Anda di halaman 1dari 14

etika keperawatan

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keperawatan merupakan salah satu profesi yang mempunyai bidang garap pada kesejahtraan
manusia yaitu dengan memberikan bantuan kepada individu yang sehat maupun yang sakit
untuk dapat menjalankan fungsi hidup sehari-hariya. Salah satu yang mengatur hubungan
antara perawat pasien adalah etika. Istilah etika dan moral sering digunakan secara
bergantian.
Etika dan moral merupakan sumber dalam merumuskan standar dan prinsip-prinsip yang
menjadi penuntun dalam berprilaku serta membuat keputusan untuk melindungi hak-hak
manusia. Etika diperlukan oleh semua profesi termasuk juga keperawatan yang mendasari
prinsip-prinsip suatu profesi dan tercermin dalam standar praktek profesional. (Doheny et all,
1982).
Profesi keperawatan mempunyai kontrak sosial dengan masyarakat, yang berarti masyarakat
memberi kepercayaan kepada profesi keperawatan untuk memberikan pelayanan yang
dibutuhkan. Konsekwensi dari hal tersebut tentunya setiap keputusan dari tindakan
keperawatan harus mampu dipertanggungjawabkan dan dipertanggunggugatkan dan setiap
penganbilan keputusan tentunya tidak hanya berdasarkan pada pertimbangan ilmiah semata
tetapi juga dengan mempertimbangkan etika.
Etika adalah peraturan atau norma yang dapat digunakan sebagai acuan bagi perlaku
seseorang yang berkaitan dengan tindakan yang baik dan buruk yang dilakukan seseorang
dan merupakan suatu kewajiban dan tanggungjawanb moral.(Nila Ismani, 2001)
Bioetik adalah studi tentang isu etika dalam pelayanan kesehatan (Hudak & Gallo, 1997).
Dalam pelaksanaannya etika keperawatan mengacu pada bioetik sebagaimana tercantum
dalam sumpah janji profesi keperawatan dan kode etik profesi keperawatan.
Eutanasia merupakan
Dari uraian diatas kelompok merasa tertarik untuk menguraikan konsep penanganan masalah
bioetik disertai dngan studi kasus.
B. Tujuan
Makalah ini memberikan gambaran tentang dilema etik dan cara penganannya menurut
konsep llmu.
C. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
BAB II TINJAUAN TEORITIS
BAB III TINJAUAN KASUS
BAB IV PEMBAHASAN

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kemajuan ilmu dan teknologi terutama dibidang biologi dan kedokteran telah menimbulkan
berbagai permasalahan atau dilema etika kesehatan yang sebagian besar belum teratasi
( catalano, 1991).
Etika adalah peraturan atau norma yang dapat digunakan sebagai acuan bagi perlaku
seseorang yang berkaitan dengan tindakan yang baik dan buruk yang dilakukan seseorang
dan merupakan suatu kewajiban dan tanggungjawanb moral.(Nila Ismani, 2001)
Etik merupakan suatu pertimbangan yang sistematis tentang perilaku benar atau salah,
kebajikan atau kejahatan yang berhubungan dengan perilaku.
Etika merupakan aplikasi atau penerapan teori tentang filosofi moral kedalam situasi nyata
dan berfokus pada prinsip-prinsip dan konsep yang membimbing manusia berpikir dan
bertindak dalam kehidupannya yang dilandasi oleh nilai-nilai yang dianutnya. Banyak pihak
yang menggunakan istilah etik untuk mengambarkan etika suatu profesi dalam hubungannya
dengan kode etik profesional seperti Kode Etik PPNI atau IBI.
Nilai-nilai (values) adalah suatu keyakinan seseorang tentang penghargaan terhadap suatu
standar atau pegangan yang mengarah pada sikap/perilaku seseorang. Sistem nilai dalam
suatu organisasi adalah rentang nilai-nilai yang dianggap penting dan sering diartikan sebagai
perilaku personal
Moral hampir sama dengan etika, biasanya merujuk pada standar personal tentang benar atau
salah. Hal ini sangat penting untuk mengenal antara etika dalam agama, hukum, adat dan
praktek profesional
Perawat atau bidan memiliki komitmen yang tinggi untuk memberikan asuhan yang
berkualitas berdasarkan standar perilaku yang etis dalam praktek asuhan profesional.
Pengetahuan tentang perilaku etis dimulai dari pendidikan perawat atau bidan, dan berlanjut
pada diskusi formal maupun informal dengan sejawat atau teman. Perilaku yang etis
mencapai puncaknya bila perawat atau bidan mencoba dan mencontoh perilaku pengambilan
keputusan yang etis untuk membantu memecahkan masalah etika. Dalam hal ini, perawat
atau bidan seringkali menggunakan dua pendekatan: yaitu pendekatan berdasarkan prinsip
dan pendekatan berdasarkan asuhan keperawatan /kebidanan

