menurunkan temperaturnya hingga di bawah titik beku air. Hal ini berlawanan dengan
pemrosesan termal, di mana makanan dipaparkan ke temperatur tinggi dan memicu tegangan
termal terhadap makanan, dapat mengakibatkan hilangnya nutrisi, perubahan rasa, tekstur,
dan sebagainya, atau pemrosesan kimia dan fermentasi yang dapat mengubah sifat fisik dan
kimia makanan. Makanan beku umumnya tidak mengalami hal itu semua; membekukan
makanan cenderung menjaga kesegaran makanan. Makanan beku menjadi favorit konsumen
melebihi makanan kaleng atau makanan kering, terutama di sektor hasil peternakan (daging
dan produk susu), buah-buahan, dan sayur-sayuran.
Hampir semua jenis bahan makanan dapat dibekukan (bahan mentah, setengah jadi, hingga
makanan siap konsumsi) dengan tujuan pengawetan. Proses pembekuan makanan melibatkan
pemindahan panas dari produk makanan. Hal ini akan menyebabkan membekunya kadar air
di dalam makanan dan menyebabkan berkurangnya aktivitas air di dalamnya. Menurunnya
temperatur dan menghilangnya ketersediaan air menjadi penghambat utama pertumbuhan
mikroorganisme dan aktivitas enzim di dalam produk makanan, menyebabkan makanan
menjadi lebih awet dan tidak mudah membusuk. Keunggulan dari teknik pembekuan
makanan adalah semua hal tersebut dapat dicapai dengan mempertahankan kualitas makanan
seperti nilai nutrisi, sifat organoleptik, dan sebagainya.
Sejarah
Teknik pembekuan makanan sudah dikenal sejak lama sekali, sedangkan teknik pembekuan
dengan campuran garam-es diperkenalkan pada tahun 1800an di dua tempat, yaitu di Inggris
(oleh H. Benjamin pada tahun 1842) dan di Amerika Sarikat (oleh Enoch Piper pada tahun
1861) yang keduanya memanfaatkannya untuk mendinginkan ikan. Komersialisasi teknik
pembekuan makanan baru dimulai di akhir abad ke 19 ketika alat pendingin mekanis, yang
saat ini disebut dengan lemari es, ditemukan. Dan di pertengahan abad ke 20, makanan beku
mulai ikut bersaing dengan makanan kalengan dan makanan kering.[1]
Proses pembekuan
Ketika makanan dipaparkan ke temperatur dingin, produk makanan tersebut akan kehilangan
panas akibat laju pindah panas yang terjadi dari makanan ke medium bertemperatur rendah di
sekitarnya. Permukaan makanan akan mengalami penurunan temperatur lebih cepat
dibandingkan dengan bagian dalamnya.
Jumlah air yang membeku dalam produk makanan tergantung pada temperatur pembekuan;
kandungan campuran zat makanan amat memengaruhi hal tersebut. Umumnya, semakin cair
suatu bahan makanan, jumlah air yang membeku akan semakin banyak. Tetapi, kuning telur
masih menyisakan lebih dari 20 persen air meski sudah didinginkan hingga minus 40oC. Hal
ini dikarenakan kandungan protein yang tinggi yang terlarut dalam air. Kekurangan teknik
pembekuan adalah sulitnya membekukan kandungan air yang ada dalam bahan makanan
secara sempurna sehingga masih menyisakan risiko pertumbuhan mikroorganisme; untuk
mengatasinya diperlukan pendinginan lebih jauh lagi untuk menghentikan aktivitas enzim
mikroorganisme dan/atau membekukan lebih banyak air, namun hal itu tidaklah ekonomis.
Semua produk makanan mengandung berbagai jenis zat terlarut. Sangat sulit untuk
menentukan pada temperatur berapa seluruh air dalam produk makanan akan membeku,
dikarenakan keberadaan zat terlarut dalam makanan menurunkan titik beku.
