Anda di halaman 1dari 10

Jujur Hati, Lisan, dan Perbuatan

Nur Fitri Hadi, MA

Khutbah Pertama:












.
Ibadallah,
Bertakwalah kepada Allah. Karena takwa adalah wasiat Allah untuk seluruh makhluk, baik
jin maupun manusia. Baik yang pertama hingga yang paling akhir.
Kaum muslimin rahimakumullah,
Sebagaimana hati dituntut untuk jujur, lisan dan anggota badan yang lainnya juga dituntut
demikian. Oleh karena itu sebagaimana hati bisa disebut dengan hati yang jujur, begitu lisan
dan anggota badan yang lainpun bisa di disebut dengan lisan yang jujur dan lain sebagainya.
Diantara dalil yang menunjukkan bahwa lisan bisa disebut lisan yang jujur yaitu apa yang
terdapat dalam doa yang sangat agung dalam hadits Syaddad bin Aus radhiyallahu anhu.
Beliau radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah shalllallahu alaihi wa sallam berkata
kepadaku, Wahai Syaddad bin Aus, apabila kamu melihat orang mengumpulkan emas dan
perak, maka kamu kumpulkanlah kalimat-kalimat ini (doa-doa):

Wahai Allah! Aku meminta kepadamu keteguhan dalam segala perkara, kesungguhan dalam
petunjuk. Aku memohon kepada-Mu segala yang bisa mendatangkan rahmat-Mu, segala yang
bisa mengundang ampunan-Mu! Aku memohon kepadamu rasa syukur atas nikmat-Mu dan
ibadah yang bagus. Aku juga memohon hati yang selamat dan lisan yang jujur. Aku juga
memohon kepada-Mu kebaikan yang Engkau ketahui. Aku berlindung kepada-Mu dari
keburukan yang engkau ketahui. Aku meminta ampunan kepada-Mu atas dosa yang Engkau
ketahui. Sesungguhnya Engkau adalah maha mengetahui perkara-perkara ghaib. (HR. athThabrani).
Dalam hadits di atas, Rasulullah shalllallahu alaihi wa sallam bersabda, yang artinya,
Lisan yang jujur. Lisan yang jujur lisan lisan yang selaras dengan hati, antara apa yang ada
dalam hatinya dan apa yang diperlihatkan sama. Lisannya tidak mengucapkan sesuatu yang
tidak ia imani dan tidak ia yakini dalam hatinya.
Berkait dengan doa yang agung ini, sesungguhnya dalam doa tersebut terdapat kiat atau jalan
selamat bagi seorang hamba, terlebih tatkala hati condong dan tergoda dengan keindahan
dunia. Dalam doa ini, Nabi shalllallahu alaihi wa sallam menegaskan dalam sabda
Beliau shalllallahu alaihi wa sallam :


Apabila kamu melihat orang mengumpulkan emas dan perak, maka kumpulkanlah kalimatkalimat (doa-doa) ini.
Maksudnya, apabila hati-hati manusia telah condong dan tergoda dengan dunia, saat dunia
menjadi puncak keinginan dan fokus semua kesibukannya, maka hendaklah kamu
kumpulkanlah doa-doa ini.
Dan ini sungguh tepat. Jika kita perhatikan kandungan dan cakupan doa ini yang berisi
permohonan-permohonan dan makna-makna yang tinggi, kita pasti dapati didalamnya ada
kiat-kiat selamat agar selamat dari fitnah dunia.
Ibadallah,
Dalam hadits di atas disebutkan lisan yang jujur. Adapun penyebutan anggota badan yang lain
dan disifati dengan sifat jujur atau dusta, maka ini bisa didapatkan dalam hadits yang shahih.
Yaitu tatkala Nabi shalllallahu alaihi wa sallam bersabda:

