Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

FAKTOR-FAKOR YANG BERPENGARUH DALAM


MEMILIH MAKANAN DI INDONESIA

NAMA KELOMPOK
ISMA WENNY
DIAN NILA SARI
YANA JUNILA

DOSEN PEMBIMBING
ERINA MASRI, SKM, M.BIOMED

PRODI S1 GIZI
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERINTIS SUMBAR
TAHUN AJARAN 2016/2017

KATA PENGANTAR
Puji syukur kita ucapkan kepada Tuhan yang Maha Esa ataas berkat dan
rahmat-Nya saya bisa menyelesaikan makalah penulisan ilmiah yang membahas
tentang FAKTOR-FAKOR YANG MEMPENGARUH DALAM MEMILIH
MAKANAN DI INDONESIA. Pada penulisan makalah ini, kami berusaha
menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti oleh semua orang,
sehingga lebih mudah dipahami oleh pembaca. Makalah penulisan ilmiah ini juga
diharapkan dapat bermanfaat bagi kita semua, terutama mahasiswa kesehatan.
Saya menyadari dalam penyusunan makalah ini tidaklah sempurna, masih banyak
kekurangan dan kelemahan didalam penulisan makalah kami, baik dalam segi
bahasa dan pengolahan maupun dalam penyusunan. Untuk itu, kami sangat
mengharapkan saran yang sifatnya membangun demi mencapainya suatu
kesempurnaan dalam makalah ini.

Padang, 2 Oktober 2016

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
BAB II PEMBAHASAN
A.
B.
C.
D.
E.

FAKTOR PERTANIAN
FAKTOR EKONOMI
FAKTOR BUDAYA
FAKTOR FISIOLOGIS
FAKTOR PENGOLAHAN DAN PENYIMPANAN PANGAN

TERHADAP PEMILIHAN MAKANAN


F. FAKTOR KESEHATAN
G. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMILIHAN MAKANAN YANG
ADA DIBERBAGAI DAERAH DI INDONESIA
BAB III
A. PENUTUP
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Budaya membentuk nilai esensial pada sebuah makanan, tetapi ada kalanya
nilai makanan terbentuk karena makanan itu sendiri. Pada dasarnya Parasecoli
(2008:17) mengatakan bahwa makanan sebagai:
When they eat and drink, individuals find themselves at the juncture between
biological necessity, the world of drives and instincts, the inputs from the
outside world, and the tremendous landslide of sensations, feelings, and
emotions resulting from uninterrupted brain activities.
Parasecoli lebih menganalogikan makanan sebagai kebutuhan biologik dan
kebutuhan manusiawi. Makanan turut serta membentuk sensasi, perasaan, dan
emosi sebagai hasil aktivitas kognitif. Kebutuhan yang selalu, dan dikaitkan
dengan insting, memberikan pemahaman bahwa makanan dibutuhkan setiap hari.
Terkait dengan hal tersebut, Mints (2008:21) mengartikan makanan sebagai:
in society is a culturally inflected vehicle of symbolic meaning. So prosaic
and everyday, and yet so vital, food is among the most powerful of all social
indices of difference and identity.
Mints dalam pemahaman yang lebih mendalam memperlihatkan bahwa dalam
masyarakat, aktivitas makan sebuah makanan mempunyai nilai simbolik
tersendiri. Makanan di konsumsi setiap hari dan menjadi sesuatu yang prioritas.
Makanan merupakan kekuasaan terkuat dalam menentukan perbedaan dan
identitas.Melanjutkan Mints, terkait dengan hal serupa Parasecoli (2008:2) juga
menekankan bahwa makanan mempunyai artian yang lebih sebagai berikut:
Food is pervasive. The social, economic, and even political relevance cannot
be ignored. Ingestion and incorporation constitute a fundamental component
of our connection with reality and the world outside our body. Food
influences our lives as a relevant marker of power, cultural capital, class,
gender, ethnic, and religious identities.
Makanan merupakan sebuah perpaduan aktivitas dalam tataran sosial, ekonomi,
bahkan relevansi politik. Makanan, aktivitas makan dan jenis makanan

dipengaruhi oleh relevansi kehidupan terhadap kekuasaan, kebudayaan kapital,


pembagian kelas, pembedaan gender, etnik, dan identitas agama. Dari telaah di
atas, secara eksplisit dapat dilihat bahwasanya makanan terbentuk dengan
kontekstual yang kuat.
Penentuan jenis pangan yang dikonsumsisangat tergantung pada beberapa
faktor, di antaranya jenis tanaman penghasil bahanmakanan pokok yang biasa
ditanam di daerah tersebut serta tradisi yang diwariskanoleh budaya setempat.
Perilaku konsumsi pangan masyarakat dilandasi oleh kebiasaanmakan (food
habit) yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga melaluiproses
sosialisasi. Kebiasaan makan tersebut dapat dipengaruhi oleh lingkunganekologi
(ciri

tanaman

pangan,

ternak

dan

ikan

yang

tersedia

dan

dapat

dibudidayakansetempat), lingkungan budaya dan sistem ekonomi .


Berkaitan dengan aspek psikologi pemilihan bahan pangan, Gibney dkk
(2005)menjelaskan bahwa studi pemilihan makanan pada manusia melibatkan
banyakinteraksi kompleks yang mencakup berbagai bidang, mulai dari mekanisme
biologispengendalian selera makan, psikologi perilaku makan, nilai-nilai sosial
dan budaya,hingga berbagai upaya kesehatan masyarakat dan komersial untuk
mengubah asupanmakanan pada populasi tertentu.
Pemilihan makanan tampak jelas sebagai hasil akhirsuatu proses pengambilan
keputusan sebagai tujuan maupun sebagai suatu mekanismeatau proses.
Berdasarkan tinjauan psikologi perilaku makan, ada beberapa atributpersonal yang
mempengaruhi

individu

dalam

memilih

bahan

pangan,

antara

lain

persepsiterhadap atribut sensorik (misalnya cita rasa dan tekstur), faktor psikologi
(misalnyafaktor emosi seperti mood dan faktor sikap) dan lingkungan sosial
(misalnya normabudaya, pengiklanan, faktor ekonomi, dan ketersediaan produk
pangan). Pemahamanproses pemilihan makanan di tingkat individu bersifat
kompleks. Pengalaman dalamperjalanan hidup individu akan mempengaruhi
faktor-faktor utama yang berpengaruhterhadap proses pemilihan makanan.
Faktor tersebut mencakup idealisme, faktorpersonal, sumber daya, konteks
sosial dan konteks makanan. Selanjutnya pengaruhtersebut menginformasikan

pengembangan berbagai sistem personal untuk memilihmakanan menggunakan


negosiasi nilai-nilai dan strategi perilaku. Model perilakumemilih makanan
berdasarkan atribut personal dapat dilihat pada gambar 1.

oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan membahas faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap pemilihan makanan, serta mengidentifikasikan makanan
yang ada di berbagai daerah dengan faktor yang mempengaruhi pemilihan
makanan tersebut.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja pengaruh faktor pertanian terhadap pemilihan makanan
2. Apa saja pengaruh faktor ekonomi terhadap pemilihan makanan
3. Apa saja pengaruh faktor budaya terhadap pemilihan makanan
4. Apa saja pengaruh faktor fisiologis terhadap pemilihan makanan
5. Apa saja pengaruh faktor pengolahan dan penyimpanan pangan
terhadap pemilihan makanan
6. Apa saja pengaruh faktor kesehatan terhadap pemilihan makanan
7. Bagaimana faktor yang mempengaruhi pemilihan makanan
yang ada diberbagai daerah di Indonesia
C. TUJUAN
1. mengetahui pengaruh faktor pertanian terhadap pemilihan makanan
2. mengetahui pengaruh faktor ekonomi terhadap pemilihan makanan

3. mengetahui pengaruh faktor budaya terhadap pemilihan makanan


4. mengetahui pengaruh faktor fisiologis terhadap pemilihan makanan
5. mengetahui pengaruh faktor pengolahan dan penyimpanan pangan
terhadap pemilihan makanan
6. mengetahui pengaruh faktor kesehatan terhadap pemilihan makanan
7. mengidentifikasikan makanan yang ada di berbagai daerah dengan
faktor yang mempengaruhi pemilihan makanan

BAB II
PEMBAHASAN
A. FAKTOR PERTANIAN
Kliendienst

dalam

telaahnya

menceritakan

tentang

aktivitas

dalam

mengkonsumsi pangan sebagai kebutuhan yang primer.Bila halnya masyarakat


tidak mempunyai lahan, maka mereka tidak dapat mengkonsumsi pangan.Lahan
dan pertanian menjadi sebuah kesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Serupa
dengan Kliendienst, Koentjaraningrat (1994:168) mengemukakan bahwa sejak
lama petani jawa menanam hasil bumi dalam bidang-bidang tanah. Pelzer
(1963:124) juga menambahkan bahwa 15 tahun yang lalu dilaporkan bahwa setiap
petani Jawa rata-rata memiliki setengah hektar tanah yang terbagi atas tegalan dan
sawah. Secara eksplisit dapat dilihat bahwa setiap masyarakat mempunyai lahan
sebagai modal dalam bertani. Telaah lebih lanjut menjelaskan bahwa pertanian
merupakan lumbung kehidupan masyarakat. Masyarakat dengan basis agrikultur

melakukan barter dalam memenuhi konsumsi pangan mereka dalam melengkapi


kebutuhannya. Terjadi pertukaran hasil pangan yang didasarkan atas kebutuhan.
Hal ini secara implisit menjelaskan bahwa masyarakat bersifat subsisten dalam
memenuhi kebutuhan pangannya.
Indonesia, negara dengan kondisi sumberdaya alam yang subur nan
melimpah, terletak di bentangan Khatulistiwa membuatnya menjadi indah
menghijau dari Sabang sampai Merauke. Karena kesuburannya, Ibu Pertiwi
Indonesia dijuluki sebagai negara agraris dimana sebagian besar penduduknya
bermatapencaharian sebagai petani. Berdasarkan data Departemen Pertanian, luas
lahan sawah Indonesia mencapai 7,6 juta Ha. Lahan yang subur sangat berpotensi
untuk ditanami tanaman pangan, seperti padi dan jagung. Tanaman pangan
dibutuhkan sebagai bahan makanan pokok bagi seluruh penduduk. Ketersediaanya
harus

diperhatikan guna memenuhi kebutuhan makanan pokok secara

berkelanjutan dan memenuhi syarat gizi. Di Indonesia sendiri rata-rata


penduduknya mengkonsumsi beras (berasal dari padi) sebagai makanan pokok
sehari-hari, padahal di Indonesia dapat ditanami berbagai macam tanaman pangan
seseuai kearifan lokal masing-masing daerah seperti jagung, ketela dan sagu.
Tanaman pangan jagung dapat menjadi alternatif kedua bahan makanan pokok
utama setelah beras.
B. FAKTOR EKONOMI
Pendapatan rumah tangga adalah jumlah pendapatan yang diperoleh dari
pendapatan semua anggota rumah tangga dari berbagai kegiatan ekonomi seharihari misalnya upah dan gaji, hasil produksi pertanian dikurangi biaya produksi,
pendapatan dari usaha rumah tangga bukan pertanian dan pendapatan dari
kekayaaan seperti sewa rumah, sewa alat, bunga, santunan asuransi, dan lain-lain
(Surbakti, 1995).
Berbagai upaya perbaikan gizi biasanya berorientasi pada tingkat pendapatan.
Seiring makin meningkatnya pendapatan, maka kecukupan akan makanan dapat
terpenuhi. Dengan demikian pendapatan merupakan faktor utama dalam
menentukan kualitas dan kuantitas bahan makanan. Besar kecilnya pendapatan
rumah tangga tidak lepas dari jenis pekerjaan ayah dan ibu serta tingkat
pendidikannya (Soekirman, 1991).

Pada rumah tangga dengan pendapatan rendah, 60-80 % dari pendapatannya


dibelanjakan untuk makanan. Elastisitas pendapatan untuk makanan yang
digambarkan dari persentase perubahan kebutuhan akan makanan untuk tiap 1 %
perubahan pendapatan, lebih besar pada rumah tangga yang miskin dibandingkan
pada rumah tangga kaya (Soekirman, 1991).
Penelitian Crotty, dkk (1989) menunjukkan bahwa pada rumah tangga dengan
tingkat pendapatan rendah di Australia mengalokasikan uangnya dalam jumlah
yang sedikit untuk bahan makanan seperti gandum, produk susu, buah dan
sayuran.

Pengeluaran

rumah

tangga

sebagai

proksi

dari

pendapatan

mempengaruhi tingkat konsumsi rumah tangga. Semakin besar pengeluaran total


mengakibatkan konsumsi energi rumah tangga juga bertambah dengan kata lain
apabila pengeluaran total rumah A. kekayaaan seperti sewa rumah, sewa alat,
bunga, santunan asuransi, dan lain-lain (Surbakti, 1995).
Berbagai upaya perbaikan gizi biasanya berorientasi pada tingkat pendapatan.
Seiring makin meningkatnya pendapatan, maka kecukupan akan makanan dapat
terpenuhi. Dengan demikian pendapatan merupakan faktor utama dalam
menentukan kualitas dan kuantitas bahan makanan. Besar kecilnya pendapatan
rumah tangga tidak lepas dari jenis pekerjaan ayah dan ibu serta tingkat
pendidikannya (Soekirman, 1991).
Pada rumah tangga dengan pendapatan rendah, 60-80 % dari pendapatannya
dibelanjakan untuk makanan. Elastisitas pendapatan untuk makanan yang
digambarkan dari persentase perubahan kebutuhan akan makanan untuk tiap 1 %
perubahan pendapatan, lebih besar pada rumah tangga yang miskin dibandingkan
pada rumah tangga kaya (Soekirman, 1991).
Penelitian Crotty, dkk (1989) menunjukkan bahwa pada rumah tangga dengan
tingkat pendapatan rendah di Australia mengalokasikan uangnya dalam jumlah
yang sedikit untuk bahan makanan seperti gandum, produk susu, buah dan
sayuran.

Pengeluaran

rumah

tangga

sebagai

proksi

dari

pendapatan

mempengaruhi tingkat konsumsi rumah tangga. Semakin besar pengeluaran total


mengakibatkan konsumsi energi rumah tangga juga bertambah dengan kata lain
apabila pengeluaran total rumah tangga bertambah maka pertambahan tersebut

digunakan

untuk

memenuhi

kekurangan

konsumsi

energi

(Arifin

dan

Sudaryanto,1991).
Upaya pemenuhan konsumsi makanan yang bergizi berkaitan erat dengan
daya beli rumah tangga. Rumah tangga dengan pendapatan terbatas, kurang
mampu memenuhi kebutuhan makanan yang diperlukan tubuh, setidaknya
keanekaragaman bahan makan kurang bisa dijamin karena dengan uang yang
terbatas tidak akan banyak pilihan. Akibatnya kebutuhan makanan untuk tubuh
tidak terpenuhi (Apriadji, 1986).
Ada batasan penghasilan terendah yang dinyatakan oleh Sajogyo (1977)
tentang pita kemiskinan yang dinyatakan dalam setara beras; berbunyi bahwa
makanan atau bahan makanan yang dapat dibeli untuk rumah tangga tidak
mencukupi untuk memelihara kesehatan seluruh rumah tangga (Suhardjo, 1989).
Batasannya yaitu :
1. Paling miskin : pengeluaran yang diukur dengan ekuivalen beras mencapai
270 kg di perkotaan dan 180 kg di pedesaan.
2. Miskin sekali : 360 kg beras di perkotaan dan 240 kg beras di pedesaan
3. Miskin : bila mencapai ekuivalen 480 kg di perkotaan dan 320 di
daeKriteria yang ditetapkan oleh BPS (2004) bahwa kriteria kemiskinan
untuk seorang anggota masyarakat adalah sebesar Rp 175.000,- per kapita
per bulan untuk daerah pedesaan.rah pedesaan.
C. FAKTOR BUDAYA
Budaya telah menjadi konsep penting dalam memahami masyarakat dan
kelompok manusia untuk waktu yang lama. Budaya dapat diartikan sebagai
gabungan kompleks asumsi tingkah laku, cerita, mitos, metafora dan berbagai ide
lain yang menjadi satu untuk menentukan apa arti menjadi anggota masyarakat
tertentu. Pengertian lain budaya adalah sebagai suatu pola semua susunan baik
material maupun perilaku yang sudah diadposi masyarakat sebagai suatu cara
tradisional dalam memecahkan masalah-masalah para anggotanya (Moeljono,
2003).
Para ahli antropologi, memandang kebiasaan makan merupakan kompleks
keseluruhan dari aktifitas yang berhubungan dengan dapur, kegemaran, dan
ketidaksukaan pada suatu jenis makanan, pepatah-pepatah rakyat, kepercayaan,

larangan-larangan dan takhyul yang berhubungan dengan produksi, persiapan


pengolahan makanan dan konsumsi makan sebagai kategori pokok dari
kebudayaan (Anderson, 1978).
Kebiasaan makan pada kelompok yang didasarkan status hubungan rumah
tangga mempengaruhi distribusi makanan kepada anggota kelompok, yang
menyangkut mutu dan jumlah makanan. Distribusi makanan didasarkan pada
status hubungan antar anggota rumah tangga dan bukan atas pertimbanganpertimbangan kebutuhan gizi (Khumaidi, 1994).
Makanan yang sering dimakan oleh sekelompok masyarakat mungkin
berbeda dengan makanan yang biasa dimakan kelompok masyarakat lain. Tetapi
makanan yang dimakan oleh anggotaanggota satu kelompok masyarakat
umumnya tidak banyak berbeda. Pola makan (food pattern) adalah kebiasaan
memilih dan mengkonsumsi bahan makanan oleh sekelompok individu. Pola
makan dapat memberi gambaran mengenai kualitas makanan masyarakat
(Suparlan, 1993).
Pola makan pada dasarnya merupakan konsep budaya bertalian dengan
makanan yang banyak dipengaruhi oleh unsur sosial budaya yang berlaku dalam
kelompok masyarakat itu, seperti nilai sosial, norma sosial dan norma budaya
bertalian dengan makanan, makanan apa yang dianggap baik dan tidak baik
(Sediaoetama, 1999). Faktor sosial budaya yang berpengaruh terhadap kebiasaan
makan dalam masyarakat, rumah tangga dan individu menurut Koentjaraningrat
meliputi apa yang dipikirkan, diketahui dan dirasakan menjadi persepsi orang
tentang makanan dan apa yang dilakukan, dipraktekkan orang tentang makanan.
Kebiasaan makan juga dipengaruhi oleh lingkungan (ekologi, kependudukan,
ekonomi) dan ketersediaan bahan makanan.
Manusia makan untuk kenikmatan. Kesukaan akan makanan berbeda dari
satu bangsa ke bangsa lain, dan dari daerah/suku ke daerah /suku lain. Di
Indonesia, kesukaan makanan antar daerah/suku juga banyak berbeda. Makanan di
Sumatra, khususnya di Sumatra Barat lebih pedas daripada makanan di Jawa,
khususnya Jawa Tengah yang suka makanan manis. Secara umum makanan yang
disukai adalah makanan yang memenuhi selera atau citarasa/inderawi, yaitu dalam
hal rupa, warna, bau, rasa, suhu dan tekstur (Almatsier, 2001). Hasil penelitian
Drewnowski (1999) menyebutkan ada hubungan yang siginifikan preferensi
makanan dengan frekuensi makan pada wanita.

D. FAKTOR FISIOLOGIS
Faktor yang menimbulkan kebutuhan untuk makan saat rasa lapar dan
menghentikan asupan makanan selanjutnya saat rasa kenyang. (Barasi. ME, 2007:
22)
Faktor Fisiologi yang Mempengaruhi Masukan Makanan (Hunger, satiety and
appetite).Rasa lapar secara fisiologis di artikan sebagai tanda internal yang
merangsang akuisisi dan konsumsi makanan, sedang rasa kenyang merupakan
keadaan sebaliknya. Mekanisme terjadi rasa lapar / kenyang sangat kompleks.
Pusat rasa lapar dan kenyang terdapat pada hipotalamus, masing-masing di bagian
nukleus lateralis dan nukleus ventromedialis, keduanya dinamakan appestat.(12)
Berbagai teori tentang peran nutrien pada terjadinya rasa lapar dan kenyang telah
di kenal, antara lain :(1)
1. Teori glukostatik : kemoreseptor di nukleus ventromedialis mempunyai
afinitas terhadap glukosa dan diaktifkan olehnya. Bila utilisasi glukosa
tinggi, reseptor ini berlaku sebagai rem terhadap nukleus lateralis
sehingga proses makan kemudian berhenti. Sebaliknya, bila utilisasi
glukosa rendah, tidak terjadi stimulasi pada reseptor ventromedialis dan
timbul rasa lapar yang menyebabkan terjadinya konsumsi makanan.
2. Teori lipostatik : menurut teori ini, terdapatnya metabolit seperti
lipoprotein lipase yang beredar dalam darah mempengaruhi hipotalamus
untuk membentuk set point yang menentukan masukan energi. Set point
ini dapat berubah setiap waktu sesuai jumlah jaringan lemak tubuh.
3. Teori aminostatik : kadar asam amino pada sirkulasi darah dapat
menentukan mulainya atau berakhirnya rasa lapar. Binatang akan makan
lebih banyak pada diet rendah protein serta menunjukan kecenderungan
untuk memilih makanan dengan kandungan asam amino yang seimbang.
Teori termostatik : pada

lingkungan dingin binatang makan lebih banyak

dibandingkan pada lingkungan panas. Selain ke-4 teori di atas, telah diketahui
bahwa sekitar 20-30 peptida di usus bersifat sebagai hormon dan neoro transmiter
sehingga merupakan pertanda internal. Sebagai contoh :
1

gastrin : meningkatkan kontraksi lambung masukan makanan meningkat.

2
3
4
5
6

kolesistokinin : mengurangi kontraksi masukan makanan menurun.


glikogen hati rendah lapar.
insulin menurunkan glukosa darah masukan makanan meningkat.
dopamin makan lebih banyak.
serotanin makan berkurang.
Demikian pula beberapa keadaan dapat mempengaruhi rasa lapar / kenyang
seperti kegiatan fisik, keadaan sakit, lingkungan fisik maupun psikis.

E. FAKTOR PENGOLAHAN DAN PENYIMPANAN PANGAN


Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Setiap manusia hidup
membutuhkan pangan untuk pertumbuhan dan mempertahankan hidup. Selain itu
pangan juga berfungsi sebagai sumber energi untuk manusia melakukan aktivitas
sehari-hari. Untuk menunjang semua aktivitas manusia tentunya dibutuhkan
sumber pangan yang sehat dan bergizi (PERSAGI, 2009).
Mutu pangan (food quality) merupakan hal utama yang harus diperhatikan oleh
setiap individu dan pengelola pangan dari skala rumah tangga maupun industri
pangan skala besar. Keamanan pangan (food safety) dibutuhkan guna membuat
produk pangan aman untuk dikonsumsi, misalnya tidak banyak mengandung
sumber penular penyakit (infectious agent) dan tidak mengandung bahan kimia
beracun atau mengandung benda asing (foreign objects) (Hariyadi, 2009).
Pengolahan makanan adalah proses pengubahan bentuk dari bahan mentah
menjadi makanan yang siap santap. Pengolahan makanan yang baik adalah yang
megikuti kaidah dari prinsip-prinsip hygiene dan sanitasi. (Depkes RI, 2004)
Selama proses pengolahan makanan kebersihan dan kesehatan juru masak
sangat penting. Selain harus memiliki keahlian dalam memasak, juru masak juga
harus memperhatikan kebersihan perorangan, seperti pemakaian alat pelindung
diri berupa celemek, mencuci tangan saat menjamah makanan, memotong dan
menjaga kebersihan kuku (Arisman, 2012). Setiap pengolahan makanan selesai
dilakukan kemudian makanan harus disimpan di tempat yang aman.
Tempat penyimpanan makanan harus selalu terpelihara dan dalam keadaan bersih.
Penempatan bahan makanan juga harus terpisah dari makanan jadi atau makanan
siap saji. Selain itu penyimpanan makanan harus terbebas dari debu, bahan kimia
berbahaya, serangga, dan hewan lainnya (Arisman, 2012). Ketersediaan makanan
adalah suatu kondisi dalam penyediaan makanan yang mencakup makanan dan

minuman tersebut berasal apakah dari tanaman, ternak atau ikan bagi rumah
tangga dalam kurun waktu tertentu. Ketersediaan makanan dalam rumah tangga
dipengaruhi antara lain oleh tingkat pendapatan (Baliwati dan Roosita,2004).
Ketersediaan makanan terkait dengan usaha produksi, distribusi dan
perdagangan makanan. Ketahanan pangan di tingkat mikro dinilai dari
ketersediaan dan konsumsi makanan dalam bentuk energi dan protein per kapita
per hari (Suryana, 2004).
Ketahanan pangan tingkat rumah tangga sangat tergantung pada cukup
tidaknya pangan yang dikonsumsi oleh setiap anggota rumah tangga dalam rangka
mencapai gizi yang baik dan hidup sehat. Informasi ketahanan pangan tingkat
rumah tangga hanya dapat diketahui berdasarkan perkiraan pengeluaran pangan
dalam seminggu terakhir.
Dari data SUSENAS tahun 1995 dan 2003 terjadi perubahan rasio pengeluaran
pangan sumber energi dari 32,64% pada Tahun 1995 menjadi 24,2% pada Tahun
2003. Pengeluaran pangan untuk makanan jadi meningkat dari 7,9% pada Tahun
1995 menjadi 8,7% pada Tahun 2003 (Atmarita dan Fallah, 2004).
Dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1996 tentang pangan disebutkan
ketahanan pangan adalah keadaan dimana setiap rumah tangga mempunyai akses
terhadap makanan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutu gizinya serta
aman. Diversifikasi konsumsi makanan diarahkan untuk memperbaiki konsumsi
makanan penduduk baik jumlah mutu dan keragaman sehingga dapat diwujudkan
konsumsi makanan dan gizi yang seimbang. Berdasarkan angka kecukupan gizi
yang dianjurkan, ratarata kecukupan energi dan protein per kapita per hari bagi
penduduk Indonesia masing-masing 2000 kkal dan 52 gram pada tingkat
konsumsi, serta 2.200 kkal dan 57 gram pada tingkat penyediaan (Badan
Ketahanan Pangan Sulteng, 2004).

F. FAKTOR KESEHATAN
Persepsi merupakan bagian dari sikap dan proses akhir dari pengamatan.
Pangan yang sehat adalah makanan dan minuman yang seimbang kandungan zat
gizinya serta memperhatikan faktor kesehatan. Berdasarkan Tabel 1, tidak terdapat
subjek yang memiliki persepsi negatif tentang pangan sehat yaitu sikap yang
cenderung ke arah ketidaksetujuan pada kategori pangan sehat yang harus

beragam, aman, terdapat kandungan zat gizi dalam pangan, dan memperhatikan
konsumsi cairan serta suplemen.

Hal tersebut dapat disebabkan karena latar pendidikan subjek yang seluruhnya
merupakan mahasiswa Program Studi Sarjana Ilmu Gizi, sehingga pencarian
ataupun penerimaan informasi mengenai pangan sehat lebih banyak. Pangan yang
segar atau belum diolah dan kandungan lemaknya menjadi karakteristik penting
dalam mengevaluasi pangan sehat pada subjek di Amerika Serikat (Oakes &
Slotterback 2002). Sementara itu kandungan sodium, protein, vitamin atau
mineral bukan menjadi hal yang penting. Hasil penelitian Lake et al. (2007)
menunjukkan bahwa 54,0% individu memiliki persepsi tentang makanan sehat
berupa makanan yang mengandung komponen pangan yang seimbang. Makanan
sehat didefinisikan sebagai makanan seimbang dengan jumlah makanan berlemak
dan produk olahan susu pada tingkat sedang dan jumlah buah dan sayur yang
banyak. . Penelitian Lake et al. (2007) menunjukkan bahwa subjek memiliki
penekanan jika makanan yang sehat adalah makanan yang dibuat sendiri dan
bebas dari bahan pengawet. Individu menggambarkan bahwa jenis lemak yang
tidak baik dalam makanan adalah asam lemak jenuh dan kolesterol. Individu
memiliki persepsi bahwa makanan yang sehat adalah makanan yang rendah
lemak, segar, dan diolah sendiri, serta memasuk buah -buahan dan sayuran ke
dalam menu makannya. Secara keseluruhan persepsi tentang makanan sehat
dikatakan telah sejalan dengan rekomendasi yang dianjurkan saat ini. Makanan
yang sehat dipersepsikan harus dikurangi kandungan garamnya, pangan
olahannya, pangan cepat saji, dan pangan tinggi lemaknya.
Pada kategori status gizi normal alasan utama dalam pemilihan pangannya
adalah kandungan alami dalam pangan, kesehatan, dan harga. Pada kategori status
gizi lebih dan kurang alasan utama dalam pemilihan pangannya adalah kesehatan,
kandungan alami dalam pangan, dan sensorik. Terlihat bahwa pada subjek dengan
kategori status gizi lebih dan kurang, alasan sensorik atau tampilan dari pangan
merupakan hal yang penting dalam pemilihan pangan. Penelitian Ree et al. (2008)

menunjukkan bahwa sekitar 70% remaja tidak memperhatikan masalah kesehatan


dalam pemilihan pangan, dengan alasan pengendalian berat badan sebagai
perhatian utama. Jika dilihat dari semua kelompok usia, maka 45% laki-laki dan
65% perempuan melakukan pemilihan pangan karena alasan kesehatan.
Berdasarkan penelitian Steptoe dan Pollard (1995) alasan sensorik, harga dan
kesehatan menjadi alasan utama dalam pemilihan pangan pada usia 17-89 tahun.

G. PEMILIHAN

MAKANAN

DIBERBAGAI

DAERAH

(SUKU) DI

INDONESIA DENGAN BERBAGAI FAKTOR


1. Masyarakat Gunung Sereng (Madura)
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Dwi Margareta pada tahun 2014
mengenai Kajian Tentang Pola Konsumsi Makanan Utama Masyarakat Desa
Gunung Sereng Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan Madura

Faktor

utama yang mempengaruhi pola konsumsi makan di Desa Gunung Sereng adalah
faktor geografis. Keadaan wilayah yang ada sangat mempengaruhi pola konsumsi
makan pada masyarakat di Desa Gunung Sereng. Hasil pertanian penduduk Desa
Gunung Sereng dengan kondisi wilayah yang dekat dengan pegunungan
menghasilkan beberapa sumber pertanian. Masyarakat menggantungkan hidup
dengan mengkonsumsi hasil panen yang ada yaitu jagung. Jagung digunakan
sebagai makanan pokok yang diolah dalam bentuk nasi jagung, sekitar 70%
masyarakat Desa Gunung Sereng mengkonsumsinya setiap hari.

Selain faktor kondisi alam yang mendorong masyarakat Desa Gunung Sereng
tetap mempertahankan dengan bergantung pada hasil pertanian. Faktor lain yang
menunjang adalah faktor pendapatan, pengetahuan, dan adanya faktor budaya
berupa tradisi yang dilaksanakan secara turun temurun. Dipandang dari segi
budaya yang berhubungan dengan budaya makan di Desa Gunung Sereng kurang
beragam dimulai dari bagaimana masyarakat memperoleh bahan makanan,
mengolah, serta mengkonsumsinya. Pola makan yang kurang beragaman tersebut
dipengaruhi oleh keterbatasan akses yang sulit dan pengetahuan masyarakat yang
kurang potensial untuk memenuhi kebutuhan makanan yang beragam dan
bervariasi, sehingga tradisi makan yang telah membudaya tidak bermacammacam.
Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian kualitatif Teknik
pengumpulan

data

yang

digunakan

adalah

observasi,

wawancara,

dan

dokumentasi, berikut pembahasan dari penelitian tersebut.


Mata pencaharian sebagian besar penduduk Desa Gunung Sereng adalah sebagai
petani dan buruh tani, hal ini dilatar belakangi oleh letak Desa Gunung Sereng
yang terpencil jauh dari pusat Kabupaten Bangkalan, sehingga untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya dilakukan dengan cara bertani menggunakan lahan kering
dengan sistem pertanian tadah hujan. Selain sebagai petani dan buruh tani,
penduduk Desa Gunung Sereng juga mengembangkan ternak sapi dan kambing.
Kebiasaan makan

1. Cara mendapatkan sumber pangan


Dalam memenuhi kebutuhan makanan yang akan dikonsumsi, cara yang
dilakukan oleh masyarakat Desa Gunung Sereng berbeda-beda, hal ini disebabkan
proses mendapatkan dari mana asal bahan pangan tersebut didapatkan. Untuk
memperoleh sumber pangan di Desa Gunung Sereng yaitu masyarakat yang
memiliki lahan pertanian dan masyarakat yang tidak memiliki lahan pertanian.
2. Pemilihan bahan makanan

Pemilihan bahan makanan yang akan diolah sebagai makanan sehari-hari ini
ditentukan oleh ibu rumah tangga. Peran ibu rumah tangga adalah mulai dari
menyusun menu sampai menyajikan makanan. Dalam menentukan makanan
pokoknya, mayoritas masyarakat Desa Gunung Sereng memilih jagung yang
diolah sebagai nasi jagung sebagai makanan pokoknya. Sedangkan dalam memilih
hidangan pelengkapnya, para ibu rumah tangga memilih lauk pauk yang berasa
dari hewani dan nabati dengan harga yang terjangkau atau murah. Untuk
menentukan jenis sayuran yang akan diolah, biasanya masyarakat Desa Gunung
Sereng mengambil sayuran yang tersedia di sawah. Pengolahan sayur ini tidak
disesuaikan dengan jenis lauk pauk yang dimasak.
3. Penyusunan menu makan sehari-hari
Penyusunan menu sehari-hari ini disesuaikan dengan jumlah pendapatan keluarga
setiap harinya. Bagi rumah tangga yang mempunyai penghasilan yang rendah,
maka akan menyusun menu makan sehari-hari yang sederhana dan tidak
bervariasi. Berbeda dengan rumah tangga yang mempunyai penghasilan sedang
dan tinggi, maka akan menyusun menu makan sehari-hari dengan hidangan
pelengkap yang beragam.
4. Pengolahan dan penyajian makanan

Pengolahan makanan sehari-hari pada masyarakat Desa Gunung Sereng, tidak ada
cara pengolahan yang khusus pada makanan tertentu. Dalam pengolahan nasi
jagung tersebut, tidak ada cara khusus atau tertentu dalam mengolah jagung
menjadi sebuah makanan pokok yang merupakan salah satu makanan yang
berkarbohidrat tinggi seperti di Desa Gunung Sereng. Sama seperti halnya dengan
pengolahan nasi jagung, hidangan pelengkap baik berupa lauk-pauk dan sayur
juga tidak ada cara khusus untuk mengolahnya, biasanya teknik pengolahan yang
sering dilakukan adalah merebus, menggoreng, dan mengukus. Cara penyajian
nasi jagung dan hidangan pelengkapnya ini biasanya disajikan di meja makan.

5. Pendistribusian makanan

Dalam proses pendistribusian makanan dalam keluarga, masyarakat Desa Gunung


Sereng terdapat kecenderungan untuk memprioritaskan suami daripada anggota
rumah tangga lainnya. Suami biasanya diberikan keistimewaan dalam beberapa
hal, seperti mendapatkan makanan yang paling banyak. Tetapi masyarakat Desa
Gunung Sereng tidak mempunyai prioritas kepada anggota keluarga untuk
menikmati makanan dahulu, jadi setiap anggota keluarga boleh menikmati
makanan secara langsung.

6. Tabu atau pantang makanan


Pada masyarakat Desa Gunung Sereng terdapat salah satu bahan makanan yang
pantang atau tidak boleh dikonsumsi oleh masyarakat setempat yaitu ikan
mundung. Konsumsi ikan mundung ini dianggap tabu dikarenakan masyrakat
Desa Gunung Sereng menganggap dan mempercayai bahwa jika mengkonsumsi
ikan mundung ini dapat menganggu kesehatan yaitu menyebabkan gatal-gatal
pada kulit. Oleh karena itu, ikan mundung merupakan makanan yang dipantang
oleh masyarakat Desa Gunung Sereng.

7. Nilai sosial makan


Makanan sebagai arti budaya: masyarakat Desa Gunung Sereng tidak boleh
mengkonsumsi ikan mundung, karena dianggap ikan ini dapat menyebabkan
gangguan kesehatan pada samua masyarakat. Makanan sebagai simbol kekuasaan:
dalam distribusi makanan utama pada keluarga masyarakat Desa Gunung Sereng,
makanan suami atau kepala keluarga harus diutamakan, karena suami adalah
pencari nafkah utama.

1. Makanan pokok
Jagung putih merupakan jagung yang dikonsumsi sebagai makanan pokok oleh
masyarakat Desa Gunung Sereng. Jagung putih mempunyai tekstur bijinya yang
keras, warna yang sedikit terang, dan mencolok. sehingga bagus untuk dibuat nasi
jagung. Penanaman jagung putih tidak memakan waktu yang sangat lama untuk
proses penanamannya. Jagung putih lokal sudah biasa ditanam petani di lahan
kering dataran tinggi di Desa Gunung Sereng karena kebanyakan di wilayah Desa
Gunung Sereng Kecamatan Kwanyar menggunakan jagung putih sebagai
makanan pokok sebagai bahan makanan, jagung putih ini banyak mengandung
karbohidrat, protein,lemak dan nutrisi. Masyarakat Desa Gunung Sereng
memanfaatkan jagung putih sebagai makanan pokok sehari-hari, karena jagung
merupakan hasil komoditas utama pertaniannya. Konsumsi jagung sebagai
makanan pokok ini dipengaruhi oleh kondisi alam setempat yang menghasilkan
produktivitas tanaman jagung putih yang tinggi. Masyarakat Desa Gunung Sereng
mengkonsumsi makanan yang berasal dari jagung sudah sejak lama yaitu sejak
dari kecil. Dimana mereka kenal dengan masakan nasi jagung dikenalkan oleh
orang tua mereka, karena pada saat kecil Ibu mereka sering menghidangkan
makanan tersebut di meja makan. Menurut Ibu Martamah selain mengkonsumsi
nasi

jagung

sebagai

makanan

pokok

sehari-hari,

biasanya

masyarakat

mengkonsumsi nasi jagung pada acara-acara khusus seperti acara keagamaan dan
acara yang diadakan seperti bersih desa, acara maulid nabi, isro miroj, dan
hataman Quran. Nasi jagung yang disajikan pada acara-acara tertentu biasanya
disajikan dalam nampan atau baki yang terbuat dari bambu atau seng. Makanan
pokok nasi jagung ini berfungsi juga sebagai simbolis hubungan sosial antara
masyarakat setempat. Nasi jagung atau biasa orang menyebut di Desa Gunung
Sereng dengan sebutan nasek jegung telah lama dikenal oleh masyarakat, namun
karena proses membuat dari bentuk jagung pipil hingga nasi yang lama, meliputi
proses penumbukan berulang serta penjemuran, tetapi penerimaannya sebagai
makanan pokok masih lebih tinggi daripada nasi biasa. Pola makan masyarakat
Desa Gunung Sereng terhadap jagung khusunya nasi jagung selayaknya
mengkonsumsi makanan sehari-hari yaitu makan pagi, makan siang, dan makan
malam yang disajikan dengan hidangan pelengkap berupa lauk pauk dan sayur.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Konsumsi


Berikut terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pola konsumsi pada
masyarakat Desa Gunung Sereng adalah:
1. Letak geografis

Berdasarkan letak geografisnya, Desa Gunung Sereng berada di dataran tinggi


dengan struktur tanah kering bebatuan. Desa Gunung Sereng memiliki jenis tanah
berwarna merah, tekstur tanah lempungan dan berbatu-batu. Kondisi lahan
pertanian di Desa Gunung Sereng ada dua jenis yaitu lahan persawahan dengan
sistem pertanian tadah hujan dan ladang kering atau tegal. Area persawahan tadah
hujan sekitar 100 Ha dan ladang kering atau tegal sekitar 650 Ha. Ladang kering
memiliki area yang cukup banyak dan luas, hal ini dikarenakan letak Desa
Gunung Sereng yang berada di dataran tinggi dengan memiliki jenis tanah yang
berwarna merah, tekstur tanah lempungan dan berbatu-batu. Dengan keadaan
struktur tanah tersebut, maka berpengaruh dengan tanaman yang akan ditanam
oleh petani penduduk Desa Gunung Sereng. Jagung dan kacang-kacangan
merupakan pilihan tanaman yang dipilih untuk dibudidayakan di Desa Gunung
Sereng, karena tanaman tersebut tidak memerlukan asupan air yang banyak.
Komoditas hasil pertanian jagung cukup banyak, oleh karena itu masyarakat Desa
Gunung Sereng memanfaatkan dan menggunakan jagung sebagai makanan pokok
sehari-hari yang dioleh menjadi nasi jagung. Hidangan pelengkap nasi jagung ini
dominan yang dikonsumsi oleh masyarakat sehari-hari adalah hasil dari laut dan
tambak seperti ikan tongkol, bandeng, pindang, selar, serta pelengkap sayuran
yang diperoleh dari menanam sendiri di ladang
2. Faktor budaya
Nasi jagung merupakan makanan nenek moyang masyarakat Desa Gunung
Sereng, sehingga melahirkan ikatan emosional bahwa untuk menghormati leluhur

dan memberikan keselamatan bagi Desa Gunung Sereng bila melakukan apa yang
sudah menjadi tradisi secara turun temurun. Pada masyarakat Desa Gunung
Sereng terdapat salah satu bahan makanan yang pantang atau tidak boleh
dikonsumsi oleh masyarakat setempat yaitu ikan mundung. Konsumsi ikan
mundung ini dianggap tabu dikarenakan masyarakat Desa Gunung Sereng
menganggap dan mempercayai, bahwa jika mengkonsumsi ikan mundung ini
dapat menyebabkan gatal-gatal pada kulit. Oleh karena itu, ikan mundung
merupakan makanan yang dipantang oleh masyarakat Desa Gunung Sereng.
Pola kebiasaan makan sangat dipengaruhi oleh agama dan adat kepercayaan yang
dianut oleh masyarakat. Ada pantang makan pada waktu-waktu tertentu dan jenis
makanan-makanan yang tidak boleh dimakan karena agama atau adat serta ada
makanan yang boleh dimakan hanya pada hari tertentu atau setelah melalui
upacara sesuai dengan kepercayaan yang dianut oleh lapisan masyarakat tersebut.

3. Faktor pengetahuan ibu rumah tangga


Masyarakat yang ada di Desa Gunung Sereng didominasi oleh masyarakat yang
rata-rata pendidikannya rendah yaitu hanya lulusan Sekolah Dasar (SD).
Rendahnya tingkat pendidikan ibu rumah tangga di Desa Gunung Sereng ini
disebabkan oleh: 1) pekerjaan mudah didapat yaitu sebagai petani dan buruh tani,
untuk menjadi petani yang hebat atau juragan sawah tidak dibutuhkan pendidikan
formal yang tinggi tapi memerlukan pengalaman atau masa kerja yang lama di
sawah, 2) pesimistis yaitu masyarakat Desa Gunung Sereng beranggapan bahwa
walaupun tingkat pendidikan tinggi tidak menjamin kehidupan mereka akan
sejahtera atau tidak akan berubah nasib kehidupannya, tetap akan miskin, 3)
keadaan atau tingkat ekonomi yang rendah dan tekanan kehidupan yang membuat
mereka tidak bisa melanjutkan ke sekolah yang tinggi (hasil wawancara dengan
Ibu Sutinah 30 tahun).
Dampak pengetahuan yang dimiliki oleh ibu rumah tangga berdampak terhadap
pola konsumsi makan. Pengetahuan ibu rumah tangga berpengaruh tentang
ketersediaan konsumsi makan keluarga mencakup tentang pemilihan bahan

makanan, cara pengolahan, dan cara penyajian. Jadi dengan penyediaan konsumsi
makan yang baik diharapkan masyarakat Desa Gunung Sereng dapat mengubah
sikap dan perilaku terhadap bahan makanan dengan lebih baik lagi. Sehingga
dapat memilih bahan makanan bergizi, mengerti cara pengolahan yang baik dan
benar, mengaplikasikan cara penyajian yang menarik, serta menyusun menu
seimbang sesuai dengan kebutuhan.
4. Faktor pendapatan dan pekerjaan keluarga

Masyarakat yang ada di Desa Gunung Sereng didominasi oleh masyarakat yang
rata-rata kehidupan ekonominya berada pada golongan kelas menengah kebawah.
Dengan demikian pola konsumsi makanan utama berbeda pula, yang sesuai
dengan kemampuan daya beli mereka serta cara pengolahannya. Peneliti mencoba
mengklasifikasikan rumah tangga yang berada di Desa Gunung Sereng yang
dikaitkan dengan ragam jenis makanan yang dikonsumsi sehari-hari yang mampu
dikonsumsi secara berulang-ulang.
Kepala rumah tangga keluarga di Desa Gunung Sereng umumnya adalah sebagai
petani. Pendapatan pokok petani yang mempunyai lahan pertanian sendiri
umumnya berada dalam kelompok sejahtera II dan kepala rumah tangga sebagai
buruh tani dengan menyewa lahan pertanian umumnya berada dalam kelompok
sejahtera III (wawancara dengan Bapak Humri selaku Sekertaris Desa Gunung
Sereng).
Rumah tangga petani umumnya adalah keluarga dengan pendapatan yang rendah,
sehingga mereka terkadang lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan pokoknya
yaitu memenuhi kebutuhan untuk makan sehari-hari dalam keluarga. Pendapatan
keluarga merupakan salah satu faktor penentu kualitas dan kuantitas konsumsi
makan, karena adanya kecenderungan keluarga yang berpendapatan tinggi untuk
lebih mementingkan kualitas makanan dibandingkan dengan keluarga yang
berendapatan rendah. Rumah tangga dengan penghasilan yang terbatas, maka
pemilihan konsumsi makan masih didominasi oleh bagaimana memperoleh

makanan secara cukup dan tidak memperhatikan gizi yang terkandung


didalamnya.
Perbedaan tingkat pendapatan menimbulkan perbedaan-perbedaan pola distribusi
pendapatan, termasuk pola konsumsi rumah tangga masyarakat Desa Gunung
Sereng. Rumah tangga petani kecil atau buruh tani, karena pendapatannya relatif
kecil untuk konsumsi rumah tangga hanya mampu mencukupi kebutuhan pokok
saja, misalnya jagung dan lauk-pauk sekedarnya. Berbeda dengan petani yang
bertanah luas yang berpendapatan besar mampu membeli kebutuhan barangbarang kebutuhan sekunder, seperti barang perlengkapan rumah tangga, alat
transportasi, alat hiburan, dan lain-lain selain kebutuhan pokoknya.
2. Masyarakat Papua
penelitian Apomfires (2002) menyebutkan pada suku Jae di Kabupaten
Merauke, sagu digunakan sebagai makanan pokok dan sekaligus sebagai makanan
yang disakralkan. Masyarakat percaya sagu adalah makanan leluhur dan asal mula
dari kehidupan mereka. Pada masyarakat, berbagai jenis makanan mempunyai
nilai sosial. Orang cenderung mengkonsumsi bahan makanan yang mempunyai
nilai sosial tertentu yang dianggap sesuai dengan tingkat sosial mereka dan hal ini
seringkali tidak sesuai dengan nilai gizi makanan. Makanan yang bernilai gizi
tinggi, diberi nilai sosial rendah atau sebaliknya (Sediaoetama, 1999).
Ada hal menarik di Papua pada umumnya masyarakat masih sagu dan ubi
jalar sebagai pilihan utama makanan pokok masyarakat Papua. Kabupaten
Jayawijaya sebagai daerah pegunungan, umumnya masyarakat mengkonsumsi ubi
jalar (Ipoemea batatas) dalam bahasa daerah disebut hipere sebagai pilihan utama
makanan pokokmasyarakat (Deritana, dkk, 2000).
Salah satu faktor penyebab rendahnya konsumsi energi penduduk Kabupaten
Jayawijaya adalah ubi jalar yang dikonsumsi sebagai makanan pokok utama,
hanya menyumbang sangat sedikit energi dalam konsumsi harian masyarakat.
Dalam DKBM (2005) disebutkan bahwa untuk 100 gram ubi jalar menyumbang
energi hanya sebesar 119 kkal. Almatsier (2001) menyatakan ubi jalar hanya
memberi kontribusi energi sebesar 25% dari Angka Kecukupan Gizi yang
Dianjurkan (AKG). Sejauh ini kebijakan di bidang kesehatan penduduk
Kabupaten Jayawijaya lebih menekankan pada upaya pelayanan kesehatan formal.

Sementara program untuk memperbaiki pola makan penduduk masih sangat


kurang (Deritana, dkk, 2000). Dengan adanya program perbaikan pola konsumsi
makanan pokok penduduk Jayawijaya, diharapkan penganekaragaman konsumsi
makanan pokok dapat tercapai, dan tidak terbatas hanya pada ubi jalar dan sagu
sehingga tingkat kecukupan gizi penduduk dapat terpenuhi.
Penelitian pendahuluan pada rumah tangga di Kecamatan Wamena ditemukan
sebanyak 57% rumah tangga masih mengkonsumsi ubi jalar sebagai satu-satunya
makanan pokok. Masyarakat beranggapan ubi jalar adalah makanan pokok yang
dibawa para leluhur mereka yang harus tetap dipertahankan.
3. DAERAH LAIN
Pola makanan yang diturunkan secara turun-temurun mempunyai susunan
cukup baik dan dapat memberikan zat-zat makanan yang memenuhi kebutuhan
gizi. Nilai yang baik ini dapat menurun, jika susunan lauk pauk dan bahan
makanan pokok yang digunakan berubah. Penduduk Gunung Kidul misalnya pada
mulanya menggunakan beras sebagai makanan pokok. Adanya musim paceklik,
penduduk mengubah bahan makanan pokok itu dengan singkong Tetapi
perubahan itu tidak disertai perubahan lauk pauk, karena singkong mempunyai
nilai gizi lebih rendah daripada beras, maka keadaan gizi masyarakat di daerah
tersebut sangat tidak memuaskan.
Di Nusa Tenggara, sagu merupakan bahan makanan pokok, dimakan bersama
ikan dalam jumlah cukup banyak, ikan cukup mudah ditangkap di daerah tersebut.
Susunan zat-zat makanan dalam pola makanan itu baik meskipun sagu sendiri
bernilai gizi rendah(Soedarmo dan Sediaoetama, 1985).
Beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa di Afrika Barat, bahan makanan
pokok masyarakat pada musim hujan (Juli-Oktober) adalah beras. Pada musim
lain di daerah pedesaan Gambia bayi pada umur 6 bulan sudah diperkenalkan
makanan pokok dalam bentuk bubur nasi ditambah dengan kuah kacang tanah
(Prentice, et.al, 1983;Whitehead, 1979; dan Erinoso,1992).

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Adapun faktor-faktor yang berpengaruh terhadap memilih makanan yaitu


faktor pertanian, ekonomi, fisiologis, budaya, ketahanan dan penyimpanan
pangan, dan kesehatan. faktor-faktor tersebut sangat mempengaruhi masyarakat
Indonesia di berbagai daerah dalam menentukan makanan pokok, atau makanan
sehari-hari yang biasa di konsumsi.

B. SARAN
Dalam makalah ini masih sangat banyak kekurangan. Akan lebih baik apabila
di makalah selanjutnya dengan topic yang sama lebih banyak mencari referensi,
agar pembahasan lebih menarik dan tidak mombosankan.

DAFTAR PUSTAKA
Adiwilaga, Anwas., 1982. Ilmu Usahatani. Alumni Bandung. Bandung.
Amara, 2006, ekonomi global. Barata Press. Surabaya.
Anonim. 1996. Survei Sosial Ekonomi Nasional. BPS. Jakarta..
Apriadji,W.H., 1986. Gizi Keluarga. PS Panebar Swadaya. Jakarta.
Arifin, B. 1994. Pangan dalam Orde Baru. Kopindo. Jakarta.
Badan Ketahanan Pangan Sulteng, 2004, Rekomendasi Widiakarya Pangan dan
Gizi VIII Tahun 2004. Download tanggal 11 Agustus 2006 dar
http://www.bkpsulteng.go.id
Depkes RI, 1994, Buletin Perbaikan Menu Makanan Rakyat. Tahun XIV

vol. 60, pp. 4.


Deritana N, Kombong M, Yuritianti GA 2000, Gizi untuk Pertumbuhan dan
Perkembangan. Nutrition Paper, Jayawijaya WATCH Project,
AUSAID-World Vision-Depkes RI.
Drewnowsk, A & Clayton, H 1999, Food Preferences and Reported
Frequencies of Food Consumption as Predictor of Current Diet in
Young Women, American Journal Clinical Nutrition, vol 70 pp.28-36
Suhardjo, 1989, Sosial Budaya Gizi. IPB, Bogor.
Surbakti, 1995, Survey Sosial Ekonomi Nasional : Suatu Sumber Data
Berkesinambungan untuk Analisis Kesejahteraan di Indonesia. BPSRI,
Jakarta, pp.49.
Suryana, A 2004, Ketahanan Pangan dan Gizi di Indonesia dalam WKPG
VIII, LIPI, Jakarta, pp.40.

Anda mungkin juga menyukai