Anda di halaman 1dari 18

REFERAT BEDAH PLASTIK

LUKA BAKAR LISTRIK: DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA

Oleh:
Jessica Christiana Putri
G99152075

Pembimbing:
dr. Dewi Haryanti K, SpBP

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2016

TINJAUAN PUSTAKA

A. PENDAHULUAN
Luka bakar (combustio) dapat terjadi karena suhu tinggi (thermal burn), luka
bakar bahan kimia (chemical burn), luka bakar radiasi (radiation injury) dan luka
bakar karena sengatan listrik (electrical burn). Pada luka bakar karena sengatan
listrik, karakteristik listrik serta sifat berbagai jaringan menentukan derajat
kerusakan dan memberikan prediksi mengenai kemungkinan morbiditas yang
bahkan mortalitas.

B. KARAKTERISTIK LISTRIK
Beberapa karakteristik listrik yang perlu diketahui antara lain adalah tegangan
(voltage), arus listrik, resistensi dan konduksi.
1. Tegangan:
Tegangan adalah gaya elektromotif atau perbedaan potensial listrik. Semakin
besar tegangan listrik yang dialirkan ke jaringan yang memiliki resistensi
relatif tetap, semakin besar arus yang dialirkan.
2. Arus listrik
Arus listrik (electric current) adalah aliran litrik yang dibagi menjadi dua yaitu
arus bolak balik (alternating current, AC) dan satu arah (direct current, DC).
Low voltage AC injury
a. Tanpa kehilangan kesadaran: Biasanya terjadi pada paparan < 1000 volt.
Biasa terjadi pada setting rumah tangga atau kantor. Biasanya, anak-anak
dengan cedera listrik hadir setelah menggigit atau mengunyah kabel listrik
dan menderita luka bakar oral. Dapat menyebabkan cedera serius bila
waktu terkenanya diperpanjang, seperti kontraksi otot tetanus, otot akan
terstimulasi 40-110 kali per menit, terjadi tetanus dan pasien cenderung

memegang sumber listrik lebih lama sehingga mengakibatkan cedera yang


makin parah. Cedera ini 3 kali lebih berbahaya dari pada DC injury pada
voltage yang sama.
b. Dengan kehilangan kesadaran
Pada korban dengan henti nafas, henti jantung atau VF yang tidak
disaksikan, akan sulit dalam mendiagnosisnya. Biasanya terdengar jeritan
sebelum pasien pingsan, hal ini disebabkan oleh kontraksi involunter otot
dinding dada karena aliran arus listrik.
High voltage AC injury
a. Tanpa kehilangan kesadaran
Biasanya pada kasus ini, jarang menyebabkan kehilangan kesadaran,
namun menyebabkan luka bakar yang amat parah (devastating).
b. Dengan hilang kesadaran
Merupakan kejadian yang jarang. Anamnesis biasanya diperoleh dari saksi
mata.
DC Injury
Pada tegangan tinggi biasanya akan menyebabkan kontraksi otot tunggal
yang akan menghentakan korban terlepas dari sumbernya. Pasien cenderung
mengalami cedera akibat terpental dari sumber arus. Cedera ini bias
menyebabkan disritmia jantung yang tergantung pada fase apa siklus elektrik
jantung pasien terkena.
3. Resistensi dan Konduksi
Resistensi adalah tahanan jaringan atau oposisi terhadap aliran listrik,
sedangkan konduksi adalah kapasitas jaringan menyampaikan (mengalirkan
arus listrik). Tahanan yang terbesar terdapat pada kulit tubuh, akan menurun
besarnya pada tulang, lemak, urat saraf, otot, darah dan cairan tubuh. Tahanan
kulit rata-rata 500-10.000 ohm. Di dalam lapisan kulit itu sendiri bervariasi
derajat resistensinya, hal ini bergantung pada ketebalan kulit dan jumlah relatif

