PENDAHULUAN
Kusta adalah penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium Leprae
yang bersifat obligat intraseluler, saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa
traktus respiratorius bagaian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. 2
Penderita kusta dapat mengalami reaksi kusta. Istilah reaksi kusta digunakan untuk
menggambarkan berbagai gejala dan tanda radang akut pada lesi dalam perjalanan penyakit
yang kronis.2
Reaksi ini menyebabkan gangguan dalam keseimbangan sistem imunologi. Reaksi
kusta dibagi menjadi dua yaitu reaksi tipe I atau reaksi reversal yang disebabkan karena
meningkatnya kekebalan seluler secara cepat dan reaksi tipe II atau reaksi erythema nodosum
leprosum (ENL) yang merupakan reaksi humoral yang ditandai dengan timbulnya nodul
kemerahan, neuritis, gangguan saraf, dll. 1
M. Leprae menginfeksi sel Schwann dari saraf perifer sehingga menyebabkan
kerusakan saraf dan menyebabkan disabilitas. Walaupun terdapat penurunan prevalensi
infeksi M. Leprae pada negara yang endemis setelah implementasi multidrug therapy , kasus
baru yang dideteksi masih tinggi , menunjukkan adanya transmisi yang aktif.7
Kerentanan terhadap mycobakterium dan gejala klinis bergantung kepada respon
imun penderita . Penderita dengan respon imun yang baik menunjukkan gejala kea rah tipe
tuberkuloid sementara penderita dengan sistem imun yang buruk menunjukkan gejala kearah
lepromatosa.5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas
pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ
lain kecuali susunan saraf pusat.1
2.2 Epidemiologi
Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di folikel rambut,
kelenjar keringat, air susu dan jarang di dapat di dalam urin. Sputum dapat mengandung
banyak M.leprae yang berasal dari mukosa traktus respiratorius bagian atas. Tempat
implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama. Dapat menyerang semua umur,
anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak
dibawah umur 14 tahun didapatkan Error: Reference source not found 13% tetapi anak
dibawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur
anatar 25-35 tahun.2
Kusta terdapat dimana-mana terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin , daerah
tropis dan subtropics, serta masyarakat yang sosiol ekonominya rendah. Makin
rendah sosial ekonomi makin berat penyakitnya, sebaliknya faktor sosial ekonomi tinggi
sangat membantu penyembuhan. Ada variasi reaksi terhadap infeksi M. Leprae yang
mengakibatkan varian gambaran klinis (spektrum dan lain-lain) di pelbagai suku
bangsa.2
Walaupun penyakit ini masih merupakan problem kesehatan masyarakat di 55
negara atau wilayah, 91% dari jumlah kasus berada di 16 negara , dan 82% nya di 5
negara yaitu Brazil, India , Indonesia , Myanmar dan Nigeria. Kasus yang terdaftar pada
permulaan tahun 2009 tercatat 213.036 penderita yang berasal dari 121 negara,
sedangkan jumlah kasus baru tahun 2008 baru tercatat 249.0007. Di Indonesia,distribusi
tidak merata, yang tertinggi antara lain di Pulau Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Prevalensi pada tahun 2008 per 10.000 penduduk adalah 0,73.2
2
2.3 Etiologi
Kuman penyebab adalah Myocobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A
HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dibiakkan
dalam media artifisial . M. Leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8Um x 0.5 Um,
tahan asam dan alkohol serta Gram-positif.3
terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi
terutama kerana kerusakaan saraf.7
Gejala kerusakan saraf 7:
N. ulnaris
N. medianus
medial
- anastesia pada ujung jari anterior ibu jari, telunjuk dan jari tengah
- tidak masuk aduksi ibu jari
- clawing ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah
- ibu jari kontraktur
- atrofi otot tenar dan otot lumbrikalis lateral
- anastesia dorsum manus serta ujung proksimal jari telunjuk
N. radialis
lateralis
N.
posterior
- claw toes
N. Fasialis
N. Trigeminus
Kerusakan mata pada kusta dapat juga primer dan sekunder. Primer
mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan
mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya nervus fasialis yang dapat
membuat paralisis N. Orbikularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya,
mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagianbagian mata lainnya.9
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri ata kelenjar keringat,
kelenjar palit dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada
5
bersisik, dengan tepi yang meninggi. Dapat disertai penebalan saraf tepi yang biasanya
teraba.6
Kuman
BTA
merupakan
negatif
tanda
terdapatnya respon
imun yang adekuat
terhadap
kuman
dapat
sembuh spontan, Lesi menyerupai tipe TT namun dapat disertai lesi satelit di tepinya.
Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit
atau skuama tidak sejelas TT. Gangguan saraf tidak berat dan asimetris.5
Gambar 2 : Lesi Tuberculoid leprosy, soliter, anesthetic, annular5
2. Borderline Leprosy
Pada tipe BB borderline,merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga
bentuk dimorfik. Lesi kulit berbentuk antara tuberculoid dan lepromatous. Terdiri dari
macula infiltratif, mengkilap, batas lesi kurang tegas, jumlah banyak melebihi tipe BT
dan cenderung simetris. Lesi bervariasi, dapat perbentuk punch out yang khas.. Pada tipe
ini terjadi anestesia dan berkurangnya keringat.8
Gambar 3: Borderline
Tuberculoid Leprosy,
gambaran anular inkomplit
dengan papul satelit8
3. Lepromatous
Leprosy
Tipe
BL,
secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit drngan cepat menyebar ke
seluruh badan. Makula lebih bervariasi bentuknya. Distribusi lesi hampir seimetris. Lesi
innfiltrat, dan plak seperti punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya
7
Pemeriksaan Laboratorium
Hitung sel darah lengkap
Glukosa darah, BUN, creatinine, fungsi hati
HIV status, terutama nonresponder
Kerokan kulit dan atau mukosa hidung untuk AFB
Keluarga dan atau screening kontak untuk bukti terjangkit
o
o
o
o
o
2.9 Penatalaksanaan
Adanya multi drug treatment (MDT) ini adalah sebagai usaha untuk , mencegah
dan mengobati resistensi, memerpendek masa pengobatan dan mempercepat pemutusan
mata rantai penularan. Untuk menyusun kombinasi obat perl diperhatikan antara lain:
efek teraptik obat, efek samping obat, harga obat dan kemungkinan penerapannya.8
DDS atau Dapsone
Pengertian MDT pada saat ini ialah DDS sebagai obat dasar ditambah
dengan obat-obat lain. Dosis DDS ialah 1-2mg/kg berat badan setiap hari. Dapson,
diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu menghalangi atau menghambat
pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan antagonis kompetitif dari paraaminobezoic
samping
dari
dapson
adalah
anemia
DDS,
nekrolisis
lepromatosa, dosis harian 500mg dapat membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari dan
lebih dari 99.9% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, voitus dan diare yang
terbukti sering ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000mg.3
Kombinasi obat ini diberikan 2 tahun sampai 3 tahun dengan syarat bakterioskopis harus
negetif. Apabila bakterioskopis masih positif, pengobatan dilanjutkan sampai bakterioskopis
negetif. Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan secara
bakterioskopis minimal setiap 3 bulan. Penghentian pemberian obat lazim disebut Release
From Treatment (RFT). Setelah RFT dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan
secara klinis dan bakterioskopis minimal setiap tahun selama 5 tahun. Kalau bakterioskopis
tetap negatif dan klinis tidak ada keaktifan baru, maka dinyatakan Release From Control
(RFC).5
Berdasarkan klasifikasi WHO (1997) untuk kepentingan pengobatan, penderita kusta
dibagi menjadi 3 grup, yaitu pausibasilar dengan lesi tunggal, pausibasilar dengan lesi 2-5
buah , dan penderita multibasilar dengan lesi lebih dari 5 buah. Sebagai standar pengobatan,
WHO Expert Committee pada tahun 1998 telah memperpendek masa pengobatan untuk
kasus MB menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan, sedangkan pengobatan untuk kasus PB
dengan lesi kulit 2-5 buah tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan. Bagi kasus PB dengan lesi tunggal
pengobatan adalah rifampisin 600 mg ditambah dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin
100 mg (ROM) dosis tunggal.8
Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh
WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan menjadi8:
1. Pausi Basiler (PB)
2. Multi Basiler (MB)
Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= Multi Drug Treatment. Kegunaan MDT
untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat, mengatasi ketidakteraturan
penderita dalam berobat, menurunkan angka putus obat pada pemakaian monoterapi Dapson,
dan dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.7
Regimen Pengobatan Kusta tersebut PB dengan lesi tunggal diberikan ROM (Rifampicin
Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat sekali saja langsung RFT/=Release From Treatment.
Obat diminum di depan petugas. Anak-anak Ibu hamil tidak di berikan ROM. Bila obat ROM
belum tersedia di Puskesmas diobati dengan regimen pengobatan PB lesi (2-5).Bila lesi
tunggal dgn pembesaran saraf diberikan: regimen pengobatan PB lesi (2-5).7
12
Ofloxacin
Minocyclin
600 mg
400 mg
100 mg
300 mg
200 mg
50 mg
PB dengan lesi 2 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-9)
bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti
minum obat.
