Laporan Pendahuluan HIV
Laporan Pendahuluan HIV
oleh
Riana Vera Andantika, S.Kep
NIM 122311101006
LAPORAN PENDAHULUAN
HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV/ AQUIRED IMMUNO
DEFICIENCY SYNDROME (AIDS)
DI RUANG SAKURA RSUD dr. SOEBANDI JEMBER
Oleh: Riana Vera Andantika, S. Kep.
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Definisi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus RNA yang termasuk
family retroviridae dan genus lentivirus yang menyebabkan penurunan imunitas
tubuh pejamu. Pada proses replikasi virus HIV diperlukan adanya perubahan dari
Ribonucleic Acid (RNA) menjadi Deoxyribonucleid Acid (DNA) di dalam sel
pejamu. Virus HIV menginfeksi tubuh memiliki masa inkubasi yang lama (masa
laten klinis) dan pada akhirnya menimbulkan tanda dan gejala AIDS (Direktorat
Jenderal PP & PL, 2012). HIV merupakan retrovirus yang menyerang sel-sel
sistem kekebalan tubuh manusia terutama CD4 positive T-sel dan macrophages
(komponen utama sistem kekebalan sel), dan menghancurkan atau mengganggu
fungsinya. Infeksi virus ini mengakibatkan terjadinya penurunan sistem kekebalan
yang terus-menerus. Sistem kekebalan dianggap defisien ketika sistem tersebut
tidak dapat lagi menjalankan fungsinya memerangi infeksi dan penyakit (KPA
Nasional, 2010).
AIDS (Aquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah suatu penyakit yang
disebabkan oleh infeksi HIV (Human Immuno Deficiency Virus) yang
menyebabkan kolapsnya sistem imun (Corwin, 2000). AIDS diartikan sebagai
bentuk paling erat dari keadaan sakit terus menerus yang berkaitan dengan infeksi
Human Immunodefciency Virus (HIV). Manivestasi infeksi HIV ditandai dengan
tanda-tanda gelaja gangguan sistem imun yang ringan sampai manivestasi yang
menunjukkan kelainan sistem imun yang berat (Smeltzer, 2001). Smeltzer & Bare
(2001) menyatakan bahwa HIV telah ditetapkan sebagai agens penyebab
Accuired Immunideficiency Syndrome (AIDS), yaitu gejala dari penyakit yang
mungkin terjadi saat sistem imun dilemahkan oleh virus HIV.
harinya. Serangan pertama HIV akan tertangkap oleh sel dendrit pada
membran mukosa dan kulit pada 24 jam pertama setelah paparan. Sel yang
terinfeksi tersebut akan membuat jalur ke nodus limfa dan kadang-kadang ke
pembuluh darah perifer selama 5 hari setelah paparan, di mana replikasi virus
menjadi semakin cepat.
Siklus hidup HIV dapat dibagi menjadi 5 fase, yaitu:
1. masuk dan mengikat;
2. reverse transkriptase;
3. replikasi;
4. budding;
5. maturasi (Kurniawati & Nursalam, 2007).
cairan tubuh lain yang mengandung HIV. Transmisi perinatal (vertikal) terjadi
ketika ibu hamil yang terinfeksi HIV meneruskan infeksi kepada bayinya.
Tidak terdapat bukti yang menunjukan bahwa kontak secara sepintas antara
orang yang terinfeksi dan yang tidak terinfeksi dapat menyebarkan virus
tersebut (Corwin, 2000). Transmisi HIV yang paling lazim di seluruh dunia
adalah melalui hubungan seksual. Infeksi menular seksual laninnya (terutama
yang menyebabkan ulkus genital) akan meningkatkan risiko penularan HIV.
Jalur penularan HIV sangat beragam (Direktorat Jenderal PP & PL, 2012).
HIV terdapat dalam sebagian cairan tubuh, yaitu darah, air mani, cairan
vagina, dan air susu ibu (ASI). HIV menular melalui:
1) Berhubungan seks yang memungkinkan darah, air mani, atau cairan
vagina dari orang terinfeksi HIV masuk ke aliran darah orang yang belum
terinfeksi (yaitu hubungan seks yang dilakukan tanpa kondom melalui
vagina atau dubur; juga melalui mulut, walau dengan kemungkinan lebih
kecil).
2) Memakai jarum suntik secara bergantian dengan orang lain yang terinfeksi
HIV.
3) Menerima transfusi darah dari donor yang terinfeksi HIV.
4) Dari ibu terinfeksi HIV ke bayi dalam kandungan, waktu melahirkan, dan
jika menyusui sendiri.
