Anda di halaman 1dari 6

1.

1 Kebijakan Perbankan Sebelum dan Sesudah KrisisKondisi Perbankan sebelum


dan pada Awal Krisis
Sampai dengan pertengahan tahun 1997, kegiatan perbankan secara umum masih
berkembang dengan kecepatan tinggi. Mobilisasi dana masyarakat meningkat pesat
sementara ekspansi kredit tetap kuat, terutama ke sektor properti. Ekspansi berlebihan
juga telah menyebabkan kewajiban perbankan dalam valuta asing, khususnya pada
bank swasta nasional, meningkat tajam sebagaimana tercermin dari memburuknya
posisi devisa netto dan makin besarnya rekening administratif dalam valuta asing
perbankan selama tiga tahun terakhir. Di sisi lain, kredit tidak lancar pada beberapa
bank nasional cenderung meningkat dan efisiensi usaha memburuk.
Kerentanan tersebut tidak lepas dari berbagai kelemahan fundamental industri
perbankan yang sudah terakumulasi sejak beberapa tahun sebelumnya. Terdapat lima
faktor yang menyebabkan kondisi mikro perbankan menjadi rentan terhadap gejolak
ekonomi pada masa itu, yaitu:
1. Relatif lemahnya kemampuan manajerial bank telah mengakibatkan penurunan
kualitas aset produktif dan peningkatan risiko yang dihadapi bank. Situasi ini
diperburuk pula oleh lemahnya pengawasan dan sistem informasi internal didalam
memantau, mendeteksi, dan menyelesaikan kredit bermasalah serta posisi risiko yang
berlebihan. Besarnya pemberian kredit dan jaminan baik secara langsung maupun
tidak langsung kepada individu atau kelompok usaha yang terkait dengan bank, telah
mendorong tingginya risiko kemacetan kredit yang dihadapi bank.
2. Adanya jaminan terselubung dari bank sentral atas kelangsungan hidup suatu bank
untuk mencegah kegagalan sistematik dalam industri perbankan sehingga risiko yang
dihadapi perbankan sebagai akibat dari kesulian likuiditas secara praktis tergeser
kepada bank sentral.
3. Kurang transparannya informasi mengenai kondisi perbankan selain telah
mengakibatkan kesulitan dalam melakukan analisis secara akurat tentang kondisi
keuangan suatu bank, juga telah melemahkan upaya untuk melakukan kontrol sosial
dan menciptakan disiplin pasar. Hal-hal tersebut berakibat ikut mengurangi
kepercayaan masyarakat terhadap perbankan
4. Sistem pengawasan oleh bank sentral kurang efektif karena belum sepenuhnya
dapat mengimbangi pesat dan kompleksnya kegiatan operasional perbankan. Hal ini
telah mendorong perbankan nasional mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam
kegiatan operasional mereka. Meskipun ketentuan kehati-hatian perbankan di
Indonesia telah mengikuti standar dari Bank for International Settlements (BIS),
lemahnya penegakan hukum dan kurangnya independensi bank sentral menyebabkan
langkah-langkah koreksi tidak dapat dilakukan secara efektif.
Awal kesulitan mulai terjadi ketika nilai tukar rupiah mulai melemah sejak Juli 1997,
perbankan nasional mulai terkena imbasnya. Melemahnya nilai tukar rupiah
mengakibatkan kewajiban bank dalam mata uang rupiah untuk memenuhi kewajiban
yang terdenomasi valuta asing naik secara tajam. Akibatnya bank-bank sulit untuk
memenuhi penarikan dana oleh para kreditur. Melemahnya nilai tukar rupiah menjadi
pemicu awal gelombang kesulitan likuiditas pada perbankan. Krisis perbankan tahun
1997-1998 dapat dibagi menjadi tiga tahap, Tahap pertama yaitu tahap awal kebijakan

