Anda di halaman 1dari 4

Mengepung Fasisme Dengan Gerakan Literasi1

Ade Saktiawan A2
Apa yang pantas jadi kebanggaan dari tumbangnya tirani orde baru dan bergulirnya reformasi?.
Pertanyaan ini mengemuka kepada kita semua saat instrumen-instrumen demokrasi yang
dipilih oleh negara ini dibajak secara total oleh oligarki kekuasaan yang berkelindan dengan
kapitalisme tingkat lanjut. Pembungkaman terhadap kebebasan bersuara, berekspresi dan
mengkonsumsi bacaan apa saja secara represif adalah sebuah hal yang lumrah bagi
kekuasaan yang tiranik dan despotic. Akan tetapi, jika upaya pembungkaman dan represifitas
ini terjadi saat pintu demokrasi benar-benar terbuka untuk setiap orang maupun kelompok,
tentu saja kita harus menaruh waspada kepada orang/kelompok yang berada dalam lingkaran
(kekuasaan) negara yang (katanya) mengakui hak-hak sipil tetapi dalam praktiknya kebebasan
itu diberangus dan diciptakan hantu-hantu yang terus direproduksi untuk dicangkokkan kepada
setiap orang Indonesia. Sebut saja, hantu komunis misalnya. Negara tentu tidak sendiri
memelihara dan mengawasi rasa takut itu, kekuatan-kekuatan sipil reaksioner kemudian
diciptakan dan terus bermutasi disetiap gelanggang kekuasaan dan akumulasi kapitalisme
terhadap sumber daya dan alat-alat produksi.
Teror-teror sipil reaksioner ini efektif dipakai oleh penguasa untuk menciptakan rasa (saling)
curiga dan (saling) benci diantara rakyat. Kelompok sipil reaksioner ini sering juga disebut
sebagai kelompok vigilante3 radikal. Mereka begitu mudah melakukan teror atas nama
mayoritas sebuah agama, atas nama rasa kebangsaan dan atas nama stabilitas politik,
kelompok vigilante sangat leluasa menjalankan program-program terornya. Made Supriyatma4
mengatakan bahwa:
Organisasi seperti FPI, Forum Umat Islam (FUI) atau Majelis Mujahidin Indonesia (MMI),
dikelola lebih sebagai organisasi persamaan kepentingan ketimbang oleh struktur
organisasional yang ketat. Di setiap daerah mereka memiliki orang-orang kuat yang
disegani, yang dianggap sebagai pemimpin baik karena wibawa maupun karena sikap
keagamaannya yang kuat (bukan berarti pintar secara teologis). Orang-orang ini
memiliki keleluasaan untuk bernegosiasi dengan para penguasa di daerah-daerah.
Mereka juga memiliki fleksibilitas untuk bertindak sesuai dengan situasi setempat.
Yang lebih menakjubkan dari organisasi-organisasi radikal ini adalah betapa besarnya
kekuasaan yang mereka miliki. Bahkan ketika mereka melakukan tindakan-tindakan
yang sangat brutal sekali pun, mereka tidak terkena tindakan hukum yang serius. Dalam
kasus kekerasan yang menimpa Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, beberapa pelaku
penyerangan yang brutal itu secara jelas tertangkap dalam gambar video dikenai
hukuman yang sangat ringan. Sementara itu, warga Ahmadiyah sendiri malah dihukum
juga karena dituduh sebagai pemicu kekerasan.
Di tahun 2012 beragam teror dan kekerasan yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok
Vigilante ini tidak hanya terjadi di Jakarta sebagai jenjang tertinggi dari hirarki organisasi
mereka, teror dan kekerasan menjalar ke luar Jakarta. Prevalensi paket teror dan kekerasan
pada tahun-tahun dan isu-isu politik berikutnya mengalami perluasan dan kuantitas agendaagendanya. Dari Human Rights Watch5 dalam laporannya pada tahun 2013 melaporkan bahwa
kekerasan terhadap kelompok minoritas meluas menjadi kekerasan terbaru yaitu kekerasan
atas kebebasan berekpresi, kekerasan dan teror itu diantaranya yaitu:

