PENDAHULUAN
Lupus
eritematosus
sistemik
(SLE)
merupakan
penyakit
radang
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
deposit
serta
juga
disebabkan
oleh
pembersihan
yang
kurang
optimal
dari
sistem
dapat
berinteraksi
dengan
substansi
antikoagulasi,
diantaranya
10
2. Muskulosketal
Gejala yang paling sering berupa artritis atau atralgia dan biasanya
mengawali gejala yang lain. Selain kelemahan dan edema dapat pula terjadi efusi
yang bersamaan dengan poliartritis yang bersifat simetris, nonerosif, dan biasanya
tanpa deformitas4, bukan kontraktur atau ankilosis. Kaku pagi hari jarang
ditemukan. Adakalanya terdapat nodul reumatoid. Mungkin juga terdapat nyeri
otot dan miositis.
11
Vaskulitis kulit dapat berupa memar yang dalam dan bisa menyebabkan
ulserasi serta perdarahan jika terjadi pada membran mukosa mulut, hidung, atau
vagina. Pada beberapa orang dapat terjadi livido retikularis, lesi ungu-kemerahan
pada jari-jari tangan dan kaki atau dekat kuku jari.3 Alopesia dapat pulih kembali
jika penyakit mengalami remisi. Kadang-kadang terdapat urtikaria yang tidak
dipengaruhi oleh kortikosteroid dan antihistamin. Biasanya hilang beberapa bulan
setelah penyakit tenang secara klinis dan serologis. 1
5. Sistem saraf
Disfungsi mental ringan merupakan gejala yang paling umum, namun
dapat pula mengenai setiap daerah otak, saraf spinal, atau sistem saraf. Beberapa
gejala yang mungkin tampak adalah seizure, psikosis, organic brain syndrome,
dan sakit kepala. Pencitraan otak menunjukkan adanya kerusakan serabut saraf
dan mielin. Gejala yang tampak berupa irritabilitas, kecemasan, depresi, serta
gangguan ingatan dan konsentrasi ringan.
6. Kardiopulminal
Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat (efusi
perikard), iskemia miokard dan endokarditis verukosa.3 Keadaan tersebut dapat
menimbulkan nyeri dan arithmia.
Efusi pleura , dan pleuritis dapat terjadi pada SLE. Diagnosis pneumonitis
lupus baru dapat ditegakkan jika faktor-faktor lain telah disingirkan seperti
12
infeksi, virus jamur, tuberkulosis.1 Gejalanya berupa takipnea, batuk, dan demam.
Hemoptisis menandakan terjadinya pulmonary hemorhage. Nyeri dada dan
pernapasan pendek sering tejadi bersama gangguan tersebut.
7. G i n j a l
Sebanyak 70% pasien SLE akan mengalami kelainan ginjal. Pengendapan
komplek imun yang mungkin mengandung ds-DNA, bertanggung jawab atas
terjadinya kelainan ginjal. Bentuk in situ kompleks imun memungkinkan
pengikatan DNA ke membran basalis glomeruluis dan matriks ekstraseluler.
Dengan mikroskop elektron, kompleks imun akan tampak dalam pola kristalin di
daerah mesangeal, subendotelial atau subepitelial. IgG merupakan imunoglobulin
yang paling sering tampak diikuti oleh IgA dan IgM. Kadang-kadang tampak
IgG, IgA, IgM, C3, C4 dan C1q pada glomerulus yang sama (pola full house).2
8. Saluran pencernaan
Sekitar 45% pasien SLE menderita masalah gastrointestinal, termasuk
nausea, kehilangan berat badan, nyeri abdomen ringan, dan diare.3 Radang traktus
intestinal jarang terjadi yaitu sekitar 5% pasien dan menyebabkan kram akut,
muntah, diare, dan walaupun jarang, perforasi usus. Retensi cairan dan
pembengkakan dapat menyebabkan terjadinya obstruksi intestinal. 3
9. Mata
Peradangan pembuluh darah pada mata dapat mengurangi suplai darah ke
retina, sehingga menyebabkan degenerasi sel saraf dan resiko terjadinya
perdarahan retina. Gejala yang paing umum adalah cotton-wool-like spots pada
retina. Sekitar 5% pasien mengalami kebutaan sementara yang terjadi secara tibatiba.3 Kelainan lain berupa konjungtivitis, edema periorbital, perdarahan
subkonjungtival, uveitis dan adanya badan sitoid di retina. 1
13
10. Kehamilan
Abortus berulang, preeklamsia dan kematian janin
Tabel 1.1 Persentase spektrum klinis SLE6
Sistem Organ
Manifestasi Klinik
Sistemik
95
Muskuloskeletal
95
Hamatologi
Anemia,
hemolisis,
leukopenia,
trombositopenia, 85
antikoasalan lupus.
