Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Kusta adalah penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium Leprae
yang bersifat obligat intraseluler, saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa
traktus respiratorius bagaian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. 2
Penderita kusta dapat mengalami reaksi kusta. Istilah reaksi kusta digunakan untuk
menggambarkan berbagai gejala dan tanda radang akut pada lesi dalam perjalanan penyakit
yang kronis.2
Reaksi ini menyebabkan gangguan dalam keseimbangan sistem imunologi. Reaksi
kusta dibagi menjadi dua yaitu reaksi tipe I atau reaksi reversal yang disebabkan karena
meningkatnya kekebalan seluler secara cepat dan reaksi tipe II atau reaksi erythema nodosum
leprosum (ENL) yang merupakan reaksi humoral yang ditandai dengan timbulnya nodul
kemerahan, neuritis, gangguan saraf, dll. 1
M. Leprae menginfeksi sel Schwann dari saraf perifer sehingga menyebabkan
kerusakan saraf dan menyebabkan disabilitas. Walaupun terdapat penurunan prevalensi
infeksi M. Leprae pada negara yang endemis setelah implementasi multidrug therapy , kasus
baru yang dideteksi masih tinggi , menunjukkan adanya transmisi yang aktif.7
Kerentanan terhadap mycobakterium dan gejala klinis bergantung kepada respon
imun penderita . Penderita dengan respon imun yang baik menunjukkan gejala kea rah tipe
tuberkuloid sementara penderita dengan sistem imun yang buruk menunjukkan gejala kearah
lepromatosa.5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas
pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ
lain kecuali susunan saraf pusat.1
2.2 Epidemiologi
Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di folikel rambut,
kelenjar keringat, air susu dan jarang di dapat di dalam urin. Sputum dapat mengandung
banyak M.leprae yang berasal dari mukosa traktus respiratorius bagian atas. Tempat
implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama. Dapat menyerang semua umur,
anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak
dibawah umur 14 tahun didapatkan Error: Reference source not found 13% tetapi anak
dibawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur
anatar 25-35 tahun.2
Kusta terdapat dimana-mana terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin , daerah
tropis dan subtropics, serta masyarakat yang sosiol ekonominya rendah. Makin
rendah sosial ekonomi makin berat penyakitnya, sebaliknya faktor sosial ekonomi tinggi
sangat membantu penyembuhan. Ada variasi reaksi terhadap infeksi M. Leprae yang
mengakibatkan varian gambaran klinis (spektrum dan lain-lain) di pelbagai suku
bangsa.2
Walaupun penyakit ini masih merupakan problem kesehatan masyarakat di 55
negara atau wilayah, 91% dari jumlah kasus berada di 16 negara , dan 82% nya di 5
negara yaitu Brazil, India , Indonesia , Myanmar dan Nigeria. Kasus yang terdaftar pada
permulaan tahun 2009 tercatat 213.036 penderita yang berasal dari 121 negara,
sedangkan jumlah kasus baru tahun 2008 baru tercatat 249.0007. Di Indonesia,distribusi
tidak merata, yang tertinggi antara lain di Pulau Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Prevalensi pada tahun 2008 per 10.000 penduduk adalah 0,73.2
2

2.3 Etiologi
Kuman penyebab adalah Myocobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A
HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dibiakkan
dalam media artifisial . M. Leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8Um x 0.5 Um,
tahan asam dan alkohol serta Gram-positif.3

Gambar 1 : Mycobacterium Leprae


pada pewarnaan Ziehl-Neelsen3
2.4 Patogenesis
Penularan melalui kontak langsung antar kulit yang erat dan lama merupakan
anggapan klasik. Anggapan kedua ialah secara inhalasi dan melalui mukosa nasal, sebab
M. Leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Pengaruh M. Leprae terhadap
kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang.3
Bila basil M. Leprae masuk ke dalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis
sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung kepada sistem
imunitas seluler (SIS) penderita. SIS yang baik akan tampak gambaran klinis kearah
tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran lepromatosa.3
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang
mempunyai nama lain sel Kupffer di hati, sel alveolar di paru , sel glia dari otak, dan
yang dari kulit disebut histiosit. Salah satu tugas makrofag adalah melakukan fagositosis.
Kalau ada kuman masuk, akibatnya akan bergantung pada SIS. Apabila SIS-nya tinggi,
makrofag akan mampu memfagosit M. Leprae. Datangnya histiosit ke tempat kuman
disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau
datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus di fagosit, makrofag akan berubah
bentuk menjadi sel epiteliod yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut
tuberkel. Apabila SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M.
Leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan
disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut
penyebarluasan.3
3

