Anda di halaman 1dari 22

TUTORIAL

Disusun Oleh :
Edwina Naomi Ocktaviani Samosir
42150023

Dosen Pembimbing :
dr. Arin Dwi Iswarini, Sp. THT-KL, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN


RUMAH SAKIT BETHESDA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
YOGYAKARTA
2016

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
Jl. Dr. Wahidin Sudirohusodo 5-25 Yogyakarta 55224
Kepaniteraan Klinik Ilmu Telinga Hidung dan Tenggorokan
Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta
Nama

: Edwina Naomi Ocktaviani Samosir

NIM

: 42150023

Dosen Pembimbing Klinik

: dr. Arin Dwi Iswarini, Sp. THT-KL, M.Kes

I.

IDENTITAS
Nama
:
Tanggal lahir
:
Umur
:
Alamat
:
Pendidikan : SMA
Jenis Kelamin
:
Tanggal periksa

II.

Sdr. JB
28 Oktober 1998
18 thn
Klitren
Laki-laki

: 9 Desember 2016

ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dengan ayah kandung
pada hari , 9 Desember 2016, pukul 13.00 WIB
a. Keluhan Utama
Nyeri pada tenggorokan
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Os datang dibawa oleh kedua orangtuanya ke rumah sakit Bethesda dengan mengeluh
nyeri tenggorokan sejak empat hari yang lalu. Pada hari pertama saat nyeri
tenggorokan, os merasa nyeri menelan, demam, batuk berdahak dan pilek pada saat
sedang beraktivitas di sekolah. Os dibawa ke fasilitas kesehatan satu untuk diperiksa
dan diberi pengobatan. Berdasarkan pemeriksaan pada faskes satu, orang tua os
mendapatkan informasi bahwa amandel os membesar sehingga os diberikan
pengobatan berupa racikan obat berbentuk puyer dan disarankan untuk diperiksa
2

kembali oleh dr.Spesialis THT. Os mengaku bahwa selama 4 hari, os masih


merasakan nyeri tenggorokan disertai suara serak tetapi os sudah tidak demam, batuk
dan pilek setelah 3 hari meminum obat dari faskes satu. Os mengalami penurunan
nafsu makan/memilih milih makanan selama nyeri tenggorokan sehingga os
mengalami penurunan berat badan 1 kg dari semula. Os menyangkal merasa nyeri
saat menelan dan orang tua os menyangkal mulut anak berbau, lesu dan mudah
mengantuk. Os tidak mengeluh nyeri pada kedua telinga, hidung dan kepala. Orang
tua os mengatakan os sering sulit untuk masuk tidur dan tidak pernah mendengkur
selama tidur.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Asma
Gastritis
Alergi
Batuk dan pilek berulang

: (-)
: (-)
: (-)
: (+) sering terjadi terutama setelah konsumsi
minuman dingin
Penyakit jantung
: (-)
Penyakit ginjal
: (-)
Riwayat trauma kepala : (-)
Riwayat keluhan serupa : (+)

d. Riwayat Penyakit Keluarga


Di keluarga ada yang memiliki keluhan serupa dengan pasien yaitu kakak kandung
tetapi tidak pernah diperiksa dan diberikan pengobatan karena keluhan tersebut tidak
menggangu aktivitasnya dan hilang timbul.
e. Riwayat Pengobatan
Riwayat Operasi
Riwayat Mondok
Riwayat Obat

: (-)
: (-)
: (-)

f. Life style
Pola makan 3 kali sehari
Konsumsi buah dan sayur (+)
Konsumsi makanan MSG/penyedap rasa, minuman dingin, gorengan,

makanan pedas (+)


Rutinitas olahraga jarang
Pola tidur 6-8 jam perhari
3

III.

