Dan pada akhirnya sudah dapat ditebak keberadaan UU No.13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan tersebut dalam praktiknya lebih memihak kepada kalangan Pengusaha.
Banyak lagi perundang-undangan kita lainnya yang mengalami nasib senada dengan itu, dan
itu semua terjadi karena faktor politis yang bertujuan sempit dari para Pembuat undangundang.
Sedang Mafia Peradilan di sini lebih dimaksudkan pada hukum dalam praktik yang ada di
tangan para Penegak Hukum dimana secara implisit hukum dan keadilan telah berubah
menjadi
suatu
komoditas
yang
dapat
diperdagangkan.
Hukum dan keadilan menjadi barang mahal di negeri ini. Prinsip peradilan yang cepat, biaya
ringan dan sederhana sulit untuk ditemukan dalam praktik peradilan. Di negeri ini Law
Enforcement diibaratkan bagai menegakkan benang basah kata lain dari kata sulit dan susah
untuk
diharapkan.
Salah satunya yang mempersulit penegakan hukum di Indonesia adalah maraknya budaya
korupsi di semua birokrasi dan stratifikasi sosial yang telah menjadikan penegakan hukum
hanya sebatas retorika yang berisikan sloganitas dan pidato-pidato kosong.
Bahkan secara faktual tidak dapat dipungkiri semakin banyak undang-undang yang lahir
maka hal itu berbanding lurus semakin banyak pula komoditas yang dapat diperdagangkan.
Ironisnya tidak sedikit pula bagian dari masyarakat kita sendiri yang berminat sebagai
pembelinya. Di sini semakin tanpak bahwa keadilan dan kepastian hukum tidak bisa
diberikan begitu saja secara gratis kepada seseorang jika disaat yang sama ada pihak lain
yang
menawarnya.
Kenyataan ini memperjelas kepada kita hukum di negeri ini tidak akan pernah memihak
kepada mereka yang lemah dan miskin. Sekali lagi tidak akan pernah ! Sindiran yang
sifatnya sarkatisme mengatakan, berikan aku hakim yang baik, jaksa yang baik, polisi yang
baik dengan undang-undang yang kurang baik sekalipun, hasil yang akan aku capai pasti
akan lebih baik dari hukum yang terbaik yang pernah ada dinegeri ini.
Tapi agaknya para Penegak Hukum, Politisi, Pejabat dan Tokoh-Tokoh tertentu dalam
masyarakat kita tidak akan punya waktu dan ruang hati untuk dapat mengubris segala bentuk
sindiran yang mempersoalkan eksistensi pekerjaan dan tanggungjawab publiknya, jika
sindiran itu bakal mengurangi rejekinya. Buruknya proses pembuatan undang-undang dan
proses penegakan hukum yang telah melahirkan stigmatisasi mafia hukum dan mafia
peradilan di Indonesia, yang kalau kita telusuri keberadaannya ternyata mengakar pada
kebudayaan
mentalitas
kita
sebagai
suatu
bangsa.
Sehingga apa yang disebut dengan mafia hukum dan mafia peradilan eksistensinya cenderung
abadi karena ia telah menjadi virus mentalitas yang membudaya dalam proses penegakan
hukum di negeri ini. Sehingga berbicara tentang Law Enforcement di Indonesia tidaklah bisa
dengan hanya memecat para Hakim, memecat para Jaksa dan memecat para Polisi yang
korup, akan tetapi perbaikan tersebut haruslah dimulai dengan pembangunan pendidikan
dengan pendekatan pembangunan kebudayaan mentalitas kita sebagai suatu bangsa dan
membangun moral force serta etika kebangsaan yang kuat berlandaskan pada Iman dan
Taqwa
kepada
Tuhan
Yang
Maha
Esa.
Namun upaya untuk menempatkan hukum menjadi panglima di negeri ini diperlukan juga
adanya polical will dari para elite politik dan gerakan moral dari seluruh anak bangsa yang
perduli akan nasib bangsa ini, serta membrantas politikus busuk yang lagi sibuk merebut
kekuasaan.
Dengan terungkapnya mafia hukum maka dibentuklah Satgas Pemberantasan Mafia
Hukum (Satuan Petugas Pemberantasan Mafia Hukum). Pada tahun 2010 ini, terdapat
beberapa sasaran Satgas Mafia Hukum yang harus diberantas, antara lain: Mafia Peradilan,
Mafia Korupsi, Mafia Pajak dan Bea Cukai, Mafia Kehutanan, Mafia Pertambangan &
energy, Mafia Narkoba, Mafia Tanah, Mafia Perbankan & Pasar Modal, dan Mafia Perikanan.
