Anda di halaman 1dari 43

Laporan Praktikum Herbal Blok Kedokteran Komplementer

TANAMAN OBAT DAN OBAT TRADISIONAL

Oleh:
Kelompok 7B Angkatan 2012
Nurul Fajri Widyasari (G0012154)

Purnomo Andimas E

(G0012166)

Oki Saraswati

Rr. Ervina K. W

(G0012168)

Oktavera Tri Kurniasih (G0012158)

Rr. Anindya P

(G0010170)

Pramitha Yustia

(G0012160)

Rachmawan Firyana

(G0012172)

Pratiwi Indah Palupi

(G0012162)

Raisa Cleizera

(G0012174)

Prima Canina

(G0012164)

Reinita Vany I

(G0012176)

(G0012156)

Pembimbing : Titis Leksanani, dr.

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di era kembali ke alam, dewasa ini perkembangan penggunaan
obat alam sangat pesat. Masyarakat pada umumnya menggunakan obat
alam untuk swamedikasi guna mempertahankan kesehatannya. Pengobatan
dengan bahan alam termasuk dalam pengobatan komplementer alternatif,
yakni pengobatan non-konvensional yang ditujukan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat, meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitative.
Indonesia menduduki peringkat kedua sebagai negara yang
memiliki biodeversitas dengan banyaknya berbagai jenis tanaman obat
(Elfahmi et al., 2014). Dan sekitar 80% tanaman obat di dunia berada di
Indonesia. Menurut PT Eisei (1995) terdapat sekitar 2500 spesies tanaman
yang bias dimanfaatkan dalam pengobatan. Dari kekayaan hayati ini,
Indonesia memiliki produk yang disebut dengan jamu yaitu obat
tradisional yang berasal dari tanaman. Penggunaan obat tradisional di
Indonesia sudah berlangsung lama seperti yang terkemuka pada lukisan di
relief Candi Borobudur dan resep tanaman obat yang ditulis dari tahun 991
sampai 1016 pada daun lontar di Bali.
Obat tradisional cukup banyak digunakan masyarakat dalam usaha
pengobatan sendiri (self-medication). Jenis obat tradisional yang

digunakan dapat berupa obat tradisional buatan sendiri, jamu gendong


maupun obat tradisional industri pabrik.
Dalam

dekade

belakangan

ini

di

era

modern,

terdapat

kecenderungan global untuk kembali ke alam (back to nature). Di


Indonesia menurut survey nasional tahun 2000, didapatkan 15,6%
masyarakat menggunakan obat tradisional untuk pengobatan sendiri dan
jumlah tersebut meningkat menjadi 31,7 % pada tahun 2001. Namundi
Indonesia, profesi kesehatan/ dokter masih jarang meresepkan ataupun
menggunakan fitofarmaka. Hal ini dikarenakan bukti ilmiah mengenai
khasiat dan keamanan obat tradisional pada manusia masih kurang
(Dewoto, 2007).
Oleh karena itu, perlu tindakan pendekatan antara terapi herbal
dengan praktek kedokteran konvensional oleh pemerintah. Guna
menghadapi era Masyarakat Ekonomi Asean 2015 dan agar obat alam dan
jamu bias menjadi tuan rumah di negeri sendiri, pemerintah memberikan
regulasi tentang obat bahan alam.
Regulasi dari Departemen Kesehatan adalah Permenkes:
1. Nomor 1109/Menkes/Per/IX/2007 tentang Penyelenggaraan
Pengobatan Komplementer Alternatif di fasilitas pelayanan
kesehatan. Pasal 1-7 tentang penggabungan metode pengobatan
non-konvensional dengan pengobatan konvensional yang akan
memberikan manfaat/ khasiat pengobatan yang lebih baik
dibandingkan dengan manfaat satu jenis pengobatan saja.
2. Nomor 121/Menkes/Ski/2008 tentang standar pelayanan medik
herbal.
3. Nomor 003/Menkes/Per/I/2010 tentang saintifikasi jamu dalam
penelitian berbasis pelayanan. Tujuan Permen kesini untuk
mendorong terbentuknya jejaring dokter, dokter gigi dan tenaga
kesehatan lainnya sebagai peneliti dalam rangka upaya
preventif,

promotif/rehabilitatif

dan

paliatif

melalui

penggunaan jamu. Juga untuk meningkatkan penggunaan jamu


di kalangan profesi kesehatan.
Untuk mengikuti program pemerintah tersebut, mahasiwa perlu
menambah wawasan mengenai tanaman obat dan khasiatnya melalui blok
pengobatan komplementer herbal.
B. Tujuan
Setelah mengikuti praktikum lapangan di Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT)
Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah, diharapkan mahasiswa mampu
:
1. Menjelaskan lebih dalam mengenai manfaat penggunaan herbal
sebagai obat-obat tradisional yang ada di Indonesia sebagai salah satu
pengobatan komplementer yang dapat digunakan untuk metode terapeutik
di dalam dunia kedokteran.
2.

Menjelaskan perbedaan antara jamu, obat herbal terstandar, dan

fitofarmaka.
3.

Menjelaskan proses saintifikasi jamu.

C. Manfaat
Melalui praktikum lapangan dan pembuatan laporan ini diharapkan
mahasiswa mendapatkan manfaat berupa penelaahan lebih jauh mengenai
penggunaan tanaman-tanaman herbal sebagai obat dalam pengobatan
komplementer sesuai dengan bukti ilmiah (evidence-based) yang telah ada
dengan memerhatikan keamanan, khasiat, dan mutu dari obat-obat herbal
sebagai bagian dari pengobatan komplementer medikamentosa.
D. Sasaran Pembelajaran (Learning Objectives)
1. Menjelaskan tentang terapi komplementer herbal.
2. Menjelaskan berbagai bahan herbal.

3. Menjelaskan proses pembuatan sediaan herbal.


4. Menjelaskan cara penggunaan herbal: mengenai indikasi,
kontraindikasi, dosis, aturan pemakaian, efek samping, intoksikasi,
dan penanganannya.
5. Menjelaskan pengembangan herbal sampai bisa menjadi obat.
6. Menjelaskan penerapan herbal untuk terapi komplementer-alternatif.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Herbal dan Obat Tradisional (Jamu)


Herbal adalah tanaman atau tumbuhan yang mempunyai kegunaan atau
nilai lebih dalam pengobatan. Dengan kata lain, semua jenis tanaman yang
mengandung bahan atau zat aktif yang berguna untuk pengobatan bisa
digolongkan sebagai herbal. Herbal kadang disebut juga sebagai tanaman obat,
sehingga dalam perkembangannya dimasukkan sebagai salah satu bentuk
pengobatan alternatif atau pengobatan pilihan. Di Indonesia, pengobatan
alternatif menggunakan herbal dikenal juga dengan nama Jamu dan
merupakan obat tradisional yang secara turun-temurun diwariskan oleh nenek
moyang bangsa Indonesia.
Obat herbal termasuk dalam pengobatan komplementer-alternatif
berdasarkan Permenkes RI, Nomor : 1109/Menkes/Per/2007. Di Indonesia,
Jamu telah digunakan secara luas oleh masyarakat Indonesia untuk menjaga
kesehatan dan mengatasi berbagai penyakit sejak berabad-abad yang lalu jauh
sebelum era Majapahit. Ke depan pengembangan dan pemanfaatan obat bahan
alam/obat herbal Indonesia ini perlu mendapatkan substansi ilmiah yang lebih
kuat, terutama melalui penelitian dan standarisasi sehingga obat herbal
Indonesia dapat diintegrasikan dalam sistem pelayanan kesehatan nasional
(WHO, 2002).