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Kesadaran
Status Gizi
TB
BB
Status gizi
Vital Sign
Nadi
Respirasi
Suhu

: Baik
: Compos mentis
:
: 20 kg
: 120 cm
: Cukup (Normal)
: 96 x/menit
: 18 x/menit
: 37,3o C

STATUS GENERALIS
A. Kepala
Ukuran Kepala
Mata

Hidung

Mulut
Telinga

: Normocephali
: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
injeksi konjungtiva (-/-), pupil isokor, reflek
cahaya (+/+), gerakan bola mata baik ke segala
arah.
: Deformitas (-), discharge (-), nyeri tekan (-),
krepitasi (-)
: Sianosis (-), kering (-), faring hiperemis (-)
: Edem (-/-), discharge (-/-), nyeri tekan mastoid
(-/-), kelainan anatomi (-/-), fistula preaurikula
(-/-), nyeri tekan auricular (-/-)

B. Leher
Pembesaran kelenjar limfa submandibula (+)
Pembesaran tiroid (-)
C. Thoraks
Inspeksi
: tidak terdapat kelainan bentuk dada
Perkusi
: sonor (+/+), batas paru-jantung dalam batas normal
Palpasi
: nyeri (-), krepitasi (-)
Auskultasi
: suara paru vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-),
suara jantung S1/S2 normal, bising jantung (-)
D. Abdomen
Inspeksi
: perut tampak datar
Auskultasi
: bising usus (+)
Perkusi
: timpani
Palpasi
: nyeri tekan (-)
E. Ekstremitas
Atas
: akral teraba hangat, perabaan nadi teraba kuat, capillary
refill <2 detik
4

Bawah

: akral teraba hangat

STATUS LOKALIS

Dekstra
TELINGA
Auricula

Sinistra

Deformitas (-), benjolan/massa (-),

Deformitas (-), benjolan/massa (-), lesi

lesi kulit (-), edema (-) discharge yang kulit (-), edema (-), discharge yang
keluar (-), nyeri tekan tragus (-), keluar (-), nyeri tekan tragus (-), fistula
fistula pre aurikula (-), nyeri tekan pre aurikula (-), nyeri tekan auricular
Meatus Akustikus

auricular (-)
(-)
Edema (-), furunkel (-), serumen (-), Edema (-), furunkel (-), serumen (+),

Externus

corpus alineum (-)

corpus alineum (-)

Membran Timpani

Membran timpani utuh, hiperemis (-),

Membran timpani utuh, hiperemis (-),

sekret (+) retraksi (-), bulging (-), sekret (-), retraksi (-), bulging (-),
Mastoid

conus of light (+, jam 5)


Edema (-), nyeri ketok (-)
Dextra

HIDUNG
Dorsum Nasi

conus of light (+, jam 7)


Edema (-), nyeri ketok (-)
Sinistra

Deformitas (-), krepitasi (-), jejas (-), nyeri tekan (-)


Discharge (-)
Discharge (-)

Cavum Nasi
Rhinoskopi Anterior
Vestibulum Nasi
Discharge (-), edema (-), hiperemis (-)
Septum Nasi
Deviasi septum (-), perforasi (-)
Meatus Nasi Inferior

Edema (-), hiperemis (-),


discharge (-)

Konka Inferior
Meatus Nasi Media

Edema (-), hiperemis (-), discharge (-)

Edema (-), hiperemis (-), Edema (-), hiperemis (-), hipertrofi (-)
hipertrofi (-)
Hiperemis (-), discharge (-), polip

Hiperemis (-), discharge (-), polip (-)


5

Konka Media

(-) dan telihat pucat , edema (-)


dan terlihat pucat, edema (-)
Edema (-), hiperemis (-),

hipertrofi (-)
Rhinoskopi Posterior : Tidak dilakukan
Fossa Rossenmuller
Torus Tubarius
Muara Tuba
Eustachius
Adenoid
Konka Superior
Choana
SINUS PARANASAL
Inspeksi
Eritem (-), edema (-)
Perkusi
Nyeri ketok (-)
Transluminasi

Edema (-), hiperemis (-), hipertrofi (-)

Eritem (-), edema (-)


Nyeri ketok (-)
Tidak dilakukan

CAVUM ORIS-TONSIL-FARING
Bibir
Bibir sianosis dan kering (-), stomatitis (-)
Mukosa Oral

Stomatitis (-), warna merah muda

Gusi dan Gigi

Warna merah muda, karies dentis (-), ulkus (-)

Lingua

Simetris, atrofi papil (-), lidah kotor (-), ulserasi (-)

Atap mulut

Ulkus (-)

Dasar Mulut

Ulkus (-)

Uvula

Tidak ada deviasi pada uvula, hiperemis (-)

Tonsila Palatina

T3, tonsil hiperemis (+), detritus T4, tonsil hiperemis (+), detritus
(-), permukaan tidak rata, kripta (-), permukaan tidak rata, kripta

Peritonsil

melebar
Abses (-)

Faring

Hiperemis (-), discharge (-)

IV.

melebar
Abses (-)

DIAGNOSIS KERJA
Tonsilitis kronis/hipertrofi tonsil

V.

