Anda di halaman 1dari 56

BAB I

PENDAHULUAN
1.1
Standar dan Karakteristik Air Limbah
1.1.1 Tujuan Pengolahan Air Buangan Domestik
Air buangan atau limbah adalah kombinasi dari cairan dan sampah
cair yang berasal dari daerah pemukiman, perdagangan, perkantoran
maupun perindustrian bersama-sama dengan air tanah, air pemukiman, dan air
hujan (Metcalf dan Eddy). Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 112 Tahun 2003 Tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik, yang dimaksud
dengan air limbah domestik atau air buangan adalah air limbah yang berasal
dari usaha dan atau kegiatan permukiman (real estate), rumah makan
(restoran), perkantoran, perniagaan dan asrama. Komposisi limbah air rumah
tangga rata-rata mengandung bahan organik dan senyawa mineral yang berasal
dari sisa makanan, urin dan sabun.
Tujuan pengolahan air buangan domestik menurut Qasim (1989) adalah:
1 Untuk menjaga estetika, terhindar dari gangguan kesehatan dan bau yang
ditimbulkan akibat limbah domestik tersebut;
2 Untuk mencegah kontaminasi air bersih secara fisik, kimia maupun biologi;
3 Untuk mencegah kerusakan biota laut;
4 Untuk mencegah penurunan pemanfaatan terhadap perairan alami misal
sebelumnya air tersebut digunakan untuk rekreasi namun karena
terkontaminasi atau tercemar oleh limbah domestik maka air tersebut tidak
lagi menjadi air untuk rekreasi;
5 Untuk melindungi makhluk hidup dari penyakit akibat tanaman yang tumbuh
berkembang di limbah domestik.
1.1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas dan Kuantitas Air
Limbah Domestik
Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Air Limbah
Menurut Babbit (1969) faktor yang mempengaruhi kualitas air limbah adalah:
- Volume Limbah
Air Kualitas limbah ditentukan dari banyaknya parameter dalam limbah dan
konsentrasi setiap parameter. Semakin banyak volume air yang bercampur
dengan limbah semakin kecil konsentrasi pencemar. Badan penerima yang
menerima limbah sering tidak mendapat pengaruh.
-

Kandungan Bahan Pencemar


Karakteristik air buangan dapat menunjukkan tingkat pencemaran yang
terjadi di dalamnya. Dengan diketahuinya kandungan bahan pencemar
tersebut maka dapat dibuat pengolahan yang tepat untuk mengolah air
buangan tersebut.

Frekuensi Pembuangan Limbah


Limbah dari suatu sumber ada kalanya tidak tetap volumenya. Untuk
beberapa sumber tertentu limbah airnya mengalir dalam jumlah yang sama
setiap hari, tetapi ada lain yang mengalirkan limbah pada jam-jam (waktu).
Bercampurnya limbah air pada jumlah yang berbeda-beda mengakibatkan
konsentrasi bahan pencemar pada badan penerima bervariasi. Kondisi ini
menunjukkan bahwa standar kualitas lingkungan juga mengalami perubahan
sesuai dengan limbah yang diterima.
YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-1

Menurut Babbit (1969) faktor yang mempengaruhi kualitas air limbah adalah :
a. Musim/Cuaca, negara yang mengalami 4 musim debit maksimum terjadi
biasanya pada musim dingin, karena terjadi penggelontoran yang cukupbesar
untuk mencegah terjadinya pembekuan didalam pipa.
b. Waktu harian, konsumsi air bersih tiap jamnya dalam sehari sangat bervariasi.
Hal ini sangat berpengaruh terhadap debit air limbah yang diterima oleh
bangunan pengolah. Konsumsi air ini mengalami puncak rata-rata ada jam
06.00-08.00 dan jam 16.00 18.30.
c. Waktu perjalanan, waktu konsumsi puncak air belum tentu sama dengan
waktu puncak timbulnya air limbah yang diterima oleh badan pengolahan,
karena adanya waktu perjalanan dari sumber ke unit pengolahan. Semakin
dekat perjalanan maka semakin dekat perbedaan puncak konsumsi air dengan
waktu puncak timbulnya air limbah.
d. Jumlah penduduk, semakin banyak populasi yang akan dilayani semakin besar
pula debit air limbah yang timbul.
e. Jenis aktivitas atau sumber penggunaan air bersih yang dihasilkan dari suatu
tempat memiliki kualitas yang bermacam-macam. Misalnya air limbah dari
pasar memiliki kandungan organik lebih tinggi dari pada airlimbah dari
perkantoran.
f.

Jenis saluran pengumpul air limbah yang digunakan, jika menggunakan sistem
tercampur maka air limbah akan lebih buruk karena partikulat. Dalam sistem
terpisah kontaminan yang ada pada air limbah memiliki konsenterasi yang
lebih tinggi dibandingkan dengan dengan sistem tercampur karena adanya
pengenceran oleh air hujan.

Faktor yang Mempengaruhi Kuantitas Air Limbah


Menurut Moduto (2000) terdapat faktor yang mempengaruhi kuantitas air limbah
yaitu:
1. Sumber air buangan.
2. Besarnya pemakaian air minum.
3. Besarnya curah hujan.
Menurut Moduto (2000) dalam bukunya peyaluran air buangan mengatakan
bahwa makin besar konsumsi air bersih per kapita, makin besar pula air
limbahnya, studi di uganda memberikan informasi bahwa 50-80% air bersih yang
dikonsumsi setelah dipakai menjadi air limbah sampai di riol. Angka 50-80%
disebut faktor timbulan air limbah (generation factor of wastewater). Makin luas
kota dan makin besar tingkat ekonominya, makin kecil faktor tersebut. Menurut
Tchobanoglous dan Burton (2004) jumlah air limbah yang dihasilkan berkisar
antara 50%-80% dari pemakaian air bersih, sedangkan menurut Departemen
Pekerjan Umum (DPU) 80% dari air bersih akan menjadi air buangan.
Besarnya curah hujan juga mempegaruhi kuantitas air buangan yang masuk
kedalam sistem perpipaan dan masuk ke IPAL, ini karena air hujan yang turun
akan masuk kedalam tanah yang disebut sebagai infiltrasi kemudian air hujan ini
masuk kedalam saluran atau riol air pembuangan melalui pipa-pipa yang retak,
pipa joints yang rusak dan melalui dinding manhole yang berlubang.
Sedangkan air hujan yang menjadi run of / air larian yang berada di atas
permukaan tanah akan masuk kedalam riol dan disebut dengan inflow,
masuknya air larian ini (inflow) dapat melalui penutup atau atap manhole dan
YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-2

area drain, dan dari persimpangan saluran air hujan dan saluran campuran air
hujan dan air buangan (Qasim, 1985).
Penentuan kuantitas air buangan secara tepat sangat sulit ditentukan, hal ini
disebabkan karena faktor yang mempengaruhi. Faktor yang mempengaruhi air buangan
adalah (Moduto, 2000) :
a. Jumlah air bersih yang dibutuhkan perkapita akan mempengaruhi jumlah air
limbah yang dihasilkan.
b. Keadaan masyarakat di daerah tersebut, yang dibedakan berdasarkan:
- Tingkat perkembangan suatu daerah. Jumlah air limbah di kota lebih
banyak dari pada di daerah pedesaaan.
- Daerah yang mengalami kekeringan akan berbeda cara membuang limbahnya jika
dibandingkan dengan daerah yang tidak mengalami kekeringan.
- Pola hidup masyarakat, terutama cara membuang limbahnya.
Menurut Babbit (1969), kuantitas air limbah domestik dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu :
a. Jumlah penduduk, semakin tinggi jumlah penduduk, maka jumlah air limbah
yang dihasilkan semakin tinggi karena 60%-80 % dari air bersih akan menjadi
air limbah.
b. Jenis aktivitas, semakin tinggi penggunaan air bersih dalam suatu kegiatan
maka air limbah yang dihasilkan juga semakin banyak.
c. Iklim, pada daerah beriklim trofis dan kuantitas hujannya tinggi cenderung
menghasilkan air limbah yang lebih tinggi.
d. Ekonomi, pada tingkat ekonomi yang lebih tinggi kecenderungan pemakaian
air bersih akan lebih tinggi. Hal ini tentu saja akan menghasilkan air limbah
yang lebih tinggi pula.
e. Infiltrasi, adanya infiltrasi baik dari air hujan ataupun air permukaan lainnya
akan mempengaruhi jumlah air limbah yang ada pada suatu perkotaan.
f.

Jenis saluran pengumpul, bila saluran pengumpul yang digunakan saluran


terbuka, maka jumlah air limbah yang dihasilkan akan banyak karena
kemungkinan terjadi infiltrasi dari air hujan ataupun dari sumber lain lebih
besar. Bila jenis saluran pengumpul yang digunakan adalah berupa jaringan
perpipaan maka kemungkinan terjadi infiltrasi lebih kecil.

1.1.3 Data-data
yang
harus
Diketahui
Sebelum
Merencanakan
Bangunan Pengolahan Air Domestik
Menurut Qasim (1999) data-data yang perlu diketahui sebelum melakukan
perencanaan bangunan pengolahan air domestik yaitu:
1. Data Desain Awal Sampai Desain Akhir
Desain harus memperhatikan Feasibility Study (FS) yang didalamnya
terdapat master plan dan Preliminary Design. Studi kelayakan harus
memperhatikan segi teknik dan ekonomi. Tahap selanjutnya detailed
design, dimensionering, membuat gambar detail dan perhitungan biaya.
2. Wilayah Pelayanan
Wilayah pelayanan perlu diperhatikan karena jumlah atau persentase
wilayah pelayanan akan menghasilkan debit yang berbeda juga.
3. Pemilihan Lokasi IPAL
YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-3

Pemilihan lokasi IPAL mendukung data dari desain awal sampai desain
akhir sehingga lokasi tersebut dapat dilihat kelayakan dan keamanannya
dalam pembangunan pengolahan air domestik.
4. Proyeksi Penduduk
Dalam suatu perencanaan tidak mungkin merencanakan 4-5 tahun.
Perencanaan biasanya direncanakan 20-25 tahun sehingga untuk
mendukung perencanaan tersebut dilakukan proyeksi penduduk 20-25
tahun kedepan, sehingga data perencanaan yang dibuat akan mencukupi
untuk masa yang akan datang.
5. Peraturan dan Baku Mutu Air Buangan
Peraturan dan baku mutu sangat penting dalam suatu perencanaan
pengolahan air sebagai acuan untuk membangun unit pengolahan yang
sesuai dengan karakteristik air yang akan diolah.
6. Karakteristik Air Buangan
Data karakteristik air buangan mendukung dalam penentuan unit
pengolahan yang diperlukan untuk memenuhi peraturan dan baku mutu
terkait.
7. Tingkat Pengolahan/Derajat Pengolahan
Tingkat pengolahan tergantung dengan karakteristik air yang dihasilkan,
karena setiap unit memiliki efisiensi removalnya masing-masing.
8. Pemilihan Proses Pengolahan yang Akan Digunakan
Pemilihan proses pengolahan tergantung dengan karakteristik air yang
dihasilkan, karena setiap unit memiliki efisiensi removalnya masingmasing.
9. Pemilihan Peralatan atau Unit Yang Akan Digunakan Dalam Pengolahan
Pemilihan peralatan atau unit yang akan digunakan dalam pengolahan
tergantung dengan karakteristik air yang dihasilkan, karena setiap unit
memiliki efisiensi removalnya masing-masing.
10.Plan Layout dan Profil Hidrolis
Plan layout dan profil hidrolis menggambarkan dimensi dari perencanaan
yang telah dibuat.
11.Energi dan Sumber Yang Dibutuhkan
Energi dan sumber yang dibutuhkan tergantung dengan karakteristik air
yang dihasilkan, karena setiap unit memiliki efisiensi removalnya masingmasing.
12.Rencana Anggaran Biaya
Rencana anggaran biaya ditentukan dari desain awal sampai akhir yang
telah direncanakan.
13.AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dari Instalasi Pengolahan
Air Limbah Yang Dibangun.
AMDAL perlu diperhatikan dalam desain awal sampai akhir sehingga
perencanaan yang telah dibuat dapat dilaksanakan.
1.1.4 Pertimbangan Pemilihan Sistem Air Buangan
YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-4

Faktor penting yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan sistem


pengolahan air buangan menurut Tchobanoglous dan Burton (1991) adalah :
1. Penerapan Proses
Penerapan proses di evaluasi berdasarkan pengalaman masa lalu, data
skala penuh dalam instalasi, data yang telah terpublikasi dan data dari
pilot-plant studies. Jika ditemukan kondisi baru atau tidak biasanya, pilot
plant studies sangatlah penting dan membantu.
2. Range Debit Yang Dapat Diterapkan
Penetapan unit pengolahan air limbah domestik harus dicocokan dengan
keadaan debitnya, proses akan berlangsung apabila debit air limbah yang
akan diolah disesuaikan dengan unit pengolahannya, misal kolam
stabilisasi tidak cocok untuk air yang memiliki debit sangat besar pada
area populasi yang tinggi.
3. Variasi Debit Yang Dapat Diterapkan
Banyak unit operasi dan unit proses didesain untuk beroperasi melebihi
range debit yang besar. Banyak proses bekerja baik pada debit yang relatif
konstan, jika debitnya bervariasi maka tangki aliran rata-rata sangat
diperlukan untuk membuat debit relatif konstan.
4. Karakteristik Air Limbah Domestik Yang Akan Diolah
Karakteristik dari limbah yang akan diolah menentukan jenis proses yang
akan digunakan (misalnya apakah secara biologi atau kimia) dan
membutuhkan pengoperasian yang baik.
5. Kinerja
Kinerja suatu unit instalasi biasanya diukur dari segi kualitas limbah yang
terolah, dimana kualitas effluent limbah tersebut harus sesuai dengan
baku mutu yang sesuai dan berlaku.
6. Energi Yang Dibutuhkan
Energi yang dibutuhkan, seperti kemungkinan biaya energi yang akan
diperlukan, harus diketahui jika ingin mendapatkan biaya pengolahan
yang efektif.
7. Pengolahan Residu
Jenis dan jumlah residu padatan, cair dan gas yang dihasilkan harus
diketahui atau diperkirakan. Walaupun, pilot-plant studies sering
digunakan untuk identifikasi dan menentukan kuantitas residu.
8. Proses Pengolahan Lumpur
Pemilihan sistem pengolahan lumpur harus berjalan seiring dengan
pemilihan sistem pengolahan cair.
9. Kebutuhan Bahan Kimia
Memperhatikan sumber dan jumlah bahan kimia yang harus ditambahkan
sehingga efek yang mungkin ditimbulkan dapat diketahui dan perhitungan
biaya yang dibutuhkan untuk menghilangkan residu akibat penambahan
bahan kimia.
10.Kebutuhan Sumber Lain

YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-5

Kemungkinan adanya penambahan sumber lain yang berperan dalam


keberhasilan implementasi sistem pengolahan yang mempertimbangkan
unit operasi atau unit proses.
11.Sumber Daya Manusia
Banyaknya orang yang dibutuhkan dan keahlian yang diperlukan untuk
mengoperasikan dan memelihara IPAL serta memperhitungkan biaya yang
akan dikeluarkan untuk memberikan pelatihan terhadap sumber daya
manusia yang akan dipekerjakan.
12.Proses Tambahan
Stand by units. Unit tambahan yang digunakan sebagai cadangan, atau
proses alternatif yang digunakan apabila salah satu unit IPAL inoperative.
13.Keandalan
Pertimbangan atas keandalan unit IPAL dalam jangka panjang
14.Kompleksitas
Kemungkinan terjadinya kompleksitas dari suatu proses yang akan
dioperasikan saat keadaan berkala ataupun darurat.
15.Kecocokan
Tingkat kesuksesan unit proses atau unit operasi pada kondisi eksisting
dalam perencanaan sehingga dapat mengembangkan IPAL dengan mudah.
16.Adaptable
Adanya modifikasi untuk memenuhi kebutuhan masa yang akan datang.
17.Economic Life Cycle-Analysis
Evaluasi biaya harus diperhatikan. Bukan hanya biaya untuk membangun
Instalasi
nya
saja
melainkan
biaya
untuk
operasional
dan
pemeliharaannya kelak. Instalasi yang menggunakan modal awal rendah
tidak akan efektif karena tidak memperhitungkan biaya operasional dan
pemeliharaan. Ketersediaan dana / modal awal akan menentukan unit
pada instalasi pengolah air limbah yang akan dibangun.
18.Ketersediaan Lahan
Lahan yang akan digunakan harus mempertimbangkan perkembangan
instalasi dimasa mendatang. Juga harus mempertimbangkan berapa
banyak buffer zone yang akan digunakan untuk mencegah dampak visual
dan dampak lainnya yang akan terjadi di lokasi tersebut.
19.Efisiensi Pengolahan
Efisiensi pengolahan berhubungan dengan kemampuan proses tersebut
dalam mengolah air limbah.
20.Aspek Teknis
Aspek teknis meliputi kemudahan dari segi konstruksi, ketersediaan
tenaga ahli, untuk mendapatkan bahan-bahan konstruksi, operasi maupun
pemeliharaan.
21.Aspek ekonomi
YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-6