Biasakan mempunyai sikat gigi dan pisau cukur sendiri, karena selain untuk
kebersihan pribadi, jika terdapat darah akan ada risiko penularan virus lain
yang menular melalui darah (misalnya hepatitis), bukan hanya HIV. HIV tidak
menular melalui:
1) Bersalaman, berpelukan
2) Batuk, bersin
3) Memakai peralatan rumah tangga seperti alat makan, telepon, kamar
mandi, WC, kamar tidur, dll
4) Gigitan nyamuk
5) Bekerja, bersekolah, berkendaraan bersama
6) Memakai fasilitas umum misalnya kolam renang, WC umum, sauna, dll
HIV tidak menular melalui udara. Virus ini juga cepat mati jika berada di
luar tubuh. Virus ini dapat dibunuh jika cairan tubuh yang mengandungnya
dibersihkan dengan cairan pemutih (bleach) seperti bayclin atau chlorox, atau
dengan sabun dan air. HIV tidak dapat diserap oleh kulit yang tidak luka
(Murni dkk, 2009).
4. Klasifikasi
1) Klasifikasi laboratorium (Limfosit CD4+)
CDC mengkategorikan dewasa dan dewasa muda terinfeksi HIV
berdasarkan hitung limfosit CD4+ dan kategori klinis, yaitu :
Tabel 1. Sistem Klasifikasi untuk Infeksi HIV dan definisi Kasus Surveilans AIDS
yang diperluas bagi pasien Remaja dan Dewasa
CD4+
Kategori Klinis
B
A
Total
500
200-499
< 200
(Asimtomatik)
29%
14-28%
< 14 %
A.1
A.2
A.3
(Simtomatik, bukan
(Indikator AIDS)
kondisi A atau C)
B.1
B.2
B.3
C.1
C.2
C.3
Stadium
1
(Asimptomatik)
2 (Sakit ringan)
menularkan
virus HIV pada orang lain (BKKBN, 2008). Lamanya sistem tubuh dalam
membentuk antibodi terhadap HIV adalah satu sampai enam bulan. Fase
ini disebut juga dengan periode jendela (window period) (Family Health
International, 2004).
b) Fase kedua
Fase kedua merupakan fase yang paling lama. Fase ini berlangsung
sekitar dua sampai sepuluh tahun setelah terinfeksi HIV. Hasil tes pada
fase ini akan menunjukkan hasil positif tetapi belum menampakkan gejala
sakit (BKKBN, 2008).
c) Fase ketiga
Fase ketiga sudah mulai terlihat adanya penurunan sistem kekebalan
tubuh ini sudah mulai muncul gejala awal penyakit seperti keringat
berlebihan pada malam hari, diare terus menerus, pembengkakan kelenjar
getah bening, flu yang tak kunjung sembuh, nafsu makan berkurang
sehingga menyebabkan penurunan berat badan (BKKBN, 2008).
d) Fase keempat
Fase keempat sudah masuk pada tahap AIDS. Hasil tes juga menunjukkan
positf AIDS. Pada fase ini sudah muncul penyakit yang disebut dengan
infeksi oportunistik seperti kanker, infeksi paru, infeksi usus, dan infeksi
otak (BKKBN, 2008).
5. Patofisiologi
Virus HIV masuk ke dalam tubuh seseorang dalam keadaan bebas atau
berada dalam sel limfosit. Virus ini masuk ke dalam tubuh dan terutama
menginfeksi sel yang mempunyai molekul CD4+. Secara imunologis, sel T
yang terdiri atas limfosit T-helper disebut limfosit CD4+ akan mengalami
perubahan secara kuantitas maupun kualitas. HIV menyerang CD4+ baik
secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, lapisan luar HIV
yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T. Secara tidak
langsung, lapisan luar protein HIV yang disebut sampul gp 120 dan anti p24
berinteraksi dengan CD4+ yang kemudian menghambat aktivasi sel yang
mempresentasikan antigen (APC). Setelah HIV melekat melalui reseptor
CD4+ dan co-reseptor bagian sampul tersebut melakukan fusi dengan
membran sel dan bagian intinya masuk ke dalam sel membran. Pada bagian
inti terdapat enzim reverse transcriptase yang terdiri atas DNA polimerase
dan ribonuklease. Pada inti yang mengandung RNA, enzim DNA polimerase
menyusun copy DNA dari RNA tersebut. Enzim ribonuklease memusnahkan
RNA asli. Enzim polimerase kemudian membentuk copy DNA kedua dari
DNA pertama yang tersusun sebagai cetakan (Stewart, 1997; Baratawidjaja,
2000 dalam Kurniawati & Nursalam, 2007:41-42).
