Anda di halaman 1dari 25

PRESENTASI KASUS DAN REFERAT

ILMU PENYAKIT MATA


SINDROM MATA KERING

Pembimbing:
dr. Teguh Anamani, Sp.M

Disusun oleh:
Isnaini Putri Sholikhah G4A015204

SMF ILMU PENYAKIT MATA


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2016

LEMBAR PENGESAHAN
Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus dan referat dengan
judul :

SINDROM MATA KERING

Pada tanggal,

Oktober 2016

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti


program profesi dokter di Bagian Ilmu Penyakit Mata
RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto

Disusun oleh:
Isnaini Putri Sholikhah G4A015204

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Teguh Anamani, Sp.M


KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT., karena atas
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas presentasi kasus dan
referat ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW beserta para pengikut setianya.
Terimakasih penulis sampaikan kepada para pengajar, fasilitator, dan
narasumber SMF Ilmu Penyakit Mata, terutama dr. Teguh Anamani, Sp.M selaku
pembimbing penulis. Penulis menyadari referat ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat
penulis harapkan demi kesempurnaannya.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga referat ini dapat
bermanfaat khususnya bagi penulis yang sedang menempuh pendidikan dan dapat
dijadikan pelajaran bagi yang membacanya.
2

Purwokerto, Oktober 2016

Penulis

DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................ii
KATA PENGANTAR..........................................................................................iii
DAFTAR ISI........................................................................................................iv
I. PENDAHULUAN
II. TINJAUAN PUSTAKA
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
I.
J.
K.

Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Lakrimal.................................................6


Definisi......................................................................................................12
Etiologi .....................................................................................................12
Epidemiologi ............................................................................................14
Faktor Risiko ............................................................................................14
Klasifikasi..................................................................................................16
Penegakan Diagnosis dan Temuan Klinis.................................................16
Patomekanisme..........................................................................................20
Tatalaksana................................................................................................21
Komplikasi................................................................................................23
Prognosis...................................................................................................23

III. KESIMPULAN.............................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................25

BAB I
PENDAHULUAN
Sindrom mata kering atau biasa disebut Keratoconjunctivitis Sicca
(KCS) merupakan gejala multifaktorial yang terjadi pada Lapisan Air Mata
(LAM) dan bagian permukaan mata yang menyebabkan rasa tidak nyaman
dan gangguan penglihatan (El-Shazly, Hamdy & Ahmed, 2012). Menurut
International Dry Eye Workshop (DEWS) tahun 2007 SMK adalah penyakit
multifaktorial pada LAM dan permukaan mata yang menimbulkan yang
berpotensi merusak permukaan mata yang disertai dengan peningkatan
osmolaritas LAM dan inflamasi dari permukaan mata (DEWS, 2007).
Gejala yang muncul pada sindrom mata kering antara lain rasa terbakar
pada mata, mengganjal, pedas, nyeri, photophobia, dan penglihatan yang
kabur (Nichols JJ, Sinnott LT, 2006). Sindrom mata kering dipengaruhi oleh
usia, status hormonal, genetik, jenis kelamin, status imun, nutrisi, patogen,
dan stres akibat lingkungan. (Sahai, 2005).

Menurut penelitian yang dilakukan di berbagai belahan dunia prevalensi


sindrom mata kering berkisar 5,5%-33,7% dari semua subjek yang diteliti.
Diperkirakan 4,3 juta orang di USA yang berusia lebih dari 65 tahun
mengalami gejala sindrom mata kering. Prevalensi diagnosis sindrom mata
kering di Asia lebih tinggi dari pada Australia dan Amerika. Penelitian yang
telah dilakukan di Sumatra menunjukkan prevalensi sindrom mata kering
sebesar 27,5% (DEWS, 2007).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Fisiologi Sistem Lakrimalis
1. Sistem Lakrimalis
Sistem lakrimalis pada mata terdiri dari sistem sekresi dan
ekskresi. Sistem sekresi air mata terletak di daerah temporal bola mata.
Komponen sekresi air mata terdiri atas kelenjar yang menghasilkan
berbagai unsur pembentuk air mata. Lapisan superfisial palpebra terdiri
atas kulit, kelenjar Moll dan Zeiss, muskulus orbikularis okuli dan
muskulus levator palpebra. Sedangkan, lapisan dalam terdiri atas
lapisan tarsal, muskulus tarsalis, konjungtiva palpebralis dan kelenjar
Meibom (Wagner, et al., 2006). Glandula lakrimalis assesorius
(glandula Krause dan Wolfring) terletak di dalam substansia propia di
konjungtiva palpebrae (Paul & John, 2009).