mengatasi kesulitan likuiditas perbankan dimulai sejak krisis berlangsung, yaitu pada
saat kepercayaan terhadap perbankan semakin merosot. Tahap selanjutnya adalah
tahap meredakan krisis dan terakhir adalah tahap restrukturisasi perbankan, yaitu
pemulihan kembali perbankan.
Kebijakan Awal Mengatasi Kesulitan Likuiditas Perbankan
Menghadapi kesulitan perbankan tersebut diatas, Bank Indonesia membawa masalah
ini ke dalam Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekonomi, Keuangan, Pengawasan
Pembangunan dan Produksi Distribusi pada 3 September 1997. Pada sidang kabinet
tersebut, Presiden memutuskan antara lain agar Menteri Keuangan dan Gubernur
Bank Indonesia mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
Agar diupayakan penggabungan atau akuisisi terhadap bank-bank yang secara nyata
tidak sehat oleh bank yang sehat.
Jika upaya ini tidak berhasil, bank-bank tersebut supaya dilikuidasi sesuai peraturan
perundangan yang berlaku dengan mengamankan semaksimal mungkin penabung,
terutama pemilik simpanan kecil.
Sebagai langkah awal penyehatan perbankan yang dirumuskan oleh Pemerintah
Republik Indonesia dengan dukungan IMF disepakati bahwa tindakan melikuidasi
bank yang tidak solvent merupakan sesuatu yang perlu dilakukan dalam rangka
restrukturisasi perbankan.
Dalam Rapat Direksi Bank Indonesia, dikemukakan bahwa pihak Bank Indonesia
menyampaikan tujuh bank swasta nasional yang layak dicabut izin usaha mereka.
Namun IMF tidak puas dengan tujuh bank, karena menurut mereka market
menghendaki lebih dari tujuh bank. Setelah melalui serangkaian kajian disepakati 16
bank yang dilikuidasi, antara lain :
1. Bank Harapan Sentosa
2. Sejahtera Bank Umum
3. Bank Pacific
4. South East Asian Bank
5. Bank Pinaesaan
6. Bank Anrico
7. Bank Umum Majapahit Jaya

8. Bank Industri
9. Bank Jakarta
10. Bank Astria Raya
11. Bank Guna Internasional
12. Bank Dwipa Semesta
13. Bank Kosagraha Semesta
14. Bank Citrahasta Danamanunggal
15. Bank Andromeda
16. Bank Mataram Dhanaarta
Penutupan 16 bank yang tidak solvent merupakan bagian dari restrukturisasi sektor
keuangan, bahkan sebenarnya tindakan ini merupakan syarat awal dari pinjaman IMF.
Pencabutan izin usaha terhadap 16 bank yang semula dimaksudkan untuk penyehatan
perbankan guna mengembalikan kepercayaan masyarakat justru memberikan hasil
yang sangat jauh dari perhitungan. Masyarakat yang mengetahui bahwa jumlah
simpanan yang dibayarkan pada 16 bank yang dilikuidasi hanya sebesar Rp 20 juta
sedangkan sisa simpanan diatas Rp 20 juta melakukan penarikan dana tunai secara
besar-besaran dan pemindahan dana dari bank-bank yang dianggap lemah ke bankbank yang dinilai kuat. Akibatnya, bank-bank yang dianggap kuat juga ikut terkena
dampak krisis kepercayaan tersebut.
@ Kebijakan Lanjutan Meredakan Krisis Perbankan
Kebijakan lanjutan ini dimulai dengan pelaksanaan kebijakan unutk meredam krisis
perbankan dengan program restrukturisasi perbankan sebagai bagian dari
restrukturisasi sektor keuangan. Rumusan tersebut berupa :
1. Program jaminan oleh pemerintah yang diyakini sebagai cara terbaik untuk
memperbaiki kondisi perbankan sambil memulihkan kembali kepercayaan
masyarakat. Pemerintah memperkenalkan program ini sebagai program penjaminan
pemerintah atas kewajiban bank umum terhadap para deposan dan kreditur.
2. Pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)
Keberadaan lembaga ini pada awalnya terfokus pada identifikasi upaya-upaya untuk
merehabilitasi bank-bank bermasalah yang diserahkan Bank Indonesia, karena telah