Pendekatan berdasarkan prinsip


Pendekatan berdasarkan prinsip, sering dilakukan dalam bio etika untuk menawarkan
bimbingan untuk tindakan khusus. Beauchamp Childress (1994) menyatakan empat
pendekatan prinsip dalam etika biomedik antara lain; (1) Sebaiknya mengarah langsung
untuk bertindak sebagai penghargaan terhadap kapasitas otonomi setiap orang: (2)
Menghindarkan berbuat suatu kesalahan; (3) Bersedia dengan murah hati memberikan
sesuatu yang bermanfaat dengan segala konsekuensinya; (4) Keadilan menjelaskan tentang
manfaat dan resiko yang dihadapi
Dilema etik muncul ketika ketaatan terhadap prinsip menimbulkan penyebab konflik dalam
bertindak. Contoh; seorang ibu yang memerlukan biaya untuk pengobatan progresif bagi
bayinya yang lahir tanpa otak dan secara medis dinyatakan tidak akan pernah menikmati
kehidupan bahagia yang paling sederhana sekalipun. Di sini terlihat adanya kebutuhan untuk
tetap menghargai otonomi si ibu akan pilihan pengobatan bayinya, tetapi dilain pihak
masyarakat berpendapat akan lebih adil bila pengobatan diberikan kepada bayi yang masih
memungkinkan mempunyai harapan hidup yang besar. Hal ini tentu sangat mengecewakan
karena tidak ada satu metoda pun yang mudah dan aman untuk menetapkan prinsip-prinsip
mana yang lebih penting, bila terjadi konflik diantara kedua prinsip yang berlawanan.
Umumnya, pendekatan berdasarkan prinsip dalam bioetik, hasilnya terkadang lebih
membingungkan. Hal ini dapat mengurangi perhatian perawat atau bidan terhadap sesuatu
yang penting dalam etika.
Terutama kemajuan di bidang biologi dan kedokteran, telah menimbulkan berbagai
permasalahan atau dilema etika kesehatan yang sebagian besar belum teratasi (cakalano,
1991). Kemajuan teknologi kesehatan saat ini telah meningkatkan kemampuan bidang
kesehatan dalam mengatasi kesehatan dan memperpanjang usia. Jumlah golongan usia lanjut
yang semakin banyak, keterbatasan tenaga perawat, biaya perawatan yang semakin mahal,
dan keterbatasan sarana kesehatan, telah menimbulkan etika keperawatan bagi individu
perawat atau persatuan perawat ( Mc. Croskey, 1990 )
A. Beberapa pengertian yang berkaitan dengan dilema etik
1. Etik
Etik adalah norma-norma yang menentukan baik-buruknya tingkah laku manusia, baik secara
sendirian maupun bersama-sama dan mengatur hidup ke arah tujuannya ( Pastur scalia,
1971 )
2. Etik Keperawatan
Etik keperawatan adalah norma-norma yang di anut oleh perawat dalam bertingkah laku
dengan pasien, keluarga, kolega, atau tenaga kesehatan lainnya di suatu pelayanan
keperawatan yang bersifat professional. Prilaku etik akan dibentuk oleh nilai-nilai dari
pasien, perawat dan interaksi sosial dalam lingkungan.

