu 12 jam (Mubarak,
2008).
Gangguan mobilitas fisik (immobilisasi) didefinisikan oleh North
American Nursing Diagnosis Association (NANDA) sebagai suatu
kedaaan dimana individu yangmengalami atau beresiko mengalami
keterbatsan gerakan fisik. Individu yang mengalami atau beresiko
mengalami keterbatasan gerakan fisik antara lain : lansia, individu
dengan penyakit yang mengalami penurunan kesadaran lebih dari 3
hari atau lebih, individu yang kehilangan fungsi anatomic akibat
perubahan fisiologik (kehilangan fungsi motorik,klien dengan stroke,
klien penggunaa kursi roda), penggunaan alat eksternal (seperti
gipsatau traksi), dan pembatasan gerakan volunteer (Potter, 2006)
2. Etiologi

Proses penuaan adalah normal, berlangsung secara terus menerus


secara alamiah. Dimulai sejak manusia lahir bahkan sebelumnya dan
umunya dialami seluruh makhluk hidup. Menua merupakan proses
penurunan fungsi struktural tubuh yang diikuti penurunan daya tahan
tubuh. Setiap orang akan mengalami masa tua, akan tetapi penuaan pada
tiap seseorang berbeda-beda tergantung pada berbagai faktor yang
mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut dapat berupa faktor herediter,
nutrisi, stress, status kesehatan dan lain-lain (Stanley, 2006).
Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah,
kekakuan otot, ketidakseimbangan, dan masalah psikologis. . penyebab
secara umum adalah kelaian postur, gangguan perkembangan otot,
kerusakan

sistem

saraf

pusat,

trauma

langsung

pada

sistem

muskuluskeletal dan neuromuscular, kekakuan otot (Nugroho, 2006)


3. Manifestasi Klinik
Semakin bertambahnya umur manusia, terjadi proses penuaan secara
degeneratif yang akan berdampak pada perubahan-perubahan pada diri
manusia, tidak hanya perubahan fisik, tetapi juga kognitif, perasaan,
sosial dan sexual (Azizah, 2011).
a. Perubahan Fisik
1) Sistem Indra: Sistem pendengaran, Prebiakusis (gangguan pada
pendengaran)

oleh

karena

hilangnya

kemampuan

(daya)

pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap bunyi suara atau


nada-nada yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit dimengerti katakata, 50% terjadi pada usia diatas 60 tahun.
2) Sistem Integumen: Pada lansia kulit mengalami atropi, kendur, tidak
elastis kering dan berkerut. Kulit akan kekurangan cairan sehingga
menjadi tipis dan berbercak. Kekeringan kulit disebabkan atropi
glandula sebasea dan glandula sudoritera, timbul pigmen berwarna
coklat pada kulit dikenal dengan liver spot.
3) Sistem Muskuloskeletal: Perubahan sistem muskuloskeletal pada
lansia antara lain sebagai berikut: Jaringan penghubung (kolagen
dan elastin). Kolagen sebagai pendukung utama kulit, tendon,

tulang, kartilago dan jaringan pengikat mengalami perubahan


menjadi bentangan yang tidak teratur.
4) Kartilago: jaringan kartilago pada persendian lunak dan mengalami
granulasi dan akhirnya permukaan sendi menjadi rata, kemudian
kemampuan kartilago untuk regenerasi berkurang dan degenerasi
yang terjadi cenderung kearah progresif, konsekuensinya kartilago
pada persendiaan menjadi rentan terhadap gesekan.
5) Tulang: berkurangnya kepadatan tualng setelah di obserfasi adalah
bagian dari penuaan fisiologi akan mengakibatkan osteoporosis
lebih lanjut mengakibatkan nyeri, deformitas dan fraktur.
6) Otot: perubahan struktur otot pada penuaan sangat berfariasi,
penurunan jumlah dan ukuran serabut otot, peningkatan jaringan
penghubung dan jaringan lemak pada otot mengakibatkan efek
negatif.
7) Sendi: pada lansia, jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon,
ligament dan fasia mengalami penuaan elastisitas.
8) Sistem kardiovaskuler: Massa jantung bertambah, vertikel kiri
mengalami

hipertropi

dan

kemampuan

peregangan

jantung

berkurang karena perubahan pada jaringan ikat dan penumpukan


lipofusin dan klasifikasi Sa nude dan jaringan konduksi berubah
menjadi jaringan ikat.
9) Sistem respirasi: Pada penuaan terjadi perubahan jaringan ikat paru,
kapasitas total paru tetap, tetapi volume cadangan paru bertambah
untuk mengompensasi kenaikan ruang rugi paru, udara yang
mengalir ke paru berkurang. Perubahan pada otot, kartilago dan
sendi torak mengakibatkan gerakan pernapasan terganggu dan
kemampuan peregangan toraks berkurang.
10) Pencernaan dan Metabolisme: Perubahan yang terjadi pada sistem
pencernaan, seperti penurunan produksi sebagai kemunduran fungsi
yang nyata :
a) Kehilangan gigi,
b) Indra pengecap menurun,
c) Rasa lapar menurun (sensitifitas lapar menurun),
d) Liver (hati) makin mengecil dan menurunnya
penyimpanan, berkurangnya aliran darah.

tempat

11) Sistem perkemihan: Pada sistem perkemihan terjadi perubahan yang


signifikan. Banyak fungsi yang mengalami kemunduran, contohnya
laju filtrasi, ekskresi, dan reabsorpsi oleh ginjal.
12) Sistem saraf: Sistem susunan saraf mengalami perubahan anatomi
dan atropi yang progresif pada serabut saraf lansia. Lansia
mengalami

penurunan

koordinasi

dan

kemampuan

dalam

melakukan aktifitas sehari-hari.