1. Pada 4 Mei 2012, Front Pembela Islam melakukan protes di luar Teater Salihara di Jakarta
saat penulis Kanada, Irshad Manji, mendiskusikan buku terbaru dia: Allah, Liberty and Love.
Mereka mengepung halaman teater dan merusak pintu masuk gerbang.
2. Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta kemudian membatalkan jadwal diskusi publik Manji
di kampus, lima hari setelah ada serangan Jakarta, karena kecemasan keamanan sesudah
ratusan Muslim dari berbagai organisasi mengadukan pada universitas bahwa Manji harus
dilarang ke kampus.

(1)

(2)
(3)

(4)
(5)

Paper dalam rangka Konferensi Demokrasi. Konferensi yang bersifat demokratik, dilaksanakan pada tanggal 17-25 November
2016 di Yogyakarta
Mahasiswa Magister Hukum Kesehatan Angkatan 2016. Relawan SRuPP (Serikat Rakyat untuk Perjuangan Palestina)
Kelompok Vigilante adalah kelompok yang lahir pesat setelah orde baru tumbang. Dengan gaya radikal, kelompok vigilante ini
menyebar teror dan ketakutan dari pusat kekuasaan hingga kekuasaan di daerah-daerah. Made Supriyatma menjelaskan
secara detail di tulisan Teror Sipil Sebagai Proxy, tanggal 10 Me 2012 di indoprogress.com
Made Supriyatma, Teror Sipil Sebagai Proxy, indoprogress.com, Mei 10, 2012
Human Rights Watch, Pelanggaran terhadap Minoritas Agama di Indonesia, hrw.org, Februari 28, 2013

3. Pada 10 Mei 2012, sekelompok orang, mengenakan pakaian yang didentifikasi anggota
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), mengganggu diskusi Manji di Lembaga Kajian Islam
dan Sosial, sebuah perusahaan penerbitan Yogyakarta. Anggota MMI memecahkan
jendela dan menendang serta memukul sejumlah peserta diskusi. Seorang penyerang
dilaporkan memukul kolega Manji, Emily Rees, dengan besi, dan satu ruas tulang
belakangnya patah.
Ekskalasi teror dan kekerasan yang semakin meningkat di tahun-tahun sebelum dan
setelah 2013 adalah lanskap yang begitu telanjang dalam kehidupan yang (kita anggap)
demokratis ini bagaimana hukum (sistem, produk, aparat) tidak mampu hadir memberi
kepastian, keadilan, dan kemanfaatan kepada semua kelompok mayoritas, (apalagi)
minoritas.
Belum lepas dari ingatan Kita, pada bulan Februari-Maret 2016 acara Belok Kiri Fest6 di
Jakarta yang rencananya akan dilaksanakan selama kurang lebih tujuh hari itu menuai
kecaman dari kelompok masyarakat agar kegiatan tersebut tidak dilaksanakan. Kata kiri
yang diasosiasikan dengan ideologi komunis menjadi alasan kelompok masyarakat ini
menyikapi dengan penolakan bahwa akan munculnya kembali PKI.
Maret 2016 pementasan monolog Tan Malaka Saya Rusa Berbulu Merah7 yang
dijadwalkan pementasannya pada tanggal 23-24 Maret 2016 mendapat ancaman dari
ormas-ormas Islam seperti FPI, PUI dan Laskar Fisabilillah agar pementasan tersebut tidak
dilaksanakan. Tentu saja dengan alasan yang sama, kelompok ini mencurigai kebangkitan
paham komunis yang dicitrakan kejam selama bertahun-tahun oleh orde baru.
Ahistoris generasi Indonesia kepada literasi, narasi dan perjalanan sejarah bangsanya
adalah hasil dari distorsi bertahun-tahun yang dijalankan oleh rezim Soeharto yang punya
dampak berkepanjangan atas mandegnya minat literasi bangsa ini, keringnya imajinasi
karena penyeragaman dan disamping fasis-fasis gaya baru yang endemik, sangat bebas
mengoperasikan tindak teror dan kekerasan atas nama agenda pemurnian keilahian.
Perjalanan Panjang Melawan Librisida hingga Biblioklasme8
Indonesia sebagai negara yang baru saja lepas dari fasisme kroni, pelarangan hingga
pembakaran buku adalah sesuatu yang halal dilakukan oleh negara dan aparatusnya.
Sebagai negara dengan konfigurasi politik yang otoriter, tentulah produk hukum 10 yang
dihasilkan produk hukum yang otoriter mengindikasikan tiga hal, yaitu parpol dan parlemen
lemah, pemerintah intervensionis dan pers terpasung (diancam sensor dan pemberedelan)
Era demokrasi terpimpin presiden Soekarno pernah mengeluarkan Undang-Undang nomor
4 tahun 1963 yang sesngguhnya bahwa undang-undang ini tidak disahkan oleh parlemen,
sehingga diterbitkan dengan PNPS dengan Undang-Undang Nomor 4/PNPS Tahun 1963
Tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan Yang Isinya Dapat Menggangu
Ketertiban Umum
Pada tahun 2010 Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan Nomor 6-13-20/PUUVIII/2010 dengan melumpuhkan beberapa kaki-kaki tumpuan (calon) pelaku librisida oleh
negara dan atau kelompok masyarakat, yang diantaranya yaitu pasal 1 ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) UU Nomor 4/PNPS/1963 sebagai peraturan yang Inkonstitusional bersyarat
(conditionally unconstitusional)9
Negara dalam melegitimasi segala bentuk tindakan librisida yaitu dengan mengeluarkan
produk hukum berupa TAP MPRS NO. XXV TAHUN 1966. Dilihat dari tahun penerbitannya
tahun 1966 yaitu tahun setelah peristiwa kudeta merangkak 1965 yang mengalamatkan
tuduhan kepada PKI dan segala organisasi perjuangan yang berada dibawahnya. Isi
ketetapan MPRS ini menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang dan melarang
penyebarluasan Marxisme dan Leninisme.
6.