Laju pendinginan yang memengaruhi waktu pembekuan yang diperlukan produk makanan
kualitas produk makanan dapat didefinisikan oleh selisih antara temperatur awal produk
makanan dan temperatur akhir pembekuan dibagi dengan waktu. (oC/s). Dapat juga
didefinisikan dengan rasio dari selisih antara temperatur permukaan dan temperatur bagian
dalam produk makanan dengan waktu yang dibutuhkan bagi permukaan produk makanan
untuk mencapai temperatur 0oC dan bagian dalam produk makanan untuk mencapai
temperatur -5oC.
Perkiraan waktu pembekuan adalah faktor utama dalam melakukan pembekuan makanan.
Waktu pembekuan menentukan kapasitas alat pendingin yang dibutuhkan dalam melakukan
pembekuan.
Faktor yang memengaruhi lamanya proses pembekuan adalah konduktivitas termal, kalor
jenis, ketebalan, massa jenis, dan luas permukaan produk makanan serta selisih temperatur
antara produk makanan dengan medium pendinginan dan resistansi laju pindah panas.
Perkiraan waktu pembekuan semakin sulit dilakukan karena konduktivitas termal, massa
jenis, dan kalor jenis produk makanan bervariasi bergantung pada temperatur awal, ukuran,
dan bentuk dari makanan.
Semakin besar ukuran produk makanan, waktu yang dibutuhkan untuk melakukan
pembekuan akan semakin lama. Hal ini dikarenakan meningkatnya kalor laten dan jumlah
kalor yang harus dipindahkan. Peningkatan ukuran makanan juga meningkatkan resistansi
internal terhadap laju pindah panas, sehingga membutuhkan waktu lebih lama dalam
pembekuan.
Alat pembekuan
Tipe peralatan yang digunakan untuk produk tertentu ditentukan oleh berbagai faktor.
Sensivitas produk, ukuran, dan bentuk produk makanan serta kualitas akhir yang diperlukan,
laju produksi, ketersediaan ruang, kapasitas investasi, tipe media pendinginan yang
digunakan, dan sebagainya. Peralatan pembekuan secara umum dapat dikelompokan sebagai
berikut:
Memanfaatkan media udara sebagai media pendinginan; udara dalam temperatur yang
sangat dingin digunakan dalam mendinginkan produk makanan. Air blast, spray
udara, fluidized bed juga termasuk dalam metode tersebut.
Menggunakan cairan sebagai coolant. Dalam hal ini, cairan yang bertemperatur
sangat rendah, titik didih yang rendah, serta memiliki konduktivitas termal yang
tinggi digunakan dalam mendinginkan produk makanan. Cairan disemprotkan ke
produk atau produk direndam ke dalam cairan. Termasuk dalam metode ini adalah
cryogenic.
yang sangat rendah, yaitu -196oC, sedangkan karbon dioksida cair memiliki titik didih -79oC.
Cryogen cenderung tidak berbau, tidak berwarna, dan inert sehingga tidak akan bereaksi
dengan bahan makanan padat walau pendinginan dilakukan dalam keadaan tanpa dikemas
dan memengaruhi kualitas makanan kecuali terhadap temperatur dinginnya itu sendiri. Selain
itu, cryogen memiliki laju transfer panas yang lebih tinggi dibandingkan dengan cairan
pendingin lainnya.
Pada proses pembekuan dengan cryogenic, pendinginan awal perlu dilakukan untuk
mencegah keretakan akibat turunnya temperatur secara drastis karena volum produk makanan
mengalami perubahan volum yang sangat cepat ketika terendam dalam cryogen.
Mempertahankan temperatur sangat mungkin karena cryogen yang menguap memiliki
koefisien transfer kalor konvektif yang sangat tinggi.
Modifikasi terbaru dari pendingin cryogenic adalah pendingin cryomechanical yang
menggabungkan metode perendaman produk dalam cairan cryogen dan metode mekanik
yaitu menggunakan konveyor tipe sprayer, spiral, ataupun belt yang memanfaatkan uap
cryogen. Hal ini akan mengurangi waktu pendinginan, mengurangi hilangnya berat produk
makanan, meningkatkan kualitas produk, dan meningkatkan efisiensi.[6]
tingkat kelembaban menuju wilayah yang bertekanan lebih rendah akibat kontak langsung
dengan media pendinginan.