13) Sistem reproduksi: Perubahan sistem reproduksi lansia ditandai
dengan menciutnya ovary dan uterus. Terjadi atropi payudara. Pada
laki-laki testis masih dapat memproduksi spermatozoa, meskipun
adanya penurunan secara berangsur-angsur.
b. Perubahan kognitif
1) Memory (Daya ingat, Ingatan)
2) IQ (Intellegent Quocient)
3) Kemampuan Belajar (Learning)
4) Kemampuan Pemahaman (Comprehension)
5) Pemecahan Masalah (Problem Solving)
6) Pengambilan Keputusan (Decission Making)
7) Kebijaksanaan (Wisdom)
8) Kinerja (Performance)
9) Motivasi
c. Perubahan mental
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental :
1) Pertama-tama perubahan fisik, khsusnya organ perasa.
2) Kesehatan umum
3) Tingkat pendidikan
4) Keturunan (hereditas)
5) Lingkungan
6) Gangguan syaraf panca indera, timbul kebutaan dan ketulian.
7) Gangguan konsep diri akibat kehilangan kehilangan jabatan.
8) Rangkaian dari kehilangan , yaitu kehilangan hubungan dengan
teman dan famili.
9) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap
gambaran diri, perubahan konsep diri.
d. Perubahan spiritual
Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya
(Maslow, 1970). Lansia makin matur dalam kehidupan keagamaanya,
hal ini terlihat dalam berfikir dan bertindak dalam sehari-hari
(Murray dan Zentner, 1970)
e. Kesehatan psikososial

1) Kesepian
Terjadi pada saat pasangan hidup atau teman dekat meninggal
terutama jika lansia mengalami penurunan kesehatan, seperti
menderita penyakit fisik berat, gangguan mobilitas atau gangguan
sensorik terutama pendengaran.
2) Duka cita (Bereavement)
Meninggalnya pasangan hidup, teman dekat, atau bahkan hewan
kesayangan dapat meruntuhkan pertahanan jiwa yang telah rapuh
pada lansia. Hal tersebut dapat memicu terjadinya gangguan fisik
dan kesehatan.
3) Depresi
Duka cita yang berlanjut akan menimbulkan perasaan kosong,
lalu diikuti dengan keinginan untuk menangis yang berlanjut
menjadi suatu episode depresi. Depresi juga dapat disebabkan
karena stres lingkungan dan menurunnya kemampuan adaptasi.
4) Gangguan cemas
Dibagi dalam beberapa golongan: fobia, panik, gangguan cemas
umum, gangguan stress setelah trauma dan gangguan obsesif
kompulsif, gangguan-gangguan tersebut merupakan kelanjutan dari
dewasa muda dan berhubungan dengan sekunder akibat penyakit
medis, depresi, efek samping obat, atau gejala penghentian
mendadak dari suatu obat.
5) Parafrenia
Suatu bentuk skizofrenia pada lansia, ditandai dengan waham
(curiga), lansia sering merasa tetangganya mencuri barangbarangnya atau berniat membunuhnya. Biasanya terjadi pada lansia
yang terisolasi/diisolasi atau menarik diri dari kegiatan sosial.
6) Sindroma Diogenes
Suatu kelainan dimana lansia menunjukkan penampilan perilaku
sangat mengganggu. Rumah atau kamar kotor dan bau karena lansia
bermain-main dengan feses dan urin nya, sering menumpuk barang
dengan tidak teratur. Walaupun telah dibersihkan, keadaan tersebut
dapat terulang kembali.
Dampak fisiologis dari imobilitas, antara lain:

Efek
Penurunan

konsumsi

Hasil
oksigen Intoleransi ortostatik

maksimum
Penurunan fungsi ventrikel kiri

Peningkatan denyut jantung, sinkop

Penurunan volume sekuncup

Penurunan kapasitas kebugaran

Perlambat fungsi usus

Konstipasi

Pengurangan miksi

Penurunan evakuasi kandung kemih

Gangguan tidur

Bermimpi pada siang hari, halusinasi

Efek imobilisasi pada berbagai sistem organ:


Organ/Sistem
Muskuloskeletal

Perubahan yang terjadi akibat imobilisasi


Oteoporosis,

penurunan

massa

tulang,

hilangnya kekuatan otot, penurunan area


potong lintang otot, kontraktor, degenerasi
rawan sendi, ankilosis, peningkatan tekanan
intraartikular, berkurangnya volume sendi
Kardiopulmonal dan pembuluh Peningkatan denyut nadi istirahat, penurunan
darah

