Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA

KLIEN DENGAN HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV)/


AQUIRED IMMUNO DEFICIENCY SYNDROME (AIDS)
DIRUANG SAKURA RSUD dr. SOEBANDI
JEMBER

oleh
Riana Vera Andantika, S.Kep
NIM 122311101006

PENDIDIKAN PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2016

LAPORAN PENDAHULUAN
HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV/ AQUIRED IMMUNO
DEFICIENCY SYNDROME (AIDS)
DI RUANG SAKURA RSUD dr. SOEBANDI JEMBER
Oleh: Riana Vera Andantika, S. Kep.
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Definisi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus RNA yang termasuk
family retroviridae dan genus lentivirus yang menyebabkan penurunan imunitas
tubuh pejamu. Pada proses replikasi virus HIV diperlukan adanya perubahan dari
Ribonucleic Acid (RNA) menjadi Deoxyribonucleid Acid (DNA) di dalam sel
pejamu. Virus HIV menginfeksi tubuh memiliki masa inkubasi yang lama (masa
laten klinis) dan pada akhirnya menimbulkan tanda dan gejala AIDS (Direktorat
Jenderal PP & PL, 2012). HIV merupakan retrovirus yang menyerang sel-sel
sistem kekebalan tubuh manusia terutama CD4 positive T-sel dan macrophages
(komponen utama sistem kekebalan sel), dan menghancurkan atau mengganggu
fungsinya. Infeksi virus ini mengakibatkan terjadinya penurunan sistem kekebalan
yang terus-menerus. Sistem kekebalan dianggap defisien ketika sistem tersebut
tidak dapat lagi menjalankan fungsinya memerangi infeksi dan penyakit (KPA
Nasional, 2010).
AIDS (Aquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah suatu penyakit yang
disebabkan oleh infeksi HIV (Human Immuno Deficiency Virus) yang
menyebabkan kolapsnya sistem imun (Corwin, 2000). AIDS diartikan sebagai
bentuk paling erat dari keadaan sakit terus menerus yang berkaitan dengan infeksi
Human Immunodefciency Virus (HIV). Manivestasi infeksi HIV ditandai dengan
tanda-tanda gelaja gangguan sistem imun yang ringan sampai manivestasi yang
menunjukkan kelainan sistem imun yang berat (Smeltzer, 2001). Smeltzer & Bare
(2001) menyatakan bahwa HIV telah ditetapkan sebagai agens penyebab
Accuired Immunideficiency Syndrome (AIDS), yaitu gejala dari penyakit yang
mungkin terjadi saat sistem imun dilemahkan oleh virus HIV.

1) Struktur virus HIV


Secara struktural morfologinya, bentuk HIV terdiri atas sebuah silinder
yang dikelilingi pembungkus lemak yang melingkar-melebar. Pada pusat
lingkaran terdapat untaian RNA. HIV mempunyai 3 gen yang merupakan
komponen fungsional dan struktural. Tiga gen tersebut yaitu gag, pol, dan
env. Gag berarti grup antigen, pol mewakili polimerase, dan env adalah
kepanjangan dari envelope (Hoffmann, Rockstroh, Kamps, 2006 dalam
Kurniawati & Nursalam, 2007). Gen gag mengode protein inti. Gen pol
mengode enzim reverse transcriptase, protease, dan integrase. Gen envi
mengode komponen struktural HIV yang dikenal dengan glikoprotein. Gen
lain yang ada dan juga penting dalam replikasi virus yaitu rev, nef, vpu, dan
vpr (Kurniawati & Nursalam, 2007)

Gambar 1. Struktur virus HIV


Sumber: Hoffmann, Rockstroh, Kamps, 2006 dalam Kurniawati & Nursalam,
2007

2) Siklus hidup virus HIV


Sel pejamu yang terinfeksi oleh HIV memiliki waktu hidup sangat
pendek. Hal ini berarti HIV secara terus-menerus menggunakan sel pejamu
baru untuk mereplikasi diri. Sebanyak 10 milyar virus dihasilkan setiap

harinya. Serangan pertama HIV akan tertangkap oleh sel dendrit pada
membran mukosa dan kulit pada 24 jam pertama setelah paparan. Sel yang
terinfeksi tersebut akan membuat jalur ke nodus limfa dan kadang-kadang ke
pembuluh darah perifer selama 5 hari setelah paparan, di mana replikasi virus
menjadi semakin cepat.
Siklus hidup HIV dapat dibagi menjadi 5 fase, yaitu:
1. masuk dan mengikat;
2. reverse transkriptase;
3. replikasi;
4. budding;
5. maturasi (Kurniawati & Nursalam, 2007).

Gambar 2. Siklus hidup HIV


Sumber: Fauci, 1996 dalam Kasper, D. E, et al, 2005 dalam Kurniawati & Nursalam,
2007

3) Tipe virus HIV


Ada 2 tipe HIV yang dapat menyebabkan AIDS yaitu HIV-1 dan HIV-2.
HIV-1 bermutasi lebih cepat karena replikasi lebih cepat. Berbagai macam
subtipe dari HIV-1 telah ditemukan dalam area geografis yang spesifik dan
kelompok spesifik risiko tinggi. Individu dapat terinfeksi oleh subtipe yang
berbeda. Menurut Smeltzer & Bare (2001), HIV-2 adalah virus yang sama

jalur penularannya dan juga menyebabkan AIDS. Tes serologik dapat


membedakan antara HIV-1 dan HIV-2.
2. Epidemiologi
Berdasarkan case report United Nations Programme on HIV/AIDS
(UNAIDS) tahun 2011 jumlh orang yang terjangkit HIV di dunia sampai akhir
tahun 2010 terdapat 34 juta orang, du pertuganya tinggal di Afrika kawasana
selatan Sahara, di kawasan itu kasus infeksi baru mencapai 70 %. Di Afrika
Selatan 5,6 juta orang terinfeksi HIV, di Eropa Tengah dan Barat jumlah kasus
infeksi baru HIV/AIDS sekitar 840 ribu, di Jerman secara kumulasi ada 73 ribu
orang, kawasan Asia Pasifik merupakan urutan kedua terbesar di dunia setelah
Afrika Selatan dimana terdapat 5 juta penderita HIV/AIDS. Menurut World
Health Organization (WHO) dilaporkan bahwa pada tahun 2011 teradapat 3,5 juta
orang di Asia Tenggara hidup dengan HIV/AIDS. Beberapa negara seperyi
Myanmar, Nepal, dan Thailand meununjukkan penurunan infeksi baru HIV. Hal
ini dihubungkan salah satunya dengan diterapkannya program pencegahan
HIV/AIDS melalui program Condom use 100 persen (CUP) ( WHO, 2011).
Berdasarkan data statisti kasus HIV/AIDS di Indonesia oleh Ditjen PP & PL
Kemenkes RI sampai bulan September 2014 diketahui sebanyak 22.869 orang
terinfeksi virus HIV dan sebanyak 1.876 orang dengan AIDS. Secara kumulatif
laporan HIV & AIDS sejak bulan April 1987 sampai dengan bulan Sepember
2014 adalah sebanyak 150.296 orang dengan HIV dan sebanyak 55.799 orang
AIDS dengan angka kematian sebanyak 9.796 orang. Kasus HIV AIDS ini lebih
umum menyerang pada kaum laki-laki yaitu sebanyak 30.001 orang (Ditjen
PP&PL Kemenkes RI, 2014).
3. Etiologi
Terdapat dua virus utama pada infeksi HIV yang mempunyai sedikit
perbedaan pada pathogenesis,manifestasi infeksi, perawatan dan prognosis
yaitu HIV-1 yang sejauh ini paling umum di dunia dan HIV-2 yang menyebar
terutama di Afrika Barat (Scully, 2004). Transmisi horizontal HIV terjadi
melalui kontak seksual yang intim atau pajanan parenteral dengan darah atau

cairan tubuh lain yang mengandung HIV. Transmisi perinatal (vertikal) terjadi
ketika ibu hamil yang terinfeksi HIV meneruskan infeksi kepada bayinya.
Tidak terdapat bukti yang menunjukan bahwa kontak secara sepintas antara
orang yang terinfeksi dan yang tidak terinfeksi dapat menyebarkan virus
tersebut (Corwin, 2000). Transmisi HIV yang paling lazim di seluruh dunia
adalah melalui hubungan seksual. Infeksi menular seksual laninnya (terutama
yang menyebabkan ulkus genital) akan meningkatkan risiko penularan HIV.
Jalur penularan HIV sangat beragam (Direktorat Jenderal PP & PL, 2012).
HIV terdapat dalam sebagian cairan tubuh, yaitu darah, air mani, cairan
vagina, dan air susu ibu (ASI). HIV menular melalui:
1) Berhubungan seks yang memungkinkan darah, air mani, atau cairan
vagina dari orang terinfeksi HIV masuk ke aliran darah orang yang belum
terinfeksi (yaitu hubungan seks yang dilakukan tanpa kondom melalui
vagina atau dubur; juga melalui mulut, walau dengan kemungkinan lebih
kecil).
2) Memakai jarum suntik secara bergantian dengan orang lain yang terinfeksi
HIV.
3) Menerima transfusi darah dari donor yang terinfeksi HIV.
4) Dari ibu terinfeksi HIV ke bayi dalam kandungan, waktu melahirkan, dan
jika menyusui sendiri.
Biasakan mempunyai sikat gigi dan pisau cukur sendiri, karena selain untuk
kebersihan pribadi, jika terdapat darah akan ada risiko penularan virus lain
yang menular melalui darah (misalnya hepatitis), bukan hanya HIV. HIV tidak
menular melalui:
1) Bersalaman, berpelukan
2) Batuk, bersin
3) Memakai peralatan rumah tangga seperti alat makan, telepon, kamar
mandi, WC, kamar tidur, dll
4) Gigitan nyamuk
5) Bekerja, bersekolah, berkendaraan bersama
6) Memakai fasilitas umum misalnya kolam renang, WC umum, sauna, dll