Tabel 2: Regimen MDT pada kusta Pausibasiler (PB)1
Rifampicin
Dewasa
Dapson
diminum
di
mg/hari
diminum
di
rumah
mg/hr
rumah
Dewasa
Rifampicin
Dapson
600mg/bulan
100
Lamprene
mg/hari300 mg/bulan diminum
di
petugas kesehatan
kesehatan
dgn
depan
50
petugas
dilanjutkan
mg/hari
diminum di rumah
13
Anak-anak
(10-14 th)
450
di
depan
petugas
kesehatan
petugas
dilanjutkan
dg 50 mg selang sehari
diminum di rumah
Aspirin dengan dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4 6x/hari ) , Klorokuin dengan dosis 3 x
150 mg/hari, Antimon yaitu stibophen (8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-3 ml secara
selang-seling dan dosis total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai oleh karena
toksik. Thalidomide juga jarang dipakai, terutama pada wanita (teratogenik ). Dosis 400
mg/hari kemudian diturunkan sampai mencapai 50 mg/hari.8
Pemberian Kortikosteroid, dimulai dengan dosis tinggi atau sedang.Digunakan
prednison atau prednisolon. Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari lebih baik
walaupun dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-lahan (tapering off)
setelah terjadi respon maksimal.8
adanya
obat-obat
kombinasi,
pengobatan
menjadi
lebih
sederhana dan lebih singkat, serta prognosis menjadi lebih baik.Jika sudah ada
kontraktur dan ulkus kronik, prognosis menjadi kurang baik.9
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Reaksi kusta hampir selalu terjadi pada penderita kusta baik sebelum pengobatan,
sedang dalam pengobatan dan sesudah pengobatan. Reaksi kusta ini dibagi menjadi 2, yaitu :
reaksi tipe I atau reaksi reversal dan reaksi tipe II atau reaksi ENL dengan manifestasi klinis
yang jelas.
Walaupun reaksi kusta ini sangat sering ditemukan namun etiologinya masih belum jelas.
Beberapa factor pencetus diduga berkaitan dengan angka kejadian reaksi ini, seperti : setelah
17
pengobatan antikusta yang intensif, stress fisik / psikis, imunisasi, kehamilan, persalinan,
menstruasi, infeksi, trauma, dll.
Reaksi ENL terutama terjadi pada tipe lepromatosa (LL) dan borderline lepromatosa
(BL). Reaksi ini ditandai dengan adanya nodus eritematosa yang nyeri, terutama di
ekstremitas, dan beberapa gejala prodormal dan gejala sistemik.
Penatalaksanaan dari reaksi ini ditujukan untuk mengatasi neuritis, mencegah paralisis
dan kontraktur, mengatasi gangguan mata, dan disarankan untuk istirahat atau imobilisasi.
Diharapkan dengan penatalaksanaan yang baik dan cepat, dapat mengurangi kecacatan
permanen yang dapat terjadi pada penderita kusta.
DAFTAR PUSTAKA
at
old
disease
http://legacy.uspharmacist.com/index.asp?
show=article&page=8_1649.htm.
Pada tanggal 4 September 2016
3. Prakash Chaitra dan Bhat R.M. Leprosy: An overview of pathophysiology.
http://www.hindawi.com/journals/ipid/2012/181089/.
September 2016.
18
pada
tanggal
4. Rea TH,Modlin RL. Leprosy. In: Freedberg M, Eisen AZ, Wolff K, Austen
KF,Goldsmith LA, Katz SI, et al, editors. Fitzpatrick's dermatology in
general medicine. 6th ed. New York: McGraw-Hill; 2003.p.1791-96
5. S Chauhan MD, S D'Cruz MD DM, H Mohan MD, R Singh MD, J Ram MD, A
Sachdev MD DM in Type II lepra reaction: An unusual presentation,
Dermatology Online Journal: 2006.
6. Smith
D.S.
Leprosy
http://emedicine.medscape.com/article/220455overview#a0104, pada tanggal 2 September 2016.
7. Sridharan R, Lorenzo NZ. Neuropathy of leprosy. 2007. Diunduh dari URL://
http://emedicine.medscape.com/article/1171421-overview
pada
tanggal
September 2016
8. WHO.
Leprosy
elimination
classification
http://www.who.int/lep/classification/en/index.html.
of
leprosy.
2016.
9. Wolff Klaus, Doldsmith, Stevern, Barbara. Fitzpatricks Dermatology in General
Medicine 7th ed. International Journal of Leprosy. 2005 Desember [cited 2016
september4]. available in : http://www.leprosy-ila.org/leprosyjournal/pdf/73/i1544581X-73-4.pdf
19