perfusi

miokard,

intoleran

ortostatik,

penurunan

maksimal

(VO2

jantung,

ambilan

max),

penurunan

terhadap
oksigen

deconditioning

volume

plasma,

perubahan uji fungsi paru, atelektasis paru,


pneumonia,
peningkatan

peningkatan
agresi

stasis

trombosit,

vena,
dan

hiperkoagulasi
Integumen

Peningkatan resiko ulkus dekubitus dan


laserasi kulit

Metabolik dan endokrin

Keseimbangan
hiperkalsiuria,
natrium,

nitrogen
natriuresis

resistensi

insulin

negatif,
dan

deplesi

(intoleransi

glukosa), hiperlipidemia, penurunan absorpsi


dan metabolisme vitamin/mineral
4. Komplikasi
a. Penyakit-penyakit yang umum menjangkiti lansia adalah:
1)
Rematik
2)
Hipertensi
3)
Jantung Koroner
4)
Diabetes Melitus
5)
Osteoporosis
6)
Kepikunan
7)
Malnutrisi/Anoreksia
8)
Konstipasi
9)
Dehidrasi
(Mubarak, 2008)
b. Komplikasi pada gangguan mobilisasi, adalah:
1) Perubahan Metabolik
Secara umum imobilitas dapat mengganggu metabolisme secara
normal, mengingat imobilitas dapat menyebabkan turunnya kecepatan
metabolisme dalam tubuh. Immobilisasi menggangu fungsi metabolic
normal antara lain laju metabolic: metabolisme karbohidarat, lemak,
dan protein, keseimbangan cairan dan elektrolit, ketidakseimbangan
kalsium, dan gangguan pencernaan.
Gangguan metabolic yang mungkin terjadi :
Defisensi kalori dan proterin merupakan karakteristik klien yang
mengalami anoreksia sekunder akibat mobilisasi. Immobilisasi
menyebabkan asam amino tidak digunakan dan akan diekskresikan.
Pemecahan asasm amino akan terus terjadi dan menghasilkan
nitrogen sehingga akumulasinya menyebabkan keseimbangan
nitrogen negative , kehilangan berat badan , penurunan massa otot,
dan kelemahan akibat katabolisme jaringan. Kehilangan massa otot
terutama pada hati,jantung,paru-paru, saluran pencernaan, dan

imunitas.
Ekskresi kalsium dalam urin ditingkatkan melalui resorpsi tulang.
Hal ini terjadi karena immobilisasi menyebabkan kerja ginjal yang
menyebabkan hiperkalsemia.

Gangguan

nutrisi

(hipoalbuminemia)

Imobilisasi

akan

mempengaruhi system metabolik dan endokrin yang akibatnya akan


terjadi perubahan terhadap metabolisme zat gizi. Salah satu yang
terjadi adalah perubahan metabolisme protein. Kadar plasma
kortisol lebih tinggi pada usia lanjut yang imobilisasi sehingga
menyebabkan metabolisme menjadi katabolisme. Keadaan tidak
beraktifitas dan imobilisasi selama 7 hari akan meningkatkan

ekskresi nitrogen urin sehingga terjadi hipoproteinemia.


Gangguan gastrointestinal terjadi akibta penurunan motilitas usus.
Konstipasi sebagai gejala umum , diare karena feces yang cair
melewati bagian terjepit dan menyebabkan masalah serius berupa
obstruksi usus mekanik bila tidak ditangani karena adanya distensi
dan peningkatan intraluminal yang akan semakin parah bila terjadi

dehidrasi, terhentinya asorbsi, gannguan cairan dan elektrolit.


2) Ketidakseimbangan Cairan dan Elektrolit
Terjadinya ketidakseimbangan cairan dan elektrolit sebagai dampak
dari imobilitas akan mengakibatkan persediaan protein menurun dan
konsenstrasi protein serum berkurang sehingga dapat mengganggu
kebutuhan cairan tubuh. Berkurangnya perpindahan cairan dari
intravaskular ke interstitial dapat menyebabkan edema, sehingga terjadi
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
3) Gangguan Pengubahan Zat Gizi
Terjadinya gangguan zat gizi yang disebabkan oleh menurunnya
pemasukan protein dan kalori dapat mengakibatkan pengubahan zat-zat
makanan pada tingkat sel menurun, dan tidak bisa melaksanakan
aktivitas metabolisme
4) Gangguan Fungsi Gastrointestinal
Imobilitas dapat menyebabkan gangguan fungsi

gastrointestinal,

karena imobilitas dapat menurunkan hasil makanan yang dicerna dan


dapat menyebabkan gangguan proses eliminasi.
5) Perubahan Sistem Pernapasan

Imobilitas menyebabkan terjadinya perubahan sistem pernapasan.


Akibat imobilitas, kadar hemoglobin menurun, ekspansi paru menurun,
dan terjadinya lemah otot,
6) Perubahan Kardiovaskular
Perubahan sistem kardiovaskular akibat imobilitas, yaitu berupa
hipotensi ortostatik, meningkatnya kerja jantung, dan terjadinya
pembentukan trombus.
7) Perubahan Sistem Muskuloskeletal
Gangguan Muskular: menurunnya massa otot sebagai dampak
imobilitas, dapat menyebabkan turunnya kekuatan otot secara langsung.
Gangguan Skeletal: adanya imobilitas juga dapat menyebabkan
gangguan skeletal, misalnya akan mudah terjadi kontraktur sendi dan
osteoporosis.
8) Perubahan Sistem Integumen
Perubahan sistem integumen yang terjadi berupa penurunan elastisitas
kulit karena menurunnya sirkulasi darah akibat imobilitas.
9) Perubahan Eliminasi
Perubahan dalam eliminasi misalnya dalam penurunan jumlah urine.
10) Perubahan Perilaku
Perubahan perilaku sebagai akibat imobilitas, antara lain timbulnya rasa
bermusuhan, bingung, cemas, dan sebagainya.
(Basford, 2006)
5. Patofisiologi dan Pathway
Pada hakekatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang
berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya yaitu masa
anak, masa dewasa dan masa tua (Nugroho, 2008). Tiga tahap ini
berbeda baik secara biologis maupun psikologis. Memasuki masa tua
berarti mengalami kemuduran secara fisik maupun psikis. Kemunduran
fisik ditandai dengan kulit yang mengendor, rambut memutih,
penurunan pendengaran, penglihatan memburuk, gerakan lambat,
kelainan berbagai fungsi organ vital, sensitivitas emosional meningkat
dan kurang gairah. Meskipun secara alamiah terjadi penurunan fungsi
berbagai organ, tetapi tidak harus menimbulkan penyakit oleh karenanya
usia lanjut harus sehat. Sehat dalam hal ini diartikan:
a. Bebas dari penyakit fisik, mental dan sosial,