Setelah terbentuk, kode genetik DNA berupa untai ganda akan masuk ke
inti sel. Kemudian oleh enzim integrase, DNA copy dari virus disisipkan
dalam DNA pasien. HIV provirus yang berada pada limfosit CD4+ kemudian
bereplikasi, menyebabkan sel limfosit CD4+ mengalami sitolisis. Virus HIV
yang telah berhasil masuk dalam tubuh pasien juga menginfeksi berbagai
macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel mikroglia di otak, sel-sel
hobfour plasenta, sel-sel dendrit pada kelenjar limfa, sel-sel epitel pada usus,
dan sel Langerhans di kulit. Efek dari infeksi pada sel mikroglia di otak
adalah encepalopati dan pada sel epitel usus adalah diare kronis. Gejala-gejala
klinis yang ditimbulkan akibat infeksi tersebut biasanya baru disadari pasien
setelah beberapa waktu lamanya karena tidak mengalami kesembuhan. Pasien
yang terinfeksi virus HIV dapat tidak memperlihatkan tanda dan gejala selama
bertahun-tahun. Sepanjang perjalanan penyakit tersebut, sel CD4 + mengalami
penurunan jumlah dari 1000/l sebelum terinfeksi menjadi sekitar 200-300/l
setelah terinfeksi dalam kurun waktu 2-10 tahun (Stewart, 1997 dalam
Kurniawati & Nursalam, 2007:42). Seseorang yang terinfeksi oleh HIV akan
kehilangan limfosit T penolong melalui 3 tahap selama beberapa bulan atau
tahun :
a. Seseorang yang sehat memiliki limfosit CD4 sebanyak 800-1300 sel/mL
darah. Pada beberapa bulan pertama setelah terinfeksi HIV jumlahnya
menurun sebanyak 40-50% dan selama masa ini penderita bisa menularkan
HIV kepada orang lain karena banyak partikel virus yang terdapat di dalam
darah. Meskipun tubuh berusaha melawan virus tetapi tubuh tidak mampu
meredakan infeksi.
b. Setelah sekitar 6 bulan kadar partikel virus yang tinggi dan kadar limfosit
CD4+ yang rendah membantu dalam menentukan orang-orang berisiko
tinggi menderita AIDS.
c. Satu sampai 2 tahun sebelum terjadinya AIDS jumlah limfosit CD4+
biasanya menurun drastis, jika kadarnya mencapai 200 sel/ml darah, maka
penderita menjadi rentan terhadap infeksi dan timbul penyakit baru yang
menyebabkan virus berproliferasi dan menjadi infeksi yang parah dimana
terjadi infeksi oportunistik yang didiagnosis sebagai AIDS yang dapat
menyerang berbagai sistem organ, seperti paru, gastrointestinal, kulit, dan
sensori saraf. Pada paru-paru dapat terjadi peradangan dan terjadi
peningkatan produksi mukus yang menimbulkan masalah bersihan jalan
nafas tidak efektif, perubahan pola nafas, gangguan pola tidur dan nyeri.
Pada peradangan dapat muncul masalah hipertermi. Pada gastrointestinal
terjadi diare dan jamur pada mulut yang memunculkan masalah diare,
Infeksi Jamur
Infeksi Virus
Manifestasi Klinis
Kehilangan berat badan > 10% dari berat badan
dasar
Demam (terus menerus atau intermiten, temperatur
oral > 37,5C) yang lebih dari satu bulan
Diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih
dari satu bulan
Limfadenopati meluas
Kandidiasis oral*
Dermatitis seboroik*
Kandidiasis vagina berulang
Herpes zoster (berulang atau melibatkan lebih dari
Sistem Respiratory
Sistem Gastrointestinal
Sistem Integumen
Sistem Neurologi
satu dermatom)*
Herpes genital (berulang)
Moluskum kontagiosum
Kondiloma
Batuk lebih dari satu bulan
Sesak nafas
Tuberkulosis
Pneumonia berulang
Sinusitis kronis atau berulang
Hilanya selera makan
Mual ,muntah
Kandidiasis oral yang dapat menyebar pada
esophagus dan lambung
Diare kronis
Penurunan berat badan lebih dari 10% berat badan
sebelumnya, hilangnya massa otot
Kelemahan karena hipermetabolisme tubuh.
PPE* dan kulit kering yang luas* merupakan dugaan
kuat infeksi HIV. Beberapa kelainan seperti kutil genital
(genital warts), folikulitis dan psoriasis.
Ensefalopati HIV (kompleks dimensia AIDS)
berupa sindrom klinis yang ditandai penurunan
progesif pada fungsi kognitif, perilaku dan motorik.
Manifestasi dini mencakup gangguan daya ingat,
sakit kepala, kesulitan konsentrasi, konfusi
progesif, pelambatan psikomotorik, apatis dan
ataksi. Stadium lanjut mencakup gangguan kognitif
global, kelambatan dalam respon verbal, gangguan
afektif, seperti pandangan yang kosong,
hiperrefleksi
paraparesis
spatik,
psikosis,
halusinasi, tremor, inkontinensia, serangan kejang,
mutisme.