3. Kode Etik Keperawatan


Kode etik adalah suatu tatanan tentang prinsip-prinsip imum yang telah diterima oleh suatu
profesi. Kode etik keperawatan merupakan suatu pernyataan komprehensif dari profesi yang
memberikan tuntutan bagi anggotanya dalam melaksanakan praktek keperawatan, baik yang
berhubungan dengan pasien, keluarga masyarakat, teman sejawat, diri sendiri dan tim
kesehatan lain, yang berfungsi untuk

Memberikan dasar dalam mengatur hubungan antara perawat, pasien, tenaga kesehatan lain,
masyarakat dan profesi keperawatan.
Memberikan dasar dalam menilai tindakan keperawatan
Membantu masyarakat untuk mengetahui pedoman dalam melaksanakan praktek
keperawatan.
Menjadi dasar dalam membuat kurikulum pendidikan keperawatan ( Kozier & Erb, 1989 )
4. Dilema Etik
Dilema etik adalah suatu masalah yang melibatkan dua ( atau lebih ) landasan moral suatu
tindakan tetapi tidak dapat dilakukan keduanya. Ini merupakan suatu kondisi dimana setiap
alternatif memiliki landasan moral atau prinsip. Pada dilema etik ini sukar untuk menentukan
yang benara atau salah dan dapat menimbulkan stress pada perawat karena dia tahu apa yang
harus dilakukan, tetapi banyak rintangan untuk melakukannya. Dilema etik biasa timbul
akibat nilai-nilai perawat, klien atau lingkungan tidak lagi menjadi kohesif sehingga timbul
pertentangan dalam mengambil keputusan. Menurut Thompson & Thompson (1985 ) dilema
etik merupakan suatu masalah yang sulit dimana tidak ada alternatif yang memuaskan atau
situasi dimana alternatif yang memuaskan atau tidak memuaskan sebanding. Dalam dilema
etik tidak ada yang benar atau yang salah. Untuk membuat keputusan yang etis, seorang
perawat tergantung pada pemikiran yang rasional dan bukan emosional.
B. Prinsip-Prinsip Moral Dalam Praktek Keperawatan
Prinsip moral merupakan masalah umum dalam melakukan sesuatu sehingga membentuk
suatu sistem etik. Prinsip moral berfungsi untuk membuat secara spesifik apakah suatu
tindakan dilarang, diperlukan atau diizinkan dalam situasi tertentu. ( John Stone, 1989 )
1. Autonomi
Autonomi berarti kemampuan untuk menentukan sendiri atau mengatur diri sendiri, berarti
menghargai manusia sehingga memperlakukan mereka sebagai seseorang yang mempunyai
harga diri dan martabat serta mampu menentukan sesuatu bagi dirinya.
2. Benefesience
Merupakan prinsip untuk melakukan yang baik dan tidak merugikan pasien atau tidak
menimbulkan bahaya bagi pasien.
3. Justice
Merupakan prinsip moral untuk bertindak adil bagi semua individu, setiap individu mendapat
pperlakuan dan tindakan yang sama. Tindakan yang sama tidak selalu identik tetapi dalam hal
ini persamaan berarti mempunyai kontribusi yang relatif sama untuk kebaikan hidup
seseorang
4. Veracity
Merupakan prinsip moral dimana kita mempunyai suatu kewajiban untuk mengatakan yang
sebenarnya atau tidak membohongi orang lain / pasien. Kebenaran merupakan hal yang
fundamental dalam membangun suatu hubungan denganorang lain. Kewajiban untuk
mengatakan yang sebenarnya didasarkan atau penghargaan terhadap otonomi seseorang dan
mereka berhak untuk diberi tahu tentang hal yang sebenarnya.
5. Avoiding Killing
Merupakan prinsip yang menekankan kewajiban perawat untuk menghargai kehidupan. Bila
perawat berkewajiban melakukan hal-hal yang menguntungkan (Benefisience ) haruskah
perawat membantu pasien mengatasi penderitaannya ( misalnya akibat kanker ) dengan
mempercepat kematian ? Kewajiban perawat untuk menghargai eksistensi kemanusiaan yang
mempunyai konsekuensi untuk melindungi dan mempertahankan kehidupan dengan berbagai
cara.
6. Fedelity
Merupakan prinsip moral yang menjelaskan kewajiban perawat untuk tetap setia pada

