Anda di halaman 1dari 21

PENDAHULUAN

Infeksi terkait pelayanan kesehatan merupakan infeksi yang dialami pasien


selama mendapatkan terapi di tempat fasilitas pelayanan kesehatan, dan infeksi
luka operasi merupakan salah satu konsekuensi operasi yang tidak diinginkan. 1
Infeksi luka operasi didefinisikan sebagai infeksi yang terjadi dalam 30 hari
setelah tindakan operatif (atau terjadi dalam 1 tahun apabila terdapat implan yang
dimasukkan pada tempat operasi) dan mempengaruhi jaringan insisi atau lebih
dalam dari tempat operasi.2
Pada tahun 2005, World Health Organization (WHO) melalui World
Alliance for Patient Safety melaporkan bahwa infeksi luka operasi terjadi pada 2%
hingga 5% dari 27 juta pasien yang dilakukan pembedahan setiap tahun dan
merupakan 25% dari jumlah infeksi yang terjadi pada fasilitas pelayanan
kesehatan.3The Center for Disease Control and Prevention (CDC) memperkirakan
sekitar 500.000 infeksi luka operasi terjadi setiap tahun dan berkontribusi 3%
untuk kematian akibat operasi, masa perawatan yang panjang, dan meningkatkan
biaya perawatan.4
Infeksi luka operasi dapat disebabkan oleh kontaminasi udara, organisme
pada kulit pasien, atau dari fokus infeksi lainnya. Bisa juga diakibatkan oleh
teknik asepsis yang tidak adekuat oleh staf ruang operasi atau infeksi sekunder
dari hematoma.5
Beberapa faktor risiko yang diketahui berhubungan dengan kejadian infeksi
luka operasi, antara lain berat badan berlebih, usia tua, kekurangan nutrisi,

diabetes, ikterus, perokok, kanker, bekas luka atau radiasi sebelumnya pada
tempat insisi, tidak melakukan instruksi post-operasi (seperti melakukan aktifitas
berat terlalu cepat), kesalahan operasi, dan kondisi medis lainnya, seperti penyakit
ginjal, penyakit imun, kemoterapi, dan terapi radiasi.5
Penanganan infeksi luka operasi adalah dengan antibiotik yang sesuai
dengan hasil kultur dari discharge luka. Bila perlu, bisa dilakukan penggantian
wound dressing yang lebih sering untuk mempercepat penyembuhan luka dan
mempercepat penumbuhan jaringan baru di bawahnya.5

INFEKSI LUKA OPERASI

A. Definisi
Kriteria diagnosis dan definisi infeksi luka operasi mengacu pada Guideline
for Prevention of Surgical Site Infection yang dikeluarkan oleh CDC National
Nosocomical Infections Surveillance System (NNIS) tahun 1999.3 Infeksi luka
operasi adalah infeksi pada luka bedah yang didapatkan selama pasien dirawat di
rumah sakit sampai dengan 30 hari pasca pembedahan.3,6Kriteria klinis yang dapat
digunakan untuk mendefinisikan infeksi luka operasi, yaitu:4,7
1. Terdapat eksudat purulen yang keluar melalui luka operasi
2. Terdapat kultur positif yang diperoleh dari luka operasi yang tertutup
primer
3. Diagnosis infeksi yang dikeluarkan oleh ahli bedah
4. Luka operasi yang memerlukan reopening disebabkan oleh salah satu
tanda atau gejala: nyeri, bengkak, kemerahan, atau hangat.
B. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, insidensi infeksi luka operasi setiap tahunnya berkisar
antara 2-5% meskipun teknik operasi semakin maju, kontrol infeksi telah mahir,
dan pemberian antibiotik profilaksis perioperatif telah universal. Tingkat infeksi
luka operasi di Jepang sekitar 15% dari seluruh infeksi nosokomial. Menurut
WHO, risiko infeksi luka operasi di negara berkembang lebih berkembang jika
dibandingkan dengan negara maju.2
Ameh dkk. melaporkan infeksi luka operasi terjadi pada 14,3% clean
incision, 19,3% pada clean-contaminated incisions, dan 60% pada dirty incisions.
Prosedur emergensi memiliki tingkat infeksi luka operasi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan prosedur elektif.2
C. Klasifikasi

