PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki sumber daya alam
hayati laut yang besar.Salah satu sumber daya alam tersebut yaitu ekosistem
terumbu karang. Di dalam ekosistem terumbu karang bisa hidup lebih
dari300 spesies karang, lebih dari 200 spesies ikan dan ratusan spesies
moluska,krustasea, spons, alga, lamun dan biota lainnya. Spons merupakan
salah satu komponen penyusun terumbu karang yang mempunyai potensi
bioaktif sebagai antibakteri, antikanker, dan antijamur yang belum banyak
dimanfaatkan. Hewan laut ini mengandung senyawa aktif yang persentase
keaktifannya lebih besar dibandingkan dengan senyawa-senyawa yang
dihasilkan oleh tumbuhan darat (Suparno, 2005).
Spons merupakan salah satu kelompok biota laut yang terdapat di
perairan Indonesia dengan jumlah 850 spesies dan berpotensi menghasilkan
senyawa metabolit sekunder yang bersifat bioaktif. Spons ialah hewan
berpori yang bersifat filter feeder, karena sifat itulah sehingga biota menjadi
habitat bagi mikroorganisme untuk tinggal dalam tubuhnya (Menggelea, F.P.,
dkk. 2015).
Spons laut diketahui menjadi tempat hidup beberapa jenis bakteri
yang jumlahnya mencapai 40 persen dari biomassa spons. Simbiosis yang
terjadi antara bakteri dengan spons laut menyebabkan organisme ini sebagai
invertebrata laut yang memiliki potensi antibakteri yang lebih besar
dibandingkan dengan organisme darat dan laut lainnya (Kanagasabhapathy et
al., 2005)
Spons laut dilaporkan memiliki kandungan kimia yang potensial
secara farmakologis seperti antitumor, antiinflamasi, antimikroba, dan lainlain (Faulkner, 1993). Hewan multiseluler yang paling sederhana ini,
termasuk ke dalam filum porifera (Stachowitsch, 1992). Spons laut hidup
mulai dari perairan laut dangkal sampai beberapa ribu meter dibawah
1
permukaan laut, dan hampir tersebar merata di seluruh laut di dunia (Jasin,
1992).
Pemanfaatan spons laut sekarang ini cenderung semakin meningkat,
terutama untuk mencari senyawa bioaktif baru dan memproduksi senyawa
bioaktif tertentu. Pengumpulan spesimen untuk pemanfaatan tersebut, pada
umumnya diambil secara langsung dari alam dan belum ada dari hasil
budidaya. Cara seperti ini, jika dilakukan secara terus menerus diperkirakan
dapat mengakibatkan penurunan populasi secara signifikan karena terjadi
tangkap lebih (overfishing), terutama pada jenis-jenis tertentu yang senyawa
bioaktifnya sudah diketahui aktifitas farmakologiknya dan sulit dibuat
sintesisnya. Oleh karena itu, untuk mendapatkan pemanfaatan yang
berkesinambungan,
kelestarian
sumber
daya
ini
perlu
dijaga
dan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Spons
Spons merupakan kelompok porifera yaitu hewan yang mempunyai
tubuh berpori-pori atau saluran. Spons sebagai invertebrata laut multi sel yang
fungsi jaringan dan organnya sangat sederhana. Biota laut ini dikenal dengan
filter feeders, yaitu mencari makanan dengan mengisap dan menyaring air
melalui sel cambuk dan memompakan air keluar melalui oskulum. Makanan
spons berupa zooplankton atau hewan kecil dan bakteri yang terbawa oleh
arus serta masuk ke dalam tubuhnya (Amir, 1996).
Tubuh spons terdiri dari jelly seperti mesohyl terjepit di antara dua
lapisan tipis sel. Spons tidak memiliki saraf, pencernaan atau sistem
peredaran darah. Sebaliknya, sebagian besar mengandalkan mempertahankan
aliran air konstan melalui badan spons untuk mendapatkan makanan dan
oksigen ataupun untuk menghilangkan limbah (Rosmiati dan Suryati, 2001).