komitmennya, yaitu kewajiban mempertahankan hubungan saling percaya antara perawat dan
pasien. Kewajiban ini meliputi meenepati janji, menyimpan rahasia dan caring
C. Kerangka Proses Pemecahan Masalah Dilema Etik
Kerangka pemecahan dilema etik banyak diutarakan oleh para ahli dan pada dasarnya
menggunakan kerangka proses keperawatan / Pemecahan masalah secara ilmiah, antara lain :
1. Model Pemecahan masalah ( Megan, 1989 )
Ada lima langkah-langkah dalam pemecahan masalah dalam dilema etik.
a. Mengkaji situasi
b. Mendiagnosa masalah etik moral
c. Membuat tujuan dan rencana pemecahan
d. Melaksanakan rencana
e. Mengevaluasi hasil
2. Kerangka pemecahan dilema etik (kozier & erb, 1989 )
a. Mengembangkan data dasar.
Untuk melakukan ini perawat memerukan pengumpulan informasi sebanyak mungkin
meliputi :
Siapa yang terlibat dalam situasi tersebut dan bagaimana keterlibatannya
Apa tindakan yang diusulkan
Apa maksud dari tindakan yang diusulkan
Apa konsekuensi-konsekuensi yang mungkin timbul dari tindakan yang diusulkan.
b. Mengidentifikasi konflik yang terjadi berdasarkan situasi tersebut
c. Membuat tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan
mempertimbangkan hasil akhir atau konsekuensi tindakan tersebut
d. Menentukan siapa yang terlibat dalam masalah tersebut dan siapa pengambil keputusan
yang tepat
e. Mengidentifikasi kewajiban perawat
f. Membuat keputusan
3. Model Murphy dan Murphy
a. Mengidentifikasi masalah kesehatan
b. Mengidentifikasi masalah etik
c. Siapa yang terlibat dalam pengambilan keputusan
d. Mengidentifikasi peran perawat
e. Mempertimbangkan berbagai alternatif-alternatif yang mungkin dilaksanakan
f. Mempertimbangkan besar kecilnya konsekuensi untuk setiap alternatif keputusan
g. Memberi keputusan
h. Mempertimbangkan bagaimanan keputusan tersebut hingga sesuai dengan falsafah umum
untuk perawatan klien
i. Analisa situasi hingga hasil aktual dari keputusan telah tampak dan menggunakan informasi
tersebut untuk membantu membuat keputusan berikutnya.
4. Model Curtin
a. Mengumpulkan berbagai latar belakang informasi yang menyebabkan masalah
b. Identifikasi bagian-bagian etik dari masalah pengambilan keputusan.
c. Identifikasi orang-orang yang terlibat dalam pengambilan keputusan.
d. Identifikasi semua kemungkinan pilihan dan hasil dari pilihan itu.
e. Aplikasi teori, prinsip dan peran etik yang relevan.
f. Memecahkan dilema
g. Melaksanakan keputusan

5. Model Levine Ariff dan Gron


a. Mendefinisikan dilema
b. Identifikasi faktor-faktor pemberi pelayanan.
c. Identifikasi faktor-faktor bukan pemberi pelayana
Pasien dan keluarga
Faktor-faktor eksternal
d. Pikirkan faktor-faktor tersebut satu persatu
e. Identifikasi item-item kebutuhan sesuai klasifikasi
f. Identifikasi pengambil keputusan
g. Kaji ulang pokok-pokok dari prinsip-prinsip etik
h. Tentukan alternatif-alternatif
i. Menindaklanjuti
6. Langkah-langkah menurut Purtilo dan Cassel ( 1981)
Purtilo dan cassel menyarankan 4 langkah dalam membuat keputusan etik
a. Mengumpulkan data yang relevan
b. Mengidentifikasi dilema
c. Memutuskan apa yang harus dilakukan
d. Melengkapi tindakan
7. Langkah-langkah menurut Thompson & Thompson ( 1981) mengusulkan 10 langkah
model keputusan bioetis
a. Meninjau situasi untuk menentukan masalah kesehatan, keputusan yang diperlukan,
komponen etis dan petunjuk individual.
b. Mengumpulkan informasi tambahan untuk mengklasifikasi situasi
c. Mengidentifikasi Issue etik
d. Menentukan posisi moral pribadi dan professional
e. Mengidentifikasi posisi moral dari petunjuk individual yang terkait.
f. Mengidentifikasi konflik nilai yang ada
D. Strategi Penyelesaian Masalah Etik
Dalam menghadapi dan mengatasi permasalahan etis, antara perawat dan dokter tidak
menutup kemungkinan terjadi perbedaan pendapat. Bila ini berlanjut dapat menyebabkan
masalah komunikasi dan kerjasama, sehingga menghambat perawatan pada pasien dan
kenyamanan kerja. (Mac Phail, 1988)
Salah satu cara menyelesaikan permasalahan etis adalah dengan melakukan rounde ( Bioetics
Rounds ) yang melibatkan perawat dengan dokter. Rounde ini tidak difokuskan untuk
menyelesaikan masalah etis tetapi untuk melakukan diskusi secara terbuka tentang
kemungkinan terdapat permasalahan etis.