Obat tradisional menurut Undang-Undang No 36 Tahun 2009 adalah


bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan
mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang
secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan
sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
Menurut BPOM, ada 3 macam obat tradisional:
1. Jamu adalah bahan atau ramuan bahan, berupa bahan nabati,
hewani, mineral, sediaan galenik atau campuran dari bahan tersebut,
yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan
berdasarkan pengalaman.
2. Obat herbal terstandar adalah jamu yang telah diuji khasiat dan
keamanannya pada hewan uji. Sudah digunakan untuk indikasi
medis dengan dasar khasiat dan keamanan dan regulasinya sudah
jelas aman dan memiliki efek terapi.
3. Fitofarmaka adalah jamu yang telah diuji klinik pada manusia
(Sampurno, 2003).
Di dunia, berdasarkan penggunaan dan pengakuan obat tradisional pada
sistem pelayanan kesehatan, menurut WHO ada 3 sistem yang dianut oleh
negara-negara di dunia, yaitu:
1. Sistem integratif.
Secara resmi obat tradisional diakui dan telah diintegrasikan dalam
sistem pelayanan kesehatan nasional. Ini berarti obat tradisional
telah menjadi komponen dari kebijakan obat nasional, ada sistem
registrasi produk dan regulasi, obat tradisional digunakan di rumah
sakit

dan

sistem

asuransi

kesehatan,

ada

penelitian

dan

pengembangan serta pendidikan tentang obat tradisional. Negara


yang menganut sistem integratif ini antara lain ialah RRC, Korea
Utara dan Viet Nam.
2. Sistem inklusive.
Mengakui obat tradisional tetapi belum mengintegrasikan pada
sistem pelayanan kesehatan. Sistem inclusive ini dianut oleh negara

sedang berkembang seperti Nigeria dan Mali maupun negara maju


seperti Kanada dan Inggris. Dewasa ini Indonesia juga tergolong
negara yang menganut sistem inclusive karena penggunaan obat
tradisional belum diintegrasikan dalam sistem pelayanan kesehatan
nasional. Demikian pula sistem asuransi kesehatan di Indonesia
menolak klaim penggunaan obat tradisional.
3. Sistem toleran.
Sistem pelayanan kesehatan berbasis kedokteran modern tetapi
penggunaan beberapa obat tradisional tidak dilarang oleh undangundang. RRC adalah satu negara yang telah sejak lama
mengintegrasikan obat tradisional dalam mainstream sistem
pelayanan kesehatannya. Selain TCM yang telah menyatu dalam
budaya Cina.
WHO sebagai organisasi kesehatan dunia membuat strategi dalam
pengembangan obat tradisional mencakup empat tujuan utama yaitu:
1. Mengintegrasikan secara tepat obat tradisional dalam sistem

pelayanan kesehatan nasional dengan mengembangkan dan


melaksanakan kebijakan nasional obat tradisional dengan berbagai
programnya.
2. Meningkatkan keamanan (safety), khasiat dan mutu dengan
memperkuat knowledge-base obat tradisional dan regulasi dan
standar jaminan mutu (quality assurance standard).
3. Meningkatkan ketersediaan dan keterjangkauan obat tradisional
terutama untuk masyarakat yang tidak mampu.
4. Mempromosikan penggunaan obat tradisional secara tepat oleh
tenaga profesional medik maupun oleh konsumen (WHO, 2002).
Indonesia sebagai negara anggota, perlu menjabarkan strategi global
WHO tersebut dalam suatu kebijakan nasional yang komprehensif dengan
program-program yang memiliki arah dan sasaran ke depan yang jelas dengan
melibatkan partisipasi aktif seluruh sektor terkait. Berikut ini Peraturan

Pemerintah Indonesia yang berhubungan dengan obat tradisional/herbal,


diantaranya:
1. Undang-Undang No 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan.
2. Undang-Undang No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 007 Tahun
2012 Tentang Registrasi Obat Tradisional.
4. Peraturan

Menteri

Kesehatan

Republik

003/MENKES/PER/I/2010 Tentang

Indonesia

Saintifikasi

Jamu

Nomor:
Dalam

Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan.


5. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 0584/MENKES/SK/VI/1995
Tentang

Sentra

Pengembangan

Dan

Penerapan

Pengobatan

Tradisional.
6. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1076/MENKES/SK/VII/2003
Tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional.
7. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 381/MENKES/SK/III/2007
Tentang Kebijakan Obat Tradisional Nasional.
8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1109/MENKES/PER/IX/2007
Tentang Penyelenggaraan Pengobatan Komplementer Alternatif Di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
9. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 121/MENKES/SK/II/2008
Tentang Standar Pelayanan Medik Herbal.
B. Saintifikasi Jamu
Saintifikasi Jamu adalah upaya dan proses pembuktian secara ilmiah
jamu melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan, tidak hanya
berdasarkan pengalaman turun temurun, namun khasiat jamu juga dibuktikan
secara keilmuan melalui penelitian. Pada proses saintifikasi jamu, bahanbahan jamu atau campuran jamu ini didukung oleh data-data uji praklinik,
pada hewan coba baik in vivo maupun in vitro, dan uji klinik terbatas pada
sejumlah pasien.

Poliklinik Herbal (Saintifikasi Jamu) Hortus Medicus sejauh ini telah


mengelompokkan jenis penyakit yang dapat diterapi dengan herbal menjadi 18
jenis penyakit (indikasi). Jenis penyakit atau indikasi obat herbal tersebut
diantaranya :
-

Analgetik, antiinflamasi

Common Cold

Imunomodulator

Roborantia

Diabetes

Nafsu Makan

Hiperurikemia

Anti Cancer

Hipertensi

Asthma

Antihemoroid

Hepatoprotektor

Kolesterol

Gangguan Lambung

Nefrolitiasis

Preventif Promotif

Fertilitas

Batuk

C. Ekstraksi
Proses ekstraksi adalah proses pemisahan dari bahan padat maupun
bahan cair dengan bantuan pelarut. Pelarut yang digunakan harus dapat
mengekstrak substansi yang diinginkan tanpa melarutkan material lainnya.
Ekstraksi merupakan proses pemisahan suatu bahan dari campurannya,
ekstraksi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Ekstraksi menggunakan
pelarut didasarkan pada kelarutan komponen terhadap komponen lain dalam
campuran (Suyitno, 1989).
Tujuan ekstraksi bahan alam adalah untuk menarik komponen kimia
yang terdapat pada bahan alam. Ekstraksi ini didasarkan pada prinsip
perpindahan massa komponen zat ke dalam pelarut, dimana perpindahan
mulai terjadi pada lapisan antar muka kemudian berdifusi masuk ke dalam
pelarut (Harborne, 1987).
Secara umum, terdapat empat situasi dalam menentukan tujuan
ekstraksi:
1. Senyawa kimia telah diketahui identitasnya untuk diekstraksi dari
organisme

2. Bahan diperiksa untuk menemukan kelompok senyawa kimia


tertentu, misalnya alkaloid, flavanoid atau saponin, meskipun
struktur kimia sebetulnya dari senyawa ini bahkan keberadaannya
belum diketahui
3. Organisme (tanaman atau hewan) digunakan dalam pengobatan
tradisional,
4. Sifat senyawa yang akan diisolasi belum ditentukan sebelumnya
dengan cara apapun
Dalam proses ekstraksi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara
lain:
1. Jumlah simplisia yang akan diesktrak
2. Derajat kehalusan simplisia
Semakin halus, luas kontak permukaan akan semakin besar
sehingga proses ekstraksi akan lebih optimal.
3. Jenis pelarut yang digunakan
Jenis pelarut berkaitan dengan polaritas dari pelarut tersebut. Hal
yang perlu diperhatikan dalam proses ekstraksi adalah senyawa
yang memiliki kepolaran yang sama akan lebih mudah tertarik/
terlarut dengan pelarut yang memiliki tingkat kepolaran yang sama.
Berkaitan dengan polaritas dari pelarut, terdapat tiga golongan
pelarut yaitu:
-

Pelarut polar
Memiliki tingkat kepolaran yang tinggi, cocok untuk
mengekstrak senyawa-senyawa yang polar dari tanaman.
Pelarut polar cenderung universal digunakan karena
biasanya walaupun polar, tetap dapat menyari senyawasenyawa dengan tingkat kepolaran lebih rendah. Salah satu
contoh pelarut polar adalah: air, metanol, etanol, asam asetat.

Pelarut semipolar
Pelarut semipolar memiliki tingkat kepolaran yang lebih
rendah dibandingkan dengan pelarut polar. Pelarut ini baik

untuk

mendapatkan

senyawa-senyawa

semipolar

dari

tumbuhan. Contoh pelarut ini adalah: aseton, etil asetat,


kloroform
-

Pelarut nonpolar
Pelarut nonpolar, hampir sama sekali tidak polar. Pelarut ini
baik untuk mengekstrak senyawa-senyawa yang sama sekali
tidak larut dalam pelarut polar. Senyawa ini baik untuk
mengekstrak berbagai jenis minyak. Contoh: heksana, eter
Dalam pemilihan pelarut harus memperhatikan beberapa

faktor diantaranya adalah pemilihan pelarut pada umumnya


dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut ini :
-

Selektifitas Pelarut hanya boleh melarutkan ekstrak yang


diinginkan, bukankomponen-komponen lain dari bahan
ekstraksi.

