Anda di halaman 1dari 8

Amfibi merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem yang memiliki

peranan sangat penting, baik secara ekologis maupun ekonomis. Secara


ekologis, amfibi berperan sebagai pemangsa konsumen primer seperti
serangga atau hewan invertebrata lainnya (Iskandar,1998) serta dapat
digunakan sebagai bioindikator kondisi lingkungan (Stebbins dan Cohen,
1997). Secara ekonomis amfibi dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein
hewani, hewan percobaan, hewan peliharaan dan bahan obat-obatan
(Stebbins dan Cohen, 1997). Habitat utama amfibi adalah hutan primer,
hutan sekunder, hutan rawa, sungai besar, sungai sedang, anak sungai,
kolam dan danau (Mistar 2003). Umumnya amfibi dijumpai pada malam hari
atau pada musim penghujan. Iskandar (1998) menyatakan bahwa amfibi
selalu hidup berasosiasi dengan air sesuai namanya yaitu hidup pada dua
alam (di air dan di darat). Selanjutnya dijelaskan bahwa sebagian besar
amfibi didapatkan hidup di kawasan hutan karena di samping membutuhkan
air juga membutuhkan kelembaban yang cukup tinggi (75-85%) untuk
melindungi tubuh dari kekeringan. Penelitian tentang amfibi di Indonesia
kurang mendapat perhatian dan terbatas. Pulau Sumatera sebagai salah satu
pulau besar, tetapi belum banyak dilakukan penelitian mengenai amfibi. Hal
ini antara lain karena kurang dikenalnya hewan ini dimasyarakat umum
maupun di kalangan peneliti, seperti yang ditengarai oleh Iskandar dan
Erdelen (2006). Adanya persepsi negatif bahwa katak beracun atau
menjijikkan (Kusrini, 2003) membuat amfibi dijauhi oleh masyarakat. Salah
satu catatan mengenai diabaikannya amfibi secara politis adalah tidak
adanya amfibi di Indonesia yang masuk ke dalam daftar satwa liar yang
dilindungi oleh undang-undang. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika
lokasi-lokasi penting bagi spesies atau komunitas amfibi menjadi rusak atau
berubah karena tidak ada yang tahu mengenai hewan yang hidup di
dalamnya. Maka dari itu untuk mengenalkan amfibi kepada masyarakat harus
dibutuhkan data keanekaragaman jenis amfibi pada berbagai tipe habitat di
Youth Camp sebagai upaya konservasi agar tetap mempertahankan populasi,
kondisi lingkungan dan habitat amfibi. Penelitian ini dilakukan untuk
membandingkan keanekaragaman jenis amfibi (Ordo Anura) yang aktif di
malam hari yang terdapat di Youth Camp berdasarkan tipe habitat (hutan,
perkebunan dan sungai).
Tujuan Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian tentang keanekaragaman amfibi di berbagai tipe
habitat ini adalah sebagai berikut:
a. Dapat melengkapi data dan informasi mengenai jenis-jenis amfibi serta karakteristik
habitatnya.
b. Dapat memberikan masukan bagi pengelola kawasan hutan, terutama dalam pengambilan
keputusan tentang pengelolaan keanekaragaman jenis amfibi.
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penelitian
1.4 Manfaat Penelitian
1.5 Hipotesis (jika diperlukan)
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu
3.2 Alat dan Bahan
3.3 Rancangan Penelitian (non eksperimental) / Rancangan Percobaan
(eksperimental)
3.4 Langkah Penelitian
3.5 Pengamatan
3.6 Analisis Data
Di Indonesia terdapat 10 famili dari Ordo Anura yang ada di dunia. Familifamili tersebut
adalah Bombinatoridae (Discoglossidae), Megophryidae (Pelobatidae), Bufonidae,
Lymnodynastidae, Myobatrachidae, Microhylidae, Pelodryadidae, Ranidae, Rhacophoridae
dan Pipidae (Iskandar 1998). Ordo Gymnophiona atau yang lebih dikenal dengan sebutan
sesilia merupakan satwa yang dianggap langka dan sulit diketahui keberadaannya di alam.
Jumlah jenis dari Ordo ini adalah sebanyak 170 jenis dari seluruh jenis amfibi.
Ichthyophiidae merupakan salah satu famili yang terdapat di Asia Tenggara. Tidak semua
ordo dalam kelas amfibi terdapat di Indonesia. Caudata merupakan satu-satunya ordo dari
Amfibi yang tidak terdapat di Indonesia. Ordo Anura terdiri dari katak dan kodok. Saat ini
terdapat lebih dari 4,100 jenis Anura di dunia dan di Indonesia memiliki sekitar 450 jenis atau
11% dari seluruh anura di dunia (Iskandar 1998).
Menurut Alikodra (2002), habitat satwaliar yaitu suatu kesatuan dari faktor fisik maupun biotik yang
digunakan untuk untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Sedangkan Odum (1971) mengartikan
habitat suatu individu sebagai tempat dimana individu tersebut hidup. Definisi lain dinyatakan oleh
Goin & Goin (1971) bahwa habitat tidak hanya menyediakan kebutuhan hidup suatu organisme
melainkan tentang dimana dan bagaimana satwa tersebut dapat hidup. Berdasarkan habitatnya, katak
hidup pada daerah pemukiman manusia, pepohonan, habitat yang terganggu, daerah sepanjang aliran
sungai atau air yang mengalir, serta pada hutan primer dan sekunder (Iskandar 1998).
Habitat utama amfibi adalah hutan primer, hutan rawa, sungai besar, sungai sedang, anak sungai,
kolam dan danau (Mistar 2003). Kebanyakan dari amfibi hanya bisa hidup di air tawar, namun jenis
seperti Fejervarya cancrivora diketahui mampu hidup di air payau (Iskandar 1998). Sebagian katak
beradaptasi agar dapat hidup di pohon. Walaupun sangat tergantung pada air, katak pohon seringkali
tidak turun ke air untuk bertelur. Katak pohon melakukan kawin dan menyimpan telurnya di
vegetasi/pohon di atas air. Saat menetas berudu katak akan jatuh ke dalam air (Duellman & Heatwole