Eutanasia.
Kata eutanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu "eu" (= baik) and "thanatos" (maut,
kematian) yang apabila digabungkan berarti "kematian yang baik". Hippokrates pertama kali
menggunakan istilah "eutanasia" ini pada "sumpah Hippokrates" yang ditulis pada masa 400-

300 SM.
Sumpah tersebut berbunyi: "Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang
mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu".
Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga saat "bunuh diri"
ataupun "membantu pelaksanaan bunuh diri" tidak diperbolehkan
Ditinjau dari sudut maknanya maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu eutanasia
pasif, eutanasia agresif dan eutanasia non agresif
Eutanasia agresif : atau suatu tindakan eutanasia aktif yaitu suatu tindakan secara sengaja
yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk mempersingkat atau mengakhiri
hidup si pasien. Misalnya dengan memberikan obat-obatan yang mematikan seperti misalnya
pemberian tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat yang mematikan ke dalam tubuh pasien.
Eutanasia non agresif : atau kadang juga disebut autoeuthanasia (eutanasia otomatis)yang
termasuk kategori eutanasia negatif yaitu dimana seorang pasien menolak secara tegas dan
dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan sipasien mengetahui bahwa
penolakannya tersebut akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan
tersebut ia membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Autoeutanasia pada
dasarnya adalah suatu praktek eutanasia pasif atas permintaan
Eutanasia pasif : juga bisa dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif dimana tidak
dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit.
Tindakan pada eutanasia pasif ini adalah dengan secara sengaja tidak (lagi) memberikan
bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan
oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan
antibiotika kepada penderita pneumonia berat ataupun meniadakan tindakan operasi yang
seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun dengan cara pemberian
obat penghilang rasa sakit seperti morfin walaupun disadari bahwa pemberian morfin ini juga
dapat berakibat ganda yaitu mengakibatkan kematian. Eutanasia pasif ini seringkali secara
terselubung dilakukan oleh kebanyakan rumah sakit.
Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis, maupun pihak keluarga
yang menghendaki kematian seseorang atau keputusasaan keluargan karena ketidak
sanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Ini biasanya terjadi pada keluarga pasien
yang tidak mungkin untuk membayar biaya pengobatannya, dan pihak rumah sakit akan
meminta untuk dibuat "pernyataan pulang paksa". Bila meninggal pun pasien diharapkan
mati secara alamiah. Ini sebagai upaya defensif medis.
Ditinjau dari sudut pemberian izin maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
Eutanasia diluar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan eutanasia yang bertentangan dengan
keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat disamakan
dengan pembunuhan.
Eutanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi
bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga.Hal ini
terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu
keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri
Schiavo). Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku
memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi si pasien.
Eutanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga
masih merupakan hal kontroversial.
Beberapa tujuan pokok dari dilakukannya eutanasia antara lain yaitu :
Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)
Eutanasia hewan
Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada eutanasia agresif

secara sukarela
Eutanasia di berbagai Negara
1. Amerika
Eutanasia agresif dinyatakan ilegal dibanyak negara bagian di Amerika. Saat ini satu-satunya
negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminal
( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah negara bagian
Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya eutanasia dengan
memberlakukan UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act)[8].
Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia.
Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas
boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam
bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan
(dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi
dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter
kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa
pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan mental.Hukum
juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut
tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa
maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.
Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab
dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian ini. Mungkin saja nanti
nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi
terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999.
Sebuah lembaga jajak pendapat terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup Poll) menunjukkan
bahwa 60% orang Amerika mendukung dilakukannya eutanasi
2. Belanda
Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan
eutanasia, undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002 , yang
menjadikan Belanda menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik eutanasia.
Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk
mengakhiri penderitaannya.
Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal euthanasia
dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal.
Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam majalah Human
Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa
sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan eutanasia dan tidak akan
dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur
tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis)
dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.
Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk
melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan
menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia 20 tahun
telah dikodifikasi oleh undang-undang belanda, dimana seorang dokter yang melakukan
eutanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum
3. Belgia
Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir September 2002. Para
pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan eutanasia setiap tahunnya telah
dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan eutanasia dinegara ini, namun mereka juga
mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan eutanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya

upaya untuk menciptakan "birokrasi kematian".