Sebagai proteksi awal sebelum bakteri masuk ke dalam kulit, terutama


kompartemen imunologik bakteri tersebut harus melewati beberapa sawar, salah satunya
adalah berbagai mekanisme non-spesifik seperti sistem fagositosis yang diperankan
terutama oleh sel makrofag. Bakteri yang ditangkap oleh akan melalui beberapa proses
yang bertujuan untuk mengeliminasi bakteri, sehingga pada 95% individu yang terinfeksi
oleh M. Leprae tidak menimbulkan gejala klinis atau minimal hanya subklinis saja.
Setelah berbagai sawar nonspesifik tersebut gagal, maka barulah akan bekerja
mekanisme imunitas spesifik, melalui aktivasi sel-sel imunokompeten oleh stimulasi
antigan M. Leprae.3
2.5 Manifestasi Klinis
Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk
makula saja, infiltrat saja , atau keduanya. Kalau secara inspeksi mirip penyakit lain, ada
tidaknya anestesia sangat membantu penentuan diagnosis, meskipun tidak selalu jelas.
Hal ini mudah dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas
terhadap rasa raba dan kalau masih belum jelas dengan kedua cara tersebut barulah
pengujian terhadapa rasa suhu, yaitu panas dan dingin dengan menggunakan 2 tabung
reaksi.5
Dehidrasi diperhatikan di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak,
dipertegas dengan menggunakan pensil tinta. Cara mengoresnya mulai dari tengah lesi
kearah kulit normal. Diperhatikan juga ada atau tidak alopesia di daerah lesi.7
Pada pemeriksaan saraf perifer diperhatikan apakah ada pembesaran, konsistensi,
dan nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf superficial yang dapat dan perlu diperiksa
yaitu, N. Fasialis, N. Arikulus magnus, N. Ulnaris, N. Medianus, N. Radialis, N. Tibialis
posterior dan N Poplitea lateralis. Bagi tipe lepromataso, kelainan saraf biasanya
bilateral dan menyeluruh sedangkan bagi tipe tuberkuloid, kelainan sarafnya lebih
terlokalisasi mengikut tempat lesinya. 6
Deformitas pada kusta , dibagi menjadi deformitas primer dan sekunder.
Deformitas primer sebagai akibat langsung granuloma yang terbentuk sebagai reaksi
terhadap M. Leprae , yang mendesak dan merusak jaringan sekitarnya, yaitu kulit,
mukosa respiratorius bagian atas, tulang-tulang jari dan wajah. Deformitas sekunder
4

terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi
terutama kerana kerusakaan saraf.7
Gejala kerusakan saraf 7:
N. ulnaris

- anastesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis


- clawing kelingking dan jari manis
- atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis

N. medianus

medial
- anastesia pada ujung jari anterior ibu jari, telunjuk dan jari tengah
- tidak masuk aduksi ibu jari
- clawing ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah
- ibu jari kontraktur
- atrofi otot tenar dan otot lumbrikalis lateral
- anastesia dorsum manus serta ujung proksimal jari telunjuk

N. radialis

- tangan gantung (wrist drop)


N.

- tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan


poplitea - anastesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis

lateralis

- kaki gantung (foot drop)


- kelemahan otot peroneus
tibialis - anastesia telapak kaki

N.
posterior

- claw toes

N. Fasialis

- paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis


- cabang zigomatik dan temporal menyebabkan lagoftalmus
- cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan

N. Trigeminus

ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir


- anastesia kulit wajah, kornea dan konjugtiva mata

Kerusakan mata pada kusta dapat juga primer dan sekunder. Primer
mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan
mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya nervus fasialis yang dapat
membuat paralisis N. Orbikularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya,
mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagianbagian mata lainnya.9
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri ata kelenjar keringat,
kelenjar palit dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada
5

tipe lepromatosa dapat timbul ginekomestia akibat gangguan keseimbangan hormonal


dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis.5
Pada kusta, didapatkan 3 tanda kardinal, dimana jika salah satunya ada, sudah
cukup untuk menetapkan diagnosis dari penyakit kusta, yakni8 :
a). Lesi kulit yang anestesi
b). Penebalan saraf perifer
c). Ditemukannya M. Leprae sebagai bakteriologis positif.
Masa inkubasinya 40 hari 40 tahun (rata-rata 3 5 tahun). Onset terjadinya
perlahan-lahan dan tidak ada rasa nyeri. Pertama kali mengenai sistem saraf perifer
dengan parestesi dan baal yang persisten atau rekuren tanpa terlihat adanya gejala klinis.
Pada stadium ini mungkin terdapat erupsi kulit berupa makula dan bula yang bersifat
sementara. Keterlibatan sistem saraf menyebabkan kelemahan otot, atrofi otot, nyeri
neuritik yang berat, dan kontraktur tangan dan kaki.6
Gejala prodromal yang dapat timbul kadang tidak dikenali sampai lesi erupsi ke
kutan terjadi. 90% pasien biasanya mengalami keluhan pada pertama kalinya adalah rasa
baal, hilangnya sensori suhu sehingga tidak dapat membedakan panas dengan dingin.
Selanjutnya, sensasi raba dan nyeri, terutama dialami pada tangan dan kaki, sehingga
dapat terjadi kompliksi ulkus atau terbakar pada ekstremitas yang baal tersebut.1
Bagian tubuh lain yang dapat terkena kusta adalah daerah yang dingin, yaitu
daerah mata, testis, dagu, cuping hidung, daun telinga, dan lutut. Perubahan saraf tepi
yang terjadi dapat berupa (1) pembesaran saraf tepi yang asimetris pada daun telinga,
ulnar, tibia posterior, radial kutaneus, (2) Kerusakan sensorik pada lesi kulit (3)
Kelumpuhan nervus trunkus tanpa tanda inflamasi berupa neuropati, kerusakan sensorik
dan motorik, serta kontraktur (4) kerusakan sensorik dengan pola Stocking-glove (5)
Acral distal symmethric anesthesia (hilangnya sensasi panas dan dingin, serta nyeri dan
raba).8
2.6 Pemeriksaan fisik
1. Tuberculoid Leprosy (TT, BT)
Pada TT, imunitas masih baik,dapat sembuh spontan dan masih mampu
melokalisir sehingga didapatkan gambaran batas yang tegas. Mengenai kulit maupun
saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plak, dan pada bagian
tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central clearing. Permukaan lesi dapat
6

bersisik, dengan tepi yang meninggi. Dapat disertai penebalan saraf tepi yang biasanya
teraba.6
Kuman
BTA
merupakan

negatif
tanda

terdapatnya respon
imun yang adekuat
terhadap

kuman

kusta. Pada BT,


tidak

dapat

sembuh spontan, Lesi menyerupai tipe TT namun dapat disertai lesi satelit di tepinya.
Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit
atau skuama tidak sejelas TT. Gangguan saraf tidak berat dan asimetris.5
Gambar 2 : Lesi Tuberculoid leprosy, soliter, anesthetic, annular5
2. Borderline Leprosy
Pada tipe BB borderline,merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga
bentuk dimorfik. Lesi kulit berbentuk antara tuberculoid dan lepromatous. Terdiri dari
macula infiltratif, mengkilap, batas lesi kurang tegas, jumlah banyak melebihi tipe BT
dan cenderung simetris. Lesi bervariasi, dapat perbentuk punch out yang khas.. Pada tipe
ini terjadi anestesia dan berkurangnya keringat.8

Gambar 3: Borderline
Tuberculoid Leprosy,
gambaran anular inkomplit
dengan papul satelit8

