Pada 8 dan 9 Maret 2000, pengarang buku best seller
Quantum Learning, Bobbie DePorter, datang ke Indonesia
atas prakarsa Mizan Learning Center. Tulisan kali ini---yang pada 25 Maret 2000 pernah disajikan di Seminar Sehari "Quantum Learning" yang diselenggarakan Panitia Seminar Pendidikan Gebyar Ghiffari Febma 2000, SMU Plus Al-Ghiffari, Bandung---merupakan refleksi penulisnya atas kedatangan Bobbie dan juga, sekaligus, ungkapan keprihatinan atas dibajaknya buku Quantum Learning.
Quantum Learning is ...
Pada hari Rabu, 8 Maret 2000, saya mengikuti ceramah Bobbie DePorter tentang Quantum Learning di Jakarta. Bobbie, penulis buku Quantum Learning bersama Mike Hernacki dan nenek dari empat cucu, masih mampu tampil menarik dan bergaya. Wajahnya ceria dan bercahaya saat menyampaikan materi ceramahnya. Selama hampir dua jam dia terus-menerus berdiri dan mempertahankan gesture (olah tubuh)-nya yang memikat. Dalam makalahnya yang sederhana, Quantum Learning dimaknai sebagai sebuah model pengajaran (teaching) dan pembelajaran (learning) yang efektif. Ia sekaligus merupakan pengetahuan, metode, dan falsafah yang menjadikan pergeseran-pergeseran positif, dalam hal belajar, mungkin. Ia menggabungkan teori-teori pendidikan mutakhir seperti Accelerated Learning (pembelajaran yang dipercepat), Multiple Intelligence (kecerdasan berganda), Brain Research (riset tentang otak), Neuro-Linguistic Programming (metode pemodelan), Learning Modalities (modalitas belajar), Experiential Learning (belajar lewat pengalaman), dan Cooperative Learning (belajar secara bekerja sama). Dari sekian teori menarik mutakhir tentang pendidikan yang diwadahi oleh Quantum Learning, sebagaimana disebutkan di atas, saya mengajak para penyimak makalah saya ini untuk memperhatikan satu metode saja, yaitu Experiential Learning. Secara bebas, metode ini dapat dimaknai sebagai
metode pembelajaran (apa pun materi yang akan diajarkan
guru dan dipelajari murid) yang mengajak baik guru maupun murid, secara bersama-sama, menjalani berbagai peristiwa yang ingin diajarkan dan dipelajari tersebut sehingga keduanya betul-betul belajar dari hal yang dialaminya. Metode Experiential Learning ini, lewat "wadah" Quantum Learning, menurut saya, ternyata amat efektif penyelenggaraannya. Bagaimana cara menyelenggarakan hal tersebut di sekolah? Di sini, saya tidak akan membahas Experiential Learning. Saya hanya ingin menunjukkan dua hal penting, yang diajarkan oleh Bobbie saat dia ada di Jakarta, yang menjadikan sebuah pembelajaran efektif (atau memiliki efek). Dua hal tersebut adalah, pertama, para siswa perlu mengondisikan dirinya agar memiliki emosi yang positif saat belajar; dan, kedua, para siswa perlu diberi motivasi agar dari dalam dirinya muncul sebuah semangat untuk memahami detail materi yang akan dipelajarinya. Saya akan mencoba membahas dua hal ini. Emosi yang Positif Emosi, secara sederhana, dapat diartikan sebagai keadaan perasaan kita. Keadaan perasaan berbeda dengan keadaan pikiran. Keadaan perasaan yang paling gampang kita pahami, secara lahiriah, adalah saat kita menggunakan indra-indra perasa kita, seperti lidah (untuk merasakan asin atau hambarnya semangkuk bakso), kulit (untuk merasakan halus atau kasarnya sebuah permukaan), atau mata (untuk merasakan indah atau buruknya komposisi warna sebuah lukisan). Hal-hal itu perlu dirasakan (dialami) terlebih dahulu, baru kemudian dipikirkan oleh benak (mind) apabila seseorang benar-benar ingin memfungsikan perasaannya. Kadangkadang, pikiran mendahului perasaan. Belum dialami (dirasakan), eh pikiran sudah memberikan klaim bahwa ini manis, itu jelek, dan seterusnya. Dalam buku Quantum Learning (1999: 39) ditunjukkan dan dijelaskan bahwa otak (brain) manusia, secara fisiologis, terbagi menjadi dua belahan, yaitu otak kanan dan otak kiri, berikut fungsi belahannya masing-masing. Sayangnya otak kanan, yang dekat sekali dengan perasaan, kalah atau sering dikalahkan oleh hasil-hasil pemikiran yang berasal dari otak kiri. Apabila perasaan, yang secara lahiriah telah dijelaskan di atas, ditarik lebih jauh dan lebih dalam, kita baru paham bahwa ada perasaan yang sifatnya batiniah.
Misalnya, apabila kita mendengar kabar bahwa salah satu
anggota keluarga kita meninggal, kita menjadi sedih. "Hati" kita, yang sering dikaitkan dengan perasaan batiniah, tersentuh. Sebaliknya, "hati" kita menjadi gembira apabila mendengar kabar yang berbalikan dengan kabar duka. Nah, keadaan perasaan yang saya maksudkan adalah keadaan "hati" kita, bukan pikiran kita. Istilah modern menyebutnya mood (suasana hati). Emosi positif, bagi saya, sama dengan kita sedang berada dalam mood. Keadaan "hati" kita nyantol (tidak "tulalit") dan klop dengan sesuatu. Kita lalu bergairah. Kita ditarik dalam suasana yang fun (menyenangkan). Kita lalu kreatif, antusias, proaktif, berani bertanya, memedulikan dengan saksama, menaruh perhatian habis-habisan, dan seterusnya. Inilah emosi positif yang saya maksudkan itu. Menurut teori Quantum Learning, apabila di dalam ruangruang kelas dapat dibangun emosi positif di antara para siswa, pembelajaran akan berjalan tidak loyo dan tidak membosankan. Bagaimana membangun emosi positif siswa? Pertama, bermula dari sang guru. Guru harus memiliki emosi positif terlebih dahulu. Guru harus memberikan teladan-dalam bahasa Jawa, istilah "guru" sama dengan "digugu dan ditiru". Tanpa diawali oleh guru, mustahillah para siswa mau dan mampu memiliki emosi positif. Kedua, everything speaks (segalanya berbicara). Warna cat ruang kelas, pakaian guru, posisi duduk murid, dan seluruh komponen yang ada di ruang kelas dapat mempengaruhi keterbangunan emosi yang positif. Dan, ketiga, minat atau ketertarikan terhadap sebuah mata pelajaran. Memahami Detail Gordon Dryden dan Dr. Jeannette Vos, dalam The Learning Revolution, (1999: 101) mengatakan bahwa, pada era sekarang, keberhasilan penerapan sebuah teknik--atau teknik tersebut dapat disebut sebagai "the best techniques"-bergantung pada adanya tiga unsur di dalam teknik tersebut. Tiga unsur itu adalah simpel, fun, dan efektif. Hal tersebut ditunjang oleh penulis buku best seller internasional, The Digital Economy, Don Tapscott. Dalam buku terbarunya, Growing Up Digital (1999: 3), Tapscott menunjukkan telah lahirnya sebuah generasi baru di era menjelang milenium baru ini dengan nama "Generasi Net". Inilah generasi yang berumur 2 hingga 22 tahun yang sangat terampil dalam mengoperasikan komputer atau mesin-mesin
digital. Mereka belajar dengan peranti baru tersebut dalam
balutan metode atau teknik yang fun, simple, dan efektif. Dalam istilah digital, teknik-teknik yang menyenangkan, mudah, dan efektif itu disebut proses yang ngedutainment (mendidik sekaligus menghibur). Lewat perumusan metode yang fun, simple, dan efektif, seorang manusia pembelajar akan dirangsang semangatnya untuk mati-matian "menguasai" materi yang dipelajarinya. Seperti anak balita yang diberi sebuah mainan baru. Tanpa bertanya "apa itu", anak balita tersebut langsung termotivasi untuk mengguncang-guncang, mengecap, membaui, dan melakukan segalanya agar mengenal betul mainan baru itu. Dalam buku Quantum Learning (1999: 22), proses penelitian yang dilakukan sang anak tersebut dinamai global learning (belajar secara menyeluruh). Kita, manusia dewasa, pernah melewati masa-masa penting yang disebut global learning. Inilah sebuah metode belajar yang mengarahkan kita untuk menguasai detail. Quantum Learning mendefinisikan global learning sebagai "cara efektif dan alamiah bagi seorang manusia untuk mempelajari bahwa otak seorang anak hingga usia enam atau tujuh tahun adalah seperti spons, menyerap berbagai fakta, sifat-sifat fisik, dan kerumitan bahasa yang kacau dengan cara yang menyenangkan dan bebas stres". Tony Buzan, seorang yang dengan semangat luar biasa melakukan riset otak, menyimpulkan bahwa otak kita itu seperti raksasa yang sedang tidur. Manusia belum memanfaatkan secara optimal kemampuan ajaib otaknya (lihat The Learning Revolution: 73). Fakta yang ditemukan Buzan ditunjang oleh Sandy MacGregor. Dalam Piece of Mind (2000: 27), Sandy menunjukkan kepada kita bahwa seorang jenius itu baru memanfaatkan kemampuan otaknya sebesar lima hingga enam persen, sementara orang-orang biasa baru memanfaatkan sekitar empat hingga lima persen. Di atas, saya telah menyinggung tentang Experiential Learning. Bayangkan, apabila pengalaman kita masa kecil-saat kita belajar berjalan, mengenali lampu, memperhatikan wajah orangtua kita--yang seluruh manusia pernah melewatinya, dapat kita munculkan kembali saat kita belajar sesuatu yang sulit, membosankan, dan pelik. Apa yang akan terjadi? Apakah mungkin belajar (di mana pun tempatnya), jadi dapat nyaman dan menyenangkan, sebagaimana ajakan buku Quantum Learning?
Untuk mencapai kondisi yang memungkinkan kita memahami
detail, saya mengusulkan tiga kiat. Pertama, pahami fungsifungsi "penerima informasi" (otak, indra, dsb.) yang ada di dalam diri kita secara menyeluruh dan gunakan secara serempak saat kita belajar. Menurut riset mutakhir, sebagaimana diungkapkan oleh The Learning Revolution, belajar paling baik adalah menggunakan seluruh potensi indra. Kedua, jangan kapok mengulangi secara berkali-kali bahan pelajaran yang dipelajari. Menurut Quantum Learning, ini penting untuk proses "mielinisasi" (di jajaran jaringan saraf otak, informasi baru akan menumbuhkan dendrit dan begitu informasi diulang-ulang, setiap dendrit akan terhubungkan oleh myelin sehingga menancaplah informasi baru tersebut secara kuat di jaringan saraf otak Anda). Dan ketiga, catatlah hal-hal penting dan mengesankan tentang informasi baru itu dalam buku catatan Anda. Semoga sajian ini bermanfaat. Senang sekali dapat membantu Anda.