DIAGNOSIS BANDING
Tonsilofaringitis kronis
6

VI.

PENATALAKSANAAN
a. Farmakologi
Antibiotika

: Cefixime syrup 100mg/5ml (2x1)

Antiinflamasi

: Ibuprofen syrup 100mg/5ml (3x1)

b. Non Farmakologi
Tirah baring
VII.

VIII.

EDUKASI
Konsumsi obat secara teratur
Hindari konsumsi makanan MSG/penyedap rasa, minuman dingin, gorengan dan

makanan pedas
Menjaga higienitas mulut, tangan dan perlu menggunakan masker agar tidak

menularkan kepada orang lain


Pantau tidur anak, terutama jika mengorok (hati-hati dengan obstructive sleep apnea)

PLANNING

Pemeriksaan darah rutin

Pemeriksaan laboratorium berupa kultur dan uji resistensi kuman dari sediaan apusan
tonsil untuk mengetahui kuman penyebab

IX.

Tonsilektomi (sesuai indikasi)

PROGNOSIS
Ad Vitam
Ad Fungsionam
Ad Sanationam

: ad bonam
: ad bonam
: ad bonam

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

ANATOMI DAN FISIOLOGI TONSIL


Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori. Cincin Waldeyer
merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring yang terdiri dari tonsil
7

palatine (tonsil faucial), tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah),
dan tonsil tuba eustachius (lateral band dinding faring/Gerlachs tonsil).
Gambar Anatomi Tonsil

a. Tonsil Palatina
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil
pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan
pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm,
masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil.
Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya
dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring, dibatasi oleh :
Lateral

muskulus konstriktor faring superior

Anterior muskulus palatoglosus


Posterior muskulus palatofaringeus
Superior palatum mole
Inferior

tonsil lingual

Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi
invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah jaringan ikat dan
tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma jaringan ikat
retikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan bagian penting
mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur pembuluh
limfatik. Noduli sering saling menyatu dan umumnya memperlihatkan pusat germinal.
8

b. Tonsil Faringeal (Adenoid)


Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang
sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur
seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong
diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian
tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid
terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama
ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa
Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masingmasing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 37 tahun kemudian akan mengalami regresi.
c. Tonsil Lingual
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum
pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata.

d . Fosa Tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot
palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral atau dinding
luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Berlawanan dengan dinding otot yang
tipis ini, pada bagian luar dinding faring terdapat nervus ke IX yaitu nervus
glosofaringeal.
PENDARAHAN
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu 1) arteri
maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri tonsilaris dan arteri
9

palatina asenden; 2) arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina


desenden; 3) arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal; 4) arteri
faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis
dorsal dan bagian posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut
diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal
asenden dan arteri palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang
bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar
kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal.
ALIRAN GETAH BENING
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal
profunda

(deep

jugular

node)

bagian

superior

di

bawah

muskulus

sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus


torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan sedangkan
pembuluh getah bening aferen tidak ada.
PERSARAFAN
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX (nervus
glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves.
IMUNOLOGI TONSIL
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B
membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada tonsil
adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang. Limfosit B berproliferasi di
pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen,
interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar. Sel limfoid yang
immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu epitel sel retikular, area
ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan pusat germinal pada folikel
limfoid. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi
dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi.
FISIOLOGI TONSIL
Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan
asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel
limfosit T dengan antigen spesifik. Tonsil palatina merupakan jaringan limfoepitel
10

yang berperan penting sebagai sistem pertahanan tubuh terutama terhadap protein
asing yang masuk ke saluran makanan atau masuk ke saluran nafas. Mekanisme
pertahanan dapat bersifat spesifik atau non spesifik. Apabila pathogen menembus
lapisan epitel maka sel-sel fagositik mononuklear akan mengenal dan mengeliminasi
antigen.