b. Mampu melakukan aktivitas untuk memenuhi kebutuhan sehari


hari,
c. Mendapat dukungan secara sosial dari keluarga dan masyarakat

Akibat perkembangan usia, lanjut usia mengalami perubahanperubahan yang menuntut dirinya untuk menyesuakan diri secara terusmenerus. Apabila proses penyesuaian diri dengan lingkungannya kurang
berhasil maka timbullah berbagai masalah. Hurlock (1999) seperti
dikutip oleh Munandar Ashar Sunyoto (2001) menyebutkan masalah
masalah yang menyertai lansia yaitu:
a. Ketidakberdayaan fisik yang menyebabkan ketergantungan pada
orang lain
b. Ketidakpastian ekonomi sehingga memerlukan perubahan total dalam
pola hidupnya
c. Membuat teman baru untuk mendapatkan ganti mereka yang telah
meninggal atau pindah
d. Mengembangkan aktifitas baru untuk mengisi waktu luang yang
bertambah banyak
e. Belajar memperlakukan anak-anak yang telah tumbuh dewasa.
Berkaitan dengan perubahan fisk, Hurlock mengemukakan bahwa
perubahan fisik yang mendasar adalah perubahan gerak.
Berkaitan dengan perubahan, kemudian Hurlock (1999) mengatakan
bahwa perubahan yang dialami oleh setiap orang akan mempengaruhi
minatnya terhadap perubahan tersebut dan akhirnya mempengaruhi pola
hidupnya. Bagaimana sikap yang ditunjukkan apakah memuaskan atau
tidak memuaskan, hal ini tergantung dari pengaruh perubahan terhadap
peran dan pengalaman pribadinya. Perubahan ynag diminati oleh para
lanjut usia adalah perubahan yang berkaitan dengan masalah peningkatan
kesehatan, ekonomi/pendapatan dan peran sosial
Dalam menghadapi perubahan tersebut diperlukan penyesuaian. Ciriciri penyesuaian yang tidak baik dari lansia (Hurlock, 1999 dalam
Munandar, 2001) adalah:
a. Minat sempit terhadap kejadian di lingkungannya.
b. Penarikan diri ke dalam dunia fantasi
c. Selalu mengingat kembali masa lalu
d. Selalu khawatir karena pengangguran,
e. Kurang ada motivasi,

f. Rasa kesendirian karena hubungan dengan keluarga kurang baik, dan


g. Tempat tinggal yang tidak diinginkan.
Di lain pihak ciri penyesuaian diri lanjut usia yang baik antara lain
adalah: minat yang kuat, ketidaktergantungan secara ekonomi, kontak
sosial luas, menikmati kerja dan hasil kerja, menikmati kegiatan yang
dilkukan saat ini dan memiliki kekhawatiran minimla trehadap diri dan
orang lain.

Mobilisasi sangat dipengaruhi oleh sistem neuromuskular, meliputi


sistem otot, skeletal, sendi, ligament, tendon, kartilago, dan saraf. Otot
skeletal mengatur gerakan tulang karena adanya kemampuan otot
berkontraksi

dan

relaksasi

yang

bekerja

sebagai

pengungkit.

Immobilisasi menyebabkan aktifitas dan tonus otot menjadi berkurang.


Skeletal adalah rangka pendukung tubuh dan terdiri dari empat tipe

tulang: panjang, pendek, pipih, dan ireguler. Sistem skeletal berfungsi


dalam pergerakan, melindungi organ vital, membantu mengatur
keseimbangan kalsium, berperan dalam pembentukan sel darah merah
(Potter, 2006)
6. Penatalaksanaan
Jenis pelayanan kesehatan terhadap lansia meliputi lima upaya
kesehatan yaitu: peningkatan (promotif), pencegahan (preventif),
diagnosis dini dan pengobatan, pembatasan kecacatan dan pemulihan.
a. Promosi (Promotif)
Upaya promotif merupakan tindakan secara langsung dan tidak langsung
untuk meningkatkan derajat kesehatan dan mencegah penyakit. Upaya
promotif juga merupakan proses advokasi kesehatan untuk meningkatkan
dukungan klien, tenaga provesional dan masyarakat terhadap praktik
kesehatan yang positif menjadi norma-norma sosial. Upaya promotif di
lakukan untuk membantu organ-organ mengubah gaya hidup mereka dan
bergerak ke arah keadaan kesehatan yang optimal serta mendukung
pemberdayaan seseorang untuk membuat pilihan yang sehat tentang
perilaku hidup mereka.
Upaya perlindungan kesehatan bagi lansia adalah sebagai berikut:
1) Mengurangi cedera, di lakukan dengan tujuan mengurangi kejadian
jatuh, mengurangi bahaya kebakaran dalam rumah, meningkatkan
penggunaan alat pengaman dan mengurangi kejadian keracunan
makanan atau zat kimia.
2) Meningkatkan keamanan di tempat kerja yang bertujuan untuk
mengurangi terpapar dengan bahan-bahan kimia dan meningkatkan
pengunaan sistem keamanan kerja.
3) Meningkatkan perlindungan dari kualitas udara yang buruk, bertujuan
untuk

mengurangi

pengunaan

semprotan

bahan-bahan

kimia,

mengurangi radiasi di rumah, meningkatkan pengolahan rumah tangga


terhadap bahan berbahaya, serta mengurangi kontaminasi makanan
dan obat-obatan.