menikmati bantuan likuiditas sebesar 200% dan atau memiliki CAR kurang dari 5%.
Dengan dukungan BPPN ini, Bank Indonesia diharapkan mampu lebih efektif dalam
melakukan pengawasan terhadap bank-bank lainnya.
Restrukturisasi Perbankan
Dengan meredanya kesulitan likuiditas perbankan dan berkurangnya gelombang
penarikan dana, Pemerintah dan Bank Indonesia kemudian menyiapkan program
restrukturisasi perbankan. Program ini bertujuan unutk mengatasi dampak krisis dan
menghindari terjadinya krisis serupa di masa datang. Restrukturisasi perbankan
dikelompokkan melalui empat aspek, yaitu :
1. Rekapitalisasi Perbankan.
Rekapitalisasi bank-bank merupakan langkah
permodalan bank. Rekapitalisasi ini terdiri dari:

strategis

untuk

memperbaiki

# Rekapitalisasi bank-bank yang viable untuk dapat menjadi sehat dan mencapai rasio
kecukupan modal minimum sebesar 8% pada tahun 2001.
# Pembersihan bank-bank dari pemilik dan pengurus yang tidak memenuhi
persyaratan sebagai pemilik dan pengurus bank (tidak fit and proper)
# Penutupan bagi bank-bank yang diperkirakan tidak mampu bertahan.
# Penyelesaian aset-aset bank yang ditutup.
# Penyelesaian kredit macet perbankan, dengan mengalihkan ke Asset Management
Unit dan menghapusbukukan dari bank-bank yang direkapitalisasi.
2. Restukturisasi Kredit.
Aspek ini sangat menentukan keberhasilan program restrukturisasi perbankan dan
program penyehatan perekonomian secara keseluruhan. Restrukturisasi kredit yang
dilakukan ini melengkapi restrukturisasi kredit dan aset perbankan lainnya yang
dilakukan oleh BPPN dan diharapkan dapat memperbaiki pembukuan bank, serta
menggairahkan para debiturnya untuk kembali berproduksi (yang berarti
menggerakkan sektor riil).
3. Langkah-langkah lainnya.
Selanjutnya ditempuh langkah pengembangan infrastruktur perbankan untuk
meningkatkan daya tahan bank menghadapi berbagi gejolak. Salah satunya dengan
pendirian Lembaga Penjamin Simpanan dan Pengambangan Bank Syariah. Selain itu,
dilakukan fungsi pengawasan bank dengan mengutamakan penegakan aturan dan

meningkatkan frekuensi pemeriksaan bank yang difokuskan pada risiko yang dihadapi
oleh setiap bank.
4. Tingkat kewenangan Bank Indonesia dalam menetapkan kebijakan.
Seperti diketahui sebelumnya, sebelum diberlakukannya Undang-Undang No. 23
tahun 1999 tentang Bank Indonesia, landasan hukum bagi Bank Indonesia sebagai
bank sentral adalah Undang-undang no.13 tahun 1968 tentang Bank Sentral. Dalam
Undang-undang yang lama ditetapkan bahwa dalam menjalankan tugasnya Bank
Indonesia mengacu pada kebijakan yang dilakukan oleh Dewan Moneter. Hal ini
mencerminkan kekurangtegasan dalam pembagian tugas dan tanggung jawab antara
bank Indonesia dengan pemerintah, serta mencerminkan pula keterbatasan wewenang
Bank Indonesia dalam melaksanakan kebijakan moneter dan perbankan. Terbatasnya
kewenangan tersebut berakibat kurang efektifnya langkah-langkah yang ditempuh
oleh Bank Indonesia dalam mengatasi krisis moneter yang terjadi. Atas dasar
pengalaman tersebut, lahirlah UU no. 23 tahun 1999 yang mengandung dua aspek:
# Kebebasan/independensi yang diberikan kepada Bank Indonesia tanpa boleh
dicampur tangani oleh pemerintah atau pihak-pihak lainnya. independensi ini
merupakan upaya agar Bank Indonesia tetap fokus kepada upaya menjaga kestabilan
nilai rupiah dalam kondisi politik yang dapat berubah.
# Tujuan Bank Indonesia yang lebih terfokus, yaitu mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah.
Secara bersama-sama kedua aspek tersebut bagi Bank Indonesia akan merupakan
tanggung jawab profesionalisme agar kestabilan nilai rupiah dapat dipelihara secara
terus menerus dan dilain pihak dapat memberikan harapan yang lebih baik bagi semua
pihak, termasuk dunia usaha, bahwa kepastian iklim usaha di masa mendatang dapat
lebih terjamin dengan stabilnya nilai rupiah.
Sebelum terjadinya krisis ekonomi yang diawali dari krisis rupiah yang terjadi pada
pertengahan 1997 kemudian diikuti dengan krisis moneter dan segera menjadi krisis
ekonomi sejak akhir 1997, perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun terakhir
apabila diamati terlihat semakin meningkatnya kepercayaan terhadap kestabilan
ekonomi makro. Indikasi tersebut dapat tercermin dari semakin terintegrasinya
perekonomian Indonesia dengan perekonomian dunia yang dibarengi dengan semakin
meningkatnya aliran masuk modal asing.
Kegiatan ekonomi Indonesia dalam tahun 1996 juga masih cukup kuat. Masih kuatnya
kegiatan ekonomi domestik ini juga akan mendorong tetap tingginya permintaan
masyarakat terhadap likuiditas. Keadaan ini apabila tidak dikendalikan secara hatihati akan menghasilkan pertumbuhan besar-besaran moneter yang tetap tinggi yang