Lokasi

tonsil

sangat

memungkinkan

terpapar

benda

asing

dan

patogen,selanjutnya membawanya ke sel limfoid. Aktivitas imunologi terbesar tonsil


ditemukan pada usia 3-10 tahun. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang
diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitasi. Tonsil
merupakan jaringan limfoid yang di dalamnya terdapat sel limfoid yang mengandung
sel limfosit, 0.1-0.2% dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi
limfosit B dan T pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55%-75%:15-30%.
Pada tonsil terdapat sistem imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membrane),
makrofag, sel dendrit dan antigen presenting cells yang berperan dalam proses
transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi APCs (sintesis immunoglobulin
spesifik) juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG.
2.2.

TONSILITIS
DEFINISI TONSILITIS
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer.
Tonsilitis disebabkan peradangan pada tonsil yang diakibatkan oleh bakteri, virus, dan
jamur. Tonsilitis akut merupakan suatu inflamasi akut yang terjadi pada tonsilla palatina,
yang terdapat pada daerah orofaring disebabkan oleh adanya infeksi maupun virus.
Tonsilitis kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi pada tonsila
palatina yang menetap. Tonsilitis kronis disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis
akut yang mengakibatkan kerusakan yang permanen pada tonsil. Organisme patogen
dapat menetap untuk sementara waktu ataupun untuk waktu yang lama dan
mengakibatkan gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan tubuh penderita mengalami
penurunan. Tonsilitis kronik timbul karena rangsangan yang menahun dari rokok,
beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan
pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.
ETIOLOGI TONSILITIS
11

Penyebabnya infeksi bakteri streptococcus atau infeksi virus. Tonsil akan berubah
menjadi tempat infeksi bakteri maupun virus, sehingga membengkak dan meradang
menyebabkan tonsillitis. Penyebab tonsilitis menurut Soepardi, Effiaty Arsyad,dkk, 2007
adalah infeksi kuman Streptococcus beta Hemolyticus, Streptococcus viridans, dan
Streptococcus pyogenes. Streptococcus pyogenes merupakan patogen utama pada
manusia yang menimbulkan invasi lokal, sistemik dan kelainan imunologi pasca
streptococcus.
KLASIFIKASI TONSILITIS
Macam-macam tonsillitis, ( Soepardi, Effiaty Arsyad,dkk ,2007 ) yaitu:
1. Tonsilitis Akut
a. Tonsilis viral
Tonsilitis dimana gejalanya lebih menyerupai commond cold yang disertai rasa
nyeri tenggorok. Penyebab yang paling sering adalah virus Epstein Barr.
b. Tonsilitis bakterial
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A stereptococcus beta
hemoliticus yang dikenal sebagai strepthroat, pneumococcus, streptococcus
viridian dan streptococcus piogenes. Detritus merupakan kumpulan leukosit
bakteri yang mulai mati.
2. Tonsilitis Membranosa
a. Tonsilitis difteri
Penyebab yaitu oleh kuman coryne bacterium diphteriae, kuman yang termasuk
gram positif dan hidung disalurkan napas bagian atas yaitu hidung, faring dan
laring.

b. Tonsilitis septik
Penyebab sterptococcus hemoliticus yang terdapat dalam susu sapi seningga
menimbulkan epidemi. Oleh karena itu di Indonesia susu sapi dimasak dulu
dengan cara pasteurisasi sebelum di minum maka penyakit ini jarang di
temukan.
c. Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulseromembranosa)
12

