mengatasi kesulitan likuiditas perbankan dimulai sejak krisis berlangsung, yaitu pada
saat kepercayaan terhadap perbankan semakin merosot. Tahap selanjutnya adalah
tahap meredakan krisis dan terakhir adalah tahap restrukturisasi perbankan, yaitu
pemulihan kembali perbankan.
Kebijakan Awal Mengatasi Kesulitan Likuiditas Perbankan
Menghadapi kesulitan perbankan tersebut diatas, Bank Indonesia membawa masalah
ini ke dalam Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekonomi, Keuangan, Pengawasan
Pembangunan dan Produksi Distribusi pada 3 September 1997. Pada sidang kabinet
tersebut, Presiden memutuskan antara lain agar Menteri Keuangan dan Gubernur
Bank Indonesia mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
Agar diupayakan penggabungan atau akuisisi terhadap bank-bank yang secara nyata
tidak sehat oleh bank yang sehat.
Jika upaya ini tidak berhasil, bank-bank tersebut supaya dilikuidasi sesuai peraturan
perundangan yang berlaku dengan mengamankan semaksimal mungkin penabung,
terutama pemilik simpanan kecil.
Sebagai langkah awal penyehatan perbankan yang dirumuskan oleh Pemerintah
Republik Indonesia dengan dukungan IMF disepakati bahwa tindakan melikuidasi
bank yang tidak solvent merupakan sesuatu yang perlu dilakukan dalam rangka
restrukturisasi perbankan.
Dalam Rapat Direksi Bank Indonesia, dikemukakan bahwa pihak Bank Indonesia
menyampaikan tujuh bank swasta nasional yang layak dicabut izin usaha mereka.
Namun IMF tidak puas dengan tujuh bank, karena menurut mereka market
menghendaki lebih dari tujuh bank. Setelah melalui serangkaian kajian disepakati 16
bank yang dilikuidasi, antara lain :
1. Bank Harapan Sentosa
2. Sejahtera Bank Umum
3. Bank Pacific
4. South East Asian Bank
5. Bank Pinaesaan
6. Bank Anrico
7. Bank Umum Majapahit Jaya
8. Bank Industri
9. Bank Jakarta
10. Bank Astria Raya
11. Bank Guna Internasional
12. Bank Dwipa Semesta
13. Bank Kosagraha Semesta
14. Bank Citrahasta Danamanunggal
15. Bank Andromeda
16. Bank Mataram Dhanaarta
Penutupan 16 bank yang tidak solvent merupakan bagian dari restrukturisasi sektor
keuangan, bahkan sebenarnya tindakan ini merupakan syarat awal dari pinjaman IMF.
Pencabutan izin usaha terhadap 16 bank yang semula dimaksudkan untuk penyehatan
perbankan guna mengembalikan kepercayaan masyarakat justru memberikan hasil
yang sangat jauh dari perhitungan. Masyarakat yang mengetahui bahwa jumlah
simpanan yang dibayarkan pada 16 bank yang dilikuidasi hanya sebesar Rp 20 juta
sedangkan sisa simpanan diatas Rp 20 juta melakukan penarikan dana tunai secara
besar-besaran dan pemindahan dana dari bank-bank yang dianggap lemah ke bankbank yang dinilai kuat. Akibatnya, bank-bank yang dianggap kuat juga ikut terkena
dampak krisis kepercayaan tersebut.
@ Kebijakan Lanjutan Meredakan Krisis Perbankan
Kebijakan lanjutan ini dimulai dengan pelaksanaan kebijakan unutk meredam krisis
perbankan dengan program restrukturisasi perbankan sebagai bagian dari
restrukturisasi sektor keuangan. Rumusan tersebut berupa :
1. Program jaminan oleh pemerintah yang diyakini sebagai cara terbaik untuk
memperbaiki kondisi perbankan sambil memulihkan kembali kepercayaan
masyarakat. Pemerintah memperkenalkan program ini sebagai program penjaminan
pemerintah atas kewajiban bank umum terhadap para deposan dan kreditur.
2. Pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)
Keberadaan lembaga ini pada awalnya terfokus pada identifikasi upaya-upaya untuk
merehabilitasi bank-bank bermasalah yang diserahkan Bank Indonesia, karena telah
menikmati bantuan likuiditas sebesar 200% dan atau memiliki CAR kurang dari 5%.
Dengan dukungan BPPN ini, Bank Indonesia diharapkan mampu lebih efektif dalam
melakukan pengawasan terhadap bank-bank lainnya.
Restrukturisasi Perbankan
Dengan meredanya kesulitan likuiditas perbankan dan berkurangnya gelombang
penarikan dana, Pemerintah dan Bank Indonesia kemudian menyiapkan program
restrukturisasi perbankan. Program ini bertujuan unutk mengatasi dampak krisis dan
menghindari terjadinya krisis serupa di masa datang. Restrukturisasi perbankan
dikelompokkan melalui empat aspek, yaitu :
1. Rekapitalisasi Perbankan.
Rekapitalisasi bank-bank merupakan langkah
permodalan bank. Rekapitalisasi ini terdiri dari:
strategis
untuk
memperbaiki
# Rekapitalisasi bank-bank yang viable untuk dapat menjadi sehat dan mencapai rasio
kecukupan modal minimum sebesar 8% pada tahun 2001.
