Poelinggomang )
Makassar adalah keterangan atau predikat nama tempat yang dikenal lebih
dahulu dari penyebutan untuk bandar niaga kerajaan kembar Gowa dan
Tallo, yang dalam perkembangannya menyandang nama Kerajaan Makassar.
Dalam naskah kuna Majapahit (Jawa), Negara Kartagama yang ditulis oleh
Mpu Prapanca pada tahun 1364, Makassar telah disebut, disamping nama
Luwu, Bantaeng, dan Selayar. Nama tempat yang disebut Makassar itu
belum dapat diidentifikasi hingga sekarang. Selain itu dalam tradisi pelaut
dan pedagang yang berniaga ke Maluku menyebut kawasan pulau-pulau
berada di utara Pulau Sumbawa dengan nama Makassar. Tradisi penyebutan
pulau-pulau itu kemudian diserab oleh pelaut dan pedagang Portugis setelah
merebut dan menduduki Malaka. Dalam catatan Tome Pires diungkapkan
bahwa pedagang-pedagang Melayu menginformasikan bahwa terdapat jalur
paling singkat dalam pelayaran ke Maluku yaitu melalui Makassar (Cortesao,
1944). Tampaknya informasi itu mendorong pelaut dan pedagang Portugis
melusuri jalur pelayaran itu, sehingga dalam peta pelayaran pengembara
Portugis Pulau Kalimantan diberi nama Pulau Makassar yang Besar
(Gramdos ilha de Macazar) dan Pulau Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya
dengan sebutan Pulau-pulau Makassar (Ilhas dos Macazar). Selain
penyebutan nama Makassar untuk pulau-pulau itu, kota-kota pelabuhan yang
berada di pesisir barat Sulawesi yang menjadi tempat singgah dalam
pelayaran ke Maluku juga diberikan predikat Makassar, antara lain Siang
Makassar, Bacokiki Makassar, Suppa Makassar, Sidenreng Makassar, Napo
Makassar dan Tallo Makassar.
Informasi menyangkut penyebutan Makassar yang meliputi wilayah yang
luas itu, dalam perkembangan kemudian dimatereikan menjadi nama bandar
niaga kerajaan Gowa dan Tallo (Sombaopu dan Tallo) dua bandar yang secara
historis baru tumbuh kemudian setelah beberapa pelabuhan lain, seperti:
Siang, Bacokiki, Suppa, Napo, dan Sidenreng. Sehubungan dengan itu topik
pembicaraan dalam menelusuri sejarah kota Makassar, pertama-tama
diarahkan untuk menelusuri latar sejarah penamaan bandar niaga yang kini
mengemban nama Makassar. Setelah itu diungkapkan proses kesejarahan
kedudukan Makassar sebagai kota niaga. Dengan demikian kiranya dapat
dipahami mengapa penyebutan nama kota Makasaar mengandung makna
bagi perkembangan kota ini menuju kotaniaga dunia
Terbentuknya Bandar Makassar
1897: 82). Kebijakan penaklukan dan pemusatan kegiatan di bandar GowaTallo itu berdampak pedagang Melayu, yang sebelumnya bermukim di
Bandar Siang (Pangkajene Bungoro) memohon izin untuk menetap dan
berniaga di Makassar. Dalam perkembangan kemudian datang pula
pedagang-pedagang lain, seperti Belanda (VOC) pada 1603, Inggeris (1613),
Spanyol (1615), Denmark (1618) dan Cina (1618). Berkumpulnya para
pedagang di bandar ini behasil mneningkatkan statusnya menjadi bandar
transito internasional terpenting atau dengan kata lain menjadi kota niaga
dunia.
Anthony Reid (1983: 117) yang meneliti dan mengkaji perkembangan
perdagangan Makassar sebelum Perang Makassar (1666-1667; 1668-1669)
berkesimpulan bahwa sejarah pertumbuhan perdagangan Makassar
menampilkan kisah kemajuan dan keberhasilan yang tiada bandingnya
dalam sejarah Indonesia. Bandar Makassar tumbuh dan maju dengan pesat
dalam dunia perdagangan, menjadi pusat tujuan niaga bagi semua
pedagang yang bergiat dalam dunia perdagangan maritim. Pedagang Eropa
dan Timur asing lainnya yang datang berniaga dan menetap di bandar ini
merasakan keamanan mereka terlindung dan penuh kedamaian. Itulah
sebabnya mereka memaparkan dalam laporan bahwa raja bersikap sangat
toleransi dan simpati serta suka memaafkan (Stapel, 1922: 9). Tambahan
pula para pelaut dan pedagang dari Sulawesi Selatan dikenal sebagai
pedagang yang senantiasa menepati janji, suka membantu dan membela
orang-orang yang diperlakukan semena-mena (itulah sebabnya mereka
dujuluki Ajam jago kesayangan dari dunia Timur = De hantjes van het
Oosten), dan senantiasa berkeinginan memusatkan kegiatan niaga mereka
ke Makassar. Itulah sebabnya mereka yang saling konflik di luar senantiasa
menampilkan perilaku yang santun dan berdamai serta berdagang bersama
di Makassar.
Tantangan bagi Makassar
Kemajuan yang diukir dalam sejarah Kota Makassar ini mulai mengalami
kesuraman setelah Perang Makassar (1666-1669). Kompeni (Verenigde OostIndie Compagnie, disingkat VOC) yang tampil menjadi pemenang dalam
perang itu bergiat mengubah kedudukan Makassar, karena dipandang
sebagai nama yang tidak melapangkan kebijakan monopoli perdagangan
rempah-rempahnya. Itulah sebabnya setelah usai perang, Speelman tampil
dengan rancangan baru mengubah kedudukan bandar niaga yang telah
didudukinya itu. Benteng-benteng pertahanan diruntuhkan dan hanya dua
benteng yang tetap dipertahankan, yaitu Benteng Sombaopu (pusat
pelaut dan pedagang yang ulung dan cekatan. Banyak karangan yang
mengungkapkan bahwa pelaut dan pedagang dari Sulawesi Selatan yang
memegang peranan penting dalam dunia perdagangan maritim pada abad
ke-19.
Salah satu alasan dari kelompok yang menentang rencana pemerintah untuk
membatalkan kedudukan pelabuhan Makassar sebagai pelabuhan bebas itu
yang dipandang sangat penting adalah bahwa jika status Makassar diubah
maka pelaut dan pedagang dari Sulawesi Selatan akan kembali memusatkan
kegiatan perdagangan maritim mereka ke bandar niaga asing. Itu berarti
akan melemahkan kedudukan perdagangan maritim di Hindia Belanda dan
kemungkin dapat melapangkan bangsa Eropa lain masuk dan memiliki koloni
di Indonesia, karena banyak kerajaan masih berkedudukan, secara de facto,
kerajaan yang merdeka dan berdaulat. Oleh karena itu rencana itu ditunda
hingga pemerintah dapat mengusai secara de facto wilayah kerajaan itu.
Itulah sebabnya setelah pemerintah mengusahakan perusahan pelayaran
yang dapat menggantikan peran pelaut dan pedagang dari Sulawesi Selatan
dengan membangun Koninklijk Paketvaart Maatschappaij (KPM) pada 1891
dan melaksanakan ekspedisi militer Sulawesi Selatan pada 1905, baru
pemerintah mengumumkan pembatalan kedudukan pelabuhan Makassar
sebagai pelabuhan bebas dan menjadikan pelabuhan wajib pajak pada 1906.
Kedudukan Makassar sebagai pusat perdagangan dialihkan ke pusat
perdagangan di Jawa. Untuk melayani kegiatan perdagangan ke Kalimantan
dipusatkan ke Semarang dan untuk kawasan timur diembankan kepada
otoritas Pelabuhan Surabaya. Sejak itu segala kegiatan ekspor dan impor
harus melalui Pelabuhan Surabaya, dan Makassar diberi hadiah hanya
sebagai pintu gerbang, tempat berlalunya kegiatan perdagangan ke kawasan
timur Indonesia maupun ke negara asing lainnya. Selain itu untuk tidak
merisaukan diberikan hadiah status kotamadya (staatsgemeente) pada April
1906, bersama empat kota lainnya yaitu: Batavia, Semarang, Surabaya, dan
Medan.
Kebijakan pemerintah Hindia Belanda itu tampak lebih mengutamakan kota
pelabuhan di Jawa untuk tumbuh menjadi bandar niaga terpenting, dan
bergiat menjadinya kota pelabuhan di luar Jawa sebagai penyanggah
kemajuan bandar niaga itu termasuk Makassar, Banjarmasin, Ternate, Banda,
Amboina, Menado dan Kema. Kota Makassar dalam perkembangan kemudian
lebih difungsikan menjadi kota administrasi pemerintahan.
Makassar di Makassar Golden Hotel (MGH). Pada seminar itu hadir juga H.M.
Daeng Patompo, tokoh perintis dan pengubah nama Makassar menjadi
Ujungpandang. Pada kesempatan itu ia juga mengajukan pernyataan
mendukung pengubahan nama Ujungpandang kembali menjadi Kota
Makassar, setelah menjelaskan secara singkat mengapa ia melakukan
perubahan itu, yang konon atas desakan pemerintah pusat. Seminar itu
akhirnya berhasil mencapai kesepakatan untuk mengusulkan kepada
pemerintah pusat agar memulihkan nama Makassar dengan mengubah
keputusan terdahulu yang menggantikan nama Makassar menjadi
Ujungpandang.. Hasil keputusan seminar itu akhirnya diusung oleh tokohtokoh pendukung nama Makassar ke Jakarta.
Usulan untuk mengembalikan dan memulihkan nama Makassar itu mendapat
persetujuan dari pemerintah sehingga akhirnya menjelang akhir tahun 1999,
nama Makassar kembali bergema menggantikan nama Ujungpandang.