Kulit
Neurologik
Kardiopulmonal
Ginjal
60
Gastrointestinal
45
Mata
Infeksi konjungtiva
15
Kehamilan
30
F. Diagnosis
Tabel
1.2
Kriteria
Diagnosis
SLE
menurut American
College
of
Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan
14
2.
3.
Fotosensitifitas
4.
pemeriksa
Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh
Ulkus mulut
dokter pemeriksa
Kriteria Sistemik
5.
Artritis
6.
Serositis,
Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer,
yaitu
Perikarditis
7.
Gangguan renal
a.. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila tidak
dilakukan pemeriksaan kuantitatifatau
b. Silinder seluler : dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin,
8.
Gangguan neurologi
Kriteria Laboratorium
9.
Kelainan hematologik
10.
Kelainan imunologik
15
pallidum
atau
tes fluoresensi
absorpsi
antibodi
treponema.
Antibodi antinuklearpositif (ANA) Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan pemeriksaan
imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun
waktu perjalan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui
berhubungan dengan sindroma lupus yang diinduksi obat.
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Darah Rutin dan Pemeriksaan Urin.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus
Eritematosus Sistemik ( SLE ) adalah pemeriksaan darah rutin dan
pemeriksaan urin. Hasil pemeriksaan darah pada penderita SLE menunjukkan
adanya anemia hemolitik, trombositopenia, limfopenia, atau leukopenia;
erytrocytesedimentation rate (ESR) meningkat selama penyakit aktif, Coombs
test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi, ratio albumin-globulin
terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu, hasil pemeriksaan urin
pada penderita SLE menunjukkan adanya proteinuria, hematuria, peningkatan
kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme granular atau sel darah merah pada
urin. 7
b. Pemeriksaan Autoantibodi.
16
17
ditemukan oleh Hargreaves pada tahun 1948 pada sumsum tulang penderita
LES. Dengan perkembangan pemeriksaan imunodifusi dapat ditemukan
spesifisitas ANA yang baru seperti Sm, nuclear ribocleoprotein (nRNP),
Ro/SS-A dan La/SS-B.
ANA dapat diperiksa dengan menggunakan metode imunofluoresensi. ANA
digunakan sebagai pemeriksaan penyaring pada connective tissue disease.
Dengan pemeriksaan yang baik, 99% penderita LES menunjukkan
pemeriksaan yang positif, 68% pada penderita sindrom Sjogrens dan 40%
pada penderita skleroderma.ANA juga pada 10% populasi normal yang
berusia > 70 tahun. 7
G. Penatalaksanaan LES secara umum.
Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam
penatalaksanaan penderita LES, terutama pada penderita yang baru terdiagnosis.