Telah dituliskan bagi anak Adam bagiannya dari zina. Bani Adam pasti akan
mendapatkannya. Kedua mata bentuk zinanya adalah dengan melihat. Bentuk zina dua
telinga adalah dengan mendengar, lisan dengan ucapan, kedua tangan zinanya dengan
menyentuh, dua kaki zinanya dengan melangkah, hati dengan berharap serta berkeinginan,
lalu kemaluan yang membenarkan dan mendustakannya. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits ini, Rasulullah mensiafati anggota badan dengan sifat jujur dan dusta, yaitu
dengan sabda Beliau shalllallahu alaihi wa sallam, lalu kemaluan yang membenarkan dan
mengingkari. Oleh karena itu amalan yang dilakukan oleh para hamba terbagi menjadi dua
yaitu amalan yang jujur dan amalan yang dusta.
Dikatakan bahwa kejujuran itu jalan keselamatan. Maksudnya, keselamatan seseorang
terletak pada hatinya yang jujur dalam keyakinannya, lisannya yang jujur dalam ucapannya,
dan anggota badan yang jujur dalam perbuatan.
Perhatikanlah makna ini dalam sebuah ayat yang disebut oleh para Ulama dengan ayatul bir
(ayat tentang kebaikan). Yaitu firman Allah:




Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat,
kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang
meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan
zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang
sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang
jujur (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (Al-Baqarah/2:177).
Firman Allah Azza wa Jalla diakhir ayat ini yang berbunyi
( Mereka itulah
orang-orang yang jujur (imannya) ) kembali kepada dua hal:
Pertama: Keyakinan mereka yang benar, yaitu dengan yakinnya hati pada perkara-perkara
pokok keimanan:



akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi (Al-Baqarah/2:177).
Ini adalah pokok-pokok landasan keimanan. Pokok-pokok ini bagi agama ibarat akar bagi
pepohonan, atau ibarat pondasi bagi bangunan. Allah Azza wa Jalla berfirman:



Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang
baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.
(Ibrahim/14:24).
Maka sebagaimana pohon yang tidak tegak berdiri kecuali dengan akar yang kuat, begitu pula
keimanan. Ia tidak akan kuat berdiri tegak kecuali dengan pokok-pokok keimanan yang
kokoh.
Pokok-pokok keimanan ini terletak di dalam hati, sebagaimana disebutkan dalam surat alBaqarah ayat ke-177 di atas. Semua yang disebutkan dalam ayat tersebut tempatnya di hati.

Kedua: Bagusnya amalan, yaitu dengan menyempurnakan ketundukan dan kepatuhan kepada
Allah Azza wa Jalla dengan melakukan apa yang telah Allah syariatkan, dan menjauhi
segala yang telah dilarang.
Ini semua merupakan bentuk kejujuran dan ketulusan seorang hamba kepada Robnya.
Berdasarkan ini, berarti mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan melaksanakan semua jenis
kewajiban dalam Islam yang telah Allah perintahkan, merupakan tanda dan ciri dari kejujuran
seseorang kepada kepada Allah Azza wa Jalla. Kejujuran dalam ibadah itu bukan kejujuran
yang bersifat selektif, yang mana dia hanya melakukan ibadah dan kewajiban yang selaras
dengan nafsunya saja, adapun yang tidak sesuai dia tidak lakukan. Ini bukan pertanda atau
ciri orang-orang jujur kepada Allah Subhanahu wa Taala.
Dari sini diketahui, bahwa kejujuran kepada Allah Azza wa Jalla mencakup ilmu dan amal,
juga keyakinan dan syariat. Bukanlah dinamakan sebuah kejujuran kepada Allah Azza wa
Jalla, keyakinan yang ada dalam hati seseorang namun keyakinan itu tidak direalisasikan
dalam amalan nyata. Kejujuran kepada Allah Azza wa Jalla mencakup baiknya hati dan
baiknya perbuatan, baik ketika sendiri atau pun dikeramaian. Nabi Muhammad shalllallahu
alaihi wa sallam menjelaskan dalam sabdanya shallallahu alaihi wa sallam :