Belok Kiri.Fest, Dari Penolakan Hingga Sejarah Alternatif, Februari 29, 2016, beritagar.id
Monolog Tan Malaka Dibubarkan FPI, Maret 23, 2016, pikiran-rakyat.com
8.
Kata Librisida dan Biblioklasme mengacu pada istilah Libricide atau Bibliosida yang disampaikan Robertus Robert dalam
kuliah umum kerjasama Elsam dan Dewan Kesenian Jakarta pada tanggal 17 Maret 2010 dengan tema Librisida:
Pemurnian Masyakat dan Demokrasi yang Cacat.
9.
Lih, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010, isi putusan lengkap di http://hukumpidana.bphn.go.id/
10.
Mahfud MD dalam bukunya Politik Hukum di Indonesia (2011) Hal.7, mencirikan Indikator Sistem Politik yang berbeda
antara Konfigurasi Politik Demokratis dan Konfigurasi Politik Otoriter. Indikator Produk Hukum juga berbeda antara Karakter
Produk Hukum Responsif dan Karakter Produk Hukum Ortodoks. Di Jerman sesaat setelah penetapan Hitler sebagai
Kanselir, 4 Januari 1933 Undang-undang Perlindungan Rakyat Jerman menjadi alasan diberangusnya kebebasan pers dan
disitanya semua materi yang dianggap berbahaya.
7.

Mereka membakar rumah (ibadah);