4) Meningkatkan perhatian terhadap kebutuhan gigi dan mutu yang


bertujuan untuk mengurangi karies gigi serta memelihara kebersihan
gigi dan mulut.
b. Pencegahan (Preventif)
Dalam mencakup pencegahan primer, sekunder dan tersier.
1) Melakukan pencegahan primer, meliputi pencegahan pada lansia
sehat, terdapat faktor risiko, tidak ada penyakit, dan promosi kesehatan.
Jenis pelayanan pencegahan primer adalah: program imunisasi,
konseling, berhenti merokok dan minum beralkohol, dukungan nutrisi,
keamanan di dalam dan sekitar rumah, manajemen stres, penggunaan
medikasi yang tepat.
2) Melakukan pencegahan sekunder, meliputi pemeriksaan terhadap
penderita tanpa gejala dari awal penyakit hingga terjadi gejala penyakit
belum tampak secara klinis dan mengindap faktor risiko.
3) Jenis pelayan pencegahan sekunder antara lain adalah sebagai berikut:
kontrol hipertensi, deteksi dan pengobatan kangker, screening:
pemeriksaan rektal, papsmear, gigi mulut dan lain-lain.
4) Melakukan pencegahan tersier, dilakukan sebelum terdapat gejala
penyakit dan cacat, mecegah cacat bertambah dan ketergantungan, serta
perawatan dengan perawatan di rumah sakit, rehabilisasi pasien rawat
jalan dan perawatan jangka panjang.
c. Diagnosis dini dan Pengobatan
1) Diagnosis dini dapat dilakukan oleh lansia sendiri atau petugas
profesional dan petugas institusi. Oleh lansia sendiri dengan
melakukan tes dini, skrining kesehatan, memanfaatkan Kartu Menuju
Sehat (KMS) Lansia, memanfaatkan Buku Kesehatan Pribadi (BKP),
serta penandatangan kontrak kesehatan.
2) Pengobatan: Pengobatan terhadap gangguan sistem dan gejala yang
terjadi meliputi sistem muskuloskeletal, kardiovaskular, pernapasan,
pencernaan, urogenital, hormonal, saraf dan integumen
(Nugroho, 2008)

Penatalaksanaan medis pada gangguan mobilisasi:

1) Penatalaksanaan Umum
a) Kerjasama tim medis interdisiplin dengan partisipasi pasien, keluarga,
dan pramuwerdha.
b) Edukasi pada pasien dan keluarga mengenai bahaya tirah baring lama,
pentingnya latihan bertahap dan ambulasi dini, serta mencegah
ketergantungan pasien dengan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari
sendiri, semampu pasien.
c) Dilakukan pengkajian geriatri paripurna, perumusan target fungsional,
dan pembuatan rencana terapi yang mencakup pula perkiraan waktu yang
diperlukan untuk mencapai target terapi.
d) Temu dan kenali tatalaksana infeksi, malnutrisi, anemia, gangguan
cairan dan elektrolit yang mungkin terjadi pada kasus imobilisasi, serta
penyakit/ kondisi penyetara lainnya.
e)
Evaluasi seluruh obat-obatan yang dikonsumsi; obat-obatan yang
dapat menyebabkan kelemahan atau kelelahan harus diturunkan dosisnya
atau dihentkan bila memungkinkan.
f) Berikan nutrisi yang adekuat, asupan cairan dan makanan yang
mengandung serat, serta suplementasi vitamin dan mineral.
g) Program latihan dan remobilisasi dimulai ketika kestabilan kondisi
medis terjadi meliputi latihan mobilitas di tempat tidur, latihan gerak sendi
(pasif, aktif, dan aktif dengan bantuan), latihan penguat otot-otot (isotonik,
isometrik, isokinetik), latihan koordinasi/ keseimbangan, dan ambulasi
terbatas.
h) Bila diperlukan, sediakan dan ajarkan cara penggunaan alat-alat bantu
berdiri dan ambulasi.
i)
Manajemen miksi dan defekasi, termasuk penggunaan komod atau
toilet.
2) Tatalaksana Khusus
a) Tatalaksana faktor risiko imobilisasi
b) Tatalaksana komplikasi akibat imobilisasi.
c) Pada keadaan-keadaan khusus, konsultasikan kondisi medik kepada
dokter spesialis yang kompeten.
d) Lakukan remobilisasi segera dan bertahap pada pasienpasien yang
mengalami sakit atau dirawat di rumah sakit dan panti werdha untuk
mobilitas yang adekuat bagi usia lanjut yang mengalami disabilitas
permanen.