Sesungguhnya di dalam jasad itu terdapat segumpal daging. Apabila dia bagus maka semua
aggota tubuh akan menjadi bagus, dan apabila dia rusak maka semua anggota tubuh akan
rusak. Segumpal daging tersebut adalah hati. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Didalam hadist ini terdapat penjelasan bahwa Kejujuran hati seseorang kepada Allah akan
terpancar pada lisannya yang jujur, seluruh anggota tubuhnya yang jujur dalam melakukan
semua ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla.
Dari ayat di atas juga bisa difahami bahwa semua amalan anggota badan dan semua syariat
Islam yang nampak merupakan manifestasi dari kejujuran hati kepada Allah Azza wa Jalla .
Ini jika muncul dari dalam hati seseorang, dan bukan amalan yang dibuat-buat. Sebagai
contoh, perhatikanlah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amru radhiyallahu
anhuma, dari Nabi shalllallahu alaihi wa sallam. Pada suatu hari, Beliau shalllallahu
alaihi wa sallam berbicar tentang shalat. Beliau shalllallahu alaihi wa sallam bersabda:


Barangsiapa menjaga shalat maka dia akan diberikan cahaya, burhan (bukti) dan
keselamatan pada hari kiamat. Dan barangsiapa tidak menjaga shalat dia tidak akan diberikan
cahaya, burhan (bukti) dan keselamatan dan dia pada hari kiamat akan bersama Qarun,
Firaun, Haman, dan Ubay bin Khalaf. (HR. Ahmad, ad-Darimi, dan ath-Thabrani).
Mereka berempat yang disebutkan dalam hadist di atas merupakan para tokoh orang-orang
kafir. Ubay bin Khalaf merupakan satu-satuya orang kafir yang Rasulullah bunuh dengan
tangan Beliau yang mulia.
Perhatikan sabda Nabi shalllallahu alaihi wa sallam di atas, yang artinya, Barangsiapa
menjaga shalat maka dia akan diberikan cahaya, burhan (bukti) dan keselamatan pada hari
kiamat. Burhan (bukti) maksudnya adalah bukti dari kejujurannya imannya. Semisal dengan
ini juga sabda Rasulullah shalllallahu alaihi wa sallam, yang artinya, Sedekah itu adalah
bukti atau petunjuk.
Shalat merupakan salah satu kewajiban dalam Islam juga salah satu rukun Islam yang agung.
Dinamakan shalat, karena dia merupakan penghubung antara hamba dengan Allah Azza wa
Jalla. Barangsiapa meninggalkan shalat berarti dia telah memutuskan hubungan dengan
Allah Azza wa Jalla dan orang-orang yang berani menyia-nyia shalat, maka pasti dia akan
lebih berani lagi untuk menyia-nyikan rukun Islam yang lain.



Khutbah Kedua




:







Ibadallah,
Kalau kita perhatikan tentang proses turunnya berbagai kewajiban dalam Islam kepada Nabi
Muhammad shalllallahu alaihi wa sallam, kita akan temukan bahwa yang pertama kali
diwajibkan adalah tauhid (mengesakan Allah Azza wa Jalla ) Perhatikanlah ayat-ayat pertama
yang diturunkan kepada Nabi shalllallahu alaihi wa sallam sekaligus sebagai

penobatannya shallallahu alaihi wa sallam sebagai seorang Nabi dan Rasul. Allah Azza wa
Jalla berfirman:



Hai orang yang berkemul (berselimut)! Bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Rabbmu
agungkanlah! Dan pakaianmu bersihkanlah! Dan perbuatan dosa tinggalkanlah. (AlMudatsir/74:1-5).
Allah Azza wa Jalla memerintahkan Beliau shalllallahu alaihi wa sallam agar tauhid,
keikhlasan, dan berlepas diri dari ksyirikan. Dan Beliau shalllallahu alaihi wa
sallam mendakwahkan tauhid selama sepuluh tahun. Dan selama itu tidak turun kepada
Beliau kewajiban apapun selain tauhid. Setelah sempurna sepuluh tahun, Beliau shalllallahu
alaihi wa sallam diangkat keatas langit ketujuh, disanalah diwajibkan kepada Beliau lima
puluh shalat yang kemudian diringankan menjadi lima waktu shalat dalam sehari dan
semalam. Shalat fardhu itu memang lima kali dalam realitanya, akan tetapi pahalanya lima
puluh. Setelah itu tidak ada lagi kewajiban yang turun kepada Beliau sampai
Beliau shalllallahu alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Setelah Beliau shalllallahu alaihi
wa sallam menetap selama dua tahun di Madinah, baru diwajibkan puasa dan zakat pada
tahun ke-2, kemudian lima tahun berikutnya diwajibkan ibadah haji, tepatnya pada tahun ke-9
Hijriyah.
Walaupun demikian, terkadang kita melihat sebagian orang yang sudah melaksanakan ibadah
haji, namun dia tidak melakukan shalat. Apakah orang-orang seperti ini bisa dikatakan
mereka memahami hakikat Islam??
Yang lebih parah lagi, terkadang ada orang yang sudah berhaji, namun dia masih juga
melakukan perkara yang bisa membatalkan tauhidnya, bahkan bisa menghancurkan
agamanya. Yaitu dengan berdoa kepada selain Allah Azza wa Jalla. Bahkan terkadang dia
sedang melakukan ibadah haji, namun dia tetap meminta kepada pertolongan kepada selain
Allah, dia bersandar dengan beristighatsah kepada selain Allah, meminta kesembuhan,dan
kemudahan urusan kepada selain Allah. Apakah orang seperti ini telah mendirikan agamanya
sebagai mana yang diperintahkan oleh Allah Azza wa Jalla ? Apakah orang seperti telah
membuktikan kejujuran hatinya dalam penghambaannya kepada Allah Azza wa Jalla dengan
ikhlas dan mengikuti Rasulullah shalllallahu alaihi wa sallam?
Dengan demikian, kejujuran kepada Allah Azza wa Jalla merupakan kebaikan bagi seorang
hamba dalam hatinya dengan bertauhid, beriman, ikhlas, tunduk, patuh dan cinta kepada
Allah Azza wa Jalla.
Apabila seorang hamba jujur hatinya dalam beriman kepada Allah Azza wa Jalla, maka
otomatis anggota badannya akan istiqamah (lurus atau benar) sebagaimana hati yang lurus.
Karena anggota badan tidak akan menyelisihi keinginan hati. Kerusakan yang terjadi pada
lisan atau anggota tubuh yang lain ini berawal atau berpangkal pada kerusakan hati dan
ketidak jujurannya kepada Allah Azza wa Jalla.

Ini semua menunjukkan pentingnya dan wajibnya jujur kepada Allah Azza wa Jalla.
Hendaknya dia tidak terpengaruh oleh fitnah-fitnah dunia, hal-hal yang melalaikan dan
berbagai kesibukan dunia yang bisa mamalingkan manusia dari jalan kejujuran kepada Allah,
kepada jalan-jalan yang sesat. Jalan yang bisa mengantarkan pelakunya kepada kebinasaan,
jalan yang dikira bagus dan bisa mendatangkan kebaikan, akan tetapi tatkala dilalui ternyata
dia hanya fatamorgana yang disangka air. Ketika dihampiri, ternyata tidak airsama sekali.
Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan kita termasuk orang-orang yang jujur hatinya
kepada Allah Azza wa Jalla dalam keimanannya dan diikuti dengan semua anggota badannya
dengan perbuatan yang jujur














.




















.






















(Diadaptasi dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XVIII/1436H/2015M).

Anda mungkin juga menyukai