1998). Selain itu, juga terdapat katak yang menyimpan telurnya di lubang berair pada kayu dan tanah,
di punggung betina atau membawa ke daerah dekat air (Duellman & Trueb 1994).
Sudrajat (2001) membagi amfibi menurut perilaku dan habitatnya menjadi tiga grup besar yaitu: 1).
Jenis yang terbuka pada asosiasi dengan manusia dan tergantung pada manusia, 2). Jenis yang dapat
berasosiai dengan manusia tapi tidak tergantung pada manusia, 3). Jenis yang tidak berasosiai dengan
manusia. Salah satu penyebab penurunan jenis amfibi di dunia adalah kerusakan habitat hutan dan
fragmentasi. Di hutan yang mengalami sedikit gangguan atau hutan dengan tingkat perubahan sedang
memiliki jumlah jenis yang lebih kaya daripada kawasan yang sudah terganggu seperti hutan
sekunder, kebun dan pemukiman penduduk (Gillespie et al. 2005). Hal yang sama juga terlihat dari
penelitian Ul-Hasanah (2006). Katak yang terdapat di habitat yang tidak terganggu memiliki jumlah
jenis yang lebih banyak. Ul-Hasanah (2006) menemukan 37 jenis katak di habitat yang tidak
terganggu dan 31 jenis katak di habitat yang terganggu. Dari penelitiannya terlihat bahwa habitat
sungai tidak terganggu didominasi oleh Leptophryne borbonica, Rana chalconota dan Limnonectes
blythii. Habitat darat tidak terganggu didominasi oleh Bufo asper, Limnonectes blythii, Rana
chalconota, Leptobrachium hasseltii, Megophrys nasuta, Leptophryne borbonica dan Limnonectes
microdiscus. Habitat sungai terganggu didominasi oleh Rana chalconota, Bufo asper dan Rana hosii,
sedangkan habitat darat terganggu didominasi oleh Rana chalconota, Rana hosii, Fejervarya spp, Bufo
biporcatus dan Bufo melanostictus.
Amfibi memiliki berbagai peranan penting bagi kehidupan manusia, yakni peranan ekologis maupun
ekonomis. Secara ekologis, amfibi memiliki peranan penting dalam rantai makanan sebagai konsumen
sekunder. Amfibi memakan serangga sehingga dapat membantu keseimbangan ekosistem terutama
dalam 7 pengendalian populasi serangga. Selain itu, amfibi juga dapat berfungsi sebagai bio-indikator
bagi kondisi lingkungan karena amfibi memiliki respon terhadap perubahan lingkungan (Stebbins &
Cohen 1997).
Peranan amfibi dari segi ekonomis dapat ditinjau dari pemanfaatan amfibi untuk kepentingan
konsumsi. Beberapa jenis amfibi dari Ordo Anura diketahui memiliki nilai ekonomis yang tinggi
seperti Fejervarya cancrivora, Fejervarya limnocharis, dan Limnonectes macrodon (Kusrini 2003).
Selain untuk tujuan konsumsi, amfibi memiliki kegunaan yang lain yaitu sebagai binatang peliharaan,
binatang percobaan dan bahan obat-obatan (Stebbins & Cohen 1997).

Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai April 2012. Pengamatan dan pengambilan
data dilakukan pada malam hari mulai dari pukul 18.00 WIB sampai dengan 20.00 WIB.
Penelitian ini dilakukan di Youth Camp Tahura WAR, peta lokasi penelitian dapat dilihat pada
Gambar 1. Pembagian tipe habitat di Youth Camp terdiri dari habitat hutan, habitat
perkebunan dan habitat sungai. Pembagian habitat ini bertujuan untuk mempermudah dalam
penemuan spesies amfibi, karena amfibi memiliki karakteristik habitat di akuatik dan
teresterial.
Adapun cara kerja penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Melakukan observasi pendahuluan ke lokasi penelitian.
2) Menentukan titik hitung disepanjang transek dan membuat batas daerah penelitian.

3) Mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan dalam penelitian.


4) Mengukur komponen habitat antara suhu relatif, kelembaban relatif, vegetasi, dan cuaca.
5) Melakukan proses pengambilan sampel penelitian pada setiap titik dengan cara manual.
6) Memasukkan hewan sampel yang ditemukan ke dalam plastik yang telah diberi label.
7) Menghitung jumlah spesies sampel yang didapat.
8) Mencatat data morfometri dan data pendukung lainnya.
9) Mendokumentasikan hewan sampel yang ditemukan.
10) Mengidentifikasikan hewan sampel yang ditemukan dengan buku identifikasi sesuai
dengan literatur buku A Field Guide to the Frogs of Borneo (Inger dan Stuebing, 2005) dan
Panduan Lapangan Amfibi Jawa dan Bali (Iskandar, 1998).
Morfometri adalah suatu studi yang bersangkutan dengan variasi dan perubahan
dalam bentuk (ukuran dan bentuk) dari organisme, meliputi pengukuran panjang
dan analisis kerangka suatu organisme (Anonim1, 2010). Studi morfometri
didasarkan pada sekumpulan data pengukuran yang mewakili variasi bentuk dan
ukuran ikan. (Turan, 1998).

Metode yang digunakan dalam pengambilan data keanekaragaman amfibi yaitu Visual
Encounter Survey (VES) (Heyer et al. 1994).
Teknik pelaksanaan metode di lapangan yaitu :
1. Orientasi lapangan dan penjelajahan sebagai langkah awal
2. Pembuatan jalur pengamatan pada masing-masing lokasi yaitu 400 m untuk habitat akuatik
(sungai), habitat akuatik (danau) dengan cara mengelilingi danau tersebut, dan 800 m untuk
habitat terestrial. Setiap lokasi terbagi menjadi dua jalur pengamatan yaitu habitat akuatik dan
habitat terestrial.
3. Penangkapan dan pengumpulan sampel dilakukan dengan mendatangi jalur pengamatan
pada malam hari selama 3 kali ulangan untuk setiap jalur. Pengamatan dilakukan pada pukul
20.00-23.00 WIB. Pengumpulan sampel dilakukan dengan menggunakan senter. Pengamatan
dimulai saat di titik nol pada jalur. Setiap individu amfibi yang tertangkap dimasukan ke
dalam kantong plastik yang kemudian dicatat waktu ditemukan, aktivitas/perilaku, posisi
horizontal dan vertikal, tipe subtrat, dan informasi lain.