Mereka juga membakar kandang ternak dan isinya;
Mereka juga menjarah hasil kebun yang belum pantas dipanen;
Mereka juga membakar sebelah lengan seragam sekolah yang masih dijemur;
Mereka juga membakar manusia;
Mereka juga membakar perpustakaan, juga buku-bukunya;
Mereka membakar apa saja, demi higienitas sebuah dogma.
Pelarangan peredaran buku melalui keputusan hukum ataupun sweeping buku yang
seringkali diinisiasi oleh kelompok fasis dalam catatan media sangat marak terjadi. Pada
tahun 2001, Kita mungkin sangat sulit percaya, bagaimana bisa buku Pemikiran Karl Marx:
Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme yang merupakan kritik terhadap
marxisme oleh Franz Magnis Suseno (juga) disweeping oleh kelompok yang
mengatasnamakan Aliansi Anti Komunis. Penyalahtafsiran yang permisif oleh otoritas
hukum terhadap TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966. Selain seringkali disalahtafsirkan,
ketetapan MPRS ini sudah harus dicabut kembali. Wilayah operasi ketetapan ini kontradiksi
dan tidak konteks zaman dari unsur Rule of The Law yang dicita-citakan oleh Dicey yaitu
hak asasi manusia yang dijamin oleh undang-undang, persamaan kedudukan di muka
hukum, dan supremasi hukum yang tidak sewenang-wenang tanpa aturan yang jelas.
Salah satu keberhasilan Salvador Allende memimpin Cile adalah karena keberhasilannya
merawat dan mengembangkan kebudayaan yang dekat dan mudah dijangkau oleh
rakyatnya. Fernando Baez11 (2013) mengkaji secara khusus bagaimana penghancuran
buku yang dilakukan oleh junta militer Augusto Jose Ramon Pinochet Ugarte setelah
mengkudeta Salvador Allende pada 11 September 1973. Memajukan kebudayaan yang
merupakan cita-cita dan program yang sangat terasa oleh rakyat Cile di masa Allende,
pasca kudeta, Pinochet secara sistematis melakukan pemadaman kebudayaan.
Quimantu, sentra kebudayaan yang dididirikan oleh Allende yang telah menjadi oase bagi
rakyat Cile dalam mengakses novel, cerpen dan karya sastra klasik lainnya dengan harga
murah. Baez12 (2013) menelusuri bagaimana produktifnya Quimantu hadir di tengah-tengah
rakyat Cile.
Nama Quimantu diambil dari bahasa suku Indian Quechua yang merupakan
penggabungan dari kata mapudungun kim (berarti mengetahui) dan antu (berarti
matahari). Dalam sejarah Cile, belum ada yang menandingi besaran produksi
Quimantu. Edisi standar penerbit ini dicetak 50.000 kopi. Ada juga buku-buku mini yang
terbit tiap minggu, hamper selalu berupa novelet atau cerita pendek karya penulis
terkenal. Hanya dalam rentang 2 tahun, Quimantu menerbitkan 12 juta eksemplar buku
dan majalah-majalah analisa sosial. Karya-karya sastra adiluhung diterbitkan dalam
edisi murah, yang bisa langsung ludes dalam hitungan hari. Sastrawan Luis Sepulveda
sebelum ditangkap oleh rezim militer dan eksil dari Cile ikut bertugas di divisi
kebudayaan Allende yang mengurus penerbitan sastra klasik duni dalam edisi murah ini.
Dengan strategi ini, kebudayaan tinggi dan progresif bisa dibaca oleh massa, dan
memungkinkan kaum kiri melebarkan sayapnya melalui kandungan ideologis karyakarya sastra yang bisa terjangkau buruh. Quimantu juga mendorong pendirian
perpustakaan-perpustakaan dalam organisasi-organisasi kemasyarakatan dan serikatserikat buruh.
Begitu pesatnya gairah literasi rakyat Cile ditangan pemimpin progresif Allende yang
distribusi karyanya hingga menjangkau ke kantong-kantong kelas pekerja menjadikan
Quimantu sebagai sasaran utama penghancuran sesaat setelah Pinochet melakukan
kudeta militer. Baez13 (2013) menyatakan bahwa lima juta buku yang hendak dikirim ke
Kuba dicabik-cabik hingga hancur. Kemudian,
() dihancurkan pula buku-buku seperti Cancion de Gesta karya Pablo Neruda, Mister
Jara karya Gonzalo Drago dan Puerto Engano karya Leonardo Espinoza ()
() Junta berniat melakukan kontrol mutlak, dan selama kediktatoran Pinochet 19731990, ribuan judul buku disita dan dimusnahkan ()
Cile merupakan salah satu negara yang merupakan gugus pemusnahan ideolog-ideolog
(dengan didahului membakar perpustakaan dan buku) marxisme dan bangsa Yahudi oleh
11