Belgia kini menjadi negara ketiga yang melegalisasi eutanasia ( setelah Belanda dan negara
bagian Oregon di Amerika ).
Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu penyusun rancangan
undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani
dan psikologis adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan
kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya
4. Inggris
Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania Raya (Britain's
Royal College of Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan sebuah proposal kepada
Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield Council on Bioethics) agar dipertimbangkannya izin untuk
melakukan eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat (disabled newborns). Proposal
tersebut bukanlah ditujukan untuk melegalisasi eutanasia di Inggris melainkan semata guna
memohon dipertimbangkannya secara saksama dari sisi faktor "kemungkinan hidup si bayi"
sebagai suatu legitimasi praktek kedokteran.
Namun hingga saat ini eutanasia masih merupakan suatu tindakan melawan hukum di
kerajaan Inggris demikian juga di Eropa (selain daripada Belanda).
Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical
Association-BMA) yang secara tegas menentang eutanasia dalam bentuk apapun juga
5. Indonesia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan
hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal
344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa Barang siapa
menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya
dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun. Juga
demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang
juga dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik dalam perbuatan eutanasia. Dengan
demikian, secara formal hukum yang berlaku di negara kita memang tidak mengizinkan
tindakan eutanasia oleh siapa pun.
Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek dalam
suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004 menyatakan
bahwa : Eutanasia atau "pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima
dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. "Euthanasia hingga
saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang
masih berlaku yakni KUHP
Eutanasia menuruit pandangan agama
1. Agama Islam
Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak
seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada
manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS
22: 66; 2: 243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak
ada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati
demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di
jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan
berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS
2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri," (QS
4: 29), yang makna langsungnya adalah "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan
demikian, seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim lainnya (pasien)
disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri.[25]
Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia), yaitu

suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit,
karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara
positif maupun negatif.
Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa
tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya eutanasia ataupun pembunuhan
berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga
Ketua Komisi Fatwa MUI mengeluarkan fatwa yang haram tindakan Euthanasia (tindakan
mematikan orang untuk meringankan penderitaan sekarat). "Euthanasia itu kan
pembunuhan," kata KH Ma`ruf Amin
Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma'ruf Amin mengatakan MUI
telah lama mengeluarkan fatwa yang mengharamkan dilakukannya tindakan Euthanasia
(tindakan mematikan orang untuk meringankan penderitaan sekarat). "Euthanasia, menurut
fatwa kita tidak diperkenankan, karena itu kan melakukan pembunuhan," kata KH Ma`ruf
Amin di Jakarta, Jumat (22/10).
Euthanasia dalam keadaan aktif maupun dalam keadaan pasif, menurut fatwa MUI, tidak
diperkenankan karena berarti melakukan pembunuhan atau menghilangkan nyawa orang lain.
Lebih lanjut, KH Ma'ruf Amin mengatakan, euthanasia boleh dilakukan dalam kondisi pasif
yang sangat khusus.
Kondisi pasif tersebut, dimana seseorang yang tergantung oleh alat penunjang kehidupan
tetapi ternyata alat tersebut lebih dibutuhkan oleh orang lain atau pasien lain yang memiliki
tingkat peluang hidupnya lebih besar, dan pasien tersebut keberadaannya sangat dibutuhkan
oleh masyarakat. Sedangkan, kondisi aktif adalah kondisi orang yang tidak akan mati bila
hanya dicabut alat medis perawatan, tetapi memang harus dimatikan.
Mengenai dalil atau dasar fatwa MUI tentang pelarangan "euthanasia", dia menjelaskan
dalilnya secara umum yaitu tindakan membunuh orang dan karena faktor keputusasaan yang
tidak diperbolehkan dalam Islam. Dia mengungkapkan, dasar pelarangan euthanasia memang
tidak terdapat secara spesifik dalam Al Quran maupun Sunnah Nabi. "Hak untuk mematikan
seseorang ada pada Allah SWT," ujarnya menambahkan.
Ketua komisi fatwa MUI itu mengatakan, MUI akan menjelaskan dan mengeluarkan fatwa
pelarangan euthanasia tersebut, apabila Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau institusi lainnya
menanyakan kepada MUI. Dia menjelaskan, kasus permohonan euthanasia memang belum
pernah terjadi di Indonesia, tetapi MUI telah menetapkan fatwa pelarangan tersebut setelah
melakukan diskusi dan pembahasan tentang permasalahan euthanasia yang terjadi di luar
negeri.
2. Kristen
Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan yang
berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang yang membantu
pelaksanaan eutanasia.
Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :[33]
Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya menyatakan bahwa : "
penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien terminal
membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hingga kapankah
peralatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung kesempatan hidup
pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup tersebut".
Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi sebagai suatu
perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental. Dalam kasus dimana
perawatan medis tersebut menjadi sia-sia dan memberatkan, maka secara tanggung jawab