Tonsilitis yang disebabkan karena bakteri spirochaeta atau triponema yang


didapatkan pada penderita dengan higiene mulut yang kurang dan defisiensi
vitamin C.
d. Penyakit kelainan darah
Tidak jarang tanda leukemia akut, angina agranulositosis dan infeksi
mononukleosis timbul di faring atau tonsil yang tertutup membran semu. Gejala
pertama sering berupa epistaksis, perdarahan di mukosa mulut, gusi dan di
bawah kulit sehingga kulit tampak bercak kebiruan.
3. Tonsilis Kronik
Tonsilitis kronik timbul karena rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis
makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan
tonsilitis akut yang tidak adekuat.
PATOFISIOLOGI TONSILITIS
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut. Tonsil berperan sebagai
filter yang menyelimuti bakteri ataupun virus yang masuk dan membentuk antibodi
terhadap infeksi. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan
limfoid superficial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi
leukosit poli morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi
bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan
epitel yang terlepas. Suatu tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsillitis
falikularis sedangkan bercak-bercak detritus yang menjadi satu membentuk alur-alur
disebut tonsillitis lakunaris. Bercak detritus dapat melebar sehingga terbentuk semacam
membrane semu (pseudomembran) yang menutupi tonsil. Pada tonsilitis akut dimulai
dengan gejala sakit tenggorokan ringan hingga menjadi parah. Pasien hanya mengeluh
merasa sakit tenggorokannya sehingga sakit menelan dan demam tinggi (39oC-40oC).
Sekresi yang berlebih membuat pasien mengeluh sakit menelan, tenggorokan akan terasa
mengental. Bila penjamu memiliki kadar imunitas antivirus atau antibakteri yang tinggi
terhadap infeksi virus atau bakteri tersebut, maka tidak akan terjadi kerusakan tubuh
ataupun penyakit, sebaliknya jika belum ada imunitas maka akan terjadi penyakit. Sistem
imun selain melawan mikroba dan sel mutan, sel imun juga membersihkan debris sel dan
mempersiapkan perbaikan jaringan. Pada tonsillitis kronik terjadi karena proses radang
13

berulang yang menyebabkan epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis sehingga pada
proses penyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan
mengkerut sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi oleh
detritus. Proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan
dengan jaringan sekitar fossa tonsilaris. Pada anak-anak, proses ini akan disertai dengan
pembesaran kelenjar submandibula, pembengkakan atau pembesaran tonsil, nyeri
menelan, dan disfagia. Apabila terjadi pembesaran melebihi uvula dapat menyebabkan
kesulitan bernafas dan jika kedua tonsil bertemu pada garis tengah yang disebut kissing
tonsils yang dapat menyebabkan penyumbatan pengaliran udara dan makanan.
Gambar tonsilitis akut

Patofisiologi tonsilitis kronis bahwa adanya infeksi berulang pada tonsil maka pada suatu
waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian
menginfeksi tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah
menjadi tempat infeksi (fokal infeksi). Satu kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh
tubuh misalnya pada saat keadaan umum tubuh menurun.
Proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid
terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut
yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik kripta ini
tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan
akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan disekitar fossa tonsilaris. Proses ini di
sertai dengan pembesaran kelenjar limfa submandibula.
MANIFESTASI KLINIS TONSILITIS

14

Gejala pada tonsillitis akut adalah rasa neri di tenggorokan, anoreksia, otalgia, tonsil
membengkak. Dimulai dengan sakit tenggorokan yang ringan hingga menjadi parah, sakit
menelan, kadang muntah. Pada tonsillitis dapat mengakibatkan kekambuhan sakit
tenggorokan dan keluarnya nanah pada lekukan tonsil. Tanda klinisnya dijumpai tonsil
membengkak dan meradang. Tonsila biasanya bercak-bercak dan kadang-kadang diliputi
oleh eksudat. Eksudat ini mungkin keabu-abuan dan kekuningan. Eksudat ini dapat
berkumpul, membentuk membran dan pada beberapa kasus dapat terjadi nekrosis
jaringan lokal. Keluhan utama yang paling sering adalah sakit tenggorokan dan infeksi
saluran nafas atas.
DIAGNOSIS TONSILITIS
Adapun tahapan menuju diagnosis tonsilitis kronis adalah sebagai berikut :
1. Anamnesa
Anamnesa ini merupakan hal yang sangat penting karena hampir 50% diagnosa dapat
ditegakkan dari anamnesa. Penderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada
tenggorok yang terus menerus, sakit waktu menelan, nafas bau busuk, malaise,
kadang-kadang ada demam dan nyeri pada leher.
2. Pemeriksaan fisik pasien dengan tonsilitis dapat menemukan :
Demam dan pembesaran pada tonsil yang inflamasi serta ditutupi pus.
Bila dilakukan penekanan pada plika anterior dapat keluar pus atau material
menyerupai keju.
Group A beta-hemolytic Streptococcus pyogenes (GABHS) dapat menyebabkan
tonsilitis yang berasosiasi dengan perjumpaan petechiae palatal.
Pernapasan melalui mulut serta suara terendam disebabkan pembesaran tonsil yang
obstruktif.
Tenderness pada kelenjar getah bening servikal.
Tanda dehidrasi ( pada pemeriksaan kulit dan mukosa ).
Pembesaran unilateral pada salah satu sisi tonsil disebabkan abses peritonsilar.
Rahang kaku, kesulitan membuka mulut serta nyeri menjalar ke telinga mungkin
didapati pada tingkat keparahan yang berbeda.
Warna kemerahan pada plika anterior bila dibanding dengan mukosa faring, tanda ini
merupakan tanda penting untuk menegakkan diagnosa infeksi kronis pada tonsil.
15