dari folikel rambut, kelenjar keringat dan lemak. Kulit yang berkeringat lebih
jelek daripada kulit yang kering. Menurut hitungan Cardieu, bahwa
berkeringat dapat menurunkan tahanan sebesar < 1,000 ohm.
Arus listrik banyak yang melewati kulit, karena itu energinya banyak yang
dilepaskan di permukaan. Jika resistensi kulit tinggi, maka permukaan luka
bakar yang luas dapat terjadi pada titik masuk dan keluarnya arus, disertai
dengan hangusnya jaringan diantara titik masuk dan titik keluarnya arus
listrik. Tergantung kepada resistensinya, jaringan dalam juga bisa mengalami
luka bakar.
Tahanan tubuh terhadap aliran listrik juga akan menurun pada keadaan
demam atau adanya pengaruh obat-obatan yang mengakibatkan produksi
keringat meningkat. Pertimbangkan tentang transitional resistance, yaitu
suatu tahanan yang menyertai akibat adanya bahan-bahan yang berada di
antara konduktor dengan tubuh atau antara tubuh dengan bumi, misalnya baju,
sarung tangan karet, sepatu karet, dan lain-lain.
C. PENGARUH LISTRIK TERHADAP TUBUH
Berdasarkan aspek resistensi dan konduksi ini, dibedakan menjadi dua jenis
arus, yaitu arus langsung (direk) dan tidak langsung (indirek) yang membedakan
dua jenis luka bakar listrik
1. Arus Langsung (Direk)
Terjadi saat seseorang menyentuh sebuah konduktor yang terhubung
dengan arus listrik. Dampak jaringan listrik diuraikan berikut ini :
a. Kulit
Kulit adalah jaringan yang merupakan resistor (namun tidak sebaik
tulang), bukan konduktor yang baik (tidak sebaik saraf, pembuluh darah,
dan otot).Oleh karena itu, sebagian besar energi listrik diserap oleh kulit
terutama di daerah yang memiliki lapisan keratin tebal (telapak tangan,
telapak kaki) dan diubah menjadi energi panas menimbulkan luka bakar
(efek termal).

Dalam keadaan basah, kulit menjadi konduktor yang baik, sehingga


tidak ada energi yang diserap, namun langsung diteruskan ke jaringan
dibawahnya. Kondisi ini menyebabkan electric shock (lectrocotion) pada
jaringan yang letaknya lebih dalam disertai gangguan jantung (aritmia
ventricular, cardiac arrest) tanpa luka bakar sama sekali di permukaan
(misal pada bathtub injury).
b. Saraf
Saraf merupakan jaringan tubuh yang didesain untuk menghantarkan
aliran listrik.Jaringan saraf dapat mengalami kerusakan pada sistem
konduktivitasnya karena mengalami nekrosis koagulasi.
c. Sistem otot dan pembuluh darah
Sistem otot dan pembuluh darah mengandung air dan kadar elektrolit
dengan konsentarsi tinggi sehingga berperan baik sebagai konduktor.Otot
menghantarkan arus listrik jauh lebih banyak, sekaligus memanaskan
jaringan sekitarnya. Kerusakan otot periosteal dapat terjadi meski otot
yang terletak superficial terlihat normal.
Pembuluh darah mengalami kerusakan paling berat, disebabkan difusi
panas melalui tunika intima.Kerusakan pada pembuluh darah berupa erosi
endotel (diikuti gangguan integritas endotel), adhesi leukosit-trombosit dan
terbentuknya trombus-trombus, trombosis menyebabkan terganggunya
aliran sirkulasi.
d. Tulang, lemak, dan tendon
Tulang, lemak dan tendon merupakan resistor yang baik sehingga tidak
menghantarkan listrik namun lebih menimbulkan panas dan mengalami
koagulasi.
2. Arus Tidak Langsung (indirek)
a. Arc (percikan listrik)
b. Flash
c. Step voltage

Sebab kematian karena arus listrik yaitu :