Penatalaksanaan Keperawatan pada gangguan mobilisasi:


1) Pengaturan Posisi Tubuh sesuai Kebutuhan Pasien
Pengaturan posisi dalam mengatasi masalah kebutuhan mobilitas,
digunakan untuk meningkatkan kekuatan, ketahanan otot, dan fleksibilitas
sendi. Posisi-posisi tersebut, yaitu :
a) Posisi fowler (setengah duduk)
b) Posisi litotomi
c) Posisi dorsal recumbent
d) Posisi supinasi (terlentang)
e) Posisi pronasi (tengkurap)
f) Posisi lateral (miring)
g) Posisi sim
h) Posisi trendelenbeg (kepala lebih rendah dari kaki)
2) Ambulasi dini
Cara ini adalah salah satu tindakan yang dapat meningkatkan kekuatan dan
ketahanan otot serta meningkatkan fungsi kardiovaskular. Tindakan ini
bisa dilakukan dengan cara melatih posisi duduk di tempat tidur, turun dari
tempat tidur, bergerak ke kursi roda, dan lain-lain.
3) Melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri juga dilakukan untuk
melatih kekuatan, ketahanan, kemampuan sendi agar mudah bergerak,
serta meningkatkan fungsi kardiovaskular.
4) Latihan isotonik dan isometrik
Latihan ini juga dapat dilakukan untuk melatih kekuatan dan ketahanan
otot dengan cara mengangkat beban ringan, lalu beban yang berat. Latihan
isotonik (dynamic exercise) dapat dilakukan dengan rentang gerak (ROM)
secara aktif, sedangkan latihan isometrik (static exercise) dapat dilakukan
dengan meningkatkan curah jantung dan denyut nadi.
5) Latihan ROM Pasif dan Aktif
Latihan ini baik ROM aktif maupun pasif merupakan tindakan pelatihan
untuk mengurangi kekakuan pada sendi dan kelemahan otot.
Latihan-latihan itu, yaitu :
a) Fleksi dan ekstensi pergelangan tangan
b) Fleksi dan ekstensi siku
c) Pronasi dan supinasi lengan bawah
d) Pronasi fleksi bahu
e) Abduksi dan adduksi
f) Rotasi bahu
g) Fleksi dan ekstensi jari-jari
h) Infersi dan efersi kaki
i) Fleksi dan ekstensi pergelangan kaki

j) Fleksi dan ekstensi lutut


k) Rotasi pangkal paha
l) Abduksi dan adduksi pangkal paha
6) Latihan Napas Dalam dan Batuk Efektif
Latihan ini dilakukan untuk meningkatkan fungsi respirasi sebagai dampak
terjadinya imobilitas.
7) Melakukan Postural Drainase
Postural drainase merupakan cara klasik untuk mengeluarkan sekret dari
paru dengan menggunakan gaya berat (gravitasi) dari sekret itu sendiri.
Postural drainase dilakukan untuk mencegah terkumpulnya sekret dalam
saluran napas tetapi juga mempercepat pengeluaran sekret sehingga tidak
terjadi atelektasis, sehingga dapat meningkatkan fungsi respirasi. Pada
penderita dengan produksi sputum yang banyak, postural drainase lebih
efektif bila diikuti dengan perkusi dan vibrasi dada.
8) Melakukan komunikasi terapeutik
Cara ini dilakukan untuk memperbaiki gangguan psikologis yaitu dengan
cara

berbagi

perasaan

dengan

pasien,

membantu

pasien

untuk

mengekspresikan kecemasannya, memberikan dukungan moril, dan lainlain.


B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Riwayat Penyakit
Hal yang perlu dikaji diantaranya adalah riwayat adanya gangguan
pada sistem muskuloskeletal, ketergantungan terhadap orang lain
dalam melakukan aktivitas, jenis latihan atau olahraga yang sering
dilakukan klien dan lain-lain.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik, meliputi rentang gerak, kekuatan otot, sikap tubuh,
dan dampak imobilisasi terhadap sistem tubuh.
c. Pemeriksaan Penunjang (Diagnostik/Laboratorium)
Sinar X tulang menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, dan

perubahan hubungan tulang.


CT scan (Computed Tomography) menunjukkan rincian bidang
tertentu tulang yang terkena dan dapat memperlihatkan tumor
jaringan lunak atau cidera ligament atau tendon. Digunakan untuk

mengidentifikasi lokasi dan panjangnya patah tulang didaerah yang

sulit dievaluasi.
MRI (Magnetik Resonance Imaging) adalah tehnik pencitraan
khusus,

noninvasive,

gelombang

radio,

yang
dan

menggunakan

computer

untuk

medan

magnet,

memperlihatkan

abnormalitas (mis: tumor atau penyempitan jalur jaringan lunak

melalui tulang. Dll.


Pemeriksaan Laboratorium:
Hb pada trauma, Ca pada imobilisasi lama, Alkali Fospat ,
kreatinin dan SGOT pada kerusakan otot.

2. Diagnosa Keperawaran
a. Hambatan mobilitas fisik
b. Nyeri akut
c. Intoleransi aktivitas
d. Defisit perawatan diri
3. Perencanaan Keperawatan
Diagnosa

Tujuan dan Kriteria Hasil

Hambatan

Setelah dilakukan asuhan

mobilitas fisik

keperawatan selama ...x

berhubungan

24

dengan gangguan
muskuloskeletal

jam

klien

Intervensi
Latihan Kekuatan
1. Ajarkan
dan

berikan

dorongan pada klien untuk

melakukan program latihan


menunjukkan:
1. Mampu mandiri total
secara rutin
2. Membutuhkan alat Latihan untuk ambulasi
1. Ajarkan teknik Ambulasi &
bantu
3. Membutuhkan
perpindahan yang aman
bantuan orang lain
4. Membutuhkan
bantuan orang lain

kepada klien dan keluarga.