Kelarutan Pelarut sedapat mungkin memiliki kemampuan


melarutkan ekstrak yang besar (kebutuhan pelarut lebih
sedikit).

Kemampuan untuk tidak saling bercampur Pada ekstraksi


cair-cair, pelarut tidak boleh atau hanya secara terbatas
larutdalam bahan ekstraksi.

Kerapatan Terutama pada ekstraksi cair-cair, sedapat


mungkin terdapat perbedaankerapatan yang besar antara
pelarut dan bahan ekstraksi.

Reaktifitas Pada umumnya pelarut tidak boleh menyebabkan


perubahan secara kimia pada komponen-komponen bahan
ekstraksi.

Titik didih Karena ekstrak dan pelarut biasanya harus


dipisahkan dengan cara penguapan, destilasi atau rektifikasi,
maka titik didih kedua bahan itu tidak boleh terlalu dekat.

4. Lama waktu ekstraksi

Lama ekstraksi akan menentukan banyaknya senyawa-senyawa


yang terambil. Ada waktu saat pelarut/ ekstraktan jenuh. Sehingga
tidak pasti, semakin lama ekstraksi semakin bertambah banyak
ekstrak yang didapatkan.
5. Metode ekstraksi, termasuk suhu yang digunakan
(Depkes RI, 1979).
Metode Ekstraksi
Ekstraksi secara dingin
1. Maserasi
Penyarian zat aktif yang dilakukan dengan cara merendam
serbuk simplisia dalam cairan penyari yang sesuai selama tiga hari
pada temperatur kamar terlindung dari cahaya, cairan penyari akan
masuk ke dalam sel melewati dinding sel. Isi sel akan larut karena
adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di
luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar
dan diganti oleh cairan penyari dengan konsentrasi rendah ( proses
difusi ). Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi keseimbangan
konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Selama
proses maserasi dilakukan pengadukan dan penggantian cairan
penyari setiap hari. Endapan yang diperoleh dipisahkan dan
filtratnya dipekatkan.
Maserasi merupakan cara penyarian sederhana yang dilakukan dengan
cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari selama
beberapa hari pada temperatur kamar dan terlindung dari cahaya.
Metode maserasi digunakan untuk menyari simplisia yang
mengandung komponen kimia yang mudah larut dalam cairan
penyari, tidak mengandung benzoin, tiraks dan lilin.
Keuntungan dari metode ini adalah peralatannya sederhana.
Sedang kerugiannya antara lain waktu yang diperlukan untuk
mengekstraksi sampel cukup lama, cairan penyari yang digunakan lebih

banyak, tidak dapatdigunakan untuk bahan-bahan yang mempunyai


tekstur keras seperti benzoin,tiraks dan lilin.
Pada metode maserasi ini, perlu dilakukan pengadukan
untuk meratakan konsentrasi larutan di luar butir serbuk simplisia
sehingga tetap terjaga adanya derajat konsentrasi yang sekecilkecilnya antara larutan di dalam sel dengan larutan di luar sel.
Modifikasi metode maserasi :
Modifikasi maserasi melingkar
Modifikasi maserasi digesti
Modifikasi Maserasi Melingkar Bertingkat
Modifikasi remaserasi
Modifikasi dengan mesin pengaduk (Ditjen POM, 1986).
2. Perkolasi
Perkolasi dilakukan dalam wadah berbenruk silindris atau
kerucut (perkulator) yang memiliki jalan masuk dan keluar yang
sesuai. Bahan pengekstaksi yang dialirkan secara kontinyu dari
atas, akan mengalir turun secara lambat melintasi simplisia yang
umumnya berupa serbuk kasar. Melalui penyegaran bahan pelarut
secara kontinyu, akan terjadi proses maserasi bertahap banyak. Jika
pada maserasi sederhana tidak terjadi ekstraksi sempurna dari
simplisia oleh karena akan terjadi keseimbangan kosentrasi antara
larutan dalam seldengan cairan disekelilingnya, maka pada
perkolasi melalui simplisia bahan pelarut segar perbedaan
kosentrasi tadi selalu dipertahnkan. Dengan demikian ekstraksi
total secara teoritis dimungkinkan (praktis jumlah bahan yang
dapat diekstraksi mencapai 95%) (Voight,1995).
Prinsip perkolasi yaitu serbuk simplisia ditempatkan dalam
suatu bejana silinder, yang bagian bawahnya diberi sekat berpori.
Cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk
tersebut, cairan penyari akan melarutkan zat aktif sel-sel yang
dilalui

sampai

mencapai

keadaan

jenuh.

Gerak

kebawah

disebabkan oleh kekuatan gaya beratnya sendiri dan cairan


diatasnya, dikurangi dengan daya kapiler yang cenderung untuk
menahan. Kekuatan yang berperan pada perkolasi antara lain: gaya
berat, kekentalan, daya larut, tegangan permukaan, difusi, osmosa,
adesi, daya kapiler dan daya geseran.
Keuntungan dari metode ini adalah tidak terjadi kejenuhan
dan pengaliran meningkatkan difusi (dengan dialiri cairan penyari
sehingga zat seperti terdorong untuk keluar dari sel). Sedangkan
kerugiannya adalah cairan penyari yang digunakan lebih banyak
dan adanya risiko pencemaran mikroba untuk penyari air karena
dilakukan secara terbuka (Ditjen POM,1986; Sujadi, 1986).
3. Sokhelasi
Penyarian dengan alat Soxhlet atau dikenal dengan nama
metode Soxhletasi adalah proses untuk menghasilkan ekstrak cair
yang dilanjutkan dengan proses penguapan. Cairan penyari diisikan
pada labu sedangkan serbuk simplisia diisikan pada tabung dari
kertas saring atau tabung yang berlubang-lubang dari gelas, baja
tahan karat atau bahan lain yang cocok. Cairan penyari dipanaskan
hingga mendidih, uap cairan penyari naik ke atas melalui pipa
samping kemudian diembunkan kembali oleh pendingin tegak
sehingga cairan turun kembali ke labu melalui tabung yang berisi
serbuk simplisia. Cairan yang melaui simplisia turun sambil
melarutkan zat aktif dari serbuk simplisia tersebut. Cara ini lebih
menguntungkan karena uap panas tidak melalui serbuk simplisia
tetapi melalui pipa samping.
Keuntungan:
1. Cairan penyari yang diperlukan lebih sedikit dan secara
langsung diperoleh hasil yang lebih pekat.
2. Serbuk simplisia disari oleh cairan penyari yang murni sehingga
dapat menyari zat aktif lebih banyak.

3. Penyari dapat diteruskan sesuai dengan keperluan tanpa


menambah volume cairan penyari.
Kerugian:
1.

Larutan dipanaskan terus-menerus sehingga zat aktif yang tidak


tahan pemanasan kurang cocok. Ini dapat diperbaiki dengan
menambahkan peralatan untuk mengurangi tekanan udara.

2. Tidak bisa dengan penyari air (harus solvent organic) sebab titik
didih air 100OC harus dengan pemanasan tinggi untuk
menguapkannya, akibatnya zat kimia rusak. (Harborne, 1987)
Ekstraksi secara panas
1. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur
pada titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut
terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama
sampai 3-5 kali sehingga proses ekstraksi sempurna.
Prinsip refluks yaitu Penarikan komponen kimia yang
dilakukan dengan cara sampel dimasukkan ke dalam labu alas bulat
bersama-sama dengan cairan penyari lalu dipanaskan, uap-uap
cairan penyari terkondensasi pada kondensor bola menjadi
molekul-molekul cairan penyari yang akan turun kembali menuju
labu alas bulat, akan menyari kembali sampel yang berada pada
labu

alas

bulat,

demikian

seterusnya

berlangsung

secara

berkesinambungan sampai penyarian sempurna, penggantian


pelarut dilakukan sebanyak 3 kali setiap 3- 4 jam. Filtrat yang
diperoleh dikumpulkan dan dipekatkan.
Keuntungan dari metode ini adalah digunakan untuk
mengekstraksi sampel-sampel yang mempunyai tekstur kasar dan
tahan pemanasan langsung.

Kerugiannya adalah membutuhkan volume total pelarut


yang besar dan sejumlah manipulasi dari operator (Ditjen POM,
1986).
a. Destilasi uap
Destilasi uap adalah metode yang popular untuk ekstraksi
minyak-minyak menguap (esensial) dari sampel tanaman.
Metode destilasi uap air diperuntukkan untuk menyari
simplisia

yang

mengandung

minyak

menguap

atau

mengandung komponen kimia yang mempunyai titik didih


tinggi pada tekanan udara normal (Harborne, 1987).
D. BeberapaTanamanObat di Indonesia
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak di antara
Indochina dan Australia dan terdiri atas lebih dari 13.000 pulau. Indonesia
terbentang sepanjang 5.100 km dan mempunyai habitat yang sangat luas dan
di dalamnya terdapat berbagai macam tanaman yang memiliki nilai medis.
Berikut adalah beberapa tanaman obat herbal yang terdapat di Indonesia
(Mitra, et al., 2007):
1. Aloe vera
Aloe vera atau biasa disebut dengan lidah buaya merupakan tanaman yang
nilai medisnya sudah tercatat sejak 1927 oleh Heyne dalam bukunya De
Nuttige Planten van Naderlansch-Indie. Aloe vera tidak berasal dari
Indonesia, tetapi dibawa oleh pedangang muslim yang singgah di
Indonesia. Selama 3000 tahun, Aloe vera sudah digunakan oleh bangsa
mesir dan mesopotamia untuk mengobati luka, infeksi pada kulit, dan
pencahar. Bahkan hingga sekarang, Aloe vera masih digunakan untuk
mengatasi berbagai masalah kulit seperti kulit kering dan luka bakar.
Lotion yang dibuat dari tanaman ini dapat digunakan untuk mengobati
kelainan muskuloskelatal. Jus mucilago dari daun Aloe vera mengandung
banyak polisakarida. Polisakarida diketahui dapat dapat bertindak sebagai
imunostimulan dan membentu pelepasan sitokin seperti IL-1, IL-6, TNFa,

dan interferon gamma yang merupakan faktor penting dalam proliferasi sel
fibroblas. Proliferasi sel fibroblas bertanggung jawab dalam penyembuhan
luka bakar, ulkus, dan luka pada kulit dan saluran cerna (Mitra, et al.,
2007).
2. Amaranthus spinosus
Dalam bahasa Indonesia biasa disebut dengan bayam duri, merupakan
tanaman obat yang biasa dianggap gulma oleh petani tradisional. Tanaman
ini biasanya diaplikasikan pada bisul untuk menghambat pembentukan
nanah. Menurut Hilou et al. (2006) tanaman ini mempunyai efek
antimalaria dan antimikrobial. Tanaman dari genus Amaranthus diketahui
mengandung nitrogen kuartener dalam strukturnya, sehingga mempunyai
kemampuan untuk menghambat pertumbuhan Plasmodium. Secara umum
tanaman ini digunakan sebagai antipiretik, diuretik, dan laksatif. Ekstrak
akar dari tanaman ini dapat digunakan untuk mengobati gonorrheae
(Mitra, et al., 2007).
3. Coriandum sativum
Ketumbar (Coriandum sativum) merupakan tanaman yang biasa
digunakan sebagai bumbu dapur. Biji ketumbar mengandung minyak atsiri
1% dengan komponen utamanya yaitu monoterpen dan linalool. Biji
ketumbar biasa digunakan per oral untuk mengatasi batuk, lepra, nyeri
dada sentral dan gangguan pencernaan. Studi mengungkapkan bahwa
minyak atsiri ketumbar menunjukkan aktivitas antibakteri (Burt, 2004).
Komponen atsiri pada tanaman ini dapat melindungi tanaman dari infeksi
mikroorganisme. Menurut Chitara dan Leelamma (1999), ketumbar
mempunyai efek hipoglikemik melalui jalur meningkatkan utilisasi
glukosa saat sintesis glikogen, mengurangi degradasi glikogen, dan
mengurangi laju glukoneogenesis.
4. Ipomoea batatas
Biasa disebut Ubi rambat merupakan tanam yang biasa ditanam di
Indonesia. Tanaman ini mengandung banyak antioksidan seperti flavonol
dan flavon dari golongan flavonoid. Flavonoid merupakan senyawa yang

mempunyai aktivitas antioksidan yang kuat. Selain itu ubi rambat juga
mempunyai efek hipoglikemi dengan mengurangi resistensi insulin (Mitra,
et al., 2007).
5. Nigella sativa
Nigella sativa atau jintan hitam merupakan tanaman yang biasa dipakai
sebagai rempah, penambah rasa, dan pengawet makanan. Sebagai obat,
jintan hitam biasa digunakan untuk mengobati arthritis. Hal ini disebabkan
karena jintan hitam mempunyai sifat anti-inflamasi. Morsi (2000)
menemukan bahwa ekstrak alkaloid dari jintan hitam dapat menghambat
pertumbuhan berbagai bakteri yang diisolasi dari pasien manusia penderita
septik arthritis. Jintan hitam juga menunjukkan sifat antifungal terhadap
jamur Candida albicans dan dermatofit karena kandungan timoguinon
dalam ekstraknya. Timoguinon juga memiliki manfaat lain yaitu
menghambat kerusakan hepatosit akibat toksin eksogen seperti cisplastin
dan karbon tetraklorida. Jintan hitam juga memiliki manfaat lain seperti
antitumor dan juga berpotensi dalam stimulasi sistem imun (Mitra, et al.,
2007).
E. Profil Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat
Tradisional (B2P2TO-OT)
1. Sejarah
B2P2TOOT bermula dari kebun koleksi Tanaman Obat (TO), dirintis
oleh Romo Santoso sejak awal tahun kemerdekaan, menggambarkan
semangat dari seorang anak bangsa Nusantara yang tekun dan sangat
mencintai budaya pengobatan nenek moyang. Beliau mewariskan semangat
dan kebun tersebut pada negara. Mulai April 1948, secara resmi Kebun
Koleksi TO tersebut dikelola oleh pemerintah di bawah lembaga Eijkman
dan diberi nama Hortus Medicus Tawangmangu.
Evolusi sebagai suatu organisasi terjadi karena Kepmenkes No. 149
tahun 1978 pada tanggal 28 April 1978, yang mentransformasi kebun
koleksi menjadi Balai Penelitian Tanaman Obat (BPTO) sebagai Unit

Pelaksana Teknis di Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,


Departemen Kesehatan. Transformasi I sebagai lembaga Iptek memberikan
nuansa dan semangat baru dalam mengelola tanaman obat (TO) dan
potensi-potensi TO sebagai bahan jamu untuk pencegahan, pemeliharaan
dan peningkatan kesehatan rakyat.
Evolusi organisasi berlanjut pada tahun 2006, dengan Permenkes
No. 491 tahun 2006 tanggal 17 Juli 2006, BPTO bertransformasi menjadi
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat
Tradisional (B2P2TOOT). Transformasi II tersebut memberikan amanah
untuk melestarikan, membudidayakan, dan mengembangkan TOOT dalam
mendukung pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
Era persaingan, globalisasi dan keterbukaan, mendorong manusia
dan negara menggali, memanfaatkan, mengembangkan budaya kesehatan
dan sumber daya lokal untuk pembangunan kesehatan. Ini berdampak pada
Transformasi III B2P2TOOT, dengan Permenkes No. 003 tahun 2010 pada
tanggal 4 Januari 2010 Tentang Saintifikasi JAMU, Penelitian Berbasis
Pelayanan. Sejak tahun 2010, B2P2TOOT memprioritaskan pada
saintifikasi jamu, dari hulu ke hilir, mulai dari riset etnofarmatologi
tumbuhan obat dan jamu, pelestarian, budidaya, pascapanen, riset
praklinik, riset klinik, teknologi, menajemen bahan jamu, penelitian iptek,
pelayanan iptek, dan diseminasi sampai dengan community empowerment.
2. Visi dan Misi
Visi:
Masyarakat sehat dengan jamu yang aman dan berkhasiat
Misi:
a. Meningkatkan mutu litbang tanaman obat dan obat tradisional
b. Mengembangkan hasil litbang tanaman obat dan obat tradisional
c. Meningkatkan pemanfaatan hasil litbang tanaman obat dan obat
tradisional.

3. Tugas dan Fungsi


Tugas : Melaksanakan penelitian dan pengembangan tanaman obat dan
obat tradisional.
Fungsi :
a. Perencanaan,

pelaksanaan,

evaluasi

penelitian

dan

atau

pengembangan di bidang tanaman obat dan obat tradisional.


b. Pelaksanaan eksplorasi, inventarisasi, identifikasi, adaptasi dan
koleksi plasma nutfah tanaman obat.
c. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi konservasi dan
pelestarian plasma nutfah tanaman obat.
d. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi standarisasi
tanaman obat dan obat tradisional.
e. Pelaksanaan pengembangan jejaring kerjasama dan kemitraaan di
bidang tanaman obat dan obat tradisional.
f. Pelaksanaan pelatihan teknis di bidang pembibitan, budidaya, pasca
panen, analisis, koleksi spesimen tanaman obat serta uji keamanan
dan kemanfaatan obat tradisional.
g. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.
4. Kegiatan
a. Melaksanakan Saintifikasi Jamu: penelitian berbasis pelayanan
b. Mengembangkan bahan baku terstandarisasi
c. Mengembangkan jejaring kerjasama
d. Mengembangkan teknologi tepat guna
e. Desiminasi, sosialisasi dan pemanfaatan hasil litbang TO-OT
f. Mengembangkan karir dan mutu SDM
g. Meningkatkan perolehan HKI dari hasil litbang TO-OT
h. Mengembangkan sarana dan prasarana
i. Menyusun draft regulasi dan kebijakan teknis litbang TO-OT
5. Struktur Organisasi

1) Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat


Tradisional (B2P2TO-OT) merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT)
Enselon II di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Kementerian Kesehatan RI. Bagian Tata Usaha
Melaksanakan urusan tata usaha kepegawaian, perlengkapan dan
rumah tangga serta pengelolaan keuangan.
2) Bidang Program Kerjasama dan Informasi
Melaksanakan penyusunan perencanaan, koordinasi, pelaksanaan dan
evaluasi program, anggaran, kerja sama dan kemitraan, penyediaan dan
desiminasi informasi, serta evaluasi dan pelaporan.
3) Bidang Pelayanan Penelitian
Melaksanakan koordinasi pelaksanaan dan evaluasi pelayanan
penelitian.
4) Instalasi
Merupakan fasilitas penunjang penyelenggaraan litbang dibidang TO
dan OT.
5) Kelompok Fungsional Peneliti
Melakukan kegiatan sesuai jabatan fungsional peneliti berdasar
peraturan perundang undangan yang berlaku (Depkes RI, 2009).

6. Laboratorium dan Instalasi


Peralatan laboratorium utama yang mendukung pelaksanaan kegiatan
laboratorium seperti Gas Chromatography, TLC densitometer, High
Performance

Liquid Chromatography

(HPLC),

Vacum

Rotavapor,

spectrophotometer, blotting apparatus, Termocycler PCR dll.


1) Laboratorium
a) Laboratorium Sistematika Tumbuhan
Untuk

identifikasi,

determinasi,

dan

pengembangan

database. Kegiatan rutin berupa pembuatan spesimen dalam bentuk


preparat

mikroskopis,

determinasi tanaman.

herbarium

basah

dan

kering,

serta

b) Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman


Untuk identifikasi hama dan penyakit tanaman dan
penelitian tentang cara pengendalian hama dan penyakit tanaman.
c) Laboratorium Galenika
Untuk mengolah simplisia menjadi bentuk sediaan yang
siap digunakan. Kegiatan yang dilakukan berupa pembuatan
ekstrak, destilasi minyak atsiri serta mengkoleksi atau membuat
bank ekstrak dan bank minyak atsiri.
d) Laboratorium Fitokimia
Untuk mengetahui kandungan kimia tanaman yang meliputi
penapisan fitokimia, pembuatan profil Kromatografi Lapis Tipis
(KLT), isolasi zat aktif dan penetapan kadar senyawa aktif.
e) Laboratorium Formulasi
Untuk mengembangkan produk dan bentuk sediaan, antara
lain : sabun sehat, minuman instant, minyak gosok, aromaterapi,
lulur dan masker.
f) Laboratorium Toksikologi dan Farmakologi
Untuk mendukung kegiatan penelitian praklinik, yaitu
mengkaji khasiat dan keamanan formula jamu.
g) Laboratorium Bioteknologi
Untuk kultur jaringan tanaman dan biologi molekuler.
2) Instalasi
a) Instalasi Benih dan Pembibitan Tanaman Obat
Kegiatan

Instalasi

Benih

dan

Pembibitan

meliputi

pengumpulan, pengolahan dan menyediakan stok benih tanaman


obat.
b) Instalasi Adaptasi dan Pelestarian
Tujuan adaptasi adalah mengaklimatisasi tanaman hasil
eksplorasi maupun tanaman baru agar mampu tumbuh di lokasi
baru. Pelestarian ditujukan untuk menjaga kelestarian tanaman obat

yang sudah langka, sangat sedikit dan pertumbuhannya mudah


terganggu oleh perubahan iklim.
c) Instalasi Koleksi Tanaman Obat
1. Kebun Etalase Tanaman Obat
Etalase tanaman obat merupakan kebun rekreasi dan
edukasi yang digunakan sebagai sarana pembelajaran atas
keragaman jenis tanaman obat dan manfaatnya. Terletak pada
ketinggian 1200 meter dpl. Jumlah koleksi 800 spesies.
2. Kebun Tlogodlingo
Terletak pada ketinggian 1700-1800 meter dpl dengan luas
sekitar 12 Ha.
3. Kebun Karangpandan
Kebun Karangpandan terdiri dari Kebun Toh Kuning dan
Doplang. Kebun tersebut terletak pada ketinggian 400 - 500
meter dpl dengan luas sekitar 2,5 Ha.
d) Instalasi Paska Panen
Instalasi paskapanen melakukan penanganan hasil panen
tanaman obat, meliputi pencucian: sortasi, pengubahan bentuk,
pengeringan, pengemasan dan penyimpanan
7. Kelompok Program Penelitian (KPP)

Peneliti merupakan motor penggerak pada B2P2TO-OT. Penelitian


yang dilakukan terbagi dalam 4 kelompok ruang lingkup yang disebut
sebagai KPP yang dibina langsung oleh Panitia Pembina Ilmiah (PPI).
Ruang lingkup keempat KPP tersebut adalah:
1

KPP Bioprospeksi

Pemetaan dan survei bioregional (bahan obat alam).

Etnobotani dan etnofarmakologi.

Eksplorasi dan koleksi plasma nutfah.

Karakterisasi dan identifikasi (morfologi, marker DNA dan golongan


senyawa kimia).

Adaptasi pelestarian dan domestikasi.


2

KPP Stadarisasi Tanaman Obat

Teknologi benih, pembibitan dan propagasi.

Pengembangan kultivasi dan budidaya.

Pemuliaan, seleksi dan kestabilan mutu.

Konservasi.
3

KPP Teknologi Obat Bahan Alam

Pasca panen.

Ekstraksi.

Pengembangan formulasi dan stabilitas.

Isolasi dan biosintesa senyawa aktif.

Bioteknologi bahan obat alam.


4

KPP Khasiat dan Keamanan

Uji keamanan (Toksisitas akut, subkronis, kronis dan khusus).

Uji manfaat.

Formulasi ramuan OT.

Uji klinik tahap I,II dan III (Depkes RI, 2009)

8. Wisata Ilmiah
B2P2TO-OT Tawangmangu menawarkan suatu paket wisata
edukatif di mana pengunjung dapat belajar tentang tanaman obat dan obat
tradisional mulai dari budidaya, pasca panen, hingga pengolahan simplisia
menjadi produk obat tradisional. Paket tersebut meliputi:
a. Kebun Tlogodlingo
Kebun Tlogodlingo merupakan lahan budidaya dan koleksi TO
mempunyai luas 13 Ha yang terletak di lereng Gunung Lawu
dengan

ketinggian

1800

mdpl.

Kebun

ini

mempunyai

pemandangan yang indah dan berhawa sejuk. TO aromatik yang


dibudidayakan antara lain: Foeniculum vulgare dan Rosmarinus
officinalis dalam bentuk aromatic garden dan TO yang hanya
tumbuh baik pada dataran tinggi antara lain :Pimpinella alpina,
Digitalis purpurea, Artemisia annua dalam bentuk sub tropical
garden. Selain sebagai kebun koleksi dan penelitian, kebun
Tlogodlingo juga dikembangkan sebagai unit pasca panen dan
pembibitan TO spesifik lokal (Depkes RI, 2009).

Gambar 1. Kebun Tlogodlingo


(Sumber: Depkes RI, 2009)

b. Kebun Koleksi dan Etalase Tanaman Obat


Kebun koleksi dan etalase tanaman obat mempunyai +1.000
spesies TO yang merupakan hasil eksplorasi dari berbagai daerah
di Indonesia dan luar negeri. Kebun ini terletak di pusat wisata
Tawangmangu pada ketinggian 1200 mdpl (Depkes RI, 2009).

Gambar 2. Kebun Koleksi dan Etalase Tanaman Obat

(Sumber: Depkes RI, 2009)

c. Pembibitan
Sektor ini menyediakan bibit untuk kebutuhan penelitian, pelatihan
dan koleksi (Depkes RI, 2009).

Gambar 3. Pembibitan
(Sumber: Depkes RI, 2009)

d. Museum TO dan OT
Museum TO dan OT dikembangkan sebagai wahan untuk
mengenal, mempelajari dan meneliti budaya lokal dalam
pemanfaatan TO dan OT yang dilakukan nenek moyang pada
jaman dahulu serta perkembangannya sampai saat ini (Depkes RI,
2009).

Gambar 4. Museum TO dan OT


(Sumber: Depkes RI, 2009)

BAB III
KEGIATAN YANG DILAKUKAN

Kami melakukan kegiatan praktikum blok pengobatan komplementer


herbal di Balai Besar Penelitian dan pengembangan Tanaman Obat dan Obat
Tradisional (B2P2TO-OT) di Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah.
Kegiatan tersebut kami lakukan pada hari Kamis, 8 Oktober 2015. Saat tiba di
tempat tersebut, kami segera menyaksikan tayangan audiovisual mengenai
perkembangan bahan herbal Indonesia. Dari kegiatan tersebut, kami bisa
mengetahui bahwa bahan herbal di Indonesia sangat beragam dan betapa
pentingnya bahan herbal di Indonesia jika dapat dimanfaatkan sebagaimana
mestinya.
Acara dilanjutkan dengan pengenalan singkat B2P2TO-OT oleh dr.
Penggalih. Dalam sesi ini dijelaskan cikal bakal serta visi dan misi balai ini.
Salah satu visi dibangunnya B2P2TO-OT ini adalah untuk menyetarakan
antara herbal jamu yang telah turun-temurun menjadi warisan bangsa
Indonesia dengan pengobatan barat/conventional medicine yang mengacu
pada Evidence Based Medicine (EBM). Dalam mencapai visi dan misi ini,

maka ditempatkan berbagai ahli dari seorang insinyur di bidang pertanian


yang mengelola bidang pembibitan dan seluk beluknya hingga, seorang dokter
yang menguji klinis jamu. Setelah acara pengenalan singkat tesebut, kami
harus segera melakukan kunjungan di tempat-tempat lainnya berdasarkan
kelompok yang telah dibagi sebelumnya.
Tempat pertama yang kami kunjungi adalah pembibitan tanaman obat.
Tempat ini memang sengaja digunakan untuk mengembangkan tanaman obat
untuk selanjutnya ditanam di kebun atau etalase tanaman obat. Terdiri dari
beberapa jenis pembibitan berdasarkan cara penanaman, ada yang ditanam di
ladang dan ada yang ditanam di pot. Pembibitan dilakukan berdasarkan jenis
aau karakteristik tanaman herbal. Hasil yang kami peroleh adalah bahwa
dalam pembibitan sangat penting dilakukan untuk menjaga kelestarian hayati
tanamn herbal tersebut sehingga sangat penting adanya kebituhan sinar
matahari dan irigasi, tetapi kebutuhan akan hal tersebut berbeda untuk masingmasing tumbuhan.
Tempat kedua yang kami kunjungi adalah perkebunan atau etalase
tanaman obat. Di perkebunan ini terdapat berbagai jenis tanaman obat yang
sengaja ditanam untuk etalase. Tiap jenis tanaman dituliskan nama secara
ilmiah dan kegunaan utamanya. Selain itu jika ingin mengetahui lebih lanjut,
juga bisa dilihat di buku petujnjuk mengenai tanaman obat yang bersangkutan
di setiap tempat dekat tanaman obat. Hasil yang kami peroleh adalah
mengetahui secara nyata bentuk dan tampilan tanaman obat yang sedang kami
pelajari.
Tempat ketiga yang kami kunjungi adalah pengeringan dan simplisia.
Di tempat ini kami mengetahuibagaimana pengolahan tanaman herbal
pascapanen. Bagian mana yang paling berkhasiat dari herba tanaman obat,
dipanen, lalu dikeringkan dam disimpan untuk menjadi sebuah simplisia.
Bagian ini kemudian nanti akan diproses di laboratorium untuk diperoleh
bentukan lain yang lebih efektif jika dikonsumsi, utamanya efektif dalam hal
dosis. Hasil yang kami peroleh adalah mengetahui bagaimana cara melakukan
pengolahan pascapanen mulai dari awal hingga kering untuk disimpan.

Simplisia yang sudah disimpan bisa tahan dalam waktu yang relatif lama
untuk kemudian diolah di laboratorium herbal menurut kebutuhan.
Tempat selanjutnya yang kami kunjungi adalah laboratorium herbal. Di
laboratorium inilah simplisia tersebut diolah untuk menjadi produk yang siap
dikonsumsi, baik dikonsumsi untuk penelitian maupun untuk pengobatan
pasien yang digunakan dalam formularium. Ada berbagai macam pengolahan
yang dilakukan di sini, mulai dari pembentukan serbuk sampai dengan
pembentukan ekstrak. Pembentukan serbuk mungkin merupakan cara yang
konvensional dilakukan dalam pengolahan simplisia. Saat ini yang paling
sering dilakukan dalam pengolahan simplisia adalah ekstraksi karena cara ini
sangat menghasilkan produk obat herbal yang lebih mudah dalam
penghitungan dosisnya. Hasil yang kami peroleh adalah mengetaui bahwa
ekstraksi merupakan suatu cara untuk memisahkan senyawa yang berkhasiat
yang larut dalam penyari (air atau alkohol atau eter) untuk terpisah dari
ampasnya. Ekstrak yang dihasilkan dapat berupa ekstrak cair, kental, maupun
kering. Ekstrak yang paling baik adalah yang berbentuk kering.
Setelah itu kami mengunjungi Klinik Saintifikasi Jamu Hortus
Medicus. Klinik ini merupakan klinik tipe A yang berada di bawah naungan
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat
Tradisional (B2P2TOOT), dan sudah ada sejak 2007. Namun sebelum resmi,
lokasi klinik ini berpindah-pindah. Barulah pada Januari 2014, Klinik
Saintifikasi Jamu Hortus Medicus berlokasi di sini, dan diresmikan oleh
Menteri Kesehatan Republik Indonesia saat itu, Ibu Nafsiah Mboi.

Gambar 5. Klinik Saintifikasi Jamu Hortus Medicus


(Sumber : Dokumentasi Mahasiswa)
Obat yang digunakan di klinik ini hanya jamu, tanpa obat kimia.
Sebelum digunakan, bahan baku yang dipanen dari kebun akan diteliti terlebih
dahulu oleh farmasi, lalu masuk ketahap uji obat, dan dilihat khasiat serta

keamanan dari bahan yang digunakan. Apabila terbukti aman dan berkhasiat,
baru digunakan di klinik ini.
Kami juga mengunjungi Museum Jamu Hortus Medicus. Museum ini
memiliki koleksi berupa herbarium kering dan basah, bahan-bahan jamu yang
disertai keterangan asal lokasinya, alat pengolah jamu tradisional, serta
berbagai koleksi lain yang ditempatkan dalam ruangan-ruangan. Ruangan
tersebut yaitu ruang bahan jamu, ruang budaya, ruang produk jamu, ruang
produk prestasi dan ruang naskah kuno. Ketika memasuki Museum ini, kami
dapat melihat peta Indonesia yang diatasnya terdapat bahan-bahan jamu yang
diletakkan sesuai tempatnya berasal. Disebelahnya terdapat alat pembuat jamu
secara tradisional yang telah dipakai nenek moyang kita secara turun-temurun.
Gambar 6. Alat alat tradisional pembuat jamu
(Sumber : Dokumentasi Mahasiswa)
Lalu masuk ke Ruang Bahan Jamu, disini disimpan bahan-bahan jamu
yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia antara lain akar pinang, akar
kuning, pasak bumi dan lainnya. Selanjutnya menuju Ruang Budaya yang
menyimpan beberapa hasil kerajinan dan kesenian dari beberapa provinsi di

Indonesia seperti kain tenun, wayang, gamelan dan lainnya. Ruang Produk
Jamu berisi produk-produk jamu dari industri-industri jamu di Indonesia, serta
beberapa dari luar negeri. Di ruang ini juga terdapat ramuan jamu turuntemurun yang tersimpan dalam lemari kaca.
Lalu ada Ruang Prestasi dimana di ruangan ini terdapat dokumentasi
sejarah dari B2P2TOOT. Foto-foto kunjungan tamu negara, tamu penting,
cinderamata serta beberapa buku publikasi disimpan dalam ruangan ini.
Terakhir adalah Ruang Naskah Kuno yang memuat koleksi buku-buku kuno
(mulai dari jaman kerajaan Hindu-Budha hingga masa colonial Belanda) yang

dahulu digunakan sebagai buku resep pengobatan. Museum Jamu Hortus


Medicus ini memiliki tujuan untuk melestarikan warisan leluhur serta
mendokumentasikan perkembangan pemanfaatan Tanaman Obat dan Obat
Tradisional yang ada di Indonesia. Museum ini juga menjadi bagian dari
Wisata Kesehatan Jamu B2P2TOOT yang mencakup pembelajaran manfaat
tanaman obat dan obat tradisional bagi masyarakat luas yang dikemas dalam
perpaduan menarik antara edukasi dan rekreasi.
Gambar 7. Produksi Hasil Olahan Jamu
(Sumber : Dokumentasi Mahasiswa)

BAB IV
PEMBAHASAN

Pemanfaatan tanaman obat dalam kesehatan sudah mulai kembali menjadi


perhatian bagi masyarakat luas melihat efek samping dari bahan alami yang lebih
sedikit dibandingkan bahan kimia. Berbagai upaya dilakukan agar tanaman obat
dapat digunakan dalam pengobatan secara evidence based. Balai Besar Penelitian
dan Pengembangan Tanaman Obat Obat Tradisional (B2P2TO-OT) merupakan
sarana penelitian, pengembangan dan saintifikasi Jamu, tanaman obat yang
berasal dari Indonesia.
Jamu yang digunakan di B2P2TO-OT berupa racikan simplisia, serbuk dan
juga ekstrak tanaman obat yang telah diteliti khasiat dan keamanannya melalui uji
praklinik dan atau observasi klinik. Cara pembuatan Jamu di B2P2TO-OT
mengacu pada pembuatan simplisia yang baik dengan memerhatikan standarisasi
benih/bibit, budidaya, pasca panen dan analisis mutu di Laboratorium B2P2TOOT untuk menjamin keamanan dan kualitas Jamu yang dihasilkan.maka cara
pembuatannya mengacu pada cara pembuatan simplisia yang baik, dimulai dari
proses standarisasi benih/bibit, budidaya, pasca panen maupun analisis mutu di
laboratorium B2P2TO-OT.
B2P2TO-OT tidak hanya memerhatikan penelitian dan pengembangan
tanaman obat tradisional, tapi juga memiliki Klinik Herbal Hortus Medicus
dimana pengobatan yang diberikan hanya dalam bentuk Jamu dan tidak
mengandung obat kimia. Hal dilakukan sebagai upaya untuk mengintegrasikan
obat tradisional dalam pelayanan kesehatan.
Klinik Herbal Hotus Medicus sejauh ini sudah mengelompokkan jenis
penyakit yang dapat diterapi dengan herbal seperti:
a. Analgetik Antiinflamasi
Digunakan simplisia Curcuma xanthorrizae rhizoma (temulawak) dan
Curcuma domesticae rhizoma (kunyit)
Curcuma xanthorrizae rhizoma

Takaran: 5-10 gram simplisia direbus 15 menit, air rebusan diminum. 0,51 gram serbuk temulawak diseduh dengan air mendidih 1 gelas, diamkan
5-10 menit, disaring. Air seduhan diminum.

Senyawa

aktif:

Curcumin,

bidesmothoxy-curcumin,

xanthorrhizol,

germacron.
-

Efek samping: iritasi mukosa lambung.

Curcuma domesticae rhizoma


-

Takaran: simplisia 3-9 gram per hari. Serbuk 1,5-3 gram per hari.

Senyawa aktif: Curcumin, curcuminoid, tumeron, tumeric, zingiberin.

Efek samping: penelitian preklinik menyebabkan perubahan pada hepar,


berat paru-paru, penurunan eritrosit dan leukosit, iritasi lambung.

b. Immunomodulator
Digunakan Phylanthus niruri herba (meniran) dan Echinaceae flos (bunga
echinacea)
Pylanthus niruri herba
-

Takaran: 20 gram direbus dengan 2 gelas air selama 15 menit, hasil


rebusan diminum 2 kali setengah gelas pagi-sore.

Senyawa aktif: Phylanthin, hypophylathin, securinin, flavonoid.

Efek samping: Belum ditemukan efek samping yang berbahaya

Echicacea flos
-

Senyawa aktif: Echinacoside, alkilamid

c. Diabetes
Digunakan Tinosporae caulis (brotowali), Momordicae fructus (pare), dan
Andrograpidhis herba (sambiloto)
Tinosporae caulis
-

Senyawa

aktif:

Alkaloid

berberin,

furanoditerpen,

tinosporin,

tinosporidine.
Momordicae fructus
-

Takaran: buah segar 1 buah (panjang 10 cm), isi dibuang, diparut, diseduh
dengan air panas setengah gelas

Senyawa aktif: Momordin, monocharin, alkaloid kukurbitasin

Andrograpidhis herba
-

Takaran: Simplisia 10-15 gram, direbus

Senyawa aktif: Andrographolide, neoandrograpolide, andrographine,


paniculide

Efek samping: gangguan pada pencernaan, kehilangan nafsu makan,


muntah

d. Hiperurikemia
Digunakan Piperis retrofacti fructus (cabe jawa) dan Sonchi folium
(tempuyung)
Piperis retrofacti fructus
-

Senyawa aktif: minyak atsiri, piperin, tanin, piperidin

Sonci folium
-

Senyawa aktif: flavonoid, ion mineral silika, kalium, natrium

e. Hipertensi
Digunakan Apii folium (seledri), Rouwolfiae serpentina radix (akar
rouwolfia), Centelae asiaticae herba (pegagan)
Apii folium
-

Takaran: 200 gram seledri direbus dengan 2 gelas air

Senyawa aktif: favonoid, minyak atsiri

Efek samping: penggunaan melebihi 200 gram sekali minum dapat


menyebabkan penurunan tekanan darah secara tajam, sehingga terjadi
syok.

Rouwolfiae serpentina radix


-

Takaran: serbuk 200 mg sehari

Senyawa aktif: reserpin

Efek samping: depresi mental, bradikardi, aritmia, atropi optik, glaukoma,


penurunan pendengaran, cemas, sakit kepala, mengantuk, reaksi
ekstrapiramidal, peningkatan motilitas usus, diare, kongesti hidung.

Centellae asiaticae herba


-

Takaran: serbuk 0,33 0,68 gram direbus

Senyawa aktif: asiaticoside , sitosterol, brahmoside, brahminoside

Efek samping: dermatitis

f. Antihemoroid
Graptophyli folium
-

Takaran: 5 lembar daun direbus dengan 1,5 gelas air, diminum 2 kali
sehari pagi-sore

Senyawa aktif: alkaloid, flavonoid, saponin, tanin

g. Kolesterol
Allii sativum bulbus (bawang putih)
-

Takaran: segar 2-5 gram/hari, serbuk kering 0,4-1,2 gram/hari, minyak 25 ml/hari, ekstrak 300-1000 mg/hari

Senyawa aktif: cystein, minyak atsiri, saponin, tuberkuloside, allistatin,


garlicin

Tamarandus indica (asam jawa)


-

Takaran: 100-175 gram daun asam jawa ditumbuk bersama air panas.
Peras, saring, dan minum sekaligus, lakukan 2 kali sehari.

Senyawa aktif: vitamin B3, geraniol, limonen, peptin, proline, leusin,


phenylalanine, pipecolic acid, serine, tartaric acid, stexin, iovitexin,
isoorietin.

Cocos nucifera (kelapa)


-

Senyawa aktif: medium chain fatty acid

Eugenia polyanta (salam)


-

Senyawa aktif: saponin, triterpen, flavonoid, tanin, polifenol, alkaloid,


minyak atsiri.

h. Nefolitiasis
Strobilianti folium (daun kejibeling)
-

Takaran: 2-6 gram kering

Senyawa aktif: alkaloid, saponin, flavonoid, polifenol, K, Ca, Mg, F,


karbohidrat, lender, steroid, triterpenoid, protein, asam kafeat, asam
vanilat, asam gentinat, asam sirinat.

Orthosiphon aristatus (kumis kucing)

Takaran: daun sebanyak seperempat genggam direbus dalam 1 gelas air.


Didihkan hingga tersisa setengah gelas. Angkat, dinginkan lalu saring.
Diminum 2 kali sehari dan tiap kali minum setengah gelas.

Senyawa aktif: saponin, polifenol, flavonol, sapofonin, myoinositol,


ortosipon glikosida, minyak atsiri, ion kalium

i.

Fertilitas
Camomilae flos (Bunga seruni)
-

Takaran: 7-11 helai bunga

j. Batuk
Blumeae balsamiferae folium (daun sembung)
-

Senyawa aktif: Borneol, campor, limonen, flavonoid, glikosida,


triterpenoid

Abri folium (daun saga)


-

Senyawa aktif: protein, vitamin A, B1, B6, C, kalsium oksalat, glisirisin,


flisirizinat, polygalacturomic acid, pentosan

Morinda citrifolia (mengkudu)


-

Takaran: 1 buah mengkudu dikupas, buang bijinya, dihaluskan, disaring.


Campur dengan 2 gelas air perasan air jeruk nipis 1 buah, dan 3 gram
kapur sirih. Aduk sampai merata, lalu disaring lagi, diminum 4 kali sehari
setengah gelas

Senyawa aktif: terpenoid, senyawa xeronine, proxeronine.

BAB VI
PENUTUP

A. Simpulan
1. Tanaman Obat atau Herbal merupakan salah satu jenis pengobatan medis
yang bersifat komplementer yang menggunakan tanaman alam yang sudah
melalui penelitian dan terbukti khasiatnya.
2. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat
Tradisonal (B2P2TO-OT) merupakan sebuah institusi yang bergerak dalam
bidang penelitian serta pengembangan ilmu kesehatan khususnya
mengenai tanaman herbal.
3. Kegiatan di B2P2TO-OT meliputi penanaman tanaman herbal, proses
pemanenan, pembuatan simplisia, pembuatan ekstrak, penelitian tentang
kandungan dan khasiat tentang tanaman herbal, sampai pada pengobatan
dan peresepan tanaman herbal untuk aplikasi klinis di klinik saintifikasi
jamu Hortus Medicus.
4. Laboratorium terpadu B2P2TO-OT berperan penting dalam pengolahan
obat herbal sehingga aman digunakan masyarakat. Balai ini memiliki tujuh
laboratorium (laboratorium sistematika tumbuhan, hama dan penyakit
tanaman, galenika, fitokimia, formulasi, toksikologi dan farmakologi, dan
bioteknologi) serta empat instalasi (instalasi benih dan pembibitan
tanaman obat, adaptasi dan pelestarian, koleksi tanaman obat, dan paska
panen).
B. Saran
1. Hendaknya sering dilakukan penelitian mengenai tanaman-tanaman obat
sehingga penggunaan tanaman sebagai obat yang selama ini hanya
berdasarkan pengalaman turun temurun menjadi memiliki bukti ilmiah
sesuai dengan prinsip evidence-based medicine.

2. Mahasiswa hendaknya memiliki pemikiran terbuka untuk mempelajari


berbagai macam metode pengobatan ilmiah agar berbagai macam metode
pengobatan tersebut dapat dipadukan dan saling melengkapi kekurangan
masing-masing.
3. Diperlukan upaya lebih lanjut untuk mensosialisasikan penggunaan obatobat herbal agar masyarakat tidak ragu lagi menggunakannya. Hal ini
dikarenakan masih banyak masyarakat yang memandang obat-obat
tradisional seperti jamu dengan sebelah mata, padahal sebenarnya khasiat
yang terkandung sangat banyak dan lebih aman dari efek samping.
Fasilitas yang ada di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Obat dan Obat Tradisonal (B2P2TO-OT) perlu selalu ditingkatkan
kemanfaatannya, salah satunya klinik saintifikasi jamu Hortus Medicus
yang sangat bermanfaat untuk sarana pengobatan dan penelitian
pemanfaatan herbal.

DAFTAR PUSTAKA
Burt, S. (2004). Essential oils: their antibacterial properties and potential
applications

in

foods-a

review.

International

Journal

of

Food

Microbiology 94 : 223253.
Butarbutar, R., & Soemarno, S. (2013). Environmental Effects Of Ecotourism In
Indonesia. Journal of Indonesian Tourism and Development Studies, 1(3),
87-97.
Chithra, V. and Leelamma, S. (1999). Coriandrum sativum mechanism of
hypoglycemic action. Food Chemistry 67: 229-231.
Davidson, E., Vlachojannis, J., Cameron, M., & Chrubasik, S. (2013). Best
Available Evidence in Cochrane Reviews on Herbal Medicine?. EvidenceBased Complementary and Alternative Medicine, 2013.
Departemen Kesehatan RI. (1979). Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta.
DepKes

RI.

(2007).

Lampiran

Keputusan

Mentri

Kesehatan

Nomor:

381/Menkes/SK/III/2007 mengenai Kebijakan Obat Tradisional Nasional


Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Ditjen

POM,

(1986)..Sediaan

Galenik.

Departemen

Kesehatan

Republik Indonesia, Jakarta.


Haneef, J., Shaharyar, M., Husain, A., Rashid, M., Mishra, R., Siddique, N. A., &
Pal, M. (2013). Analytical methods for the detection of undeclared
synthetic drugs in traditional herbal medicines as adulterants. Drug testing
and analysis.
Harborne, J. (1987). Metode Fitokimia: Penuntun cara modern menganalisis
tumbuhan. (K.Padmawinata, & I. Soediro, Trans.) Bandung: ITB.
Herman, M. J., Supardi, S., & Handayani, R. S. (2013). POLICY ON HERBAL
TRADITIONAL MEDICINES THERAPY IN THREE PROVINCES IN
INDONESIA. Buletin Penelitian Kesehatan, 41(2 Jun), 111-119.
Hilou, A., Nacoulma, O.G. and Guiguemde, T.R. (2006). In vivo antimalarial
activities of extracts from Amaranthus spinosus L. and Boerhaavia erecta
L. in mice. Journal of Ethnopharmacology 103: 236-240.

Mahani, M., Jannah, I. L., Harahap, E. S., Salman, M., & Habib, N. M. F. (2013).
Antihyperglycemic Effect of Propolis Extract from Two Different
Provinces in Indonesia. International Journal on Advanced Science,
Engineering and Information Technology, 3(4), 01-04.
Mitra R, Mitchell B, Gray C, Orbell J, Coulepis T, Muralitharan MS (2007).
Medicinal plants of Indonesia. APBN volume 11. 11: 726-743.
Morsi, N.M. (2000). Antimicrobial effect of crude extracts of Nigella sativa on
multiple antibiotics-resistant bacteria. Acta Microbiologica Polonica 49:
6374.
Pathak, K., & Das, R. J. (2013). Herbal Medicine-A Rational Approach in Health
Care System.
Ratnawati, D., Luthfi, M., & Affandhy, L. (2013). Effect of Traditional Herbal
Supplementation on Performance of PO Bull. JITV, 18(1).
Sampurno. (2003). Kebijakan Pengembangan Obat Bahan Alam Indonesia
Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXIII, Universitas Pancasila,
Jakarta.
Sudjadi, Drs., (1986).Metode Pemisahan. UGM Press,Yogyakarta
Suyitno. (1989). Rekayasa Pangan. PAU Pangan dan Gizi. UGM Yogyakarta.
Torri, M. C. (2013). Traditional jamu versus industrial jamu: perceptions and
beliefs of consumers in the city of Yogyakarta: what future for traditional
herbal medicine

in urban Indonesia?.

International

Journal

of

Entrepreneurship and Small Business, 19(1), 1-20.


Voight. R. (1995). Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Diterjemahkan oleh
Soendari Noerono. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Wasito,

H.

(2008).

Meningkatkan

Peran

Perguruan

Tinggi

melalui

Pengembangan Obat Tradisional.MIMBAR, Vol. XXIV, No. 2: 117-127.


WHO. (2002).Traditional Medicine Growing Needs and Potential.
Geneva.

Anda mungkin juga menyukai