(American Academy of Otolaryngology -Head and Neck Surgery, 2014).


Pada pemeriksaan didapatkan pilar anterior hiperemis, tonsil biasanya membesar
(hipertrofi) terutama pada anak atau dapat juga mengecil (atrofi), terutama pada
dewasa, kripte melebar detritus (+) bila tonsil ditekan dan pembesaran kelenjar limfe
angulus mandibula.
Standart untuk pemeriksaan tonsil berdasarkan pemeriksaan fisik diagnostik
diklasifikasikan berdasarkan ratio tonsil terhadap orofaring (dari medial ke lateral)
yang diukur antara pilar anterior kanan dan kiri.
o T0

: tonsil masuk di dalam fossa atau sudah diangkat.

o T1

: <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

o T2

: >25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

o T3

: >50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

o T4

: > 75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

Gambar standart rasio tonsil terhadap orofaring

Thane & Cody membagi pembesaran tonsil dalam ukuran T1 T4:


T1 : batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai jarak pilar anterior uvula.
T2 : batas medial tonsil melewati jarak pilar anterior uvula sampai jarak pilar
anterior uvula.
T3 : batas medial tonsil melewati jarak pilar anterior uvula sampai jarak pilar
anterior uvula.
T4 : batas medial tonsil melewati jarak anterior uvula sampai uvula atau lebih.
16

Gambar pembesaran tonsil berdasarkan Thane & Cody :


Pada anak, tonsil yang hipertrofi

dapat terjadi obstruksi saluran nafas atas


alveoli yang selanjutnya dapat terjadi

yang dapat menyebabkan hipoventilasi

hiperkapnia dan dapat menyebabkan kor

polmunale. Gejala klinis sleep obstructive apnea lebih sering ditemui pada anak
anak.
3. Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi (sensitifitas) kuman dari sediaan apus tonsil.
Biakan swab sering menghasilkan beberapa macam kuman dengan derajat keganasan
yang rendah, seperti Streptococcus haemolitikus, Streptokokus viridans, Stafilokokus,
atau Pneumokokus.

17

PENATALAKSANAAN TONSILITIS
Penatalaksanaan tonsilitis kronis dapat diatasi dengan menjaga higiene mulut yang
baik, obat kumur, dan tonsilektomi jika terapi konservatif tidak memberikan hasil.
Pengobatan tonsilitis kronis dengan menggunakan antibiotik oral perlu diberikan selama
sekurangnya 10 hari. Antibiotik yang dapat diberikan adalah golongan penisilin atau
sulfonamida, namun bila terdapat alergi penisilin dapat diberikan eritromisin atau
klindamisin. Pasien harus diobservasi sehingga terbebas dari obstruksi jalan nafas.
Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman, namun hal ini
bukan berarti tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap memerlukan
keterampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator dalam pelaksanaannya. Di Amerika
Serikat, karena kekhawatiran komplikasi, tonsilektomi digolongkan pada operasi mayor.
Di Indonesia, tonsilektomi digolongkan pada operasi sedang karena durasi operasi
pendek dan teknik tidak sulit. Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang
atau kronik, gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma.
Indikasi tonsilektomi
Berdasarkan The American Academy of Otolaryngology- Head and Neck Surgery (AAOHNS) tahun 2011 indikasi tonsilektomi terbagi menjadi :
1. Indikasi absolute
Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan nafas atas, odinofagia berat,
atau terdapat komplikasi kardiopulmonal.
Abses peritonsilar yang tidak respon terhadap pengobatan medik dan drainase,
kecuali jika dilakukan fase akut.
Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.
Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi.
2. Indikasi relatif
Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun tidak diberikan
pengobatan medik yang adekuat.
Halitosis akibat tonsillitis kronik yang tidak ada respon terhadap pengobatan medik.
Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus yang tidak membaik
dengan pemberian antibiotik kuman resisten terhadap -laktamase.