1) Fibrilasi ventrikel
Bergantung pada ukuran badan dan jantung. Dalziel (1961)
memperkirakan pada manusia, arus yang mengalir sedikitnya 70 mA
dalam waktu 5 detik dari lengan ke tungkai akan menyebabkan
fibrilasi. Hal yang paling berbahaya adalah jika arus listrik masuk ke
tubuh

melalui

tangan

kiri

dan

keluar

melalui

kaki

yang

berlawanan/kanan. Jika arus listrik masuk ke tubuh melalui tangan


yang satu dan keluar melalui tangan yang lain maka 60% yang
meninggal dunia.
2) Paralisis respiratorik
Paralisis respiratorik timbul akibat spasme dari otot-otot pernafasan
sehingga korban dapat meninggal karena asfiksia.Jantung mungkin
masih berdenyut sampai timbul kematian.Hal ini terjadi bila arus listrik
yang

memasuki

tubuh

korban

di

atas

nilai

ambang

yang

membahayakan, tetapi masih di batas bawah yang dapat menimbulkan


fibrilasi ventrikel. Menurut Koeppen, spasme otot-otot pernafasan
terjadi pada arus 25-80 mA, sedangkan ventrikel fibrilasi terjadi pada
arus 70-100 mA.
3) Paralisis pusat nafas
Jika arus listrik masuk melalui pusat di batang otak, dapat
menyebabkan trauma pada pusat-pusat vital di otak sehingga dapat
terjadi koagulasi dan mengakibatkan efek hipertermia.Bila aliran listrik
diputus, paralisis pusat pernafasan tetap terjadi, tetapi jantung masih
berdenyut, oleh karena itu dengan bantuan pernafasan buatan korban
masih dapat ditolong.Hal tersebut bisa terjadi jika arus listrik melalui
jalur kepala.
4) Luka bakar

Paparan arus yang dihasilkan oleh sumber tegangan rendah (termasuk


sumber listrik rumah tangga) dapat menyebabkan luka bakar di
jaringan kutaneus yang disebabkan transformasi energi listrik menjadi
energi termal.Luka bakar dapat berupa eritema lokal hingga luka bakar
derajat berat.Tingkat keparahan luka bakar tergantung pada intensitas
arus, permukaan daerah, dan durasi paparan.
D. KLASIFIKASI LUKA BAKAR LISTRIK
Luka bakar dapat diklasifikasikan menurut kedalaman, luas luka, maupun
derajat berat ringannya.
1. Berdasarkan Kedalaman
Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tinggi suhu, lamanya pajanan suhu
tinggi, adekuasi resusitasi, dan adanya infeksi pada luka. Kedalaman luka
bakar dideskripsikan dalam derajat luka bakar, yaitu luka bakar derajat I, II,
atau III:
a. Derajat I
Pajanan hanya merusak epidermis sehingga masih menyisakan
banyak jaringan untuk dapat melakukan regenerasi. Luka bakar derajat
I biasanya sembuh dalam 5-7 hari dan dapat sembuh secara sempurna.
Luka biasanya tampak sebagai eritema dan timbul dengan keluhan
nyeri dan atau hipersensitivitas lokal.
b. Derajat II
Lesi melibatkan epidermis dan mencapai kedalaman dermis namun
masih terdapat epitel vital yang bisa menjadi dasar regenerasi dan
epitelisasi. Terdapat bullae, nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik
teriritasi, dibedakan atas 2 (dua) bagian:
1) Derajat II dangkal/superficial (IIA)
Kerusakan mengenai bagian epidermis dan lapisan atas dari
corium/dermis.Organ organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar
sebecea masih banyak.Semua ini merupakan benih-benih epitel.

Penyembuhan terjadi secara spontandalam waktu 10-14 hari tanpa


terbentuk sikatrik.
2) Derajat II dalam/deep (IIB)
Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis dan sisa sisa
jaringan epitel tinggal sedikit. Organ-organ kulit seperti folikel
rambut,

kelenjarkeringat,

kelenjar

sebacea

tinggal

sedikit.

Penyembuhan terjadi lebih lama dandisertai parut hipertrofi.


Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu lebih dari satu bulan.
c. Derajat III
Kerusakan meliputi seluruh tebal kulit dan lapisan yang lebih
dalam sampaimencapai jaringan subkutan, otot dan tulang. Organ kulit
mengalami kerusakan,tidak ada lagi sisa elemen epitel. Tidak dijumpai
bullae, kulit yang terbakarberwarna abu-abu dan lebih pucat sampai
berwarna hitam kering. Terjadikoagulasi protein pada epidermis dan
dermis yang dikenal sebagai esker. Tidakdijumpai rasa nyeri dan
hilang sensasi karena ujung-ujung sensorik rusak.Penyembuhan terjadi
lama karena tidak terjadi epitelisasi spontan.