Gambar 2.1 Potongan Sagital Palpebra Superior (Dutton, 2007)


Komponen ekskresi air mata terdiri atas pungtum lakrimalis,
kanalikuli lakrimalis, dan sakus lakrimalis yang terletak di bagian depan
rongga orbita. Air mata dari duktus lakrimalis akan mengalir ke dalam
rongga hidung di dalam meatus nasi inferior (Smith, et al., 2007).
Kelenjar lakrimal diinervasi oleh serat-serat parasimpatis dari nervus
fasialis. Tindakan berkedip dapat membantu menyebarkan air mata
yang dihasilkan oleh kelenjar lakrimal (Seeley, et al., 2006).
Perdarahan kelenjar lakrimal berasal dari arteri lakrimalis. Vena
dari kelenjar bergabung dengan vena ophtalmica. Drainase limfe
bersatu dengan pembuluh limfe konjungtiva dan mengalir ke kelenjar
getah bening preaurikular. Kelenjar air mata dipersarafi oleh nervus
lacrimalis (sensoris), suatu cabang dari divisi pertama trigeminus,
nervus petrosus superficialis magna (sekretoris) yang datang dari
nukleus salivarius superior, dan saraf simpatis yang menyertai arteria
dan nervus lacrimalis. (Vaughan, 2009).

Gam
bar 2.2 Apparatus Lakrimalis (Sumber: Netters Atlas of Human Anatomy)
2. Konjungtiva
Secara anatomis, konjungtiva merupakan membran mukosa
yang transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior
kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera
(konjungtiva bulbaris). Secara histologi lapisan epitel konjungtiva
terdiri atas dua hingga lima lapisan sel epitel silindris bertingkat,
superfisial dan basal. Sel-sel epitel pada lapisan superfisial epitel
konjungtiva mengandung sel-sel goblet yang berfungsi mensekresi
mukus pada lapisan air mata (Vaughan, 2009).

Gambar 2.2 Anatomi Konjungtiva (Wagner, 2006)


3. Kornea
Kornea merupakan selaput bening pada mata yang tembus oleh
cahaya yang terdiri atas lima lapis yitu epitel dengan 550 m,
membrana bowman yang merupakan kolagen, stroma yang menysusun

90% ketebalan kornea, membrana descement, dan endotel (Ilyas,


2015).

Gambar 2.3 Kornea (Wagner, 2006)


Sumber-sumber nutrisi untuk kornea didapatkan dari pembuluhpembuluh darah dekat limbus, humor aqueous, dan air mata. Kornea
superfisial juga mendapatkan sebagian besar oksigen dari atmosfer.
Saraf-saraf sensorik kornea didapat dari cabang pertama nervus
kranialis V (n. ophthalmicus) (Vaughan, 2009).
4. Lapisan Air Mata
LAM merupakan suatu komponen yang berperan penting dalam
penglihatan. LAM terdiri dari tiga lapis. LAM ini mempunyai ketebalan
7 micron dimana 1,5% terdiri dari lapisan lipid, 95% lapisan akuos, dan
3,5% lapisan musin. Fungsi utama dari LAM adalah untuk
mengeluarkan debris, melindungi permukaan mata, dan mensuplai
oksigen. (AOA, 2012). Ion K+, Na+, dan Cl- terdapat dalam
konsentrasi lebih tinggi dalam air mata dari dalam plasma. Air mata
juga mengandung sedikit glukosa (5 mg/dL) dan urea (0,04 mg/dL) dan
perubahannya dalam konsentrasi darah akan diikuti perubahan
konsentrasi glukosa dan urea air mata. pH rata-rata air mata adalah
7,35, meski ada variasi normal yang besar (5,20-8,35). Dalam keadaan

normal, cairan air mata adalah isotonik. Osmolalitas film air mata
bervariasi dari 295 sampai 309 mosm/L (Whitcher, 2000).

