Pembimbing:
dr. Teguh Anamani, Sp.M
Disusun oleh:
Isnaini Putri Sholikhah G4A015204
LEMBAR PENGESAHAN
Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus dan referat dengan
judul :
Pada tanggal,
Oktober 2016
Disusun oleh:
Isnaini Putri Sholikhah G4A015204
Mengetahui,
Pembimbing
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................ii
KATA PENGANTAR..........................................................................................iii
DAFTAR ISI........................................................................................................iv
I. PENDAHULUAN
II. TINJAUAN PUSTAKA
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
I.
J.
K.
III. KESIMPULAN.............................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................25
BAB I
PENDAHULUAN
Sindrom mata kering atau biasa disebut Keratoconjunctivitis Sicca
(KCS) merupakan gejala multifaktorial yang terjadi pada Lapisan Air Mata
(LAM) dan bagian permukaan mata yang menyebabkan rasa tidak nyaman
dan gangguan penglihatan (El-Shazly, Hamdy & Ahmed, 2012). Menurut
International Dry Eye Workshop (DEWS) tahun 2007 SMK adalah penyakit
multifaktorial pada LAM dan permukaan mata yang menimbulkan yang
berpotensi merusak permukaan mata yang disertai dengan peningkatan
osmolaritas LAM dan inflamasi dari permukaan mata (DEWS, 2007).
Gejala yang muncul pada sindrom mata kering antara lain rasa terbakar
pada mata, mengganjal, pedas, nyeri, photophobia, dan penglihatan yang
kabur (Nichols JJ, Sinnott LT, 2006). Sindrom mata kering dipengaruhi oleh
usia, status hormonal, genetik, jenis kelamin, status imun, nutrisi, patogen,
dan stres akibat lingkungan. (Sahai, 2005).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Fisiologi Sistem Lakrimalis
1. Sistem Lakrimalis
Sistem lakrimalis pada mata terdiri dari sistem sekresi dan
ekskresi. Sistem sekresi air mata terletak di daerah temporal bola mata.
Komponen sekresi air mata terdiri atas kelenjar yang menghasilkan
berbagai unsur pembentuk air mata. Lapisan superfisial palpebra terdiri
atas kulit, kelenjar Moll dan Zeiss, muskulus orbikularis okuli dan
muskulus levator palpebra. Sedangkan, lapisan dalam terdiri atas
lapisan tarsal, muskulus tarsalis, konjungtiva palpebralis dan kelenjar
Meibom (Wagner, et al., 2006). Glandula lakrimalis assesorius
(glandula Krause dan Wolfring) terletak di dalam substansia propia di
konjungtiva palpebrae (Paul & John, 2009).
Gam
bar 2.2 Apparatus Lakrimalis (Sumber: Netters Atlas of Human Anatomy)
2. Konjungtiva
Secara anatomis, konjungtiva merupakan membran mukosa
yang transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior
kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera
(konjungtiva bulbaris). Secara histologi lapisan epitel konjungtiva
terdiri atas dua hingga lima lapisan sel epitel silindris bertingkat,
superfisial dan basal. Sel-sel epitel pada lapisan superfisial epitel
konjungtiva mengandung sel-sel goblet yang berfungsi mensekresi
mukus pada lapisan air mata (Vaughan, 2009).
normal, cairan air mata adalah isotonik. Osmolalitas film air mata
bervariasi dari 295 sampai 309 mosm/L (Whitcher, 2000).
10
okuler.
Sebagai
tambahan,
mengedip
dapat
11
12
13
Malik, 2005). Faktor risiko yang lain adalah jenis kelamin wanita, usia tua,
terapi estrogen, postmenopause, penggunaan komputer, penggunaan lensa
kontak, diet rendah asam lemak omega-3 dan omega-6, operasi refraktif,
kekurangan vitamin A, terapi radiasi, pengobatan sistemik seperti
penggunaan penyekat beta adrenergik, dan pengobatan antihistamin serta
bahan pengawet tetes mata yaitu yang mengandung benzalkonium
hydrochloride, dan luka bakar kimiawi pada mata. Diabetes melitus (DM)
juga dapat menjadi penyebab sindroma mata kering. Hal ini diakibatkan
karena neuropati yang menyebabkan terganggunya refleks berkedip
(Kastelan, et al., 2013). Keadaan eksoftalmus pada penyakit tiroid juga
dapat mengakibatkan sindrom mata kering karena permukaan mata yang
semakin melebar menyebabkan evaporasi LAM semakin tinggi (Jesicca, et
al., 2015).