3. Lepromatous
Leprosy
Tipe

BL,

secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit drngan cepat menyebar ke
seluruh badan. Makula lebih bervariasi bentuknya. Distribusi lesi hampir seimetris. Lesi
innfiltrat, dan plak seperti punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya
7

sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan hilangnya rambut lebih cepat


muncul. Penebalan saraf tepi teraba pada tempat predileksi.1
Tipe LL, jumlah lesi sangat banyak, nodul mencapai ukuran 2 cm, simetris,
permukaan halus, lebih eritematous, berkilap, berbatas tidak tegas dan pada stadium dini
tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Ditemukan juga lesi Dematofibroma-like
multipel, batas tegas, nodul eritema. Distribusi lesi khas pada wajah, mengenai dahi,
pelipis, dagu, cuping telinga. Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif
membentuk facies leonine. Kerusakan saraf menyebabkan gejalan stocking and glove
anesthesia.1
2.7 Penegakan Diagnosis
Diagnosis lepra biasanya atas dasar gambaran klinis dibantu oleh pemeriksaan BTA
dari lesi dan pemeriksaan histopatologis. Diagnosis lebih mudah dibuat jika stadium lanjut,
sebab jika stadium awal sulit.3
Tanda kardinal lepra:
1. Anesthesia: daerah yang terkena
2. Pembesaran saraf : pada tempat predileksi
3. Lesi kulit : lesi tuberkuloid pada pasien berkulit gelap, berwarna hipopigmentasi, baik
macular maupun infiltrative. Pada pasien berkulit terang earna lesi seperti tembaga
atau berwarna merah.3
4. pemeriksaan laboratorium (slit skin smears) pasa lesi lepra tipe lepromatosa dan
borderline ditemukan BTA.3
Diagnosis ditegakkan jika ditemukan 2 dari 3 tanda cardinal pertama, atau ditemukan BTA. 3
Untuk lebih mengingat tanda-tanda lepra, ada singkatan 6A: 3
1. Akromia: ada perubahan waarna kulit, dapat hipopigmentasi atau eritem. 3
2. Anestesi: ada rasa kebas / baal. Kesemutan pada lesi, dibuktikan dengan
sensitivitas. 3
3. Anhidrosis: pada lesi tidak berkeringat, dibuktikan dengan tes Gunawan. 3
4. Anosmia: penciuman berkurang atau ridak dapat mencium bau sama sekali
5. Alopesia: hilangnya rambut pada alis bagian lateral yang dikenal sebagai
madarosis. 3
6. Atrofi : dapat dilihat otot thenar dan hipothenar. 3
2.8 Pemeriksaan Penunjang
8

Pemeriksaan Laboratorium
Hitung sel darah lengkap
Glukosa darah, BUN, creatinine, fungsi hati
HIV status, terutama nonresponder
Kerokan kulit dan atau mukosa hidung untuk AFB
Keluarga dan atau screening kontak untuk bukti terjangkit

o
o
o
o
o

Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan


mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA ZIEHL NEELSON. 1,2
Pencitraan
Foto thorak
Foto rontgen untuk mendeteksi keterlibatan tulang
MRI atau CT dari sendi neurophatik saat diperlukan
Magnetic resonance (MR) neurography pada kondisi khusus
Ultrasonography dan Doppler ultrasonography
Tes Yang Lain
a. Tes Imunologi2
Lepromin test
Respon imun seluler melawan M leprae juga dapat dipelajari dengan lymphocyte
transformation test dan Lymphocyte Migration Inhibition Test (LMIT). Tes

berdasar pada deteksi antibody M lepra atau antigen.


Tes serologi: berdasarkan antibody yang terbentuk

yang spesifik terhadap

M.Leprae, yaitu antibody anti-phenolic glycolipid (PGL-1) dan antibody


antiprotein 16 kD serta 35 kD
b. DNA Recombinant dan Polymerase Chain Reaction (PCR)
c. Penyelidikan tentang abnormalitas konduksi saraf termasuk sebagai berikut6:

konduksi yang melambat secara segmental terlihat pada tempat-tempat


terperangkap (segmen siku dari saraf ulnaris), latensi distal memanjang,

berkurangnya (sensorik atau motorik) velositas konduksi saraf.


berkurangnya amplitude dari evoked motor responses (compound muscle action

potentials [CMAPs]) atau hilangnya amplitodo rendah dari potensial sensoris.