Larva spons dapat menyebar secara luas, terbawa arus dan bergerak sangat
aktif, tetapi setelah dewasa hidup melekat dan menetap pada karang batu dan
dasar laut
1. Klasifikasi Spons Clathria Sp
Menurut (Hooper, 2002) spons Clathria Sp diklasifikasikan
sebagai berikut :
Kingdom
: Animalia
Filum
: Porifera
Kelas
: Demospongiae
Ordo
: Poecilose lerida
Famili
: Microcionidae
Genus
: Clathria
Spesies
: Clatharia sp
2. Morfologi Spons
Morfologi luar spons sangat dipengaruhi oleh faktor fisik,
kimiawi dan biologis lingkungannya. Spesimen yang berada di
lingkungan yang terbuka dan berombak besar cenderung mengalami
pertumbuhan yang pendek atau juga merambat. Sebaliknya spesimen dan
jenis yang sama pada lingkungan yang terlindung atau pada perairan
yang lebih dalam dan berarus tenang, pertumbuhannya cenderung tegak
dan tinggi. Pada perairan yang lebih dalam, spons cenderung memiliki
bentuk tubuh yang lebih simetris dan lebih besar sebagai akibat dari
lingkungan yang lebih stabil apabila dibandingkan dengan jenis yang
sama yang hidup pada perairan yang dangkal. Spons pada jenis yang
sama pertumbuhannya cenderung semakin besar dan semakin tinggi
dengan bertambahnya kedalaman laut (Amir, 1996).
Spons secara morfologi berbentuk sederhana seperti tabung
dengan dinding tipis tidak teratur serta tubuhnya berpori (ostium). Spons
membuat kerak pada batu, cangkang, tongkat atau tumbuh-tumbuhan
(Romimohtarto dan Juwana, 2001). Tubuh spons asimetri (tidak
beraturan), meskipun ada yang simetri radial, berbentuk seperti tabung,
vas bunga, mangkuk, atau tumbuhan, memiliki warna yang bervariasi.
Dahuri (2003) melaporkan beberapa jenis spons ada yang bercabang
seperti pohon, berbentuk seperti sarung tinju dan cawan sedangkan yang
lainnya berbentuk kubah. Spons banyak dijumpai di laut dengan bentuk
dan warna yang sangat beraneka dan sangat menarik, hal ini disebabkan
oleh zooxanthellae yang hidup dalam jaringan tubuhnya. Spons yang
hidup di lingkungan yang gelap akan berbeda warnanya dengan spons
sejenis yang hidup pada lingkungan yang cerah.
Struktur tubuh spons terdiri dari tiga lapisan yaitu epidermis,
mesoglea dan endodermis. Epidermis merupakan lapisan luar yang terdiri
atas sel-sel epitelium berbentuk pipih (pinakosit). Pinakosit berfungsi
sebagai pelindung. Endodermis terdiri atas sel berflagela yang berfungsi
mencerna makanan dan bercorong yang disebut sel leher atau koanosit.
Struktur sel spons ditunjukkan pada berikut:
Gambar 1.1
Struktur Sel Spons a. Oskula, b. Sel penutup (pinakosit), c. Sel
amobosit, d. Sel pori (porosit), e. Pori saluran masuk (ostia), f. Telur, g.
Spikula triaxon, h. Mesohil, i. Sel mesenkim, j. Bulu cambuk (flagela), k.
Sel kolar (choanosit), 1. Sklerosit, m. Spikula monoaxon (Amir, 1996)
3. Reproduksi dan Daur Hidup Spons
Porifera berkembang biak secara aseksual maupun seksual.
Reproduksi
yaitu
terjadi
dengan
cara
pembentukan
umumnya
Pola makanan spons yang khas yaitu filter feeder (menghisap dan
menyaring) dapat memanfaatkan jasad renik disekitarnya sebagai sumber
nutrien diantaranya bakteri, kapang dan xooxanthela yang hidup pada
perairan tersebut. Sedangkan kapang, bakteri dan xoxanthelae hidup dan
berkembang biak dengan memanfaatkan nutrien yang terdapat pada
spons tersebut. Myers et al (2001) melaporkan bahwa terdapat hubungan
simbiotik antara spons dan sejumlah bakteri dan alga, dimana spons
menyediakan dukungan dan perlindungan bagi simbionnya dan simbion
menyediakan makanan bagi spons. Alga yang bersiombiosis dengan
spons menyediakan nutrien yang berasal dari produk fotosintesis sebagai
tambahan bagi aktifitas normal filter feeder yang dilakukan sponge
(Suparno, 2005).