HIV tidak menular melalui udara. Virus ini juga cepat mati jika berada di
luar tubuh. Virus ini dapat dibunuh jika cairan tubuh yang mengandungnya
dibersihkan dengan cairan pemutih (bleach) seperti bayclin atau chlorox, atau
dengan sabun dan air. HIV tidak dapat diserap oleh kulit yang tidak luka
(Murni dkk, 2009).
4. Klasifikasi
1) Klasifikasi laboratorium (Limfosit CD4+)
CDC mengkategorikan dewasa dan dewasa muda terinfeksi HIV
berdasarkan hitung limfosit CD4+ dan kategori klinis, yaitu :
Tabel 1. Sistem Klasifikasi untuk Infeksi HIV dan definisi Kasus Surveilans AIDS
yang diperluas bagi pasien Remaja dan Dewasa
CD4+

Kategori Klinis
B

A
Total
500
200-499
< 200

(Asimtomatik)

29%
14-28%
< 14 %

A.1
A.2
A.3

(Simtomatik, bukan

(Indikator AIDS)

kondisi A atau C)
B.1
B.2
B.3

C.1
C.2
C.3

a. Berdasarkan hitung limfosit CD4+:


a) Kategori 1 : lebih besar atau sama dengan 500 CD4+ T-cells/ul
b) Kategori 2 : 200-499 CD4+ T-cells/ul
c) Kategori 3 : < 200 CD4+ T-cells/ul
b. Berdasarkan kategori klinis :
a) Kategori klinis A
Mencakup satu atau lebih keadaan pada dewasa atau remaja
dengan infeksi HIV yang sudah dipastikan tanpa keadaan dalam
kategori B dan C, yaitu:
(a) Infeksi HIV yang asimptomatik.
(b) Limpadenopati generalisata yang persisten
(c) Infeksi HIV yang akut dengan keadaan sakit yang menyertai.
b) Kategori klinis B

Keadaan dalam kategori klinis B mencakup :


(a) Angiomatosis baksilaris
(b) Kandidiasis orofaring/vulvaginal
(c) Displasia servik
(d) Gejala konstitusional, seperti panas (38,5C) atau diare lebih dari
1 bulan
(e) Herpes zoster
(f) Leukoplakia oral yang berambut
(g) Idiopatik trombositopeni purpura
(h) Listeriosis
(i) Penyakit inflamasi pelvic khususnya jika disertai komplikasi
abses tuboovarii
(j) Neuropati peripir
c) Kategori klinis C
Keadaan dalam kategori C mencakup ;
(a) Kandidiasi bronkus, trakea/paru-paru, esophagus
(b) Kanker servik inpasif
(c) Koksidiodomikosis ektrapulmoner/diseminata
(d) Kriptokokosis ekstrapulmoner
(e) Kriptosporidosis internal kronis
(f) Penyakit cytomegalovirus (bukan hati, lien, kelenjar limpe)
(g) Retinitis cytomegalovirus
(h) Encepalopati yang berhubungan dengan HIV
(i) Herves simpleks, ulkus kronis (durasi lebih dari 1 bulan)
(j) Histoplasmosis diseminata atau ekstrapulmoner
(k) Isosporiasis intestinal yang kronis
(l) Sarkoma Kaposi
(m)Limfoma Burkitt

(n) Kompleks mycobacterium avium atau M. kansasil yang


diseminata atau ekstrapulmoner
(o) Mycobakterium spesies lain atau spesies yang tidak dikenali,
diseminata atau ekstrapulmoner
(p) Pneumonia pneumocytis carnii
(q) Pneumonia rekuren
(r) Leukoensefalopati multifokal progresif
(s) Septikemia salmonella yang rekuren
(t) Toksoplasmosis otak
(u) Sindrom pelisutan akibat HIV (Smeltzer, 2001)
2) Klasifikasi Stadium Klinis
WHO telah mengembangkan sistem stadium klinis berdasarkan kriteria
klinis. Stadium klinis WHO dapat membantu untuk memperkirakan tingkat
defisiensi kekebalan tubuh pasien. Pasien dengan gejala pada stadium klinis 1
atau 2 biasanya tidak mempunyai gejala defisiensi kekebalan tubuh yang
serius. Pasien yang mempunyai gejala dan tanda stadium klinis 3 atau 4
biasanya mempunyai penurunan kekebalan tubuh yang berat dan tidak
mempunyai cukup banyak sel CD4 sehingga memudahkan terjadina infeksi
oportunistik (IO).
Tabel 2. Klasifikasi klinis infeksi HIV pada orang dewasa menurut WHO

Stadium
1
(Asimptomatik)
2 (Sakit ringan)

Skala Aktivitas Gambaran Klinis


Tidak ada gejala, aktivitas normal, atau hanya:
Limfadenopati generalisata persisten: kelenjar
multipel berukuran kecil tanpa rasa nyeri
Simptomatik, aktivitas normal
Berat badan turun 5-10%
Luka pada sudut mulut (keilitis angularis)
Dermatitis seboroik: lesi kulit bersisik pada batas
antara wajah dan rambut serta sisi hidung
Prurigo: lesi kulit yang gatal pada lengan dan
tungkai
Herpes zoster: papul disertai nyeri pada sisi tubuh,

wajah, atau ekstremitas


ISPA berulang: infeksi tenggorokan berulang,
sinusitis atau infeksi telinga
Ulkus pada mulut berulang
3 (Sakit sedang) Pada umumnya lemah, aktivitas di tempat tidur kurang
dari 50%
Berat badan turun > 10%
Kandidiasis mulut: bercak putih yang menutupi
daerah di dalam mulut
Oral hairy leukoplaakia: garis vertikal putih di
samping lidah, tidak nyeri, tidak hilang jika
dikerok
lebih dari 1 bulan diare: kadang-kadang intermiten
infeksi bakteri yang berat: pneumonia, piomiositis,
dan lain-lain
Tuberkulosis paru
Hb < 8 g, lekosit < 500, trombosit < 50.000
Gingivitis/periodontitis ulseratif nekrotikan akut
4
(Sakit Pada umumnya sangat lemah, aktivitas di tempat tidur
berat/AIDS)
lebih dari 50%
HIV wasting syndrome: sangat kurus disertai
demam kronik dan/atau diare kronik
Kandidiasis esofagus: nyeri hebat saat menelan
Lebih dari 1 bulan: ulserasi herpes simpleks: luka
lebar dan nyeri kronik di genetalia dan/atau anus
Limfoma*
Sarkoma kaposi: lesi berwarna gelap (ungu) dikulit
dan/atau mulut, mata, paru, usus, dan sering
disertai edema
Kanker serviks invasif*
Retinitis CMV
Pneumonia pneumosistis*: pneumonia berat
disertai sesak napas dan batuk kering
Tuberkulosis ekstraparu*: contoh pada tulang atau
meningitis
Meningitis kriptokokus*: meningitis dengan atau
tanpa kaku kuduk
Abses otak toksoplasmosis*
Ensefalopati HIV*: gangguan neurologis yang

tidak disebabkan oleh faktor lain seringkali


membaik dengan pengobatan ARV
Catatan: keadaan yang ditandai dengan tanda (*) membutuhkan diagnosis dokter
data didapat dari rekam medis sebelumnya. Piomiositis, pneumosistis atau
pneumonia berat lainnya, toksoplasmosis, meningitis kriptokokus, dan TB ekstraparu
adalah semua infeksi yang harus dirujuk untuk diagnosis dan perawatan di RS
(Direktorat Jenderal PP & PL, 2012).

3) Klasifikasi Fase HIV


Menurut Family Health International (2004) dan Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional (2008) menyebutkan bahwa terdapat beberapa
fase dari virus HIV sampai menjadi AIDS, yaitu sebagai berikut ini.
a) Fase pertama
Fase pertama belum terlihat adanya infeksi HIV meskipun dengan tes
darah karena pada fase ini masih belum terbentuk antibodi terhadap HIV
tetapi pada fase ini orang yang terinfeksi HIV sudah dapat

menularkan

virus HIV pada orang lain (BKKBN, 2008). Lamanya sistem tubuh dalam
membentuk antibodi terhadap HIV adalah satu sampai enam bulan. Fase
ini disebut juga dengan periode jendela (window period) (Family Health
International, 2004).
b) Fase kedua
Fase kedua merupakan fase yang paling lama. Fase ini berlangsung
sekitar dua sampai sepuluh tahun setelah terinfeksi HIV. Hasil tes pada
fase ini akan menunjukkan hasil positif tetapi belum menampakkan gejala
sakit (BKKBN, 2008).
c) Fase ketiga
Fase ketiga sudah mulai terlihat adanya penurunan sistem kekebalan
tubuh ini sudah mulai muncul gejala awal penyakit seperti keringat
berlebihan pada malam hari, diare terus menerus, pembengkakan kelenjar
getah bening, flu yang tak kunjung sembuh, nafsu makan berkurang
sehingga menyebabkan penurunan berat badan (BKKBN, 2008).
d) Fase keempat
Fase keempat sudah masuk pada tahap AIDS. Hasil tes juga menunjukkan
positf AIDS. Pada fase ini sudah muncul penyakit yang disebut dengan

infeksi oportunistik seperti kanker, infeksi paru, infeksi usus, dan infeksi
otak (BKKBN, 2008).
5. Patofisiologi
Virus HIV masuk ke dalam tubuh seseorang dalam keadaan bebas atau
berada dalam sel limfosit. Virus ini masuk ke dalam tubuh dan terutama
menginfeksi sel yang mempunyai molekul CD4+. Secara imunologis, sel T
yang terdiri atas limfosit T-helper disebut limfosit CD4+ akan mengalami
perubahan secara kuantitas maupun kualitas. HIV menyerang CD4+ baik
secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, lapisan luar HIV
yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T. Secara tidak
langsung, lapisan luar protein HIV yang disebut sampul gp 120 dan anti p24
berinteraksi dengan CD4+ yang kemudian menghambat aktivasi sel yang
mempresentasikan antigen (APC). Setelah HIV melekat melalui reseptor
CD4+ dan co-reseptor bagian sampul tersebut melakukan fusi dengan
membran sel dan bagian intinya masuk ke dalam sel membran. Pada bagian
inti terdapat enzim reverse transcriptase yang terdiri atas DNA polimerase
dan ribonuklease. Pada inti yang mengandung RNA, enzim DNA polimerase
menyusun copy DNA dari RNA tersebut. Enzim ribonuklease memusnahkan
RNA asli. Enzim polimerase kemudian membentuk copy DNA kedua dari
DNA pertama yang tersusun sebagai cetakan (Stewart, 1997; Baratawidjaja,
2000 dalam Kurniawati & Nursalam, 2007:41-42).
Setelah terbentuk, kode genetik DNA berupa untai ganda akan masuk ke
inti sel. Kemudian oleh enzim integrase, DNA copy dari virus disisipkan
dalam DNA pasien. HIV provirus yang berada pada limfosit CD4+ kemudian
bereplikasi, menyebabkan sel limfosit CD4+ mengalami sitolisis. Virus HIV
yang telah berhasil masuk dalam tubuh pasien juga menginfeksi berbagai
macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel mikroglia di otak, sel-sel
hobfour plasenta, sel-sel dendrit pada kelenjar limfa, sel-sel epitel pada usus,
dan sel Langerhans di kulit. Efek dari infeksi pada sel mikroglia di otak
adalah encepalopati dan pada sel epitel usus adalah diare kronis. Gejala-gejala

klinis yang ditimbulkan akibat infeksi tersebut biasanya baru disadari pasien
setelah beberapa waktu lamanya karena tidak mengalami kesembuhan. Pasien
yang terinfeksi virus HIV dapat tidak memperlihatkan tanda dan gejala selama
bertahun-tahun. Sepanjang perjalanan penyakit tersebut, sel CD4 + mengalami
penurunan jumlah dari 1000/l sebelum terinfeksi menjadi sekitar 200-300/l
setelah terinfeksi dalam kurun waktu 2-10 tahun (Stewart, 1997 dalam
Kurniawati & Nursalam, 2007:42). Seseorang yang terinfeksi oleh HIV akan
kehilangan limfosit T penolong melalui 3 tahap selama beberapa bulan atau
tahun :
a. Seseorang yang sehat memiliki limfosit CD4 sebanyak 800-1300 sel/mL
darah. Pada beberapa bulan pertama setelah terinfeksi HIV jumlahnya
menurun sebanyak 40-50% dan selama masa ini penderita bisa menularkan
HIV kepada orang lain karena banyak partikel virus yang terdapat di dalam
darah. Meskipun tubuh berusaha melawan virus tetapi tubuh tidak mampu
meredakan infeksi.
b. Setelah sekitar 6 bulan kadar partikel virus yang tinggi dan kadar limfosit
CD4+ yang rendah membantu dalam menentukan orang-orang berisiko
tinggi menderita AIDS.
c. Satu sampai 2 tahun sebelum terjadinya AIDS jumlah limfosit CD4+
biasanya menurun drastis, jika kadarnya mencapai 200 sel/ml darah, maka
penderita menjadi rentan terhadap infeksi dan timbul penyakit baru yang
menyebabkan virus berproliferasi dan menjadi infeksi yang parah dimana
terjadi infeksi oportunistik yang didiagnosis sebagai AIDS yang dapat
menyerang berbagai sistem organ, seperti paru, gastrointestinal, kulit, dan
sensori saraf. Pada paru-paru dapat terjadi peradangan dan terjadi
peningkatan produksi mukus yang menimbulkan masalah bersihan jalan
nafas tidak efektif, perubahan pola nafas, gangguan pola tidur dan nyeri.
Pada peradangan dapat muncul masalah hipertermi. Pada gastrointestinal
terjadi diare dan jamur pada mulut yang memunculkan masalah diare,

kekurangan volume cairan dan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan.


Pada neuro terjadi penurunan fungsi transmitter sehingga timbul masalah
perubahan proses pikir. Di kulit terjadi lesi yang dapat memunculkan
masalah nyeri dan kerusakan integritas kulit (Price & Wilson, 2005).
6. Manifestasi Klinis
WHO mengembangkan diagnosis HIV hanya berdasarkan penyakit klinis
dengan mengelompokkan tanda dan gejala dalam kriteria mayor dan minor.
Seseorang yang mempunyai 2 gejala mayor dan 2 gejala minor bisa di
diagnosis HIV meskipun tanpa pemeriksaan ELISA atau tes laboratorium lain.
Berikut ini adalah tanda dan gejala mayor dan minor untuk mendiagnosis HIV
berdasarkan klasifikasi WHO.
1) Gejala mayor:
a) Gagal tumbuh atau penurunan berat badan
b) Diare kronis
c) Demam memanjang tanpa sebab
d) Tuberkulosis
2) Gejala minor:
a) Limfadenopati generalisata
b) Kandidiasis oral
c) Batuk menetap
d) Distres pernapasan/pneumonia
e) Infeksi berulang
f) Infeksi kulit generalisata (Direktorat Jenderal PP & PL, 2012).
Tabel 3. Tabel tanda dan gejala HIV AIDS
Sistem Tubuh
Keadaan Umum

Infeksi Jamur

Infeksi Virus

Manifestasi Klinis
Kehilangan berat badan > 10% dari berat badan
dasar
Demam (terus menerus atau intermiten, temperatur
oral > 37,5C) yang lebih dari satu bulan
Diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih
dari satu bulan
Limfadenopati meluas
Kandidiasis oral*
Dermatitis seboroik*
Kandidiasis vagina berulang
Herpes zoster (berulang atau melibatkan lebih dari

Sistem Respiratory

Sistem Gastrointestinal

Sistem Integumen
Sistem Neurologi

satu dermatom)*
Herpes genital (berulang)
Moluskum kontagiosum
Kondiloma
Batuk lebih dari satu bulan
Sesak nafas
Tuberkulosis
Pneumonia berulang
Sinusitis kronis atau berulang
Hilanya selera makan
Mual ,muntah
Kandidiasis oral yang dapat menyebar pada
esophagus dan lambung
Diare kronis
Penurunan berat badan lebih dari 10% berat badan
sebelumnya, hilangnya massa otot
Kelemahan karena hipermetabolisme tubuh.
PPE* dan kulit kering yang luas* merupakan dugaan
kuat infeksi HIV. Beberapa kelainan seperti kutil genital
(genital warts), folikulitis dan psoriasis.
Ensefalopati HIV (kompleks dimensia AIDS)
berupa sindrom klinis yang ditandai penurunan
progesif pada fungsi kognitif, perilaku dan motorik.
Manifestasi dini mencakup gangguan daya ingat,
sakit kepala, kesulitan konsentrasi, konfusi
progesif, pelambatan psikomotorik, apatis dan
ataksi. Stadium lanjut mencakup gangguan kognitif
global, kelambatan dalam respon verbal, gangguan
afektif, seperti pandangan yang kosong,
hiperrefleksi
paraparesis
spatik,
psikosis,
halusinasi, tremor, inkontinensia, serangan kejang,
mutisme.
Meningitis kriptokokus, yaitu infeksi jamur
Cryptococcus neoform dengan gejala demam, sakit
kepala, malaise, kaku kuduk, mual, vomitus,
perubahan status mental, dan kejang.
Leukoensefalopati multifokal progresiva (PML)
merupakan kelainan sistem saraf pusat dengan
demielinisasi yang disebabkan virus J.C
manifestasi klinis dimulai dengan konfusi mental
dan mengalami perkembangan cepat yang pada
akhirnya mencakup gejala kebutaan, afasia, paresis
.
Mielopati vaskuler merupakan kelainan degeneratif

yang mengenai kolumna lateralis dan posterior


medulla spinalis sehingga terjadi paraparesis
spastik progresiva,ataksia serta inkontinensia.
Neuropati perifer yang berhubungan dengan HIV
diperkirakan merupakan kelainan demielisasi
dengan disertai rasa nyeri serta matirasa pada
ekstrimitas, kelemahan, penurunan reflkes tendon
yang dalam, hipotensi ortostatik.

Tabel 4. Gejala HIV AIDS sesuai dengan fase-fase infeksi


Fase
1..Periode
jendela
2.Infeksi
HIV
primer
akut
3.Infeksi
asimtomati
k
4.Supresi
imun
simtomatik

5.AIDS

Antibodi
yang
terdeteksi
Tidak

Tidak ada

Ya

Kemungkinan

Sakit seperti flu

Ya

1-15 tahun Ya
atau lebih

Tidak ada

Ya

Sampai
tahun

3 Ya

Demam, keringat malam hari, Ya


penurunan
BB,
diare,
neuropati, keletihan, ruam
kulit,
limpadenopati,
perlambatan kognitif, lesi oral

Bervariasi
Ya
1-5 tahun
dari
penentuan
kondisi
AIDS

Infeksi oportunistik berat dan Ya


tumor tumor pada setiap
sistem
tubuh,manifestasi
neurologik

Lamanya
fase
4mg-6bln
setelah
infeksi
1-2 minggu

Gejala-Gejala

7. Pencegahan
Pencegahan HIV dianjurkan melalui pendekatan ABCD yaitu:

Dapat
ditularkan

1) A atau Adstinence yaitu menunda kegiatan seksual, tidak melakukan


kegiatan seksua sebelum menikah;
2) B atau Be faithful yaitu saling setia pada pasangannya setelah menikah;
3) C atau Condom yaitu menggunakan kondom bagi orang yang melakukan
perilaku seks berisiko;
4) D atau Drugs yaitu tidak menggunakan napza suntik agar tidak
menggunakan jarum suntik bergantian dan secara bersama-sama.
Upaya pencegahan juga dilakukan dengan cara memberikan KIE
(Komunikasi,

Informasi

dan

Edukasi) mengenai

HIV/AIDS

kepada

masyarakat agar tidak melakukan perilaku berisiko, khususnya pada remaja.


Ada lima tingkat pencegahan (Five level prevention) menurut Level & Clark
yaitu:
1) Promosi Kesehatan (health promotion)
2) Perlindungan khusus (spesific protection)
3) Diagnosis dini dan pengobatan segera (early diagnosis and prompt
treatment)
4) Pemabatasan cacat (disability limitation)
5) Rehabilitasi (rehabilitation)
Adapun upaya pencegahan yang dapat dilakukan kepada remaja maupun
para pengguna NAPZA, antara lain:
1) Pencegahan pada remaja
a. Merubaha perilaku dan sikap adalah lebih mudah jika dimulai
sebelum pola dibentuk;
b. Sumber kekuatan pencegahan berada didalam dirinya sendiri;
c. Dapat dilakukan KIE dalam bentuk kelompok-kelompok.
2) Pencegahan pada pengguna NAPZA suntik:
a. Program penjangkauan masyarakat berbasis komunitas sebaya
b. Meningkatkan akses untuk alat suntik yang steril dan kondom;
c. Meningkatkan akses untuk perawatan ketergantungan obat
(Brown, 2001).
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Uji Imunologi
Uji imunologi bertujuan untuk menemukan adanya respon antibodi
terhadap HIV dan juga digunakan sebagai test skrining.

a. Test ELISA
Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA), merupakan uji
penapisan infeksi HIV yaitu suatu tes untuk mendeteksi adanya antibody
yang dibentuk oleh tubuh terhadap virus HIV. Dalam hal ini antigen mulamula diikat benda padat kemudian ditambah antibody yang akan dicari.
Setelah itu ditambahkan lagi antigen yang bertanda enzim, seperti
peroksidase dan fosfatase. Akhirnya ditambahkan substrat kromogenik yang
bila bereaksi dengan enzim dapat menimbulkan perubahan warna.
Perubahan warna yang terjadi seuai dengan jumlah enzim yang diikat dan
sesuai pula dengan kadar antibody yang dicari. 2 ELISA memiliki sensitifitas
yang tinggi, yaitu > 99,5%. Metode ELISA dibagi 2 jenis tehnik yaitu tehnik
kompetitif dan non kompetitif. Tehnik non kompetitif ini dibagi menjadi dua
yaitu sandwich dan indirek. Metode kompetitif mempunyai prinsip sampel
ditambahkan antigen yang berlabel dan tidak berlabel dan terjadi kompetisi
membentuk kompleks yang terbatas dengan antibody spesifik pada fase
padat. Prinsip dasar dari sandwichassay adalah sampel yang mengandung
antigen direaksikan dengan antibody spesifik pertama yang terikat dengan
fase padat. Selanjutnya ditambahkan antibody spesifik kedua yang berlabel
enzim dan ditambahkan substrat dari enzim tersebut.. Antibody biasanya
diproduksi mulai minggu ke 2, atau bahkan setelah minggu ke 12 setelah
tubuh terpapar virus HIV,sehingga kita menganjurkan agar pemeriksaan
ELISA dilakukan setelah setelah minggu ke 12 setelah seseorang dicurigai
terpapar ( beresiko) untuk tertular virus HIV,misalnya aktivitas seksual
berisiko tinggi atau tertusuk jarum suntik yang terkontaminasi. Tes ELISA
dapat dilakukan dengan sampel darah vena, air liur, atau urine.
b. Radioimmunoassay (RIA)
Prinsip dasar dari RIA adalah reaksi suatu antibody dalam konsentrasi
yang terbatas dengan berbagai konsentrasi antigen. Bagian dari antigen yang
bebas dan yang terikat yang timbul sebagai akibat dari penggunaan antobody
dalam kadar yang terbatas ditentukan dengan menggunakan antigen yang

diberi label radio isotop. Pada prinsip kompetitif bahan yang mengandung
antigen yang berlabel dan antigen yang terdapat di dalam sampel akan diberi
label radio isotop sehingga terjadi kompetisi antara antigen yang akan
ditentukan kadarnya dan antigen yang diberi label dalam proses pengikatan
antibody spesifik tersebut sampai terjadi keseimbangan. Sisa antigen yang
diberi label dan tidak terikat dengan antibody dipisahkan oleh proses
pencucian. Setelah itu dilakukan penambahan konyugate, sehingga terjadi
pembentukan kompleks imun dengan conjugate.
c. Imunokromatografi/ Rapid Test
a) Reaksi langsung (Double AntibodySandwich)
Metode ini biasanya dipakai untuk mengukur susbtrat vang besar dan
memiliki lebih dari satu epitop. Suatu substrat yang spesifik terhadap
antibody dimobilisasi pada suatu membran. Reagen pelacak yaitu suatu
antibody diikatkan pada partikel lateks atau metal koloid (konyugat),
diendapkan (tetapi tetap, tidak terikat) pada bantalan konyugat
(conyugate pad). Bila sampel ditambahkan pada bantalan sampel, maka
sampel tersebut secara cepat akan membasahi dan melewati bantalan
konyugat serta melarutkan konyugat. Selanjutnya reagen akan bergerak
mengikuti aliran dari sampel sepanjang strip membran, sampai mencapai
daerah dimana reagen akan terikat. Pada garis ini, kompleks antigen
antibody akan terperangkap dan akan terbentuk warna dengan derajat
vang sesuai dengan kadar yang terdapat di dalam sampel. Pada metode
ini, kadar substrat di dalam sample tidak boleh berlebih, tetapi harus lebih
sedikit daripada kadar antibody pengikat (capture Ab) yang terdapat
dalarn capture ilne sehingga mikrosfere tidak diikat pada garis pengikat
(capture line) dan mengalir terus ke garis kedua dari antibody yang
dimobilisasi yaitu garis control (control line).
b) Reaksi kompetitif (Competitive inhibition)

Sering dipakai untuk melacak molekul yang kecil dengan epitop


tunggal yang tak dapat mengikat dua antibody sekaligus. Reagen
pelacaknya adalah analit yang terikat pada partikel lateks atau suatu

colloidal metal. Apabila sampel dan reagen melewati zona dimana


reagen pengikat dimobilisasi, sebagian dari substrat dan reagen
palacak akan terikat pada garis capture line. Makin banyak substrat
yang terdapat di dalam sampel, makin efektif daya kompetisinya
dengan reagen pelacak.
Prosedur pemeriksaan untuk HIV menggunakan strategi 3 dan selalu
didahului dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Ketiga tes tersebut
dapat menggunakan reagen tes cepat atau dengan ELISA. Untuk pemeriksaan
pertama (A1) harus digunakan tes dengan sensitifitas yang tinggi (>99%),
sedang untuk pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes dengan
spesifisitas tinggi (99%). Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam
waktu 2 minggu hingga 3 bulan setelah terinfeksi HIV yang disebut masa
jendela. Bila tes HIV yang dilakukan dalam masa jendela menunjukkan hasil
negatif, maka perlu dilakukan tes ulang, terutama bila masih terdapat
perilaku yang berisiko.
Tabel 5. Interpretasi dan tindak lanjut hasil tes A1

d. Wastern Blot
Pemeriksaan Western Blot merupakan uji konfirmasi dari hasil reaktif ELISA
atau hasil serologi rapid tes sebagai hasil yang benar-benar positif. Cara kerja test
Western Blot yaitu dengan meletakkan HIV murni pada polyacrylamide gel yang
diberi arus elektroforesis sehingga terurai menurut berat protein yang berbeda-

beda, kemudian dipindahkan ke nitrocellulose. Nitrocellulose ini diinkubasikan


dengan serum penderita. Antibody HIV dideteksi dengan memberikan antlbody
anti-human yang sudah dikonjugasi dengan enzim yang menghasilkan wama bila
diberi suatu substrat. Test ini dilakukan bersama dengan suatu bahan dengan
profil berat molekul standar, kontrol positif dan negatif. Gambaran band dari
bermacam-macam protein envelope dan core dapat mengidentifikasi macam
antigen HIV. Antibody terhadap protein core HIV (gag) misalnya p24 dan protein
precursor (P25) timbul pada stadium awal kemudian menurun pada saat
penderita mengalami deteriorasi. Antibody terhadap envelope (env) penghasil gen
(GP160) dan precursor-nya (GP120) dan protein transmembran (GP4l) selalu
ditemukan pada penderita AIDS pada stadium apa saja. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa bila serum mengandung antibody HIV yang lengkap maka
Western blot akan memberi gambaran profil berbagai macam band protein dari
HIV antigen cetakannya.
e. Indirect Fluorescent Antibody (IFA)
IFA juga merupakan pemeriksaan konfirmasi ELISA positif. Uji ini sederhana
untuk dilakukan dan waktu yang dibutuhkan lebih sedikit dan sedikit lebih mahal
dari uji Western blot.
2) Uji Virologi
Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi kultur virus, tes
amplifikasi asam nukleat / nucleic acid amplification test (NAATs) , test untuk
menemukan asam nukleat HIV-1 seperti DNA atau RNA HIV-1 dan test untuk
komponen virus (seperti uji untuk protein kapsid virus (antigen p24), dan PCR
test.
a. Kultur HIV
HIV dapat dibiakkan dari limfosit darah tepi, titer virus lebih tinggi dalam
plasma dan sel darah tepi penderita AIDS. Pertumbuhan virus terdeteksi dengan
menguji cairan supernatan biakan setelah 7-14 hari untuk aktivitas reverse
transcriptase virus atau untuk antigen spesifik virus
b. Nucleic Acid Amplification Test (NAAT HIV-1)
Menemukan RNA virus atau DNA proviral yang banyak dilakukan untuk
diagnosis pada window periode dan pada anak usia kurang dari 18 bulan. Karena

asam nuklet virus mungkin berada dalam jumlah yang sangat banyak dalam
sampel. Pengujian RNA dan DNA virus dengan amplifikasi PCR, menggunakan
metode enzimatik untuk mengamplifikasi RNA HIV-1.
c. Uji antigen p24
Protein virus p24 berada dalam bentuk terikat dengan antibody p24 atau
dalam keadaan bebas dalam aliran darah indivudu yang terinfeksi HIV-1. Pada
umumnya uji antigen p24 jarang digunakan dibanding teknik amplifikasi RNA
atau DNA HIV karena kurang sensitif. Sensitivitas pengujian meningkat dengan
peningkatan teknik yang digunakan untuk memisahkan antigen p24 dari antibody
anti-p24.
d. PCR Test
Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah uji yang memeriksa langsung
keberadaan virus HIV pada plasma,darah,cairan cerebral,cairan cervical, sel-sel,
dan cairan semen. Metode Reserve Transcriptase Polymerase Chain Reaction
(RT PCR) ini yang paling sensitive. PCR adalah suatu teknologi yang
menghasilkan turunan / kopi yang berlipat ganda dari sekuen nukleotida dari
organism target, yang dapat mendeteksi target organism dalam jumlah yang
sangat rendah dengan spesifitas yang tinggi. Tes ini dapat dilakukan lebih cepat
yaitu sekitar seminggu setelah terpapar virus HIV. Tes ini sangat mahal dan

memerlukan alat yang canggih. Oleh karena itu, biasanya hanya dilakukan jika
uji antibodi diatas tidak memberikan hasil yang pasti.
b. Pemeriksaan lainnya

a) Sinar X dada
Menyatakan perkembangan filtrasi interstisial dari PCP tahap lanjut atau
adanya komplikasi lain
b) Tes Fungsi Pulmonal
Deteksi awal pneumonia interstisial
c) Skan Gallium
Ambilan difusi pulmonal terjadi pada PCP dan bentuk pneumonia lainnya.
d) Biopsis
Diagnosa lain dari sarcoma Kaposi

e) Brankoskopi / pencucian trakeobronkial


Dilakukan dengan biopsy pada waktu PCP ataupun dugaan kerusakan
paru-paru
f) Tes Antibodi
Jika seseorang terinfeksi HIV, maka sistem imun akan bereaksi dengan
memproduksi antibody terhadap virus tersebut. Antibody terbentuk dalam
3 12 minggu setelah infeksi, atau bisa sampai 6 12 bulan. Hal ini
menjelaskan

mengapa

orang

yang

terinfeksi

awalnya

tidak

memperlihatkan hasil tes positif. Tapi antibody ternyata tidak efektif,


kemampuan mendeteksi antibody HIV dalam darah memungkinkan
skrining produk darah dan memudahkan evaluasi diagnostik.
9. Penatalaksanaan
a. Farmakologi
Setelah dinyatakan terinfeksi HIV, dilakukan serangkaian layanan yang
meliputi penilaian stadium klinis, penilaian imunologis, dan penilaian
virologi. Hal tersebut untuk menentukan apakah pasien sudah memenuhi
syarat untuk terapi antiretroviral, menilai status supresi imun pasien,
menentukan infeksi oportunistik yang pernah dan sedang terjadi, dan
menentukan paduan obat ARV yang sesuai (Direktotat Jenderal PP & PL,
2011).
Sebelum mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan secara matang
dengan konseling kepatuhan karena terapi ARV akan berlangsung seumur
hidupnya. Untuk ODHA yanng akan memulai terapi ARV dalam keadaan
jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm 3 maka dianjrkan untuk memberikan
Kontrimoksasol (1x960 mg sebagai pencegahan IO) 2 minggu sebelum terapi
ARV. Hal ini dimaksudkan untuk mengkaji kepatuhan pasien untuk minum
obat, dan menyingkirkan kemungkinan efek samping tumpang tindih antara
Kotrimoksasol dan obat ARV, mengingat bahwa banyak obat ARV

mempunyai efek samping yang sama dengan efek samping kotrimoksasol


(Direktotat Jenderal PP & PL, 2011).
Untuk memulai terapi ARV perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 dan
penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Berikut adalah rekomendasi cara
memulai terapi ARV pada ODHA dewasa.
1. Tidak tersedia pemeriksaan CD4
Penentuan mulai terapi ARV didasarkan pada penilaian klinis.
2. Tersedia pemeriksaan CD4
a. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 < 350
sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya
b. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu
hamil, dan ko infeksi hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4
3. Limfosit total <1000 -1200/ dapat diganti dengan CD4 dan dijumpai
tanda-tanda HIV. Hal ini pada pasien tanpa gejala (stadium 1 menurut
WHO) hendaknya jangan dilakukan pengobatan karena belum adanya
petunjuk mengenai tingkatan penyakit.
4. Pengobatan juga dianjurkan untuk pasien stadium III yang lanjut
termasuk kambuh luka pada mulut yang sukar sembuh dan infeksi pada
mulut yang berulang dengan tidak memperhatikan hasil pemeriksaan
CD4 dan limfosit total (Nursalam, 2007).
Tabel 5. Saat memulai terapi pada ODHA dewasa

Sumber: Direktotat Jenderal PP & PL, 2011

Obat ARV bekerja untuk menghambat replikasi virus dalam tubuh pasien.
Saat yang paling tepat untuk memulai terapi ARV sebelum pasien jatuh sakit
atau munculnya IO yang pertama. Tujuan pemberian terapi ARV adalah untuk
menurunkan HIV RNA menjadi dibawah 5000 copies/ dan peningkatan CD4
diatas 500 cell/l. Pemberian terapi ini akan memperlambat perkembangan
HIV dan mencegah IO.
Rekomendasi WHO dalam pemberian ARV adalah kombinasi 3 obat ARV
yaitu sebagai berikut.
1. Nucleotide reverse transcriptase inhibitor (NRTI), menghambat proses
perubahan RNA virus menjadi DNA. Proses ini diperlukan agar virus dapat
bereplikasi. Obat dalam golongan ini termasuk zidovudine (ADX atau
AZT), lamivudine (3TC), didanosine (ddl), zalcitabine (ddC), stavudine
(d4T), dan abacavir (ABC).
2. Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI), bekerja dengan
menghambat proses perubahan RNA menjadi DNA dengan cara mengikat
reverse transcriptase sehingga tidak berfungsi.

3. Protease inhibitor (PI), menghalangi kerja enzim protease yang berfungsi


memotong DNA yang dibentuk oleh virus dengan ukuran yang benar untuk
memproduksi virus baru, contoh obat golongan ini adalah indinavir (IDV),
nelvinavir (NFV), squinavir (SQV), ritonavir (RTV), amprenavir (APV),
dan loponavir/ritonavir (LPV/r).
4. Fusion inhibitor, mencegah masuknya HIV ke target sel dengan cara
berikatan dengan amplop protein disekitar virus, yang termasuk golongan
ini adalah enfuvirtide (T-20).
Tabel 6. Penggunaan NRTI dan NNRTI

b. Non Farmakologi
Selain melalui pengobatan orang dengan HIV/AIDS juga perlu didukung
pada pola nutrisi dan olahraganya (Nursalam, 2007).
1. Pemberian Nutrisi
Pasien dengan HIV/AIDS (ODHA) sangat membutuhkan beberapa unsur
vitamin dan mineral dalam jumlah yang lebih banyak dari apa yang
biasanya diperoleh dalam makanan sehari-hari. Sebagian besar ODHA akan
mengalami defisiensi vitamin sehingga memerlukan makanan tambahan
(New Mexico AIDS Infonet, 2004 & Falma Foundation, 2004). Dalam
beberapa hal, HIV sendiri akan perkembangan lebih cepat pada ODHA yang

mengalami defisiensi vitamin dan mineral. Kondisi tersebut sangat


berbahaya bagi ODHA yang mengalami defisiensi vitamin dan mineral.
Vitamin dan mineral juga berfungsi untuk meningkatkan kemampuan tubuh
dalam melawan berkembangnya HIV dalam tubuh (Yayasan Kerti Praja, 2002
& William, 2004). HIV menyebabkan hilangnya nafsu makan dan gangguan
penyerapan nutrient. Hal ini berhubungan dengan menurunnya atau habisnya
cadangan vitamin dan mineral dalam tubuh. Defisiensi vitamin dan mineral
pada ODHA dimulai sejak masih stadium dini. Walaupun jumlah makanan
ODHA sudah cukup dan berimbang seperti orang sehat, tetapi akan tetap terjadi
defisiensi vitamin dan mineral (Anya, 2002). Berdasarkan beberapa hal
tersebut, selain mengkonsumsi jumlah yang tinggi, para ODHA juga harus
mengkonsumsi suplementasi atau nutrisi tambahan. Pemberian nutrisi
tambahan bertujuan agar beban ODHA tidak bertambah akibat defisiensi
vitamin dan mineral.

2. Aktivitas dan Olahraga


Hampir semua organ berespon terhadap stres olahraga pada keadaan akut.
Olahraga yang dilakukan secara teratur menimbulkan adaptasi organ tubuh
yang berefek menyehatkan. Olah raga yang dilakukan secara teratur
menghasilkan perubahan pada jaringan, sel, dan protein pada sistem imun.
B. Clinical Pathway
(Terlampir)

C. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
1) Data Demografi
Nama, umur tempat tanggal lahir, jenis kelamin, ras, status perkawinan,
alamat, pekerjaan, status imigrasi, perilaku berisiko. Nama anggota
keluarga yang dapat dihubungi.
2) Riwayat sosial
a. Orientasi sexual pria,wanita, dan gay
b. Aktivitas seksual yang tidak aman seperti berganti pasangan tanpa
pengaman
c. Riwayat pekerjaan
d. Riwayat travelling
e. Gangguan mental
3) Riwayat kesehatan
Jenis infeksi sering memberikan petunjuk pertama karena sifat kelainan
imun. Umur kronologis pasien juga mempengaruhi imunokompetens.
Respon imun sangat tertekan pada orang yang sangat muda karena belum
berkembangnya kelenjar timus. Pada lansia, atropi kelenjar timus dapat
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Banyak penyakit kronik yang
berhubungan dengan melemahnya fungsi imun. Diabetes meilitus, anemia
aplastik, kanker adalah beberapa penyakit yang kronis, keberadaan
penyakit seperti ini harus dianggap sebagai faktor penunjang saat
mengkaji status imunokompetens pasien. Berikut bentuk kelainan hospes
dan penyakit serta terapi yang berhubungan dengan kelainan hospes :
a. Kerusakan respon imun seluler (LimfositT )
Terapiradiasi,defisiensinutrisi,penuaan,aplasiatimik,limpoma,kortikost
eroid,globulin anti limfosit,disfungsitimikcongenital.

b. Kerusakan imunitas humoral (Antibodi)


Limfositikleukemiakronis,mieloma,hipogamaglobulemiacongenital,pr
oteinlisingenteropati (peradangan usus).
4) Pola Kesehatan
a. Persepsi tentang kesehatan dan penanganan kesehatan
Persepsi terhadap penyakit, penggunaan alkohol dan obat-obatan
b. Nutrisi dan metabolisme
Kehilangan BB, anorexia, mual, muntah, lesi pada mulut, ulser pada
rongga mulut, sulit menelan, kram abdomen
c. Eliminasi
Diare persisten, nyeri saat BAK
d. Aktifitas dan olah raga
Kelelahan kronik, kelemahan otot, kesulitan berjalan, batuk, sesak
nafas, kemampuan melakukan ADL.
e. Tidur dan istirahat
Insomnia
f. Gangguan kognitif dan persepsi
Sakit kepala, nyeri dada, kehilangan memori, demensia, parestesis
g. Seksualitas
Riwayat berperilaku seks berisiko tinggi menurunnya libido,
penggunaan pil pencegah kehamilan, dan hepers genetalia.
5) Pemeriksaan Fisik
a. B1 Breathing
Inspeksi
a) Sekret di lubang hidung yang mengganggu pernafasan
b) Sesak nafas (dispneu, takipneu), pernafasan cuping hidung
c) Batuk produktif dan batuk non produktif dengan SaO2 < 80%
(PCP)
d) Retraksi interkostalis

Palpasi
Terdapat pembesaran kelenjar limfe
Perkusi
Terdengar hipersonor
Auskultasi
Terdapat suara nafas tambahan atau ronchi
b. B2 Blood
Inspeksi
a) Anemis
b) Perdarahan yang lama
c) Terdapat luka yang sulit kering dan ruang pada kulit
Palpasi
a) Takikardi/bradikardi
b) CRT mungkin akan > 2 detik atau bisa dalam kondisi normal
Auskultasi
Suara jantung biasanya terdengar normal namun biasa terdengar suara
jantung S3 dan S4 bila sudah terjadi kardiomiopati.
c. B3 Bowel
a) Lesi pada mulut: kapossi sarcoma
b) Candida mulut: plag putih yang melapisi
c) Rongga mulut dan lidah: kandidiasis
d) Lesi putih pada lidah (hairy leukoplakia)
e) Ginggivitis
f) Muntah
g) Diare
h) Inkontinen alvi
i) Hepatosplenomegali

d. B4 Brain
Ataxia, tremor, sakit kepala (toxoplasmosis), kurang kordinasi (ADC),
kehilangansensori, apasia, kehilangan konsentrasi (ADC), kehilangan
memori (ADC=AIDS Dementia Complex), apatis, depresi, penurunan
kesadaran, kejang (Toxoplasmosis), paralysis, dan koma
e. B5 Bone
Muscle Wasting
f. B6 Bladder
Inspeksi
Perubahan warna dan karakteristik urin
Palpasi
Nyeri tekan daerah suprapubik

1.

2.

3.

4.

Tabel 6. Pengelompokan Masalah Keperawatan Pasien HIV/AIDS


(Menurut Teori Adaptasi)
Masalah Fisik
Masalah Psikis Masalah Sosial
Masalah
Ketergantungan
Sistem
1. Integritas
Perasaan
Perasaan
Pernapasan
:
Ego:
minder dan tak membutuhkan
Dyspnea, TBC,
Perasaan tak berguna
di pertolongan orang
Pneumonia
berdaya atau masyarakat
lain
Sistem
putus asa
Interaksi sosial:
Pencernaan:Nau 2. Faktor stress: perasaan
sea-Vomiting,
baru/lama
terisolasi atau
Diare,
3. Respon
ditolak
Dysphagia, BB
psikologis:
turun
10%
denial,
selama 3 bulan
marah,
Sistem
cemas,
Persarafan:
iritable
letargi,nyeri
sendi,
encelopathy.
Sistem
Integumen:
Edema
yang
disebabkan

Kapsosis
Sacroma, Lesi
di kulit atau
mukosa,
dan
alergi
5. Lain-lain
:
Demam, resiko
menularkan
2. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan
sekret (00031/hal. 406)
2. Ketidakefektifan pola

napas

berhubungan

dengan

hiperventilasi

(00032/hal. 243)
3. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan mencerna makanan (00002/hal. 177)
4. Diare berhubungan dengan inflamasi gastrointestinal: kuman pathogen
usus atau infeksi HIV (00013/hal. 216)
5. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif
(00027/hal. 193)
6. Hipertemia berhubungan

dengan

peningkatan

metabolism

tubuh

(00007/hal. 457)
7. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis:infeksi (00132/hal.
469)
8. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan sirkulasi: lesi,
ruam di kulit (00046/hal. 425)
9. Keletihan berhubungan dengan kelesuan fisiologis:penyakit (00090/hal.
239)
10. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan (00092/hal. 241)
11. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan (00146/hal.
343)
12. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan gangguan citra tubuh
(00120/hal.291)
13. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penyakit: ruam dan lesi pada
kulit (00118/hal. 293)

14. Hambatan interaksi sosial berhubungan dengan gangguan konsep diri


(00052/hal. 321)
15. Distress spiritual berhubungan dengan ancaman kematian (00066/hal.
397)
16. Risiko infeksi berhubungan dengan imunodefisiensi (00004/hal. 405)
17. Resiko cedera berhubungan dengan difungsi imun (00035/hal. 412)

3. Intervensi Keperawatan
No
1

Perencanaan

Diagnosa
Keperawatan
Ketidakefektifan

Tujuan dan Kriteria Hasil

NOC:
1.
Respiratory status:
bersihan jalan napas
ventilation
berhubungan dengan 2. Respiratory status: airway
patency
penumpukan secret
Setelah

diberikan

asuhan

keperawatan selama 1 x 24 jam

Intervensi

Airway Management
1.

2.

Dengan kriteria hasil:


tidak

jumlah/kedalaman

1.

kemajuan dari hasil intervensi yang telah

ada

Auskultasi daerah paru-paru, catat

2.

area yang konsolidasi dengan cairan. Suara

udara serta catat adanya suara napas

napas bronkial normal diatas bronkus dapat

tambahan seperti ronchi, crackles dan

juga

wheezing.

terdengar pada saat inspirasi dan atau

crackles,

ronkhi,

dan

wheezes

ekspirasi sebagai respon dari akumulasi


cairan, sekresi kental, dan spasme/obstruksi

Suara napas normal (tidak ada


suara nafas tambahan seperti

saluran napas.
3.

ronchi)

Elevasi

kepala,

sering

ubah

3.

penumpukan

dada, pengisian udara, mobilisasi dan

sputum

pengeluaran sekret.

Batuk (-)
Frekuensi pernapasan dalam

Diafragma yang lebih rendah akan


membantu dalam meningkatkan ekspansi

posisi.
ada

Penurunan aliran udara timbul pada

area menurun/tidak adanya aliran

keluhan sesak

Tidak

Melakukan evaluasi awal untuk melihat


dilakukan.

kembali efektif
verbal

Kaji

pernapasan dan pergerakan dada.

diharapkan jalan nafas pasien

Secara

Rasional

4.
4.

Bantu pasien dalam melakukan

batas normal sesuai usia (16-

latihan

24x/mnt)

Demonstrasikan/bantu pasien belajar

napas

dalam.

Napas

dalam

pengembangan

akan

memfasilitasi

maksimum

paru-

paru/saluran udara kecil. Batuk merupakan


mekanisme

pembersihan

diri

normal,

dibantu silia untuk memelihara kepatenan

untuk batuk, misalnya menahan dada

saluran

udara.

Menahan

dan batuk efektif pada saat posisi

membantu

tegak lurus.

ketidaknyamanan dan posisi tegak lurus

untuk

dada

akan

mengurangi

akan memberikan tekanan lebih besar


untuk batuk.
5.

Menstimulasi batuk atau pembersihan


saluran napas secara mekanis pada pasien

5.

Lakukan suction atas indikasi.

yang

tidak

mampu

melakukannya

dikarenakan ketidakefektifan batuk atau


penurunan kesadaran.
6.

Cairan (terutama cairan hangat) akan


membantu memobilisasi dan mengeluarkan

6.

Berikan cairan + 2500 ml/hari

sekret.

(jika tidak ada kontraindikasi) dan air


hangat.
7.
Kolaborasi
7.

Kaji

Memfasilitasi
pengeluaran

efek

Portural

dan
drainage

pemberian

mungkin tidak efektif pada pneumoni

nebulizer dan fisioterapi pernapasan

interstisial atau yang disebabkan oleh

lainnya, misal incentive spirometer,

eksudat atau kerusakan dari alveolar.

dan

Lakukan

Pengaturan tata laksana atau jadwal dari

waktu

intake oral akan mengurangi kemungkinan

postural

tindakan

dari

sekret.

pencairan

drainage.

selang

diantara

makan dan batasi cairan jika cairan


sudah mencukupi.

muntah dan batuk.


8.

Membantu mengurangi bronkospasme

dengan mobilisasi dri sekret. Analgesik


8.

Berikan pengobatan atas indikasi:


mukolitik,

diberikan untuk meningkatkan usaha batuk

ekspoktoran,

dengan mengurangi rasa tidak nyaman,

bronkodilator, dan analgesik.

tetapi harus digunakan sesuai penyebabnya.


9.

Cairan

diberikan

untuk

mengganti

kehilangan (termasuk insesible/IWL) dan


membantu mobilisasi sekret.
9.

10.

Berikan

cairan

suplemen

10.

Untuk dapat mengikuti kemajuan dan

misalnya IV, humidifikasi oksigen,

efek

dan humidifikasi ruangan.

memfasilitasi kebutuhan untuk perubahan

Monitor serial chest X-ray, ABGs,


dan pulse oxymetri.

dari

proses

penyakit

serta

terapi.
11.

Kadang-kadang

diperlukan

untuk

mengeluarkan sumbatan mukus, sekret


11.

Bantu

dengan

bronchoscopy/thoracentesis

yang

jika

purulen,

dan

atau

mencegah

atelektasis.

diindikasikan.
2

Ketidakefektifan pola

NOC:
status
napas
berhubungan a. Respiratory
Ventilation
dengan hiperventilasi.
b. Respiratory
status
Airway patency
c. Vital Sign Status

Airway Management
1.

dilakukan.
2.

2.

Pertahankan jalan nafas : posisi

x 24 jam diharapkan pola nafas

kepala dalam posisi netral, tinggikan

kembali efektif

sedikit kepala tempat tidur, jika dapat

Dengan kriteria hasil:

ditoleransi pasien; gunakan tambahan

Melakukan evaluasi awal untuk melihat


kemajuan dari hasil intervensi yang telah

jumlah/kedalaman

pernapasan dan pergerakan dada.

Setelah diberikan askep selama 2

Kaji

1.

Pasien dengan trauma servikal bagian


atas dan gangguan muntah atau batuk akan
membutuhkan

Secara

verbal

tidak

atau beri jalan nafas buatan jika ada

ada

indikasi.

keluhan sesak

Suara

napas

normal

3.

3.

Aukultasi

suara

nafas.

Catat

(vesikular)

bagian-bagian paru yang bunyinya

Frekuensi pernapasan dalam

menurun atau tidak ada atau adanya

batas normal sesuai usia (16-

suara

24x/mnt)

mengi, krekels)

Irama nafas teratur.

4.

nafas

adventisius

Letak trauma menentukan fungsi otototot interkostal, atau kemampuan untuk


nafas spontan.

(ronchi,
4.

Ubah posisi atau balik secara

Meningkatkan ventilasi semua bagian


paru, mobilisasi sekret, mengurangi risiko

teratur, hidrasi atau batasi posisi

komplikasi,

contoh

atelektasis

dan

telungkup jika diperlukan

pneumonia. Catatan : posisi telungkup


mengurangi kapasitas vital paru, dicurigai
dapat menimbulkan peningkatan risiko
terjadinya gagal nafas.

Kolaborasi :
5.

5.

AGD arteri atau nadi oxymetry

Menyatakan keadaan ventilasi atau


oksigenasi.

Mengidentifikasi

masalah

pernafasan. Contoh : hiperventilasi (PaO2


rendah

atau

PaCO2

meningkat)

atau

adanya komplikasi paru.


6.
6.

Metode yang akan dipilih tergantung

Berikan oksigen dengan cara

dari lokasi trauma, keadaan insufisiensi

yang tepat seperti dengan kanul

pernafasan dan banyaknya fungsi otot

oksigen,

pernafasan yang sembuh setelah fase syok

sebagainya.

masker,

intubasi

dan

spinal.

Kekurangan
cairan
dengan
cairan

volume

Setelah diberikan askep selama 1

berhubungan

x 24 jam diharapkan kebutuhan

untuk setiap pergantian ( misal 1000 ml

volume cairan adekuat.

selama siang hari, 800 ml selama sore

Dengan kriteria hasil :

hari, 300 ml selama malam hari).

kehilangan
berlebih

sekunder akibat diare.

Masukan
2000

ml

cairan

minimal

(kecuali

1.

2.

bila

Rencanakan tujuan masukan cairan

Jelaskan tentang alasan-alasan untuk


mempertahankan hidrasi yang adekuat

merupakan kontraindikasi)

dan metoda-metoda untuk mencapai

Membran mukosa lembab.

tujuan masukan cairan

Turgor kulit baik

Tanda-tanda vital stabil (RR=

3.

16-24 x/mnt, TD= 110-120/


60-80

mmHg,

S=

1500 ml cairan per oral setiap 24 jam.


4.

36,5-

Haluaran urine adekuat (0,5-

Pantau haluaran, pastikan sedikitnya


1000 - 1500 ml/24 jam. Pantau

37,20C, N= 60-80 x/mnt)


-

Pantau masukan , pastikan sedikitnya

1. Deteksi dini memungkinkan terapi pengganti


cairan segera untuk memperbaiki defisit

2. Informasi yang jelas akan meningkatkan


kerjasama klien untuk terapi

3. Catatan

masukan

membantu

mendeteksi

tanda dini ketidak seimbangan cairan


4. Catatan

haluaran

membantu

mendeteksi

tanda dini ketidak seimbangan cairan

terhadap penurunan berat jenis urine


5.

1cc/kgBB/24 jam)

Timbang BB setiap hari dengan jenis


baju yang sama, pada waktu yang

5. Penimbangan BB harian yang tepat dapat


mendeteksi kehilanagan cairan

sama. Kehilangan berat badan 2 - 4 %


menunjukkan

dehidrasi

ringan.

Kehilangan berat badan 5 - 9 %


menunjukkan dehidrasi sedang
6.

Pertimbangkan

kehilangan

cairan

6. Haluaran dapat melebihi masukan, yang

tambahan yang berhubungan dengan

sebelumnya sudah tidak mencukupi untuk

muntah, diare, demam, drain

mengkompensasi kehilangan yang tak kasap


mata. Dehidrasi dapat meningkatkan laju
filtrasi glomerulus, membuat haluaran tak

adekuat

untuk

membersihkan

sisa

metabolisme dengan baik dan mengarah pada


peningkatan BUN dan kadar elektrolit.
7.

Kolaborasi

dengan

dokter

untuk

7. Propulsi feses yang cepat melalui usus

pemeriksaan kadar elektrolit darah,

mengurangi

nitrogen ure darah, urine dan serum,

muntah

osmolalitas, kreatinin, hematokrit dan

elektrolit

absorpsi

juga

elektrolit. Muntah-

menyebabkan

kehilangan

hemoglobin
8.
5

Hipertermia
berhubungan

Setelah
dengan

diberikan

tindakan

secara intravena.
1. Observasi tanda tanda vital terutama

keperawatan selama 3 x 24 jam

proses penyakit (reaksi

diharapkan

antigen antibodi).

teratasi.

hipertermi

dapat

Kolaborasi dengan pemberian cairan

8. Memungkinkan terapi penggantian cairan


segera untuk memperbaiki defisit
1. Mengetahui kondisi umum

suhu tubuh
2. Berikan kompres hangat pada daerah

2. Bantu menurunkan panas

dahi dan ketiak

Kriteria Hasil :

3. Ganti pakaian yang telah basah oleh

Suhu tubuh kembali normal

keringat
4. Anjurkan keluarga untuk memberikan

antara 36,5 37,20C

3. Sirkulasi berlangsung baik


4. Dapat mencegah terjadinya dehidrasi

minum yang banyak, kurang lebih 1500


2000 cc
5. Kolaborasi
pemberian
6

Keletihan berhubungan

Setelah

diberikan

tindakan 1.

dengan anemia, status

keperawatan selama 1 x 24 jam

dengan
obat

dokter

dalam

penurun

panas

5. Dapat menurunkan suhu tubuh pasien

(antipiretik) seperti paracetamol.


Bantu pasien melakukan personal 1.
higiene

Menjaga kebersihan tubuh pasien agar


meminimalkan infeksi

penyakit,

malnutrisi,

diharapkan

keletihan

peningkatan kelelahan

teratasi

fisik

Dengan kriteria hasil:

dapat 2.

Ajarkan

keluarga

untuk 2.

Memandirikan keluarga pasien

melakukan personal higiene


3.

Pasien dapat melakukan

Motivasi pasien untuk melakukan 3.


aktivitas sesuai kemampuan pasien.

Mendorong pasien untuk melatih tubuh


pasien

aktivitas dengan optimal

Perawat/keluarga
membantu

pasien

melakukan

aktivitas

dapat
dalam
dan

aktivitas

pemenuhan ADL pasien


Setelah
diberikan
tindakan

berhubungan

dengan

kelemahan

umum,

Intoleransi

ketidakseimbangan
antara

suplai

dan

kebutuhan oksigen ke

pasien,

1. Dilakukan agar perawat mengetahui tingkat

keperawatan selama 1 x 24 jam

peningkatan tekanan darah, ada atau

kelemahan pasien, serta bisa mengambil

diharapkan

tidaknya nyeri dada, kelelahan berat,

tindakan

beraktivitas secara normal.

keringat, kondisi pasien pusing atau

masalah pasien

Dengan kriteria :

pingsan.

jaringan.

pasien

Menunjukkan

dapat

peningkatan

yang dapat diukur dalam


toleransi aktivitas

Tekanan darah pasien normal

1. Mengkaji

frekuensi

nadi

2. Mengkaji kesiapan pasien beraktivitas


serta perawatan diri

yang

tepat

untuk

menangani

2. Untuk menyeimbang-kan kondisi pasien


antara istirahat dan aktivitas

3. Membantu pasien melakukan aktivitas


secara bertahap

3. Untuk melatih jantung secara perlahan,


meningkatkan

konsumsi

oksigen

saat

beraktivitas secara bertahap untuk mencegah

(110-120/ 60-80 mmHg)

peningkatan tiba-tiba pada kerja jantung


4. Mengatur dan membatasi aktivitas
pasien
5. Tetap

4. Untuk menjaga keseimbangan suplai dan


kebutuhan

membantu

aktivitas pasien

mobilisasi

dan

oksigen

dengan

teknik

penghematan energi
5. Untuk mencegah kelemahan pada otot dan

tulang
8

Ketidakseimbangan

Setelah diberikan askep selama 2 1.