Saraf-saraf yang paling sering terlibat didalamnya adalah saraf ulnaris, peroneal,
median, dan saraf-saraf tibial.
9

Pemeriksaan penunjang pada ENL dapat berupa pemeriksaan laboratorium dan


pemeriksaan histopatologi4

Pada pemeriksaan laboratorium, dilakukan pemeriksaan protein dan sel darah


merah dalam urine yang dapat menunjukkan terjadinya glomerulonefritis akut.
Pada pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop, dapat terlihat kompleks imun
pada glomerulus ginjal. Pada pemeriksaan hematologi dapat ditemukan
leukositosis PMN, trombositosis, peninggian LED, anemia normositik normokrom

dan peninggian kadar gammaglobulin 2


Pemerikaan histologi, ENL akan menunjukkan inflamasi akut berupa lapisan
infiltrat pada inflamasi granulomatosa yang kronik dari BL dan LL. 6 Selain itu,
akan tampak peningkatan vaskularisasi dengan dilatasi kapiler pada dermis bagian
atas dan pada dermis bagian bawah terdapat infiltrasi lekosit polimorfonuklear
yang lokalisasinya di sekeliling pembuluh darah dan menyerang dinding
pembuluh darah. Terdapat pembengkakan dan edema endothelium vena, arteriole
dan arteri-artei kecil pada lasi ENL. Fragmen basil sedikit dan, terdapat di sekitar
pembuluh darah. Kerusakan dinding vaskuler ini mengakibatkan ekstravasasi
eritrosit.5

2.9 Penatalaksanaan
Adanya multi drug treatment (MDT) ini adalah sebagai usaha untuk , mencegah
dan mengobati resistensi, memerpendek masa pengobatan dan mempercepat pemutusan
mata rantai penularan. Untuk menyusun kombinasi obat perl diperhatikan antara lain:
efek teraptik obat, efek samping obat, harga obat dan kemungkinan penerapannya.8
DDS atau Dapsone
Pengertian MDT pada saat ini ialah DDS sebagai obat dasar ditambah
dengan obat-obat lain. Dosis DDS ialah 1-2mg/kg berat badan setiap hari. Dapson,
diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu menghalangi atau menghambat
pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan antagonis kompetitif dari paraaminobezoic

acid (PABA) dan mencegah penggunaan PABA untuk sintesis folat

oleh bakteri. Efek

samping

dari

dapson

hemolitik,leucopenia,insomnia, neuropatia perifer, sindrom

adalah

anemia

DDS,

nekrolisis

epidermal toksik, hepatitis, hipoalbuminemia, methemoglobinemia, skin rash,


anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, dan vertigo.7
10

Lamprene atau Clofazimin


Merupakan bakteriostatik dan dapat menekan reaksi kusta. Clofazimin bekerja
dengan menghambat siklus sel dan transpor dari NA/K ATPase.Dosis sebagai antikusta
ialah 50mg setiap hari atau 100mg selang sehari , atau 3x100mg setiap minggu. Bersifat
antiinflamasi dan dapat dipakai untuk pengobatan ENL dengan dosis 200-300mg/hari,
namun awitan kerja timbul seteah 2-3 minggu. Efek sampingnya adalah warna
kecoklatan pada kulit dan warna kekuningan pada sklera sehingga mirip ikterus. Hal ini
disebabkan zat warna klofazimin yang dideposit terutama pada sel system
retikuloendotelial, mukosa dan kulit. Efek samping hanya terjadi pada dosis tinggi
berupa gangguan gastrointestinal yaitu nyeri abdomen, nausea, diare, anokresia dan
vomitus. Perubahan warna mulai menghilang setelah 3 bulan obat dihentikan.5
Rifampicin
Rifampicin bersifat bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja
dengan cara menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan
berikatan pada subunit beta. Dosisnya ialah 10mg/kg berat badan; diberikan setiap hari
atau setiap bulan. Efek sampingnya adalah hepatotoksik,nefrotoksik, gejala
gastrointestinal, flu-like syndrome dan erupsi kulit.7
Ofloksasin
Merupakan turunan flurokuinolon yang paling aktif terhadap Mycobacterium
Leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam
22 dosis akan membunuh kuman Myocobacterium leprae hidup sebesar 99.99%. Efek
sampingnya adalah mual, diare dan gangguan saluran cerna lainnya, berbagai gangguan
susunan saraf pusat termasuk imsonia, nyeri kepala , dizziness, nervousness dan
halusinasi. Penggunaan pada anak, remaja, wanita hamil dan menyusui harus hati-hati,
karena pada hewan muda kuinolon menyebabkan artropati.8
Minosiklin
Termasuk kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi dari
klaritromisin, tetapi lebih rendah dari rifampisin. Dosis standar harian 100mg. Efek
sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang menyebabkan
hiperpigmentasi kulit dan membrane mukosa, berbagai simtom saluran cerna dan
susunan saraf pusat termasuk dizziness dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak dianjurkan
untuk anak-anak atau selama kehamilan.2
Klaritromisin
Merupakan kelompok antibiotic makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal
terhadap Mycobacterium Leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta
11