Di dalam tahap penyidikan secara rinci dapat dijelaskan banyak praktik-praktik mafia
peradilan antara lain:
1. Pemerasan, penyidikan diperpanjang untuk merundingkan uang damai. Surat panggilan
sengaja tanpa status saksi atau tersangka, yang pada ujungnya saat pemeriksaan dimintai
uang agar statusnya tidak menjadi tersangka.
2. Negosiasi Status, di dalam proses ini perubahan status tahanan seorang tersangka menjadi
ajang tawar menawar.
3. Pelepasan tersangka, melalui Surat Penghentian Penyidikan (SP3) atau sengaja membuat
dakwaan yang kabur (obscuur libel) sehingga terdakwa divonis bebas.
4. Penggelapan perkara, berkas perkara dapat diberhentikan jika memberikan sejumlah uang.
Saat dilimpahkan ke kejaksaan, polisi menyebutkan sudah ada yang mengurus, sehingga
tidak tercatat dalam register.
5. Negoisasi perkara, di dalam proses ini, proses penyidikan yang diulur-ulur merupakan
isyarat agar keluarga tersangka menghubungi jaksa. Dapat melibatkan calo, antara lain dari
kejaksaan, anak pejabat, pengacara, rekanan jaksa. Disini berat atau kecilnya dakwaan
menjadi alat tawar menawar.
6. Pengurangan tuntutan, tuntutan dapat dikurangi apabila tersangka memberikan sejumlah
uang. Berita acara pemeriksaan dibocorkan saat penyidikan. Selain itu juga, pasal yang
disangkakan
juga
dapat
diperdagangkan.
Dalam praktik mafia peradilan di persidangan di dalamnya terdapat, pemintaan uang jasa,
pengacara harus menyiapkan uang ekstra untuk bagian registrasi pengadilan. Dapat
menentukan majelis hakim sendiri atau menggunakan jasa panitera pengadilan. Negoisasi
putusan juga menjadi praktik para mafia peradilan, dimana sudah ada koordinasi sebelumnya
mengenai tuntutan jaksa, yang berujung pada vonis hakim. Tawar menawar antara hakim,
jaksa dan pengacara mengenai besar hukuman serta uang yang harus dibayarkan.
Pada tahap banding perkara, terdapat aksi-aksi nakal praktik mafia hukum pertama negosiasi
putusan, pengacara menghubungi hakim yang mengadili, lalu tawar menawar hukuman.
Kedua, penundaan eksekusi, pelaksanaan putusan dapat ditunda dengan membayar sejumlah
uang
kepada
jaksa
melalui
calo
perkara
atau
pelaksana
eksekusi.
Praktik mafia hukum di dalam Lembaga Pemasyarakatan adalah sebagai berikut; pungutan
bagi pengunjung, uang cuti, menggunakan orang lain yang identitasnya disesuaikan dengan
identitas terpidana, bisa mendapatkan perlakuan istimewa.
Pada mafia hukum, KOMJEN Pol Susno Duadji kembali menjadi pusat perhatian.
Setelah membuat pernyataan kontroversial tentang ''cicak melawan buaya'' dan
dicopot sebagai kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Polri, Kamis
lalu (18/3) perwira nonjob berbintang tiga itu mendatangi Satgas Pemberantasan
Mafia Hukum. Dia membeberkan informasi mengenai adanya makelar kasus
pajak di tubuh Mabes Polri.
Informasi Susno soal adanya makelar kasus atau mafia hukum di kepolisian
penting dicermati dan ditindaklanjuti. Fenomena mafia hukum dan korupsi yang
terjadi di lingkungan kepolisian sesungguhnya bukanlah hal baru dan sudah
menjadi rahasia umum. Bahkan, sebelum adanya pernyataaan Susno, kondisi itu
juga diakui kalangan internal kepolisian. Hal itu bisa dilihat dari hasil penelitian
mengenai praktik korupsi di kepolisian yang dilakukan oleh mahasiswa
Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) angkatan 39-A pada 2004.
Tidak berbeda dengan yang dilakukan mahasiswa PTIK, sebelumnya pada 2001
penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) mengenai pengurusan surat izin
mengemudi dan pola-pola korupsi di lingkungan peradilan, khususnya di
kepolisian, menyimpulkan bahwa korupsi di korps Bhayangkara bukan isapan
jempol belaka.
Berdasar hasil penelitian ICW di enam kota besar di Indonesia, korupsi yang
dilakukan anggota polisi biasanya terjadi pada penyelidikan dan penyidikan
suatu kasus. Permintaan uang jasa, penggelapan kasus, negosiasi kasus, dan
pemerasan merupakan pola yang umum dilakukan anggota kepolisian.