3. Kontraindikasi
Riwayat penyakit perdarahan
Risiko anestesi yang buruk atau riwayat penyakit yang tidak terkontrol
Anemia
Infeksi akut
Teknik Operasi Tonsilektomi
Teknik operasi yang optimal dengan morbiditas yang rendah sampai sekarang masih
menjadi kontroversi, masing-masing teknik memiliki kelebihan dan kekurangan.
Penyembuhan luka pada tonsilektomi terjadi per sekundam. Jenis pemilihan yaitu jenis
teknik operasi difokuskan pada morbiditas seperti nyeri, perdarahan pre operatif dan pasca
operatif serta durasi operasi. Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan
saat ini adalah teknik Guillotine dan diseksi.
1. Guillotine
Tonsilektomi guillotine dipakai untuk mengangkat tonsil secara cepat dan praktis.
Tonsil dijepit kemudian pisau guillotine digunakan untuk melepas tonsil beserta kapsul
tonsil dari fosa tonsil. Sering terdapat sisa dari tonsil karena tidak seluruhnya terangkat
atau timbul perdarahan yang hebat.
2. Teknik Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi. Metode
pengangkatan tonsil dengan menggunakan skapel dan dilakukan dalam anestesi.Tonsil
digenggam dengan menggunakan klem tonsil dan ditarik kearah medial, sehingga
menyebabkan tonsil menjadi tegang. Dengan menggunakan sickle knife dilakukan
pemotongan mukosa dari pilar tersebut.
3. Teknik elektrokauter
Teknik ini memakai metode membakar seluruh jaringan tonsil disertai kauterisasi untuk
mengontrol perdarahan. Pada bedah listrik transfer energi berupa radiasi elektromagnetik
untuk menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio yang digunakan dalam spektrum
elektromagnetik berkisar pada 0,1 hingga 4 Mhz. Penggunaan gelombang pada frekuensi
ini mencegah terjadinya gangguan konduksi saraf atau jantung.

19

4. Radio frekuensi
Pada teknik ini radiofrekuensi elektroda disisipkan langsung kejaringan. Densitas baru
disekitar ujung elektroda cukup tinggi untuk membuka kerusakan bagian jaringan
melalui pembentukan panas.Selama periode 4-6 minggu, daerah jaringan yang rusak
mengecil dan total volume jaringan berkurang.
5. Skapel harmonik
Skapel

harmonik

menggunakan

teknologi

ultrasonik

untuk

memotong

dan

mengkoagulasi jaringan dengan kerusakan jaringan minimal.


6. Teknik Coblation
Coblation atau cold ablation merupakan suatu modalitas yang unik karena dapat
memanfaatkan plasma atau molekul sodium yang terionisasi untuk mengikis jaringan.
Mekanisme kerja dari coblation ini adalah menggunakan energi dari radiofrekuensi
bipolar untuk mengubah sodium sebagai media perantara yang akan membentuk
kelompok plasma dan terkumpul disekitar elektroda. Kelompok plasma tersebut akan
mengandung suatu partikel yang terionisasi dan kandungan plasma dengan partikel yang
terionisasi yang akan memecah ikatan molekul jaringan tonsil. Selain memecah ikatan
molekuler pada jaringan juga menyebabkan disintegrasi molekul pada suhu rendah yaitu
40-70%, sehingga dapat meminimalkan kerusakan jaringan sekitar.
7. Intracapsular partial tonsillectomy
Intracapsular tonsilektomi merupakan tonsilektomi parsial yang dilakukan dengan
menggunakan mikrodebrider endoskopi. Mikrodebrider endoskopi bukan merupakan
peralatan ideal untuk tindakan tonsilektomi, namun tidak ada alat lain yang dapat
menyamai ketepatan dan ketelitian alat ini dalam membersihkan jaringan tonsil tanpa
melukai kapsulnya.
8. Laser (CO2-KTP)
Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP (Potassium Titanyl Phosphat)
untuk menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil. Teknik ini mengurangi volume
tonsil dan menghilangkan recesses pada tonsil yang menyebabkan infeksi kronik dan
rekuren.
KOMPLIKASI TONSILITIS
Komplikasi tonsillitis akut dan kronik menurut Mansjoer (2000), yaitu:
20

