diabetes, ikterus, perokok, kanker, bekas luka atau radiasi sebelumnya pada
tempat insisi, tidak melakukan instruksi post-operasi (seperti melakukan aktifitas
berat terlalu cepat), kesalahan operasi, dan kondisi medis lainnya, seperti penyakit
ginjal, penyakit imun, kemoterapi, dan terapi radiasi.5
Penanganan infeksi luka operasi adalah dengan antibiotik yang sesuai
dengan hasil kultur dari discharge luka. Bila perlu, bisa dilakukan penggantian
wound dressing yang lebih sering untuk mempercepat penyembuhan luka dan
mempercepat penumbuhan jaringan baru di bawahnya.5
A. Definisi
Kriteria diagnosis dan definisi infeksi luka operasi mengacu pada Guideline
for Prevention of Surgical Site Infection yang dikeluarkan oleh CDC National
Nosocomical Infections Surveillance System (NNIS) tahun 1999.3 Infeksi luka
operasi adalah infeksi pada luka bedah yang didapatkan selama pasien dirawat di
rumah sakit sampai dengan 30 hari pasca pembedahan.3,6Kriteria klinis yang dapat
digunakan untuk mendefinisikan infeksi luka operasi, yaitu:4,7
1. Terdapat eksudat purulen yang keluar melalui luka operasi
2. Terdapat kultur positif yang diperoleh dari luka operasi yang tertutup
primer
3. Diagnosis infeksi yang dikeluarkan oleh ahli bedah
4. Luka operasi yang memerlukan reopening disebabkan oleh salah satu
tanda atau gejala: nyeri, bengkak, kemerahan, atau hangat.
B. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, insidensi infeksi luka operasi setiap tahunnya berkisar
antara 2-5% meskipun teknik operasi semakin maju, kontrol infeksi telah mahir,
dan pemberian antibiotik profilaksis perioperatif telah universal. Tingkat infeksi
luka operasi di Jepang sekitar 15% dari seluruh infeksi nosokomial. Menurut
WHO, risiko infeksi luka operasi di negara berkembang lebih berkembang jika
dibandingkan dengan negara maju.2
Ameh dkk. melaporkan infeksi luka operasi terjadi pada 14,3% clean
incision, 19,3% pada clean-contaminated incisions, dan 60% pada dirty incisions.
Prosedur emergensi memiliki tingkat infeksi luka operasi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan prosedur elektif.2
C. Klasifikasi
lunak dalam (seperti fasia dan lapisan otot), dan setidaknya ada satu dari beberapa
hal berikut.
1. Drainase purulen berasal dari insisi profunda, tapi tidak berasal dari
organ/rongga komponen operasi.
2. Insisi profunda terbuka secara spontan atau sengaja dibuka oleh dokter
ahli pada pasien yang memiliki minimal satu tanda/gejala berikut:
demam (>38oC), nyeri lokal, atau nyeri tekan, sekalipun hasil kultur
negatif.
3. Terdapat abses atau bukti infeksi lainnya melibatkan insisi profunda
yang dilihat pada direct examination, selama re-operasi, atau dari
pemeriksaan histopatologi, atau pemeriksaan radiologi.
4. Diagnosis deep insicional SSI oleh ahli bedah atau dokter ahli terkait.
Organ/Space SSI. Infeksi yang terjadi dalam 30 hari setelah operasi jika
tidak ada implan yang ditinggalkan atau dalam 1 tahun jika terdapat implan pada
area operasi dan infeksi terkait dengan operasi, daninfeksi melibatkan bagian
anatomi (organ/rongga), selain insisi, dimana terbuka atau dimanipulasi selama
operasi, dan setidaknya ada satu dari beberapa hal berikut.
1. Drainase purulen dari drain yang ditempatkan melalui sebuah luka tusuk
ke organ/rongga.
2. Organisme terisolasi dari kultur yang diperoleh secara asepsis dari
cairan atau jaringan organ/rongga.