Pembentukan senyawa bioaktif pada spons sangat ditentukan oleh
prekursor berupa enzim, nutrien serta hasil simbiosis dengan biota lain
yang mengandung senyawa bioaktif seperti bakteri, kapang dan beberapa
jenis dinoflagellata yang dapat memacu pembentukan senyawa bioaktif
pada hewan tersebut (Scheuer, 1978 dalam Suryati et al, 2000). Senyawa
terpenoid dan turunannya pada berbagai jenis invertebrata termasuk
spons atau beberapa spesies dinoflagellata dan zooxanthelae yang
memiliki senyawasenyawa yang belum diketahui, yang kemudian
diubah melalui biosintesis serta fotosintesis menghasilkan senyawa
bioaktif yang spesifik pada hewan tersebut (Faulkner dan Fenical, 1977
dalam Suryati et al, 2000, dalam Suparno, 2005).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suryati et al (2000),
terhadap sejumlah spesies spons yang hidup di perairan Spermonde,
Sulawesi Selatan, kelimpahan kapang dan bakteri yang bersimbiosis
cukup bervariasi pada sponge seperti diperlihatkan pada Tabel 2.
Kelimpahan jenis bakteri yang diisolasi dari spons pada umumnya
didominasi oleh bakteri Aeromonas, Flavobacterium, Vibrio sp,
Pseudomonas sp. Acinebacter dan Bacillus sp (Suparno, 2005).
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Spons merupakan kelompok biota laut dengan jumlah 850 spesies dan
berpotensi menghasilkan senyawa metabolit sekunder yang bersifat
bioaktif. Spons bersifat filter feeder sehingga menjadi habitat bagi
mikroorganisme untuk tinggal dalam tubuhnya.
2. Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi untuk mencegah rusaknya
senyawa metabolit sekunder yang tidak tahan terhadap suhu tinggi dan
kemudahan dalam pengerjaannya serta kemampuan menarik senyawa
kimia relatif lebih efektif.
11
DAFTAR PUSTAKA
Amir, I. dan A. Budiyanto. 1996. Mengenal Spons Laut (Demospongiae) Secara
Umum. Oseana. 21. 15-31.
Faulkner, D. J., Sponges, Marine Natural Products, Serpps Institution, University
of Oceanografi, University of California, San Diego, 11, 1993, 231-247.
Jasin, M, Zoologi Invertabrata Untuk Perguruan Tinggi, cetakan keempat,
Penerbit Sinar Jaya, Surabaya, 1992, 89-102.
Kanagasabhapathy, M., Sasaki, H., Nakajima, K., Nagatan, K., and Nagata, S.
2005. Inhibitory Activities Of Surface Associated Bacteria From The
Marine Pseudocratina Purpurea. Microbes and Environtment. 20: 178185.
Menggelea, F.P., dkk. 2015. Uji Efek Antibakteri Jamur Endosimbion Spons Laut
Callyspongia Sp. terhadap Bakteri Pseudomonas aeruginosa dan
Eschericia coli. Jurnal. Manado: Universitas Sam Ratulangi
Mokodompit, A., dkk, 2015. Uji Efektifitas Antibakteri Ekstrak Etanol Spons
Laut (Porifera:Demospongiae) terhadap bakteri Staphylococcus aureus
dan Escherchia coli. Jurnal. Gorontalo: Universitas Negeri Gorontalo
Stachowitsch, M, The Invertebrates, An Ilusctated Glosary, Department of
Marine Biology Institute of zoologi, Vienna, Austria, 1992, 13-18.
Suparno. 2005. Kajian Bioaktif Spons Laut (Porifera: Demospongiae) Suatu
Peluang Alternatif Pemanfaatan Ekosistem Karang Indonesia dalam
dibidang Farmasi. Makalah. Bandung: Institut Pertanian Bogor
Widhy, P. 2012. Herbarium.
12