lepromatosa, dosis harian 500mg dapat membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari dan
lebih dari 99.9% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, voitus dan diare yang
terbukti sering ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000mg.3
Kombinasi obat ini diberikan 2 tahun sampai 3 tahun dengan syarat bakterioskopis harus
negetif. Apabila bakterioskopis masih positif, pengobatan dilanjutkan sampai bakterioskopis
negetif. Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan secara
bakterioskopis minimal setiap 3 bulan. Penghentian pemberian obat lazim disebut Release
From Treatment (RFT). Setelah RFT dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan
secara klinis dan bakterioskopis minimal setiap tahun selama 5 tahun. Kalau bakterioskopis
tetap negatif dan klinis tidak ada keaktifan baru, maka dinyatakan Release From Control
(RFC).5
Berdasarkan klasifikasi WHO (1997) untuk kepentingan pengobatan, penderita kusta
dibagi menjadi 3 grup, yaitu pausibasilar dengan lesi tunggal, pausibasilar dengan lesi 2-5
buah , dan penderita multibasilar dengan lesi lebih dari 5 buah. Sebagai standar pengobatan,
WHO Expert Committee pada tahun 1998 telah memperpendek masa pengobatan untuk
kasus MB menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan, sedangkan pengobatan untuk kasus PB
dengan lesi kulit 2-5 buah tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan. Bagi kasus PB dengan lesi tunggal
pengobatan adalah rifampisin 600 mg ditambah dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin
100 mg (ROM) dosis tunggal.8
Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh
WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan menjadi8:
1. Pausi Basiler (PB)
2. Multi Basiler (MB)
Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= Multi Drug Treatment. Kegunaan MDT
untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat, mengatasi ketidakteraturan
penderita dalam berobat, menurunkan angka putus obat pada pemakaian monoterapi Dapson,
dan dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.7
Regimen Pengobatan Kusta tersebut PB dengan lesi tunggal diberikan ROM (Rifampicin
Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat sekali saja langsung RFT/=Release From Treatment.
Obat diminum di depan petugas. Anak-anak Ibu hamil tidak di berikan ROM. Bila obat ROM
belum tersedia di Puskesmas diobati dengan regimen pengobatan PB lesi (2-5).Bila lesi
tunggal dgn pembesaran saraf diberikan: regimen pengobatan PB lesi (2-5).7

12

Tabel 1 : Regimen pengobatan kusta dengan lesi tunggal (ROM) menurut


WHO/DEPKES RI8
Rifampicin

Ofloxacin

Minocyclin

Dewasa (50-70 kg)

600 mg

400 mg

100 mg

Anak (5-14 th)

300 mg

200 mg

50 mg

PB dengan lesi 2 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-9)
bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti
minum obat.
Tabel 2: Regimen MDT pada kusta Pausibasiler (PB)1
Rifampicin
Dewasa

Dapson

600 mg/bulan Diminum di100


depan petugas kesehatan

Anak-anak (10-14 th)

diminum

di

mg/hari

diminum

di

rumah

450 mg/bulan Diminum di50


depan petugas kesehatan

mg/hr

rumah

Tabel 3 :Regimen MDT pada kusta Multibasiler (MB)1

Dewasa

Rifampicin

Dapson

600mg/bulan

100

Lamprene
mg/hari300 mg/bulan diminum

diminum di depandiminum di rumah

di

petugas kesehatan

kesehatan
dgn

depan
50

petugas
dilanjutkan
mg/hari

diminum di rumah

13

Anak-anak
(10-14 th)

450

mg/bulan50 mg/hari diminum150 mg/bulan diminum

diminum di depandi rumah

di

depan

petugas

kesehatan

petugas
dilanjutkan

dg 50 mg selang sehari
diminum di rumah

Pengobatan reaksi kusta.