2. Sediakan alat bantu untuk
klien seperti kruk, kursi roda,

dan alat
dan walker
5. Tergantung total
3. Beri penguatan positif untuk
Kriteria Hasil :
berlatih
mandiri
dalam
Penampilan
posisi
batasan yang aman.
tubuh yang benar
Latihan mobilisasi dengan
Pergerakan sendi dan
kursi roda
otot
1. Ajarkan pada klien &

Melakukan

keluarga

perpindahan/ ambulasi

pemakaian kursi roda & cara

: miring kanan-kiri,

berpindah dari kursi roda ke

berjalan, kursi roda

tentang

cara

tempat tidur atau sebaliknya.


2. Dorong klien melakukan
latihan untuk memperkuat
anggota tubuh
3. Ajarkan pada klien/ keluarga
tentang

cara

penggunaan

kursi roda
Latihan Keseimbangan
1. Ajarkan pada klien

&

keluarga

untuk

dapat

mengatur

posisi

secara

mandiri

dan

menjaga

keseimbangan selama latihan


ataupun

dalam

aktivitas

sehari hari.
Perbaikan Posisi Tubuh yang
Benar
1. Ajarkan pada klien/ keluarga
untuk memperhatikan postur
tubuh

yg

menghindari

benar

untuk

kelelahan,

keram dan cedera.


2. Kolaborasi ke ahli terapi
fisik untuk program latihan.
Nyeri akut
berhubungan
dengan cedera
fisik

Setelah

dilakukan Pain Management


1. Lakukan pengkajian nyeri
Asuhan
keperawatan
secara
komprehensif
selama . x 24 jam:
1. Pain Level,
termasuk
lokasi,
2. Pain control,
karakteristik,
durasi,
3. Comfort level
Kriteria Hasil :
frekuensi, kualitas dan faktor
Mampu mengontrol

nyeri (tahu penyebab


nyeri,

mampu

menggunakan

tehnik

nonfarmakologi untuk
mengurangi

mencari bantuan)
Melaporkan
bahwa
nyeri

terapeutik untuk mengetahui


pengalaman nyeri pasien
4. Evaluasi pengalaman nyeri

masa lampau
5.
Evaluasi bersama pasien dan
berkurang
tim kesehatan lain tentang

manajemen nyeri
Mampu
mengenali

ketidakefektifan

intensitas,

dari ketidaknyamanan
3. Gunakan teknik komunikasi

dengan menggunakan

nyeri

nyeri,

presipitasi
2. Observasi reaksi nonverbal

kontrol

nyeri masa lampau


6.
Bantu pasien dan keluarga
(skala,
untuk
mencari
dan
frekuensi

menemukan dukungan
7.
Kurangi faktor presipitasi
rasa
nyeri
nyaman setelah nyeri
8. Ajarkan tentang teknik non
berkurang
farmakologi
Tanda vital dalam
9. Evaluasi keefektifan kontrol
rentang normal
nyeri
10. Tingkatkan istirahat
11. Kolaborasikan dengan dokter
dan tanda nyeri)
Menyatakan

jika

ada

keluhan

dan

tindakan nyeri tidak berhasil


12. Monitor penerimaan pasien
tentang manajemen nyeri
Intoleransi

Setelah dilakukan Asuhan Managemen Energi


1. Tentukan
penyebab
aktivitas
keperawatan selama . x
keletihan: :nyeri, aktifitas,
berhubungan
24 jam :
1. Klien
mampu
perawatan , pengobatan
denganKelemahan
2. Kaji respon emosi, sosial dan
mengidentifikasi
umum
spiritual terhadap aktifitas.
aktifitas dan situasi
3. Evaluasi
motivasi
dan
yang
menimbulkan
keinginan
klien
untuk
kecemasan
yang

berkonstribusi

pada

intoleransi aktifitas.
2. Klien
mampu
berpartisipasi

meningkatkan aktifitas.
4. Monitor
respon
kardiorespirasi

terhadap

dalam

aktifitas : takikardi, disritmia,

aktifitas fisik tanpa

dispnea, diaforesis, pucat.


5. Monitor asupan nutrisi untuk

disertai
TD,

N,

peningkatan
RR

dan

memastikan

ke

adekuatan

sumber energi.
perubahan ECG
6. Monitor respon terhadap
3. Klien mengungkapkan
pemberian oksigen : nadi,
secara
verbal,
irama jantung, frekuensi
pemahaman tentang
Respirasi terhadap aktifitas
kebutuhan
oksigen,
perawatan diri.
pengobatan dan atau
7. Letakkan benda-benda yang
alat
yang
dapat
sering
digunakan
pada
meningkatkan
tempat
yang
mudah
toleransi
terhadap
dijangkau
aktifitas.
8. Kelola energi pada klien
4. Klien
mampu
dengan
pemenuhan
berpartisipasi dalam
kebutuhan makanan, cairan,
perawatan diri tanpa
kenyamanan / digendong
bantuan atau dengan
untuk mencegah tangisan
bantuan
minimal
yang menurunkan energi.
tanpa
menunjukkan 9. Kaji pola istirahat klien dan
kelelahan
adanya
faktor
yang
Kriteria Hasil:
menyebabkan kelelahan.
Berjalan pelan
Terapi Aktivitas
Perpindahan dari dan 1. Bantu
klien
melakukan
ke kursi roda
ambulasi
yang
dapat
Mendorong
untuk
ditoleransi.
seaktif mungkin
2. Rencanakan jadwal antara
Keamanan diajarkan
aktifitas dan istirahat.
3. Bantu dengan aktifitas fisik
sesuai aktivitas
teratur : misal: ambulasi,