Gambar: Luka bakar derajat I, II dan III

Tabel. Kategori derajat luka bakar

2. Berdasarkan Luas
Wallace membagi tubuh atas bagian nagian 9 % atau kelipatan dari 9
terkenal dengan nama Rule of Nine atau Rule of Wallace. Dalam perhitungan
agar lebih mempermudah dapat dipakai luas telapak tangan penderita adalah
1 % dari luas permukaan tubuhnya. Pada anak anak dipakai modifikasi Rule
of Nine menurut Lund and Brower, yaitu ditekankan pada umur 15 tahun, 5
tahun dan 1 tahun.

Gambar. Rules of Nine

Gambar. Rules of nine menurut umur


3. Kriteria Berat-ringannya
Kriteria berat-ringannya suatu luka bakar menurut American Burn
Association adalah
a) Luka bakar ringan.
-

Luka bakar derajat II <15 %

Luka bakar derajat II < 10 % pada anak anak

Luka bakar derajat III < 2 %

b) Luka bakar sedang


-

Luka bakar derajat II 15-25 % pada orang dewasa

Luka bakar II 10 20 5 pada anak anak

Luka bakar derajat III < 10 %

c) Luka bakar berat


-

Luka bakar derajat II 25 % atau lebih pada orang dewasa

Luka bakar derajat II 20 % atau lebih pada anak anak.

Luka bakar derajat III 10 % atau lebih

Luka bakar mengenai tangan, wajah, telinga, mata, kaki dan


genitalia/perineum.

Luka bakar dengan cedera inhalasi, listrik, disertai trauma lain.

E. TANDA DAN GEJALA LUKA BAKAR


Gejala klinis yang utama pada luka bakar yaitu lepuh yang merupakan tanda
khas luka bakar superfisial. Cairan dihasilkan dari jaringan cedera yang lebih

dalam sehingga permukaan superfisial yang terbakar (mati) akan terangkat. Lepuh
atau bullae pada luka bakar sering pecah dan meninggalkan suatu permukaan
merah kasar yang mengeluarkan cairan serous dan dapat berdarah. Luka bakar
yang superfisial terasa nyeri karena ujung saraf terpapar dan mengalami inflamasi.
Luka bakar yang dalam, gejala klinisnya yaitu, kulit mungkin terlihat normal.
Akan tetapi, tampak mengkilap sehingga pembuluh-pembuluh darahnya mudah
dilihat, tetapi darah dalam pembuluh darah tersebut tidak dapat keluar karena
sudah mengalami koagulasi sehingga saat ditusuk tidak akan mengeluarkan darah.
Selain itu, kulit amat kaku ketika disentuh, serta tidak dapat merasakan nyeri,
karena sebagian besar ujung saraf sudah mati. Pada kondisi yang lebih berat,
dapat terjadi pengarangan dan karbonisasi (hitam).
Gejala-gejala klinis lain selain diatas, yaitu adanya tanda-tanda distress
pernapasan seperti suara serak, ngiler, tanda-tanda cedera inhalasi seperti
pernapasan cepat dan sulit, krakles, stridor, serta batuk pendek.
F. PENEGAKAN DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Anamnesis yang dilakukan pada pasien luka bakar adalah anamnesis
singkat dikarenakan luka bakar merupakan bagian dari kegawat daruratan
biasanya anamnesis dilakuakan secara auto dan alloanamnesis. Anamnesis
yang sering ditanyakan adalah, berat badan pasien, umur, sudah berapa lama
setelah terkena arus listrik, bagaimana mula kejadian, sumber dari arus listrik,
penanganan apa yang sudah dilakukan dan lain lain seperti keluhan utama,
riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu riwayat penyakit
keluarga, riwayat pekerjaan, sosial, ekonomi, dan kejiwaan, gaya hidup
menyusul