Hal ini dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepada penderita atau dengan
membentuk
kelompok
penderita
yang
bertemu
secara
berkala
untuk
18
19
Gagal Gijall
Kadar C3/C4
Membaik
Menurun
Kadar Anti-dsDNA
Meningkat
Sedimen urin
Ringan
Aktif
Memburuk
Membaik
20
menunda
selama
dan
90%
kehamilannnya
baik. Tetapi bila masa remisi SLE sebelum hamil kurang dari 6 bulan
maka resiko eksaserbasi LES pada saat hamil menjadi 50 %. Akibatnya
terjadi komplikasi selama kehamilan baik pada ibu maupun
janin
21
6. Penatalaksanaan
Ada 2 hal yang perlu diperhatikan pada penatalaksanaan LES dengan
kehamilan yaitu :
a. Kehamilan dapat mempengaruhi perjalanan penyakit LES
b. Plasenta dan janin dapat menjadi target dari otoantibodib maternal
sehingga dapat berakhir dengan kegagalan kehamilan dan terjadinya
Lupus Eritematosus Neonatal.6
Pada
umumnya
penderita
LES
mengalami
fotosensitifitas,
22
inaktivasi
oleh
enzim
keto
yang
11-betainaktif,
sehingga hanya 10% dari dosis yang dipakai dapat memasuki janin. Pada
manifestasi klinik LES yang ringan, umumnya diberi
prednisone
selama 6 minggu,
0,9 selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24 jam.
Indikasi pemberian Siklofosfamid adalah sebagai berikut :
a. Penderita LES yang membutuhkan steroid dosis tinggi
b. Penderita LES yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis tinggi.
c. Penderita LES yang kambuh setelah terapi steroid jangka
panjang/berulang
d. Glomerulonefritis difus awal
e. LES dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid.
f. Penurunan laju fitrasi glomerulus atau peningkatan kreatinin tanpa
disertai dengan faktor ekstra renal lainnya.
23
24
8. Prognosis
Prognosa ibu hamil yang menderita SLE ditentukan pada saat
konsepsi, bila konsepsi terjadi pada masa remisi maka prognosanya akan
lebih baik. bila dalam waktu kurang dari 6 bulan sebelum konsepsi
terdapat riwayat nefritis dan penyakit SLE aktif dengan skor SLEDAI 4
atau lebih akan beresiko berdampak buruk terhadap janin. Penderita SLE
yang telah mengalami masa remisi lebih dari 6 bulan sebelum hamil
mempunyai resiko 25% eksaserbasi pada masa hamil dibandingkan
dengan bila masa remisi SLE sebelum hamil kurang dari 6 bulan maka
resiko eksaserbasi SLE pada saat hamil menjadi 50% dengan dampak
kehamilan yang buruk.
Hal ini menunjukan bahwa kehamilan pada penderita SLE
sangat ditentukan dari aktifitas penyakitnya, konsepsi yang terjadi pada
saat remisi mempunyai dampak kehamilan yang baik dibandingkan
dengan sebelum mencapai remisi. Dengan penyakit yang stabil atau
menderita flare yang relatif jarang atau hanya sedikit dalam kehamilan
akan melahirkan bayi yang sehat.7
25
BAB III
PENUTUP
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Albar Z. Lupus eritematosus sistemik. Dalam: Noer MS, editor kepala.
Ilmu penyakit dalam. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1996. h: 1509.
2. Rubin E, editor. In: Essential pathology: Lupus eritematosus sistemik. 3 th
edition. Philadelphia: Lippicott Williams & Wilkins; 2001. p: 86-8,4689,650.
3. Simon H, editor-in-chief. Sistemic Lupus Erythematosus. 2000 March.
Available
from:http://wellness.ucdavis.edu/medical_conditions_az/sistemic
lupus63.html. Accessed: 2004 September 17.
4. Varghese stephy, Crocker Ian, Bruce N Ian & Tower Clare. 2011. Systemic
Lupus Erythematosus, Regulatory T Cells and Pregnancy. From
www.expert-reviews.com/toc/eci/7/5. Diunduh tanggal 10 Februari 2012.
5. Kusuma Jaya Ngurah Agung. 2007. Lupus Eritematosus Sistemik Pada
Kehamilan. dipublikasikan dalam Jurnal Penyakit Dalam 2011. Diunduh
tanggal 21 Maret 2012.
6. Dkdkd
27