Gambar 2.4. Komposisi Air Mata (Pflugfelder, 2004)


Lapisan lipid berada paling superfisial diantara lapisan yang lain.
Lapisan ini dihasilkan oleh kelenjar-kelenjar lemak yang ada di mata
seperti kelenjar Meibom, Moll dan Zeiss. Kelenjar Meibom terletak
didalam tarsus sebanyak 30-40 buah tersusun sejajar dan tegak lurus
pada tepi kelopak mata. Kelenjar Moll merupakan kelenjar apokrin
yang mengeluarkan cairan kectal dan lengket seperti susu, sedangkan
kelenjar Zeiss merupakan modifikasi kelenjar sebasea yang menempel
pada folikel rambut (Ilyas, 2015).
Lapisan kedua adalah lapisan akuos. Komponen akuos pada
lapisan air mata dihasilkan oleh kelenjar lakrimalis itu sendiri. Lapisan
ini mempertahankan kelembaban mata dengan membilas permukaan
mata dari debu, kotoran dan benda asing yang masuk ke permukaan
mata. Lapisan ini selain dihasilkan oleh kelenjar lakrimal juga
dihasilkan oleh kelenjar Wolfring dan kelenjar Krause. Lapisan ini
mengandung garam anorganik, glukosa, urea, protein dan glikoprotein
yang berfungsi untuk supply oksigen untuk metabolisme pada kornea.

Lapisan akuos ini mengandung bahan protein lain seperti lipocalin,


lactoferrin, lysozyme, dan lacritin. Terdapat pula igA, sitokin dan
growth factor yang berperan dalam penyembuhan. Beberapa elektrolit
seperti natrium, klorida, kalsium, dan kalium juga terkandung di dalam
lapisan ini (Ilyas, 2015).
Lapisan ketiga yaitu lapisan musin dihasilkan oleh sel-sel goblet
yang ada di epitel mata (AOA, 2012). Lapisan ini bersifat hidrofobik
yang menyebabkan menyebarnya air mata pada permukaan mata.
Apabila lapisan ini berkurang konsentrasinya, maka akan menurunkan
viskositas sehingga menyebabkan sindrom mata kering (Ilyas, 2015).

Gambar 2.5 Lapisan Air Mata (Sumber: dryeyes.com.au)

10

Gambar 2.6 Lapisan Air Mata (Sumber: Wagner, 2006)


5. Refleks Berkedip
Refleks kedip mata dapat disebabkan oleh hampir semua
stimulus perifer, namun dua refleks fungsional yang signifikan adalah
(Encyclopdia Britannica, 2007):
a. Stimulasi terhadap nervus trigeminus di kornea, palpebra dan
konjungtiva yang disebut refleks kedip sensoris atau refleks
kornea. Refleks ini berlangsung cepat yaitu 0,1 detik.
b. Stimulus yang berupa cahaya yang menyilaukan yang disebut
refleks kedip optikus. Refleks ini lebih lambat dibandingkan
refleks kornea.
Pada keadaan terbangun, mata mengedip secara reguler dengan
interval dua sampai sepuluh detik dengan lama kedip selama 0,3-0,4
detik. Hal ini merupakan suatu mekanisme untuk mempertahankan
kontinuitas film prekorneal dengan cara menyebabkan sekresi air mata
ke kornea. Selain itu, mengedip dapat membersihkan debris dari
permukaan

okuler.

Sebagai

tambahan,

mengedip

dapat

mendistribusikan musin yang dihasilkan sel goblet dan meningkatkan


ketebalan lapisan lipid (Nichols, 2006).
B. Definisi
Sindrom mata kering adalah penyakit multifaktorial pada LAM dan
permukaan mata yang menimbulkan rasa tidak nyaman, gangguan
penglihatan, dan ketidakstabilan LAM yang berpotensi merusak
permukaan mata yang disertai dengan peningkatan osmolaritas LAM dan
inflamasi permukaan mata (DEWS, 2007). Sindrom mata kering