Meningitis kriptokokus, yaitu infeksi jamur
Cryptococcus neoform dengan gejala demam, sakit
kepala, malaise, kaku kuduk, mual, vomitus,
perubahan status mental, dan kejang.
Leukoensefalopati multifokal progresiva (PML)
merupakan kelainan sistem saraf pusat dengan
demielinisasi yang disebabkan virus J.C
manifestasi klinis dimulai dengan konfusi mental
dan mengalami perkembangan cepat yang pada
akhirnya mencakup gejala kebutaan, afasia, paresis
.
Mielopati vaskuler merupakan kelainan degeneratif
5.AIDS
Antibodi
yang
terdeteksi
Tidak
Tidak ada
Ya
Kemungkinan
Ya
1-15 tahun Ya
atau lebih
Tidak ada
Ya
Sampai
tahun
3 Ya
Bervariasi
Ya
1-5 tahun
dari
penentuan
kondisi
AIDS
Lamanya
fase
4mg-6bln
setelah
infeksi
1-2 minggu
Gejala-Gejala
7. Pencegahan
Pencegahan HIV dianjurkan melalui pendekatan ABCD yaitu:
Dapat
ditularkan
Informasi
dan
Edukasi) mengenai
HIV/AIDS
kepada
a. Test ELISA
Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA), merupakan uji
penapisan infeksi HIV yaitu suatu tes untuk mendeteksi adanya antibody
yang dibentuk oleh tubuh terhadap virus HIV. Dalam hal ini antigen mulamula diikat benda padat kemudian ditambah antibody yang akan dicari.
Setelah itu ditambahkan lagi antigen yang bertanda enzim, seperti
peroksidase dan fosfatase. Akhirnya ditambahkan substrat kromogenik yang
bila bereaksi dengan enzim dapat menimbulkan perubahan warna.
Perubahan warna yang terjadi seuai dengan jumlah enzim yang diikat dan
sesuai pula dengan kadar antibody yang dicari. 2 ELISA memiliki sensitifitas
yang tinggi, yaitu > 99,5%. Metode ELISA dibagi 2 jenis tehnik yaitu tehnik
kompetitif dan non kompetitif. Tehnik non kompetitif ini dibagi menjadi dua
yaitu sandwich dan indirek. Metode kompetitif mempunyai prinsip sampel
ditambahkan antigen yang berlabel dan tidak berlabel dan terjadi kompetisi
membentuk kompleks yang terbatas dengan antibody spesifik pada fase
padat. Prinsip dasar dari sandwichassay adalah sampel yang mengandung
antigen direaksikan dengan antibody spesifik pertama yang terikat dengan
fase padat. Selanjutnya ditambahkan antibody spesifik kedua yang berlabel
enzim dan ditambahkan substrat dari enzim tersebut.. Antibody biasanya
diproduksi mulai minggu ke 2, atau bahkan setelah minggu ke 12 setelah
tubuh terpapar virus HIV,sehingga kita menganjurkan agar pemeriksaan
ELISA dilakukan setelah setelah minggu ke 12 setelah seseorang dicurigai
terpapar ( beresiko) untuk tertular virus HIV,misalnya aktivitas seksual
berisiko tinggi atau tertusuk jarum suntik yang terkontaminasi. Tes ELISA
dapat dilakukan dengan sampel darah vena, air liur, atau urine.
b. Radioimmunoassay (RIA)
Prinsip dasar dari RIA adalah reaksi suatu antibody dalam konsentrasi
yang terbatas dengan berbagai konsentrasi antigen. Bagian dari antigen yang
bebas dan yang terikat yang timbul sebagai akibat dari penggunaan antobody
dalam kadar yang terbatas ditentukan dengan menggunakan antigen yang
diberi label radio isotop. Pada prinsip kompetitif bahan yang mengandung
antigen yang berlabel dan antigen yang terdapat di dalam sampel akan diberi
label radio isotop sehingga terjadi kompetisi antara antigen yang akan
ditentukan kadarnya dan antigen yang diberi label dalam proses pengikatan
antibody spesifik tersebut sampai terjadi keseimbangan. Sisa antigen yang
diberi label dan tidak terikat dengan antibody dipisahkan oleh proses
pencucian. Setelah itu dilakukan penambahan konyugate, sehingga terjadi
pembentukan kompleks imun dengan conjugate.