Keputusan pemerintah itu memberikan suasana baru bagi kehidupan
penduduk kota pada khususnya dan penduduk Sulawesi Selatan pada
umumnya. Pemerintah kota bergiat merancang pengembangan kota ini
untuk dapat menampilkan wajah yang mempesona dengan rancangan untuk
menjadikan kota maritim, budaya, dan pendidikan disamping polesan pesona
lain untuk menambah maraknya kegiatan kehidupan kota. Mudah-mudahan
dalam perkembangan ke depan pemerintah berkenan mengubah kebijakan
perdagangan maritim dan menjadikan Makassar menjadi salah satu kota
niaga dunia, sentra niaga terpenting, di samping Jakarta, Semarang, dan
Surabaya dalam kegiatan perdagangan maritim.
Kedudukan Makassar paling strategik, tidak hanya dari pertimbangan jalur
perdagangan maritim, tetapi juga posisi kota yang menghadap ke arah
barat, terletak pada pesisir barat jazirah selatan Pulau Sulawesi,
menawarkan juga panorama menjelang senjak yang indah dan menyejukan.
Jerih-payah setelah menunaikan tugas pekerjaan dapat disirnahkan dengan
panorama menjelang senjak di Pantai Losari, kawasan pesisir Kota Makassar.
Selain itu juga memiliki potensi yang dapat mendukung kemajuannya dan itu
telah terbukti dalam perjalanan sejarahnya. Kami berharap ada kebijakan
yang melapangkan kemajuan Makassan untuk kembali menempati dan
meraih keunggulannya menjadi kota niaga internasional.
Tinjauan Akhir
Gambaran ringkas yang diungkapkan ini menunjukan bahwa dalam proses
sejarah kota ini pernah mengalami perubahan nama dua kali. Pertama, pada
Daftar Bacaan
Andaya, Leonard Y. 1981. The Haritage of Arung Palakka. A History of South
Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century, The Hague: Martinus Nijhoff.
(VKI No. 91)
Cortesao, Amando. 1944. The Suma Oriental of Tome Pires and the Book of
Francisco Rodriques, London: Robert Mackehose & Co Ltd.
Erkelens, B. 1897. Geschiedenis van het Rijk Gowa, dalam VBG, Vol ke-50
Leur, J.C. van. 1983. Indonesian Trade and Society. Essays in Asian Sociel and
Economic History, Dordreecht: Foris Publication.
Reid, Anthony, 1983. The Rise of Makassar, dalam: RIMA, Vol. XVII, hal.
117-160.
Stapel, F.W. 1922. Het Bongaais Verdrag, Leiden: Disertasi Rijks Universiteit
Leiden
Sutherland, H.A. 1989. Eastern Emporium and Company Town: Trade and
Society in the Eighteenth Century Makassar, dalam: Frank Broeze, ed.
Brides of the Sea. Port Cities of Asia from 16th-20th Centuries, Keinsington:
New South Wales University Press, hal. 97-128.
Wolhoff, G.J. dan Abdurrahim. T.thn., Sedjarah Goa. Makassar: Jajasan
Kebudajaan Sulawesi Selatan dan Tenggara.
Wong Lin Ken. 1961. The Trade of Singapore, 1819-1869, Singapore: The Wah
Press (JMBRAS Vo. XXXIII, No. 1).
[1] Menurut catatan sejarah raja Kerajaan Tallo yang pertama, Kareng Lowe ri
Sero adalah saudara kandung dari raja Gowa VII, Batara Gowa., putera dari
raja Gowa VI, Tunatangkalopi (1445-1460). Kisah tentang dua kerajaan
tetangga ini terdapat dua versi. Versi pertama mengkisahkan bahwa kedua
putera raja ini selalu berselisi. Karena itu sebelum meninggal ia membagi
wilayah kerajaannya kepada dua puteranya. Batara Gowa menjadi raja dari
wilayah yang dikenal dengan Kerajaan Gowa, sementara adiknya menjadi
raja atas wilayah yang kemudian disebut Kerajaan Tallo. Versi lain
mengkisahkan bahwa sebelum raja mangkat ia telah berpesan agar Karaeng
lowe ri Sero yang kelak menggantikannya. Ketika raja meninggal putera
tertuanya, Batara Gowa bertindak merebut ornamen kerajaan (Sudanga)
sehingga dewan kerajaan mengakauinya sebagai raja. Akibatnya adiknya
meninggalkan kerajaan itu dan pergi menetap di Pacinnang. Katika
kehadirannya itu dikethui oleh para gelarrang di wilayah Bira, empat
galarang yaitu Karaeng Loe ri Bira, Karaeng Bulu Loe, Karaeng Bentang, dan
Dampang ri Parangloe, bersepakat untuk menobatkannya menjadi raja.
Tawaran itu diterima, sehingga mereka bergiat membangun istana kerajaan
di wilayah pesisir pada muara Sungai Bira yang dikenal dengan nama hutan
Tolloang. Dari nama hutan itulah kemudian kerjaan yang didirikan itu
dinamakan Kerajaan Tallo,