Kaji

nutrisi : kurang dari

x 24 jam diharapkan pasien dapat

timbang berat badan. Catat derajat

luasnyamasalah dan pilihan intervensi yang

kebutuhan

mempertahankan

kekurangan berat badan dan tonus otot.

tepat

Pastikan pola diet biasa pasien yang 2.

Membantu

disukai/ tidak disukai

kebutuhan/ kekuatan khusus. Pertimbangan

berhubungan

tubuh
dengan

menelan

makanan,

ketidakmampuan untuk
mencerna

mengabsorpsi nutrien

Berat

badan

2.

pasien

mukosa

oral

dan 1.

individu

mengidentifikasi
dapat

memperbaiki

tidak pucat

sering dengan makanan tinggi protein 3.

Memaksimalkan

Tonus otot meningkat

dan karbohidrat

kelemahan yang tak perlu/ kebutuhan energy

Hasil pemeriksaan albumin


protein

dalam

batas

d/dL )

4.

Pantau masukan/pengeluaran secara


periodic

5.
6.

Dorong dan berikan periode istirahat

tindakan

dengan

keperawatan selama 1 x 24 jam

agen cedera fisik (lesi

diharapkan nyeri yang dirasakan

tanpa

1.

Berguna dalam mengukur keefektifan nutrisi


dan dukungan cairan

5.

Membantu menghemat energy khususnya

Kolaborasi pemeriksaan laboratorium

bila kebutuhan metabolic meningkat saat

(protein dan albumin)

demam

Berikan

suplemen

tambahan/

multivitamin
diberikan

nutrisi

menurunkan iritasi gaster


4.

sering

7.

Setelah

masukan

dari makan makanan yang banyak dan

6.

berhubungan

dalam

derajat/

masukan diet

g/dL dan protein 6,40 8,30

akut

mendefinisikan

Dorong pasien makan sedikit dan

normal (Albumin 3,40 4,80

Nyeri

dalam

Mukosa bibir lembab dan 3.

dan

Berguna

keinginan

mengalami peningkatan

makanan,

ketidakmampuan untuk

nutrisi

adekuat dengan kriteria hasil :

ketidakmampuan

status

integritas

Kaji nyeri (skala, intensitas, waktu,

Nilai rendah menunjukkan malnutrisi dan


menunjukkan

kebutuhan

intervensi/

perubahan program terapi


7. Memberikan nutrisi tambahan bagi tubuh
1. Untuk mengetahi tingkat nyeri

kualitas)
2.

Ajarkan tehnik relaksasi

2. Teknik relaksasi dapat mengurangi rasa

pada

mulut,

esophagus,

dan

berkurang

nyeri

Dengan kriteria

3.

Menyatakan

lambung)

nyeri

Kolaborasi pemberian analgesik

3.

Dapat mengurangi rasa nyeri

yang

dirasakan hilang
Skala nyeri < 7

Tanda-tanda vital dalam


batas normal ((RR= 16-24
x/mnt, TD= 110-120/ 60-80
mmHg, S= 36,5-37,20C, N=
60-80 x/mnt)

10

Risiko

infeksi

Setelah

tindakan

1.

Monitor tanda-tanda infeksi baru.

1.

Untuk pengobatan dini

berhubungan

dengan

keperawatan selama 3 x 24 jam

2.

Gunakan teknik aseptik pada

2.

Mencegah pasien terpapar oleh kuman

penyakit

kronis,

diharapkan pasien akan bebas

setiap tindakan invasif. Cuci tangan

tubuh

infeksi

sebelum meberikan tindakan.

tidak

komplikasinya.

pertahanan
sekunder

yang

adekuat

hemoglobin,
supresi/penurunan

malnutrisi,

dan
3.

inflamasi),
invasif,
kerusakan

4.

Lab

tidak

menunjukan

adanya

infeksi oportunis, kadar


leukosit

dalam

batas
9

normal(5-10 x 10 /liter)

pasien
terpapar

metoda

patogen yang diperoleh di rumah sakit.


3.

Mencegah bertambahnya infeksi

4.

Meyakinkan

terhadap

lingkungan yang patogen.

Tidak ada tanda-tanda

Hasil

Anjurkan
mencegah

infeksi baru

leukopenia,

prosedur

oportunistik

Dengan kriteria hasil :

(mis.penurunan

respon

diberikan

Kumpulkan spesimen untuk tes


lab sesuai indikasi.

5.

Atur pemberian antiinfeksi sesuai


indikasi.

diagnosis

akurat

dan

pengobatan

5.

Mempertahankan kadar darah yang


terapeutik

jaringan kulit

Tanda vital dalam batas


normal,

(TD:

110-

120/60-80mmHg,

RR:

16-24x/mnt,

60-

N:

80x/mnt, S: 36,5-37,20C)

11

Kerusakan
kulit

integritas

Setelah

Tidak

ada

eksudat
diberikan

luka

atau

tindakan

berhubungan

keperawatan selama 1 x 24 jam

penurunan

diharapkan kerusakan integritas

dengan
imunologis.

kulit berkurang

1. Kaji kulit setiap hari.

turgor, sirkulasi dan sensasi

sesuai

penonjolan

Menunjukan tingkah laku /


untuk

pada

2. Secara teratur ubah posisi, ganti seprai

Lesi pada kulit berkurang

mencegah

kerusakan kulit / menigkatkan

1. Menentukan garis dasar dimana perubahan


status

dapat

dibandingkan

dan

melakukan intervensi yang tepat.

Dengan kriteria hasil :

teknik

Catat warna

kebutuhan.Lindungi
tulang

dengan

bantal,

2. Mengurangi

stres

pada

titik

tekanan,

menigkatkan aliran darah ke jaringan dan


menigkatkan proses kesembuhan

bantalan siku / tumit.


3. Pertahankan seprei bersih , kering dan
tidak berkerut.

3. Friksi kulit disebabkan oleh kain yang


berkerut dan basah yang menyebabkan iritasi
dan potensial terhadap infeksi.

kesembuhan
4. Gunting kuku secara teratur

4. Kuku yang panjang / kasar meningkatkan


risiko kerusakan dermal

5. Dorong untuk ambulansi / turun dari


tempat tidur jika memungkinkan.

5. Menurunkan tekanan pada kulit dari istirahat


lama di tempat tidur

4. Evaluasi
Evaluasi keperawatan dilakukan secara sistematis dan periodik setelah
pasien diberikan intervensi dengan berdasarkan pada berdasarkan pengkajian,
diagnosa

keperawatan,

intervensi

keperawatan,

dan

implementasi

keperawatan. Evaluasi keperawatan ditulis dengan format SOAP dimana:


S (subjektif) yaitu respon pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
O (objektif) yaitu data pasien yang diperoleh oleh perawat setelah dilakukan
tindakan keperawatan.
A (analisis) yaitu masalah keperawatan pada pasien apakah sudah teratasi,
teratasi sebagian, belum teratasi, atau timbul masalah keperawatan baru
P (planning) yaitu rencana intervensi dihentikan, dilanjutkan, ditambah, atau
dimodifikasi
D. Discharge Planning
Discharge planning pada pasien dengan HIV/AIDS adalah:
1. Mengajarkan pada pasien dan keluarga untuksegera menghubungi tim
kesehatan atau segera menuju ke pelayanan kesehatan apabila terjadi
tanda tanda dan gejala infeksi.
2. Mengajarkan pada pasien dan keluarga untuk mengamati respon
terhadap pengobatan dan memberitahu dokter tentang adanya efek
samping.
3. Memberitahukan pada pasien dan keluarga tentang penjadwalan
pemeriksaan lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2008. Modul Pelatihan
Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja Bagi Calon Konselor Sebaya.
Jakarta: Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi.
Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. 2013.
Nursing Intervention Classification. Oxford: Elcevier.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2011.
Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi
Antiretroviral pada Orang Dewasa. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2011.
Data Statistik Kasus HIV/AIDS. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2012.
Petunjuk Teknis Tata Laksana Klinis KO Infeksi TB-HIV. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
Elizabeth.J.Corwin. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Family Health International. 2004. VCT Toolkit: HIV Voluntary Counseling
and Testing: A Reference Guide for Counselors and Trainers. Arlington:
USAID.
Herdman, T.H & Kamitsuru, S. 2015. Diagnosis Keperawatan: definisi &
Klasifikasi 2015-201. Jakarta: EGC
Hudak & Gallo.1996. Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC.
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. 2010. Dasar HIV/AIDS. [serial
online]. http://www.aidsindonesia.or.id/dasar-hiv-aids. [10 Mei 2015].
Kurniawati, Ninuk Dian, dan Nursalam. 2007. Asuhan Keperawatan pada
Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta: Salemba Medika.
Moorhead, S., Johnson, M., Meridean L. Maas., & Swanson, E. 2013.
Nursing Outcome Classification. Oxford: Elcevier.
Murni, Green, Djauzi, Setiyanto, Okta. 2009. Hidup dengan HIV/AIDS.
Jakarta: Spiritia.

Smeltzer, S. C., dan Bare, B. G. 2001. Buku Ajar Keperawatan MedikalBedah Brunner & Suddarth. Edisi 8 Volume 2. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai