Anda di halaman 1dari 15

BAB 1 PENDAHULUAN

Ternak sapi potong merupakan salah satu sumber penghasil daging yang
memiliki nilai ekonomi tinggi dan penting artinya di dalam kehidupan
masyarakat. Sapi diketahui rentan terhadap penyakit yang disebabkan oleh
cacing, apalagi jika dipelihara secara ekstensif dan semi intensif (Guntoro,
2002). Pengendalian terhadap penyakit infeksius seperti parasit sering
diabaikan karena pada umumnya tidak menimbulkan bahaya dan sebagian
besar bersifat subklinik (Subronto, 2007). Permintaan akan kebutuhan daging
sapi dimasyarakat terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah
penduduk Indonesia yang sangat cepat. Selain itu, kesadaran akan pentingnya
pemenuhan gizi bagi masyarakat juga semakin meningkat. Untuk memenuhi
kebutuhan tersebut, maka diperlukan suatu usaha pengembangan dan
pencegahan penyakit pada ternak. Usaha pencegahan penyakit pada ternak
dimaksudkan supaya menjaga ternak tetap sehat.
Fasciolosis adalah penyakit yang diakibatkan oleh infeksi cacing Fasciola
sp. Penyakit tersebut merupakan penyakit penting pada ternak di daerah tropis
seperti Afrika, sub-kontinen India dan Asia Tenggara. Di Indonesia, fasciolosis
lebih sering terjadi pada sapi dan kerbau daripada domba dan kambing,
umumnya disebabkan oleh Fasciola gigantica. Fasciolosis terjadi dalam
sebaran yang luas terutama di lahan-lahan basah (Schnieder, 2006). Fasciola
sp. dapat menyebabkan penderitaan kronis yang menahun, kekurangan darah
dan gizi, pertumbuhan menjadi lambat serta menimbulkan peradangan hati dan
empedu pada ternak. Infeksi ringan yang berkepanjangan juga mengakibatkan
ternak tidak dapat gemuk, kondisi tubuh melemah, nafsu makan menurun,
pembengkakan di bawah rahang, perut busung dan dapat menyebabkan
kematian. Kerugian ekonomi secara global akibat infeksi cacing hati pada
ternak diperkirakan mencapai 36 milyar rupiah per tahun. Kerugian ini dapat
berupa kematian, penurunan berat badan, kehilangan karkas, kerusakan hati,
kehilangan tenaga kerja, penurunan produksi susu 10-20%, dan biaya yang
harus dikeluarkan untuk pengobatan (Schnieder, 2006). Program pencegahan

dan pengendalian penyakit parasit, termasuk fasciolosis sangat diperlukan bagi


peternak. Program akan lebih efektif apabila dirancang berdasarkan informasi
akurat tentang kejadian penyakitnya.

BAB 2 TINJAUAN KASUS


2.1 Signalement

Gambar 2.1 Sapi menderita fasciolosis (


a. Nama hewan

:-

b. Jenis atau ras

: Sapi potong

c. Jenis kelamin

: jantan

d. Umur

: 16 bulan

): menunjukan adanya Bottle jaw

e. Tanggal pemeriksaan : 18 Agustus 2016


2.2 Anamnesa
a. Sapi kurus
b. Sudah dua hari mengalami penurunan nafsu makan
c. Sapi menjadi pasif
d. Mengalami diare
2.3 Pemeriksaan Fisik Sapi
a. Selaput lendir pucat
b. Bottle jaw (oedema) dibagian mandibula
c. Bulu kusam dan discharge disekitar mata
d. Diare

2.4 Diagnosis
Suspest Fasciolosis
Differensial diagnose : Kolangiitis, hepatitis
Prognosa

: Fausta

2.5 Terapi
Nitroksinil 10 mg/kgBB

BAB 3 PEMBAHASAN
Anamnesa yang ditunjukkan oleh sapi potong menunjukkan gejala
umum dari sapi yang mengalami suatu penyakit. Penurunan nafsu makan
merupakan proses dari suatu penyakit yang secara langsung menghambat atau
menekan aktivitas pusat lapar. Aktivitas pusat lapar dikontrol oleh nuklei
hipotalamus lateral. Pusat lapar dirangsang oleh mediator yang dihasilkan oleh
rangsangan vagal atau simpatetik pada reseptor perifer yang memberikan
umpan balik pada nuklei hipotalamus lateral. adanya gangguan pada rongga
abdomen seperti radang pada hepatobilier, pankreas, lambung, usus halus dan
ginjal akan menghambat aktivitas pusat makan dengan cara menghambat
pengeluaran

neurotransmiter

neuropetide

Y,

serotonin

yang

akan

mempengaruhi pusat lapar. Penurunan nafsu makan yang terjadi akan


berpengaruh pada berkurangnya pasokan nutrisi yang dikonsumsi pada sapi
yang apabila terjadi pada waktu yang lama dapat mengakibatkan kekurusan
pada sapi. Anamnesa yang didapatkan lainnya ialah terjadinya diare. Diare
merupakan suatu keadaan pengeluaran feces yang tidak normal atau tidak
seperti biasanya ditandai dengan peningkatan volume dan konsistensi lembek
serta frekuensi lebih dari normal (Fieldman et al, 2000). Diare merupakan
salah satu gejala dari penyakit pada sistem gastrointestinal (Guntoro, 2002).
Penyebab dari diare dapat digolongkan menjadi beberapa faktor yakni karena
fungsional seperti pergantian pakan, alergi pakan atau komponen obat. Faktor
Kedua yang menyebabkan terjadinya diare ialah penyakit metabolik seperti
liver chirrhosis, hypoadrenocorticism, dan keracunan logam berat. Faktor
ketiga atau yang terakir yakni adanya penyakit intrinsik pada usus yang
disebabkan oleh bakteri, fungi, protozoa, parasit, virus.
Berdasarkan anamnesa yang didapat kemudian dilanjutkan dengan
pemeriksaan fisik yang menunjukkan bahwa selaput lendir dari sapi jantan ini
terlihat pucat. Warna selaput lendir secara umum pada hewan besar berwarna
merah rosa. Warna selaput lendir dipengaruhi oleh status aliran darah, Jumlah
darah yang mengalir dan kandungan eritrosit. Penurunan warna dapat
disebabkan oleh penurunan aliran darah atau penurunan zat warna darah.
5

Penurunan aliran darah dapat bersifat lokal seperti iskemia atau umum yang
disebabkan oleh kelemahan sirkulasi perifer dan penurunan zat warna darah
berkaitan dengan penurunan eritrosit atau hemoglobin (anemia). Sapi lokal
yang diperiksa perubahan selaput lendir lebih mengarah pada penurunan
jumlah eritrosit atau hemoglobin. Pemeriksaan pada feces yang diare dari sapi
jantan ini tidak ditemukkan adanya pendarahan, feces yang menunjukkan
adanya darah pada keadaaan diare dapat mengindikasikan bahwa diare tersebut
disebabkan oleh adanya infeksi bakteri, parasit dan virus. Dalam kasus ini
kausa diare bukan berasal dari bakteri dan virus. Mekanisme terjadinya diare
dapat yakni diawali dengan perubahan motilitas usus yang terjadi sebagai
akibat adanya peradangan didalam usus sehingga usus (terutama usus besar)
tidak mampu menahan laju dari isi dalam usus sehingga terjadi diare. selain itu
dapat disebabkan oleh Peningkatan osmolalitas dapat disebabkan oleh
maldigesti akibat kekurangan enzim pankreas, garam empedu. Hal ini akan
mengakibatgkan karbohidrat, lemak, protein tidak terabsorbsi dengan baik.
Pakan yang tidak terabsorbsi tersebut akan diubah menjadi asam laktat dan
asam lemak volatil oleh bakteri di kolon. Ini akan menyebabkan penurunan pH
(asam) dan peningkatan osmolalitas, yang akhirnya menimbulkan diare. dari
hasil pemeriksaan fisik ditemukan pula adanya bottle jaw atau eodema pada
bagian submadibula. Adanya bottle jaw merupakan suatu bentukan khas dari
infestasi Fasciola sp. Penyebab bottle jaw umumnya disebabkan oleh adanya
infestasi cacing yang memicu terjadinya anemia yang akan mengaikbatkan
penurnan jumlah protein dalam darah yang berperan dalam mempertahankan
cairan dan mengarah pada keadaan bottle jaw.
Berdasarkan dari anamnesa dan pemeriksaan fisik sapi tersebut
didiagnosa mengalami fasciolosis.
1. Etiologi
Fasciolosis merupakan merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh
infeksi spesies Fasciola gigantica. Fasciola gigantica Merupakan cacing
yang berasal dari kelas trematoda (cacing pipih) dan famili Fasciolidea.
Secara morfologi Fasciola gigantica berbentuk daun, berwarna cokelat
6

keabu-abuan, berukuran panjang 3,5-7,5 cm dan lebar 0,65-1,2 cm (ACIAR


2003). Cacing ini memiliki dua batil hisap ventral (acetabulum), serta batil
hisap oral (oral sucker) yang berfungsi sebagai lubang mulut. Cacing
Fasciola gigantica menginfeksi ternak ruminansia sebagai definitive host
dan memiliki tempat predileksi pada hati dan kantung empedu. Fasciola
gigantica memiliki intermedier host (inang antara) yakni Siput. Fasciola sp.
menjalani siklus hidup secara tidak langsung sehingga mencapai stadium
infektif (metaserkaria) didalam tubuh siput
2. Patofisiologi
Sapi umunya akan terinfeksi fasciolosis yang didapatkan dari memakan
rumput yang tercemar oleh metaserkaria. Sapi merupakan hospes definitif
dari cacing fasciola gigantica sehingga metaserkaria yang tertelan akan
pecah didalam duodenum. Metasercaria yang pecah akan mengeluarkan
fasciola muda dan akan menembus dinding usus halus 24 jam post infeksi
guna menuju kedalam tempat predileksi cacing Fasciola gigantica cacing
muda yang berhasil menembus dinding usus akan masuk ke dalam ruang
peritoneum dan

setelah 4-6 hari post infektif cacing muda Fasciola

gigantiga akan melakukan penetrasi ke dalam

kapsul hati yang

menimbulkan respons inflamasi kapsul (peri-hepatitis). Setelah berhasil


menembus kapsul hati, cacing muda akan bermigrasi dalam parenkhim hati.
Cacing muda untuk dapat bermigrasi dalam hati memerlukan waktu 5-6
minggu. cacing muda kemudian melanjutkan migrasinya ke dalam saluran
empedu setelah tujuh minggu. didalam saluran empedu cacing muda akan
tumbuh menjadi cacing dewasa (Borray, 2007).
Migrasi

cacing

muda

Fasciola

gigantica

dalam

hati

akan

mengakibatkan kerusakan parenkim, perdarahan dan nekrosa. Perjalanan


cacing juga menimbulkan trombus pada vena hepatica dan sinusoid hati.
Gangguan aliran darah oleh trombus tersebut akan menimbulkan nekrosis
dan iskhaemia dalam parenkhima hati. Selama fase perbaikan mengikuti
migrasi cacing, jaringan parenkhim diganti dengan serabut kolagen, maka
terjadi fibrosis. Apabila terjadi banyak lobus hati maka hati menjadi bentuk
7

tidak teratur dan mengeras (Borray, 2007). Selama Fasciola sp. hidup di
dalam saluran empedu akan menyebabkan rusaknya mukosa saluran
empedu.

Kerusakan membran mukosa pada saluran empedu akan

menyebabkan peradangan saluran empedu, menyebabkan penyumbatan


aliran empedu sehingga menimbulkan ikterus dan akibat lainnya bisa berupa
hepatomegali (Sutanto et al, 2008). Kehadiran cacing hati pada saluran
empedu menyebabkan kholangitis. Kholangitis merupakan peradangan akut
pada dinding saluran empedu yang dapat disebebkan oleh adanya infeksi
pada lumen saluran empedu yang mengakibatkan terjadinya obstruksi
saluran empedu. adanya obstruksi dan Kehadiran cacing dewasa dalam
lumen saluran empedu intrahepatik membuat iritasi terus-menerus dan
menyebabkan proliferasi hiperplastik. cacing fasciola selama perjalanannya
disaluran empedu akan menghisap darah yang akan menyebabkan
timbulnya reaksi radang dan sebagai upaya untuk meregenerasi jaringan
maka tubuh melakukan remodeling jaringan secara terus menerus yang
mengakibatkan akumulasi dari serat kolegen yang berlebihan sehingga akan
mejadi fibrosis atau pengapuran pada saluran empedu (Shaikh, 2004).
Cacing yang berada dalam lumen saluran empedu secara terus menerus
menghisap

darah

untuk

memenuhi

kebutuhan

metabolisme

dan

pertumbuhan cacing, dimana tiap harinya cacing mampu menghisap darah


sebanyak 0,2 ml per hari, per cacing. Keadaan yang berlangsung secara
terus

menerus

akan

menyebabkan

terjadi

hypoalbuminaemia

dan

hypoproteinaemia selama infeksi berlangsung (Talukder, 2010). Keadaan


hypoalbuminaemia dan hypoproteinaemia apabila berlangsung secara terus
menerus dapat menyebabkan keadaan patologis dengan timbulnya edema
dikarenakan protein terutama albumin berperan dalam pengatuan cairan
didalam tubuh. Albumin merupakan komponen dari protein yang berperan
menjaga tekanan osmotic koloid plasma sebesar 75-80 % dan merupakan 50
% dari seluruh protein tubuh. Albumin memiliki peran memberi tekanan
osmotik di dalam kapiler sehingga dapat menjaga keberadaan air dalam
plasma darah dengan demikian volume darah akan tetap stabil. Akibat
8

adanya penurunan protein terutama albumin maka akan diikuti dengan


penurunan konsentrasi protein dalam plasma yang dapat menyebabkan
penurunan tekanan osmotic plasma. penurunan ini menyebabkan filtrasi
cairan yang keluar dari pembuluh lebih tinggi, sementara jumlah cairan
yang direabsorpsi kurang dari normal ; dengan demikian terdapat cairan
tambahan yang berada dalam ruang interstitial seperti pada submandibula
dan peritoneum. Aktivitas cacing menghisap darah selain menyebabkan
iritasi pada kantung empedu dan penurunan komponen protein dapat pula
mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah darah menyebabkan anemia
(Raadsma et al., 2007). Anemia merupakan suatu keadaan berkurangnya
jumlah sel darah merah atau kandungan hemoglobin didalam darah.
Hemoglobin (Hb) adalah suatu senyawa protein pembawa oksigen didalam
sel darah merah. Anemia pada kasus ini dapat disebabkan oleh berkurangna
jumlah sel darah merah dan karena kekurangan zat besi. Kekurangan zat
besi dipicu karena kerusakan pada hepar yang dapat mengakibatkan
penurunan fungsi hati dalam mendestruksi sel darah merah dan menyimpan
zat besi. Seperti diketahui sel darah merah tua dihancurkan didalam hepar
dengan

merombak

hemogloblin.

Globin

yang

merupakan

bagian

hemoglobin akan dipisahkan, dan hemenya diubah menjadi biliverdin. Lalu


sebagian besar biliverdin diubah menjadi bilirubin dan diekskresikan ke
dalam empedu. Sedangkan besi dari heme digunakan kembali untuk sintesis
hemoglobin. Pada langkah terakhir jalur ini, besi (sebagai Fe 2+)
digabungkan ke dalam protoporfirin IX dalam reaksi yang dikatalisis oleh
ferokelatase (dikenal sebagai heme sintase). Kerusakan hepar akan
menyebabkan penurunan jumlah eritosit yang didestruksi sehingga akan
menyebabkan berkurangnya cadangan zat besi yang disimpan didalam
hepar, apabila kekurangan besi berlanjut secara terus menerus akan
mengakibatkan penyediaan besi untuk eritropoiesis berkurang sehingga
menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit yang menimbulkan anemia
hipokromik mikrositer. Keadaan terjadinya anemia dapat teramati pada
perubahan warna dari selaput lendir sapi yang diperiksa.
9

3. Gejala klinis
Gejala klinis yang nampak pada Sapi yang terserang Fasciola sp. akan
terlihat pucat, lesu, mata membengkak, tubuh kurus, dan bulu kasar serta
kusam atau berdiri, dan gangguan pada pertumbuhan apabila berlangsung
lama karena Fasciola sp. muda merusak sel-sel parenkim hati dan cacing
dewasa hidup sebagai parasit dalam pembuluh-pembuluh darah yang ada di
hati sehingga akan mengakibatkan gangguan fungsi hati, peradangan hati
dan empedu yang akan menggangu metabolisme dalam tubuh(Guntoro,
2002). Gejala klinis infeksi Fasciola sp. bergantung pula pada tingkatan
infeksi. Gejala klinis pada infeksi akut ialah ternak menjadi lemah, nafas
cepat dan pendek, perut membesar disertai rasa sakit dan kematian akibat
adanya pendarahan. Fasciolosis bentuk subakut kurang atau bahkan sama
sekali tidak memperlihatkan gejala. Fasciolosis bentuk kronis merupakan
infeksi yang berjalan lama dan cacing dalan tubuh hospes telah menjadi
dewasa. Gejala klinis yang nampak pada infeksi yang bersifat kronis ialah
anemia sehingga menyebabkan ternak lesu, lemah, nafsu makan menurun,
cepat mengalami kelelahan, membran mukosa pucat, diare, oedema di
antara sudut dagu dan bawah perut, ikterus serta kematian dapat terjadi
dalam waktu 1-3 bulan (Subronto, 2007; Ditjennak, 2012).
4. Diagnosis
Diagnosa terhadap kasus fasciolosis didasarkan dari anamnesa dan
gejala klinis yang didapatkan dilapang yang ditunjang dengan pemeriksaan
laboratorium yang meliputi pemeriksaan feses, biopsi hati, uji serologi
untuk deteksi antibodi(Ditjennak, 2012). Pemeriksaan laboratorium yang
sering

digunakan

untuk

mengidentifikasi

fasiolosis

ialah

dengan

menggunakan pemeriksaan feces yang bertujuan untuk menemukan telur


Fasciola sp. dalam feses. Pemeriksaan feces dapat dilakukan dengan
menggunakan metode sedimentasi. Pemeriksaan feces dilakukan apabila
sapi telah menunjukkan infeksi yang telah memunculkan gejala klinis yang
mengarah kepada kronis dikarenakan telur akan dikeluarkan dalam feces
10

setelah 10-15 minggu setelah hewan terinfeksi yakni telah menjadi bentuk
dewasa dan menghasilkan telur yang berada didalam saluran kantung
empedu. pemeriksaan secara tepat dapat dilakukan apabila dilakukan
nekropsi pada hepar dan kantung empedu yang menunjukkan kerusakan
hepar dan adanya cacing dewasa dalam organ tersebut.
5. Pengobatan
Pengobatan yang digunakan sebagai terapi fasciolosis harus dipilih yang
memiliki sifat toksik minimal dan tidak memperberat kerja hepar
dikarenakan pada infeksi fasciolosis hepar mengalami kerusakan pada
parenkimnya sehingga akan mempengaruhi pada fungsi hepar untuk
mendetoksifikasi senyawa toksik yang masuk ke dalam tubuh. Selain itu
obat yang dipilih harus dapat membunuh Fasciola sp. dalam beberapa
stadium yakni stadium cacing muda yang sedang bermigrasi pada hepar dan
saluran empedu dan bentuk dewasa. Fasciolosis pada sapi jantan diterapi
dengan menggunakan Dovenix ( bahan aktif: Nitroxynil ) dosis: 10 mg/kg
berat badan (1 ml untuk 25 Kg berat badan) diberikan secara Subcutan.
Nitroxynil merupakan obat yang berfungsi untuk mengikat komponen
protein dalam cacing. Pemberian obat cacing secara berkala minimal 2 kali
dalam 1 tahun bertujuan mengeliminasi migrasi cacing dewasa.
6. Pencegahan
Pencegahan yang efektif yang dilakukan pada kasus fasciolosis
Menurut Ditjennak (2012), prinsip pengendalian fasciolosis pada ternak
ruminansia adalah memutus daur hidup cacing. Untuk itu, diperlukan
tindakan-tindakan pencegahan terhadap infeksi antara lain dengan cara:
a. Limbah kandang hanya digunakan sebagai pupuk pada tanaman padi
apabila sudah dikomposkan terlebih dahulu sehingga telur Fasciola sp.
sudah mati.
b. Pengambilan jerami dari sawah sebagai pakan ternak dilakukan dengan
pemotongan sedikit yakni 1-1.5 jengkal dari tanah.
c. Jerami dijemur selama 2-3 hari berturut-turut dibawah sinar matahari dan
dibolak-balik selama penjernuran sebelum diberikan untuk pakan.

11

d. Tidak melakukan penggembalaan ternak di daerah berair atau yang


tercemar oleh metaserkaria cacing hati dan

Melakukan rotasi

pengembalaan
e. menggunakan itik sebagai predator alami dari siput atau menggunakan
Mollusida sebagai agen kimia untuk menekan populasi siput terutama
pada musim penghujan.

BAB 4 PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Fasciolosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infestasi dari
Fasciola sp, yang dicirikan adanyan diare, bottle jaw, dan penurunan berat
badan. Kejadian fasciola didaerah kungkuk di dukung oleh faktor lingkungan
daerah malang yang berada pada musim penghujan yang menyebabkan
tingginya jumlah metasercaria. Penegakan diagnosa pada kasus ini didasarkan
pada anamnesa dan gejala klinis dengan mempertimbangkan waktu serangan.

12

Pengobatan

yang

diberikan

menunjukkan

adanya

perbaikan

dengan

menggunakan terapi obat nitroxnil.


4.2 Saran
Diharapkan pemberian pakan dilayukan terlebih dahulu dibawah sinar
matahari sebelum diberikan untuk pakan ternak

DAFTAR PUSTAKA
[Aciar]. 2003. Technology Implementation Procedure Fasciolosis Of Cattle And
Buffaloes And Its Control Measures. [Terhubung Berkala]
Http://Aciar.Gov.Au/System/Files/Node/9010/Mn133%20part%206.Pf.
Australia: Australian Center For International Agricultural Research.
[Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan Dan Kesehatan Hewan. 2012. Manual
Penyakit Hewan Mamalia. Direktorat Jenderal Peternakan Dan
Kesehatan Hewan. Jakarta: Subdit Pengamatan Penyakit Hewan,
Direktorat Kesehatan Hewan.
Baratawidjaya, K.G. 2009. Imunologi Dasar Edisi Ke-8. Jakarta : Ui-Press.
13

Boray Jc, Hutchinson Gw. & Stephen L. 2007. Liver Fluke Disease In Sheep And
Cattle. Primefact 446.
Fieldman, B. F., Zinki, J. G., and Jain, N. C.2000. Schalms Veterinary
Helminthology. 5thed. A.Walters Kluwer Company.New York.
Guntoro S. 2002. Membudidayakan Sapi Bali. Yogyakarta: Kanisius
Plumb, D.C.1999. Veterinary Drug Handbook Third Edition. PharmaVet
Publishing. United States of America.
Raadsma, H.W., Kingsford, N.M., Suharyanta, Spithill, T.W., Piedrafita D., 2007.
Host Responses During Experimental Infection With Fasciola
Gigantica Or Fasciola Hepatica In Merino Sheep: I. Comparative
Immunological And Plasma Biochemical Changes During Early
Infection. Vet. Par., 143(3-4): 275-286.
Schnieder, T. 2006. Veterinary Medicine parasitology 6 th edn. Parey, Stuttgart,
Germany.
Shaikh, A.A., Bilqees, F. M., Khan, M.M. 2004. Bile Duct Hyperplasia And
Associated Abnormalities In The Buffaloes Infected With Fasciola
Gigantica. Pakistan J. Zool., 36(3): 231-237.
Talukder S, Bhuiyan Mj, Hossain Mm, Uddin Mm, Paul S. & Howlader Mmr.
2010. Patho Logical Investigation Of Liverfluke Infection Of
Slaughtered Black Bengal Goat In A Selected Area Of Bangladesh.
Bangladesh Journal Of Veterinary Medicine, 8( 1) : 35-40.
Tizard, Ian. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Airlangga University Press :
Surabaya
Urquhart Et All. 1996. Veterinary Parasitolgy Second Edition. Paris : Blackwell
Science.
Urquhart, G.M. 2003. Veterinary Parasitology, Churchill Livingstone, New York,
NY, USA.

14

15

Anda mungkin juga menyukai