berubah posisi, perawatan


personal, sesuai kebutuhan.
4. Minimalkan anxietas dan
stress, dan berikan istirahat
yang adekuat
5. Kolaborasi

untuk

dengan

pemberian

medis
terapi,

sesuai kebutuhan
Defisit perawatan

Setelah dilakukan asuhan Bantuan

Perawatan

diri berhubungan

keperawatan

higiene

dengan Kerusakan

x24 jam klien mampu penil/vulva, rambut, kulit


1. Kaji kebersihan kulit, kuku,
melakukan
perawatan
rambut, gigi, mulut, perineal,
diri,
Kriteria Hasil:
anus
1. Melakukan
ADL 2. Bantu klien untuk mandi,

neurovaskuler

mandiri

selama... Mandi,

Diri:
mulut,

mandi,

tawarkan pemakaian lotion,

hygiene mulut ,kuku,

perawatan kuku, rambut, gigi

penis/vulva, rambut,

dan mulut, perineal dan anus,

berpakaian, toileting,

sesuai kondisi
3. Anjurkan klien dan keluarga

makan-minum,
ambulasi
2. Mandi sendiri atau
dengan bantuan tanpa
kecemasan
3. Terbebas dari
badan

melakukan

oral

hygiene sesudah makan dan


bila perlu
4. Kolaborasi dgn Tim Medis /

bau

dokter gigi bila ada lesi,

dan

iritasi, kekeringan mukosa

mempertahankan

mulut,

kulit utuh
4. Mempertahankan
kebersihan

untuk

dan

gangguan

integritas kulit.
Bantuan perawatan
area berpakaian
1. Kaji

perineal dan anus


5. Berpakaian
dan
melepaskan pakaian

dan

kemampuan

diri

dukung
klien

untuk

berpakaian sendiri
2. Ganti pakaian klien setelah

sendiri
6. Melakukan keramas,
bersisir,

bercukur,

membersihkan kuku,
berdandan
7. Makan dan minum
sendiri,

meminta

bantuan bila perlu


8. Mengosongkan
kandung kemih dan
bowel

personal

hygiene,

dan

pakaikan pada ektremitas


yang sakit/ terbatas terlebih
dahulu, Gunakan pakaian
yang longgar
3. Berikan
terapi

untuk

mengurangi nyeri sebelum


melakukan

aktivitas

berpakaian sesuai indikasi


Bantuan perawatan diri :
Makan-minum
1. Kaji kemampuan

klien

untuk makan : mengunyah


dan menelan makanan
2. Fasilitasi alat bantu

yg

mudah digunakan klien


3. Dampingi
dan
dorong
keluarga untuk membantu
klien saat makan
Bantuan Perawatan

Diri:

Toileting
1. Kaji kemampuan toileting:
defisit

sensorik

(inkontinensia),

kognitif

(menahan untuk toileting),


fisik

(kelemahan

fungsi/

aktivitas)
2. Ciptakan lingkungan yang
aman(tersedia

pegangan

dinding/ bel), nyaman dan


jaga privasi selama toileting
3. Sediakan alat bantu (pispot,
urinal)

di

tempat

yang

mudah dijangkau
4. Ajarkan pada klien

dan

keluarga untuk melakukan


toileting secara teratur
4. Evaluasi
Evaluasi merupakan
mengukurkeberhasilan

tahap

akhir

dari

rencana

dari

proses

perawatan

perawatan
dalam

untuk

memenuhi

kebutuhan klien Bilamasalah tidak dipecahkan atau timbul masalah baru,


maka perawat harus berusaha untuk mengurangi atau mengatasi beban
masalah

dengan

meninjaukembali

rencana

perawatan

dengan

menyesuaikan kembali terhadap keadaanmasalah yang ada. (Basford.


2006, Hal : 24)
Hasil evaluasi yang mungkin didapat adalah :
a. Tidak ada hambatan mobilitas fisik
b. Nyeri akut berkurang
c. Intoleransi aktivitas berkurang
d. Defisit perawatan diri berkurang

DAFTAR PUSTAKA
Azizah, Lilik Marifatul. 2011.

Keperawatan Lanjut Usia. Edisi 1.

Jogyakarta: Graha Ilmu.


Basford & Oliver, S. 2006. Teori dan praktik keperawatan pendekatan
integral pada asuhan pasien. Jakarta: EGC
Bulechek G, dkk.2013. Nursing Interventions Clarification(NIC). Sixth
Edition. Mosby : Lowa city.
Hutapea, R. 2005. Sehat dan Ceria di Usia Senja. Jakarta: Penerbit Rineka
Cipta
Moorhead S, dkk.2013.Nursing Outcames Clasification(NOC). Fifth
Edition.Mosby : Lowa city.

Mubarak, W.I. (2008). Buku ajar kebutuhan dasar manusia: Teori dan
aplikasi dalam praktik. Jakarta: Media Aesculapius
Munandar, U.2001. Bunga Rampai Psikologi Perkembangan dari Bayi
sampai dengan Lanjut Usia. Dalam Utami Munandar (Ed.). Jakarta
: Universitas Indonesia Press
Nanda Internasional.2015. Diagnosis Keperawatan 2015-2017. EGC :
Jakarta.
Nugroho, Wahjudi. 2008. Keperawatan Gerontik & Geriatrik. Edisi 3.
Jakarta :Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Perry & Potter. 2006. Buku ajar fundal mental keperawatan konsep,
proses dan praktik. Edisi 4. EGC: Jakarta
Stanley M, Patricia GB.2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2.
EGC: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai