Anda di halaman 1dari 26

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf

Periode 31 September s/d 3 Disember 2016


RSUD KOJA, Jakarta Utara

Journal Reading
Manajemen Perawatan Kritis Cedera Otak Traumatik (TBI) Berat Pada
Orang Dewasa
Source: Samir HD., Yaseen MA. Critical care management of severe traumatic
brain injury in adults. Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and
Emergency Medicine 2012;20:12.

Oleh:
Mohd Zaid bin Ahmad Zalizan
112015199

Pembimbing :

Dr. Yusmanizar Kasim, Sp.S

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen


Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna No.6 Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Telp. 021-56942061

Manajemen perawatan kritis cedera otak traumatik (TBI) berat pada orang
dewasa
Samir H Haddad1* and Yaseen M Arabi2
Abstrak
Cedera otak traumatis/traumatic brain injury (TBI) adalah merupakan masalah medis dan
sosial-ekonomi yang berat, dan merupakan salah satu penyebab utama kematian pada golongan
anak-anak dan dewasa muda. Manajemen perawatan kritis dari TBI berat sebagian besar berasal
dari "Pedoman Pengelolaan Cedera Otak Traumatic berat (Guidelines for the Management of Severe
Traumatic Brain Injury)" yang dipublikasikan oleh Brain Trauma Foundation. Tujuan utama
pedoman ini adalah pencegahan dan pengobatan hipertensi intrakranial dan cedera otak sekunder,
pelestarian tekanan perfusi serebral/cerebral perfusion pressure (CPP), dan mengoptimalisasi
oksigenasi serebral. Dalam revisi ini, perawatan kritis manajemen TBI berat akan dibahas dengan
fokus pada pemantauan, menghindari dan meminimalkan cedera sekunder pada otak, dan
mengoptimalisasi oksigenasi otak dan mempertahankan CPP.

Kata kunci: Cedera otak Traumatik, cedera kepala, trauma kepala, perawatan kritis
Pendahuluan
Cedera otak traumatis (TBI) berat, didefinisikan sebagai trauma kepala dengan Glasgow
Coma Scale (GCS) dengan total skor 3 sampai 8 [1], TBI merupakan masalah utama dan
menantang dalam bidang kedokteran divisi perawatan kritis. Selama dua puluh tahun terakhir,
banyak penelitian dengan hasil luar biasa dalam menegakkan manajemen perawatan kritis dari
TBI berat. Pada tahun 1996, Brain Trauma Foundation (BTF) pertama kali mempublikasi
pedoman pengelolaan TBI berat [2] dan diterima oleh American Association of Neurological
Surgeons dan didukung oleh World Health Organization in Neurotraumatology. Edisi kedua
2

dengan revisi lanjutan dipublikasi pada tahun 2000 [3] dengan tambahan data pada tahun 2003,
dan edisi ke-3 dipublikasikan pada tahun 2007 [4]. Beberapa penelitian telah dilakukan
sebelumnya dan melaporkan dampak hasil dari penerapan protokol manajemen berbasis
pedoman untuk TBI berat pada perawatan pasien dengan TBI berat [5,6]. Studi-studi ini jelas
menunjukkan bahwa pelaksanaan protokol untuk pengelolaan TBI berat, dengan melaksanakan
penatalaksanaan sesuai rekomendasi dari pedoman, memberikan hasil jauh lebih baik pada
kasus-kasus TBI berat seperti berkurangnya angka kematian, hasil skor fungsional, Durasi rawat
inap di rumah sakit, dan penurunan biaya [7,8]. Namun, masih ada Variasi institusional yang
cukup besar dan luas dalam perawatan pasien dengan TBI berat.
Secara umum, TBI dibagi menjadi dua periode diskrit: cedera otak primer dan sekunder.
Cedera otak primer adalah disebabkan adanya kerusakan fisik pada parenkim (jaringan,
pembuluh) yang terjadi selama peristiwa traumatis, sehingga pergeseran dan kompresi jaringan
terjadi pada jaringan otak di daerah trauma. Cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses
kompleks, akibat dari cedera otak primer pada jam-jam hingga hari-hari berikutnya setelah
terjadi cedera otak primer. banyak sekali stressor sekunder, baik intrakranial dan ekstrakranial
atau sistemik, dapat menyebabkan komplikasi terjadinya luka pada otak dan mengakibatkan
cedera otak sekunder. Stressor sekunder otak intrakranial meliputi edema serebral, hematoma,
hidrosefalus, hipertensi intrakranial, vasospasme, gangguan metabolisme, excitotoxicity,
toksisitas ion kalsium, infeksi, dan kejang [9,10]. sekunder, stressor skunder otak sistemik secara
umum bersifat iskemik di [9,11], seperti:
-

Hipotensi (tekanan darah sistolik [SBP] <90mm Hg)


Hipoksemia (PaO2 <60 mmHg; O2 Saturasi <90%)
Hipokapnia (PaCO2 <35 mm Hg)
Hiperkapnia (PaCO2> 45 mm Hg)
Hipertensi (SBP> 160 mm Hg, atau tekanan arteri rata-rata [MAP]> 110 mm Hg)
Anemia (Hemoglobin [Hb] <100 g / L, atau hematokrit [Ht] <0,30)
Hiponatremia (natrium serum <142 mEq / L)
Hiperglikemia (gula darah> 10 mmol / L)
Hipoglikemia (gula darah <4,6 mmol / L)
Hipo-osmolaritas (plasma osmolaritas [P Osm] <290 mOsm / Kg H2O)
Gangguan asam-basa (acidemia: pH <7,35; alkalemia: pH> 7.45)
Demam (suhu> 36,5 C)
Hipotermia (suhu <35,5 C)

Oleh karena itu, terlihat jelas bahwa hanya sebagian dari kerusakan otak selama trauma
kepala adalah akibat dari cedera otak primer, yang tidak dapat diperbaiki dan bersifat
3

irreversible. Namun, cedera otak sekunder sering dapat diperbaiki dengan pencegahan dan
penatalaksanaan yang baik dan bersifat reversible. Manajemen perawatan intensif pasien dengan
TBI berat adalah sebuah proses dinamis, dimulai pada periode pra-rumah sakit, di tempat
terjadinya kecelakaan itu sendiri. Selama tahap perawatan awal di rumah sakit, pasien dapat
ditangani di berbagai lokasi di rumah sakit termasuk ruangan perawatan gawat darurat,
departemen radiologi, dan ruang operasi sebelum mereka dirawat lanjutan di Intensive Care Unit
(ICU). Perjalanan dari perawatan akut, selama "GOLDEN HOUR", dari saat cedera sehingga
permulaan dari perawatan definitif, harus dilaksanakan dan didasarkan pada pedoman dan
rekomendasi yang disebutkan sebelumnya. Revisis ini menguraikan prinsip-prinsip dasar
manajemen perawatan kritis pasien dengan TBI berat selama mereka tinggal di ICU. (Lihat
Gambar 1)

Manajemen Perawatan Kritis Dari TBI Berat


Sebelum pasien dipindahkan ke ruang ICU, pasien dengan TBI berat biasanya diterima,
diresusitasi dan distabilkan di perawatan gawat darurat atau ruang operasi. Setelah pasien dengan
TBI berat telah dipindahkan ke ICU, penatalaksanaan pada pasien ini terdiri dari penyediaan
perawatan umum kualitas tinggi dan berbagai strategi ditujukan untuk mempertahankan
hemostasis dengan:
-

Stabilisasi pasien, jika masih tidak stabil


Pencegahan hipertensi intracranial
mempertahankan tekanan perfusi serebral (CPP) yang memadai dan stabil
Menghindari cedera otak sistemik, sekunder (SBI)
Oksigenasi dan optimalisasi hemodinamik serebral

Evaluasi
Evaluasi pasien dengan TBI berat sangat penting dan menjadi pedoman dan optimalisasi
terapi. Alasannya evaluasi merupakan deteksi dini dan diagnosis stressor sekunder otak, baik
sistemik dan intrakranial. Oleh karena itu, evaluasi pasien dengan TBI berat harus terdiri dari
evualasi dari sisi neurologis umum dan khusus.
Evaluasi Umum

Selama perawatan neurointensive pasien dengan TBI berat, parameter umum yang
dievaluasi secara teratur termasuk elektrokardiografi (Evaluasi EKG), saturasi oksigen arteri
(pulse OXYMETRY, SpO2), capnography (endtidal CO2, PetCO2), tekanan darah arteri (kateter
arteri), tekanan vena sentral (CVP), suhu sistemik, urin, gas darah arteri, serum elektrolit dan
osmolaritas. Evaluasi secara Invasif atau non-invasif output jantung mungkin diperlukan pada
kasus gangguan hemodinamik pada pasien yang tidak merespon terhadap terapi cairan resusitasi
dan pemberian vasopressor.
Evaluasi Neurologik
Evaluasi tekanan intrakranial
Brain Trauma Foundation (BTF) merekomendasikan bahwa "tekanan intrakranial (TIK) harus
dievaluasi pada semua pasien dengan prognosis baik TBI berat dengan computed tomography
(CT) scan yang abnormal. Evaluasi TIK juga menjadi indikasi pada pasien dengan TBI berat
dengan CT scan yang normal jika dua atau lebih dari fitur berikut ditemukan saat masuk: usia di
atas 40 tahun, unilateral atau bilateral motorik, atau tekanan darah sistolik (BP) <90 mm Hg [4].
Berdasarkan prinsip-prinsip fisiologis, potensi manfaat evaluasi TIK meliputi deteksi dini besar
lesi intrakranial, pedoman terapi dan menghindari penggunaan terapi tidak tepat untuk
mempertahankan TIK, drainase cerebrospinal fluid (CSF) dengan pengurangan TIK dan
peningkatan CPP, dan penentuan prognosis.
Saat ini, metode yang tersedia untuk pemantauan TIK termasuk metode epidural,
subdural, subarachnoid, parenkima, dan lokasi ventrikel. Secara historis, kateter TIK ventrikel
telah digunakan sebagai metode evaluasi standar dan menjadi teknik pilihan bila memungkinkan.
Metode ini adalah metode yang paling akurat, murah, dan dapat diandalkan pada evaluasi TIK
[4]. Metode ini juga memungkinkan untuk pengukuran berterusan TIK dan terapi drainase CSF
pada kasus hipertensi intrakranial untuk mengontrol peningkatan TIK. Evaluasi subarachnoid,
subdural, dan epidural merupakan metode yang kurang akurat. Alat evaluasi TIK biasanya
ditempatkan pada sisi kanan, karena sekitar 80% dari populasi manusia mempunyai hemisfera
otak kanan sebagai hemisfera yang non-dominan, sisi kanan adalah daerah pilihan kecuali
adanya kontraindikasi. [12]. Namun, alat evaluasi TIK boleh ditempatkan di sisi yang terdpat
gejala patologis maksimal atau pembengkakan [13].
5

Penggantian rutin kateter ventrikel atau penggunaan antibiotik profilaksis pada


pemasangan kateter ventrikel tidak dianjurkan untuk mengurangi infeksi [4]. Namun,
penggunaan alat evaluasi TIK biasanya berlangsung selama 1 minggu, dengan pemeriksaan
CSF setiap hari untuk kadar glukosa, kadar protein, jumlah sel, pewarnaan Gram, serta kultur
dan sensitivitas. pengobatan untuk hipertensi intrakranial harus dimulai dengan TIK pada batas
di atas 20 mm Hg. Selain evaluasi TIK, evaluasi gejala klinis dan hasil CT scan harus dijadikan
pedoman untuk menentukan kebutuhan untuk perawatan yang tepat[4]. Meskipun tidak ada uji
coba, secara randomized controlled (RCT) yang telah dilakukan sebelumnya untuk menunjukkan
bahawa evaluasi TIK meningkatkan keberhasilan perawatan atau mendukung penggunaannya
sebagai pemeriksaan standar; evaluasi TIK telah menjadi bagian integral dalam pengelolaan
pasien dengan TBI berat di sebagian besar pusat trauma dunia. Namun, ada juga bukti
bertentangan tentang apakah evaluasi TIK meningkatkan keberhasilan perawatan. Beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa evaluasi TIK mengurangi tingkat kematian keseluruhan
TBI berat [14-21]. Penelitian lain belum menunjukkan manfaat dari evaluasi TIK [22-24]. Selain
itu, beberapa studi menunjukkan bahwa evaluasi TIK dikaitkan dengan memburuknya kadar
mortalitas [25,26]. Potensi komplikasi dari evaluasi TIK termasuk infeksi, perdarahan,
kerusakan, obstruksi, atau malposisi. Baru-baru ini, kami melaporkan bahwa pada pasien dengan
TBI berat, evaluasi TIK tidak menjadi faktor yang bermain peran penting dengan berkurangnya
kadar mortalitas di rumah sakit, namun evaluasi TIK menjadi antara faktor penting yang
berperan menyebabkan terjadinya peningkatan yang signifikan pada durasi penggunaan ventilasi
mekanis, peningkatan indikasi penggunaan tracheostomy, dan durasi perawatan ICU [27].

Evaluasi TIK

Gambar 1
* TIK pada kadar 20-25 mm Hg digunakan

Mempertahankan CPP> 60
mm Hg

sebagai batas indikasi pentalaksanaan

Hipertensi Intrakranial*

Ya

Tidak

Evalasi kepala pada tempat tidur dengan sudut 30o


Oksigenasi yang memadai
Normocapnia
Memperdalam sedasi / analgesia kelumpuhan
Normovolemia, atau hypervolemia sedang
Mempertahankan suhu normal
penatalaksanaan kejang

- apn
Drainase CSF (jika memungkinkan)

Ya

Hipertensi Intrakranial*

Tidak

Hiperventilasi akut (15-30


menit) untuk PaCO2 30-35mm

Pertimbangkan
CT-scan

Menurunkan intensitas
terapi penurunan TIK
secara bertahap

ulangan
Ya

Hipertensi
Intrakranial*
Manitol (0,25-1,0 g / kg IV selama 15-20
menit) atau cairan Saline hipertonik(NaCl
7,5%: 2 mL / kgBB IV lebih dari 15
menit)

Ya

Hipertensi
Intrakranial*

Tidak
Dapat diulangi jika
serum osmolaritas
<320 mOsm / kg
(mempertahankan
Keadaan euvolemic
pasien)
Tidak

Ya
Terapi lini kedua
yang lain

Koma Barbiturat
(barbiturate dosis tinggi)

hiperventilasi dipertahankan pada PaCO2


<30 mm Hg (evaluasi SjO2, dan / atau
PbtO2 direkomendasikan)

terapi lini kedua

Dalam database Cochrane, Revisi secara sistematis terbaru tidak menemukan RCT
yang dapat memperjelas peran TIK pada evaluasi koma akut baik traumatik atau nontraumatik[26]. Namun demikian, ada bukti, dan kebanyakan dokter setuju, untuk mendukung
penggunaan evaluasi TIK pada pasien TBI berat yang berisiko mempunyai hipertensi
intrakranial. Nilai TIK adalah prediktor absolut dan mandiri terhadap prognosis akhir TBI
secara neurologis, namun, TIK refraktori dan respon untuk penatalaksanaan peningkatan TIK
dapat menjadi prediktor yang lebih baik prognosis neurologis dibandingkan nilai TIK absolut
[28]. Treggiari et al. melakukan penelitian sistematis untuk memperkirakan hubungan antara
nilai-nilai dan pola TIK dan hasil vital dan neurologis dari sisi prognosis jangka pendek dan
jangka panjang. Sehubungan dengan TIK normal (<20 mm Hg), peningkatan TIK dikaitkan
dengan peningkatan kematian odds ratio(OR): 3,5 [95% CI: 1.7, 7.3] untuk TIK 20-40, dan
6,9 [95% CI: 3,9,12.4] untuk TIK> 40 mm Hg. Peningkatan TIK yang dapat direduksi
dikaitkan dengan peningkatan 3-4-kali lipat pada kadar kematian OR

atau prognosis

neurologis yang buruk. Pola TIK refraktori dikaitkan dengan peningkatan secara dramatis dan
relative risiko kematian (OR = 114,3 [95% CI: 40.5, 322,3]) [29].
Saturasi oksigen bulbus vena jugular
Saturasi oksigen vena jugularis (SjvO2) merupakan indikator dari kadar oksigenasi
otak dan kadar metabolisme otak, Saturasi oksigen vena jugularis (SjvO2) memberi
gambaran rasio antara aliran darah otak (CBF) dan tingkat metabolisme oksigen serebral
(CMRO2). Kateterisasi retrograde dari vena jugularis interna (IJV) digunakan untuk evaluasi
SjvO2. Secara umumnya IJV kanan adalah daerah yang biasanya dominan [30], daerah ini
biasanya digunakan untuk kanulasi yang dapat memberikan gambaran oksigenasi serebral
global[31]. Evaluasi SjvO2 dapat dilakukan secara terus menerus melalui serat kateter optik
atau secara intermiten melalui pemeriksaan sampel darah berulang. Dalam sebuah penelitian
prospektif pasien dengan trauma otak berat yang akut disertai hipertensi intrakranial, Cruz
menyimpulkan bahwa evaluasi secara terus menerus SjvO2 dikaitkan dengan perbaikan
prognosis [32]. Rata-rata normal dari SjvO2, dalam subjek terjaga normal, adalah sebanyak
62% dengan kisaran 55% sampai 71%. desaturasi berkelanjutan vena jugularis dari <50%
merupakan batas iskemia serebral dan menjadi indikasi pentalaksanaan [33]. Evaluasi SjvO2
dapat mendeteksi secara klinis episode okultisme iskemia serebral, yang memungkinkan
pencegahan episode ini dengan penyesuaian sederhana pada penatalaksanaan pengobatan.
Pada TBI, desaturasi vena jugularis sebagian besar memainkan peran dalam penurunan kadar
CBF sekunder akibat dari penurunan kadar CPP (hipotensi, hipertensi intrakranial, dan

vasospasme) atau hipokapnia-terkait vasokonstriksi serebral. Penelitian menunjukkan bahwa


penurunan secara berkelanjutan dari SjvO2 hingga batas <50% dikaitkan dengan faktor risiko
yang mandiri dan mampu menyebabkan prognosis buruk [34-37]. Akibatnya, evaluasi SjvO2
sangat penting untuk penentuan ventilasi selama perawatan medis pada kasus hipertensi
intrakranial. Namun, manfaat dari evaluasi SjvO2 pada hasil pasien TBI berat belum pernah
dikonfirmasi dengan suatu RCT.
Tekanan oksigen jaringan otak
Evaluasi pengukuran SjvO2 dan tekanan oksigen jaringan otak (PbtO2) bertujuan
untuk mengukur oksigenasi otak, bagaimanapun, SjvO2 mengukur oksigenasi serebral global
manakala PbtO2 mengukur oksigenasi serebral fokal menggunakan invasive Probe (Licox).
Rosenthal et al. mendokumentasikan dalam penelitian mereka bahawa, pengukuran dari
PbtO2 mewakili hasil dari perbedaan

tekanan CBF dan tekanan arteriovenous oksigen

serebral dan bukan merupakan pengukuran langsung pengiriman oksigen Total atau oksigen
serebral [38]. PbtO2 merupakan pengukuran khusus fokal, hal ini terutama digunakan untuk
mengevaluasi perfusi kritis oksigenasi dari jaringan otak. PbtO2 adalah teknik yang pilihan
untuk mengevaluasi oksigenasi serebral fokal dan bertujuan untuk mencegah episode
desaturasi. Namun, penggunaan metode ini sahaja tidak dapat mengevaluasi perubahan
oksigenasi serebral global. Normal PbtO2 berkisar antara 35 mm Hg dan 50 mm Hg [39].
Nilai PbtO2 <15 mm Hg dianggap sebagai indikator untuk fokus serebral iskemia dan
indikasi penatalaksanaan terapi [4]. Beberapa studi menunjukkan bahwa terapi berbasis
evaluasi PbtO2 mampu membantu mengurangi mortalitas pasien dan memberi prognosis
yang baik pada pasien dengan kasus TBI berat [40-42]. Dalam revisi sistematis terbaru,
literatur medis yang tersedia ditinjau untuk memeriksa apakah terapi berbasis PbtO2 dapat
memperbaiki prognosis pasien dengan kasus TBI berat [43]. Antara pasien yang menerima
terapi berbasis PbtO2, 38,8% menunjukkan hasil yang kurang baik dan 61,2% memiliki hasil
yang menguntungkan. Antara pasien yang menerima TIK/ CPP-berbasis terapi 58,1%
menunjukkan hasil kurang baik dan 41,9% memiliki hasil yang menguntungkan. Terapi
berbasis PbtO2 secara umumnya dapat memberikan hasil yang menguntungkan (OR = 2,1,
95% CI = 1,4-3,1). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gabungan TIK/CPP-berbasis
terapi dan PbtO2-berbasis terapi dikaitkan dengan hasil yang lebih baik untuk kasus pasca
TBI berat dibandingkan dengan hanya penggunaan TIK/CPP-berbasis terapi sahaja [43].
Oddo et al. Melaporkan bahwa hipoksia otak atau penurunan PbtO2 merupakan hasil

prediktor yang mandiri dan berhubungan dengan prognosis buruk jangka pendek pasca TBI
berat.
Selain dari TIK, CPP yang rendah, dan tingkat keparahan cedera. PbtO2 merupakan
salah satu sasaran terapi yang penting pasca TBI berat [44]. PbtO2 telah didokumentasikan
lebih unggul dari metode SjvO2, near infrared spectroscopy [45], dan regional transcranial
oxygen saturation dalam mendeteksi iskemia otak. Evaluasi PbtO2 adalah metode yang
menjanjikan, aman dan dapat diaplikasikan secara klinis pada pasien dengan TBI berat;
Namun, metode ini tidak banyak digunakan dan ketersediaannya sangat minimal. Kombinasi
metode evaluasi TIK/PbtO2 intra-parenkim adalah penting dan sangat membantu dalam
pentalaksanaan terapi pada pasien dengan kasus TBI berat.
Microdialisis serebral
Microdialisis serebral (MD) merupakan perangkat laboratorium invasif yang baru
dikembangkan, MD merupakan perangkat laboratorium yang mudah digunakan untuk
menganalisis biokimia dari jaringan otak[47]. Kateter MD dimasukkan ke daerah jaringan
otak dimana terdapat lesi untuk mengukur perubahan biokimia di daerah otak yang paling
rentan terhadap cedera sekunder. Tes yang berbeda tersedia untuk mengukur konsentrasi
dialisat termasuk glukosa, laktat, piruvat, gliserol, dan glutamat. Secara karakteristik,
hipoksia atau iskemia serebral menunjukkan ada terjadinya peningkatan yang signifikan pada
rasio laktat:piruvat (LPR) [48]. Nilai LPR> 20-25 dianggap sebagai indikator untuk iskemia
otak dan berkaitan dengan prognosis yang buruk pada TBI [49]. Meskipun, MD adalah
perangkat yang baik untuk memberikan pemeriksaan tambahan dan membantu dalam
pentalaksanaan pasien dengan TBI berat, penggunaannya sangat terbatas.
Transkranial doppler ultrasonografi
Transkranial Doppler (TCD) adalah metode non-invasif untuk mengukur velositas
CBF. metode ini semakin sering digunakan dalam perawatan kritis gawat neurologis
termasuk TBI. Alat ini sangat berguna secara klinis untuk membantu menegakkan diagnosis
komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien dengan kasus TBI seperti vasospasme,
peningkatan kritis TIK dan penurunan CPP, diseksi karotis, dan gangguan peredaran darah
otak (kematian otak). TCD dapat memprediksi vasospasme pasca-trauma sebelum timbulnya
manifestasi klinis. Karena pemantauan TIK merupakan prosedur invasive dengan potensi
risiko komplikasi yang terkait, TCD merupakan teknik alternatif non-invasif teknik untuk

mengevaluasi

TIK

dan

CPP

[50,51].

Secara

umum

sensitivitas

TCD

untuk

mengkonfirmasikan kematian otak adalah 75% sampai 88%, dan spesifisitas keseluruhan
adalah 98% [52,53]. Meskipun, TCD adalah metode evaluasi pada perawatan kritis gawat
neurologis, bukti untuk mendukung nya sebagai modalitas pilihan utama untuk membantu
untuk manajemen TIK / CPP pada pasien dengan kasus TBI berat masih sangat kurang.
Electrophysiological monitoring
Electroencephalogram (EEG) adalah alat yang berguna secara klinis untuk memantau
kedalaman koma, mendeteksi kejang non-convulsif (sub-klinis) atau kejang pada pasien
dengan kelumpuhan secara farmakologi serta mendiagnosa kematian otak [54,55]. EEG terus
menerus telah merupakan modalitas pilihan untuk membantu penegakkan diagnosis kejang
pasca-trauma (PTS) pada pasien dengan TBI, terutama pada mereka yang menerima blokade
neuromuskular. Sensory-evoked potentials (SEP) dapat memberikan data yang akurat tentang
fungsi otak pada pasien TBI berat, namun, penggunaannya sangat terbatas dalam pengelolaan
awal TBI.
Near infrared spectroscopy
Near

infrared

spectroscopy

(NIRS) merupakan

metode

non-invasif

untuk

mengevaluasi langsung secara berterusan, oksigenasi serebral dan volume darah otak (CBV).
Didalalam jaringan otak, dua chromophores utama (senyawa yang menyerap cahaya) adalah
hemoglobin (Hb) dan sitokrom oksidase. Prinsip kerja NIRS adalah didasarkan pada
perbedaan sifat penyerapan chromophores pada kisaran NIR, yakni antara 700 dan 1.000 nm.
Pada 760 nm, wujud Hb bersifat terdeoksigenasi (deoxyHb), sedangkan pada kadar 850 nm,
wujud Hb bersifat beroksigeni (oxyHb). Oleh karena itu, dengan mengevaluasi perbedaan
serap antara dua panjang gelombang, tingkat deoksigenasi jaringan dapat dievaluasi. Jika
dibandingkan dengan SjvO2, NIRS kurang akurat dalam menentukan oksigenasi serebral
[56]. Meskipun, NIRS adalah teknologi yang berkembang dan berpotensi sebagai modalities
pemeriksaan pilihan untuk pengukuran CBF, penggunaannya dalam perawatan kritis gawat
neurologis masih sangat terbatas.
Suhu otak
Setelah terjadinya trauma kepala, dilaporkan bahawa gradien suhu otak dibandingkan
dengan suhu tubuh lebih tinggi hingga mencapai perbedaan 3 C di otak. suhu tinggi adalah
stressor sistemik umum sekunder untuk cedera otak. Terdapat beberapa alat invasif (baru

Licox PMO: Integra LifeSciences, Plainsboro, NJ) [57] dan non-invasif [58], untuk
mengevaluasi suhu otak secara terus menerus yang tersedia secara komersial. Namun,
evaluasi suhu otak masih belum banyak digunakan sebagai pedoman dalam perawatan kritis
gawat neurologis pasien dengan TBI berat.
Manajemen Perawatan Kritis
Pedoman pengelolaan TBI parah tersedia secara luas dan harus menjadi dasar utama
dan landasan untuk pengembangan institusi praktek klinis dengan protokol manajemen
berbasis pedoman klinis. Beberapa penelitian telah menunjukkan kepentingan dan dampak
dari implementasi protokol yang benar seperti pada hasil prognosis pasien dengan TBI berat
[5-7]. Kami melaporkan bahwa pemanfaatan praktek klinis pedoman berbasis protokol untuk
TBI berat memainkan peran yang sangat signifikan pada penurunan mortalitas baik di
perawatan ICU atau rumah sakit rumah sakit [8].
Analgesia, sedasi dan pelumpuhan otot
Pada pasien TBI berat, intubasi endotrakeal, ventilasi mekanik, trauma, intervensi
bedah (jika ada), biaya perawatan, dan prosedur ICU mempunyai potensial menjadi penyebab
nyeri. Narkotika, seperti morfin, fentanyl dan remifentanil, harus dipertimbangkan sebagai
terapi lini pertama karena golongan ini memberikan efek analgesia, sedasi ringan dan depresi
refleks saluran napas (batuk) yang semuanya dibutuhkan dalam proses intubasi dan ventilasi
mekanik pasien. Administrasi narkotika sebaik diberikan dalam bentuk infus terus menerus
atau sebagai bolus intermiten.
Sedasi yang memadai dengan analgesia poten; dapat memberikan efek anxiolysis, ini
akan dapat membantu membatasi peningkatan TIK yang disebabkan oleh agitasi, perasaan
tidak nyaman, batuk atau rasa nyeri; analgesia poten juga dapat memfasilitasi perawatan
pasien dan ventilasi mekanis, menurunkan konsumsi O2, menurunkan produksi CMRO2, dan
CO2, meningkatkan kenyamanan pasien; dan mencegah gerakan yang boleh meperburuk
kondisi pasien. obat sedasi yang ideal untuk pasien dengan TBI harus mempunyai
karekteristik waktu kerja cepat dalam onset dan offset, mudah dititrasi untuk memberikan
kesan yang diinginkan, dan kurangnya metabolit aktif. Secara garis besar pemilihan analgesia
bertujuan sebagai antikonvulsan, menurunkan TIK dan CMRO2, dan untuk membantu dalam
pemeriksaan neurologis. Akhirnya, analgesia juga harus mempunyai efek yang tidak

merugikan terhadap sistem kardiovaskular. Buat waktu ini tidak ada obat sedasi yang
digunakan dapat dikatakan sebagai obat sedasi yang paling ideal.
Propofol adalah obat untuk menginduksi hipnotis pilihan pada pasien dengan gejala
neurologis akut, karena mudah dititrasi dan efek sedasinya dapat cepat sekali dihentikan
cukup dengan hanya menghentikan administrasi. Karekteristik propofol ini mengizinkan
waktu sedasi diprediksi dan memungkinkan untuk evaluasi neurologis secara periodik pada
pasien. Namun, propofol harus dihindari pada pasien dengan kondisi hipotensi atau
hipovolemik karena efek deleterious hemodynamic nya. Selain itu, propofol infusion
syndrome (rhabdomyolysis, asidosis metabolik, gagal ginjal, dan bradycardia) merupakan
komplikasi potensial dari administrasi propofol yang lama dan berterusan baik secara infusi
maupun

dosis

tinggi.

Benzodiazepine

seperti

midazolam

dan

lorazepam

sangat

direkomendasikan sebgai obat sedasi dan digunakan secara infus berterusan atau bolus
intermiten. Selain sedasi, golongan obat ini juga memberikan efek amnesia dan
antikonvulsan. Namun penggunaan obat ini secara Infus berterusan, dosis tinggi, adanya
kegagalan ginjal atau hati, dan usia lanjut adalah antara faktor yang dapat menyebabkan
risiko terjadinya akumulasi dan sedasi berlebihan.
Penggunaan

secara rutin agen

pemblokir

neuromuskuler

(NMBAs) untuk

melumpuhkan pasien dengan TBI tidak dianjurkan. NMBAs mengurangi TIK dan harus
dianggap sebagai terapi lini kedua untuk hipertensi refrakter intrakranial. Namun,
penggunaan NMBA dapat menyebabkan terjadinya peningkatan risiko pneumonia,
memperpanjang waktu perawatan ICU (LOS), dan terjadinya komplikasi neuromuskuler.

Ventilasi mekanis
Penatalaksanaan pasien dengan TBI berat biasanya disertai dengan intubasi dan
ventilasi mekanik. Hipoksia, didefinisikan sebagai saturasi O2 <90%, atau PaO2 <60 mm Hg,
dan keadaan ini harus dihindari [4]. Hiperventilasi profilaksis dengan PaCO2 <25 mm Hg
tidak dianjurkan [4]. Dalam 24 jam pertama setelah TBI berat, hiperventilasi harus dihindari,
karena akan menyebabkan peningkatan penurunan kadar perfusi serebral yang sebelumnya
sudah sangat kritis. Coles et al. melaporkan bahwa, pada pasien dengan TBI, hiperventilasi
meningkatkan hipoperfusi pada volume jaringan di jaringan otak yang cedera, meskipun
terdapat perbaikan pada CPP dan TIK. Penurunan perfusi serebral pada daerah otak ini

menyebabkan daerah ini berpotensi menjadi daerah jaringan otak yang iskemik[59].
Hiperventilasi berlebihan dan berkepanjangan dapat menyebabkan terjadinya vasokonstriksi
dan iskemia serebral. Dengan demikian, hiperventilasi dianjurkan hanya sebagai prosedur
sementara untuk mengurangi peningkatan TIK. Hiperventilasi dengan periode yang singkat
(15-30 menit), dengan PaCO2 30-35 mm Hg direkomendasikan untuk mengobati kerusakan
neurologis akut yang disebabkan oleh peningkatan TIK. Waktu hiperventilasi yang lebih lama
diperlukan untuk hipertensi refrakter intrakranial, hal ini juga termasuk metode perawatan
lainnya seperti durasi obat penenang, pelumpuh otot, CSF drainase, larutan saline hipertonik
(HSSs) dan diuretik osmotik. Namun, ketika metode hiperventilasi digunakan, evaluasi
SjvO2 atau PbtO2 direkomendasikan untuk mengevaluasi oksigenasi otak dan menghindari
serebral iskemia.
Pengaturan ventilasi harus disesuaikan untuk mempertahankan pulse oximetry (SpO2)
pada 95% atau lebih dan / atau PaO2 pada 80 mm Hg atau lebih dan untuk mencapai
normoventilation (eucapnia) kadar PaCO2 dipertahankan dari 35 sampai 40 mm Hg. Mascia
et al. melaporkan bahwa ventilasi tidal volume tinggi merupakan prediktor yang mandiri dan
dapat menyebabkan cedera akut pulmonal (ALI) pada pasien dengan TBI berat [60]. Oleh
karena itu, ventilasi perlindungan dengan tidal volume rendah dan positive end-expiratory
pressure (PEEP) menjadi rekomendasi untuk mencegah cedera paru yang disebabkan oleh
penggunaan ventilator dan peningkatan TIK [61].
Sebelum melakukan suctioning melalui endotrakeal tube (ETT), dapat dilakukan
preoksigenasi dengan sebagian kecil dari oksigen inspirasi (FiO2) = 1,0, dan administrasi
sedasi tambahan dianjurkan untuk menghindari desaturasi dan peningkatan mendadak pada
TIK. penyedotan ETT harus singkat dan tidak menyebabkan trauma tambahan..
Peningkatan PEEP dapat menyebabkan peningkatan tekanan intratorak dan
menyebabkan penurunan drainase vena serebral hingga menyebabkan peningkatan CBV dan
TIK. Namun, efek dari PEEP pada TIK terlihat signifikan hanya pada kadar PEEP diatas dari
15 cm H2O pada pasien dengan kondisi hipovolemik. Namun demikian, tingkat kadar
terendah PEEP, biasanya digunakan hanya pada kadar 5 sampai 8 cm H2O untuk
mempertahankan oksigenasi memadai dan mencegah kolaps ekspirasi akhir. PEEP pada kadar
tinggi, yaitu diatas 15 cm H2O, mungkin dapat digunakan pada kasus hipoksemia refraktori.
Sering terjadinya ALI atau sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS), pada
sejumlah besar pasien dengan TBI berat dengan kejadian ALI / ARDS dilaporkan mempunyai

prevelensi sebanyak diantara 10% sampai 30% [62-64]. Etiologi ALI / ARDS pada pasien
dengan TBI berat antaranya termasuk aspirasi, pneumonia, contusio paru, transfusi darah
masif, cedera paru akut yang disebabkan oleh transfusi (TRALI), sepsis, edema paru
neurogenik dan penggunaan tidal volume dan kadar pernapasan yang tinggi [65,66]. Proses
terjadinya ALI / ARDS pada pasien dengan TBI berat menyebabkan perpanjangan waktu
perawatan ICU (LOS) dan perpanjangan pengunaan ventilasi mekanis [60]. Manajemen
ventilasi pasien dengan TBI berat dan ALI / ARDS merupakan suatu prosedur yang rumit.
Strategi ventilasi yang seimbang, mengikuti pedoman untuk penatalaksanaan TBI berat dan
"Pendekatan cedera otak konvensional" (oksigenasi yang memadai: mengoptimalkan
oksigenasi serebral otak, drainase vena dengan menggunakan PEEP kadar rendah, dan
hipokapnia ringan dengan menggunakan tidal volume tinggi), dan strategi ventilasi
pelindungan pulmonal (dengan menggunakan PEEP kadar tinggi dan tidal volume rendah),
adalah tujuan yang diinginkan, namun, sulit untuk dicapai. Hiperkapnia permisif, merupakan
strategi yang dapat digunakan pada pasien dengan ALI / ARDS, namun harus dihindari, jika
memungkinkan, pada pasien dengan kasus TBI berat disebabkan akan terjadinya vasodilatasi
serebral dan peningkatan CBV dan TIK.
Dukungan hemodinamik
Gangguan hemodinamik adalah masalah umum yang sering terjadi pada pasien
dengan kasus TBI berat. Hipotensi, yang didefinisikan sebagai SBP <90 mm Hg atau MAP
<65 mmHg, adalah antara stressor sekunder sistemik yang sering menyebabkan cedera otak
sekunder telah dilaporkan sering terjadi pada sekitar 73% populasi pasien selama perawatan
ICU [67]. Penelitian dari Traumatic Coma Data Bank (TCDB) mendokumentasikan bahwa
hipotensi merupakan penentu utama dan merupakan prediktor mandiri prognosis TBI berat
(68). Hipotensi secara signifikan berhubungan dengan peningkatan mortalitas pasca TBI [6971]. Di antara prediktor prognosis TBI, hipotensi adalah prediktor yang paling harus
diperhatikan dan dihindari serta ditangani dengan baik dan cepat.
TBI dengan kondisinya sendiri dan terisolasir dari kondisi lain tidak akan
menyebabkan hipotensi kecuali pada pasien yang telah terjadi mati batang otak.
Berkurangnya volume intravaskular akibat perdarahan dari cedera yang terjadi seperti pada
kulit kepala, leher, pembuluh darah, dada, perut, panggul dan ekstremitas, atau karena
poliuria sekunder yang disebabkan oleh kondisi diabetes insipidus, adalah antara penyebab
paling sering terjadinya hipotensi pada pasien dengan TBI berat. Selain itu antara faktor lain

yang berperan untuk terjadinya hipotensi pada pasien dengan TBI berat adalah kerana
terjadinya contusio miokard yang mengakibatkan kegagalan kerja primer jantung yaitu untuk
memompa darah, dan trauma pada spinalis yang menyebabkan terjadinya syok spinalis (lesi
servikal yang menyebabkan kehilangan total persarafan simpatik himgga terjadinya hipotensi
vasovagal dan bradiaritmia). Penyebab hipotensi yang sering kurang diperhatikan pada pasien
dengan TBI adalah penggunaan etomidate untuk intubasi. Telah dilaporkan bahwa bahkan
dengan hanya penggunaan dosis tunggal etomidate dapat menyebabkan terjadinya
insufisiensi adrenal yang akhirnya mengakibatkan hipotensi.[72].
Pemberian terapi cairan yang tepat dan agresif untuk mencapai volume intravaskular
yang memadai adalah langkah pertama dalam prosedur resusitasi pasien dengan hipotensi
parah pasca TBI. CVP dapat digunakan sebagai pedoman manajemen cairan dan dianjurkan
untuk dipertahankan pada tekanan 8 - 10 mm Hg. Pada pasien yang tidak merespon secara
baik dengan ekspansi volume yang adekuat dan administrasi vasopressor, merupakan petanda
adanya gangguan hemodinamik atau penyakit kardiovaskular yang mendasari, kateter arteri
pulmonal atau evaluasi hemodinamik non-invasif harus dipertimbangkan.
Tekanan wedge kapiler pulmonal harus dipertahankan pada tekanan 12 - 15 mm Hg.
Beberapa indikator yang dapat diandalkan sebagai keberhasilan terapi cairan adalah seperti
variasi tekanan nadi, variasi tekanan sistolik, variasi stroke volume, dan kolaps vena kava
inferior direkomendasikan sebagai indikator manajemen terapi cairan. Kristaloid isotonik,
larutan khusus normal saline (NS) adalah cairan pilihan untuk terapi resusitasi cairan dan
volume pengganti. HSSs efektif untuk merestorasi tekanan darah pada syok hemoragik,
namun tidak menurunkan kadar mortalitas [73]. The National Heart, Lung, and Blood
Institute of the National Institutes of Health telah menghentikan pendaftaran untuk penelitian
uji klinis efek HSSs pada pasien dengan TBI parah karena HSS tidak lebih baik daripada
pengobatan standar NS [74]. Terapi pengganti darah dan produk darah masih dapat digunakan
sesuai kebutuhan kasus.
Anemia adalah stressor sekunder sistemik yang umumnya sering terjadi dan harus
dihindari, kadar hemoglobin yang disasarkan adalah 100 g / L atau hematokrit 0,30.
Jaringan otak merupakan jaringan yang kaya dengan tromboplastin dan kerusakan otak dapat
menyebabkan koagulopati [75]. Kelainan koagulasi harus dikoreksi secara agresif dan cepat
dengan produk darah yang sesuai, terutama pada kondisi perdarahan intrakranial pasca
trauma.

Sebelum dilakukan evaluasi invasif TIK, MAP yang dianjurkan adalah pada tekanan
80 mm Hg. Alasan untuk mempertahankan MAP pada tekanan 80 mm Hg adalah untuk
mempertahankan CPP 60 mm Hg yang merupakan batasan pengobatan TIK> 20 mm Hg
[4]. Setelah dilakukan evaluasi invasif TIK, manajemen MAP akan diarahkan mengikuti nilai
TIK / CPP.
Pada kasus-kasus yang jarang dimana kadar CPP atau MAP sasaran mungkin tidak
dapat dicapai meskipun terapi resusitasi cairan yang tepat dan volume intravaskular yang
adekuat telah dicapai. Pemberian cairan secara berlebihan untuk mencapai CPP atau MAP
sasaran harus dihindari kerana dapat menjadi penyebab terjadinya overload cairan dan
ARDS. Administrasi vasopressor harus digunakan untuk mencapai sasaran CPP atau MAP
jika ini tidak dapat diperoleh dengan terapi resusitasi cairan yang adekuat. Norepinefrin,
dititrasi melalui jalur vena sentral (CVL), direkomendasikan. Dopamin menyebabkan
terjadinya vasodilatasi serebral dan peningkatan TIK, namun, dopamin dapat digunakan
melalui kanula intravena perifer sampai CVL dimasukkan [76,77]. Phenylephrine, agen
vasoaktif alpha-agonis murni, dianjurkan pada pasien TBI dengan takikardia. Penelitian
terbaru melaporkan bahwa pasien yang menerima Phenylephrine memberikan MAP dan CPP
yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang menerima dopamin dan norepinefrin
[78].
Hipertensi, yang didefinisikan sebagai SBP> 160 mm Hg atau MAP > 110 mm Hg,
juga merupakan stressor sistemik sekunder yang dapat memperburuk edema vasogenik otak
dan hipertensi intrakranial. Namun, hipertensi yang terjadi mungkin merupakan reaksi
fisiologis terhadap berkurangnya perfusi jaringan otak.
Akibatnya, sebelum dilakukan evaluasi TIK, hipertensi tidak boleh diturunkan kecuali
penyebabnya dikenalpasti dan diterapi, terutama pada tekanan SBP> 180-200 mm Hg atau
MAP> 110-120 mm Hg. Menurunkan tekanan darah yang meningkat, sebagai mekanisme
kompensasi untuk mempertahankan CPP yang memadai, dapat memperburuk iskemia otak.
Setelah dilakukan suatu prosedur evaluasi TIK, CPP harus menjadi patokan dalam
pengelolaan MAP.
Tekanan perfusi serebral/Cerebral perfusion pressure (CPP)
Iskemia otak dianggap kondisi sekunder yang paling penting untuk dinilai pada pasien
dengan kasus TBI berat. CPP, didefinisikan sebagai MAP dikurangi TIK, (CPP = MAP- TIK),
CPP di bawah 50 mm Hg harus dihindari [4]. CPP yang rendah dapat membahayakan daerah
otak yang mengalami iskemia, dan peningkatan tekanan CPP dapat membantu untuk
menghindari terjadinya iskemia otak. Nilai sasaran dari CPP minimal yang harus

dipertahankan sebelum melewati batas paling rendah dimana dikhwatiri terjadinya iskemik
adalah pada tekanan 60 mm Hg [4]. Mempertahankan CPP diatas 60 mmHg adalah terapi
pilihan yang mampu membantu mengurangi secara substansial kadar mortalitas dan
peningkatan kemungkinan bertahan hidup, dan nilai sasaran diata 60 mmHg ini juga
memungkinkan terjadinya peningkatan perfusi ke daerah otak yang iskemik pada pasien
dengan kasus TBI berat. Tidak ada bukti peningkatan pada kadar terjadinya hipertensi
intrakranial, morbiditas, atau mortalitas pada perawatan aktif mempertahankan CPP di atas 60
mmHg dengan normalisasi volume intravaskular atau induksi hipertensi sistemik. Pada
literature yang diteliti CPP pada kadar 60 mm Hg dan 70 mm Hg batasan CPP harus
dipertahankan sebagai patokan penatalaksanaan iskemia serebral pada pasien dengan TBI
berat. CPP harus dipertahankan minimal 60 mm Hg pada kasus TBI tanpa adanya tanda
iskemia serebral, dan minimal pada kadar 70 mm Hg pada kasus TBI dengan tanda iskemia
serebral [4]. Evaluasi PbtO2 disarankan untuk mengidentifikasi secara individual kadar CPP
optimal [79]. Dengan tidak adanya iskemia serebral, upaya secara agresif untuk
mempertahankan CPP otak di atas 70 mm Hg dengan administrasi cairan dan vasopressor
harus dihindari karena berisiko menyebabkan terjadinya ARDS [4].
Terapi Hiperosmolaritas
Administrasi manitol merupakan metode yang efektif untuk menurunkan peningkatan
TIK pasca terjadinya TBI berat [80]. manitol meningkatkan gradien osmotik sementara dan
akan dan keadaan ini menyebabkan peningkatan osmolaritas serum sehingga 310-320
mOsm / kg H2O. Namun pemberian manitol profilaksis tidak dianjurkan [4]. Sebelum
dilakukan evaluasi TIK, penggunaan manitol harus dibatasi untuk pasien dengan tanda-tanda
herniasi transtentorial
atau kerusakan neurologis progresif yang tidak disebabkan faktor ekstrakranial.
walaubagaimanapun, manitol tidak boleh diberikan jika osmolaritas serum > 320 mOsm / kg
H2O. Diuresis osmotik harus dikompensasi oleh penggantian cairan yang memadai dengan
larutan garam isotonik untuk mempertahankan euvolmia. Dosis manitol yang efektif adalah
0,25 1 g / kg, diberikan secara intravena selama 15 sampai 20 menit. Pemberian sering
manitol dapat menyebabkan dehidrasi intravaskular, hipotensi, azotemia/uremia prerenal dan
hiperkalemia [81]. Manitol boleh melewati Blood Brain Barrier (BBB) dan menumpuk di
otak, sehingga menyebabkan terjadinya pergeseran reversal pada tekanan osmotik atau
rebound efek, dan hal ini menyebabkan osmolaritas otak meningkat, sehingga TIK juga
meningkat [82,83]. Pada pasien TBI dengan gagal ginjal pemberian manitol menjadi
kontraindikasi karena berrisiko menyebabkan terjadinya edema paru dan gagal jantung. HSSs

telah diusulkan sebagai alternatif untuk manitol. HSS memiliki sejumlah efek
menguntungkan pada pasien dengan cedera kepala, antaranya termasuk peningkatan volume
intravaskular, ekstraksi air dari ruang intraseluler, penurunan TIK, dan peningkatan
kontraktilitas jantung. HSS dapat menyebabkan dehidrasi osmotik dan peningkatan viskositas
yang boleh menyebabkan terjadinya vasokonstriksi serebral. Administrasi berterusan dari
HSS dapat membantu menurunkan TIK, menghindari terjadinya edema serebral, tanpa efek
samping supraphysiologic hyperosmolarity seperti gagal ginjal, edema paru, atau demielinasi
pontine sentralis [84,85]. Pada meta-analisis yang baru dilakukan, Kamel et al. menemukan
bahwa saline hipertonik lebih efektif dibandingkan administrasi manitol, dan mungkin adalah
lebih baik dari manitol yang menjadi pilihan untuk perawatan standar peningkatan TIK buat
masa kini.[86].

Modulasi suhu
Hipotermia sistemik sedang pada suhu 32 C hingga 34 C, dapat mengurangi
metabolisme otak dan CBV, menurunkan TIK, dan meningkatkan CPP [87]. Namun bukti
adanya dampak hipotermia pada pasien dengan kasus TBI masih kontroversial. Penelitian
awal menunjukkan bahwa hipotermia sedang, pada saat pasien dibawa masuk, dikatakan
mampu memberi perbaikan signifikan prognosis pada bulan ke 3 dan 6 setelah TBI [88].
Namun, pada suatu RCT besar yang dilakukan, tidak ditemukan korelasi dari efek hipotermia
sedang yang dapat mempengaruhi prognosis TBI [89,90]. The National Acute Brain Injury
Study: Hypothermia II was a randomized, multicentre clinical trial of patients with severe
TBI merupakan uji klinis pasien dengan TBI berat yang mengambil sampel pasien dengan
karekteristik 2 sampai 5 jam pasca TBI. Pasien secara acak dikelompokan untuk kelompok
hipotermia (pendinginan sampai 33 C selama 48 jam) atau normothermia. Tidak ada
perbedaan signifikan dari prognosis antara kelompok hipotermia dan kelompok
normothermia. Uji klinis ini tidak mengkonfirmasi metode terapi hipotermia sebagai strategi
proteksi neurologis pada pasien dengan kasus TBI berat [88]. Namun, suhu pasien harus
harus tetap dikontrol dan demam harus diobati dengan cepat pada pasien dengan TBI berat.
Hipotermia sedang dapat digunakan pada kasus peningkatan TIK tidak terkendali dan
refrakter.
Profilaksis anti-kejang
Kejang pasca trauma diklasifikasikan sebagai kejang kejang pasca-trauma awal yang
terjadi dalam waktu 7 hari dari terjadinya cedera, atau kejang pasca-trauma lambat yaitu

melewati 7 hari dari terjadinya cedera [91]. Terapi profilaksis (fenitoin,carbamazepine, atau
fenobarbital) tidak dianjurkan untuk mencegah kejang pasca trauma lambat[4]. BTF
merekomendasikan terapi profilaksis untuk mencegah kejang pasca-trauma awal pada pasien
TBI yang berisiko tinggi untuk kejang [4]. Faktor risiko meliputi: GCS skor <10, contusio
kortikal, depresi fraktur cranii, subdural hematoma, epidural hematoma, intraserebral
hematoma, TBI dengan penetrasi, dan kejang dalam waktu 24 jam cedera [4,92].
Fenitoin adalah obat yang direkomendasikan sebagai profilaksis pada kasus kejang
pasca-trauma awal. Dosis awal sebesar 15 sampai 20 mg / kg intravena (IV) dapat diberikan
selama 30 menit diikuti dengan dosis 100 mg, IV, setiap 8 jam, dititrasi ke level plasma,
selama 7 hari, merupakan penatalaksanaan yang direkomendasi. Pasien yang menerima
profilaksis anti-kejang harus dievaluasi potensi terjadinya efek samping.
Profilaksis thrombosis vena dalam
Pasien TBI berat mempunyai risiko lebih tinggi untuk terjadinya proses
thromoembolik vena (VTEs) termasuk thrombosis vena dalam (DVT) dan emboli paru.
Risiko terjadinya DVT pada keadaan ketiadaan profilaksis diperkirakan terjadi sebanyak 20%
pasca TBI berat[93]. Metode tromboprofilaksis mekanik, seperti alat graduated compression
stockings dan alat kompresi berurutan, dianjurkan penggunaannya namun menjadi
kontraindikasi jika adanya cedera ekstremitas bawah. Penggunaan alat tersebut harus
dilanjutkan sehingga kondisi pasien cukup hanya dirawat jalan. Jika tidak adanya
kontraindikasi, heparin dengan berat molekul rendah (LMWH) atau dosis rendah
unfractionated heparin harus digunakan dengan kombinasi profilaksis mekanik. Namun,
penggunaan profilaksis farmakologis berpotensi menyebabkan terjadinya peningkatan risiko
untuk perluasan perdarahan intrakranial. Meskipun, bukti untuk mendukung rekomendasi
waktu yang tepat untuk menggunakan profilaksis farmakologis kurang, kebanyakan ahli
menyarankan memulai profilaksis farmakologis sedini mungkin yaitu sekitar 48 sampai 72
jam setelah terjadinya cedera, tanpa adanya kontraindikasi lain [94].
Profilaksis stres ulkus
TBI berat merupakan faktor risiko yang diketahui mampu menyebabkan ulkus stres
(Ulkus Cushing) di perawatan ICU. Profilaksis termasuk pemberian awal asupan nutrisi
secara enteral dan profilaksis farmakologi seperti H2-blocker, proton pump inhibitor dan
sukralfat [95,96].
Dukungan nutrisi
Pasien TBI berat biasanya berada didalam kondisi hipermetabolik, hiperkatabolik dan
hiperglikemia, dengan disertai gangguan fungsi GI. Ada bukti yang menunjukkan kondisi gizi

buruk meningkatkan kadar mortalitas pada pasien TBI [97]. Telah dilakukan penelitian
sebelumnya dimana didokumentasikan pemberian asupan nutrisi secara enteral adalah lebih
baik dari pemberian asupan nutrisi secara parenteral (PN). Penggunaan PN harus dibatasi dan
hanya dipilih jika adanya kontraindikasi dari pemberian asupan nutrisi enteral, hal ini karena
ia dapat menyebabkan peningkatan terjadinya komplikasi dan kadar mortalitas [98]. Oleh
karena itu, pemberian awal asupan nutrisi enteral dianjurkan pada pasien dengan TBI berat,
karena pemberian asupan nutrisi enteral aman, murah, hemat biaya, dan fisiologis. Potensi
keuntungan dari pemberian asupan nutrisi secara enteral termasuk menstimulasi semua fungsi
saluran gastro-intestinal, mempertahankan immunitas usus, mempertahankan fungsi dan
integritas mukosa usus, dan pengurangan infeksi dan komplikasi septik. Secara umum, pasien
dengan TBI berat memiliki intoleransi lambung terhadap asupan nutrisi karena berbagai
alasan antaranya termasuk pengosongan lambung yang abnormal dan gangguan fungsi
lambung yang merupakan akibat sekunder dari peningkatan TIK, dan penggunaan opiat.
Agen prokinetik seperti metoclopramide atau eritromisin, meningkatkan toleransi. Asupan
makanan postpyloric dapat menghindari intoleransi lambung dan dapat memastikan suplai
kalori yang tinggi dan asupan nitrogen. Meskipun BTF merekomendasikan instruksi istirahat
dari aktivitas metabolik sebanyak 140% pada pasien tidak lumpuh dan 100% pada pasien
lumpuh untuk tidak lagi digunakan, ada bukti yang menunjukkan adanya manfaat dari asupan
rendah kalori [99-102].
kontrol glikemik
Pada pasien dengan TBI berat, stres hiperglikemia adalah merupakan antara stressor
sekunder otak sistemik yang sering terjadi. Penelitian menunjukkan hiperglikemia yang
terjadi berulang kali dikaitkan dengan prognosis neurologis buruk pasca terjadinya TBI [103108]. Namun meskipun hiperglikemia merugikan, mempertahankan kadar glukosa darah
yang rendah dalam batas optimal masih menjadi isu yang kontroversial pada pasien dengan
TBI berat, karena hipoglikemia, yang merupakan komplikasi umum dari penurunan kadar
glukosa yang intensif, dapat malah menyebabkan cedera otak dan memperburuk cedera otak
sudah terjadi[109]. Vespa et al. melaporkan bahwa terapi insulin intensif (IIT) memberikan
hasil penurunan microdialisis glukosa dan peningkatan microdialisis glutamat dan rasio laktat
/

piruvat

tanpa

memberikan

hasil

keuntungan

fungsional

[110].

Oddo

dkk.

menndokumentasikan bahwa kontrol glukosa sistemik secara intensif mampu menyebabkan


terjadinya penurunan ketersediaan glukosa otak ekstraseluler dan meningkatkan prevalensi
terjadinya krisis energi otak, yang pada akhirnya berkorelasi dengan meningkatnya kadar
mortalitas. IIT dapat mengganggu metabolisme glukosa otak setelah terjadinya cedera otak

berat [111]. Suatu meta-analisis IIT pada cedera otak mengungkapkan bahwa IIT tampaknya
tidak mengurangi risiko meningkatnya mortalitas di rumah sakit atau mortalitas lambat (RR =
1,04, 95% CI = 0,75, 1,43 dan RR = 1,07, 95% CI = 0,91, 1,27 masing-masing). Selain itu,
IIT juga tidak memiliki efek protektif neurologis jangka panjang (RR = 1,10, 95% CI = 0,96,
1,27). IIT malah meningkatkan kadar terjadinya episode hipoglikemik (RR = 1,72, 95% CI =
1,20, 2,46) [112]. Akibatnya, Mayoritas bukti klinis yang tersedia saat ini tidak mendukung
kontrol glukosa intensif (mempertahankan kadar glukosa darah di bawah 110-120 mg / dl)
selama perawatan akut pasien dengan TBI berat [113].
Steroid
Administrasi steroid tidak dianjurkan untuk memperbaiki prognosis atau mengurangi
TIK pada pasien dengan TBI berat. Pemberian steroid dapat membahayakan pada kasus TBI.
Penelitian CRASH merupakan suatu penelitian kolaborasi internasional yang multisenter,
bertujuan untuk mengkonfirmasi atau menolak efek steroid pada kasus TBI telah melakukan
penelitian dengan target merekrut 20000 pasien sebgai sampel. Pada bulan Mei 2004, data
monitoring committee mempresentasikan hasil penelitian mereka kepada steering committee,
bahawa penelitian CRASH yang berhenti pada perekrutan 10008 pasien memberikan hasil
jumlah pasien yang dibandingkan dengan plasebo, risiko mortalitas dari semua penyebab
dalam waktu 2 minggu lebih tinggi pada kelompok yang dialokasikan pada kelompok yang
diberi kortikosteroid (1052 [21,1%] vs 893 [17,9%] kematian, risiko relatif = 1,18 [95% CI =
1,09-1,27], p = 0,0001). Para penulis menyimpulkan bahwa tidak ada pengurangan kematian
dengan pemberian metilprednisolon dalam jangka waktu 2 minggu setelah terjadinya cedera
kepala. Penyebab kenaikan risiko kematian dalam 2 minggu pada penelitian ini
bagaimanapun masih tidak jelas [114]. Oleh karena itu, pada pasien dengan TBI parah,
pemberian dosis tinggi metilprednisolon menjadi kontraindikasi [4]
Koma barbiturat
Barbiturat terbukti sebagai terapi yang efisien untuk kasus hipertensi intrakranial
refrakter. Barbiturat mengurangi metabolisme serebral dan CBF, dan menurunkan TIK [115].
Admnistrasi dosis tinggi barbiturat dapat dipertimbangkan pada pasien TBI berat dengan
kondisi hemodinamik yang stabil, namun refrakter terhadap penatalaksanaan terapi maksimal
TIK secara medis maupun bedah. efek samping utama dari golongan obat ini adalah:
hipotensi, terutama pada hipovolemik, dan imunosupresi yang dapat meningkatan terjadinya
infeksi [116]. Namun, administrasi profilaksis barbiturat untuk menginduksi keadaan burst
suppression EEG tidak dianjurkan [4]. Pentobarbital merupakan obat yang direkomendasikan
untuk menginduksi koma barbiturat sebagai dengan pemberian seperti berikut:

Pentobarbital: 10 mg / kgBB selama 30 menit, kemudian


5 mg / kgBB / jam selama 3 jam, kemudian
1 mg / kgBB / jam
Sebagai alternatif, natrium thiopental dapat digunakan sebagai berikut:
2,5-10 mg / kgBB IV, bolus perlahan, diikuti dengan
0,5-2 mg / kgBB / jam

Cairan dan elektrolit


Tujuan dari terapi cairan adalah untuk mengembalikan dan mempertahankan keadaan
euvolemia ke hipervolemia sedang (CVP = 8-10 mm Hg, PCWP = 12 - 15 mm Hg).
Keseimbangan cairan negatif telah terbukti berhubungan dengan faktor yang merugikan dan
juga merupakan faktor yang mandiri namun dapat mempengaruhi TIK, MAP, dan CPP [117].
Kristaloid isotonik harus digunakan pada terapi cairan, dan cairan Normal saline (NS) adalah
cairan kritaloid yang direkomendasikan. Namun resusitasi cairan secara intensif dengan NS
dapat mengakibatkan hiperkloremik metabolik asidosis, hal ini merupakan komplikasi yang
dapat diprediksi dari pemberian NS dalam volume besar, dengan implikasi klinis yang
berbeda. Solusi hipotonik, seperti 1/2 NS, NS , Dextrose 5% dalam air (D5% W), D5% 1/2
NS, atau D5% NS harus dihindari. Larutan ringer laktat sedikit hipotonik dan merupakan
cairan yang kurang direkomendasi untuk resusitasi cairan pada pasien TBI berat, terutama
untuk melakukan resusitasi dengan volume besar, hal ini karena Riner laktat dapat
menurunkan osmolaritas serum. glukosa mengandung solusi, seperti yang disebutkan
sebelumnya atau D10% W harus dihindari pada periode 24 sampai 48 jam pertama, kecuali
pada pasien yang mengalami hipoglikemia dengan tidak adanya dukungan nutrisi. Kondisi
hiperglikemia pada TBI adalah keadaan yang sangat membahayakan, metabolisme anaerobic
glukosa otak menghasilkan asidosis dan molekul air bebas, kedua senyawa dapat
memperburuk edema otak. Pemberian cairan koloid harus digunakan secara berhati-hati
karena penggunaan cairan ini seperti yang dilaporkan pada, penelitian SAFE, merupakan
antara faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan mortalitas pada pasien dengan TBI
[118]. HSSs telah terbukti efektif dalam mengurangi edema otak, mengurangi TIK, dan
meningkatkan MAP dan CPP [119]. Potensi bermanafaat lain dari pemberian cairan HSSs
termasuk, dapat cepat meningkatkan volume intravaskular (dengan pemberian volume kecil),
meningkatkan curah jantung dan pertukaran gas pulmonal, pembalikan immunomodulation
yang disebabkan oleh hipotensi, dan penurunan produksi CSF. Namun HSS mempunyai
potensi efek samping seperti hipertensi mendadak, hipernatremia, penurunan kesadaran dan
kejang. Namun, secara umum penelitian penggunaan HSS menunjukkan hasil yang tidak

konsisten sehingga penilitian klinis selanjutnya adalah diperlukan untuk menentukan


perannya dalam penatalaksanaan terapi cairan.
Pada pasien TBI berat dengan peningkatan TIK atau adanya bukti edema otak, tingkat
natrium serum (Na+) yang diterima sebagai kadar aman adalah pada kadar 150-155 mEq / L
[120]. Namun, gangguan konsentrasi serum elektrolit merupakan komplikasi yang umum
setelah terjadinya TBI. Cedera pada sistem hipotalamus-hipofisis adalah merupakan faktor
utama terjadinya kondisi ini. Penyebab paling umum untuk kondisi hipernatremia (Na +> 150
mmol / L) pada pasien dengan TBI adalah diabetes insipidus sentral atau neurogenik,
penggunaan diuresis osmotik (mannitol), dan HSS. Koreksi hipernatremia berat (Na +> 160
mmol / L) harus dilakukan secara bertahap, kerana perubahan secara mendadak pada
osmolaritas serum dan penurunan cepat konsentrasi natrium dapat memperburuk edema
serebral. Resusitasi cairan pada kasus pasien TBI dengan kondisi hipovolemik dan
hipernatremik harus diterapi dengan hanya pemberian NS pada awalnya. Penatalaksanaan
gangguan elektrolit harus diikuti dengan restorasi total volume. Hiponatremia merupakan
kondisi yang membahayakan dan merupakan stressor sekunder otak sistemik utama pada
cedera otak sekunder pada pasien yang menderita TBI berat, karena kondisi ini mengarah ke
eksaserbasi edema otak dan peningkatan TIK. Hal ini merupakan efek sekunder dari cerebral
salt wasting syndrome [121], syndrome of inappropriate anti-diuretic hormone secretion
(SIADH). Hipofosfatemia dan hipomagnesemia adalah komplikasi umum pada pasien dengan
cedera kepala dan hal ini adalah faktor kejang sering terjadi [122123].
Terapi Lund
Terapi Lund pada TBI berat didasarkan pada prinsip regulasi fisiologis antara jaringan
otak dan volume darah. Terapi ini bertujuan untuk mencegah hipoksia otak dan sekaligus
mengambil langkah-langkah menghindari filtrasi transkapiler. Konsep Lund lebih
menguntungkan jika terjadinya gangguan pada fungsi blood brain barrier dan lebih tepat
digunakan jika tekanan autoregulasi hilang. Terapi ini memiliki dua tujuan utama: pertama
untuk mengurangi atau Terapi ini memiliki dua tujuan utama: pertama untuk mengurangi
terjadinya peningkatan TIK (TIK sasaran), dan yang kedua adalah untuk meningkatkan
perfusi

dan

oksigenasi

pada

sekitar

daerah

kontusio

(perfusi

sasaran)

dengan

mempertahankan oksigenasi darah yang normal, normovolemia dan kadar hematokrit normal.
Protokol

pengobatan,

untuk

mengurangi

peningkatan

TIK,

antaranya

termasuk

mempertahankan tekanan normal penyerapan dari koloid (konsentrasi protein plasma


normal), penurunan tekanan intrakapiler dengan cara mengurangkan tekanan darah sistemik
dengan terapi antihipertensi (a beta1-antagonis, metoprolol, dikombinasikan dengan alpha 2-

agonis, clonidine) dan secara bersamaan, konstriksi sedang pada resistensi pembuluh darah
prekapiler dengan memberi thiopental dan dihydroergotamine dosis rendah. Beberapa
penelitian telah melaporkan bahwa terapi Lund dapat memberikan hasil klinis yang baik
[124]
Perawatan intensif umum
Mirip dengan pasien lain pada perawatan intensif, pasien dengan kasus TBI harus
menerima perawatan rutin sehari-hari seperti berikut berikut:

Meninggikan posisi kepala pada tempat tidur pada sudut 30 - 45 : yang akan
dapat membantu mengurangi TIK dan meningkatkan CPP [125], dan

menurunkan risiko ventilator-associated pneumonia (VAP).


Mempertahankan kepala dan leher pasien dalam posisi netral: ini akan dapat

membantu meningkatkan drainase vena serebral dan mengurangi TIK.


Menghindari kompresi vena jugular interna atau eksterna dengan menghindari
pemasangan cervical collar secara keras atau fiksasi berlebihan endotrakeal
tube yang akan menghambat drainase vena serebral dan dapat mengakibatkan

terjadinya peningkatan TIK.


Menggerakkan pasien miring ke kiri dan ke kanan secara teratur dan sering

namun dengan pengamatan secara tetap TIK [126].


Memberikan perawatan mata, mulut dan kebersihan kulit
Menerapkan evidence-based bundles untuk pencegahan infeksi termasuk VAP

[127] dan central line bundle [128].


Pengadministrasian rejimen usus untuk menghindari konstipasi yang dapat

meningkatkan tekanan intra-abdomen dan TIK.


Melakukan fisioterapi

Dekompresi cranioectomy dan hemicranioectomy


Prosedur bedah dekompresi cranioectomy merupakan rekomendasi pendekatan terapi
yang menjanjikan untuk pasien dengan TBI berat akut yang beresiko untuk dapat terjadinya
edema otak berat. Prosedur dekompresi cranioectomy dan hemicranioectomy, secara umum
diterima sebagai prosedur bedah yang dapat dipilih untuk mengatasi hipertensi intrakranial
pada kasus di mana penatalaksanaan non-bedah gagal. Operasi dekompresi dilakukan sebagai
life-saving procedure saat hipertensi intracranial dapat menyebabkan terjadinya mortalitas
yang cepat. Meskipun prosedur operasi semakin sering digunakan, bukti tentang efek
keseluruhan
pada prognosis adalah bertentangan. Albanese et al, dalam penelitian kohort retrospektif pada
40 pasien dengan hipertensi intrakranial yang beresiko tinggi terjadinya kematian otak,

prosedur dekompresi cranioectomy membantu 25% dari jumlah pasien sampel untuk
mencapai rehabilitasi sosial dalam jangka waktu 1 tahun [129]. Cooper et al, dalam sebuah
penelitian prospektif, terkontrol secara acak pada 155 orang dewasa dengan TBI berat yang
diffus dan hipertensi intrakranial yang refrakter dibandingkan dengan terapi konvensional
non-bedah, prosedur bifrontotemporoparietal decompressive craniectomy, menunjukkan hasil
penurunan tekanan intrakranial (P <0,001) dan pengurangan durasi perawatan di ICU (P
<0,001), namun, dengan
prognosis yang kurang baik (rasio odds = 2,21, 95% CI = 1,14-4,26, P = 0,02). Tingkat
mortalitas dalam jangka waktu 6 bulan adalah sama pada kelompok craniectomy (19%) dan
kelompok perawatan konvensional (18%) [130].
Memprediksi prognosis TBI
Prediksi awal prognosis TBI adalah penting. Beberapa model prediktif prognosis
pasien dengan TBI berat telah diusulkan [131132]. Sebuah model prognostik relatif sederhana
yang menggunakan dasar prediktif dengan 7 karakteristik penilaian termasuk usia, skor
motorik, reaktivitas pupil, hipoksia, hipotensi, klasifikasi CT-scan, dan perdarahan
subarachnoid traumatic telah dilaporkan secara akurat dapat memprediksi prognosis untuk
jangka waktu 6 bulan pada pasien dengan TBI berat atau sedang [131]. Model prediktif
berdasarkan usia, tidak adanya refleks cahaya, adanya perdarahan subarachnoid luas, TIK,
dan midline shift terbukti memiliki nilai prediksi yang tinggi dan berguna untuk pengambilan
keputusan, merevisi pengobatan, dan konseling keluarga pada kasus TBI [132].
Kesimpulan
Pengelolaan TBI berat berpusat pada perawatan intensif yang teliti dan komprehensif
dan mencakup, pendekatan multimodel protocol. Pendekatan ini mencakup dukungan
hemodinamik yang tepat, perawatan pernapasan, terapi cairan, dan aspek lain dari terapi,
ditujukan untuk mencegah stressor sekunder otak, menjaga CPP yang memadai, dan
mengoptimalkan oksigenasi serebral. Pendekatan ini jelas memerlukan upaya dari tim yang
multidisiplin termasuk ahli saraf, ahli bedah saraf, perawat, pemberi perawatan jalan nafa dan
anggota lain dari tim medis. Walaupun untuk mencapai target ini merupakan tugas yang
sukar, namun ianya dapat memberikan hasil yang baik mengingat faktor umur pasien dan
faktor socio-ekonomi dari permasalahan ini.

Anda mungkin juga menyukai