Fernando Baez, Penghancuran Buku Dari Masa ke Masa, Marjin Kiri, 2013.
Ibid. Hal. 259-260
13
Ibid Hal. 260
12

rezim kediktatoran Jenderal Franco di Spanyol. Seperti halnya rezim represif di negara lain,
diktator Spanyol ini juga menyalahgunakan instrumen hukum (UU Pers dan Penerbitan
tahun 1938) sebagai pembenar dari aksi-aksi librisida yang dilakukan sangat massif itu.
Dalam bagian Amuk Fasisme14 (Baez, 2013) menelusuri peristiwa perang saudara Spanyol
oleh rezim Franco yang didahului dengan pembakaran perpustakaan, buku hingga pamfletpamflet terjadi dimana-mana, termasuk penghancuran gereja dan pembunuhan para pastor.
Kampus atau Universitas yang merupakan termpat paling serasi bagi nasib sebuah
perpustakaan di era jenderal Franco ini dijadikan sebagai simbol untuk melancarkan aksiaksi bibliosida di seluruh wilayah Spanyol. Baez menjelaskan bahwa Universitas Asturias
sebagai salah satu universitas terpandang di Spanyol, pada tanggal 13 Oktober 1934
perpustakaannya dibakar. Di Universitas Oviedo kemudian dibentuk Komisi Pembersihan
Perpustakaan. Komisi ini menyita semua buku yang dianggap porno, revolusioner, atau
merusak moral masyarakat.
Aksi militer tersebut telah meluluhlantakkan banyak toko buku dan perpustakaan.
Koleksi buku penyair Manuel Altolaguirre dan pelukis Moreno Villa, serta buku-buku
milik penulis Emilio Prades, semuanya musnah. Perang telah mengubah Universitas
Kota Madrid menjadi medan perang, dan menurut cerita para serdadu, buku-buku
berada persis disamping mereka: Menghadap Madrid, dan parit-parit pertahanan garus
depan kubu Republik, sekolah dan perpustakaan hanya seratus meter jaraknya dari
kubu fasis.
Kubu Republik bahkan mengabadikan situasi perang kota yang dialaminya ini menjadi
himne Batalion Mateotti15:
Fasisme musuh beringas
Dari perdamaian dan kebudayaan
Buku dan sekolah mereka hancurkan
Menjadi kuburan ilmu pengetahuan
Sejarah panjang penghancuran buku oleh rezim fasisme di Eropa yang disajikan oleh Baez
mengkonfirmasi bahwa musuh dari ilmu pengetahuan adalah fasisme, musuh dari jiwa-jiwa
kritis yang senantiasa melawan penindasan dan penyalahgunaan kekuasaan adalah
fasisme.
Yang patut dipelajari dari cara kerja kebudayaan Allende di Cile adalah memaksimalkan
haus literasi basis-basis massa rakyat dengan membangun penerbitan yang murah dan
mendistribusikan kebutuhan bacaan rakyat hingga ke semua serikat buruh.
Kekuatan demokratik kita tentunya punya kekuatan yang sama, meski di era digitalisasi
literasi juga penting untuk dilakukan, mengingat kelas-kelas yang diciptakan oleh kekuatan
neoliberal adalah kelas yang jauh dari semangat literasi. Kelas yang dciptakan adalah kelas
dramatis yang lebih gemar menjadi konsumen dari over produksi kapitalisme.
Upaya hukum kita melalui kekuatan demokratik yang ada saat ini adalah terus mendorong
agar produk hukum yang berwatak represif harus segera dicabut dan digantikan dengan
produk hukum yang progresif.
15

Fernando Baez, Penghancuran Buku Dari Masa ke Masa, Marjin Kiri, 2013.
Ibid, Hal. 212-213
17
Ibid, Hal. 215
16

Anda mungkin juga menyukai