moral dapat dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.


Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk
melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh
adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih baik.
Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila tindakan
mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk perbuatan dosa, juga
dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan kesehatan, memusnahkan
harapan mereka atas pengobatan.
Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam menanggapi masalah
"bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) adalah dari sudut
"kekudusan kehidupan" sebagai suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan
apapun juga adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut

BAB III
TINJAUAN KASUS
Illustrasi kasus
Seorang wanita berusia 40 tahun menderita tumor dia menolak untuk di obati di karenakan
biaya yang kurang mencukupi, namun dia pernah mendatangi puskesmas terdekat untuk
berobat dan konsultasi untuk menyelamatkan hidup nya, maka di perlukan suatu operasi
dengan segera. Tetapi dia tetap saja menolak untuk dioperasi dengan alas an tidak adanya
biaya, tidak inggin orang lain (anak-anak nya) susah akan keberadaannya seperti itu dan
membiarkan tumor itu menjadi besar hingga ia meninggal.
Anak-anak nya pun tidak bisa berbuat apa-apa, dan mereka menghargai keputusan ibunya
walaupun dengan berat hati. Begitu pula suaminya dia bekerja hanya sebagai kuli yang hanya
cukup untuk keperluan sehari-hari saja.

BAB IV
PEMBAHASAN

A. Penyelesaian Dilema Etik


Kerangka pemecahan dilema etik, menurut kozier and Erb (1989)
1. Mengembangkan Data Dasar
a. Orang-orang yang terlibat dalam dilema etik tersebut : klien, suami, anak, perawat,
rohaniawan
b. Tindakan yang diusulkan
Sebagai klien dia mempunyai otonomi untuk membiarkan penyakitnya menggerogoti
tubuhnya walaupun sebenarnya bukan hal itu yang di inginkannya. Dalam hal ini, perawat
mempunyai peran dalam pemberi asuhan keperawatan, peran advocad (pendidik) serta
sebagai konselor yaitu membela dan melindungi ibu tersebut untuk hidup dan
menyelamatkan jiwanya dari ancaman kematian.
c. Maksud dari tindakan
Dengan memberikan pendidikan, konselor, advokasi di harapkan klien mau menjalani operasi
serta dapat membuat keputusan yang tepat terhadap masalah yang saat ini dihadapi.
d. Konsekuensi tindakan yang diusulkan
1) Operasi dilaksanakan
Biaya
Biaya yang dibutuhkan klien cukup besar untuk dilaksanakannya operasi
Psikososial
Pasien merasa bersyukur diberi umur yang panjang (bila operasi itu lancar dan baik) namun
klien juga dihadapkan pada kecemasan akan kelanjutan hidupnya bila ternyata operasi itu
gagal serta biaya-biaya yang akan di keluarkan.
Fisik
Klien mempunyai bentuk tubuh yang normal tidak terdapat pembesaran dalam tubuhnya
(perut) dan bila dibiarkan begitu saja cepat atau lambat akan terjadilah kematian
2) Bila operasi tidak dilaksanakan
Biaya
Tidak mengeluarkan biaya apa-apa
Psikososial
Klien dihadapkan pada suatu ancaman kematian terjadi kecemasan dan rasa sedih dalam
hatinya
Fisik
Timbulnya pembesaran di daerah abdomen
2. Identifikasi Komplik Akibat Situasi Tersebut