Pengobatan ENL
Obat yang sering dipakai adalah tablet kortikosteroid, yaitu prednisone dengan
dosis 15-30 mg/ hari. Dosis dapat dinaikkan sesuai dengan berat penyakit dan pada
penyakit yang ringan sebaiknya tidak diberikan kortikosteroid. Apabila terdapat
perbaikan, dosis kortikosteroid diturunkan secara tapering off. Selain itu dapat diberikan
analgesik-antipiretik dan sedatif, dan jika perlu dirawat inap. Thalidomide merupakan
obat pilihan pertama, namun mempunyai efek teratogenik. Pada saat ini , obat ini sudah
tidak diproduksi dan didapat di Indonesia. Klofazimin dengan dosis 200-300mg/ hari
dapat dipakai untuk pengobatan ENL. Klofazimin dapat dipakai untuk lepas dari
ketergantungan kortikosteroid.6
Pengobatan reaksi reversal
Kalau ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid, yang dosisnya
disesuaikan dengan berat ringan neuritis. Biasanya diberikan prednisone 40-60 mg per
hari dan kemudian diturunkan perlahan-lahan. Anggota gerak yang terkena neuritis akut
harus direhatkan. Analgesik dan sedatif kalau diperlukan dapat diberikan. Klofazimin
untuk reaksi reversal kurang efektif, oleh karena itu jarang atau tidak pernah dipakai,
begitu juga talidomid tidak efektif terhadap reaksi reversal.8
Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka dapat timbul kecacatan berupa
kelumpuhan yang permanen seperti claw hand, drop foot, claw toes, dan kontraktur. Untuk
mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan pengobatan Prinsip pengobatan Reaksi Kusta
yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan sedatif, pemberian obat-obat
anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.8
Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan obatobat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 31 selama 3-5 hari, dan
MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.8
Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik dan
sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah. Obat-obat anti reaksi,
14

Aspirin dengan dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4 6x/hari ) , Klorokuin dengan dosis 3 x
150 mg/hari, Antimon yaitu stibophen (8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-3 ml secara
selang-seling dan dosis total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai oleh karena
toksik. Thalidomide juga jarang dipakai, terutama pada wanita (teratogenik ). Dosis 400
mg/hari kemudian diturunkan sampai mencapai 50 mg/hari.8
Pemberian Kortikosteroid, dimulai dengan dosis tinggi atau sedang.Digunakan
prednison atau prednisolon. Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari lebih baik
walaupun dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-lahan (tapering off)
setelah terjadi respon maksimal.8

Gambar: Regimen MDT


2.10 Komplikasi
Penderita kusta yang lambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT berisiko tinggi
untuk terjadi kerusakan saraf, terutama reaksi reversal, lesi kulit multiple dan dengan saraf
yang membesar dan nyeri juga berisiko.2 kerusakan saraf ireversibel terutama berbentuk
nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan berkurangnya kekuatan otot. kolaps pada hidung
merupakan bentuk kontraktur dari jaringan parut yang mana digantikan oleh tulang dan
kartilago.5
Kecacatan pada mata: adanya keratitis dapat menyebabkan mata kering, insensitive
kornea, lagoftalmus, lesi COA,umumnya dapat terjadi iritis bahkan dapat menyebabkan
kebutaan.5
Rehabilitasi
Usaha terbaik untuk cacat tubuh adalah dengan jalan operasi dan fisioterapi.
Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, tetap fungsinya dan secara kosmetik
15

diperbaiki.2 cara lain adalah member pekerjaan sesuai

cacat tubuhnya, selain itu dapat

diberikan terapi kejiwaan.2


2.11 Pencegahan
Cara terbaik untuk pencegahan cacat adalah dengan melaksanakan diagnosis dini
kusta, pemberian pengobatan MDT cepat dan tepat. Mengenali tanda dan gejala reaksi kusta
yang disertai gangguan saraf serta pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin. Bila
terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana mengenai memakai
sepatu pelindung kaki yang terkena. Memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda tajam
dan panas, dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan cara
perawatan kulit sehari-hari. hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka,
ulkus, setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan diminyaki agar tidak pecah dan
kering.2 Protocol untuk mengontrol lepra dengan vaksinasi yang biasanya terdiri dari Bacille
Calmette-Guerin (BCG), BCG yang hidup dan kombinasi dengan BCG yang sudah mati,
hampir beberapa penelitian mendukung penurunan insidensi lepra. Kira-kira 1/3 kasus
tuberculosis. cara pencegahan lainnya seperti isolasi pasien atau terapi antibiotic pada pasien
yang kontak lepra.5
2.12 Prognosis
Jika tidak diterapi dengan baik, hanya pasien dengan tipe TT, BT yang akan
mengalami reaksi upgreading menjadi TT, jika tidak maka akan berkembang menjadi
kerusakan saraf, dan keadaan reaksional. BT, BB, dan LL akan mengalami downgrade. Dan
BL dan LL akan mengalami reaksi berkembang menjadi ENL.5
Dengan