# Pembersihan bank-bank dari pemilik dan pengurus yang tidak memenuhi
persyaratan sebagai pemilik dan pengurus bank (tidak fit and proper)
# Penutupan bagi bank-bank yang diperkirakan tidak mampu bertahan.
# Penyelesaian aset-aset bank yang ditutup.
# Penyelesaian kredit macet perbankan, dengan mengalihkan ke Asset Management
Unit dan menghapusbukukan dari bank-bank yang direkapitalisasi.
2. Restukturisasi Kredit.
Aspek ini sangat menentukan keberhasilan program restrukturisasi perbankan dan
program penyehatan perekonomian secara keseluruhan. Restrukturisasi kredit yang
dilakukan ini melengkapi restrukturisasi kredit dan aset perbankan lainnya yang
dilakukan oleh BPPN dan diharapkan dapat memperbaiki pembukuan bank, serta
menggairahkan para debiturnya untuk kembali berproduksi (yang berarti
menggerakkan sektor riil).
3. Langkah-langkah lainnya.
Selanjutnya ditempuh langkah pengembangan infrastruktur perbankan untuk
meningkatkan daya tahan bank menghadapi berbagi gejolak. Salah satunya dengan
pendirian Lembaga Penjamin Simpanan dan Pengambangan Bank Syariah. Selain itu,
dilakukan fungsi pengawasan bank dengan mengutamakan penegakan aturan dan
meningkatkan frekuensi pemeriksaan bank yang difokuskan pada risiko yang dihadapi
oleh setiap bank.
4. Tingkat kewenangan Bank Indonesia dalam menetapkan kebijakan.
Seperti diketahui sebelumnya, sebelum diberlakukannya Undang-Undang No. 23
tahun 1999 tentang Bank Indonesia, landasan hukum bagi Bank Indonesia sebagai
bank sentral adalah Undang-undang no.13 tahun 1968 tentang Bank Sentral. Dalam
Undang-undang yang lama ditetapkan bahwa dalam menjalankan tugasnya Bank
Indonesia mengacu pada kebijakan yang dilakukan oleh Dewan Moneter. Hal ini
mencerminkan kekurangtegasan dalam pembagian tugas dan tanggung jawab antara
bank Indonesia dengan pemerintah, serta mencerminkan pula keterbatasan wewenang
Bank Indonesia dalam melaksanakan kebijakan moneter dan perbankan. Terbatasnya
kewenangan tersebut berakibat kurang efektifnya langkah-langkah yang ditempuh
oleh Bank Indonesia dalam mengatasi krisis moneter yang terjadi. Atas dasar
pengalaman tersebut, lahirlah UU no. 23 tahun 1999 yang mengandung dua aspek:
# Kebebasan/independensi yang diberikan kepada Bank Indonesia tanpa boleh
dicampur tangani oleh pemerintah atau pihak-pihak lainnya. independensi ini
merupakan upaya agar Bank Indonesia tetap fokus kepada upaya menjaga kestabilan
nilai rupiah dalam kondisi politik yang dapat berubah.
# Tujuan Bank Indonesia yang lebih terfokus, yaitu mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah.
Secara bersama-sama kedua aspek tersebut bagi Bank Indonesia akan merupakan
tanggung jawab profesionalisme agar kestabilan nilai rupiah dapat dipelihara secara
terus menerus dan dilain pihak dapat memberikan harapan yang lebih baik bagi semua
pihak, termasuk dunia usaha, bahwa kepastian iklim usaha di masa mendatang dapat
lebih terjamin dengan stabilnya nilai rupiah.
Sebelum terjadinya krisis ekonomi yang diawali dari krisis rupiah yang terjadi pada
pertengahan 1997 kemudian diikuti dengan krisis moneter dan segera menjadi krisis
ekonomi sejak akhir 1997, perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun terakhir
apabila diamati terlihat semakin meningkatnya kepercayaan terhadap kestabilan
ekonomi makro. Indikasi tersebut dapat tercermin dari semakin terintegrasinya
perekonomian Indonesia dengan perekonomian dunia yang dibarengi dengan semakin
meningkatnya aliran masuk modal asing.
Kegiatan ekonomi Indonesia dalam tahun 1996 juga masih cukup kuat. Masih kuatnya
kegiatan ekonomi domestik ini juga akan mendorong tetap tingginya permintaan
masyarakat terhadap likuiditas. Keadaan ini apabila tidak dikendalikan secara hatihati akan menghasilkan pertumbuhan besar-besaran moneter yang tetap tinggi yang