Aspek ekonomi meliputi pembiayaan dalam hal konstruksi, operasi


maupun pemeliharaan dari bangunan pengolahan air buangan.
22.Aspek Lingkungan
Aspek lingkungan meliputi kemungkinan adanya gangguan terhadap
penduduk dan lingkungan, yaitu yang berhubungan dengan keseimbangan
ekologis, serta penggunaan lahan (Wahyudi, 2010).
1.1.5 Stream Standard dan Effluent Standard
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air baku mutu air adalah ukuran
batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau
harus ada dan atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam
air dan baku mutu air limbah adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar
dan atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air
limbah yang akan dibuang atau dilepas ke dalam sumber air dari suatu usaha
dan atau kegiatan.
- Stream Standard
Batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi atau komponen lain yang
dibatasi keberadaannya pada air dan sumber air tertentu sesuai dengan
peruntukkan yang dituju (Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001). Beban
pencemaran yang dapat ditanggung oleh keberadaannya oleh badan air
penerima dapat dihitung secara teoritis sehingga air tetap berfungsi sesuai
dengan peruntukkannya. Stream standar yang digunakan di Indonesia yaitu
Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001. Klasifikasi mutu air menurut
Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 dibagi menjadi 4 kelas, yaitu:
- Kelas satu, peruntukkannya untuk air baku air minum dan atau peruntukkan
lain yang mempersyaratkan mutu air sama dengan kegunaannya.
- Kelas dua, peruntukkannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi
air, pembudidayaan ikan tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanian,
dan atau peruntukkan lain yang kegunaan dan prasyaratnya sama.
- Kelas tiga, peruntukkannya untuk pembudidayaan ikan air tawar,
peternakan, air untuk mengairi pertanian dan atau peruntukkan lain yang
sama atau kegunaannya.
- Kelas empat, air yang peruntukkannya untuk mengairi pertanian dan atau
peruntukkan lain yang kegunaan dan prasyaratnya sama.
- Effluent Standard
Merupakan batas kadar dan jumlah unsur pencemar yang dapat ditolerir
keberadaannya dalam air limbah untuk dibuang ke perairan dari suatu kegiatan
tertentu(Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
2014). Baku mutu air limbah berfungsi sebagai suatu arahan atau pedoman
pembuangan air limbah serta pengendalian pencemaran perairan.
- Keuntungan dan Kerugian
Keuntungan dan kerugian dari effluent standard dan stream standard dapat dilihat
pada tabel 1.1 berikut ini:
Tabel 1.1 Perbandingan Baku Mutu Effluent Standard dan Stream
Standard
YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-7

Tinjauan
Dasar
Pengertia
n

Keuntung
an

Kerugian

Effluent Standard

Stream Standard

Klasifikasi & persyaratan


berdasarkan tata manfaat
sumber air.
Persyaratan beban pencemar
berdasarkan pada daya
pengenceran dan asimilasi
sumber air.

Perhatian tidak ditujukan pada


suatu jenis pencemar tertentu
karena standar yang berlaku
tidak dipengaruhi oleh tipe dan
jenis industri
Beban pencemar yang
tergantung pada daya asimilasi
sumber air dapat membatasi
secara ketat penempatan
industri di sepanjang sumber air
yang kritis.
Perizinan dari lokasi suatu
kegiatan industri akan
didasarkan pada pengendalian
pencemaran
Dimungkinkannya suatu badan
air memiliki kalsifikasi yg
berbeda dari hulu ke hilir shingga
akan menyulitkan dalam
pengaturan pembuangan air
limbah
Dapat menimbulkan keresahan
sosial baik di masyarakat
maupun industriawan
Dibutuhkan suatu survey yg
kompleks dalam penentuan
klasifikasi suatu sumber air

Persyaratan kadar zat pencemar


atau beban zat pencemar
maksimum dalam air limbah yang
dibuang ke dalam sumber air.
Persyaratan beban pencemar
didasarkan pada tingkat
pengolahan atau teknologi yang
diperlukan untuk mengolah air
limbah.
Dalam pelaksanaan
pengawasan lebih mudah karena
tidak diperlukannya analisis
sumber air secara mendalam
untuk menentukan tingkat
pengolahan air limbah
Diterapkan untuk suatu daerah
padat industri atau kawasan
industri

Perlindungan terhadap sumber


air yg tercemar berat tidak dapat
dilaksanakan secara efektif krn
standar lebih melihat pada aspek
ekonomi
Konservasi dan perbaikan
kualitas dari sumber air kurang
diutamakan sehingga
perlindungan mutlak terhadap
sumber air dikesampingkan.

Sumber: PP 82 Tahun 2001

1.1.6 Karakteristik Air Limbah Domestik


Uraian tentang karakteristik air buangan (fisik, kimia, mikrobiologi) yang
mungkin terkandung, meliputi : unsur pencemar, sumber pencemar, dampak,
dan arti pentingnya untuk diketahui.
Sumber Pencemar Limbah Domestik
Air limbah domestik adalah air limbah yang berasal dari usaha dan/atau
kegiatan pemukiman, rumah makan, perkantoran, perniagaan, apartemen dan
asrama (PermenLH No 5 Tahun 2014).
Pencemaran air oleh limbah rumah tangga salah satunya yang berwujud cair
merupakan sumber pencemaran air. Dari limbah rumah tangga cair dapat
dijumpai berbagai bahan organik (misal sisa sayur, ikan, nasi, minyak, lemek, air
buangan manusia) yang terbawa air got/parit, kemudian ikut aliran sungai.
Sedangkan limbah rumah tangga yang berwujud padat berupa bahan-bahan
anorganik seperti plastik, alumunium, dan botol yang hanyut terbawa arus air.
Sampah bertimbun, menyumbat saluran air, dan mengakibatkan banjir. Bahan
pencemar lain dari limbah rumah tangga adalah pencemar biologis berupa bibit
YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-8

penyakit, bakteri, dan jamur. Bahan organik yang larut dalam air akan
mengalami penguraian dan pembusukan. Akibatnya kadar oksigen dalam air
turun dratis sehingga biota air akan mati (Elisabeth apriani sihotang,2016).

Dampak Pencemaran Air Limbah Rumah Tangga


Limbah pemukiman mengandung limbah domestik berupa sampah organik
dan sampah anorganik serta deterjen. Sampah organik adalah sampah yang
dapat diuraikan atau dibusukkan oleh bakteri. Contohnya sisa-sisa sayuran,
buah-buahan, dan daun-daunan. Sedangkan sampah anorganik sepertikertas,
plastik, gelas atau kaca, kain, kayu-kayuan, logam, karet, dan kulit. Sampahsampah ini tidak dapat diuraikan oleh bakteri (non biodegrable). Sampah organik
yang dibuang ke sungai menyebabkan berkurangnya jumlah oksigen terlarut,
karena sebagian besar digunakan bakteri untuk proses pembusukannya. Apabila
sampah anorganik yang dibuang ke sungai, cahaya matahari dapat terhalang
dan menghambat proses fotosintesis dari tumbuhan air dan alga, yang
menghasilkan oksigen. Tentunya anda pernah melihat permukaan air sungai atau
danau yang ditutupi buih deterjen. Deterjen merupakan limbah pemukiman yang
paling potensial mencemari air. Pada saat ini hampir setiap rumah tangga
menggunakan deterjen, padahal limbah deterjen sangat sukar diuraikan oleh
bakteri.
Sehingga tetap aktif untuk jangka waktu yang lama. Penggunaan deterjen
secara besar-besaran juga meningkatkan senyawa fosfat pada air sungai atau
danau. Fosfat ini merangsang pertumbuhan ganggang dan eceng gondok.
Pertumbuhan ganggang dan eceng gondok yang tidak terkendali menyebabkan
permukaan air danau atau sungai tertutup sehingga menghalangi masuknya
cahaya matahari dan mengakibatkan terhambatnya proses fotosintesis.
Jika tumbuhan air ini mati, akan terjadi proses pembusukan yang
menghabiskan persediaan oksigen dan pengendapan bahan-bahan yang
menyebabkan pendangkalan.
Akibat dari semua ini air jika dilihat dari sifat fisik air akan terjadi perubahan
warna, rasa, menjadi keruh, berbau karena pembuangan limbah padat organik
yang berasal dari kegiatan rumah tangga, limbah padat organik yang
didegradasi oleh mikroorganisme akan menimbulkan bau yang tidak sedap
(busuk) akibat penguraian limbah tersebut menjadi yang lebih kecil yang di
sertai dengan pelepasan gas yang berbau tidak sedap, dan air tersebut tidak
layak untuk digunakan. Air yang telah tercemar tersebut jika digunakan untuk
keperluan akan menyebabkan berbagai gangguan kesehatan karena mudah
menjadi media berkembangnya berbagai macam penyakit.
Secara umum, gangguan yang terjadi akibat pencemaran air dapat
dikelompokkan menjadi empat sebagai berikut (TawiIran, 2016):

1. Water Borne Diseases


Adalah penyakit yang ditularkan langsung melalui air, dimana air tersebut
mengandung kuman patogen dan terminum oleh manusia maka dapat
menimbulkan penyakit. Kontaminasi pada manusia dapat melalui kegiatan
minum, mandi, mencuci, proses menyiapkan makanan, ataupun memakan
makanan yang telah terkontaminasi saat proses penyiapan makanan.
Beberapa penyakit dapat terjadi akibat adanya vektor penyakit yang tinggal di
YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-9

air seperti malaria (disebabkan protozoa Plasmodium dengan vektor


nyamuk), dan demam berdarah (disebabkan oleh virus dengan vektor
nyamuk). Water borne diasease diakibatkan oleh mikroorganisme berupa
bakteri, protozoa (diare atau kerusakan pada saluran pencernaan sehingga
menyebabkan luka saluran cerna yang berakibat pada diare beradarah) dan
cacing. Bakteri
penyebab water atau food born disease antara lain:
Chlostridium botulinum, Campylobacter jejuni, Vibrio cholerae, Vibrio
parahaemolyticus, Escherichia Coli, Shigella dysenteriae, Salmonella typhi.
Penyebab lainnya dari waterborne disease yaitu infeksi cacing nematoda.
Contoh kontaminasi cacing yang paling sering yaitu Schistosoma (penyebab
Scistosomiasis), Taenia (infestasi cacing pita, Taeniasis), dan Ascaris
(penyebab kecacingan Ascariasis). Kecacingan dapat terjadi akibat dari
meminum air yang terkontaminasi oleh telur cacing. Umumnya kecacingan
lebih sering terjadi melalui kontaminasi lewat makanan dibandingkan lewat air
minum. Penyakit-penyakit yang dapat di sebabkan tersebut antara lain adalah
penyakit Kholera, Typhoid, Hepatitis Infektiosa, Dysentri dan Gastroenteritis.
2. Water Washed Diseases
Adalah penyakit yang disebabkan oleh kurangnya air untuk pemeliharaan
higiene perseorangan dan air bagi kebersihan alat-alat terutama alat-alat
dapur dan alat makan. Terjaminnya kebersihan oleh tersedianya air yang
cukup maka penularan penyakit-penyakit tertentu pada manusia dapat
dikurangi. Adapun water washed diseases diklasifikasikan menjadi 3, yaitu :
- Infeksi Melalui Alat Pencernaan
Merupakan penyakit infeksi saluran pencernaan yang bersifat fecal-oral.
Penyakit diare dapat ditularkan melalui beberapa jalur diantaranya jalur
yang melalui air (water borne) dan jalur yang melalui alat-alat dapur yang
dicuci dengan air (water washed).
- Infeks Melalui Kulit dan Mata
Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan hygiene perorangan yang
buruk. Penyakit ini dapat ditularkan dengan penyediaan air yang cukup
bagi kesehatan perseorangan.
- Penyakit Melalui Binatang Pengerat
Pada mekanisme ini terdapat tiga cara penularan,yaitu:
a.
Infeksi melalui alat pencernaan,seperti diare pada anak-anak.
b.
Infeksi melalui kulit dan mata perti skabies dan trakoma.
c.
Penyakit melalui gigitan binatang pengerat,seperti leptospirosis.
d.
infeksi kulit dan selaput lender, dan lepra.
3. Water Based Diseases
Adalah penyakit yang ditularkan oleh bibit penyakit yang sebagian besar
siklus hidupnya di air seperti Schistosomiasis. Larva Schistosoma hidup di
dalam keong-keong air. Setelah waktunya larva ini akan mengubah bentuk
menjadi Cercaria dan menembus kulit (kaki) manusia yang berada di dalam air
tersebut. Penyakit ini merupakan penyakit yang disebabkan oleh bibit
penyakit yang sebagian siklus kehidupannya berhubungan dengan
Schistosomiasis. Penyakit ini disebabkan oleh cacing daun ayng mempunyai
siklus hidup sebagian di air, untuk dapat hidup terus telurnya harus berada di
perairan, menetas menjadi larva, miracidium dan untuk dapat berubah
menjadi larva infektif, ia harus masuk ke dalam tubuh siput air, setelah
berubah menjadi larva cercaria, keluar dari tubuh siput berenang dengan
YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-10

bebas di perairan. Larva ini dapat memasuki kulit orang sehat yang kebetulan
berada di air tersebut.
4. Water Related Vectors
Adalah penyakit yang ditularkan melalui vektor penyakit yang sebagian atau
seluruhnya perindukan hidupnya tergantung pada air misalnya Malaria,
Demam berdarah, Filariasis, Yellow fever, dan sebagainya.

Arti Penting untuk Diketahui


1. Mencegah masalah sehingga mengurangi dampak buruk bagi manusia
maupun lingkungan.
2. Menentukan proses pengolahan yang akan dilakukan.
3. Melakukan perencanaan desain pengolahan.

Karakteristik air buangan meliputi 3 aspek (Qasim, 1991).


1. Fisik
a. Zat Padat
Dalam limbah terkandung total zat (Zat Solid), yaitu semua zat padat yang
tetap ada sebagai residu setelah proses pemanasan pada suhu 103C sampai
105C dalam laboratorium. Partikel padat didefenisikan sebagai supensed
solid yang dapat menembus kertas saring dengan diameter minimal 1 mikro.
Arti penting untuk diketahui parameter ini adalah untuk menentukan
skema dan unit pengolahan yang diperlukan untuk mengolahan air limbah
dengan karakteristik tertentu dan mencegah masalah sehingga mengurangi
dampak buruk bagi manusia maupun lingkungan.
b. Temperatur
Temperatur air buangan sedikit lebih tinggi dibandingkan temperatur air biasa,
dipengaruhi juga oleh aktifitas mikrobiologis, kelarutan gas dan viskositas.
Peningkatan suhu dapat berdampak atau menyebabkan penurunan kelarutan
gas dalam air, misalnya gas O2, CO2, N2, CH4. Peningkatan suhu perairan
sebesar 10oC menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh
organisme akuatik sekitar 2 3 kali lipat disertai dengan penurunan kadar
oksigen terlarut sehingga keberadaan oksigen sering kali tidak mampu
memenuhi kebutuhan oksigen bagi organisme akuatik untuk melakukan
proses metabolism dan respirasi. Suhu air limbah biasanya lebih tinggi dari
pada suhu disekitarnya, suhu yang cukup tinggi ini juga menurunkan kadar DO
(Dissolved Oxygen). Arti penting untuk diketahui parameter ini adalah
untuk menentukan skema dan unit pengolahan yang diperlukan untuk
mengolahan air limbah dengan karakteristik tertentu.
c. Warna
Air buangan yang baru umumnya berwarna abu abu muda, sedangkan dari
septik tank berwarna hitam/ lebih gelap. Semakin gelap warnanya semakin
kuat. Warna perairan ditimbulkan oleh adanya bahan organik dan bahan
anorganik; karena keberadaan plankton, humus dan ion ion logam
(contohnya besi dan mangan). Warna dapat berdampak menghambat
penetrasi cahaya ke dalam air dan mengakibatkan terganggunya proses
fotosintesis. Arti penting untuk diketahui parameter ini adalah untuk
menentukan skema dan unit pengolahan yang diperlukan untuk mengolahan
air limbah dengan karakteristik tertentu dan mencegah masalah sehingga
mengurangi dampak buruk bagi manusia maupun lingkungan.

YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-11

d. Bau
Air buangan yag baru didominasi bau sabun atau lemak, sedangkan yang
sudah lama atau dari septik tank lebih kuat baunya (diakibatkan produkproduk hasil penguraian, misal H2S). Dampak yang dapat ditimbulkan
adalah terjadinya crown corrosion pada langit-langit pipa jika bau tersebut
disebabkan oleh adanya H2S dan berkaitan dengan estetika. Arti penting
untuk diketahui parameter ini adalah untuk menentukan skema dan unit
pengolahan yang diperlukan untuk mengolahan air limbah dengan
karakteristik tertentu dan mencegah masalah sehingga mengurangi dampak
buruk bagi manusia maupun lingkungan.
e. Kekeruhan
Kekeruhan pada air limbah disebabkan oleh kandungan suspended solid.
Semakin tinggi kekeruhan, semakin kuat air limbah tersebut. Kekeruhan yang
tinggi dapat mengakibatkan atau berdampak terganggunya sistem
osmoregulasi terhadap organisme akuatik dan dapat menghambat penetrasi
cahaya ke dalam air. Tingginya nilai kekeruhan juga dapat mempersulit usaha
penyaringan dan mengurangi efektivitas desinfeksi pada proses penjernihan
air. Arti penting untuk diketahui parameter ini adalah untuk menentukan
skema dan unit pengolahan yang diperlukan untuk mengolahan air limbah
dengan karakteristik tertentu dan mencegah masalah sehingga mengurangi
dampak buruk bagi manusia maupun lingkungan.
2. Kimia
a. Total Solid
Materi organik dan inorganik, settleable, suspended dan dissolved.
Solids ini menunjukkan jumlah lumpur yang dapat disisihkan dalam bak
sedimentasi. Jika kandungannya melebihi baku mutu akan berdampak racun
untuk tubuh dan berkaitan dengan estetika. Selain itu menimbulkan
kekeruhan, bau, warna, rasa, menurunkan DO. Arti penting untuk
diketahui parameter ini adalah untuk menentukan skema dan unit
pengolahan yang diperlukan untuk mengolahan air limbah dengan
karakteristik tertentu dan mencegah masalah sehingga mengurangi dampak
buruk bagi manusia maupun lingkungan.
b. BOD
Biological Oxygen Demand menggambarkan jumlah komponen organik yang
dapat didegradasi secara biologis. Secara tidak langsung, BOD merupakan
gambaran kadar bahan organik, yaitu jumlah oksigen yang dibutuhkan
oleh mikroba aerob untuk mengoksidasi bahan organik menjadi
karbondioksida dan air. BOD menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi
oleh proses respirasi mikroba aerob yang terdapat dalam botol BOD yang
diinkubasi pada suhu sekitar 20oC selama lima hari dalam keadaan tanpa
cahaya. Nilai BOD perairan dipengaruhi oleh suhu, densitas plankton,
keberadaan mikroba, serta jenis dan kandungan bahan organik. Dampak
yang dihasilkan dari BOD ini adalah kadar oksigen terlarut akan menurun
(oxygen depletion) dan kesuburan perairan meningkat, menyebabkan
peledakan pertumbuhan fitoplankton dan atau zooplankton yang disebut
blooming algae. Arti penting untuk diketahui parameter ini adalah
untuk menentukan skema dan unit pengolahan yang diperlukan untuk
mengolahan air limbah dengan karakteristik tertentu dan mencegah masalah
sehingga mengurangi dampak buruk bagi manusia maupun lingkungan.
c. COD
YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-12

Chemical Oxygen Demand menunjukkan zat organik dan jumlah oksigen yang
dibutuhkan untuk mengoksidasi zat organik dengan bahan kimia (kalium
dikromat) dalam kondisi asam. Pengukuran COD didasarkan bahwa hampir
semua bahan organik dapat dioksidasi menjadi karbondioksida dan air
dengan bantuan oksidator kuat (kalium dikromat/ K 2Cr2O7). Dampak yang
dihasilkan dari COD ini adalah pencemaran dari limbah organik dan dampak
negatif terhadap keseimbangan ekosistem perairan. Arti penting untuk
diketahui parameter ini adalah untuk menentukan skema dan unit
pengolahan yang diperlukan untuk mengolahan air limbah dengan
karakteristik tertentu dan mencegah masalah sehingga mengurangi dampak
buruk bagi manusia maupun lingkungan.

d. TOC
Total Organic Carbon merupakan ukuran zat organic yang terdapat dalam air
limbah. TOC terdiri atas bahan organik terlarut atau DOC (Dissolved
Organic Carbon) dan partikulat atau POC (Particulate Organic Carbon) dengan
perbandingan 10 : 1. TOC ditentukan dengan mengkonversi organik karbon
menjadi karbondioksida. CO2 inilah yang diukur. Nilai TOC perairan yang telah
menerima limbah, baik domestik maupun industri, atau perairan pada daerah
rawa rawa dapat lebih dari 10 100 mg/liter. Arti penting untuk
diketahui parameter ini adalah untuk menentukan skema dan unit
pengolahan yang diperlukan untuk mengolahan air limbah dengan
karakteristik tertentu dan mencegah masalah sehingga mengurangi dampak
buruk bagi manusia maupun lingkungan.
e. Total Nitrogen
Total nitrogen meliputi nitrogen organik, ammonia, nitrit, dan nitrat.
Nitrogen dan senyawanya tersebar secara luas dalam biosfer. Nitrogen tidak
dapat dimanfaatka secara langsung. Nitrogen harus mengalami fiksasi terlebih
dahulu menjadi NH3, NH4 dan NO3. Total nitrogen yang di dalamnya terdapat
organik dan NH3 bersumber pada daging, kedelai, kacang tanah, susu yang
berdampak sumber hara bagi tanaman yang menyebabkan eutrofikasi dan
racun bagi tanaman. Sedangkan pada NO 3 dan NO2 berdampak menurunkan
pH air menjadi asam, mengganggu saluran pencernaan, blooming algae,
menurunkan DO, gangguan gastro intestinal, diare ampur darah yang disusul
kovulsi,
koma
dan
kematian,
sakit
kepala,
gangguan
mental,
methemoglobinea, blue babies. Arti penting untuk diketahui parameter ini
adalah untuk menentukan skema dan unit pengolahan yang diperlukan untuk
mengolahan air limbah dengan karakteristik tertentu dan mencegah masalah
sehingga mengurangi dampak buruk bagi manusia maupun lingkungan.
f.

Total Fosfor
Total Fosfor meliputi organik dan inorganik. Namun di perairan, unsur fosfor
tidak ditemukan dalam bentuk bebas sebagai elemen, melainkan dalam
bentuk senyawa anorganik yang terlarut (ortofosfat dan polifosfat) dan
senyawa organik berupa partikulat. Fosfor total menggambarkan jumlah total
fosfor, baik berupa partikulat maupun terlarut, anorganik maupun organik.
Fosfor organik banyak terdapat di perairan yang banyak mengandung bahan
organik. Biasanya bersumber pada jagung, kalkun dan brokoli yang dapat
berdampak penyakit tulang, kejang dan gangguan ginjal. Kekurangan fosfor
dapat menyebabkan anorexia, kerusakan tulang dan hipofosfatemia dan
menyebabkan eutrofikasi. Arti penting untuk diketahui parameter ini
YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-13

adalah untuk menentukan skema dan unit pengolahan yang diperlukan untuk
mengolahan air limbah dengan karakteristik tertentu dan mencegah masalah
sehingga mengurangi dampak buruk bagi manusia maupun lingkungan.
g. pH
pH mengindikasikan kondisi asam atau basa air limbah. pH juga
mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia. Senyawa amonium yang
dapat teriomisasi banyak ditemukan pada perairan yang memiliki pH rendah.
Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai
nilai pH sekitar 7 8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi
perairan. Jika pH air terlalu rendah akan berasa pahit /asam, sedangkan jika
terlalu tinggi maka air akan berasa tidak enak air dengan nilai ph rendah
mengandung padatan rendah, dan korosif. Arti penting untuk diketahui
parameter ini adalah untuk menentukan skema dan unit pengolahan yang
diperlukan untuk mengolahan air limbah dengan karakteristik tertentu dan
mencegah masalah sehingga mengurangi dampak buruk bagi manusia
maupun lingkungan.
h. Alkalinitas
Alkalinitas adalah gambaran kapasitas air untuk menetralkan asam. Alkalinitas
dalam air limbah menunjukkan keberadaan ion bikarbonat, karbonat dan
hidroksida. Diantara ketiga ion tersebut, bikarbonat paling banyak terdapat
pada perairan. Biasanya bersumber pada garam. Arti penting untuk
diketahui parameter ini adalah untuk menentukan skema dan unit
pengolahan yang diperlukan untuk mengolahan air limbah dengan
karakteristik tertentu dan mencegah masalah sehingga mengurangi dampak
buruk bagi manusia maupun lingkungan.
i.

Kesadahan
Kesadahan adalah gambaran kation logam divalen (valensi dua). Kesadahan
dalam air limbah terutama disebabkan oleh adanya ion kalsium dan
magnesium. Nilai kesadahan air limbah tergantung pada kualitas air bersih.
Sedangkan kesadahan dalam perairan berasal dari kontak air dengan tanah
dan bebatuan. Kesadahan diklasifikasikan berdasarkan dua cara, yaitu
berdasarkan ion logam (metal) dan berdasarkan anion yang berasosiasi
dengan ion logam. Arti penting untuk diketahui parameter ini adalah
untuk menentukan skema dan unit pengolahan yang diperlukan untuk
mengolahan air limbah dengan karakteristik tertentu dan mencegah masalah
sehingga mengurangi dampak buruk bagi manusia maupun lingkungan.

j.

Klorida
Klorida dalam air limbah berasal dari air bersih, limbah manusia dan air
limbah domestik. Ion klorida adalah anion yang dominan di perairan laut.
Sekitar dari klorin (Cl 2) yang terdapat di bumi berada dalam bentuk larutan.
Selain dalam bentuk larutan, klorida dalam bentuk padatan ditemukan pada
batuan mineral sodalite. Pelapukan batuan dan tanah melepaskan klorida ke
perairan. Klorida tidak bersifat toksik bagi makhluk hidup, bahkan berperan
dalam pengaturan tekanan osmotik sel. Biasanya bersumber pada garam
dapur, tomat, seledri, rumput laut, dan minyak wijen yang berdampak dalam
menjaga tekanan osmosis, distribusi cairan tubuh serta menjaga
keseimbangan kation (ion positif) dan anion (ion negatif) dalam jaringan
ekstrasel. Kekurangan klorida dapat menyebabkan diare berkepanjangan,
muntah-muntah, dan berkeringat terlalu banyak. Arti penting untuk
diketahui parameter ini adalah untuk menentukan skema dan unit
YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-14

pengolahan yang diperlukan untuk mengolahan air limbah dengan


karakteristik tertentu dan mencegah masalah sehingga mengurangi dampak
buruk bagi manusia maupun lingkungan.
k. Minyak dan Lemak
Umumnya berasal dari minyak dan lemak dalam makanan. Minyak dan lemak
membentuk ester dan alkohol. Lemak tergolong bahan organik yang tetap
dan tidak mudah untuk diuraikan oleh bakteri. Dampak adanya lemak adalah
dapat merugikan badan air karena penetrasi sinar matahari ke dalam air
berkurang dan lapisan minyak dapat menghambat pengambilan oksigen yang
berasal dari udara menurun. Biasanya bersumber pada daging, minyak
goreng, dan aneka kacang-kacangan yang berdampak menimbulkan buih
pada perairan dan menggangu ekosistem perairan. Arti penting untuk
diketahui parameter ini adalah untuk menentukan skema dan unit
pengolahan yang diperlukan untuk mengolahan air limbah dengan
karakteristik tertentu dan mencegah masalah sehingga mengurangi dampak
buruk bagi manusia maupun lingkungan.
3. Mikrobiologi
Meliputi bakteria, Fungi (Jamur), algae, protozoa, dan lain-lain yang
biasanya berasal dari tinja (feses) manusia atau binatang. Biasanya melihat
parameter dari coliform dan E.Coli yang dapat dijadikan sinyal untuk
menentukan suatu sumber air telah terkontaminasi oleh patogen atau tidak,
Menghasilkan
zat
etionin
yang
dapat
menyebabkan
kanker,
mengkontaminasi perairan, Menyebabkan diare produksi enterotoksin yang
secara tidak langsung dapat menyebabkan kehilangan cairan menyebabkan
tubuh lemah, karena mengalami dehidrasi berat. Arti penting untuk
diketahui dari penjelasan di atas adalah agar dapat ditentukan skema dan
unit pengolahan yang diperlukan untuk mengolahan air limbah dengan
karakteristik tertentu dan mencegah masalah sehingga mengurangi dampak
buruk bagi manusia maupun lingkungan.
Dampak Pencemar
Dampak dan analisis Parameter fisika yang tidak memenuhi baku mutu
Residu tersuspensi
Dapat memberi kan efek yang kurang baik terhadap kualitas badan air
karena dapat menyebabkan menurunkan kejernihan air dan dapat
mempengaruhi kemampuan ikan untuk melihat dan menangkap makanan
serta menghalangi sinar matahari masuk ke dalam air. Endapan tersuspensi
dapat juga menyumbat insang ikan, mencegah telur berkembang. Ketika
suspended solid tenang di dasar badan air, dapat menyembunyikan telur dan
terjadi pendangkalan pada badan air sehingga memerlukan pengerukan
yang memerlukan biaya operasional tinggi. Kandungan TSS dalam badan air
sering menunjukan konsentrasi yang lebih tinggi pada bakteri, nutrien,
pestisida, logam didalam air.
Dampak dan analisis Parameter Kimia yang tidak memenuhi baku mutu.
BOD5
Biological Oxygen Demand (BOD) atau Kebutuhan Oksigen Biologis (KOB)
adalah suatu analisa empiris yang mencoba mendekati secara global prosesproses mikrobiologis yang benar-benar terjadi di dalam air. Angka BOD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan
YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-15

(mengoksidasikan) hampir semua zat organis yang terlarut dan sebagian zatzat organis yang tersuspensi dalam air. Pemeriksaan BOD diperlukan untuk
menentukan beban pencemaran akibat air buangan penduduk atau industri,
dan untuk mendisain sistem-sisitem pengolahan biologis bagi air yang
tercermar tersebut. Penguraian zat organis adalah peristiwa alamiah; kalau
sesuatu badan air dicemari oleh zat organik, bakteri dapat menghabiskan
oksigen terlarut, dalam air selama proses oksidasi tersebut yang bisa
mengakibatkan kematian ikan-ikan dalam air dan keadaan menjadi anaerobik
dan dapat menimbulkan bau busuk pada air.
Pemeriksaan BOD didasarkan atas reaksi oksidasi zat organis dengan oksigen
di dalam air, oleh karena itu BOD5 di badan air sungai Cisangkuy ini tinggi di
akibatkan oleh materi organis atau bakteri seperti E.coli dan coliform yang
juga nilainya melebihi baku mutu.

COD
Adalah jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan yang ada dalam
air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia baik yang dapat didegradasi secara
biologis maupun yang sukar didegradasi,dampak yang di timbulkan pada air
yaitu bau dan anaerobik, pada intinya sama COD berkaitan dengan bakteri
dan zat organik pada air baku tersebut, karena nilai bakteri E.coli dan
coliform nya tinggi yang berpengaruh terhadap nilai COD.

Fenol
Pada air baku dapat mengakibatkan korosif pada mata manusia, dapat juga
berdampak pada alam yaitu menyebabkan korosif pada metal, pada
dasarnya tidak ada perubahan yang kasat mata pada air baku tersebut jika
kandungan fenolnya tinggi, akan tetapi dapat menimbulakan berbagai
masalah jika di konsumsi tanpa pengolahan terlebih dahulu, biasanya fenol
terdapat di air karena berasal dari resapan tanah akibat pupuk, atau air
limbah pabrik dan buangan domestik.

Flourida
Beberapa
senyawa
fluorida seperti sodium
fluoride dan fluoro
silicates mudah larut ke air tanah ketika bergerak melalui celah-celah dan
ruang pori antara bebatuan. Kebanyakan pasokan air mengandung beberapa
fluoride alami. Fluorida juga dapat memasuki air minum akibat terlepas dari
pupuk atau pabrik aluminium. Selain itu banyak masyarakat menambahkan
fluorida pada air minum mereka untuk meningkatkan kesehatan gigi.
Beberapa
senyawa fluorida seperti sodium
fluoride dan fluoro
silicates mudah larut ke air tanah ketika bergerak melalui celah-celah dan
ruang pori antara bebatuan. Kebanyakan pasokan air mengandung beberapa
fluoride alami. Fluorida juga dapat memasuki air minum akibat terlepas dari
pupuk atau pabrik aluminium.

Fosfat
Pada air dapat menimbulkan blooming algae dan menurunkan DO.

Sianida
YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-16

Pada air dapat menurunkan ph, menimbulkan masalah bau pada kondisi
anaerob, dan biasanya beracun, pada tubuh manusia sianida menimbukan
masalah dan penyakit seperti menghambat pernafasan jaringan
menyebabkan asfiksia, malaise, iritasi.

Sulfida
pada air menimbukan bau busuk serta dapat melumpukan pusat pernapasan
pada manusia, sulfida juga membuat korosif pada material material tertentu.

Dampak dan analisis Parameter Biologi yang tidak memenuhi baku mutu
Coliform dan E.coli di air mengidentifikasikan bahwa terdapat air buangan
domestik, tinja yang masuk ke badan air sungai sehingga nilai kandungan
bakteri E.coli dan Coliformnya tinggi, hal ini sangat berbahaya karena bakteri
tersebut bersifat patogen, menimbulkan bau dan kekeruhan pada air serta
mengurangi nilai estetika
1.1.7 Lampiran Peraturan-Peraturan Terbaru (Stream Standard dan
Effluent Standard)
1. Stream Standard
Berikut Lampiran dari peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun
2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-17

Gambar 1.1 Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001


(Sumber: Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001)
2. Effluent Standard
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
2014 tentang Baku Mutu Air Limbah.

YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-18

Gambar 1.2 Lampiran Baku Mutu Air Limbah Domestik Peraturan


Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
2014
(Sumber: Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor
5 Tahun 2014)
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 112 Tahun 2003
tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik

Gambar 1.3 Lampiran Baku Mutu Air Limbah Domestik Keputusan


Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 112 Tahun 2003
YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-19

(Sumber: Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 112 Tahun


2003)
1.2
Inventarisasi Unit Pengolahan
1.2.1 Umum
Menurut Eckenfelder (1980), sebagian besar penerapan proses
pengolahan air limbah berhubungan dengan karakteristik air limbah dan derajat
pengolahan yang diperlukan untuk mencapai kualitas air limbah yang diinginkan.

Gambar 1.4 Diagram Alir Proses Pengolahan Air Limbah


(Sumber: Tchobanoglous, 2014)

Gambar 1.5 Proses Pengolahan Air Limbah Menggunakan Trickling


Filter
(Sumber: HDHS, 2009)
Dalam menentukan unit pengolahan, tidak semua unit digunakan untuk
mengolah air baku/air limbah. Semua tergantung dari karakteristik yang
dihasilkan dari air tersebut. Sehingga untuk menyisihkan zat yang terkandung di
dalamnya perlu diketahui efisiensi removal di setiap unitnya.
Inventarisasi unit meliputi: deskripsi proses yang terjadi, efisiensi pengolahan
terhadap unsur pencemar,kriteria desain, perhitungan yang digunakan.
- Unit pengolahan tingkat I (primary treatment)
- Unit pengolahan tingkat II (secondary treatment)
YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-20

Unit pengolahan lumpur (sludge treatment)

1.2.2 Unit Pengolahan Tingkat I (Primary Treatment)


Pengolahan primer (Primary Treatment) ditujukan untuk menghilangkan
bahan bahan yang tampak, yang umumnya termasuk karakteristik fisika. Tahap
ini juga diperlukan sebagai tahap persiapan untuk menuju pada pengolahan
tahap berikutnya. Unit pengolah limbah secara fisika, misalnya screaning, grift
removal, sedimentasi, pemisah minyak/lemak.
Menurut Eckenfelder (1980), pretreatment atau pengolahan primer
digunakan untuk menyisihkan material mengapung, padatan tersuspensi dan
minyak, netralisasi dan ekualisasi untuk menuju ke pengolahan sekunder atau
untuk dialirkan ke badan air.
Menurut Peavy (1985), air limbah mengandung padatan yang bervariasi
dengan berbagai bentuk, ukuran dan berat jenis. Penyisihan padatan yang efektif
membutuhkan gabungan dari unit operasi seperti screening, grinding dan
pengendapan.
1.2.2.1
Screening
Unit pengolahan pertama pada bangunan pengolahan air buangan adalah
screening. Screen adalah alat dengan lubang-lubang, umumnya ukurannya tidak
seragam, yang digunakan untuk menahan keluaran dari air buangan pada
bangunan pengolahan air buangan. Prinsip dari screening ini adalah untuk
menyisihkan material-material kasar seperti plastik, kertas, bahan logam, kain
dan sebagainya dari air buangan yang dapat menyebabkan kerusakan pada
peralatan, mengurangi keefektifan kerja peralatan lainnya, dan menyebabkan
kontaminasi seperti penyumbatan pada valve, perusakan pompa, dan lain-lain.
Fine screen biasanya digunakan sebagai lanjutan dari proses screening dimana
terdapat material-material yang lebih besar muncul untuk melindungi peralatan
proses lainnya dan mengeliminasi material yang dapat menghambat proses
biologi (Metcalf and Eddy, 2004).

YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-21

Gambar 1.6 A) Screen Dengan Pembersihan Manual; B) Screen


Dengan Pembersihan Mekanik
(Sumber: Tchobanoglous, 2014)
Macam-Macam Screen
a. Bar Racks Dengan Cara Pembersihan Manual Atau Mekanik
Bar racks biasanya digunakan dalam instalasi pengolah air limbah
kota/domestik dan dapat juga digunakan untuk mengolah air limbah industri
ketika didalam limbah industri tersebut memiliki material besar.
b. Static Screen
Dengan menggunakan static screen, air limbah akan mengalir secara
gravitasi atau dibawah tekanan permukaan yang cekung dari static screen
tersebut. Air limbah melewati screen ketika padatan bergulir ke bawah
menuju hopper. Unit ini efektif untuk proses dewatering slurry yang
mengandung lemak atau`suspended solid yang lengket. Screen ini biasanya
terbuat dari stainless steel V-bars, diposisikan secara horizontal, tegak lurus
dengan airah aliran.

c. Rotary Drum Screeens


Rotary drum screens menggunakan kain sintetik sebagai mdia
penyaringnya. Kain dipasang pada drum terbuka yang berputar pada poros
horizontal. Limbah memasuki drum dan mengikuti putaran drum sampai
akhir dan melewati screen ke dalam bak penampung material yang tidak
lolos saringn.
Tabel 1.2 Kriteria Desain Variasi Screening
No

Jenis

Fine Bar
Screen
Static wedge
wire

Rotary Drum

Ukuran
Bukaan
(mm)

Kelembap
an (%)

12,5

80-90

80-90

80-90

Spesif
c
Weight
(kg/m3
)
9001100
9001100
9001100

Volume of Screenings
ft3/Mgal
L/1000 m
Ran
ge

Typic
al

Typic
al

10

Rang
e
44100

6-15
5-12

37-85

60

4-8

30-60

45

75

(Sumber: Tchobanoglous, 2014)

YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-22

Tabel 1.3 Kriteria Desain Desain Bar Rack secara Manual dan
Mekanik
Parameter

U.S Customary Units

SI Unit

Metode Pembersihan

Metode Pembersihan

Unit

Manu
al

Mekanik
al

Unit

Manual

Mekanik
al

Lebar

in

0,2-0,6

0,2-0,6

mm

5-15

5-15

Kedalaman

in

1,0-1,5

1,0-1,5

mm

25-38

25-38

in

1,0-2,0

0,6-0,3

mm

25-50

15-75

30-45

0-30

30-45

0-30

ft/s

1,0-2,0

2,0-3,25

m/s

0,3-0,6

0,6-1,0

1,0-1,6

m/s

6-24

mm

Ukuran batang

Jarak
batang

antar

Kemiringan
terhadap vertikal

Kecepatan
Max
Min

ft/s
in

0,3-0,5
150

150-600

Headloss
(Sumber: Tchobanoglous, 2014)

Tabel 1.4 Efisiensi Removal Berdasarkan Unit Pengolahan


Screening
Presentase
Penyisihan (%)
TSS
BOD

Jenis Screen
Fixed Parabolic
Rotary drum

5-20

5-30

25-50

25-45

(Sumber: Tchobanoglous, 2014)

Perhitungan yang Digunakan


- Headloss Coarse Screen
Dalam pengolahan limbah saringan kasar ini digunakan untuk melindung
pompa, value, perpipian dll dari penyumbatan dan kerusakan.
HL =

1 vs 2v 2
C
2g

Keterangan:
HL = headloss, m (ft)
C = koefisien turbulensi dan edy losses, 0,7 untuk clean screen dan
untuk clogged screen
Vs = kecepatan aliran terbuka, (m/s)
V = kecepatan pada upstream channel (m/s)
g = gaya gravitasi, 9,81 (m/s2)
-

0,6

Headloss Fine Screen


YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-23

Saringan halus pada pengolahan pendahuluan biasanya digunakan dengan


saringan kasar. Sedangkan pada pengolahan pertama saringan halus
biasanya digunakan dengan pengendap pertama.
HL =

1 Q
2 g CA

( )

Keterangan:
HL = headloss, m (ft)
C = koefisien turbulensi dan edy losses, 0,7 untuk clean screen dan
untuk clogged screen
g = gaya gravitasi, 9,81 (m/s2)
Q = Debit yang melewati screen (m3/s)
A = Luas permukaan m2

0,6

1.2.2.2
Comminutor
Comminutors secara umum digunakan pada instalasi pengolahan air limbah
skala kecil, kurang dari 0,2 m 3/s (5 mgal/d). Comminutors dipasang di saluran air
aliran air limbah dari screen dan mencacah material dengan ukuran 6-20 mm
(0,25-0,77 in), tanpa mengeluarkan padatan yang telah menjadi potongan kecil
dari aliran. Secara tipikal comminutors menggunakan layar horizontal yang
stasioner untuk mencegat aliran dan berputar atau berisolasi, dilengkapi dengan
pemotong bertautan dengan layar. Pemotong bergeser memotong bahan kasar.
Partikel-partikel kecil yang telah terpotong, melewati layar dan masuk ke saluran
(Tchobanoglous, et al, 2014).
Jenis communitors yang biasanya digunakan antara lain:
a. Free discharge : aliran bebas, aliran keluar dari mesin jatuh bebas;
b. Controlled dicharge : aliran tidak bebas, ditentukan oleh besar dan tingginya
muka air di hulu dan di hilir aliran.
Penggunaan dari communitors ini biasanya mempertimbangkan dari banyak hal,
diantaranya:
a. Elevasi tanah, jika perbedaan elevasi cukup tinggi maka dapat digunakan
communitors free discharge sedangkan untuk perbedaan elevasi yang
rendah digunakan controlled discharge;
b. Lokasi PBPAB

Gambar 1.7 Communitors


YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-24

(Sumber: : http://www.specialprojects.com/equipment/4757/)
Efisiensi Penyisihan
Suspended Solid (SS) sebesar 50-60 % dan BOD 25-30 % (Seelye Elwyn E.,
1960).
Kriteria Desain
Kriteria desain untuk comminutors dapat dilihat pada Tabel 1.5 di bawah ini.
Tabel 1.5 Kriteria Jenis dan Ukuran Comminutors
Kapasitas (mgd)
Controlled Discharge
Free Discharge

No

Ukuran Motor

7B

1
4

0 0,35

0 0,3

10 A

1
2

0,17 1,10

0,17 0,82

15 M

3
4

0,4 2,3

0,4 1,4

25 M

1
2

1,0 6,0

1,0 3,6

25 A

1
4

1,0 11,0

1,0 6,5

1,5 25,0
Desain ditentukan oleh jenis pekerjaan

1,5 9,6

36 A
54 A

Sumber : Seelye Elwyn E., 1960.

Rumus untuk Desain


Comminutors beroperasi pada debit puncak (Qp)
Qp

.m (debit puncak efluen grit chambers)

Pemilihan comminutors
Qp

Qp x (86.400 detik/hari) x (0,2642 galon/m3)

Jenis comminutor terpilih berdasarkan debit puncak koreksi (Qp) dengan tipe
comminutor sesuai kriteria. Dari kriteria dapat ditentukan ukuran dan
kapasitasnya. Jumlah unit dapat ditentukan sesuai kebutuhan (Seelye Elwyn E.,
1960).
1.2.2.3
Grit Chamber
Penyisihan kerikil-kerikil halus mungkin dilakukan pada atau pemisahan
partikel secara sentifugal. Grit chambers didesain untuk menyisihkan kerikilkerikil halus, termasuk pasir, kerikil, atau material solid lainnya yang turun dari
aliran karena massa janisnya lebih besar, yang terdapat di dalam air buangan.
Grit chambers kebanyakan diletakkan setelah bar screen dan sebelum tangki
sedimentasi utama. Di beberapa instalasi, grit chamber mendahului unit screen.
Secara umum, unit screen yang berada di depan grit chambers dapat
mempermudah dalam proses selanjutnya.
YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-25

Grit chambers disediakan untuk melindungi alat-alat mekanik yang ada dari
abrasi, mengurangi pembentukan endapan pada jalur pipa, mengurangi
frekuensi pembersihan lumpur yang disebabkan oleh akumulasi dari kerikil-kerikil
halus.
Pemisahan grit dari air limbah biasanya dicapai dengan pemisahan dengan
grit chambers yang secara fisik akan terpisah antara partikel grit yang besar dari
padatan organik ringan. Grit chambers paling sering ditempatkan setelah bar
screens dan sebelum primary sedimentation untuk mencegah material yang
lolos dari saringan dapat mengganggu operasi dan pemeliharaan proses
selanjutnya. Untuk instalasi pegolahan yang menggunakan alat pencacah
(communitors), grit chambers seharusnya diletakkan di hulu untuk mengurangi
keausan pada pisau pemotong (Tchobanoglous, et al, 2014).
Ada tiga tipe umum dari grit chambers, yaitu :
1. Horizontal-Flow Grit Chambers
Rectangular Horizontal-Flow Grit Chambers
Jenis tertua grit chambers yang digunakan adalah rectangular horizontalflow, velocity-controled type. Unit ini di desain untuk mempertahankan
kecepatan tidak lenbih dari 0,3 m/s (1,0 ft/s) untuk memberikan waktu yang
cukup bagi partikel grit untuk mengendap ke dasar grit chambers
(Tchobanoglous, et al, 2014).
Dasar desain rectangular horizontal-flow grit chambers yaitu, saat kondisi
yang paling buruk, tipikalnya grit chambers di desain untuk menyisihkan semua
partikel grit yang dipertahankan saringan pada 0,21-mm-diameter (70 mesh),
meskipun banyak yang didesain untuk menyisihkan partikel grit yang tertahan
oleh saringan 100 mesh (Tchobanoglous, et al, 2014).

Square Horizontal- Flow Grit Chambers


Square horizontal-flow juga telah digunakan lebih dari 60 tahun. Tipe grit
chambers ini didesain untuk menyisihkan 95 persen ukuran partikel 0,15 mmdiameter saat debit puncak. Pada square grit chambers, padatan disisihkan oleh
mekanisme sapu putaran menuju ke bak disisi tangki. Grit yang mengendap
dapat bergerak naik miring oleh reciprocating rake mechanism (Tchobanoglous,
et al, 2014).
2. Aerated Grit Chambers
Pada aerated grit chambers, udara dimasukkan sepanjang satu sisi tangki
persegi panjang untuk membuat pola aliran spiral yang tegak lurus terhadap
aliran melalui tangki. Air limbah akan bergerak melalui tangki di jalur spiral dan
akan terbentuk dua atau tiga fase di dasar tangki saat debit maksimum dan lebih
banyak fase saat debit rata-rata. Partikel grit yang berukuran besar menetap di
dasar tangki dan yang ringan seperti partikel organik akan tetap dalam suspensi
(air limbah) dan melewati tangki menuju unit selanjutnya (Tchobanoglous, et al,
2014).
Aerated grit chambers didesain untuk menyisihkan partikel dengan ukuran
diameter 0,21 mm atau lebih, dengan peride detensi saat debit puncak jam
adalah 2-5 menit. Penampang tangki serupa dengan yang disediakan untuk
sirkulasi spiral pada activated-sludge aeration tanks. Diffuser udara diletakkan
0,45-0,6 m diatas dasar (Tcobanoglous, et al, 2014).
3. Vortex- Type Grit Chambers
YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-26

Partikel grit juga dapat disisihkan dengan pusaran menggunakan vortex grit
chambers. Ada tiga jenis vortex grit chambers yaitu, mechanically induced
vortex, hydraulically induced vortex, dan multi-tray grit separator
(Tchobanoglous, et al, 2014).

Gambar 1.8 Horizontal-Flow Grit Chambers


(Sumber: Tchobanoglous, 2014)

Gambar 1.9 Aerated Grit Chamber (A) Potongan Membujur (B)


Pola Aliran Dalam Aerated Grit Chamber
(Sumber: Tchobanoglous, 2014)

YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-27

Gambar 1.10 Vortex-Type Grit Chambers


(Sumber: Tchobanoglous, 2014)
Efisiensi Penyisihan
Efisiensi penyisihan grit chambers dapat dilihat pada Tabel 1.6 dibawah ini.
Tabel 1.6 Efisiensi Penyisihan Grit Chambers
Parameter
BOD
COD
SS

Range (%)
05
05
0 10
Sumber: Tchobanoglous, et al, 2014.

Kriteria Desain
Kriteria desain untuk grit chambers dapat dilihat pada Tabel 1.7 sampai dengan
Tabel 1.9 dibawah ini.
Tabel 1.7 Kriteria Desain Horizontal-Flow Grit Chambers
Item
Waktu detensi
Kecepatan horizontal
Kecepatan pengendapan untuk menyisihkan :
a. 0,21 mm material
b. 0,15 mm material

Headloss dengan kontrol pada persen kedalaman saluran


Penambahan panjang untuk inlet dan outlet yang diizinkan
karena turbulen

SI unit
Renta
Unit
ng
sekon
45-90
m/s
0,250,4
m/mi
na
m/mi
na
%
%

Tipik
al
60
0,3

1-1,3
0,60,9

1,15
0,75

30-40
25-50

36b
30

Sumber : Tchobanoglous, et al, 2014.

Tabel 1.8 Kriteria Desain Aerated Grit Chambers

YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-28

Item
Waktu detensi pada saat debit puncak
Dimensi
a. Kedalaman
b. Panjang
c. Lebar
Rasio Lebar : Kedalaman
Rasio panjang : lebar
Supply air per unit panjang
Jumlah grit

Unit
menit

SI unit
Rentang
2-5

meter
meter
meter
rasio
rasio
m2/menit
1/103

2-5
7,5-20
2,5-7
1:1 5:1
3:1 5:1
0,2 0,5
0,004-0,2

Tipikal
3

1,5 : 1
4:1
0,015

Sumber : Tchobanoglous, et al, 2014.

Tabel 1.9 Kriteria Desain Vortex-Type Grit Chambers


Item

a.
b.

a.
b.
c.

Unit
detik

Waktu detensi pada saat debit rata-rata


Diameter :
Bagian atas wadah
Bagian bawah wadah
Tinggi
Rasio panjang : lebar
Efisiensi penyisihan
0,3 mm (50 mesh)
0,24 mm (70 mesh)
0,15 mm (100 mesh)

meter
meter
rasio
%

SI unit
Rentang
20-30

Tipikal
30

1,2-7,2
0,9-1,8
2,7-4,8
3:1 5:1

4:1

92-98
80-90
60-70

95 +
85 +
65 +

Sumber : Tchobanoglous, et al, 2014.

Rumus untuk Desain


Perhitungan menurut (Tchobanoglous, et al, 2014), yaitu:
a. Q peak
=Q maks x faktor peak
b. Volume grit chamber

= 2

x Q peak x td

volume

c. Dimensi grit chamber = panjang= lebar x tinggi

anjang=

volume
lebar x tinggi

d. Air required

=panjang grit chamber x asumsi air


supply per limit of length
e. Total kebutuhan udara =air required x 2
Perhitungan menurut (Peavy, Howard S. et al, 1985) adalah:
a. Luas permukaan, A = Q/vh
b. Waktu detensi, td = Hunit/vt
c. Panjang, P = td x vh
Dimana:
Hunit = kedalaman unit grit chambers (m)
vh
= kecepatan horisontal (m/s)
vt
= kecepatan mengendap (m/s)
Q
= debit air limbah (m3/s)
1.2.2.4

Equalization Basin atau Tangki Aliran Rata-Rata (TAR)


YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-29

Menurut Tchobanoglous (2004), Tangki rata-rata adalah metode yang


digunakan untuk mengatasi masalah pengolahan yang disebabkan oleh
bervariasinya debit air buangan, untuk meningkatkan kinerja proses dan untuk
mengurangi ukuran dan harga dari fasilitas pengolahan.
Tangki aliran rata-rata berfungsi untuk pengurangan aliran yang berfluktuasi
untuk mencapai aliran yang konstan atau hampir konstan. Manfaat dari Tangki
Aliran Rata-rata adalah:
Peningkatan pengolahan biologis, karena tidak adanya shock loading .

Kualitas effluent dari thickening akan meningkat.

Kinerja dari filter pada unit filtrasi akan meningkat.

Penambahan bahan kimia akan semakin terkontrol.

Terdapat beberapa alternatif tangki ekualisasi. Tangki ekualisasi dapat


diletakkan sesudah primary treatment dan sebelum secondary treatment dengan
tujuan menghindari masalah-masalah yang ditimbulkan lumpur dan scum, tetapi
bisa juga diletakkan sebelum primary treatment. Jenis peletakan yang kedua
membutuhkan alat pengaduk (mixer) untuk mencegah deposisi padatan dan
konsentrasi yang bervariasi. Sistem aerasi pada tangki ekualisasi akan
menyisihkan BOD sebanyak 10 sampai 20%.
Efisiensi Pengolahan
Menurut Tchobanoglous (2004), sistem aerasi pada tangki ekualisasi akan
menyisihkan BOD sebanyak 10 sampai 20%.
Kriteria Desain
Menurut Tchobanoglous (2014), bak dapat dibuat dari tanah, beton atau baja.
Bak tanah umumnya paling mahal. Tergantung pada kondisi sekitar, kemiringan
sisi bak dapat bervariasi antara 3:1 dan 2:1. Hampir disetiap instalasi, liner
dibutuhkan untuk mencegah kontaminasi air tanah. Kedalaman bak akan
bervariasi tergantung pada ketersediaan lahan, muka air tanah dan topografi.
Biasanya, minimum kedalaman air bervariasi dari 1,5 sampai 2 m. Dengan
aerator yang mengapung, harus dilengkapi dengan alas beton dibawah aerator
untuk meminimasi erosi.

Perhitungan
Menurut Tchobanoglous (2014), debit rata-rata air buangan setiap jamnya
dapat diketahui melalui perhitungan berikut:

Q=%Q x Qab
Dimana:
Q
= Debit air buangan yang mengalir setiap jam nya pada satu hari,
m3/detik
%Q
= persentase Q yang mengalir
Qab
= Debit rata-rata air buangan, m3/detik.
Tahapan perhitungan lainnya dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Cumulative volume (m3)
YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-30

V i=Debit ratarata

( )

m
s
x 3600 x 1hr
s
h

2. BOD mass loading during time period (kg/hr)

BOD M 1

kg
m3
mg
=debit ratarata
x BOD ratarata
hr
s
L

( )

( )

( )

3. Rata-rata debit per jam dalam satu hari (Voc)


3

( ) x 3600 s

m
jumlah debit ratarata dalam satu hari
s
Voc=
jumlah jam ( 24 jam )

hr

4. Pembuatan grafik antara cumulative volume dengan waktu. Dari grafik


tersebut dapat diperoleh volume tangki aliran rata-rata. Sebelumnya
ditentukan dahulu titik terendah. Maka, volume tangki dapat dihitung
melalui persamaan sebagai berikut:

Vtar=batasatas ( pada grafik ) batas bawah ( pada grafik )

Batas
atas
Batas
bawa
h
Gambar 1.11 Grafik Penentuan Volume TAR
(Al-Layla, 1977)
5. Volume in storage at end of time (m3)

Vsc=Vsp+VicVoc
Dimana:
Vsc = Volume in storage, m3
Vsp = Volume in storage pada jam sebelumnya, m3
YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-31

Vic = volume of flow, m3


Voc = rata-rata debit, m3
6. Eq. BOD concentration during time period (mg/L)

Xoc=

( Vic x Xic )+(Vsp x Xsp)


Vic +Vsp

Dimana:
Xoc = Eq. BOD concentration, mg/L
Vic = Volume of flow, m3
Xic = average BOD concentration, mg/L
Vsp = Volume in storage pada jam sebelumnya, m3
Xsp = Eq. BOD concentration pada jam sebelumnya, mg/L
7. Eq. BOD mass loading (kg/hr)

Massloading rate ,

kg
m3
=Xoc x ratarata debit
hr
s

( )

1.2.2.5
Prasedimentasi
Menurut Tchobanoglous (2014), Tujuan pengolahan menggunakan
prasedimentasi adalah untuk menyisihkan padatan-padatan yang dapat
mengendap (settleable solids) secara gravitasi. Endapan di dasar tangki
dikumpulkan secara mekanis dengan alat yang disebut scrapper ke ruang lumpur
yang juga berada di dasar tangki, sedangkan materi-materi yang dapat
mengapung seperti minyak dan lemak dikumpulkan juga secara mekanis
menggunakan skimmer. Lumpur dan float akan diolah pada pengolahan lumpur.
Beberapa parameter penting untuk mendesain tangki prasedimentasi
adalah waktu detensi dan overflow rate. Weir loading rates bukanlah parameter
yang akurat dalam desain prasedimentasi. Pada umumnya, unit prasedimentasi
di desain dengan waktu detensi 1,5-2,5 jam, tetapi ada juga yang dioperasikan
dengan waktu lebih pendek yaitu 0,5-1 jam, biasanya unit prasedimentasi yang
diletakkan sebelum proses biologi. Pada umumnya, prasedimentasi di desain
berdasarkan overflow rates. Semakin kecil overflow rates, semakin lama waktu
detensi air di dalam tangki, maka efisiensi pengendapan pun akan naik.

Efisiensi Pengolahan
Menurut Arceivala (1998), unit prasedimentasi untuk pengolahan air limbah
domestik berdasarkan hasil tes laboratorium sebenarnya tidak terlalu
dibutuhkan. Penyisihan BOD pada unit prasedimentasi ini sebesar 30-40%.
Kriteria Desain

YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-32

Menurut Tchobanoglous (2014), kriteria desain untuk unit prasegimentasi


dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 1.10 Kriteria Desain Tangki Prasedimentasi
Item
Satuan
Range
Tipikal
Prasedimentasi diikuti dengan secondary treatment
Waktu detensi
Jam
1,5-2,5
2,0
Overflow rate
Rata-rata
m3/m2.hari
30-50
40
Peak
m3/m2.hari
80-120
100
Weir loading
m3/m.hari
125-500
250
Prasedimentasi dengan waste activated sludge return
Waktu detensi
jam
1,5-2,5
2,0
Overflow rate
Rata-rata
m3/m2.hari
24-32
28
Peak
m3/m2.hari
48-70
60
Weir loading
m3/m.hari
125-500
250
Sumber: Tchobanoglous, 2004

Tabel 1.11 Kriteria Dimensi Tangki Prasedimentasi


Item
Satuan
Persegi Panjang
Kedalaman
m
Panjang
m
Lebar
m
Flight speed
m/min
Lingkaran
Kedalaman
m
Diameter
m
Kemiringan bawah
mm/mm
Flight speed
r/min
Sumber: Tchobanoglous, 2004

Range

Tipikal

3-4,9
15-90
3-24
0,6-1,2

4,3
24-40
4,9-9,8
0,9

3-4,9
3-60
1/16 1/6
0,02-0,05

4,3
12-45
1/12
0,03

Perhitungan:
a. Perhitungan kecepatan pengendapan partikel

Vs=

d
t
Dimana:
Vs = Kecepatan mengendap, m/s
d = Kedalaman kolom, m
t = waktu pengendapan, s
b. Perhitungan fraksi massa partikel

fm=

C
Co
Dimana:
Fm = Fraksi massa
C = konsentrasi, mg/l
YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-33

Co

= Konsentrasi awal, mg/l

c. Perhitungan Penyisihan Total


Fo

1
penyisihan=( 1Fo ) + Vs dF
Vo 0
Dimana:
Fo = penyisihan total
Vo = overflow rate, m3/m2.s
Vs = Kecepatan mengendap, m/s
d. Perhitungan dimensi bak pengendap

As=

Luas Permukaan Bak (A surface)

Qr
Vr
Dimana:
As = Luas Permukaan bak, m2
Qr = debit air buangan rata-rata, m3/s
Vr = overflow rate, m3/m2.s

Panjang dan lebar bak

As= p x l

Tinggi Bak

h=

1
( Leba r 0.8 )
12

Ketinggian bak total

H=h+ freeboard 10
e. Perhitungan kecepatan aliran horizontal (Vo)

Vo=

Qr
Vcross

Vo=

Qr
LxH

YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-34

f.

R=

Perhitungan Jari-jari hidrolis (R)

LxH
L+2 H
g. Pemeriksaan bilangan Reynolds (Nre)

Nre=

VoxR
V

Dimana:
Vo = kecepatan horizontal, m/s
R = jari-jari hidrolis, m
V = 0,9186 x 10

-6

cm/s

h. Pemeriksaan bilangan Froude (Nfr)

V o2
Nfr=
gxR
Dimana:
Vo = Kecepatan horizontal, m/s
g = Kecepatan gravitasi, 9,81 m2/s
R = jari-jari hidrolis, m
1.2.3 Unit Pengolahan Tingkat II (Secondary Treatment)
Menurut Environmental Protection Agency (2004), setelah air limbah
mengalami proses pengolahan tingkat I (primary treatment), lalu air limbah
dialirkan ke tapah pengolahan selanjutnya, yakni tahap pengolahan tingkat II.
Proses pengolahan sekunder dapat menyisihkan 90% material organik dalam air
limbah menggunakan proses pengolahan secara biologi. Ada dua jenis
pengolahan secara biologi yang sering digunakan dalam pengolahan air limbah,
yakni proses pertumbuhan tersuspensi dan proses pertumbuhan terlekat.
1.2.3.1
Pertumbuhan Tersuspensi (Suspended Growth Process)
Menurut Tchobanoglous (2014), dalam proses pertumbuhan tersuspensi,
mikroorganisme berperan dalam pengolahan yang terdapat dalam suspensi
cairan dengan metode pegadukan. Proses ini banyak digunakan untuk
pengolahan air limbah domestik maupun industri untuk mendegradasi material
organik dalam keadaan aerobik maupun anoksik.
Menurut Arceivala (1998), contoh dari proses pertumbuhan tersuspensi
antara lain proses lumpur aktif, aerobik dan anaerobik sludge digester, kolam
aerasi dan kolam stabilisasi.
1. Proses Lumpur Aktif (Activated Sludge)
Lumpur aktif (activated sludge) adalah proses pertumbuhan mikroba
tersuspensi yang pertama kali dilakukan di Inggris pada awal abad 19. Sejak itu
proses ini diadopsi seluruh dunia sebagai pengolah air limbah domestik sekunder
secara biologi. Proses ini pada dasarnya merupakan pengolahan aerobik yang
YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-35

mengoksidasi material organik menjadi CO2 dan H2O, NH4. dan sel biomassa
baru. Udara disalurkan melalui pompa blower (diffused) atau melalui aerasi
mekanik. Sel mikroba membentuk flok yang akan mengendap di tangki
penjernihan (Gariel Bitton, 1994).
Menurut Peavy, Howard S. et.al., (1985) Proses pengolahan activated sludge
adalah suatu sistem kontinyu dimana pada sistem pengolahan biologi ini
memenafaatkn mikroorganisme aerob yang ada dalam air limbah domestik dan
diberikan supply oksigen baik dari udara ataupun dengan cara injeksi oksigen
murni dan flok yang terbentuk dari proses ini selanjutnya akan dipisahkan di unit
clarifier. Sebagian dari lumpur hasil pengendapan di clarifier tersebut
dikembalikan lagi ke tangki aerasi dan akan bercampur dengan influent limbah
baru.
Mekanisme Proses Lumpur Aktif:
Menurut Sholichin (2012) pengolahan air limbah dengan proses lumpur
aktif konvensional/ standar scara umum terdiri dari bak pengendap awal, bak
aerasi dan bak pengendap akhir, serta bak khlorinasi untuk membunuh bakteri
pathogen. Secara umum proses pengolahannya adalah sebagai berikut. Air
limbah yang berasal dari sumber pencemar ditampung ke dalam bak
penampung air limbah. Bak penampung ini berfungsi sebagai bak pengatur debit
air limbah serta dilengkapi dengan saringan kasar untuk memisahkan kotoran
yang besar. Kemudian air limbah didalam bak penampunhg dipompa ke bak
pengendap awal. Di dalam bak aerasi ini air limbah dihembus dengan udara
sehingga mikro organime yang ada akan menguraikan zat organik yang ada
dalam air limbah. Energi yang didapatkan dari hasil penguraian zat organik
tersebut digunakan oleh mikroorganisme untuk proses pertumbuhannya. Dengan
demikian didalam bak aerasi tersebut akan tumbuh dan berkembang biomassa
dalam jumlah cukup besar.
Biomassa atau mikroorganisme inilah yang akan menguraikan senyawa polutan
yang ada dalam air limbah.
Dari bak aerasi, air dialirkan ke bak pengendap akhir. Didalam bak ini
lumpur aktif yang massa mikroorganisme diendapkan dan dipompa kembalu ke
bagian inlet bak aerasi dengan pompa sirkulasi lumpur. Air limpasan (over flow)
dari bak pengendap akhir dialirkan ke bak khlorinasi. Didalam bak kontaktor klor
ini air limbah dikontakkan dengan senyawa khlor untuk membunuh
mikroorganisme patogen.
Air olahan, yakni air yang keluar setelag proses khlorinasi dapat langsung
dibung ke sungai atau saluran umum. Dengan proses ini air limbah dengan
konsentrasi 250 300 mg/lt dapat diturunkan kadar BOD nya menjadi 20-30
mg/lt berarti efisiensi penyisihan BOD nya sebesar 90-92%. Skema proses
pengolahan air limbah dengan sistem lumpur aktif standar/konvensional dapat
dilihat pada gambar berikut

YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-36

Gambar 1.12 Proses Activated Sludge

Gambar 1.13 Diagram Alir proses Lumpur Aktif


(Sumber: Sperling, 2007)

Efisiensi pengolahan terhadap unsur pencemar:


Menurut (Tchobanoglous, et al, 2014) bioreaktor lumpur aktif mampu
menyisihkan TSS sebesar 99 % dan juga mampu menyisihkan BOD . Efisiensi
penyisihan BOD berbeda-beda tergantung tipe activated sludge yang digunakan.
Berikut efisiensi removal dari tiap jenis unit.
Tabel 1.12 Efisiensi Penyisihan BOD5 Berdasarkan Tipe Activated Sludge
yang Digunakan
Tipe Activated Sludge
Tapered aeration
Conventional
Step aeration
Completely mixed
Contact stabilization
Contact basin
Stabilization basin

Efisiensi Penyisihan BOD5 (%)


85-95
85-95
85-95
85-95
80-90

Sumber : Peavy, Howard S. et.al., 1985.

Kriteria Desain
Kriteria desain untuk beberapa tipe activated sludge dapat dilihat pada Tabel
1.13 dibawah ini.
Tabel 1.13 Kriteria Desain Beberapa Tipe Activated Sludge
Tipe
Activated
Sludge
Tapered
aeration
Convention
al
Step
aeration
Completely
mixed
Contact

Jenis
Aliran

Umur
Lumpur
(hari)
(c)

Plug

5-15

Plug

5-15

Plug

5-15

Complet
e mix
Plug

5-15
5-15

F/M
0,20,4
0,20,4
0,20,4
0,20,6
0,2-

Aerator
Loading
(kg/m3.hari
)
0,3-0,6
0,3-0,6
0,6-0,10
0,8-2,0
1,0-1,2

MLSS
(mg/l)
1.5003.000
1.5003.000
2.0003.500
3.0006.000

Period
e
aerasi
(jam)

Rasio
resirkul
asi

4-8

0,22-0,5

4-8

0,22-0,5

3-5
3-5

0,250,75
0,251,00
0,5-1,0

YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-37

Tipe
Activated
Sludge
stabilizatio
n
Contact
basin
Stabilizatio
n basin
Pure
oxygen
Extended
aeration

Jenis
Aliran

Umur
Lumpur
(hari)
(c)

F/M

Aerator
Loading
(kg/m3.hari
)

MLSS
(mg/l)
1.0004.000d
4.00010.000

0,6

Period
e
aerasi
(jam)

Rasio
resirkul
asi

0,5-1,0d
3,0-6,0d

Complet
e mix
Cemplet
e mix
atau plug

8-20
20-30

0,25
-1,0
0,05
0,15

1,6-3,3

6.0008.000

2-5

0,25-0,5

0,1-0,4

3.0006.000

18-36

0,5-2,0

Sumber : Qasim, 1985.


Keterangan: dcontact tank

Perhitungan yang dibutuhkan:


Variabel perencanan (design variabel) yang umum digunakan dalam proses
pengolahan air limbah dengan sistem lumpur aktif (Sholichin,2012 dalam Davis
dan Cornweell, 1985; Yerstraete dan van Yaerenbergh, 1986,) adalah sebagai
berikut:
1. Beban BOD (BOD Loading rate atau Volumetry Loading Rate).
Beban BOD adalah jumlah massa BOD di dalam air limbah yang masuk
(influent) dibagi dengan volume reaktor. Beban BOD dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut: Dimana Q = debit air limbah yang masuk
(m3 /hari) So = Konsentrasi BOD di dalam air limbah yang masuk (kg/m 3)
V = Volume reaktor (m3)
2. Mixed liqour suspended solids (MLSS).
Isi di dalam bak aerasi pada proses pengolahan air limbah dengan sistem
lumpur aktif disebut sebagai mixed liqour yang merupakan campuran
antara air limbah dengan biomassa mikroorganisme serta padatan
tersuspensi lainnya. MLSS adalah jumlah total dan padatan tersuspensi
yang berupa material organik dan mineral, termasuk di dalamnya adalah
mikroorganisme. MLSS ditentukan dengan cara menyaring lumpur
campuran dengan kertas saring (filter), kemudian filter dikeringkan pada
temperatur 105 oC, dan berat padatan dalam contoh ditimbang.
3. Mixed-liqour volatile suspended solids (MLVSS).
Porsi material organik pada MLSS diwakili oleh MLVSS, yang berisi material
organik bukan mikroba, mikroba hidup dan mati, dan hancuran sel (Nelson
dan Lowrence, 1980). MLVSS diukur dengan memanaskan terus sampel
filter yang telah kering pada 600 6500 oC, dan nilainya mendekati 65-75%
dari MLSS. 4.
4. Food - to - microorganism ratio atau Food - to mass ratio
disingkat F/M Ratio.
Parameter ini menujukkan jumlah zat organik (BOD) yang dihilangkan
dibagi dengan jumlah massa mikrorganisme di dalam bak aerasi atau
reaktor. Besamya nilai F/M ratio umumnya ditunjukkan dalam kilogram
BOD per kilogram MLLSS per hari (Curds dan Hautkes, 1983; Nathanson,
1986). F/M dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

f Q ( SoS )
=
m MLSS x V
YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-38

Dimana:
Q = Laju air limbah m3/hari
So
= Konsentrasi BOD di dalam air limbah yang masuk ke bak
aerasi (kg/m3)
S = Konsentrasi BOD di dalam efluaent (kg/m3)
MLSS= Mixed liquor suspended solids (kg/m3)
V = Volume reactor atau bak aerasi (m3)
Rasio F/IvI dapat dikontrol dengan cara mengatur laju sirkulasi lumpur aktif
dari bak pengendapan akhir yang disirkulasi ke bak aerasi lebih tinggi laju
sirkulasi lumpur aktif lebih tinggi pula rasio F/M-nya. Untuk pengolahan air
limbah dengan sistem lumpur aktif konvensional atau standar, rasio F/M
adalah 02 - 0,5 kg BOD 5 per kg MLSS per hari, tetapi dapat lebih tinggi
hingga 1,5 jika digunakan oksigen murni (Hammer, 1986). Rasio F/M yang
rendah menunjukkan bahwa mikroorganisme dalam tangki aerasi dalam
kondisi lapar, semakin rendah rasio F/M pengolah limbah semakin efisien.
5. Hidraulic retention fitae (HRT).
Waktu tinggal hidraulik (HRT) adalah waktu rata-rata yang dibutuhkan oleh
larutan influent masuk dalam tangki aerasi untuk proses lumpur aktif;
nilainya berbanding terbalik dengan laju pengenceran (dilution rate, D)
(Sterritt dan Lester, 1988).
HRT = 1/D = V/Q
Dimana:
V = Volume reaktor atau bak aerasi (m3).
Q = Debit air linbah yang ma.uk ke dalam Tangki aerasi (m3/jam)
D = Laju pengenceran (1/jam).
6. Ratio Sirkulasi Lumpur (Hidraulic Recycle Ratio, HRT)
Ratio sirkulasi lumpur adalah perbandingan antara jumlah lumpur yang
disirkulasikan ke bak aerasi dengan jumlah air limbah yang masuk ke
dalam bak aerasi.
7. Umur lumpur (sludge age) atau sering disebut waktu tinggal ratarala cel (mean cell residence time)
Parameter ini menujukkan waktu tinggal rata-rata mikroorganisme dalam
sistem lumpur aktif. Jika HRT memerlukan waktu dalam jam, maka waktu
tinggal sel mikroba dalam bak aerasi dapat dalam hitungan hari.
Pararneter ini berbanding terbalik dengan laju pertumbuhan mikroba.
Umur lumpur dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (Hanmer,
1986; Curds dan Hawkes, 1983).
Umur lumpur (hari) =

MLSS x V
SS x Qe+ SSw x Qw

Dimana:
MLSS = Mixed liquor suspended solids (mg/l).
V = Volume bak aerasi (L)
SSe = Padatan tersuspensi dalam effluent (ml).
SSw = Padatan tersuspensi dalam lumpur limbah (mg/l)
Qe = Laju effluent limbah (m3 /hari)
Qw = Laju influent limbah (m3 /hari).
Umur lumpur dapat bervariasi antara 5 - 15 hari untuk sistem lumpur aktif
konvensional. Pada musim dingin dapat menjadi lebih lama dibandingkan
pada musin panas (USEPA, 1987). Parameter penting yang mengendalikan
operasi lumpur aktif adalah beban organik atau beban BOD, suplay
oksigen, dan pengendalian dan operasi bak pengendapan akhir. Bak
YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-39

pengendapan akhir ini mempunyai dua fungsi yakni untuk penjernihan


(clarification) dan pemekatan lumpur (thickening).
2. Bak Pengendap II (Secondary Clarifer)
Menurut Tchobanoglous (2014), pemisahan cairan dan padatan sangat
penting untuk unit lumpur aktif karena kesuksesan kinerja proses akan
terlihat di unit ini. Pemisahan cairan dan padatan ini memiliki dua fungsi
yang sangat penting, yakni pengendapan secara gravitasi ini akan
menyisihkan 99,5% mixed liquor TSS
dari efluen yang diolah serta
pemadatan dari pengendapan lumpur aktif untuk mengurangi volume
sebelum dikembalikan ke proses pencampuran dan pengolahan dengan
influen air limbah.
Efisiensi Pengolahan
Menurut Tchobanoglous (2014), dapat menyisihkan 99,5% MLSS dari efluen
yang telah diolah.
Kriteria Desain
Menurut Tchobanoglous (2014), berikut adalah kriteria desain dari Clarifier
sekunder.
Tabel 1.14 Kriteria Desain Secondary Clarifer pada Lumpur Aktif
N
o

Jenis pengolahan

Pengendapa setelah lumpur aktif

Selector, penyisihan nutrient


secara biologis
Pengendapan setelan extended
aerasi
Pengendapan untuk efluen
konsentrasi P setelah
penambahan zat kimia
Total P = 2
Total P =1
Total P = 0,2-0,5

3
4

Overflow rate,
m3/m2.hari
Ratarata
16-28
24-32
8-16

Peak
3656
4064
2432

Tinggi
muka
air, m

Solid loading,
kg/m2.jam
Ratarata
4-6

Peak
10

4,0-5,5

5-8

10

4,0-5,5

1,0-5

4,0-5,5

24-32
16-24
12-20

Sumber: Tchobanoglous, 2014

Perhitungan
Menurut Tchobanoglous (2014), perhitungan yang dapat dilakukan untuk unit
secondary clarifier ini adalah:
a. Surface Overflow rate

SOR =

Q
A

Dimana: SOR
Q

= Surface Overflow rate, m3/m2.hari


= Debit Influent, m3/hari
YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-40

= luas permukaan clarifier, m2

b. Solid Loading Rate

(QR +Q ) MLSS (
SLR=

1kg
)
103 g

Dimana: SLR

= Solid Loading rate, kg TSS/m 2. Jam

= Debit secondary efluen sistem, m3/jam

QR

= Debit Resirkulasi, m3/hari

MLSS = konsentrasi mixed liquor suspended solid, g/m 3


A

= luas permukaan clarifier, m2

1.2.3.2
Petumbuhan Terlekat (Attached Growth Process)
Manurut Environmental Protection agency (2004), pada proses pertumbuhan
terlekat, pertumbuhan mikroba terjadi pada permukaan media batu atau plastik.
Air limbah melewati media bersama dengan udara untuk penyediaan oksigen.
Unit proses dari pertumbuhan terlekat adalah trickling filters, biotowers, dan
rotating biological contactors (RBC).
1. Trickling Filter
Trickling filter terdiri dari bed yang memiliki kedalaman rendah dan
diadalamnya terdapat pecahan bebatuan atau media sintetis. Air limbah
domestik disebar di atas permukaan media penyebaran ini dilakukan dengan
menggunakan pipa berlubang yang berputar sehingga diharapkan penyebaran
air limbah terhadap media penyaringnya adalah rata. Bahan organik disisihkan
oleh lapisan miktoorganisme yang terbentuk atau disebut lapisan biofilm yang
melapisi media. Sistem underdrain dibuat untuk mengumpulkan tetesan air
dan juga padatan biologi yang mungkin terbawa oleh tetesan air tersebut
(Qasim, 1985)
Menurut Eckenfelder (1980) trickling filter adalah susunan media yang
dilapisi oleh slime growth dimana nantinya media yang dilapisi slime growth
tersebut akan dilewati media yang akan diolah. Karen air limbah dilewatkan
melalui media tersebut yang berfungsi sebagai filter, bahan organik dalam air
limbah akan tersisihkan oleh lapisan mikroorganisme yang disebut biofilm atau
(slime growth).

YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-41

Gambar 1.14 Trickling Filter (1)


(Sumber: http://www.shivpad.com/trickling_filter.html)

Gambar 1.15 Metode Trickling Filter


(Sumber: https://en.wiki2.org/wiki/Trickling_filter)
Mekanismenya adalah limbah dialirkan ke bak pengendapan awal untuk
mengendapakan padatan tersuspensi. Selanjutnya Air limbah dialirkan ke bak
Trickling Filter melalui pipa berlubang yang berputar, kemudian keluar melalui
pipa underdrain yang ada didasar bak dan keluar melalui saluran efluen. Air
limbah dialirkan ke bak pengendapan akhir dan limpasan dari bak
pengendapan akhir merupakan air olahan. Lumpur yang mengendap
selanjutnya disirkulasikan ke inlet bak pengendapan awal

Gambar 1.16 Trickling Filter (2)


(Sumber: http://www.aquaflex.in/aeration-system.html)
Tabel 1.15 Kriteria Desain dan Efisiensi Removal Trickling Filter

YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-42

Design
Characteristic

Type of packing
Hydraulic loading
(m3/m2d)
Organic loading (kg
BOD / m3d)
Recirculation ratic
Filter flies

Low /
Standar
d Rate

Intermedia
te Rate

High
Rate

High
Rate

Rock

Rock

Rock

Plastic

Rock/Plasti
c

1-4
0.070.22
0

4-10

10-40

10-75

40-200

0.24-0.28
0-1

0.4-0.24
1-2

0.6-0.32
1-2

> 1.5
2-0

Roughing

Varies

Few

Few

Few

Sloughing

Many
Intermitt
ent

Intermittent

Continous

Continous

Continous

Depth (m)

1.8 - 2.4

1.8 - 2.4

1.8 - 2.4

3-12.2

0.9-6

80-90

50-80

Well
nitrified

Some
nitrification

2-4

2-8

50-90
No
nitrificatio
n
6-10

60-90
No
nitrificatio
n
6-10

40-70
No
nitrificatio
n
10-20

BOD removal
efficiency (%)
Effluent quality
Power (kW/103 m3)
Sumber : Tchobanoglous 2004

Perhitungan yang digunakan:


Tingkat dosis sebagai fungsi dari tingkat pembebanan hidrolik. Tingkat dosis
adalah fungsi dari total beban hidrolik (aliran influen ditambah recycle aliran),
jumlah distributor aliran, dan kecepatan rotasi dari distributor (WEF, 2011).
3

DR =

( 1+ R )( q)( 10 mm )
1m
min
( N A )(n)( 60
)
h

Dimana:
DR = dosis tingkat, mm / lulus lengan distributor
n = kecepatan rotasi, rev / min
q = berpengaruh diterapkan loading rate hidrolik, m 3 / m2.h
R = rasio resirkulasi
NA = jumlah senjata di distributor perakitan rotary
Draft, yang merupakan tekanan yang dihasilkan dari perbedaan suhu, dapat
ditentukan (Schroeder dan Tchobanoglous, 1976)
YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-43

Dair =

353

( T1 T1 ) Z
c

Dimana:
Dair = rancangan udara alami, mm air
Tc = temperature dingin, K
Th = temperatur panas, K
Z = ketinggian filter, m
2. RBC (Rotating Biological Contactor)
Rotating Biological Contactor (RBC) adalah suatu proses perngolahan air
limbah secara biologis yang terdiri atas didsc melingkar yang diputar oleh poros
dengan kecepatan tertentu. Unit pengolahan ini berotasi dengan pusat pada
sumbu atau as yang digerakkan oleh motor drive system dari diffuser yang
dibenam dalam air limbah, dibawah media.

Gambar 1.17 Rotating Biological Contactors


(Sumber:
https://www2.humboldt.edu/arcatamarsh/secondarytreatment3.html)
Mekanisme Proses RBC
Mekasnisme aerasi terjadi ketika mikroba terpapar okesigen diluar air limbah
sehingga terjadi pelarutan oksigen akibat difusi. Sesaat kemudian, mikroba ini
tercelup lagi kedalam air limbah sekaligus memberikan oksigen, kepada
reintake material organik dan anorganik yang merekat didalam biofilm.
Tetesan air berbutir-butir yang jatuh dari media plastik dan bagian biofilm
yang merekat dipermudah secara kontinyu 24 jam sehari, ada yang bagian
terendamada bagian yang terpapar oksigen.
Efisiensi pengolahan terhadap unsur pencemar:
Unit pengolahan RBC dapat menyisihkan BOD hinggan 95 % (Tchobanoglous,
2003).
Tabel 1.16 Kriteria Desain Rotating Biological Contactors

YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-44

Parameter

Hydraulic loading
Organic loading
Maximum 1s organic
loading
NH3 loading
Hydraulic retention time
Effluent BOD
Effluent NH4-N

Separate
nitrificati
on

0.08-0.16

Treatment
BOD
removal
and
nitrification
0.03-0.08

4-10

2.5-8

0.5-0.1

g BOD / m d

8-20

5-16

1-2

g sBOD / m2d

12-15

12-15

g BOD / m2d

24-30

24-30

g N/ m d
H
mg/l

0.7-1.5
15-30

0.75-1.5
1.5-4
7-15

1.2-3
7-15

mg/l

<2

1-2

Unit

BOD
removal

m3/m2d
2

g sBOD / m d
2

0.04-0.1

Sumber:Tchobanoglous
2004

Perhitungan yang digunakan:


VLR = beban BOD/ volume
HLR = Q/Volume
Dimana:
VLR
= volumetric loading rate (kg BOD/m3.hari)
HLR
= Hydraulic loading rate (m3/m2.hari)
Q = debit limbah cair (m3/hari)
M = fh.Ko(S)(As)/ (Km+S)
Dimana:
As = N (ro2 ru2)
F = koefisien (0,006-0,01 L/mg) tipikal 0,006 L/mg
H = ketebalan lapisan film (0,1-0,5 cm) tipikal 0,1 cm
Ko = maximum removal rate (0,2-0,5 mg/l.detik) tipikal 0,2 mg/l.detik
Km = konstanta setengah reaksi (0,1-10 mg/l) tipikal 10 mg/l
S = Soluble BOD5 influen (mg/l)
As = luas permukaan basah sisi disk (m 2)
1.2.4 Unit Pengolahan Lumpur
Pengolahan lumpur terdiri dari thickening, conditioning, dan dewatering.
Dalam perancangan pengolahan lumpur diperlukan beberapa pertimbangan
mulai dari ketersediaan lahan, ukuran instalasi, biaya konstruksi dan operasional,
dan sebagainya. Pemilihan peralatan juga dapat dimulai dengan kebutuhan
konsentrasi padatan akhir.
Langkah-langkah manajemen pengelolaan lumpur, yaitu (AWWA, 1998):

Menentukan tipe, karakteristik, kualitas, dan kuantitas dari lumpur

Evaluasi pengolahan dan opsi pembuangan akhir yang tersedia

Mengulas peraturan yang mempengaruhi pemilihan metode pembuangan

Mengulas perubahan pengolahan yang dapat mengurangi kuantitas


residu.

Residu lumpur yang dihasilkan pada setiap unit pengolahan air minum
mengandung volume air yang masih tinggi.

Untuk itu peningkatan konsentrasi lumpur dan pengurangan air menjadi


keharusan sebelum dilakukan pembuangan.
YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-45

Residu padat berupa lumpur merupakan materi yang lolos dari unit
screenings, grit, scum dan lumpur.
Materi yang lolos dari screening dan grit pada umumnya dibuang ke
sanitary landfill.
Sedangkan lumpur (termasuk scum) dengan kandungan zat padatnya
sekitar 0,5-5 persen akan memerlukan proses pengolahan yang rumit.

1.2.4.1
Thickening
Thickening merupakan suatu metoda pengolahan lumpur untuk mengurangi
volume atau meningkatkan konsentrasi lumpur sebelum pengolahan lebih lanjut
(AWWA/ASCE/U.S. EPA, 1996). Proses thickening yang paling umum digunakan
adalah gravity thickening, gravity belt thickening, dan rotary drum thickening.
Tangki thickening dapat juga dimanfaatkan sebagai sarana ekualisasi agar
aliran menjadi seragam menuju proses dewatering. Lumpur koagulan dapat
dipekatkan dengan kisaran padatan antara 2-10 %.
a. Gravity Thickener
Metode gravity thickener berfungsi untuk meningkatkan konsentrasi padatan
atau pengurangan kadar air melalui pemanfaatan gaya gravitasi. Metode ini
paling sederhana dan umum digunakan dalam pengolahan lumpur. Serupa
dengan desain clarifier pada pengolahan air limbah, bentuk dari gravity
thickener berupa bak pengendapan sirkular dengan mekanisme scraper pada
bagian bawah dan berotasi secara perlahan. Thickener dapat dioperasikan
dengan cara aliran kontinu, pembebanan hidraulik, dan konsentrasi padatan
yang harus dikontrol (Aldeeb, 1999). Berdasarkan laporan AWWA (1996), tipikal
loading rate untuk thickening lumpur alum adalah sebesar 20 kg/(m 2day). Solids
loading untuk gravity thickener adalah sebesar 20-80 kg/m2hari (Qasim, 2000).

Gambar 1.18 Gravity Thickener


(Sumber: Qasim, 2000)

b. Flotation Thickening
Jenis dari flotation thickening terdiri dari:
a. Dissolved Air Flotation (DAF) dan
b. recycle flotation.
YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-46

Pada jenis DAF, udara dengan tekanan yang lebih tinggi daripada tekanan
atmosfer ditambahkan untuk memisahkan cairan. Material yang mengapung di
permukaan disebut float, yang secara kontinyu akan dipisahkan menggunakan
skimmers. Tekanan udara yang berkisar antara 200-800 kPa dimasukkan ke
dalam lumpur dengan diameter gelembung udara 10-100m.
Penggunaan jenis DAF akan lebih efektif untuk partikel dengan massa jenis
rendah, contohnya alga; materi organik tersuspensi, contohnya warna alami; dan
air yang bersuhu rendah. Sedangkan recycle flotation sering digunakan untuk
memekatkan residu hidroksida logam. Residu koagulan dapat dipekatkan di
flotation thickening sekitar 2000 3000 mg/L dengan menggunakan solids
loading sebesar 50 150 kg/m2 per hari (AWWA, 1996).

Gambar 1.19 Dissolve Air Flotation (DAF) Thickener


(Sumber: Qasim, 2000)
c. Mechanical Thickening
Mechanical thickening biasanya dilakukan dengan menggunakan tipe gravity
belt thickeners. Gravity belt thickeners bekerja dengan cara memekatkan
padatan dengan memanfaatkan gravitasi, dan menarik air melalui sabuk (belt)
pori yang bergerak. Pada penerapannya, biasanya ditambahkan polimer, dan
dicampur dengan padatan , sehingga dapat mencapai 2,5 4,5% padatan dari
lumpur logam hidroksida (AWWA, 1996).
Kelebihan penggunaan dari gravity belt thickeners adalah desain yang
sederhana, biaya operasional yang rendah, hanya butuh perhatian operator yang
terbatas, pembubuhan bahan kimia minimal untuk conditioning, dan cocok untuk
pengendapan lumpur cepat seperti kapur. Kekurangan metode ini adalah
memerlukan tenaga kerja khusus untuk operasional dan pemeliharaan, serta
conditioning kimia dari lumpur (AWWA, 1996).

YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-47

Gambar 1.20 Gravity Belt Thickener


(Sumber: Qasim, 2000)
1.2.4.2
Sludge Conditioning
Sludge Conditoning merupakan metode untuk meningkatkan kemampuan
pemisahan antara padatan dan cairan. Conditioning dapat dilakukan dengan
cara freezing and thawing, serta penambahan bahan kimia. Dalam pengolahan
lumpur, polimer paling sering digunakan untuk conditioning. Metode ini akan
mengoptimalkan proses thickening atau dewatering (AWWA/ASCE/U.S. EPA,
1996).
Chemical Conditioning merupakan proses yang paling lazim digunakan
untuk proses thickening dan dewatering. Metode ini merupakan penambahan
koagulan anorganik, seperti alum, ferric khlorida, dan kapur atau senyawa
organik polimer. Jenis dan dosis bahan kimia koagulan ini ditetapkan berdasarkan
data kualitas air baku, koagulan kimia, pengolahan pendahuluan, konsentrasi
padatan yang diinginkan, dan proses thickening atau dewatering yang digunakan
(AWWA, 1998).
Physical Conditioning merupakan proses fisika berupa penambahan bahan
aditif non-reaktif (diatom) dan precoat. Sedangkan conditioning dengan metode
freezing dan thermal (proses udara terbuka pada iklim dingin atau dengan
peralatan mekanis), dan dengan conditioning termis dilakukan pada suhu 180200oC di bawah tekanan tinggi.
Chemical Conditioning dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu
bahan kimia anorganik sebagai berikut: ferric chloride, ferrous sulfate, atau
aluminum chloride. Apabila pH lumpur terlalu rendah (di bawah 6) perlu
penambahan kapur sebagai CaO untuk memperoleh kondisi optimal.
1.2.4.3
Dewatering
Dewatering adalah proses penghilangan kandungan air pada lumpur,
sehingga lumpur dapat diangkut ke tempat pembuangan akhir (AWWA/ASCE/U.S.
EPA, 1996). Peningkatan konsentrasi padatan residu dapat mencapai 10-20%.
Secara umum, metode dewatering terbagi menjadi 2 kelompok:
a. Non-Mekanis
Metode ini menggunakan prinsip evaporasi secara alami, serta perkolasi
(Qasim, 2000). Keunggulan dari proses ini adalah kemudahan dalam operasi,
perawatan, operasional, serta energi yang murah bila dibandingkan dengan
sistem mekanik. Namun kelemahan dari sistem ini adalah diperlukannya area
yang luas, bergantung pada kondisi iklim (AWWA/ASCE/U.S. EPA, 1996).
Metode ini dapat berupa:
YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-48

Lagoons.
Lagoon dilengkapi dengan fasilitas pengurasan dan fasilitas decant untuk
dewatering lumpur. Lagoon akan diisi dengan residu dengan waktu antara 312 bulan, kemudian masuk ke dalam periode pengeringan (AWWA, 2005).
Kedalaman lagoon biasanya sekitar 1.2-6.1 m dan luas permukaan lagoon
antara 0.5-15 Ha (AWWA, 2005). Lagoon merupakan teknologi paling murah,
namun memiliki tingkat efektivitas yang rendah dalam metode dewatering
lumpur alum. Berdasarkan AWWA (2005), konsentrasi padatan cake yang
dihasilkan lagoon yaitu sebesar 7-15 %.

Gambar 1.21 Profil Lagoon Tampak Samping


(Sumber: Qasim, 2000)

Sand Drying Beds,


Merupakan modifikasi dari lagoon, dengan menggabungkan media
permeable (misal: pasir) dan sistem pengurasan (underdrain). Dewatering
pada sand drying beds terjadi dengan cara pengeringan air secara gravitasi.
Air hasil pengeringan dihilangkan dengan proses evaporasi, sampai waktu
yang dibutuhkan untuk mencapai konsentrasi padatan yang terakhir (AWWA,
2005).
Sand Drying Beds ini harus memperhatikan curah hujan dan kondisi
kelembapan yang sesuai, dan terdapat lahan yang besar. Sand drying beds
merupakan metode dewatering yang efektif dan relatif murah. Curah hujan
merupakan faktor utama yang mempengaruhi efektivitas dari sand drying
beds, karena buruknya dewatering dipengaruhi oleh iklim yang dingin dan
hujan. Metode ini lebih efektif untuk dewatering residu dari softening
daripada koagulasi dengan alum (AWWA/ASCE/U.S. EPA, 1996).
Drying beds terdiri dari 15-30 cm pasir yang memiliki ukuran sampai
dengan 0.5 mm dengan kerikil dan pipa saluran. Lapisan lumpur antara 3060 cm. Konsentrasi padatan yang dihasilkan sand drying beds dari lumpur
koagulan berkisar antara 20 25 % (Cornwell, 1999).

Gambar 1.22 Sistem Underdrain Sand Drying Bed


YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-49

(Sumber: Qasim, 2000)


b. Mekanis
Metode ini merupakan proses dewatering yang menggunakan peralatan
mekanis. Jenis dewatering mekanis antara lain centrifuge, belt press, vacuum
filter, dan filter press.
Tabel 1.17 Perbandingan karakter Cake Lumpur Hasil dewatering
Mekanis
Jenis Lumpur

Spesific Gravity Padatan


(Ss)

Lime Sludge (Mg


rendah)
Iron Sludge
Ferric Hydroxide
Lime Sludge (Mg
tinggi)
Alumunium Hidroksida
Sumber: Qasim, 2000

Konsentrasi Padatan Cake (%)


Vacuu
m

Centrifug
e

Pressure
Filter

1,19

56,1

60,6

69,5

1,16
1,07

50,1
22,7

55,6
28,8

64,6
36,2

1,05

21

24,8

34,6

1,03

17,2

19

23,2

Centrifuge
Sentrifugasi merupakan salah satu cara dewatering yang menggunakan
kekuatan rotasi cepat silinder untuk memisahkan padatan dan cairan (AWWA,
2005). Melalui proses ini, lumpur yang berasal dari lumpur koagulan, dapat
menghasilkan sludge cake yang memiliki konsentrasi antara 15-25% (AWWA,
2005).
Keuntungan metode ini, yaitu membutuhkan lahan yang tidak luas,
otomatisasi proses yang lengkap, dan kemampuan untuk menangani lumpur
yang encer dan pekat. Sedangkan kerugiannya, yaitu membutuhkan biaya
pemeliharaan yang relatif tinggi (AWWA, 2005).

Gambar 1.23 Centrifuge


(Sumber: Qasim, 2000)

Vacuum Filtration
Peralatan vacuum filtration terdiri dari drum silinder horizontal yang berputar
dan terendam sebagian dalam tangki lumpur. Pada penerapannya menggunakan
conditioning dengan koagulan atau fly ash (AWWA, 2005) untuk memperoleh
hasil optimal. Koagulan pada proses conditioning tersebut adalah bahan kimia
YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-50

polielektrolit, diatom, atau kapur untuk mencegah penyumbatan kain filter dan
meningkatkan kualitas dewatering dari lumpur.
Kelebihan metode ini adalah produk cake yang dihasilkan sesuai dan dapat
dibuang langsung. Sedangkan kekurangannya tidak bisa menyaring lumpur yang
encer . Vacuum filtration biasanya digunakan untuk lumpur hasil pelunakan
(AWWA, 2005).

Gambar 1.24 Vacuum Filter


(Sumber: Qasim, 2000)

Belt Filter Press


Metode ini merupakan kombinasi antara gravity draining dan tekanan
mekanis untuk mengeringkan lumpur. Tipikal belt filter press terdiri dari bagian
pembubuhan bahan kimia (conditioning), bagian gravity drainage, dan bagian
penekanan pengeringan. Bila menggunakan proses ini, lumpur yang berasal dari
koagulan dapat diubah menjadi sludge cake dengan konsentrasi antara 15-30%.
Polimer yang digunakan untuk pengkondisian kimia berkisar antara 1-2.5
g/kg. Kekurangan dari belt filter press ini adalah memerlukan operator khusus,
dan kontrol bau yang sulit dibandingkan dengan teknik dewatering mekanis
lainnya (AWWA, 2005).

Gambar 1.25 Belt Filter Press


(Sumber: Qasim, 2000)

Filter/Plate Press
Filter press menghasilkan konsentrasi cake akhir paling tinggi di antara
metode dewatering mekanis lainnya (AWWA, 2005). Filter press menggunakan
YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-51

sekumpulan kerangka persegi atau lingkaran dengan kain saring. Kandungan


padatan cake yang dihasilkan sekitar 20%-50 % (AWWA, 2005).
Filter press menghasilkan konsentrasi cake akhir paling tinggi di antara
metode dewatering mekanis lainnya (AWWA, 2005). Filter press menggunakan
sekumpulan kerangka persegi atau lingkaran dengan kain saring. Kandungan
padatan cake yang dihasilkan sekitar 20%-50 % (AWWA, 2005).

Gambar 1.26 Filter Press


(Sumber: Qasim, 2000)

1.2.4.4
Pembuangan Lumpur
Pemilihan alternatif pembuangan lumpur harus mempertimbangkan
peraturan yang berlaku dan aspek pembiayaan. Selain itu, karakteristik lumpur
juga harus menjadi pertimbangan dalam metode pembuangan akhir lumpur.
a. Pembuangan Langsung ke Air Permukaan
Secara umum cara ini diterapkan oleh kebanyakan PDAM di Indonesia
hingga saat ini. Hanya beberapa PDAM yang mengalokasikan sumber daya
untuk pengolahan dan pengelolaan lumpurnya secara memadai. Di Negara
maju pun, seperti Amerika, sebelum penerapan undang-undang federal
Water Pollution Act pada tahun 1972 dan Clean Water Act pada tahun 1977,
residu lumpur dibuang langsung ke danau dan sungai.
Sejumlah penelitian untuk mengetahui dampak pembuangan residu IPA ke
badan perairan terhadap biota air telah dilakukan. AWWA Sludge
Committee Report (1987) mengungkapkan bahwa lumpur alum memiliki
beberapa efek terhadap lingkungan, yakni berupa meningkatnya zat
padatan, komponen beracun, toksisitas alumunium, dan benthic deposit
pada badan air penerima.
b. Pembuangan ke IPAL
Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan untuk membuang residual
adalah kompatibilitas proses pengolahan, kapasitas pengolahan, dan syarat
pembuangan akhir. Pengelola IPAL juga harus mempertimbangkan
pretreatment, fasilitas penyimpanan/penampungan, sistem pengangkutan,
dan pembiayaan. Tsang dan Hurdle (1991) mengatakan bahwa ketika
jumlah lumpur alum dialirkan dalam jumlah yang banyak ke influen IPAL,
terdapat beberapa toksisitas yang kronis terhadap biota perairan. Namun
dalam jumlah aliran yang sedikit, tidak ditemukan efek toksik.
YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-52

c. Land Application
Pilihan metode ini mencakup pemanfaatan untuk kegiatan pertanian, dan
kegiatan reklamasi (US EPA, 1995). Potensi kerugian cara ini adalah
meningkatnya konsentrasi logam dalam tanah, bahkan dalam air tanah;
penyerapan fosfor dalam tanah oleh residu air dalam lumpur; dan
menurunnya produktifitas tanah. Pemanfaatan lumpur dalam land
application memerlukan uji properti fisik seperti kohesi, aggregation,
kekuatan, dan tekstur (Aldeeb, 1999)
d. Penimbunan (Landfill)
Penerapan pembuangan lumpur dalam penimbunan dapat dilakukan
sebagai co-disposal, monofilling, atau penstabilan tanah. Pembuangan
lumpur alum dengan padatan 15%, atau lebih, menggunakan sanitasi
landfill merupakan metode paling ekonomis. Lumpur alum diklasifikasikan
sebagai limbah industri, sehingga dideskripsikan sebagai limbah berbahaya.
Beberapa studi menunjukkan bahwa konsentrasi dari alum, klorida, dan besi
merupakan komponen utama di dalam residu yang berasal dari IPA (Aldeeb,
1999).
Kontaminasi air tanah akibat peluruhan logam yang terdapat di residu
merupakan pertimbangan lingkungan yang penting. Faktor yang
mempengaruhi peluruhan logam adalah konsentrasi logam yang terdapat di
residu, dan sejauh mana logam ini dapat berpindah di dalam lahan yang
tersedia (AWWA/ASCE/U.S. EPA, 1996).
Percobaan mengenai penggunaan lumpur IPA sebagai material penutup
timbunan telah beberapa kali dilakukan. Percobaan tersebut menggunakan
lumpur hasil dewatering yang langsung digunakan sebagai materi penutup,
ataupun dicampur terlebih dahulu dengan tanah. Penambahan 50-100%
residu IPA dari berat tanah dapat menjadi penutup tanah yang baik dan
memadai dalam proses penimbunan (Cornwell & Westerhoff, 1981).

Metode ini menghasilkan beberapa keuntungan sebagai berikut:

Ketersediaan material penutup


Penghematan dalam penyediaan tanah penimbun
Perbaikan sifat fisika residu IPA melalui pencampuran dengan tanah
dapat meningkatkan fungsi operasional Tempat Pembuangan Akhir
(TPA) sampah.

1.2.4.5
Perhitungan Pengolahan lumpur
Kandungan padatan pada residual berbeda-beda, tergantung pada
beberapa factor, yaitu dari karakteristik air baku, tipe dan dosis koagulan,
mekanisme koagulasi, dan pH (AWWA/ASCE/U.S. EPA, 1996). Kandungan padatan
pada aliran residual akan memberikan efek yang signifikan terhadap daya tahan
tertentu dan proses dewatering.
Tabel 1.18 Karakteristik Lumpur Koagulan Alum/Besi
Kandungan Padatan
0-5%
8-12%
18-25%
40-50%

Karakteristik Lumpur
Cair
Semi Padat
Soft Clay
Stiff Clay

Sumber: AWWA/ASCE/U.S.EPA, 1996.

YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-53

Specific gravity merupakan properti yang penting yang menyediakan


petunjuk penting tentang karakteristik fisik dan kimia bahan mineral dari lumpur.
Kandungan materi organik dapat menurunkan nilai specific gravity, sedangkan
kandungan logam berat dapat meningkatkan nilai specific gravity (Basim, 1999).
Nilai specific gravity padatan lumpur dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan berikut.

Ws t
SS =

( WfSf + WvSv )

Dimana:
Ss
Wst
Wf
Wv
Sf
Sv

= Specific gravity padatan lumpur


= Fraksi berat padatan kering total
= Fraksi berat padatan tetap (bahan mineral)
= Fraksi berat padatan volatile (bahan organik)
= Specific gravity padatan tetap
= Specific gravity padatan volatil
Dari persamaan untuk mencari nilai specific gravity padatan lumpur
diatas, maka hasilnya digunakan kedalam persamaan berikut untuk
mendapatkan nilai Specific gravity lumpur.

Wslt
SSl =

Ws
+ )
( Ww
Sw Ss

Dimana:
Ssl
Wslt
Ww
Ws
Sw
Ss

= Specific gravity lumpur


= Fraksi berat lumpur total
= Fraksi berat air
= Fraksi berat padatan kering
= Specific gravity air
= Specific gravity padatan lumpur
Nilai Ssl berbeda pada setiap proses serta operasi pengolahan yang
digunakan. Berikut perbandingan nilai Specific gravity lumpur (Ssl) untuk proses
pengolahan yang berbeda.
Tabel 1.19 Data Specifc Gravity Serta Padatan Kering dari Berbagai
Lumpur dari Proses Pengolahan yang Berbeda
Lumpur dari Proses
Operasi/Pengolahan

Spesific Gravity
Padatan (Ss)

Spesific Gravity
Lumpur (Ssl)

Sedimentasi Primer

1,4

1,02

Activated Sludge
Trickling Filter
Filtrasi

1,25
1,45
1,2

1,005
1,025
1,005

YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

Padata
n
Kg/103
m3
110170
70-100
60-100
12-24

I-54

Sumber: Tchobanoglous, 2004

Pada proses koagulasi garam alumunium digunakan sebagai koagulan dan


menghasilkan lumpur yang kental serta mengandung alumunium hidroksida,
partikel lain dan material yang terflokulasi (alberta Environment, 2006). Lumpur
alum sulit untuk proses dewatering karena sifatnya yang thixotropic dan kental
seperti gelatin (UMA group, 1984).
Tabel 1.20 Karakteristik Dominan Dari Lumpur Alum
Parameter

Besaran Umum

pH
Total Solid (%)
Suspended Solid (%)
Alumunium (%)

"5,5-7,5
0,1-4
75-99 dari total solid
4-1 dari total solid

Fosfor Total (mg/l-p)

0,3-200

Sumber: UMA group, 1984.

a. Perhitungan Berat Lumpur


Massa lumpur yang ditimbulkan dari operasi bergantung pada karakteristik
air baku dan koagulan yang dibubuhkan. Banyaknya jumlah lumpur yang
dihasilkan dapat menggunakan perhitungan dari produksi lumpur dari koagulan
alum dan besi dengan menggunakan persamaan berikut (Cornwell et al, 1987).

S=(8,34 Q)(0,44 Al+ SS+ A)


Dimana:
S
Q
Al
SS
A

=
=
=
=
=

timbulan lumpur (lbs/hari)


debit instalasi (mgd)
dosis koagulan alum (mg/L)
suspended solid air baku (mg/L)
bahan kimia lain yang ditambahkan (mg/L)

Nilai padatan tersuspensi dapat ditentukan berdasarkan nilai kekeruhan air


baku. Hubungan antara kekeruhan dengan padatan tersuspensi dinyatakan
dengan persamaan berikut:

SS ( mg/l ) =b . NTU
Faktor pengali b merupakan rasio padatan tersuspensi terhadap kekeruhan 0,7
2,2 (Cornwell et al, 1987).
Selain persamaan di atas, beberapa persamaan lain juga dapat digunakan
untuk menghitung massa lumpur yang ditimbulkan dari operasi pengolahan air.
Perhitungan timbulan lumpur menurut Qasim (2000) ditunjukkan oleh persamaan
berikut.

Q raw solid

kg
106 kg 103 L
=kekeruhana
3 Q
hari
mg
m

( )

Dimana,
YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-55

a
= konstanta tipikal removal kekeruhan (mg TSS/L/NTU)
Q
= debit instalasi (m3/hari)
Jumlah lumpur koagulan dapat dihitung dengan persamaan berikut:
3

Qkoagulan (kg /hari)=b dosis koagulan optimum 10 Kg /g Q


Dimana,
b
= konstanta tipikal koagulan (alum = 0,26 kg/kg)
Q
= debit instalasi (m3/hari)
Sementara itu, Kawamura (2000) menetapkan timbulan lumpur berdasarkan
persamaan berikut:

Timbulan lumpur (lbs/hari) = [Q (mgd) x alum(mg/l) x 0,26 x 8,34(lbs/gal)]


+ [Q (mgd) x kekeruhan (NTU) x 1,3 x 8,34 (lbs/hari)]
Nilai 1,3 merupakan rasio TSS (mg/l) terhadap kekeruhan (NTU); 1,0-2,0

b. Volume Lumpur
Volume lumpur ditentukan oleh kandungan padatan dalam lumpur dan
kandungan airnya. Persamaan yang menghubungkan volume lumpur dengan
massanya adalah sebagai berikut (Metcalf & Eddy, 2004):

V=

Ms
w S sl p s

Dimana,
V
MS
w
Ssl
Ps

=
=
=
=
=

volume lumpur (m3)


massa lumpur (kg)
berat jenis air (kg/m3)
specific gravity lumpur
persen solid yang diproduksi

YURRY ARDIANSYAH PAMUNGKAS (25-2013-072)

I-56

Anda mungkin juga menyukai