11

merupakan suatu kelompok gejala dimana mata terasa tidak nyaman


(seperti iritasi, perih, berair, seperti berpasir, lengket, gatal, pegal, merah,
merasa mengantuk, mudah lelah) dan dapat terjadi penurunan tajam
penglihatan bila sudah terjadi kerusakan epitel kornea bahkan perforasi
(Asyari, 2007). Sindrom mata kering menyebabkan berbagai gejala yang
dapat berakibat pada menurunnya kualitas hidup (Yen, 2015).
C. Etiologi
Terdapat beberapa keadaan yang menyebabkan sindrom mata
kering diantaranya kondisi yang ditandai dengan hipofungsi kelenjar
lakrimal, kondisi yang ditandai dengan defisiensi musin, kondisi yang
ditandai dengan defisiensi lapisan lipid, serta penyebaran air mata yang
kurang sempurna.
Menurut Vaughan tahun 2009 terdapat beberapa etiologi sindrom
mata kering (Vaughan, 2009):
1. Kondisi ditandai dengan hipofungsi kelenjar lakrimal
a. Kongenital
1) Disautonomia familial (sindrom Riley-Day)
2) Aplasia kelenjar lakrimal (alakrima kongenital)
3) Displasia ektodermal
b. Didapat
1) Penyakit sistemik seperti sindrom Sjogren, sklerosis sistemik
progresif, sarkoidosis, leukemia, limfoma, amiloidosis,
hemokromatosis
2) Infeksi seperti parotitis
3) Cedera seperti pengangkatan secara bedah atau kerusakan
kelenjar lakrimal, radiasi, luka bakar kimiawi
4) Konsumsi obat seperti antihistamin, antimuskarinik, dan
penyekat beta adrenergik
5) Neurogenik misalnya paralisis nervus fasialis
2. Kondisi ditandai dengan defisiensi musin
a. Avitaminosis
b. Sindrom Stevens-Johnson
c. Pemfigoid okular
d. Konjungtivitis kronik, seperti trakoma
e. Luka bakar kimiawi
f. Obat seperti antihistamin, antimuskarinik, dan penyekat beta
adrenergik dan bahan pengawet tetes mata
g. Obat tradisional
3. Kondisi ditandai dengan defisiensi lipid, seperti parut tepian palpebra
dan blefaritis

12

4. Penyebaran film air mata yang kurang sempurna disebabkan oleh:


a. Kelainan palpebra
1) Defek, koloboma
2) Ektropion atau entropion
3) Keratinisasi tepian palpebra
4) Kurang atau tidak adanya berkedip yang disebabkan oleh
gangguan neurogenik, hipertiroidisme, penggunaan lensa
kontak, obat, keratitis herpes simpleks, lepra
5) Lagoftalmos
b. Kelainan konjungtiva
1) Pterigium
2) Simblefaron
c. Proptosis
D. Epidemiologi
Prevalensi sindrom mata kering di Amerika Serikat berkisar 7%
pada wanita dan 4% pada pria. Menurut penelitian yang dilakukan oleh
Womens Health dan Physicians Health (WHS) diperkirakan 3,23 juta
wanita dan 1,68 juta pria dari total 4,91 juta penduduk Amerika yang
berusia diatas 50 tahun mengalami sindrom mata kering. Data dari WHS
menunjukkan bahwa prevalensi diagnosis sindrom mata kering di Asia
lebih tinggi (DEWS, 2007). Wanita memiliki prevalensi lebih tinggi dari
pria (Jie, 2009). Di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan ditemukan
76,8% prevalensi sindrom mata kering pada wanita yang telah menopause
(Chaironika, 2011).
E. Faktor Risiko
Beberapa faktor risiko diketahui mempengaruhi terjadinya sindrom
mata kering. Berdasarkan studi epidemiologi yang pernah dilakukan,
wanita diketahui memiliki kemungkinan lebih tinggi terkena sindrom mata
kering dari pada laki-laki (Han, et al., 2011). Sebuah penelitian
menunjukkan bahwa hormon seks mempengaruhi sekresi air mata, fungsi
kelenjar meibom, dan densitas sekresi sel goblet (Sahai & Malik, 2005).
Wanita dengan kontrasepsi oral memiliki densitas sel goblet lebih tinggi
dari yang tidak menggunakan kontrasepsi oral. Penelitian oleh Krenzer
juga menyebutkan bahwa defisiensi androgen kronik menyebabkan
disfungsi kelenjar meibom (Uncu, et al., 2006).
Beberapa faktor yang menyebabkan sindrom mata kering adalah
polusi udara, cahaya matahari, angin kencang, dan merokok (Sahai &

13

Malik, 2005). Faktor risiko yang lain adalah jenis kelamin wanita, usia tua,
terapi estrogen, postmenopause, penggunaan komputer, penggunaan lensa
kontak, diet rendah asam lemak omega-3 dan omega-6, operasi refraktif,
kekurangan vitamin A, terapi radiasi, pengobatan sistemik seperti
penggunaan penyekat beta adrenergik, dan pengobatan antihistamin serta
bahan pengawet tetes mata yaitu yang mengandung benzalkonium
hydrochloride, dan luka bakar kimiawi pada mata. Diabetes melitus (DM)
juga dapat menjadi penyebab sindroma mata kering. Hal ini diakibatkan
karena neuropati yang menyebabkan terganggunya refleks berkedip
(Kastelan, et al., 2013). Keadaan eksoftalmus pada penyakit tiroid juga
dapat mengakibatkan sindrom mata kering karena permukaan mata yang
semakin melebar menyebabkan evaporasi LAM semakin tinggi (Jesicca, et
al., 2015).
Tabel 2.1 Faktor resiko dry eye (DEWS, 2007)

Konsisten
Usia tua
Wanita
Terapi estrogen
Postmenopouse
Diet rendah asam

Tingkat Sumber Data


Diduga
Ras asia
Penggunaan
antidepresan, diuretik

Belum jelas
Merokok
Etnis Hispanik
Antikolinergik

dan beta bloker

lemak Omega-3 dan


Omega-6
Menopause

Penggunaan
antihistamin
Penyakit jaringan ikat
LASIK

Diabetes melitus
Infeksi HIV/HTLV1

Terapi radiasi
Terapi sumsum tulang
Defisiensi vitamin A

Kemoterapi
ECCE insisi besar
Lingkungan dengan

Infeksi hepatitis C
Defisiensi androgen

kelembaban rendah
Sarkoidosis
Disfungsi ovarium

Injeksi toxin
botulinum
Jerawat
Gout

Kontrasepsi oral
Kehamilan

F. Klasifikasi

14

Sindrom mata kering dapat dikategorikan menjadi aquoeus deficient


dry eye (ADDE) dan evaporative dry eye (EDE). Aquoeus deficient dry
eye adalah kelompok sindrom mata kering yang disebabkan oleh
kurangnya produksi air mata walaupun evaporasinya tetap berjalan
normal. Evaporative dry eye adalah kelompok mata kering yang
disebabkan karena penguapan berlebihan air mata walaupun tidak terjadi
gangguan pada proses produksinya. Banyak etiologi yang dapat
mencetuskan kedua hal ini, baik yang bersifat autoimun, obat, maupun
lingkungan. Klasifikasi ini cukup membingungkan sebab sindrom mata
kering seringkali merupakan gabungan antara ADDE dan EDE (DEWS,
2007).
G. Penegakan Diagnosis dan Temuan Klinis
Pasien dengan sindrom mata kering paling sering mengeluhkan
sensasi tergores atau berpasir. Gejala umum lainnya adalah gatal, sekresi
mukus berlebih, ketidakmampuan menghasilkan air mata, sensasi terbakar,
fotosensitivitas, kemerahan, sakit, dan sulit menggerakkan palpebra. Ciri
paling khas pada pemeriksaan slitlamp adalah terputus atau tidaknya
meniskus air mata di tepian palpebra inferior. Benang-benang mukus
kental kekuningan kadang-kadang terlihat dalam forniks konjungtiva
inferior. Konjungtiva bulbar tidak memberikan penampakan kilauan yang
normal dan mungkin menebal, edema, dan hiperemis (Vaughan, 2009).
Epitel kornea menunjukkan bercak-bercak pungtata halus di fissura
intra palpebra dalam berbagai derajat. Sel-sel epitel konjungtiva dan
kornea yang rusak terpulas dengan bengal rose 1% dan defek-defek di
epitel kornea terpulas dengan fluorescein. Pada tahap lanjut nampak
filamen-filamen yang salah satu ujungnya melekat di kornea dan ujung
lain bergerak bebas (Vaughan, 2009). Kuesioner digunakan pada penelitian
klinis untuk mendiagnosis sindrom mata kering dan keparahannya. DEWS
pada tahun 2004 telah melakukan mengevaluai kuesioner yang ada
(DEWS, 2007).
Beberapa kuesioner yang digunakan (DEWS, 2007):
a McMonnies Dry Eye History Questionnaire (Nichols, McMonnies)
b Canada Dry Eye Epidemiology Study (CANDEES [Doughty])
c Ocular Surface Disease Index (OSDI [Schiffman])
d Salisbury Eye Evaluation (Schein, Bandeen-Roche)

15

e
f

Dry Eye Epidemiology Projects (deep ) questionnaire (Oden)


Womens Health Study questionnaire (Schaumberg)

Gambar 2.7. Kuesioner OSDI (Schiffman, 2000)


Beberapa uji diagnostik yang digunakan pada sindrom mata kering
antara lain uji Schirmer tanpa anestesi, tear break up time, tes ferning
mata, sitologi impresi, pulasan fluorescein, pulasan bengal rose dan hijau
lissamine, lisozim air mata, osmolalitas film air mata, laktoferin air mata
(Vaughan, 2009). Uji Scirmer dibagi menjadi dua yaitu uji Schirmer 1 dan
uji Schirmer 2. Uji Schirmer 1 dilakukan untuk pemeriksaan kuantitas air
mata. Uji Schirmer 2 dilakukan untuk mengetahui sekresi basal air mata.
Cara pemeriksaan uji Schirmer 1 yaitu dengan menyelipkan kertas
Schirmer pada forniks konjungtiva inferior pada sepertiga lateral selama 5
menit. Pada uji Schirmer 1 didapatkan hasil normal apabila panjang kertas

16

lebih dari 10 mm dalam 5 menit waktu pemeriksaan menggunakan kertas


lakmus (Asyari, 2007).

Gambar2.8 Tes Schirmer 1 (http://webeye.ophth.uiowa.edu)

Uji tear break up time bertujuan untuk menilai stabilitas air mata
pada komponen musin dan lipid. Uji ini dilakukan dengan memberikan
fluorescein pada mata pasien. Pada uji tear break up time dinyatakan
sindrom mata kering apabila 5 detik dan dinyatakan normal apabila lebih
dari 10 detik. (Behrens, et al., 2006). Tes lain yang biasa digunakan untuk
mengetahui kondisi LAM adalah tes ferning. Pemeriksaan ini dilakukan
dengan meletakkan air mata pada kaca objek kemudian diamati dibawah
mikroskop. Pewarnaan fluorescein digunakan untuk mendeteksi defek
kornea pada pasien sindrom mata kering. Pewarnaan ini dilakukan dengan
secarik kertas yang diberikan fluorescein sehingga akan terlihat bagian
yang terluka (Asyari, 2007). Pewarnaan rose bengal dilakukan untuk
menilai kuantitas LAM. Hasilnya apabila lebih dari 3 dari 18 berarti
terdapat defisiensi akuos (Ilyas, 2009).

17

Gambar 2.9. TBUT (http://www.systane.ca)


Selanjutnya, pemeriksaan sitologi impresi adalah cara menghitung
densitas sel goblet pada permukaan konjungtiva. Pada orang normal,
populasi sel goblet paling tinggi terdapat di infranasal. Pada pemeriksaan
laktoferin air mata didapatkan hasil yang rendah pada pasien dengan
hiposekresi kelenjar lakrimal. Pemeriksaan laktoferin air mata juga
digunakan untuk menilai stabilitas LAM. Pada pemeriksaan laktoferin air
mata, hasil yang sama atau kurang dari 0,9 g/mL menunjukkan
ketidakstabilan LAM (Behrens, et al., 2006).
Bengal rose lebih sensitif dari flourescein. Pewarna ini akan
memulas semua sel epitel non-vital yang mengering dari kornea
konjungtiva.

18

Gambar 2.10 Bengal Rose


H. Patomekanisme
Terdapat dua hal yang disebutkan berperan dalam mekanisme sindrom
mata kering:
a Hiperosmolaritas LAM
Hiperosmolaritas air mata dianggap menjadi mekanisme utama
penyebab inflamasi, kerusakan, dan gejala pada sindrom mata kering.
Hiperosmolaritas pada air mata menyebabkan penguapan berlebihan
pada bagian mata yang terpapar udara luar. Keadaan ini disebabkan
karena penurunan aliran air mata dan penguapan yang berlebihan atau
kombinasi keduanya. Selain itu penipisan LAM yang cepat diduga
menjadi penyebab hiperosmolaritas air mata (DEWS, 2007).
Hiperosmolaritas pada LAM menstimulasi kaskade inflamasi
pada permukaan sel epitelial, termasuk MAP kinase dan jalur sinyal
NF-kB, munculnya sitokin anti inflamasi (IL-1,-1; TNF-) dan
MMPs (MMP9) yang mengaktifkan sel-sel inflamasi pada permukaan
mata. Proses inflamasi yang terjadi menyebabkan epitel permukaan
mengalami apoptosis termasuk sel goblet. Hilangnya sel goblet ini
juga menunjukkan adanya inflamasi kronik (DEWS, 2007).
Fase awal sindrom mata kering menunjukkan kerusakan
permukaan mata yang disebabkan karena perubahan tekanan osmotik,
inflamasi, dan mekanisme stres sel yang mempengaruhi refleks dari
kelenjar lakrimalis. Refleks trigeminal dapat mempengaruhi refleks
berkedip dan meningkatkan sekresi kelenjar lakrimal. Diduga bahwa
kelenjar lakrimal mengkompensasi hiperosmolaritas yang terjadi di
permukaan mata sehingga volume dan aliran air mata meningkat lebih
b

dari normal (DEWS, 2007).


Ketidakstabilan LAM
Ketidakstabilan LAM menjadi hal yang mengawali sindrom
mata kering. Pasien yang menjalani operasi LASIK (laser-assisted in
situ keratomileusis) yang di tes menggunakan tes standar tidak
menunjukkan sindrom mata kering. Namun setelah dicek kembali
menggunakan sistem analisis air mata memperlihatkan ketidakstabilan
LAM yang menunjukkan gejala sindrom mata kering lebih parah,

19

termasuk keratitis pungtata pasca operasi. Ketidakstabilan LAM


menurunkan
menyebabkan

interval

berkedip.

keringnya

Hal

permukaan

ini
mata

diasumsikan
secara

lokal

dapat
dan

menyebabkan hiperosmolaritas permukaan mata yang terpapar. Hal ini


menyababkan kerusakan sel epitel dan sel goblet sehingga terjadilah
sindrom mata kering (DEWS, 2007).
I. Tatalaksana
Air mata buatan yang mengandung NaCl, KCl, dan vitamin C
adalah

terapi yang kini digunakan. Salep mata yang berisi lubricant

berguna untuk pelumas jangka panjang, terutama saat tidur. Salep yang
digunakan biasanya mengandung kortikosteroid atau siklosporin A sebagai
agen anti inflamasi. Selain itu dapat digunakan pula antibiotic topical
tetrasiklin untuk radang pada kelenjar meibom atau meibomianitis.
Pemulihan dapat ditingkatkan dengan memakai pelembab, moisturechamber spectacles, atau kacamata renang (Vaughan, 2009). Fungsi utama
pengobatan ini adalah untuk penggantian cairan. Tindakan bedah pada
sindrom mata kering berupa pemasangan sumbatan di punctum yang
bersifat temporer (kolagen) atau untuk waktu yang lebih lama (silikon).
Tindakan ini berfungsi menahan sekret air mata. Penutupan puncta dan
kanalikuli secara permanen dapat dilakukan dengan terapi termal (panas),
kauter listrik, atau dengan laser (Vaughan, 2009).

Gambar 2.11. Artificial Tars


Semua pengawet kimiawi dalam air mata buatan akan menginduksi
sejumlah toksisitas kornea. Benzalkonium chlorida adalah peparat umum
yang paling merusak. Pasien yang memerlukan beberapa kali penetesan
20

sebaiknya memakai larutan tanpa bahan pengawet. Bahan pengawet dapat


pula menimbulkan reaksi idiosinkrasi (Vaughan, 2009).
Tabel 2.2 Tatalaksana Dry Eye Syndrome (American Academy of
Ophthalmology, 2013)
Ringan

Sedang

Berat

Tatalaksana Dry Eye Syndrome


Edukasi dan modifikasi lingkungan
Kurangi penggunaan obat sistemik dan topikal
pada mata
Penggunaan air mata buatan
Kompres kelopak mata dengan air hangat
Obati perdangan pada kelopak mata (blefaritis)
Koreksi kelainan kelopak mata
Tatalaksana SMK ringan ditambahkan:
Agen
antiinflamasi
(cyclosporin
dan
kortikosteroid) dan suplemen asam lemak omega3
Punctal plug
Tatalaksana SMK sedang ditambahkan:
Agonis kolinergik sistemik
Agen antiinflamasi sistemik
Mukolitik
Oklusi punctal permanen
Tarsoraphy

J. Komplikasi
Pada awal perjalanan sindrom mata kering, penglihatan sedikit
terganggu. Dengan memburuknya keadaan, ketidaknyamanan sangat
menggangu. Pada kasus lanjut, dapat timbul ulkus kornea, penipisan
kornea, dan perforasi. Kadang-kadang terjadi infeksi bakteri sekunder, dan
berakibat parut dan vaskularisasi pada kornea, yang sangat menurunkan
penglihatan. Terapi dini dapat mencegah komplikasi-komplikasi ini
(Vaughan, 2009).
K. Prognosis
Secara umum, prognosis untuk ketajaman visual pada pasien dengan
sindrom mata kering baik (Vaughan, 2009).

21

KESIMPULAN
Sindrom mata kering adalah penyakit multifaktorial pada LAM dan
permukaan mata yang menimbulkan rasa tidak nyaman, gangguan
penglihatan, dan ketidakstabilan LAM yang berpotensi merusak permukaan
mata yang disertai dengan peningkatan osmolaritas LAM dan inflamasi

permukaan mata
Terdapat beberapa keadaan yang menyebabkan sindrom mata kering
diantaranya kondisi yang ditandai dengan hipofungsi kelenjar lakrimal,
kondisi yang ditandai dengan defisiensi musin, kondisi yang ditandai
dengan defisiensi lapisan lipid, serta penyebaran air mata yang kurang

sempurna.
Sindrom mata kering dapat dikategorikan menjadi aquoeus deficient dry eye

(ADDE) dan evaporative dry eye (EDE).


Pasien dengan sindrom mata kering paling sering mengeluhkan sensasi
tergores atau berpasir. Gejala umum lainnya adalah gatal, sekresi mukus
berlebih, ketidakmampuan menghasilkan air mata, sensasi terbakar,
fotosensitivitas, kemerahan, sakit, dan sulit menggerakkan palpebra.

22

Air mata buatan yang mengandung NaCl, KCl, dan vitamin C adalah terapi

yang kini digunakan.


Pada kasus lanjut, dapat timbul ulkus kornea, penipisan kornea, dan
perforasi.

DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Ophthalmology. 2013. Dry Eye Syndrome. Available at


http://www.aao.org/preferred-practice-pattern/dry-eye-syndrome-ppp--2013.
AOA,

2012.

Dry

Eye.

American

Optometric

Asosiation,

pp.

http://www.aoa.org/patients-and-public/eye-and-vision-problems/glossary-of-eyeand-vision-conditions/dry-eye?sso=y.
Asyari, F., 2007. Dry Eye Syndrome (Sindrom Mata Kering). Indonesian Scientific
Journal Database, Volume 4, p. 610.
Chaironika, N., 2011. Insidensi dan Derajat Dry Eye pada Menopause di RSU H.
Adam Malik Medan. Repository USU.
Dutton JJ, Gayre GS, Proia AD. 2007. Diagnostic Atlas Of Common Eye Lid Disease.
Informa

23

El-Shazly, A. A.-F., El-Zawahry, M. A. E. R., Hamdy, A. M. & Ahmed, M. B., 2012.


Passive Smoking as a Risk Factor of Dry Eye in Children. Journal of
Ophthalmology, Volume 2012, p. 5.
Han, S., Hyon, J., Woo, S., Lee, J., Kim, T., & Kim, K., 2011. Prevalence of dry eye
disease in an elderly Korean population.. Arch Ophtalmology, Volume 129, pp.
133-138.
Ilyas, S., 2009. Ilmu Penyekit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
International Dry Eye Workshop, 2007. 2007 Report of the International Dry Eye
Workshop, New York: The Occular Surface.
Jesicca, H. S., Anisa, I. G. & Shameema , S., 2015. The relationship between Graves
ophthalmopathy and dry eye syndrome. Clin Ophtalmol, Volume 9, pp. 67-62.
Kastelan, S., Martina, T., Jasminka, S. R. & Branko, N., 2013. Diagnostic Procedures
and Management of Dry Eye. Biomed Research International.
Nichols, J. & Sinnott, L., 2006. Tear film, contact lens, and patient-related factors
associated with contact lens-related dry eye.. Invest Ophthalmol Vis Sci.

Sahai, A. & Malik, P., 2005. Dry eye: prevalence and attributable risk factors in a
hospital-based population. Indian J Ophtalmol, pp. 87-91.
Uncu, G., Avci, R., Uncu, Y., Kaymaz, C., & Develioglu, O., 2006. The effects of
different hormone replacement therapy regimens on tear function, intraocular
pressure and lens opacity.. Gnycol Endocrinol, Volume 22, pp. 501-550.
Wagner, Peter, Lang & Gerhard, K., 2006. Lacrimal System. New York: Theime
Stuttgart.
Whitcher, John P., 2000. Air Mata. Dalam: Suyono, Y. Joko (ed). Oftalmologi Umum
edisi 14. Jakarta: Widya Medika.
Vaughan dan Asbury. 2009. Oftalmologi Umum. Jakarta : EGC.
Yen, J.-C., 2015. The Prevalence of Dry Eye Syndrome's and the Likelihood to
Develop Sjogren's Syndrome in Taiwan: A Population-Based Study. International

24

Journal of Environmental Research and Public Health, Volume 12, pp. 76477655.

25

Anda mungkin juga menyukai