2. Pemeriksaan Fisik
Lakukan primary survey dengan mengawasi jalan napas (airway),
pernapasan (breathing), sirkulasi (circulation), disabilitas (disability), dan

eksposure (exposure). Dan dilanjutkan secondary survey dari kepala ke kaki


(head to toe) serta memperhatikan status lokalis.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Hitung darah lengkap : peningkatan Hct awal menunjukkan
hemokonsentrasi sehubungan dengan perpindahan/kehilangan cairan.
b. Elektrolit serum : kalium meningkat karena cedera jaringan /kerusakan
SDM dan penurunan fungsi ginjal. Natrium awalnya menurun pada
kehilangan air.
c. Urine : adanya albumin, Hb, dan mioglobulin menunjukkan kerusakan
jaringan dalam dan kehilangan protein.
d. EKG untuk mengetahui adanya iskemik miokard/disritmia pada luka
bakar listrik.
e. BUN dan kreatinin untuk mengetahui fungsi ginjal.
f. Albumin serum dapat menurun karena kehilangan protein pada edema
cairan.
g. Fotografi luka bakar : memberikan catatan untuk penyembuhan luka
bakar selanjutnya.
4. Diagnosis
Diagnosis dari luka bakar dapat diambil dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Selain itu diagnosis pembagian derajat juga
diperlukan agar penanganannya tepat dan cepat. Kedalaman kerusakan
jaringan akibat luka bakar tergantung pada penyebab dan lamanya kontak
dengan tubuh penderita.
G. TATALAKSANA
1. Prehospital
Putus pajanan arus listrik terhadap pasien dengan memperhatikan
keselamatan penolong. . Kemudian lepaskan semua bahan yang dapat
menahan panas (pakaian, perhiasan, logam), hal ini untuk mencegah luka
yang semakin dalam karena tubuh masih terpajan dengan sumber. Bahan yang
meleleh dan menempel pada kulit tidak boleh dilepaskan. Air suhu kamar

dapat disiramkan ke atas luka dalam waktu 15 menit sejak kejadian, namun
air dingin tidak boleh diberikan untuk mencegah terjadinya hipotermia dan
vasokonstriksi.
2. Resusitasi jalan napas
Resusitasi jalan napas bertujuan untuk mengupayakan suplai oksigen yang
adekuat, terutama pada pasien dengan kecurigaan cedera inhalasi.
3. Resusitasi cairan
Resusitasi syok menggunakan Ringer laktat atau Ringer asetat,
menggunakan beberapa jalur intravena. Pemberian cairan pada syok atau
kasus luka bakar >25-30% atau dijumpai keterlambatan >2jam. Dalam <4
jam pertama diberikan cairan kristaloid sebanyak 3[25%(70%x BBkg)] ml.
70% adalah volume total cairan tubuh, sedangkan 25% dari jumlah minimal
kehilangan cairan tubuh yang dapat menimbulkan gejala klinik sindrom syok.

Pada resusitasi cairan tanpa adanya syok atau kasus luka bakar luas
<25-30%, tanpa atau dijumpai keterlambatan <2jam. Kebutuhan
dihitung berdasarkan rumus Baxter: 3-4 ml/kgBB/ % luas LB. 3
Metode Parkland merupakan metode resusitasi yang paling umum
digunakan pada kasus luka bakar, menggunakan cairan kristaloid.
Metode ini mengacu pada waktu iskemik sel tubulus ginjal < 8 jam
sehingga lebih tepat diterapkan pada kasus luka bakar yang tidak
terlalu luas dan tanpa keterlambatan. Pemberian cairan menurut
formula Parkland adalah sebagai berikut:

Pada 24 jam pertama : separuh jumlah cairan diberikan dalam 8


jam pertama, sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada
bayi, anak, dan orang tua, kebutuhan cairan adalah 4 ml. Bila
dijumpai cedera inhalasi maka kebutuhan cairan 4ml ditambah 1%
dari kebutuhan. Bila dijumpai hipertermia, kebutuhan cairan
ditambah 1% dari kebutuhan.

Penggunaan zat vasoaktif (Dopamin atau Dobutamin) dengan dosis


3 mg/kgBB dengan titrasi atau dilarutkan dalam 500ml Glukosa
5%, jumlah teteasan dibagi rata dalam 24 jam.