3. Terdapat abses atau bukti infeksi lainnya melibatkan organ/rongga yang
dilihat
pada
direct
examination, selama
re-operasi,
atau
dari
Sebagian besar infeksi luka operasi diperoleh pada saat operasi. Sumber
utama yang diyakini adalah inokulasi langsung flora endogen pasien pada saat
operasi. Untukprosedur yang bersih, patogen yang paling umum menyebabkan
infeksi luka operasiadalah flora normal kulit termasuk Staphylococcus sp.,
Staphylococcus aureus dan stafilokokus koagulase negatif. Ketika prosedur
bedahmelibatkan pembukaan viskus, patogen yang menyebabkan infeksi luka
operasimenggambarkanflora endogen dari viskus atau di sekitarpermukaan
mukosa. Infeksi tersebut biasanya polymicrobial. 7 Selain Staphylococcus aureus,
mikroorganisme predominan lainnya, yaitu E. coli, Pseudomonas aeruginosa,
acinobacter, diptheroid, streptokokus, dan enterokokus.5,12
Spesies mikroorganisme yang diisolasi dari infeksi luka operasi relatif tetap
stabil selama dekade ini, tetapi persentase infeksi luka operasi yang disebabkan
oleh patogen resisten antibiotik telah meningkat (misalnya,methicillin-resistant S.
aureus (MRSA), methicillin-resistant S. epidermidis (MRSE), vancomycinresistant enterococci (VRE). Selain itu, jamur, terutamaCandida albicans, telah
diisolasi dari persentase peningkatan infeksi luka operasi. Tren ini menuju
organisme resistendan spesies Candida mungkin disebabkan oleh meluasnya
penggunaan antibiotik profilaksis dan empiris,peningkatan keparahan penyakit,
dan jumlah pasien immunocompromised yang menjalani prosedur bedahlebih
besar.7
Sementara sebagian besar infeksi luka operasi adalah karena flora endogen
yang normal, ada juga sumber infeksi eksogen. Initermasuk kontaminasi area
operasi oleh flora dari lingkungan ruang operasi atau personal. Streptococcus
group Apada anal,vagina, atau nasofaring yang dibawa oleh personel kamar
terbentuknya
luka
operasi,
monosit
masuk
ke
luka
operasi.
diikuti
oleh
peningkatan
permeabilitas
bebas
dari
bakteri
dan
kontaminasi
lainnya
dan
untuk
F. Faktor Risiko
Dalambeberapa jenisoperasi, karakteristik pasienmungkin berhubungan
denganpeningkatan risiko infeksi luka operasiseperti adanya infeksi atau
kolonisasi bakteri pada situs operasi sebelumnya, diabetes, merokok, penggunaan
steroidsistemik, obesitas(>20% berat badan ideal), usia ekstrim, status gizi buruk,
dan transfusiperioperatifprodukdarah tertentu.Selain itu, infeksi luka operasi juga
dapat berkembang dari masalah pre-operasi, seperti mandi antiseptik preoperasi,
pencukuran rambut preoperasi, antiseptis tangan atau lengan atas preoperasi,
antimikroba profilaksis; masalah intra-operasi, seperti lingkungan ruang operasi,
pakaian bedah, dan teknik operasi dan asepsis; dan masalah pasca-operasi, seperti
perawatan luka operasi dan perencanaan pemulangan pasien.6
Pada kasus obstetrik, tingkat infeksi luka operasi untuk seksio sesarea dan
histerektomi adalah sama. Mayoritas, operasi obstetrik yang emergensi memiliki
tingkat infeksi luka operasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan operasi elektif.
Korioamnionitis, adanya mekonium, kehilangan darah intraoperatif dalam jumlah
besar, transfusi darah perioperatif, dan tidak melakukan asuhan antenatal juga
berhubungan dengan peningkatan infeksi luka operasi.14
Untuk operasi seksio sesarea sendiri, faktor risiko infeksi luka operasi
bersifat multifaktorial, dan yang paling sering adalah jenis operasi emergensi,
terdapat ruptur membran sebelum operasi, insisi kulit secara vertikal, dan jahit
kulit interuptus.15
Beberapa studi menemukan korelasi antara klasifikasi luka dengan tingkat
infeksi luka operasi. Sebuah sistem klasifikasi luka yang diterima secara luas telah
dikembangkan lebih dari 35 tahun yang lalu. Ini adalah skema klasifikasi luka,
yang dikembangkan oleh National Academy of Sciences dan National Research
10
11
Laserasi vagina dapat mengalami infeksi secara langsung atau tercemar dari
perineum. Seluruh mukosa vagina menjadi merah, bengkak dan bisa mengalami
nekrosis dan terkelupas. Laserasi serviks lebih sering terjadi dan normalnya
serviks memang merupakan tempat koloni kuman yang bisa menjadi patogen.16
Sebagaimana pada kasus infeksi lainnya, prinsip penatalaksanaan adalah
drainase dan pemberian antibiotik yang adekuat. Pada sebagian besar, kasus
biasanya dilakukan pelepasan benang jahitan episiotomi dan luka yang terinfeksi
terbuka. Bila permukaan episiotomi sudah bebas dari infeksi dan eksudat, ditandai
dengan timbulnya jaringan granulasi yang berwarna merah muda, dapat dilakukan
penjahitan perineum secara sekunder.16
H. Penatalaksanaan Infeksi Luka Operasi
Organisme yang paling umum diisolasi dari infeksiluka operasi yaitu E.coli,
Pseudomonas, Klebsiella, Staphylococcus Koagulase-positif,
Proteus dan
Streptococcus.
ciprofloxacin,
Organisme
ini
biasanya
sensitif
terhadap
12
fakta bahwa antibiotik ini relatif jarang diresepkan di rumah sakit dan lebih mahal
sehingga jarang disalahgunakan.20
Untuk pertahanan pertama terhadap infeksi serius, dapat diberikan
kombinasi antibiotik ampisilin 2 gram intravena setiap 6 jam; ditambah
gentamisin 5mg/kgBB intravena setiap 24 jam; ditambah metronidazol 500 mg
intravena setiap 8 jam. Jika infeksi tidak seberapa parah, amoksilin 500 mg per
oral setiap 8 jam dapat digunakan sebagai pengganti ampisilin dan metronidazol
dapat diberikan per oral juga. Jika fasilitas kultur tidak tersedia, periksa ulang
sampel pus. Pertimbangkan kemungkinan infeksi akibat organisme yang resisten
terhadap kombinasi obat di atas. Jika curiga adanya infeksi Staphylococcus sp.
dapat ditambahkan kloksasilin 1 gram intravena setiap 4 jam atau vankomisin 1
gram intravena setiap 12 jam melalui infus selama 1 jam. Jika dicurigai infeksi
Clostridium atau Streptokokus hemolitik grup A, tambahkan penisilin 2 juta unit
intravena setiap 4 jam. Jika bukan salah satu kemungkinan tersebut, tambahkan
seftriakson 2 gram intravena setiap 24 jam.21
Pemberian antibiotik pada seksio sesarea dianjurkan segera setelah
penjepitan tali pusat untuk menghindari masuknya antibiotik pada janin. Berikut
adalah pemberian antibiotik berdasarkan klasifikasi luka operasinya.21
Kelas/Kategori
Operasi
bersih
(terencana)
Operasi
bersih
(indeks risiko >1)
Operasi bersihkontaminasi
Operasi
kontaminasi
Jenis antibiotik
-
Dosis
-
Amoksisilin +
as. klavulanat
Sefazolin
Amoksisilin +
as. klavulanat
Sefazolin
Ampisilin +
Gentamisin +
1000 mg
Cara
-
Intravena
1000 mg
Intravena
2 gram
5mg/kgBB
Intravena
Waktu
-
Frekuensi
-
Dalam jangka
waktu 30
menit pra-op
Dalam jangka
waktu 30
menit pra-op
1 kali
1 kali
Setiap 6 jam
Setiap 24 jam
13
Metronidazol
500 mg
Setiap 8 jam
21
14
penempatan
prostesis
atau
implan,
operasi
bersih-
15
Fase Intra-operatif
1. Dekontaminasi tangan
Tim operasi harus mencuci tangan mereka sebelum operasi pertama pada
daftar menggunakan larutan antiseptik bedah, dengan sikat sekali pakai, dan
memastikan bahwa tangan dan kuku telah bersih.
Sebelum operasi berikutnya, tangan harus dicuci baik menggunakan
antiseptik alkohol atau larutan antiseptik bedah. Jika tangan kotor maka
tangan harus dicuci lagi dengan larutan antiseptik bedah.
2. Tirai menoreh (incise drapes)
Jangan gunakan tirai menoreh non-iodophor-impregnated secara rutin untuk
operasi karena dapat meningkatkan risiko infeksi luka operasi.Jika tirai
menoreh diperlukan, gunakan tirai iodophor-impregnated, kecuali pasien
memiliki alergi iodium.
3. Gaun steril
Tim operasi harus mengenakan gaun steril di ruang operasi selama operasi.
4. Sarung tangan
Pertimbangkan memakai dua pasang sarung tangan steril ketika ada risiko
tinggi perforasi sarung tangan dan konsekuensi kontaminasi yang serius.
5. Persiapan kulit antiseptik
`Siapkan kulit pada lokasi bedah segera sebelum insisi menggunakan
persiapan antiseptik (cair atau berbasis alkohol): povidone-iodine atau
chlorhexidine yang paling cocok.Jika diathermy akan digunakan, pastikan
bahwa persiapan kulit antiseptik dikeringkan dengan penguapan dan
penyatuan persiapan berbasis alkohol dihindari.