adanya

obat-obat

kombinasi,

pengobatan

menjadi

lebih

sederhana dan lebih singkat, serta prognosis menjadi lebih baik.Jika sudah ada
kontraktur dan ulkus kronik, prognosis menjadi kurang baik.9

16

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Reaksi kusta hampir selalu terjadi pada penderita kusta baik sebelum pengobatan,
sedang dalam pengobatan dan sesudah pengobatan. Reaksi kusta ini dibagi menjadi 2, yaitu :
reaksi tipe I atau reaksi reversal dan reaksi tipe II atau reaksi ENL dengan manifestasi klinis
yang jelas.
Walaupun reaksi kusta ini sangat sering ditemukan namun etiologinya masih belum jelas.
Beberapa factor pencetus diduga berkaitan dengan angka kejadian reaksi ini, seperti : setelah
17

pengobatan antikusta yang intensif, stress fisik / psikis, imunisasi, kehamilan, persalinan,
menstruasi, infeksi, trauma, dll.
Reaksi ENL terutama terjadi pada tipe lepromatosa (LL) dan borderline lepromatosa
(BL). Reaksi ini ditandai dengan adanya nodus eritematosa yang nyeri, terutama di
ekstremitas, dan beberapa gejala prodormal dan gejala sistemik.
Penatalaksanaan dari reaksi ini ditujukan untuk mengatasi neuritis, mencegah paralisis
dan kontraktur, mengatasi gangguan mata, dan disarankan untuk istirahat atau imobilisasi.
Diharapkan dengan penatalaksanaan yang baik dan cepat, dapat mengurangi kecacatan
permanen yang dapat terjadi pada penderita kusta.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonymous. WHO Guidelines for the Management of Severe Erythema


Nodosum Leprosum (ENL) Reaction. Access September 1, 2016. Diunduh
dari URL:// www.who.int/lep/research/WHOenlguide.pdf
2. Desimone E.M et al . Leprosy : An new look

at

old

disease

http://legacy.uspharmacist.com/index.asp?
show=article&page=8_1649.htm.
Pada tanggal 4 September 2016
3. Prakash Chaitra dan Bhat R.M. Leprosy: An overview of pathophysiology.
http://www.hindawi.com/journals/ipid/2012/181089/.
September 2016.

18

pada

tanggal

4. Rea TH,Modlin RL. Leprosy. In: Freedberg M, Eisen AZ, Wolff K, Austen
KF,Goldsmith LA, Katz SI, et al, editors. Fitzpatrick's dermatology in
general medicine. 6th ed. New York: McGraw-Hill; 2003.p.1791-96
5. S Chauhan MD, S D'Cruz MD DM, H Mohan MD, R Singh MD, J Ram MD, A
Sachdev MD DM in Type II lepra reaction: An unusual presentation,
Dermatology Online Journal: 2006.
6. Smith
D.S.
Leprosy
http://emedicine.medscape.com/article/220455overview#a0104, pada tanggal 2 September 2016.
7. Sridharan R, Lorenzo NZ. Neuropathy of leprosy. 2007. Diunduh dari URL://
http://emedicine.medscape.com/article/1171421-overview

pada

tanggal

September 2016
8. WHO.

Leprosy

elimination

classification

http://www.who.int/lep/classification/en/index.html.

of

leprosy.

Akses pada september 3,

2016.
9. Wolff Klaus, Doldsmith, Stevern, Barbara. Fitzpatricks Dermatology in General
Medicine 7th ed. International Journal of Leprosy. 2005 Desember [cited 2016
september4]. available in : http://www.leprosy-ila.org/leprosyjournal/pdf/73/i1544581X-73-4.pdf

19

Anda mungkin juga menyukai