a. Untuk memutuskan apakah operasi dilakukan pada wanita tersebut, perawat dihadapkan
pada konflik tidak menghormati otonomi klien
b. Apabila tindakan operasi tidak di lakukan perawat dihadapkan pada konflik :
1. tidak melaksanakan sumpah profesi
2. tidak melaksanakan kode etik profesi dan prinsip-prinsip moral : advokasi,benefesience,
justice, avoiding, killing.
3. tidak melaksanakan perannya sebagai pemberi asuhan keperawatan
4. perasaan bersalah (quilty) akibat tidak melaksanakan tindakan operasi yang
memungkinkan timbulnya kematian.
3. Tindakan Alternatif Terhadap Tindakan Yang Diusulkan
a. mengusulkan dalam tim yang terlibat dalam masalah klien untuk dilakukannya operasi,
konsekuensi :
1. usul diterima atau ditolak aleh tim dan pihak yang terlibat dalam penanganan klien
2. mungkin klien secara psikologis akan menjadi lebih siap untuk menghadapi tantangan akan
kehidupan ini
3. resiko pengeluaran biaya yang tak terduga/ tidak dapat diprediksi
b. mengangkat dilema etik ini kepada komisi etik keperawatan yang lebih tinggi untuk
mempertimbangkan apakah operasi ini dilakukan atau tidak konsekuensi :
1. mungkin memperoleh tanggapan yang memuaskan
2. mungkin memperoleh tanggapan yang kurang memuaskan
3. tidak tertutup kemungkinan untuk tidak di tanggapi sama sekali
c. meminta izin kepada pimpinan lembaga pelayanan kesehatan (klinik kesehatan) untuk
menyampaikan informasi mengenai kondisi klien yang sebenarnya. Konsekuensi :
1. koordinator lembaga pelayanan menyetujui atau menolak
2. klien meperoleh informasi dan dapat memahami kondisinya, serta dapat mengambil sikap
untuk memutuskan tindakan yang terbaik untuk dirinya.
3. kondisi psikologis klien lebih baik atau bertambah buruk karena responnya terhadap
informasi yang diperoleh
4. Menetapkan Siapa Pembuat Keputusan
Pada kasus wanita tersebut merupakan masalah yang komplek dan rumit, membuat
keputusan dilakukan operasi atau tidak dapat diputuskan oleh pihak tertentu saja tetapi harus
diputuskan secara bersama-sama.
a. pengambilan keputusan harus melibatkan tim yang terkait dan klien
b. keputusan dibuat untuk :
1. pihak yang terkait dengan wanita tersebut untuk melakukan operasi atau tidak
2. klien, keputusan yang dibuat dapat memperoleh kepastian apakah dilakukan operasi atau
tidak.
c. kriteria penetapan siapa pembuat keputusan
1. Tim
Kumpulan dari beberapa pihak yang berkepentingan dan yang paling memahami kondisi fisik
dan psikologis klien. Masalah yang dihadapi Sangay komplek dan rumit yang tidak hanya
memerlukan pertimbangan ilmiah, tetapi juga pertimbangan etik sehingga pembuat keputusan
akan lebih bijaksana dilakukan oleh tim.
2. klien
klien dalah orang yang paling berkepentingan dalam pengambilan keputusan yang dibuat
oleh klien bisa berubah secara tiba-tiba yang akan mempengaruhi keputusan tim
3. keluarga
keterlibatan keluarga dalam upaya penyelesaian masalah cukup menentukan mengingat
secara ekonomis klien masih Belem mendapatkan biaya diperoleh darimana sehingga
keluarga mempunyai peranan yang cukup menemtukan masalah

d. prinsip moral yang ditekankan berdasarkan prioritas dalam kasus ini :


1. otonomi
2. benefesiensi
3. justice
4. avoiding killing
5. Mengidentifikasi Kewajiban Perawat
a. menghindari klien dari ancaman kematian
b. menghargai otonomi klien dan berusaha menyeimbangkan dengan tanggung jawab
pemberi pelayanan kesehatan
c. menghindarkan klien dari tindakan yang tidak menguntungkan bagi dirinya
d. melaksanakan prinsip-prinsip kode etik keperawatan
e. membantu sistem pendukung yang terlibat
6. Membuat keputusan
Keputusan yang dapat diambil sesuai dengan hak otonomi klien dan dari pertimbangan tim
kesehatan, sebagai seorang perawat, keputusan yang terbaik adalah dilakukan operasi berhasil
atau tidak itu adalah kehendak yang maha kuasa sebagai manusia setidaknya kita telah
berusaha.

Anda mungkin juga menyukai