6. Diathermy
Jangan gunakan diathermy untuk insisi bedah untuk mengurangi risiko
infeksi luka operasi.
7. Mempertahankan homeostasis pasien
- Menjaga suhu pasien sejalan dengan 'hipotermia perioperatif yang
disengaja'.
16
pemulihan.
Menjaga perfusi yang adekuat selama operasi.
Jangan memberikan insulin secara rutin pada pasien yang non-diabetes
untuk mengoptimalkan glukosa darah pasca operasi sebagai cara untuk
operasi.
Menganjurkan pasien bahwa mereka dapat mandi dengan aman 48 jam
setelah operasi.
Gunakan air keran untuk membersihkan luka setelah 48 jam jika luka
17
Jangan gunakan Eusol dan kasa, atau kapas kasa yang lembab atau
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Spruce Lisa. Back to basics: Preventing surgical site infection. AORN
Journal. 2014;99(5):601-8.
2. Osakwe JO, Nnaji GA, Osakwe RC, Agu U, Chineke HN. Role of premorbid
status and wound related factors in surgical site infection in a tertiary hospital
in Sub-Saharan Africa. Fam Pract Rep. 2014;1:2.
3. Rivai F, Koentjoro T, Utarini A. Determinan infeksi luka operasi pascabedah
sesar. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2013;8(5):235-40.
4. Diaz CV, Newman J. Surgical site infection and prevention guidelines: a
primer
for
certified
registered
nurse
anesthetists.
AANA
Journal.
2015;83(1):63-8.
5. Bangal VB, Borawake SK, Shinde KK, Gavhane SP. Study of surgical site
infection following gynaecological surgery at tertiary care teaching hospital
in
Rural
India.
International
Journal
of
Biomedical
Research.
2014;05(02):113-6.
6. Mangram AJ, Horan TC, Pearson ML, Silver LC, Jarvis WR. Guideline for
prevention of surgical site infection, 1999. Hospital Infection Control Practice
Advisory Committee. Infection Control And Hospital Epidemiology.
1999;20(4):250-78.
7. Anderson DJ, Sexton DJ. Epidemiology and pathogenesis of and risk factors
for surgical site infection.UpToDate.2013. http://www.uptodate.com
8. Lipscomb GH. Wound healing, suture material, and surgical instrumentation.
In: Rock JA, Jones HW. editors. Te Lindes Operative Gynecology. 10 th
Edition. Lippincott Williams & Wilkin Publishers. 2008.
9. Yao K, Bae L, Yew WP. Post-operative wound management. Australian
Family Physician. 2013;42(12):867-70.
19
10. Velnar T, Bailey T, Smrkolj V. The wound healing process: an overview of the
cellular and mollecular mechanisms. The Journal of International Medical
Research. 2009;37(5):1528-42.
11. Spiliotis J, et al. Wound dehiscence : is still a problem in the 21th century: a
retrospective study. World Journal of Emergency Surgery. 2009;4(12):1-5.
12. Ansar Anila. Surgical site infection in obstetrics practice. Journal of Surgery
Pakistan. 2013;18(2):68-73.
13. Singh R, Singla P, Chaudhary U. Surgical site infections: Classification, risk
factors, pathogenesis, and preventive management. International Journal of
Pharma Research and Health Science. 2014;2(3):203-14.
14. Amenu D, Belachew T, Araya F. Surgical site infection and risk factors
among obstetric cares of Jimma University Specialized Hospital, Southwest
Ethopia. Ethiopia Journal Health Science. 2011;21(2):91-100.
15. Shrestha S, Shrestha R, Shrestha B, Dongol A. Incidence and risk factors of
surgical site infection following cesarean section at Dhulikhel Hospital.
Kathmandu University Medical Journal. 2014;46(2):113-6.
16. Purwaka BT, Sulistyono A. Demam pascapersalinan. Dalam: Wiknjosastro H,
Saifuddin AB, Rachimhadhi T.eds. Ilmu kebidanan. Edisi ke-4. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2014;643-58
17. Anonim. Prinsip-prinsip pembedahan. Dalam: Wiknjosastro H, Saifuddin AB,
Rachimhadhi T, et al. Ilmu Kandungan.Edisi ke-2. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2008;665-73.
18. Amini AQ, Khan NA, Ahmad J, Memon AS. Management of abdominal
wound dehiscence: still a challenge. Pak J Surg. 2013;29(2):84-7.
19. Shah F, Gandhi M, Mehta V, Udani D, Mundra M, Swadia N. Nosocomial
infections in surgical wards. The Internet Journal of Surgery. 2009;24(1):1-7.
20
21