a. Abses peritonsil
Terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior dan palatum mole, abses ini terjadi
beberapa hari setelah infeksi akut dan biasanya disebabkan oleh streptococcus group
A.
b. Otitis media akut
Infeksis dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba auditorius (eustachi) dan dapat
mengakibatkan otitis media yang dapat mengakibatkan otitis media yang dapat
mengarah pada rupture spontangendang telinga.
c. Mastoiditis akut
Ruptur spontan gendang telinga lebih jauh menyebar infeksi ke dalam sel-sel mastoid.
d. Laringitis
Merupkan proses peradangan dari membran mukosa yang membentuk larynx.
Peradangan ini mungkin akut atau kronis yang disebabkan bisa karena virus, bakteri,
lingkungan, maupun alergi.
e. Sinusitis
Merupakan suatu penyakit inflamasi atau peradangan pada satu atau lebih dari sinus
paranasal. Sinus adalah merupakan suatu rongga atau ruangan berisi udara dari dinding
yang terdiri dari membran mukosa.
Menurut American Academy of Otolaryngology, komplikasi dari tonsilitis adalah
kesulitan bernapas, kesulitan menelan, sleep apnea, sakit tenggorokan, sakit telinga,
infeksi telinga, bau mulut, perubahan suara serta peritonsillar abses yang lebih sering
terjadi pada orang dewasa dan jarang terjadi pada anak-anak.
PROGNOSIS TONSILITIS
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan pengobatan
suportif. Bila antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika tersebut harus
dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita
telah mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat. Gejala yang tetap ada dapat
menjadi indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang
sering terjadi yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada kasus yang jarang, Tonsilitis
dapat menjadi sumber dari infeksi serius seperti demam rematik atau pneumonia.

21

PENCEGAHAN TONSILITIS
Bakteri dan virus penyebab tonsilitis dapat dengan mudah menyebar dari satu penderita
ke orang lain. Tidaklah jarang terjadi seluruh keluarga atau beberapa anak pada kelas
yang sama datang dengan keluhan yang sama, khususnya bila Streptokokus pyogenase
adalah penyebabnya. Risiko penularan dapat diturunkan dengan mencegah terpapar dari
penderita tonsilitis atau yang memiliki keluhan sakit menelan. Gelas minuman dan
perkakas rumah tangga untuk makan tidak dipakai bersama dan sebaiknya dicuci dengan
menggunakan air panas yang bersabun sebelum digunakan kembali. Sikat gigi yang telah
lama sebaiknya diganti untuk mencegah infeksi berulang. Orang-orang yang merupakan
karier tonsilitis semestinya sering mencuci tangan mereka untuk mencegah penyebaran
infeksi pada orang lain.

DAFTAR PUSTAKA
Dhingra, P.L. 2007. Acute and Chronic Tonsillitis, in Disease of Ear, Nose and Throat 4rd ed.
New Delhi : Elsevier
Lee, K.J, et al. 2008. Pediatric Otolaryngology in Essential Otolaryngology Head & Neck
Surgery. Ninth edition. Newyork : The McGraw-Hill Companies
Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta : FKUI
Ramsey, D.D. 2003. Tonsilitis. Available at: http://www.illionisuniv.com. Accesed on: November
2016
Robertson, J.S. 2004. Journal of Tonsilitis. Available at: http://www.emedicine.com. Accessed
on: November 2016
Rusmarjono. Soepardi, E.A. 2007. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid dalam Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-6. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Snell, R.S. 2011. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, bagian 3, edisi 9, Jakarta : EGC
Wanri, A. 2007. Tonsillektomi Departemen Telinga, Hidung dan Tenggorokan. Palembang :
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

22

Anda mungkin juga menyukai