apabila dibiarkan akan menyebabkan tekanan-tekanan pada harga dan neraca


pembayaran.
Dalam kondisi ekonomi yang semakin kompleks pengendalian moneter tidak cukup
dilakukan hanya dengan satu atau dua instrumen saja. Berbagai instrumen kebijakan
moneter yang digunakan Bank Indonesia untuk mempengaruhi besar-besaran moneter
antara lain sebagai berikut:
# Operasi pasar terbuka. Ini dilakukan melalui penjualan dan pembelian surat
berharga SBI dan SBPU. Untuk lebih mengefektifkan operasi pasar terbuka ini, Bank
Indonesia telah mengembangkan kedua instrumen tersebut dengan menambahkan
fasilitas repurchase agreement (repo) ke masing-masing instrumen sehingga saat ini
dikenal SBI repo dan SBPU repo.
# Fasilitas diskonto. Fasilitas diskonto ini disediakan bagi bank-bank dalam rangka
memperlancar pengaturan likuiditas sehari-hari, khususnya bank yang menghadapi
maturity mismatch antara penanam dan pendananya. Fasilitas diskonto dilakukan
dengan cara penjualan surat berharga repo atau penjaminan surat berharga. Surat
berharga yang dewasa ini dapat dipergunakan adalah SBI dan atau SBPU yang
diendos oleh bank lain.
# Giro Wajib Minimum (GWM). Untuk pertama kalinya sejak Pakto 1988 Bank
Indonesia menggunakan GWM untuk mengerem pertumbuhan besar-besaran moneter
yang masih tinggi yaitu dengan menetapkan GWM menjadi 3% pada Februari 1996
(ketentuan likuiditas wajib minimum sebelumnya menurut Pakto 1988 adalah 2%).
GWM pada dasarnya adalah sejumlah minimum dana yang harus selalu tersedia pada
saldo giro setiap bank pada Bank Indonesia. Keharusan menyediakan sejumlah
minimum dana ini juga disebut likuiditas wajib minimum (statutory reserve
requirement) yang saat ini sebesar 5% dari dana pihak ketiga yang dihimpun berlaku
sejak April 1997.
# Persuasi moral. Kebijakan ini dilakukan oleh Bank Indonesia dengan meminta atau
mengimbau bank-bank untuk selalu mempertimbangkan kondisi makro ekonomi
maupun kondisi mikro masing-masing bank dalam menyusun rencana ekspansi kredit
yang realitas. Kebijakan persuasi moral atau moral suasion ini pada dasarnya
dimaksudkan untuk mendorong perbankan agar senantiasa menerapkan prinsip kehatihatian dalam memberikan kredit, namun dengan tetap memberikan kebebasan bagi
perbankan untuk tumbuh dan berkembang berdasarkan mekanisme pasar.
https://3yoo.wordpress.com/2014/07/04/kebijakan-perbankan-sebelum-dan-sesudahkrisis/

Anda mungkin juga menyukai