Infeksi luka operasi diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu superficial


incisional SSI, deep incisional SSI, dan organ/space SSI.2,3,6

Gambar 1. Potongan transversal dinding abdomen yang menggambarkan


klasifikasi infeksi luka operasi berdasarkan CDC6
Superficial incisional SSI. Infeksi yang terjadi dalam 30 hari setelah operasi
dan infeksi melibatkan hanya kulit atau lapisan subkutan dari insisi, dan
setidaknya ada satu dari beberapa hal berikut.
1. Drainase purulendengan atau tanpa konfirmasi laboratorium, dari insisi
superfisial.
2. Organisme terisolasi dari cairan atau jaringan dari insisi superfisial.
3. Terdapat minimal satu dari tanda dan gejala infeksi: nyeri atau nyeri
tekan, bengkak, kemerahan, atau hangat.
4. Diagnosis superficial incisional SSI oleh ahli bedah atau dokter ahli
terkait.
Deep incisional SSI. Infeksi yang terjadi dalam 30 hari setelah operasi jika
tidak ada implan yang ditinggalkan atau dalam 1 tahun jika terdapat implan pada
area operasi dan infeksi terkait dengan operasi, daninfeksi melibatkan jaringan

lunak dalam (seperti fasia dan lapisan otot), dan setidaknya ada satu dari beberapa
hal berikut.
1. Drainase purulen berasal dari insisi profunda, tapi tidak berasal dari
organ/rongga komponen operasi.
2. Insisi profunda terbuka secara spontan atau sengaja dibuka oleh dokter
ahli pada pasien yang memiliki minimal satu tanda/gejala berikut:
demam (>38oC), nyeri lokal, atau nyeri tekan, sekalipun hasil kultur
negatif.
3. Terdapat abses atau bukti infeksi lainnya melibatkan insisi profunda
yang dilihat pada direct examination, selama re-operasi, atau dari
pemeriksaan histopatologi, atau pemeriksaan radiologi.
4. Diagnosis deep insicional SSI oleh ahli bedah atau dokter ahli terkait.
Organ/Space SSI. Infeksi yang terjadi dalam 30 hari setelah operasi jika
tidak ada implan yang ditinggalkan atau dalam 1 tahun jika terdapat implan pada
area operasi dan infeksi terkait dengan operasi, daninfeksi melibatkan bagian
anatomi (organ/rongga), selain insisi, dimana terbuka atau dimanipulasi selama
operasi, dan setidaknya ada satu dari beberapa hal berikut.
1. Drainase purulen dari drain yang ditempatkan melalui sebuah luka tusuk
ke organ/rongga.
2. Organisme terisolasi dari kultur yang diperoleh secara asepsis dari
cairan atau jaringan organ/rongga.
3. Terdapat abses atau bukti infeksi lainnya melibatkan organ/rongga yang
dilihat

pada

direct

examination, selama

re-operasi,

atau

dari

pemeriksaan histopatologi, atau pemeriksaan radiologi.


4. Diagnosis organ/space SSI oleh ahli bedah atau dokter ahli terkait.
D. Etiologi Infeksi Luka Operasi

Sebagian besar infeksi luka operasi diperoleh pada saat operasi. Sumber
utama yang diyakini adalah inokulasi langsung flora endogen pasien pada saat
operasi. Untukprosedur yang bersih, patogen yang paling umum menyebabkan
infeksi luka operasiadalah flora normal kulit termasuk Staphylococcus sp.,
Staphylococcus aureus dan stafilokokus koagulase negatif. Ketika prosedur
bedahmelibatkan pembukaan viskus, patogen yang menyebabkan infeksi luka
operasimenggambarkanflora endogen dari viskus atau di sekitarpermukaan
mukosa. Infeksi tersebut biasanya polymicrobial. 7 Selain Staphylococcus aureus,
mikroorganisme predominan lainnya, yaitu E. coli, Pseudomonas aeruginosa,
acinobacter, diptheroid, streptokokus, dan enterokokus.5,12
Spesies mikroorganisme yang diisolasi dari infeksi luka operasi relatif tetap
stabil selama dekade ini, tetapi persentase infeksi luka operasi yang disebabkan
oleh patogen resisten antibiotik telah meningkat (misalnya,methicillin-resistant S.
aureus (MRSA), methicillin-resistant S. epidermidis (MRSE), vancomycinresistant enterococci (VRE). Selain itu, jamur, terutamaCandida albicans, telah
diisolasi dari persentase peningkatan infeksi luka operasi. Tren ini menuju
organisme resistendan spesies Candida mungkin disebabkan oleh meluasnya
penggunaan antibiotik profilaksis dan empiris,peningkatan keparahan penyakit,
dan jumlah pasien immunocompromised yang menjalani prosedur bedahlebih
besar.7
Sementara sebagian besar infeksi luka operasi adalah karena flora endogen
yang normal, ada juga sumber infeksi eksogen. Initermasuk kontaminasi area
operasi oleh flora dari lingkungan ruang operasi atau personal. Streptococcus
group Apada anal,vagina, atau nasofaring yang dibawa oleh personel kamar

operasi telah terlibatsebagai penyebab beberapa wabah infeksi luka operasi.


Organisme gram-negatif pada tangan telahterbukti lebih besar dibawa oleh
personil bedah dengan kuku palsu. Jarang, wabah atau kelompok infeksi luka
operasi disebabkan oleh patogen yang tidak biasa yang telah dilacak pada baju,
perban, irrigants yang terkontaminasi,atau cairan desinfeksi.7
E. Patogenesis Infeksi Luka Operasi
Ketika insisi bedah dibuat melalui kulit danjaringan subkutan, respon
inflamasi manusia teraktivasi. Luka operasi akut biasanya akan mengalami proses
perbaikan dalam waktu yang singkat sehingga akan mengembalikan fungsi
anatomi dan integritasnya secara berkelanjutan.13
Jika luka akut gagal untuk sembuh dalam waktu enam minggu, ia akan
menjadi luka kronis.Peradangan awal (24 jam pertama) dimulai dengan
hemostasis melalui vasokonstriksi, pembentukan trombinoleh aktivasi komplemen
danagregasi platelet. Plateletkemudian melepaskan sitokin danberbagai growth
factor seperti platelet derived growth factor (PDGF), transforming growth factor
(TGF-),faktor pertumbuhan fibroblast (FGF), keratinocyte growth factor(KGF),
epidermal growth factor (EGF) daninsulin-like growth factor (IGF-1). Faktorfaktor ini menyebabkan kemotaksis neutrofil, fibroblas dan monositmenuju lokasi
luka, merangsang proliferasi danmigrasi sel epitel seperti keratinosit,merangsang
angiogenesis dan mempromosikan sintesis matriks ekstraseluler.13
PMN juga merupakan sumber sitokin utama selama fase awal inflamasi,
terutama TNF-, dan juga melepaskan protease seperti kolagenase. Neutrofil yang
teraktivasi mengambil puing-puing nekrotik, benda asing, dan bakteri. PMN tidak
bertahan lebih dari 24 jam. Jika kontaminasi luka menetap atau terjadi infeksi
sekunder, aktivasi sistem komplemen akan berlanjut dan jalur lainnya

menyediakanfaktor kemotaktik yang cukup, sehinggaPMN akan terusmenuju


luka. Insisi yang steril normalnya sembuh tanpa adanya PMN. Sekitar 24 jam
setelah

terbentuknya

luka

operasi,

monosit

masuk

ke

luka

operasi.

Ketikakontaminasi mikroba telah sedikit danneutrofil yang ada telah mampu


mengontrol bakteri, maka monositmenghasilkan sinyal kimia lokal untuk
mengatur proses penyembuhan luka. Namun, jika kontaminasi mikrobadan
proliferasi lebih tinggi dari infiltrasi neutrofil, monosit akan berperan sebagai
sel proinflamasi dengan melepaskan sitokin yang poten. Tumor necrosis factor
(TNF)-alfa diproduksi oleh monosit dan berfungsiterutama menjadi sinyal
parakrin untuk meningkatkan regulasi aktivitas neutrofil dalamluka. Neutrofil
yang distimulasi oleh TNF-alfa akan mengonsumsimikroba, dan vakuolalisosomal
melepaskan oksigenreaktifintermediet dan asam hidrolase ke dalamruang
ekstraselular dari vakuola lisosom, dengancedera jaringan lebih lanjut dan aktivasi
lebih lanjut darisinyal inisiator. Interleukin (IL)-1, IL-6, dan sinyal proinflamasi
lainnya dilepaskan oleh monosit yang teraktivasi dan berfungsi sebagai sinyal
endokrin yang bertanggung jawab untuk demam, stimulasi reaktan fase akut, dan
respon lainnya. Serotonin dilepaskan dari sel mastyang menyebabkan vasodilatasi
dan peningkatan permeabilitasvaskular. Selama akhir peradangan (24-72
jam),vasodilatasi

diikuti

oleh

peningkatan

permeabilitas

mikrovaskuler, diikuti oleh stasis, yang mengarah ke akumulasi leukosit


sepanjang endotel pembuluh darah kemudian bermigrasi melalui dinding
pembuluh darah ke dalam jaringan interstitial. Kombinasivasodilatasi intens dan
peningkatan permeabilitas vaskular akan memunculkan temuan klinis peradangan,

seperti rubor (kemerahan), tumor (pembengkakan), kalor (panas), dandolor


(nyeri). Fungsi fase penyembuhan luka ini adalah untuk memastikan bahwa dasar
luka

bebas

dari

bakteri

dan

kontaminasi

lainnya

dan

untuk

menciptakanlingkungan yang optimal untuk produksi granulasijaringan dan untuk


epitelisasi. Selama beberapa hari hingga beberapa minggu, regenerasi terjadi dan
ditandai denganpeningkatan fibroblast danaktivitas mitogenik sel endotel, dengan
migrasi sel epitel dan sintesiskolagen. Maturasi adalah tahap akhir dari
penyembuhan luka yang bisa mencapai dua tahun untuk selesai. Difase ini,
jaringan granulasi secara bertahap menjadi jaringan parut, yang dari waktu ke
waktu memucat, menyusut dan menipis.13

Gambar 4. Proses penyembuhan luka13


Kontaminasi mikroba pada luka operasi adalah preikursor yang penting
untuk terjadinya infeksi luka operasi. Risiko infeksi luka operasi secara konsep
dapat dilihat dari hubungan berikut.6
Jumlah kontaminasi bakteri x virulensi = Risiko infeksi luka operasi
Resistensi pasien
Secara kuantitatif, ini menunjukkan infeksi luka operasi jelas terlihat bila
kontaminasi mikroorganisme >105 per gram jaringan.6

F. Faktor Risiko
Dalambeberapa jenisoperasi, karakteristik pasienmungkin berhubungan
denganpeningkatan risiko infeksi luka operasiseperti adanya infeksi atau
kolonisasi bakteri pada situs operasi sebelumnya, diabetes, merokok, penggunaan
steroidsistemik, obesitas(>20% berat badan ideal), usia ekstrim, status gizi buruk,
dan transfusiperioperatifprodukdarah tertentu.Selain itu, infeksi luka operasi juga
dapat berkembang dari masalah pre-operasi, seperti mandi antiseptik preoperasi,
pencukuran rambut preoperasi, antiseptis tangan atau lengan atas preoperasi,
antimikroba profilaksis; masalah intra-operasi, seperti lingkungan ruang operasi,
pakaian bedah, dan teknik operasi dan asepsis; dan masalah pasca-operasi, seperti
perawatan luka operasi dan perencanaan pemulangan pasien.6
Pada kasus obstetrik, tingkat infeksi luka operasi untuk seksio sesarea dan
histerektomi adalah sama. Mayoritas, operasi obstetrik yang emergensi memiliki
tingkat infeksi luka operasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan operasi elektif.
Korioamnionitis, adanya mekonium, kehilangan darah intraoperatif dalam jumlah
besar, transfusi darah perioperatif, dan tidak melakukan asuhan antenatal juga
berhubungan dengan peningkatan infeksi luka operasi.14
Untuk operasi seksio sesarea sendiri, faktor risiko infeksi luka operasi
bersifat multifaktorial, dan yang paling sering adalah jenis operasi emergensi,
terdapat ruptur membran sebelum operasi, insisi kulit secara vertikal, dan jahit
kulit interuptus.15
Beberapa studi menemukan korelasi antara klasifikasi luka dengan tingkat
infeksi luka operasi. Sebuah sistem klasifikasi luka yang diterima secara luas telah
dikembangkan lebih dari 35 tahun yang lalu. Ini adalah skema klasifikasi luka,
yang dikembangkan oleh National Academy of Sciences dan National Research

10

Council, didasarkan pada perkiraan tingkat kontaminasi mikroba selama operasi.


Berikut adalah klasifikasi luka beserta definisinya.6,7
- Clean wounds didefinisikan sebagai luka operasi yang tidak terinfeksi di
-

mana tidak terdapat inflamasi dan luka tertutup secara primer.


Clean-contaminated wounds didefinisikan sebagai luka operasi di mana
viskus dimasukkan dalam kondisi yang terkendali dan tanpa kontaminasi

yang tidak biasa.


Contaminated wounds termasuk luka terbuka, luka kecelakaan yang baru
terjadi, operasi dengan luka mayor dalam teknik steril atau tumpahan kotor
dari viskus. Luka di mana inflamasi purulen akut yang ditemui juga termasuk

dalam kategori ini.


Dirty wounds didefinisikan sebagai luka traumatis lama dengan benda asing,
atau kontaminasi tinja atau luka yang melibatkan infeksi klinis yang ada atau
perforasi viskus.
G. Infeksi Perineum, Vagina, dan Serviks
Infeksi pada luka episiotomi merupakan kejadian yang cukup jarang,

terutama sejak diperkenalkannya panduan asuhan persalinan normal di mana


tindakan episiotomi bukan merupakan tindakan yang rutin dikerjakan pada
persalinan pervaginam. Bila terjadi infeksi, maka kemungkinan dehisensi harus
dipertimbangkan. Ramin dan kawan-kawan (1992) melaporkan timbulnya 0,5%
dehisens pada luka episiotomi di Parkland Hospital, di mana 80% dehisens yang
terjadi disebabkan oleh infeksi.16
Keluhan yang sering muncul ialah nyeri pada daerah yang terinfeksi dan
disuria, dengan atau tanpa retensi urin. Gejala klinik yang paling sering ditemukan
ialah nyeri, fluor yang purulen, dan demam. Pada kasus yang berat, seluruh vulva
mengalami edema, ulserasi, dan tertutup oleh eksudat.16

11

Laserasi vagina dapat mengalami infeksi secara langsung atau tercemar dari
perineum. Seluruh mukosa vagina menjadi merah, bengkak dan bisa mengalami
nekrosis dan terkelupas. Laserasi serviks lebih sering terjadi dan normalnya
serviks memang merupakan tempat koloni kuman yang bisa menjadi patogen.16
Sebagaimana pada kasus infeksi lainnya, prinsip penatalaksanaan adalah
drainase dan pemberian antibiotik yang adekuat. Pada sebagian besar, kasus
biasanya dilakukan pelepasan benang jahitan episiotomi dan luka yang terinfeksi
terbuka. Bila permukaan episiotomi sudah bebas dari infeksi dan eksudat, ditandai
dengan timbulnya jaringan granulasi yang berwarna merah muda, dapat dilakukan
penjahitan perineum secara sekunder.16
H. Penatalaksanaan Infeksi Luka Operasi
Organisme yang paling umum diisolasi dari infeksiluka operasi yaitu E.coli,
Pseudomonas, Klebsiella, Staphylococcus Koagulase-positif,

Proteus dan

Streptococcus.

ciprofloxacin,

Organisme

ini

biasanya

sensitif

terhadap

ceftriaxon, cefotaxime, amikacin, cefoperazone, netilmycin, cefuroxime dan


piperacilline-tazobactum. Pemberian antibiotik ini tetap disesuaikan dengan hasil
kultur dan sensitivitas.19 Studi lain menemukan bahwa patogen ini resisten
terhadap antibiotik yang umum diresepkan seperti ampisilin, amoksisilin-asam
klavulanat, kotrimoksazol, tetrasiklin, penisilin, gentamisin, eritromisin, and
ceftriakson. Temuan ini mencerminkan penggunaan antibiotiksecara luas dan
sembarangan, ditambah dengan ketidakpatuhan pasien dan selftreatment tanpa
resep. Mayoritas isolat gram negatif sensitif terhadap meropenem, sementara gram
positif sensitif terhadap vankomisin dan klindamisin; ini dapat dijelaskan oleh

12

fakta bahwa antibiotik ini relatif jarang diresepkan di rumah sakit dan lebih mahal
sehingga jarang disalahgunakan.20
Untuk pertahanan pertama terhadap infeksi serius, dapat diberikan
kombinasi antibiotik ampisilin 2 gram intravena setiap 6 jam; ditambah
gentamisin 5mg/kgBB intravena setiap 24 jam; ditambah metronidazol 500 mg
intravena setiap 8 jam. Jika infeksi tidak seberapa parah, amoksilin 500 mg per
oral setiap 8 jam dapat digunakan sebagai pengganti ampisilin dan metronidazol
dapat diberikan per oral juga. Jika fasilitas kultur tidak tersedia, periksa ulang
sampel pus. Pertimbangkan kemungkinan infeksi akibat organisme yang resisten
terhadap kombinasi obat di atas. Jika curiga adanya infeksi Staphylococcus sp.
dapat ditambahkan kloksasilin 1 gram intravena setiap 4 jam atau vankomisin 1
gram intravena setiap 12 jam melalui infus selama 1 jam. Jika dicurigai infeksi
Clostridium atau Streptokokus hemolitik grup A, tambahkan penisilin 2 juta unit
intravena setiap 4 jam. Jika bukan salah satu kemungkinan tersebut, tambahkan
seftriakson 2 gram intravena setiap 24 jam.21
Pemberian antibiotik pada seksio sesarea dianjurkan segera setelah
penjepitan tali pusat untuk menghindari masuknya antibiotik pada janin. Berikut
adalah pemberian antibiotik berdasarkan klasifikasi luka operasinya.21
Kelas/Kategori
Operasi
bersih
(terencana)
Operasi
bersih
(indeks risiko >1)
Operasi bersihkontaminasi
Operasi
kontaminasi

Jenis antibiotik
-

Dosis
-

Amoksisilin +
as. klavulanat
Sefazolin
Amoksisilin +
as. klavulanat
Sefazolin
Ampisilin +
Gentamisin +

1000 mg

Cara
-

Intravena
1000 mg
Intravena
2 gram
5mg/kgBB

Intravena

Waktu
-

Frekuensi
-

Dalam jangka
waktu 30
menit pra-op
Dalam jangka
waktu 30
menit pra-op

1 kali

1 kali

Setiap 6 jam
Setiap 24 jam

13

Metronidazol

500 mg

Tabel 1. Kelas Operasi dan Antibiotika yang digunakan.

Setiap 8 jam
21

I. Pencegahan Infeksi Luka Operasi


Pencegahan infeksi luka operasi dapat dilakukan pada fase pre-operasi,
intra-operasi dan pasca-operasi. Berikut adalah langkah-langkah pencegahan
infeksi luka operasi.6,13,22
Fase Pre-operasi
1. Mandi pra operasi
Pasien disarankan untuk mandi ( membantu pasien untuk mandi atau shower)
menggunakan sabun, baik sehari sebelum atau pada hari operasi.
2. Menghilangkan rambut
Tidak disarankan untuk menghilangkan rambut secara rutin untuk
mengurangi risiko infeksi luka operasi.Jika rambut harus dihilangkan,
gunakan gunting listrik yang sekali pakai di hari operasi. Jangan gunakan
pisau cukur untuk menghilangkan rambut karena akan meningkatkan risiko
infeksi luka operasi.
3. Pakaian operasi pasien
Berikan pasien pakaian operasi spesifik yang sesuai untuk prosedur dan
pengaturan klinis, yang memudahkan akses ke situs operasi dan area untuk
menempatkan perangkat, seperti kanula intravena. Pertimbangkan juga
kenyamanan pasien.
4. Pakaian operasi staf
Semua staf harus mengenakan pakaian operasi non-steril spesifik di semua
areatempat operasi dilakukan.
5. Staf meninggalkan daerah operasi
Staf yang mengenakan pakaian operasi non-steril harus meminimalkan
pergerakan masuk dan keluar dari daerah operasi.
6. Dekontaminasi nasal

14

Tidak disarankan dekontaminasi nasal dengan agen antimikroba topikal


secara rutin untuk menghilangkan Staphylococcus aureus untuk mengurangi
risiko infeksi luka operasi.
7. Persiapan mekanik usus
Jangan gunakan persiapan mekanik usus secara rutin untuk mengurangi risiko
infeksi situs bedah.
8. Perhiasan tangan, kuku palsu dan cat kuku
Tim operasi harus melepas perhiasan tangan sebelum operasi, melepas kuku
palsu dan menghapus cat kuku sebelum operasi.
9. Antibiotik profilaksis
- Berikan antibiotik profilaksis kepada pasien sebelum: operasi bersih yang
melibatkan

penempatan

prostesis

atau

implan,

operasi

bersih-

terkontaminasi, dan operasi terkontaminasi.


Jangan gunakan antibiotik profilaksis secara rutin untuk operasi bersih

non-prostetik tanpa komplikasi.


Gunakan formularium antibiotik lokal dan selalu pertimbangkan efek

samping potensial ketika memilih antibiotik khusus untuk profilaksis.


Pertimbangkan pemberian antibiotik profilaksis dosis tunggal per
intravena pada saat anestesi dimulai. Namun, berikan profilaksis

sebelumnya untuk operasi yang menggunakan turniket.


Sebelum memberikan antibiotik profilaksis, mempertimbangkan waktu
pemberian dan farmakokinetik (misalnya, paruh serum) dan waktu infus
antibiotik.Berikan dosis ulangan antibiotik profilaksis ketika operasi

lebih panjang dari paruh antibiotik yang diberikan.


Berikan terapi antibiotik (selain profilaksis) untuk pasien yang menjalani

operasi pada luka kotor atau terinfeksi.


Menginformasikan pasien sebelum operasi, bila memungkinkan, jika
mereka akan membutuhkan antibiotik profilaksis, dan setelah itu jika
mereka akan diberi antibiotik selama operasi.

15

Fase Intra-operatif
1. Dekontaminasi tangan
Tim operasi harus mencuci tangan mereka sebelum operasi pertama pada
daftar menggunakan larutan antiseptik bedah, dengan sikat sekali pakai, dan
memastikan bahwa tangan dan kuku telah bersih.
Sebelum operasi berikutnya, tangan harus dicuci baik menggunakan
antiseptik alkohol atau larutan antiseptik bedah. Jika tangan kotor maka
tangan harus dicuci lagi dengan larutan antiseptik bedah.
2. Tirai menoreh (incise drapes)
Jangan gunakan tirai menoreh non-iodophor-impregnated secara rutin untuk
operasi karena dapat meningkatkan risiko infeksi luka operasi.Jika tirai
menoreh diperlukan, gunakan tirai iodophor-impregnated, kecuali pasien
memiliki alergi iodium.
3. Gaun steril
Tim operasi harus mengenakan gaun steril di ruang operasi selama operasi.
4. Sarung tangan
Pertimbangkan memakai dua pasang sarung tangan steril ketika ada risiko
tinggi perforasi sarung tangan dan konsekuensi kontaminasi yang serius.
5. Persiapan kulit antiseptik
`Siapkan kulit pada lokasi bedah segera sebelum insisi menggunakan
persiapan antiseptik (cair atau berbasis alkohol): povidone-iodine atau
chlorhexidine yang paling cocok.Jika diathermy akan digunakan, pastikan
bahwa persiapan kulit antiseptik dikeringkan dengan penguapan dan
penyatuan persiapan berbasis alkohol dihindari.
6. Diathermy
Jangan gunakan diathermy untuk insisi bedah untuk mengurangi risiko
infeksi luka operasi.
7. Mempertahankan homeostasis pasien
- Menjaga suhu pasien sejalan dengan 'hipotermia perioperatif yang
disengaja'.

16

Menjaga oksigenasi optimal selama operasi. Secara khusus, memberikan


pasien oksigen yang cukup selama operasi besar dan memastikan bahwa
saturasi hemoglobin lebih dari 95% dipertahankan selama masa

pemulihan.
Menjaga perfusi yang adekuat selama operasi.
Jangan memberikan insulin secara rutin pada pasien yang non-diabetes
untuk mengoptimalkan glukosa darah pasca operasi sebagai cara untuk

mengurangi risiko infeksi luka operasi.


8. Irigasi luka dan intracavity lavage
Jangan irigasi luka dan lakukanintracavity lavage untuk mengurangi risiko
infeksi luka operasi.
9. Agen antiseptik dan antimikroba sebelum penutupan luka
Jangan lakukan re-disinfeksi kulit intraoperatif atau sefotaksim topikal dalam
operasi abdomen untuk mengurangi risiko infeksi luka operasi.
10. Wound dressing
Tutup sayatan bedah pada akhir operasi.
Fase Pasca-operasi
1. Menggantiperban
Gunakan teknik aseptiknon-touch untuk mengubah atau melepas perban luka
operasi.
2. Pembersihan pasca operasi
- Gunakan saline steril untuk membersihkan luka hingga 48 jam setelah
-

operasi.
Menganjurkan pasien bahwa mereka dapat mandi dengan aman 48 jam

setelah operasi.
Gunakan air keran untuk membersihkan luka setelah 48 jam jika luka

operasi telah terpisah atau telah dibuka untuk mengalirkan nanah.


3. Agen antimikroba topikal untuk penyembuhan luka
Jangan gunakan agen antimikroba topikal untuk menyembuhkan luka operasi
untuk mengurangi risiko infeksi luka operasi.
4. Perban untuk penyembuhan luka

17

Jangan gunakan Eusol dan kasa, atau kapas kasa yang lembab atau

larutan antiseptik merkuri untuk mengelola penyembuhan luka operasi.


Gunakan perban interaktif yang tepat untuk mengelola penyembuhan
luka operasi.

18

DAFTAR PUSTAKA
1. Spruce Lisa. Back to basics: Preventing surgical site infection. AORN
Journal. 2014;99(5):601-8.
2. Osakwe JO, Nnaji GA, Osakwe RC, Agu U, Chineke HN. Role of premorbid
status and wound related factors in surgical site infection in a tertiary hospital
in Sub-Saharan Africa. Fam Pract Rep. 2014;1:2.
3. Rivai F, Koentjoro T, Utarini A. Determinan infeksi luka operasi pascabedah
sesar. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2013;8(5):235-40.
4. Diaz CV, Newman J. Surgical site infection and prevention guidelines: a
primer

for

certified

registered

nurse

anesthetists.

AANA

Journal.

2015;83(1):63-8.
5. Bangal VB, Borawake SK, Shinde KK, Gavhane SP. Study of surgical site
infection following gynaecological surgery at tertiary care teaching hospital
in

Rural

India.

International

Journal

of

Biomedical

Research.

2014;05(02):113-6.
6. Mangram AJ, Horan TC, Pearson ML, Silver LC, Jarvis WR. Guideline for
prevention of surgical site infection, 1999. Hospital Infection Control Practice
Advisory Committee. Infection Control And Hospital Epidemiology.
1999;20(4):250-78.
7. Anderson DJ, Sexton DJ. Epidemiology and pathogenesis of and risk factors
for surgical site infection.UpToDate.2013. http://www.uptodate.com
8. Lipscomb GH. Wound healing, suture material, and surgical instrumentation.
In: Rock JA, Jones HW. editors. Te Lindes Operative Gynecology. 10 th
Edition. Lippincott Williams & Wilkin Publishers. 2008.
9. Yao K, Bae L, Yew WP. Post-operative wound management. Australian
Family Physician. 2013;42(12):867-70.

19

10. Velnar T, Bailey T, Smrkolj V. The wound healing process: an overview of the
cellular and mollecular mechanisms. The Journal of International Medical
Research. 2009;37(5):1528-42.
11. Spiliotis J, et al. Wound dehiscence : is still a problem in the 21th century: a
retrospective study. World Journal of Emergency Surgery. 2009;4(12):1-5.
12. Ansar Anila. Surgical site infection in obstetrics practice. Journal of Surgery
Pakistan. 2013;18(2):68-73.
13. Singh R, Singla P, Chaudhary U. Surgical site infections: Classification, risk
factors, pathogenesis, and preventive management. International Journal of
Pharma Research and Health Science. 2014;2(3):203-14.
14. Amenu D, Belachew T, Araya F. Surgical site infection and risk factors
among obstetric cares of Jimma University Specialized Hospital, Southwest
Ethopia. Ethiopia Journal Health Science. 2011;21(2):91-100.
15. Shrestha S, Shrestha R, Shrestha B, Dongol A. Incidence and risk factors of
surgical site infection following cesarean section at Dhulikhel Hospital.
Kathmandu University Medical Journal. 2014;46(2):113-6.
16. Purwaka BT, Sulistyono A. Demam pascapersalinan. Dalam: Wiknjosastro H,
Saifuddin AB, Rachimhadhi T.eds. Ilmu kebidanan. Edisi ke-4. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2014;643-58
17. Anonim. Prinsip-prinsip pembedahan. Dalam: Wiknjosastro H, Saifuddin AB,
Rachimhadhi T, et al. Ilmu Kandungan.Edisi ke-2. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2008;665-73.
18. Amini AQ, Khan NA, Ahmad J, Memon AS. Management of abdominal
wound dehiscence: still a challenge. Pak J Surg. 2013;29(2):84-7.
19. Shah F, Gandhi M, Mehta V, Udani D, Mundra M, Swadia N. Nosocomial
infections in surgical wards. The Internet Journal of Surgery. 2009;24(1):1-7.

20

20. Mawalla B, Mshana SE, Chalya PL, Imirzalioglu C, Mahalu W. Predictors of


surgical site infections among patients undergoing major surgery at Bugando
Medical Centre in North Western Tanzania. BMC Surgery. 2011;11(21):1-7.
21. Waspodo Djoko. Terapi antibiotika. Dalam: Wiknjosastro H, Saifuddin AB,
Rachimhadhi T.eds. Ilmu kebidanan. Edisi ke-4. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2014;448-58
22. National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE). Surgical site

infection: Prevention and treatment of surgical site infection. National


Collaborating Centre for Womens and Childrens Health (UK). London: Oct
2008.

21

Anda mungkin juga menyukai