Pemantauan untuk menilai sirkulasi sentral melalui tekanan vena


sentral (minimal 6-12cmH2O) dan sirkulasi perifer (sirkulasi
renal). Jumlah produksi urin melalui kateter, saat resusitasi (0,51ml/kgBB/jam) dan hari1-2 (1-2 ml/kgBB/jam). Jika produksi urin
<0,5ml/kgBB/jam maka jumlah cairan ditingkatkan 50% dari jam
sebelumnya. Jika produksi urin >1ml/kgBB/jam maka jumlah
cairan dikurangi 25% dari jam sebelumnya.

Pemeriksaan fungsi renal (ureum, kreatinin) dan urinalisis (berat


jenis dan sedimen)

Pemantauan sirkulasi splangnikus dengan menilai kualitas dan


kuantitas cairan lembung melalui pipa nasogastrik. Jika <200ml
tidak ada gangguan pasase lambung, 200-400ml ada gangguan
ringan, >400ml gangguan berat.

a) Penatalaksanaan 24 jam kedua

Pemberian cairan yang mengandung glukosa dan dibagi rata dalam


24 jam. Jenis cairan yang dapat diberikan adalah Glukosa 5% atau
10% 1500-2000ml. Batasi Ringer laktat karena dapat memperberat
edema interstisial.

Pemantauan sirkulasi dengan menilai tekanan vena pusat dan


jumlah produksi urin (1-2ml.kgBB/jam). Jika jumlah cairan sudah
mencukupi namun produksi urin <1-2ml/kgBB/jam, berikan
vasoaktif sampai 5mg/kgBB.

Pemantauan analisa gas darah, elektrolit.

b) Penatalaksanaan setelah 48 jam

Cairan diberikan sesuai kebutuhan maintenance

Pemantauan

sirkulasi

dengan

menilai

4ml/kgBB/jam), hemoglobin dan hematocrit


4. Perawatan luka

produksi

urin

(3-

Perawatan luka dilakukan setelah tindakan resusitasi jalan napas,


mekanisme bernapas dan resusitasi cairan dilakuakan. Tindakan meliputi
debridement, nekrotomi dan pencucian luka. Tujuan perawatan luka adalah
mencegah degradasi luka dan mengupayakan proses epitelisasi. Untuk bullae
ukuran kecil tindakannya konservatif sedangkan untuk ukuran besar (>5cm)
dipecahkan tanpa membuang lapis epidermis di atasnya.
Untuk eskar yang melingkar dan mengganggu aliran atau perfusi
dilakukan eskarotomi. Pencucian luka dilakukan dengan memandikan pasien
dengan air hangat mengalir dan sabun mandi bayi. Lalu luka dibalut dengan
kasa lembab steril dengan atau tanpa krim pelembab. Perawatan luka tertutup
dengan oclusive dressing untuk mencegah penguapan berlebihan.
Penggunaan tulle berfungsi sebagai penutup luka yang memfasilitasi
drainage dan epitelisasi. Sedangkan krim antibiotik diperlukan untuk
mengatasi infeksi pada luka. Pemberian antibiotik pada kasus luka bakar
bertujuan sebagai profilaksis infeksi dan mengatasi infeksi yang sudah terjadi.
Penggunaan antibiotik sebagai profilaksis masih merupakan suatu
kontroversi. Dalam 3-5 hari pertama populasi kuman yang sering dijumpai
adalah bakteri Gram positif non-patogen. Sedangkan hari 5-10 adalah bakteri
Gram negatif patogen. Dalam 1-3 hari pertama pasca cedera, luka masih
dalam keadaan steril sehingga tidak diperlukan antibiotik. Beberapa antibiotik
topikal yang dapat digunakan adalah silver sulfadiazin, povidone-iodine 10%,
gentamicin sulfate, mupirocin, dan bacitracin/polymixin.
5. Nutrisi
Pemberian nutrisi enteral dini melalui pipa nasogastrik dalam 24 jam
pertama pascacedera bertujuan untuk mencegah terjadinya atrofi mukosa
usus, diberikan 25-30 kkal /kgBB/ hari.
6. Eksis dan grafting
Luka bakar derajat dua dalam dan tiga tidak dapat mengalami
penyembuhan spontan tanpa autografting. Jika dibiarkan, jaringan yang
sudah mati ini akan menjadi fokus inflamasi dan infeksi. Eksisi dini dan
grafting saat ini dilakukan oleh sebagian besar ahli bedah karena memiliki

lebih banyak keuntungan dibandingkan debridement serial. Setelah dilakukan


eksisi, luka harus ditutup, idealnya luka ditutup dengan kulit pasien sendiri.
Pada luka bakar seluas 20-30%, biasanya dapat dilakukan dalam satu kali
operasi dengan penutupan oleh autograft split-thickness yang diambil dari
bagian tubuh pasien. Sebagian besar ahili bedah melakukan eksisi pada
minggu pertama, biasanya dalam satu kali operasi dapat dilakukan eksisi
seluas 20%. Eksisi tidak boleh melebihi kemampuan untuk menutup luka
baik dengan autograft, biologic dressing atau allograft.
H. KOMPLIKASI
Komplikasi pada luka bakar dibagi menjadi dua, yaitu komplikasi saat
perawatan kritis atau akut dan komplikasi yang berhubungan dengan eksisi dan
grafting. Komplikasi yang dapat terjadi pada masa akut adalah SIRS, sepsis dan
MODS. Selain itu komplikasi pada gastrointestinal juga dapat terjadi, yaitu atrofi
mukosa, ulserasi dan perdarahan mukosa , motilitas usus menurun dan ileus. Pada
ginjal dapat terjadi acute tubular necrosis karena perfusi ke renal yang menurun.
Skin graft loss merupakan komplikasi yang sering terjadi, hal ini disebabkan oleh
hematoma, infeksi dan robeknya graft. Pada fase lanjut suatu luka bakar, dapat
terjadi jaringan parut berupa jaringan parut hipertrofik, keloid dan kontraktur.
I. PROGNOSIS
Prognosis pada luka bakar tergantung dari derajat luka bakar, luas permukaan
badan yang terkena luka bakar, adanya komplikasi seperti infeksi, dan kecepatan
pengobatan medikamentosa. Luka bakar minor dapat sembuh 5-10 hari tanpa
adanya jaringan parut. Luka bakar moderat dapat sembuh dalam 10-14 hari dan
mungkin menimbulkan luka parut. Luka bakar mayor membutuhkan lebih dari 14
hari untuk sembuh dan akan membentuk jaringan parut. Jaringan parut akan
membatasi gerakan dan fungsi. Dalam beberapa kasus, pembedahan diperlukan
untuk membuang jaringan parut.

DAFTAR PUSTAKA

Carvajal HF, Griffith JA. Burn and inhalation injury. Dalam: Fuhrman BP,
Zimmerman JJ, penyunting.. Edisi ke- 3. Philadelphia : Mosby Elsevier;
2006. hlm. 1565-74.
Gandhi I, Lord D, Enoch S. Management of pain 5. in children with burns. Int
J Paed. 2010; 12(3): 1-7.
Gallagher JJ, Wolf SE, Herndon DN. 2008. Burns. In: Townsend CM,
Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Editors. Sabiston Textbook of
Surgery. 18th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier.
Gibran NS. 2006. Burns. In: Mulholland MW, Lillemoe KD, Doherty GM,
Gerard M, Ronald V, Upchurch GR. Greenfields Surgery: Scientific
Principles and Practice. 4th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams and
Wilkins.
Grace, Pierce A. & Borley, Neil R. 2006. At a Glance Ilmu Bedah. edisi
ketiga. Jakarta: Erlangga. Kapita selekta edisi 3 jilid 2.
Latenzer BA. Critical care of the burn patient 16. the first 48 hours. Crit Care
Med. 2009;97(10): 2823-7.
Moenadjat Y (2003). Luka Bakar Pengetahuan Klinik Praktis. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Yurt RW, Howell JD, Greenwald BM. Burns, electrical injuries, and smoke
inhalation. Dalam: Nichols DG, penyunting. Roger's textbook of
pediatric intensive care. Edisi ke- 4. Philadelphia: Lippincott
Williams&Wilkins; 2008. hlm. 414-25.

Anda mungkin juga menyukai