Tabel 2.1 Faktor resiko dry eye (DEWS, 2007)
Konsisten
Usia tua
Wanita
Terapi estrogen
Postmenopouse
Diet rendah asam
Belum jelas
Merokok
Etnis Hispanik
Antikolinergik
Penggunaan
antihistamin
Penyakit jaringan ikat
LASIK
Diabetes melitus
Infeksi HIV/HTLV1
Terapi radiasi
Terapi sumsum tulang
Defisiensi vitamin A
Kemoterapi
ECCE insisi besar
Lingkungan dengan
Infeksi hepatitis C
Defisiensi androgen
kelembaban rendah
Sarkoidosis
Disfungsi ovarium
Injeksi toxin
botulinum
Jerawat
Gout
Kontrasepsi oral
Kehamilan
F. Klasifikasi
14
15
e
f
16
Uji tear break up time bertujuan untuk menilai stabilitas air mata
pada komponen musin dan lipid. Uji ini dilakukan dengan memberikan
fluorescein pada mata pasien. Pada uji tear break up time dinyatakan
sindrom mata kering apabila 5 detik dan dinyatakan normal apabila lebih
dari 10 detik. (Behrens, et al., 2006). Tes lain yang biasa digunakan untuk
mengetahui kondisi LAM adalah tes ferning. Pemeriksaan ini dilakukan
dengan meletakkan air mata pada kaca objek kemudian diamati dibawah
mikroskop. Pewarnaan fluorescein digunakan untuk mendeteksi defek
kornea pada pasien sindrom mata kering. Pewarnaan ini dilakukan dengan
secarik kertas yang diberikan fluorescein sehingga akan terlihat bagian
yang terluka (Asyari, 2007). Pewarnaan rose bengal dilakukan untuk
menilai kuantitas LAM. Hasilnya apabila lebih dari 3 dari 18 berarti
terdapat defisiensi akuos (Ilyas, 2009).
17
18
19
interval
berkedip.
keringnya
Hal
permukaan
ini
mata
diasumsikan
secara
lokal
dapat
dan
berguna untuk pelumas jangka panjang, terutama saat tidur. Salep yang
digunakan biasanya mengandung kortikosteroid atau siklosporin A sebagai
agen anti inflamasi. Selain itu dapat digunakan pula antibiotic topical
tetrasiklin untuk radang pada kelenjar meibom atau meibomianitis.
Pemulihan dapat ditingkatkan dengan memakai pelembab, moisturechamber spectacles, atau kacamata renang (Vaughan, 2009). Fungsi utama
pengobatan ini adalah untuk penggantian cairan. Tindakan bedah pada
sindrom mata kering berupa pemasangan sumbatan di punctum yang
bersifat temporer (kolagen) atau untuk waktu yang lebih lama (silikon).
Tindakan ini berfungsi menahan sekret air mata. Penutupan puncta dan
kanalikuli secara permanen dapat dilakukan dengan terapi termal (panas),
kauter listrik, atau dengan laser (Vaughan, 2009).
Sedang
Berat
J. Komplikasi
Pada awal perjalanan sindrom mata kering, penglihatan sedikit
terganggu. Dengan memburuknya keadaan, ketidaknyamanan sangat
menggangu. Pada kasus lanjut, dapat timbul ulkus kornea, penipisan
kornea, dan perforasi. Kadang-kadang terjadi infeksi bakteri sekunder, dan
berakibat parut dan vaskularisasi pada kornea, yang sangat menurunkan
penglihatan. Terapi dini dapat mencegah komplikasi-komplikasi ini
(Vaughan, 2009).
K. Prognosis
Secara umum, prognosis untuk ketajaman visual pada pasien dengan
sindrom mata kering baik (Vaughan, 2009).
21
KESIMPULAN
Sindrom mata kering adalah penyakit multifaktorial pada LAM dan
permukaan mata yang menimbulkan rasa tidak nyaman, gangguan
penglihatan, dan ketidakstabilan LAM yang berpotensi merusak permukaan
mata yang disertai dengan peningkatan osmolaritas LAM dan inflamasi
permukaan mata
Terdapat beberapa keadaan yang menyebabkan sindrom mata kering
diantaranya kondisi yang ditandai dengan hipofungsi kelenjar lakrimal,
kondisi yang ditandai dengan defisiensi musin, kondisi yang ditandai
dengan defisiensi lapisan lipid, serta penyebaran air mata yang kurang
sempurna.
Sindrom mata kering dapat dikategorikan menjadi aquoeus deficient dry eye
22
Air mata buatan yang mengandung NaCl, KCl, dan vitamin C adalah terapi
DAFTAR PUSTAKA
2012.
Dry
Eye.
American
Optometric
Asosiation,
pp.
http://www.aoa.org/patients-and-public/eye-and-vision-problems/glossary-of-eyeand-vision-conditions/dry-eye?sso=y.
Asyari, F., 2007. Dry Eye Syndrome (Sindrom Mata Kering). Indonesian Scientific
Journal Database, Volume 4, p. 610.
Chaironika, N., 2011. Insidensi dan Derajat Dry Eye pada Menopause di RSU H.
Adam Malik Medan. Repository USU.
Dutton JJ, Gayre GS, Proia AD. 2007. Diagnostic Atlas Of Common Eye Lid Disease.
Informa
23
Sahai, A. & Malik, P., 2005. Dry eye: prevalence and attributable risk factors in a
hospital-based population. Indian J Ophtalmol, pp. 87-91.
Uncu, G., Avci, R., Uncu, Y., Kaymaz, C., & Develioglu, O., 2006. The effects of
different hormone replacement therapy regimens on tear function, intraocular
pressure and lens opacity.. Gnycol Endocrinol, Volume 22, pp. 501-550.
Wagner, Peter, Lang & Gerhard, K., 2006. Lacrimal System. New York: Theime
Stuttgart.
Whitcher, John P., 2000. Air Mata. Dalam: Suyono, Y. Joko (ed). Oftalmologi Umum
edisi 14. Jakarta: Widya Medika.
Vaughan dan Asbury. 2009. Oftalmologi Umum. Jakarta : EGC.
Yen, J.-C., 2015. The Prevalence of Dry Eye Syndrome's and the Likelihood to
Develop Sjogren's Syndrome in Taiwan: A Population-Based Study. International
24
Journal of Environmental Research and Public Health, Volume 12, pp. 76477655.
25