Cracking atau terbentuknya retakan pada permukaan hingga bagian dalam produk juga bisa
terjadi, terutama ketika produk makanan dibekukan dengan cara direndam ke dalam cairan
pendingin atau cryogen yang menyebabkan terbentuknya lapisan beku di permukaan
makanan. Lapisan ini melawan peningkatan volume dari dalam sehingga produk akan
mengalami stress di bagian dalamnya. Jika lapisan beku yang terbentuk cukup rapuh, akan
terjadi retakan. Sifat produk seperti porositas, ukuran, modulus elastisitas, dan densitas amat
memengaruhi terjadinya keretakan tersebut. Perubahan densitas terjadi akibat bertambahnya
volume, dan ini bisa ditangani dengan pendinginan dalam kondisi tekanan tinggi.
Kalor jenis
(kJ/kg K)
1,88
1,96
1,96
1,92
1,76
2,0
1,88
1,67
1,67
1,42
2,05
1,67
Kalor laten
(kJ/kg)
280
296,8
305,1
288,4
255
305,1
292,6
275,9
255
108,7-221,2
288,4
288,4
Konduktivitas termal es adalah 4 kali konduktivitas termal air (konduktivitas termal es adalah
2,24 W/m K, konduktivitas termal air adalah 0,56 W/m K) sehingga konduktivitas termal
makanan beku umumnya 3-4 kali lebih besar dibandingkan makanan yang tidak dibekukan.
Selama tahap awal pembekuan, peningkatan konduktivitas termal berlangsung cepat. Untuk
makanan yang kaya kandungan lemaknya, variasi konduktivitas termal terhadap temperatur
dapat diabaikan, namun dalam kasus produk daging, orientasi serat otot memengaruhi
konduktivitas termal[8]
Kalor jenis es hanya setengahnya dari kalor jenis air. Selama masa pendinginan, kalor jenis
produk makanan menurun. Pengukuran kalor jenis cukup rumit karena terdapat perubahan
fase berkelanjutan dari air ke es. Kalor laten dari produk makanan dapat diperkirakan dari
fraksi air yang ada pada makanan.[9] Difusivitas termal dari makanan beku bisa diperkirakan
dari massa jenis, kalor jenis, dan termal konduktivitas. Digabungkan dengan data mengenai
konduktivitas termal dan kalor jenis es terhadap air, dapat diperkirakan bahwa makanan beku
memiliki nilai difusivitas termal 9-10 kali lebih besar dibandingkan dengan makanan yang
tidak dibekukan.[1]
Dehydrofreezing
Adalah metode pembekuan makanan yang diaplikasikan khususnya pada makanan berkadar
air tinggi. Makanan didehidrasikan untuk memenuhi kadar air yang diperlukan sebelum
dibekukan. Ketika produk seperti buah dan sayuran segar dengan kadari air tinggi dibekukan,
masalah utama yang mengganggu kualitas adalah peningkatan volume akibat kadar air di
dalamnya yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan.[10][11][12] Dehidrasi parsial dapat
dilakukan dengan pengering udara konvensional atau pengeringan osmotik. Dehidrasi parsial
dapat memberikan berbagai keuntungan, diantaranya menurunkan beban transfer kalor
produk makanan, mempermudah dan mengurangi biaya penyimpanan, penanganan, dan
pengiriman.
Pembekuan adalah kegiatan dengan penggunaan energi yang intensif. Keefektivan biaya dari
kegiatan pembekuan tergantung pada beban pendinginan produk makanan yang menentukan
besar energi yang dikonsumsi alat pembeku. Memindahkan panas pada awal proses
pembekuan merupakan hal yang tersulit dan membutuhkan banyak waktu, sehingga titik
akhir pembekuan, yang pada umumnya sulit ditentukan, harus diperkirakan dengan tepat dan
amat menentukan total konsumsi energi alat pembeku. Manipulasi bahan penyusun produk
makanan, automatisasi alat pendingin, pelacakan perubahan fase air-es, dan sebagainya, juga
menjadi hal yang penting dalam penentuan total energi yang dibutuhkan dalam proses
pembekuan karena mencegah pemindahan panas yang berlebihan.