***
Meskipun sudah sedemikian marak, hanya sedikit aktor mafia hukum dari
kepolisian yang terungkap dan diproses ke pengadilan. Mereka yang pernah
Selama ini ada persoalan besar yang menghambat upaya pembersihan korupsi
di kepolisian. Yaitu, persoalan struktural dan kultural. Contoh persoalan
struktural, sering provos atau inspektorat kepolisian tidak berkutik ketika
berhadapan dengan polisi yang berpangkat lebih tinggi yang menjadi
''pelindung'' polisi yang diduga melakukan penyimpangan. Sering pula provos
atau inspektur polisi yang memeriksa ternyata berpangkat lebih rendah daridapa
polisi yang diperiksa.
Untuk membersihkan korupsi dan mafia hukum di kepolisian, paling tidak ada
tiga hal yang dibutuhkan. Pertama, pimpinan kepolisian yang memiliki kemauan
kuat dan tekad serius dalam membersihkan kepolisian dari para oknum polisi.
Hingga kini, belum ada figur pimpinan kepolisian yang memiliki karakter seperti
itu. Komitmen serius memberantas korupsi di internal sering hanya sebatas
pernyataan sejumlah petinggi kepolisian. Hasilnya tidak pernah terlihat.
Ketiga, perlu adanya lembaga di luar kepolisian yang diberi kewenangan dalam
mengusut dan membersihkan perilaku menyimpang, khususnya korupsi di
kepolisian. Kisah sukses pemberantasan korupsi di kepolisian bisa dilihat dari
pengalaman Singapura dan Hongkong yang berhasil menyeret banyak mantan
pejabat kepolisian yang terlibat korupsi ke meja hijau.
Testimoni Susno serta upaya Satgas Mafia Hukum dan KPK membersihkan mafia
hukum di kepolisian layak mendapatkan dukungan dari semua kalangan. Perlu
langkah progresif dan dorongan perubahan fundamental di kepolisian untuk
mengembalikan kepercayaan masyarakat yang mulai luntur. Saat ini masyarakat
berharap agar institusi kepolisian dapat bersih dari praktik mafia hukum dan
korupsi tidak hanya sesaat, namun selamanya.
Secara keseluruhan Reformasi Polri harus menyangkut masalah strategis, yang mencakup di
dalamnya yaitu, mendudukan fungsionalitas kepolisian dalam system ketatanegaraan,
membenahi dan mengembangkan profesionalisme kepolisian, dan membangun lembaga
independen yang kuat untuk mengawasi pelaksanaan tugas polisi sehari-hari.
Reformasi yang harus dijalankan oleh Kejaksaan antara lain, yaitu harus ada standar profesi
jaksa menyangkut keahlian dan pengetahuan, organisasi kejaksaan ideal sesuai dengan fungsi
dan tugas tiap pimpinan, system pengawasan kejaksaan harus transparan, akuntabel, dan
membuka seluas-luasnya partisipasi masyarakat, reward dan punishment yang intinya
memberi sanksi tegas terhadap yang melakukan pelanggaran dan member penghargaan
terhadap yang berprestasi, revisi pada KUHAP yang menciptakan system peradilan terpadu,
KUHAP yang ada sekarang membuka peluang makelar kasus karena proses penyidikan,
penuntutan, sampai ke pelimpahan ke pengadilan memakan waktu yang cukup lama dan tidak
ada ketentuan yang mengatur hal-hal mana dalam proses hukum tersebut yang harus dibuka
ke
publik.
Di dalam tubuh KPK juga harus diadakan reformasi secara menyeluruh. Di dalam reformasi
tersebut, harus ada fokus pilihan penindakan dan sasaran kasus korupsi yang harus ditangani
supaya jangan tumpang tindih dengan pihak kepolisian dan kejaksaan, batasan Rp. 1 Milyar
terlalu kecil sehingga harus dinaikkan. Jaminan perlindungan saksi dapat didampingi
pengacara. Dalam hal penyadapan secara ketentuan untuk menghindari kesewenangwenangan perlu persetujuan pengadilan.
Perlu diperhatikan juga LPSK untuk mereformasi lembaga tersebut. Di dalamnya ketentuan
syarat dan tata cara pemberian perlindungan saksi dan koban, harus ada kriteria saksi dan
korban yang bisa diberi perlindungan untuk menghindari jangan sampai pelaku kejahatan
pelanggar HAM dan korupsi diberi perlindungan. Selain itu, harus ada ketegasan bahwa
anggota LPSK tidak boleh merangkap jabatan untuk menghindari konflik kepentingan.
Dari keseluruhan informasi tentang Mafia Hukum ini, dapat kita ketahui mengenai sejarah
mafia hukum sampai dengan penanganan reformasi di semua tubuh Lembaga Penegak
keadilan untuk menghentikan kegiatan mafia hukum tersebut.