4. Melakukan pengawetan spesimen amfibi yang belum teridentifikasi.


Amfibi yang diawetkan hanya diambil maksimal dua individu untuk setiap jenis dan untuk
jenis yang umum dan sudah teridentifikasi hanya diambil gambarnya secara menyeluruh. Tata
cara preservasi yaitu :
- Terlebih dahulu identifikasi terhadap ciri umum dan ambil gambar pada saat spesimen
masih hidup. Lalu menyiapkan alat dan bahan preservasi.
- Sebelum dimatikan, spesimen dibuat pingsan dengan cara memasukan ke dalam air yang
sudah dicampur dengan kloroform. Setelah itu, amfibi dimatikan dengan cara menyuntik
amfibi dengan alkohol 70% dibagian bawah tengkorak.
- Setelah mati, spesimen disuntik dengan alkohol 70% ke dalam bagian tubuh seperti perut,
femur, tibia, tarsus dan bisep.
- Sebelum specimen kaku, mulut spesimen dimasukan kapas untuk memudahkan identifikasi
dan diberi kertas label yang berisi keterangan spesimen tesebut.
- Untuk sementara spesimen tersebut dimasukkan ke dalam kotak yang telah beralaskan
kapas yang sudah dibasahi alkohol 70%. Bentuk spesimen diatur supaya mudah untuk
keperluan identifikasi.
- Spesimen kemudian dipindahkan ke dalam botol yang berisi alkohol 70% sampai terendam.
5. Kegiatan identifikasi dilakukan dengan menggunakan buku identifikasi amfibi
6. Komponen habitat yang diamati meliputi kondisi cuaca, suhu udara, kelembaban udara,
suhu air, pH air, rata-rata lebar badan air, rata-rata kedalaman badan air, substrat dasar
perairan, jenis dan komposisi vegetasi, kerapatan vegetasi, penutupan tajuk dan jenis
gangguan terhadap lokasi.
Analisis data penelitian terdiri atas:
1. Analisis Keanekaragaman Amfibi Untuk mengetahui keanekaragaman jenis dihitung
dengan menggunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wienner (Odum, 1971 dikuti
oleh Fachrul, 2007), dengan rumus sebagai berikut:
H= - Pi ln(Pi), dimana Pi = (ni/N) Keterangan:
H = Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner
ni = Jumlah individu jenis ke-i
N = Jumlah individu seluruh jenis
Kriteria nilai indeks keanekaragaman ShannonWiener (H) adalah sebagai berikut:
H< 1 : keanekaragaman rendah
1<H3 : keanekaragaman sedang
H> 3 : keanekaragaman tinggi
2. Indeks Kemerataan Indeks kemerataan digunakan untuk mengetahui kemerataan
setiap spesies dalam setiap komunitas yang dijumpai, dengan mengunakan rumus:

J = H/ H max atau J = -Pi ln (Pi)/ ln(S)


Keterangan: J = Indeks kesamarataan
S = Jumlah spesies
Rumus ini digunakan karena nilai H sudah diperoleh sebelumnya sehingga lebih
mudah dalam perhitungannya. Kriteria indeks kemerataan (J) menurut Daget (1976)
dikutip oleh Solahudin (2003) adalah sebagai berikut:
0 < J 0,5 : Komunitas tertekan
0,5 < J 0,75 : Komunitas labil
0,75 < J 1 : Komunitas stabil
3. Analisis Kesamaan Spesies Antar Habitat Indeks kesamaan (Similarity index)
diperlukan untuk mengetahui tingkat kesamaan komposisi spesies antar dua habitat,
dihitung dengan menggunakan rumus (Odum, 1993 dikutip oleh Indriyanto, 2006).
IS = 2C/(A+B)
Keterangan: C = jumlah spesies yang sama pada kedua komunitas
A = jumlah spesies yang hanya dijumpai pada lokasi 1
B = jumlah spesies yang hanya dijumpai pada lokasi 2
4. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif digunakan dalam penggunaan habitat dan
vegetasi oleh amfibi, ditabulasikan dan diuraikan secara deskriptif berdasarkan hasil
pengamatan yang dilakukan.
Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan.
Duellman WE dan Heatwole H. 1998. Habitats and Adaptations. In: HG Cogger and RG.
Zweifel 1998. Encyclopedia of Reptiles and Amphibians. Second Edition. San Fransisco: Fog
City Pr. Fachrul MF. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Buku. Jakarta: Bumi Aksara. Goin
CJ dan Goin OB. 1971. Introduction to Herpetology. Second Edition. San Francisco:
Freeman. Heyer WR, Donnelly MA, Diarmid RW, Hayek LC dan Foster MS.. 1994.
Measuring and Monitoring Biological Diversity: Standard Method for Amphibians.
Washington: Smithsonian Institution Pr. Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Buku. Jakarta:
Bumi Aksara. Inger RF dan Stuebing RB. 2005. A Field Guide to The Frogs of Borneo.
Second Edition. Kota Kinabalu: Natural History Publications (Borneo). Iskandar DT. 1998.
Amfibi Jawa dan Bali Seri Panduan Lapangan. Bogor: Puslitbang LIPI. Iskandar DT dan
Erdelen WR. 2006. Conservation of amphibians and reptiles in Indonesia: issues and
problems. Amphib. Reptile Conserv. 4(1):60-93. Kusrini MD. 2003. Predicting the impact of
the frog leg trade in Indonesia: An ecological view of the indonesian frog leg trade,
emphasizing Javanese edible frog species. Dalam: MD Kusrini, A Mardiastuti dan T Harvey
2003 Konservasi Amfibi dan Reptil di Indonesia. Bogor. Fakultas Kehutanan IPB. Hal. 27-44.
Mistar. 2003. Panduan Lapangan Amfibi Kawasan Ekosistem Leuser. The Gibbon
Foundation dan PILI-NGO Movement. Bogor. Primack RB, Supriatna J, Indrawan M dan

Kramadibrata P. 1998. Biologi Konservasi. Buku. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Sartono
L. 2007. Study keanekaragaman anura di Youth Camp Taman Hutan Raya (TAHURA) Wan
Abdul Rachman, Lampung. Skripsi. Bandar Lampung: Universitas Lampung. Solahudin AM.
2003. Keanekaragaman jenis burung air di Lebak Pampangn Kecamatan Pampangan
Kabupaten Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar
Lampung. Stebbins RC dan Cohen NW. 1997. A Natural History of Amphibians. New Jersey,
Princeton Univ. Pr. Yuliana S. 2000. Kenanekaragaman jenis amfibi (ordo anura) di kampus
IPB Darmaga, Bogor. Skripsi. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Menurut Goin & Goin (1971), klasifikasi dan sistematika amfibi adalah sebagai berikut:
Kingdom Animalia, Filum Chordata, Sub-filum Vertebrata, Kelas Amphibia, serta Ordo
Gymnophiona, Caudata dan Anura. Amfibi adalah satwa bertulang belakang yang memiliki
jumlah jenis terkecil, yaitu sekitar 4,000 jenis. Walaupun sedikit, amfibi merupakan satwa
bertulang belakang yang pertama berevolusi untuk kehidupan di darat dan merupakan nenek
moyang reptil (Halliday & Adler 2000).
Di Indonesia terdapat 10 famili dari Ordo Anura yang ada di dunia. Familifamili tersebut
adalah Bombinatoridae (Discoglossidae), Megophryidae (Pelobatidae), Bufonidae,
Lymnodynastidae, Myobatrachidae, Microhylidae, Pelodryadidae, Ranidae, Rhacophoridae
dan Pipidae (Iskandar 1998).
Ordo Gymnophiona atau yang lebih dikenal dengan sebutan sesilia merupakan satwa yang
dianggap langka dan sulit diketahui keberadaannya di alam. Jumlah jenis dari Ordo ini adalah
sebanyak 170 jenis dari seluruh jenis amfibi. Ichthyophiidae merupakan salah satu famili
yang terdapat di Asia Tenggara. Tidak semua ordo dalam kelas amfibi terdapat di Indonesia.
Caudata merupakan satu-satunya ordo dari Amfibi yang tidak terdapat di Indonesia. Ordo
Anura terdiri dari katak dan kodok. Saat ini terdapat lebih dari 4,100 jenis Anura di dunia dan
di Indonesia memiliki sekitar 450 jenis atau 11% dari seluruh anura di dunia (Iskandar 1998).

Anda mungkin juga menyukai