c. Imunokromatografi/ Rapid Test
a) Reaksi langsung (Double AntibodySandwich)
Metode ini biasanya dipakai untuk mengukur susbtrat vang besar dan
memiliki lebih dari satu epitop. Suatu substrat yang spesifik terhadap
antibody dimobilisasi pada suatu membran. Reagen pelacak yaitu suatu
antibody diikatkan pada partikel lateks atau metal koloid (konyugat),
diendapkan (tetapi tetap, tidak terikat) pada bantalan konyugat
(conyugate pad). Bila sampel ditambahkan pada bantalan sampel, maka
sampel tersebut secara cepat akan membasahi dan melewati bantalan
konyugat serta melarutkan konyugat. Selanjutnya reagen akan bergerak
mengikuti aliran dari sampel sepanjang strip membran, sampai mencapai
daerah dimana reagen akan terikat. Pada garis ini, kompleks antigen
antibody akan terperangkap dan akan terbentuk warna dengan derajat
vang sesuai dengan kadar yang terdapat di dalam sampel. Pada metode
ini, kadar substrat di dalam sample tidak boleh berlebih, tetapi harus lebih
sedikit daripada kadar antibody pengikat (capture Ab) yang terdapat
dalarn capture ilne sehingga mikrosfere tidak diikat pada garis pengikat
(capture line) dan mengalir terus ke garis kedua dari antibody yang
dimobilisasi yaitu garis control (control line).
b) Reaksi kompetitif (Competitive inhibition)
d. Wastern Blot
Pemeriksaan Western Blot merupakan uji konfirmasi dari hasil reaktif ELISA
atau hasil serologi rapid tes sebagai hasil yang benar-benar positif. Cara kerja test
Western Blot yaitu dengan meletakkan HIV murni pada polyacrylamide gel yang
diberi arus elektroforesis sehingga terurai menurut berat protein yang berbeda-
asam nuklet virus mungkin berada dalam jumlah yang sangat banyak dalam
sampel. Pengujian RNA dan DNA virus dengan amplifikasi PCR, menggunakan
metode enzimatik untuk mengamplifikasi RNA HIV-1.
c. Uji antigen p24
Protein virus p24 berada dalam bentuk terikat dengan antibody p24 atau
dalam keadaan bebas dalam aliran darah indivudu yang terinfeksi HIV-1. Pada
umumnya uji antigen p24 jarang digunakan dibanding teknik amplifikasi RNA
atau DNA HIV karena kurang sensitif. Sensitivitas pengujian meningkat dengan
peningkatan teknik yang digunakan untuk memisahkan antigen p24 dari antibody
anti-p24.
d. PCR Test
Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah uji yang memeriksa langsung
keberadaan virus HIV pada plasma,darah,cairan cerebral,cairan cervical, sel-sel,
dan cairan semen. Metode Reserve Transcriptase Polymerase Chain Reaction
(RT PCR) ini yang paling sensitive. PCR adalah suatu teknologi yang
menghasilkan turunan / kopi yang berlipat ganda dari sekuen nukleotida dari
organism target, yang dapat mendeteksi target organism dalam jumlah yang
sangat rendah dengan spesifitas yang tinggi. Tes ini dapat dilakukan lebih cepat
yaitu sekitar seminggu setelah terpapar virus HIV. Tes ini sangat mahal dan
memerlukan alat yang canggih. Oleh karena itu, biasanya hanya dilakukan jika
uji antibodi diatas tidak memberikan hasil yang pasti.
b. Pemeriksaan lainnya
a) Sinar X dada
Menyatakan perkembangan filtrasi interstisial dari PCP tahap lanjut atau
adanya komplikasi lain
b) Tes Fungsi Pulmonal
Deteksi awal pneumonia interstisial
c) Skan Gallium
Ambilan difusi pulmonal terjadi pada PCP dan bentuk pneumonia lainnya.
d) Biopsis
Diagnosa lain dari sarcoma Kaposi
mengapa
orang
yang
terinfeksi
awalnya
tidak
Obat ARV bekerja untuk menghambat replikasi virus dalam tubuh pasien.
Saat yang paling tepat untuk memulai terapi ARV sebelum pasien jatuh sakit
atau munculnya IO yang pertama. Tujuan pemberian terapi ARV adalah untuk
menurunkan HIV RNA menjadi dibawah 5000 copies/ dan peningkatan CD4
diatas 500 cell/l. Pemberian terapi ini akan memperlambat perkembangan
HIV dan mencegah IO.
Rekomendasi WHO dalam pemberian ARV adalah kombinasi 3 obat ARV
yaitu sebagai berikut.
1. Nucleotide reverse transcriptase inhibitor (NRTI), menghambat proses
perubahan RNA virus menjadi DNA. Proses ini diperlukan agar virus dapat
bereplikasi. Obat dalam golongan ini termasuk zidovudine (ADX atau
AZT), lamivudine (3TC), didanosine (ddl), zalcitabine (ddC), stavudine
(d4T), dan abacavir (ABC).
2. Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI), bekerja dengan
menghambat proses perubahan RNA menjadi DNA dengan cara mengikat
reverse transcriptase sehingga tidak berfungsi.
b. Non Farmakologi
Selain melalui pengobatan orang dengan HIV/AIDS juga perlu didukung
pada pola nutrisi dan olahraganya (Nursalam, 2007).
1. Pemberian Nutrisi
Pasien dengan HIV/AIDS (ODHA) sangat membutuhkan beberapa unsur
vitamin dan mineral dalam jumlah yang lebih banyak dari apa yang
biasanya diperoleh dalam makanan sehari-hari. Sebagian besar ODHA akan
mengalami defisiensi vitamin sehingga memerlukan makanan tambahan
(New Mexico AIDS Infonet, 2004 & Falma Foundation, 2004). Dalam
beberapa hal, HIV sendiri akan perkembangan lebih cepat pada ODHA yang
C. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
1) Data Demografi
Nama, umur tempat tanggal lahir, jenis kelamin, ras, status perkawinan,
alamat, pekerjaan, status imigrasi, perilaku berisiko. Nama anggota
keluarga yang dapat dihubungi.
2) Riwayat sosial
a. Orientasi sexual pria,wanita, dan gay
b. Aktivitas seksual yang tidak aman seperti berganti pasangan tanpa
pengaman
c. Riwayat pekerjaan
d. Riwayat travelling
e. Gangguan mental
3) Riwayat kesehatan
Jenis infeksi sering memberikan petunjuk pertama karena sifat kelainan
imun. Umur kronologis pasien juga mempengaruhi imunokompetens.
Respon imun sangat tertekan pada orang yang sangat muda karena belum
berkembangnya kelenjar timus. Pada lansia, atropi kelenjar timus dapat
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Banyak penyakit kronik yang
berhubungan dengan melemahnya fungsi imun. Diabetes meilitus, anemia
aplastik, kanker adalah beberapa penyakit yang kronis, keberadaan
penyakit seperti ini harus dianggap sebagai faktor penunjang saat
mengkaji status imunokompetens pasien. Berikut bentuk kelainan hospes
dan penyakit serta terapi yang berhubungan dengan kelainan hospes :
a. Kerusakan respon imun seluler (LimfositT )
Terapiradiasi,defisiensinutrisi,penuaan,aplasiatimik,limpoma,kortikost
eroid,globulin anti limfosit,disfungsitimikcongenital.
Palpasi
Terdapat pembesaran kelenjar limfe
Perkusi
Terdengar hipersonor
Auskultasi
Terdapat suara nafas tambahan atau ronchi
b. B2 Blood
Inspeksi
a) Anemis
b) Perdarahan yang lama
c) Terdapat luka yang sulit kering dan ruang pada kulit
Palpasi
a) Takikardi/bradikardi
b) CRT mungkin akan > 2 detik atau bisa dalam kondisi normal
Auskultasi
Suara jantung biasanya terdengar normal namun biasa terdengar suara
jantung S3 dan S4 bila sudah terjadi kardiomiopati.
c. B3 Bowel
a) Lesi pada mulut: kapossi sarcoma
b) Candida mulut: plag putih yang melapisi
c) Rongga mulut dan lidah: kandidiasis
d) Lesi putih pada lidah (hairy leukoplakia)
e) Ginggivitis
f) Muntah
g) Diare
h) Inkontinen alvi
i) Hepatosplenomegali
d. B4 Brain
Ataxia, tremor, sakit kepala (toxoplasmosis), kurang kordinasi (ADC),
kehilangansensori, apasia, kehilangan konsentrasi (ADC), kehilangan
memori (ADC=AIDS Dementia Complex), apatis, depresi, penurunan
kesadaran, kejang (Toxoplasmosis), paralysis, dan koma
e. B5 Bone
Muscle Wasting
f. B6 Bladder
Inspeksi
Perubahan warna dan karakteristik urin
Palpasi
Nyeri tekan daerah suprapubik
1.
2.
3.
4.
Kapsosis
Sacroma, Lesi
di kulit atau
mukosa,
dan
alergi
5. Lain-lain
:
Demam, resiko
menularkan
2. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan
sekret (00031/hal. 406)
2. Ketidakefektifan pola
napas
berhubungan
dengan
hiperventilasi
(00032/hal. 243)
3. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan mencerna makanan (00002/hal. 177)
4. Diare berhubungan dengan inflamasi gastrointestinal: kuman pathogen
usus atau infeksi HIV (00013/hal. 216)
5. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif
(00027/hal. 193)
6. Hipertemia berhubungan
dengan
peningkatan
metabolism
tubuh
(00007/hal. 457)
7. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis:infeksi (00132/hal.
469)
8. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan sirkulasi: lesi,
ruam di kulit (00046/hal. 425)
9. Keletihan berhubungan dengan kelesuan fisiologis:penyakit (00090/hal.
239)
10. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan (00092/hal. 241)
11. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan (00146/hal.
343)
12. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan gangguan citra tubuh
(00120/hal.291)
13. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penyakit: ruam dan lesi pada
kulit (00118/hal. 293)
3. Intervensi Keperawatan
No
1
Perencanaan
Diagnosa
Keperawatan
Ketidakefektifan
NOC:
1.
Respiratory status:
bersihan jalan napas
ventilation
berhubungan dengan 2. Respiratory status: airway
patency
penumpukan secret
Setelah
diberikan
asuhan
Intervensi
Airway Management
1.
2.
jumlah/kedalaman
1.
ada
2.
juga
wheezing.
crackles,
ronkhi,
dan
wheezes
saluran napas.
3.
ronchi)
Elevasi
kepala,
sering
ubah
3.
penumpukan
sputum
pengeluaran sekret.
Batuk (-)
Frekuensi pernapasan dalam
posisi.
ada
keluhan sesak
Tidak
kembali efektif
verbal
Kaji
Secara
Rasional
4.
4.
latihan
24x/mnt)
napas
dalam.
Napas
dalam
pengembangan
akan
memfasilitasi
maksimum
paru-
pembersihan
diri
normal,
saluran
udara.
Menahan
membantu
tegak lurus.
untuk
dada
akan
mengurangi
5.
yang
tidak
mampu
melakukannya
6.
sekret.
Kaji
Memfasilitasi
pengeluaran
efek
Portural
dan
drainage
pemberian
dan
Lakukan
waktu
postural
tindakan
dari
sekret.
pencairan
drainage.
selang
diantara
ekspoktoran,
Cairan
diberikan
untuk
mengganti
10.
Berikan
cairan
suplemen
10.
efek
dari
proses
penyakit
serta
terapi.
11.
Kadang-kadang
diperlukan
untuk
Bantu
dengan
bronchoscopy/thoracentesis
yang
jika
purulen,
dan
atau
mencegah
atelektasis.
diindikasikan.
2
Ketidakefektifan pola
NOC:
status
napas
berhubungan a. Respiratory
Ventilation
dengan hiperventilasi.
b. Respiratory
status
Airway patency
c. Vital Sign Status
Airway Management
1.
dilakukan.
2.
2.
kembali efektif
jumlah/kedalaman
Kaji
1.
Secara
verbal
tidak
ada
indikasi.
keluhan sesak
Suara
napas
normal
3.
3.
Aukultasi
suara
nafas.
Catat
(vesikular)
suara
24x/mnt)
mengi, krekels)
4.
nafas
adventisius
(ronchi,
4.
komplikasi,
contoh
atelektasis
dan
Kolaborasi :
5.
5.
Mengidentifikasi
masalah
atau
PaCO2
meningkat)
atau
oksigen,
sebagainya.
masker,
intubasi
dan
spinal.
Kekurangan
cairan
dengan
cairan
volume
berhubungan
kehilangan
berlebih
Masukan
2000
ml
cairan
minimal
(kecuali
1.
2.
bila
merupakan kontraindikasi)
3.
mmHg,
S=
36,5-
3. Catatan
masukan
membantu
mendeteksi
haluaran
membantu
mendeteksi
1cc/kgBB/24 jam)
dehidrasi
ringan.
Pertimbangkan
kehilangan
cairan
adekuat
untuk
membersihkan
sisa
Kolaborasi
dengan
dokter
untuk
mengurangi
muntah
elektrolit
absorpsi
juga
elektrolit. Muntah-
menyebabkan
kehilangan
hemoglobin
8.
5
Hipertermia
berhubungan
Setelah
dengan
diberikan
tindakan
secara intravena.
1. Observasi tanda tanda vital terutama
diharapkan
antigen antibodi).
teratasi.
hipertermi
dapat
suhu tubuh
2. Berikan kompres hangat pada daerah
Kriteria Hasil :
keringat
4. Anjurkan keluarga untuk memberikan
Keletihan berhubungan
Setelah
diberikan
tindakan 1.
dengan
obat
dokter
dalam
penurun
panas
penyakit,
malnutrisi,
diharapkan
keletihan
peningkatan kelelahan
teratasi
fisik
dapat 2.
Ajarkan
keluarga
untuk 2.
Perawat/keluarga
membantu
pasien
melakukan
aktivitas
dapat
dalam
dan
aktivitas
berhubungan
dengan
kelemahan
umum,
Intoleransi
ketidakseimbangan
antara
suplai
dan
kebutuhan oksigen ke
pasien,
diharapkan
tindakan
masalah pasien
Dengan kriteria :
pingsan.
jaringan.
pasien
Menunjukkan
dapat
peningkatan
1. Mengkaji
frekuensi
nadi
yang
tepat
untuk
menangani
konsumsi
oksigen
saat
membantu
aktivitas pasien
mobilisasi
dan
oksigen
dengan
teknik
penghematan energi
5. Untuk mencegah kelemahan pada otot dan
tulang
8
Ketidakseimbangan
Kaji
kebutuhan
mempertahankan
tepat
Membantu
berhubungan
tubuh
dengan
menelan
makanan,
ketidakmampuan untuk
mencerna
mengabsorpsi nutrien
Berat
badan
2.
pasien
mukosa
oral
dan 1.
individu
mengidentifikasi
dapat
memperbaiki
tidak pucat
Memaksimalkan
dan karbohidrat
dalam
batas
d/dL )
4.
5.
6.
tindakan
dengan
tanpa
1.
5.
demam
Berikan
suplemen
tambahan/
multivitamin
diberikan
nutrisi
sering
7.
Setelah
masukan
6.
berhubungan
dalam
derajat/
masukan diet
akut
mendefinisikan
Nyeri
dalam
dan
Berguna
keinginan
mengalami peningkatan
makanan,
ketidakmampuan untuk
nutrisi
ketidakmampuan
status
integritas
kebutuhan
intervensi/
kualitas)
2.
pada
mulut,
esophagus,
dan
berkurang
nyeri
Dengan kriteria
3.
Menyatakan
lambung)
nyeri
3.
yang
dirasakan hilang
Skala nyeri < 7
10
Risiko
infeksi
Setelah
tindakan
1.
1.
berhubungan
dengan
2.
2.
penyakit
kronis,
tubuh
infeksi
tidak
komplikasinya.
pertahanan
sekunder
yang
adekuat
hemoglobin,
supresi/penurunan
malnutrisi,
dan
3.
inflamasi),
invasif,
kerusakan
4.
Lab
tidak
menunjukan
adanya
dalam
batas
9
normal(5-10 x 10 /liter)
pasien
terpapar
metoda
4.
Meyakinkan
terhadap
Hasil
Anjurkan
mencegah
infeksi baru
leukopenia,
prosedur
oportunistik
(mis.penurunan
respon
diberikan
5.
diagnosis
akurat
dan
pengobatan
5.
jaringan kulit
(TD:
110-
120/60-80mmHg,
RR:
16-24x/mnt,
60-
N:
80x/mnt, S: 36,5-37,20C)
11
Kerusakan
kulit
integritas
Setelah
Tidak
ada
eksudat
diberikan
luka
atau
tindakan
berhubungan
penurunan
dengan
imunologis.
kulit berkurang
sesuai
penonjolan
pada
mencegah
dapat
dibandingkan
dan
teknik
Catat warna
kebutuhan.Lindungi
tulang
dengan
bantal,
2. Mengurangi
stres
pada
titik
tekanan,
kesembuhan
4. Gunting kuku secara teratur
4. Evaluasi
Evaluasi keperawatan dilakukan secara sistematis dan periodik setelah
pasien diberikan intervensi dengan berdasarkan pada berdasarkan pengkajian,
diagnosa
keperawatan,
intervensi
keperawatan,
dan
implementasi
DAFTAR PUSTAKA
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2008. Modul Pelatihan
Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja Bagi Calon Konselor Sebaya.
Jakarta: Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi.
Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. 2013.
Nursing Intervention Classification. Oxford: Elcevier.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2011.
Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi
Antiretroviral pada Orang Dewasa. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2011.
Data Statistik Kasus HIV/AIDS. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2012.
Petunjuk Teknis Tata Laksana Klinis KO Infeksi TB-HIV. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
Elizabeth.J.Corwin. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Family Health International. 2004. VCT Toolkit: HIV Voluntary Counseling
and Testing: A Reference Guide for Counselors and Trainers. Arlington:
USAID.
Herdman, T.H & Kamitsuru, S. 2015. Diagnosis Keperawatan: definisi &
Klasifikasi 2015-201. Jakarta: EGC
Hudak & Gallo.1996. Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC.
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. 2010. Dasar HIV/AIDS. [serial
online]. http://www.aidsindonesia.or.id/dasar-hiv-aids. [10 Mei 2015].
Kurniawati, Ninuk Dian, dan Nursalam. 2007. Asuhan Keperawatan pada
Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta: Salemba Medika.
Moorhead, S., Johnson, M., Meridean L. Maas., & Swanson, E. 2013.
Nursing Outcome Classification. Oxford: Elcevier.
Murni, Green, Djauzi, Setiyanto, Okta. 2009. Hidup dengan HIV/AIDS.
Jakarta: Spiritia.
Smeltzer, S. C., dan Bare, B. G. 2001. Buku Ajar Keperawatan MedikalBedah Brunner & Suddarth. Edisi 8 Volume 2. Jakarta: EGC.