Anda di halaman 1dari 9

A.

Pengertian Umum Mafia Hukum


Dewasa ini di negara kita sedang ramai di bicarakan di media-media baik lokal atau pun
nasional mengenai Mafia Hukum. Sering terdengar kata mafia hukum bahkan sudah tidak
asing ini kita membicarakan tentang mafia hukum. Namun sebagian orang yang
membicarakan tentang mafia hukum tersebut tidak mengetahui apa arti dari istilah mafia
hukum tersebut. Dilihat dari asal kata M.A.F.I.A berasal dari negara Itali,yaitu Morte
Alla Francia Italia Anela yang artinya bunuh orang-orang Perancis adalah seruan Italia
(Mafia Fred ICoke). Secara definitif, definisi Mafia adalah organisasi politik patriotik,
yang berasal dari Kota Palermo Italia Tahun 1928, yang dibentuk untuk membebaskan Sicilia
dari dominasi asing (Perancis), dan untuk tercapainya tujuan itu diputuskan berdirinya
organisasi
Mafia.
Seiring dengan perkembangan zaman, pada abad ke XV organisasi mafia ini mulai
mengembangkan kegiatannya di bidang kejahatan. Pada tahun 1860, Mafia mengembangkan
organisasi di Sicilia di bidang kejahatan, pada tahun ini juga Mafia asal Sicilia ini
mengembangkan organisasinya sampai ke negara Amerika Serikat, khususnya di New Orlens,
dengan
menggunakan
nama
Cosa
Nostra.
Dari sejarah Mafia tersebut, sampai terkenal setiap ada tindakan kejahatan di istilahkan
dengan kata mafia, di Indonesia banyak oknum yang menjadi mafia di bidangnya masingmasing. Mafia Hukum di sini lebih dimaksudkan pada proses pembentukan Undang-undang
oleh Pembuat undang-undang yang lebih sarat dengan nuansa politis sempit yang lebih
berorientasi pada kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Bahwa sekalipun dalam politik
hukum di Indonesia nuansa politis dalam pembuatan UU dapat saja dibenarkan sebagai suatu
ajaran dan keputusan politik yang menyangkut kebijakan publik, namun nuansa politis di sini
tidak mengacu pada kepentingan sesaat yang sempit akan tetapi politik hukum yang
bertujuan mengakomodir pada kepentingan kehidupan masyarakat luas dan berjangka
panjang.
Sebagai contoh kecil lahirnya Undang-undang Ketenagakerjaan No.25 tahun 1997 yang
mulai diberlakukan pada tanggal 01 Oktober 2002 ( berdasarkan Perpu No.3 tahun 2000 yang
telah ditetapkan sebagai UU berdasarkan UU No. 28 tahun 2000), namun belum genap
berumur 6 bulan UU tersebut berlaku UU tersebut telah dicabut pada tanggal 25 Maret 2003
dengan diundangkan lagi UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengganti
UU
No.25
tahun
1997.
Silih bergantinya undang-undang yang mengatur ketenagakerjaan di Indonesia tidak dapat
lepas dari adanya kekuatan tarik-menarik kepentingan antara kepentingan tenaga kerja
dengan kepentingan para Pengusaha yang konon kepentingan para Pengusaha tersebut
diperjuangkan melalui mereka yang sekarang disebut sebagai Politisi Busuk.

Dan pada akhirnya sudah dapat ditebak keberadaan UU No.13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan tersebut dalam praktiknya lebih memihak kepada kalangan Pengusaha.
Banyak lagi perundang-undangan kita lainnya yang mengalami nasib senada dengan itu, dan
itu semua terjadi karena faktor politis yang bertujuan sempit dari para Pembuat undangundang.
Sedang Mafia Peradilan di sini lebih dimaksudkan pada hukum dalam praktik yang ada di
tangan para Penegak Hukum dimana secara implisit hukum dan keadilan telah berubah
menjadi
suatu
komoditas
yang
dapat
diperdagangkan.
Hukum dan keadilan menjadi barang mahal di negeri ini. Prinsip peradilan yang cepat, biaya
ringan dan sederhana sulit untuk ditemukan dalam praktik peradilan. Di negeri ini Law
Enforcement diibaratkan bagai menegakkan benang basah kata lain dari kata sulit dan susah
untuk
diharapkan.
Salah satunya yang mempersulit penegakan hukum di Indonesia adalah maraknya budaya
korupsi di semua birokrasi dan stratifikasi sosial yang telah menjadikan penegakan hukum
hanya sebatas retorika yang berisikan sloganitas dan pidato-pidato kosong.
Bahkan secara faktual tidak dapat dipungkiri semakin banyak undang-undang yang lahir
maka hal itu berbanding lurus semakin banyak pula komoditas yang dapat diperdagangkan.
Ironisnya tidak sedikit pula bagian dari masyarakat kita sendiri yang berminat sebagai
pembelinya. Di sini semakin tanpak bahwa keadilan dan kepastian hukum tidak bisa
diberikan begitu saja secara gratis kepada seseorang jika disaat yang sama ada pihak lain
yang
menawarnya.
Kenyataan ini memperjelas kepada kita hukum di negeri ini tidak akan pernah memihak
kepada mereka yang lemah dan miskin. Sekali lagi tidak akan pernah ! Sindiran yang
sifatnya sarkatisme mengatakan, berikan aku hakim yang baik, jaksa yang baik, polisi yang
baik dengan undang-undang yang kurang baik sekalipun, hasil yang akan aku capai pasti
akan lebih baik dari hukum yang terbaik yang pernah ada dinegeri ini.
Tapi agaknya para Penegak Hukum, Politisi, Pejabat dan Tokoh-Tokoh tertentu dalam
masyarakat kita tidak akan punya waktu dan ruang hati untuk dapat mengubris segala bentuk
sindiran yang mempersoalkan eksistensi pekerjaan dan tanggungjawab publiknya, jika
sindiran itu bakal mengurangi rejekinya. Buruknya proses pembuatan undang-undang dan
proses penegakan hukum yang telah melahirkan stigmatisasi mafia hukum dan mafia
peradilan di Indonesia, yang kalau kita telusuri keberadaannya ternyata mengakar pada
kebudayaan
mentalitas
kita
sebagai
suatu
bangsa.
Sehingga apa yang disebut dengan mafia hukum dan mafia peradilan eksistensinya cenderung
abadi karena ia telah menjadi virus mentalitas yang membudaya dalam proses penegakan
hukum di negeri ini. Sehingga berbicara tentang Law Enforcement di Indonesia tidaklah bisa

dengan hanya memecat para Hakim, memecat para Jaksa dan memecat para Polisi yang
korup, akan tetapi perbaikan tersebut haruslah dimulai dengan pembangunan pendidikan
dengan pendekatan pembangunan kebudayaan mentalitas kita sebagai suatu bangsa dan
membangun moral force serta etika kebangsaan yang kuat berlandaskan pada Iman dan
Taqwa
kepada
Tuhan
Yang
Maha
Esa.
Namun upaya untuk menempatkan hukum menjadi panglima di negeri ini diperlukan juga
adanya polical will dari para elite politik dan gerakan moral dari seluruh anak bangsa yang
perduli akan nasib bangsa ini, serta membrantas politikus busuk yang lagi sibuk merebut
kekuasaan.
Dengan terungkapnya mafia hukum maka dibentuklah Satgas Pemberantasan Mafia
Hukum (Satuan Petugas Pemberantasan Mafia Hukum). Pada tahun 2010 ini, terdapat
beberapa sasaran Satgas Mafia Hukum yang harus diberantas, antara lain: Mafia Peradilan,
Mafia Korupsi, Mafia Pajak dan Bea Cukai, Mafia Kehutanan, Mafia Pertambangan &
energy, Mafia Narkoba, Mafia Tanah, Mafia Perbankan & Pasar Modal, dan Mafia Perikanan.

B. Praktik Mafia Hukum di Beberapa Bidang


Pada Mafia Pajak, terjadi pola seperti ini, dari wajib pajak selanjutnya menghitung
sendiri kemudian melapor kepada petugas pajak, dari petugas pajak mafia pajak tersebut
menyalahkan perhitungan pajaknya dan meminta wajib pajak membayar pajak lebih tinggi
dari situlah terjadi negosiasi dan membayar pajak melalu Markus Mafia pajak (makelar
khusus mafia pajak). Disini peranan Markus Mafia pajak antara lain: menjadi penghubung
antara wajib pajak bermasalah dengan pejabat di kantor pajak, kantor keberatan pajak dan
banding serta pengadilan pajak, karena kedekatannya dengan pejabatnya dan menjadi
konsultan
pajak
bagi
wajib
pajak
bermasalah.
Tidak jauh berbeda dengan Mafia Pajak, pada Mafia Peradilan yang dituju dari Mafiamafia Peradilan tersebut adalah uang lebih dari si klien. Pola-pola dalam praktik Mafia
Peradilan terdapat beberapa tahap yang terjadi di dalamnya. Pada tahap penyelidikan,
pertama di dalam praktik Mafia Peradilan terdapat permintaan uang jasa, jadi laporan akan
ditindaklanjuti setelah menyerahkan uang jasa. Selain itu, terdapatnya penggelapan perkara,
yaitu dimana penanganan perkara dihentikan setelah ada kesepakatan membayar sejumlah
uang kepada polisi. Selanjutnya, pada tahap penyidikan terdapat adanya negosiasi perkara,
dimana di dalamnya terdapat tawar menawar pasal yang dikenakan terhadap tersangka
dengan imbalan uang yang berbeda-beda, kemudian menunda surat pemberitahuan
dimulainya penyidikan kepada kejaksaan. Selain itu, pada tahap penyidikan terdapat pula
pemerasan yang dilakukan oleh polisi, prosesnya tersangka dianiaya terlebih dahulu agar mau
kooperatif dan menyerahkan sejumlah uang, setelah itu mengarahkan kasus lalu menawarkan
jalan damai. Sampai kepada pengaturan ruang tahanan pun dibelakangnya terdapat dalang
Mafia peradilan, di dalam penempatan ruang tahanan menjadi ajang tawar menawar.

Di dalam tahap penyidikan secara rinci dapat dijelaskan banyak praktik-praktik mafia
peradilan antara lain:
1. Pemerasan, penyidikan diperpanjang untuk merundingkan uang damai. Surat panggilan
sengaja tanpa status saksi atau tersangka, yang pada ujungnya saat pemeriksaan dimintai
uang agar statusnya tidak menjadi tersangka.
2. Negosiasi Status, di dalam proses ini perubahan status tahanan seorang tersangka menjadi
ajang tawar menawar.
3. Pelepasan tersangka, melalui Surat Penghentian Penyidikan (SP3) atau sengaja membuat
dakwaan yang kabur (obscuur libel) sehingga terdakwa divonis bebas.
4. Penggelapan perkara, berkas perkara dapat diberhentikan jika memberikan sejumlah uang.
Saat dilimpahkan ke kejaksaan, polisi menyebutkan sudah ada yang mengurus, sehingga
tidak tercatat dalam register.
5. Negoisasi perkara, di dalam proses ini, proses penyidikan yang diulur-ulur merupakan
isyarat agar keluarga tersangka menghubungi jaksa. Dapat melibatkan calo, antara lain dari
kejaksaan, anak pejabat, pengacara, rekanan jaksa. Disini berat atau kecilnya dakwaan
menjadi alat tawar menawar.
6. Pengurangan tuntutan, tuntutan dapat dikurangi apabila tersangka memberikan sejumlah
uang. Berita acara pemeriksaan dibocorkan saat penyidikan. Selain itu juga, pasal yang
disangkakan
juga
dapat
diperdagangkan.
Dalam praktik mafia peradilan di persidangan di dalamnya terdapat, pemintaan uang jasa,
pengacara harus menyiapkan uang ekstra untuk bagian registrasi pengadilan. Dapat
menentukan majelis hakim sendiri atau menggunakan jasa panitera pengadilan. Negoisasi
putusan juga menjadi praktik para mafia peradilan, dimana sudah ada koordinasi sebelumnya
mengenai tuntutan jaksa, yang berujung pada vonis hakim. Tawar menawar antara hakim,
jaksa dan pengacara mengenai besar hukuman serta uang yang harus dibayarkan.
Pada tahap banding perkara, terdapat aksi-aksi nakal praktik mafia hukum pertama negosiasi
putusan, pengacara menghubungi hakim yang mengadili, lalu tawar menawar hukuman.
Kedua, penundaan eksekusi, pelaksanaan putusan dapat ditunda dengan membayar sejumlah
uang
kepada
jaksa
melalui
calo
perkara
atau
pelaksana
eksekusi.
Praktik mafia hukum di dalam Lembaga Pemasyarakatan adalah sebagai berikut; pungutan
bagi pengunjung, uang cuti, menggunakan orang lain yang identitasnya disesuaikan dengan
identitas terpidana, bisa mendapatkan perlakuan istimewa.

Pada mafia hukum, KOMJEN Pol Susno Duadji kembali menjadi pusat perhatian.
Setelah membuat pernyataan kontroversial tentang ''cicak melawan buaya'' dan
dicopot sebagai kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Polri, Kamis

lalu (18/3) perwira nonjob berbintang tiga itu mendatangi Satgas Pemberantasan
Mafia Hukum. Dia membeberkan informasi mengenai adanya makelar kasus
pajak di tubuh Mabes Polri.

Informasi Susno soal adanya makelar kasus atau mafia hukum di kepolisian
penting dicermati dan ditindaklanjuti. Fenomena mafia hukum dan korupsi yang
terjadi di lingkungan kepolisian sesungguhnya bukanlah hal baru dan sudah
menjadi rahasia umum. Bahkan, sebelum adanya pernyataaan Susno, kondisi itu
juga diakui kalangan internal kepolisian. Hal itu bisa dilihat dari hasil penelitian
mengenai praktik korupsi di kepolisian yang dilakukan oleh mahasiswa
Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) angkatan 39-A pada 2004.

Berdasar hasil penelitian calon perwira polisi tersebut, korupsi di kepolisian


dibagi dalam korupsi internal dan korupsi eksternal. Korupsi internal adalah
korupsi yang tak melibatkan masyarakat di luar komunitas polisi. Contoh yang
sering terjadi adalah jual beli jabatan, korupsi pada proses perekrutan anggota
kepolisian, pendistribusian logistik, dan penyaluran anggaran kepolisian.

Korupsi jenis kedua adalah korupsi eksternal yang langsung melibatkan


kepentingan masyarakat. Korupsi semacam itu terjadi dalam lingkup tugas polisi
yang berkaitan dengan penegakan hukum, pelayanan masyarakat, dan
penyalahgunaan wewenang.

Tidak berbeda dengan yang dilakukan mahasiswa PTIK, sebelumnya pada 2001
penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) mengenai pengurusan surat izin
mengemudi dan pola-pola korupsi di lingkungan peradilan, khususnya di
kepolisian, menyimpulkan bahwa korupsi di korps Bhayangkara bukan isapan
jempol belaka.

Berdasar hasil penelitian ICW di enam kota besar di Indonesia, korupsi yang
dilakukan anggota polisi biasanya terjadi pada penyelidikan dan penyidikan
suatu kasus. Permintaan uang jasa, penggelapan kasus, negosiasi kasus, dan
pemerasan merupakan pola yang umum dilakukan anggota kepolisian.

***

Meskipun sudah sedemikian marak, hanya sedikit aktor mafia hukum dari
kepolisian yang terungkap dan diproses ke pengadilan. Mereka yang pernah

diproses hukum hingga ke pengadilan, antara lain, mantan Kabareskrim


Kepolisian Komjen Pol Suyitno Landung dan Brigjen Pol Samuel Ismoko yang
tersandung kasus suap dari pelaku pembobolan BNI sebesar Rp 1,7 triliun serta
AKP Suparman, penyidik kepolisian yang diduga memeras saksi dalam kasus
korupsi.

Dalam banyak kasus, setiap pelanggaran yang dilakukan anggota kepolisian


diselesaikan di Komisi Kode Etik dan Profesi Kepolisian. Namun, kenyataannya,
sidang komisi itu sering memberikan keistimewaan kepada pelaku dengan
menurunkan derajat pelanggaran yang seharusnya dapat dipidana menjadi
sebatas pelanggaran administratif.

Penyebab munculnya mafia hukum dan korupsi di kepolisian pada umumnya


merupakan kombinasi antara tingkat kesejahteraan anggota kepolisian yang jauh
dari mencukupi, anggaran operasional yang minim, dan lemahnya pengawasan
serta tidak efektifnya penjatuhan hukuman dari atasan.

Selama ini ada persoalan besar yang menghambat upaya pembersihan korupsi
di kepolisian. Yaitu, persoalan struktural dan kultural. Contoh persoalan
struktural, sering provos atau inspektorat kepolisian tidak berkutik ketika
berhadapan dengan polisi yang berpangkat lebih tinggi yang menjadi
''pelindung'' polisi yang diduga melakukan penyimpangan. Sering pula provos
atau inspektur polisi yang memeriksa ternyata berpangkat lebih rendah daridapa
polisi yang diperiksa.

Persolan kultural misalnya, kalangan polisi enggan memeriksa sesama rekan


seprofesi. Itu bisa jadi karena semangat untuk melindungi korps (espirit de
corps) yang berlebihan sehingga merupakan aib apabila kasusnya diketahui oleh
umum. Selain itu, dimungkinkan juga terjadi praktik kolusi di tengah penyidikan
kasus yang membuat penyidikan berakhir dengan kesimpulan bahwa dugaan
korupsi tak terbukti.

Untuk membersihkan korupsi dan mafia hukum di kepolisian, paling tidak ada
tiga hal yang dibutuhkan. Pertama, pimpinan kepolisian yang memiliki kemauan
kuat dan tekad serius dalam membersihkan kepolisian dari para oknum polisi.
Hingga kini, belum ada figur pimpinan kepolisian yang memiliki karakter seperti
itu. Komitmen serius memberantas korupsi di internal sering hanya sebatas
pernyataan sejumlah petinggi kepolisian. Hasilnya tidak pernah terlihat.

Kedua, memberikan sanksi yang tegas dan memproses hingga ke pengadilan


kepada anggota polisi yang korup atau menjadi mafia hukum. Keberadaan polisi
nakal dan korup sangat berbahaya karena dapat merusak citra institusi tersebut,
menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat (public trust), serta merusak
akuntabilitas kinerja aparat kepolisian itu sendiri.

Ketiga, perlu adanya lembaga di luar kepolisian yang diberi kewenangan dalam
mengusut dan membersihkan perilaku menyimpang, khususnya korupsi di
kepolisian. Kisah sukses pemberantasan korupsi di kepolisian bisa dilihat dari
pengalaman Singapura dan Hongkong yang berhasil menyeret banyak mantan
pejabat kepolisian yang terlibat korupsi ke meja hijau.

Dalam hal ini, lembaga eksternal di luar kepolisian seperti Satgas


pemberantasan Mafia Hukum dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
diharapkan dapat meniru kisah sukses pemberantasan korupsi di kepolisian dari
kedua negara tersebut.

Testimoni Susno serta upaya Satgas Mafia Hukum dan KPK membersihkan mafia
hukum di kepolisian layak mendapatkan dukungan dari semua kalangan. Perlu
langkah progresif dan dorongan perubahan fundamental di kepolisian untuk
mengembalikan kepercayaan masyarakat yang mulai luntur. Saat ini masyarakat
berharap agar institusi kepolisian dapat bersih dari praktik mafia hukum dan
korupsi tidak hanya sesaat, namun selamanya.

C. Cara Pemberantasan Mafia Hukum


Semua Mafia Hukum ini dapat diberantas dengan cara Reformasi pada lembaga penegak
hukum. Kultur kepolisian selama ini lebih menonjolkan sikap represif, arogan, ekslusif dan
merasa paling benar, semua paradigma itu harus diubah dengan menegakkan norma
demokrasi seperti equality, fairness, dan transparency. Tugas dan wewenang kepolisian yang
begitu luas harus dipangkas. Harus dilakukan revisi UU Kepolisian dengan memfokuskan
wewenang kepolisian sebagai penegak hukum, penjaga ketertiban dan keamanan, dan
pelayan publik. Implementasi reformasi Polri cenderung bersifat konvensional, karena hal
berikut : Pelaksanaannya masih top down, Tidak disertai ruang bagi satuan bawah untuk
melakukan inovasi, Tidak disertai reward dan punishment, Tidak disertai jaminan bahwa
setiap pergantian pimpinan tidak akan terjadi perubahan kebijakan yang ditetapkan pimpinan
sebelumnya.

Secara keseluruhan Reformasi Polri harus menyangkut masalah strategis, yang mencakup di
dalamnya yaitu, mendudukan fungsionalitas kepolisian dalam system ketatanegaraan,
membenahi dan mengembangkan profesionalisme kepolisian, dan membangun lembaga
independen yang kuat untuk mengawasi pelaksanaan tugas polisi sehari-hari.
Reformasi yang harus dijalankan oleh Kejaksaan antara lain, yaitu harus ada standar profesi
jaksa menyangkut keahlian dan pengetahuan, organisasi kejaksaan ideal sesuai dengan fungsi
dan tugas tiap pimpinan, system pengawasan kejaksaan harus transparan, akuntabel, dan
membuka seluas-luasnya partisipasi masyarakat, reward dan punishment yang intinya
memberi sanksi tegas terhadap yang melakukan pelanggaran dan member penghargaan
terhadap yang berprestasi, revisi pada KUHAP yang menciptakan system peradilan terpadu,
KUHAP yang ada sekarang membuka peluang makelar kasus karena proses penyidikan,
penuntutan, sampai ke pelimpahan ke pengadilan memakan waktu yang cukup lama dan tidak
ada ketentuan yang mengatur hal-hal mana dalam proses hukum tersebut yang harus dibuka
ke
publik.
Di dalam tubuh KPK juga harus diadakan reformasi secara menyeluruh. Di dalam reformasi
tersebut, harus ada fokus pilihan penindakan dan sasaran kasus korupsi yang harus ditangani
supaya jangan tumpang tindih dengan pihak kepolisian dan kejaksaan, batasan Rp. 1 Milyar
terlalu kecil sehingga harus dinaikkan. Jaminan perlindungan saksi dapat didampingi
pengacara. Dalam hal penyadapan secara ketentuan untuk menghindari kesewenangwenangan perlu persetujuan pengadilan.
Perlu diperhatikan juga LPSK untuk mereformasi lembaga tersebut. Di dalamnya ketentuan
syarat dan tata cara pemberian perlindungan saksi dan koban, harus ada kriteria saksi dan
korban yang bisa diberi perlindungan untuk menghindari jangan sampai pelaku kejahatan
pelanggar HAM dan korupsi diberi perlindungan. Selain itu, harus ada ketegasan bahwa
anggota LPSK tidak boleh merangkap jabatan untuk menghindari konflik kepentingan.
Dari keseluruhan informasi tentang Mafia Hukum ini, dapat kita ketahui mengenai sejarah
mafia hukum sampai dengan penanganan reformasi di semua tubuh Lembaga Penegak
keadilan untuk menghentikan kegiatan mafia hukum tersebut.

Anda mungkin juga menyukai