Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Lupus

eritematosus

sistemik

(SLE)

merupakan

penyakit

radang

multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang


mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi1. SLE merupakan
prototipe dari penyakit autoimun sistemik dimana autoantibodi dibentuk melawan
sel tubuhnya sendiri.2 Karakteristik primer peyakit ini berupa kelemahan, nyeri
sendi, dan traum berulang pada pembuluh darah. SLE melibatkan hampir semua
organ, namun paling sering mengenai

kulit, sendi, darah, membran serosa,

jantung dan ginjal.2,3


LES terutama terjadi pada usia reproduksi antara 15-40 tahun dengan rasio
wanita dan laki laki 5 : 1, dengan demikian terdapat peningkatan kejadian
kehamilan dengan LES ini. Dari berbagai laporan kejadian LES ini tertinggi
didapatkan di negara Cina dan Asia Tenggara, sedangkan di Indonesia, RS Dr
Soetomo Surabaya melaporkan 166 penderita dalam 1 tahun (Mei 2003 - April
2004). Dari 2000 kehamilan dilaporkan sebanyak 1-2 kasus LES.
Kehamilan pada ibu dengan penyakit Sistemik Lupus Erithematosus (SLE)
sangat berhubungan dengan tingkat kesakitan dan kematian ibu serta janin. Resiko
kematian ibu hamil yang menderita SLE memiliki dampak 20 kali lebih tinggi
karena komplikasi yang disebabkan oleh preeklamsi, trombosis, infeksi dan
kelainan darah.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi

Sistemik Lupus Erithematosus (SLE) merupakan salah satu penyakit reaksi


autoimun. Istilah lupus eritematosus sistemik dapat diartikan secara bahasa
sebagai gigitan serigala, mungkin istilah ini muncul dari adanya gejala klinis
yaitu ruam pada wajah penderita SLE yang perjalanan penyakitnya sudah lama
dan belum mendapat terapi. Penyakit autoimun ini bersifat kronis dan multi
sistem yang disebabkan oleh pengendapan kompleks imun dengan manifestasi
klinik yang beragam pada beberapa organ tubuh. Antibodi yang seharusnya
melindungi tubuh terhadap berbagai antigen asing yang mengakibatkan
gangguan pada tubuh malah merusak organ tubuh itu sendiri. Beberapa organ
tubuh yang terkena diantaranya kulit, sistem syaraf, darah, muskuloskeletal,
ginjal, jantung, paru dan bahkan bisa menyebabkan terjadinya kelumpuhan.4
B. Epidemiologi
Diperkiranan penderita SLE mencapai 5 juta orang diseluruh dunia.
Prevalensi SLE di India sangat kecil ditemukan 3 kasus per 100.000 populasi
yang dilaporkan. Kejadian SLE di UK dilaporkan 49,6 kasus per 100.000
populasi.
Data tahun 2005 di Indonesia angka kejadian penderita SLE di RSU Dr.
Soetomo Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi penyakit
ini menempati urutan keempat setelah osteoartritis, reumatoid artritis, dan low
back pain. Penderita SLE di RSU Dr. Saiful Anwar Malang pada bulan Januari
sampai dengan Agustus 2006 ada 14 orang dan 1 orang meninggal dunia. Data
penderita SLE di Indonesia pada pertengahan tahun 2010 meningkat sebanyak
10.314 kasus dan angka ini terus meningkat pesat. Sebanyak 8 dari 10 kasus baru
yang muncul terjadi pada wanita usia 15-60 tahun). Tingginya kasus SLE ini
merupakan salah satu hal yang harus diwaspadai karena banyak faktor merugikan
yang mempengaruhi fungsi tubuh akibat gangguan sistem autoimun.
Penyakit SLE menyerang hampir pada 90% wanita yang terjadi pada
rentang usia reproduksi antara usia 15-40 tahun dengan rasio wanita dan laki-laki
adalah 5 : 1.5
C. Etiologi

Hingga kini penyebab SLE belum diketahui dengan jelas. Namun


diperkirakan berkaitan erat dengan beberapa faktor, antara lain autoimun,
kelainan genetik, faktor lingkungan, obat-obatan 3
1. Autoimun
Mekanisme primer SLE adalah autoimunitas, suatu proses kompleks
dimana sistem imun pasien

menyerang selnya sendiri. Pada SLE, sel-T

menganggap sel tubuhnya sendiri sebagai antigen asing dan berusaha


mengeluarkannya dari tubuh. Diantara kejadian tersebut terjadi stimulasi limfosit
sel B untuk menghasilkan antibodi, suatu molekul yang dibentuk untuk
menyerang antigen spesifik. Ketika antibodi tersebut menyerang sel tubuhnya
sendiri, maka disebut autoantibodi. Sel B menghasilkan sitokin. Sitokin tertentu
disebut interleukin, seperti IL 10 dan IL 6, memegang peranan penting dalam SLE
yaitu dengan mengatur sekresi autoantibodi oleh sel B. 3
Pada sebagian besar pasien SLE, antinuklear antibodi (ANA) adalah
antibodi spesifik yang menyerang nukleus dan DNA sel yang sehat. Terdapat dua
tipe ANA, yaitu anti-doule stranded DNA (anti-ds DNA) yang memegang peranan
penting pada proses autoimun dan anti-Sm antibodies yang hanya spesifik untuk
pasien SLE. 3 Dengan antigen yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun
yang beredar dalam sirkulasi sehingga pengaturan sistem imun pada SLE
terganggu yaitu berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut,
gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan uptake
kompleks imun

oleh ginjal. Sehingga menyebabkan terbentuknya

deposit

kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks ini akan


mengendap pada berbagai macam organ dan menyebabkan terjadinya fiksasi
komplemen pada organ tersebut dan aktivasinya menghasilkan substansi yang
menyebabkan radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan keluhan pada
organ yang bersangkutan. 1
Sekitar setengah dari pasien SLE memiliki antibodi antifosfolipid.
Antibodi ini menyerang fosfolipid, suatu kumpulan lemak pada membran sel.
Antifosfolipid meningkatkan resiko menggumpalnya darah, dan mungkin

berperan dalam penyempitan pembuluh darah serta rendahnya jumlah hitung


darah. 3
Antibodi tersebut termasuk lupus antikoagulan (LAC) dan antibodi
antikardiolipin (ACAs). Mungkin berupa golongan IgG, IgM, IgA yang berdiri
sendiri-sendiri ataupun kombinasi. Sekalipun dapat ditemukan pada orang normal,
namun mereka juga dihubungkan dengan sindrom antibodi antifosfolipid, dengan
gambaran berupa trombosis arteri dan/atau vena berulang, trombositopenia,
kehilangan janin-terutama kelahiran mati, pada pertengahan kedua kehamilan.
Sindrom ini dapat terjadi sendirian atau bersamaan dengan SLE atau gangguan
autoimun lainnya.
2. Genetik
Faktor genetik memegang peranan penting dalam kerentanan dan ekspresi
penyakit. Sekitar 10-20% pasien SLE memiliki kerabat dekat yang juga menderita
SLE. 1 Saudara kembar identik sekitar 25-70% (setiap pasien memiliki manifestasi
klinik yang berbeda) 4 sedangkan non-identik 2-9%.1 Jika seorang ibu menderita
SLE maka kemungkinan anak perempuannya untuk menderita penyakit yang
sama adalah 1:40 sedangkan anak laki-laki 1:25. Penelitian terakhir menunjukkan
adanya peran dari gen-gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Kaitan
dengan

haptolip MHC tertentu, terutama HLA-DR 2 dan HLA-DR3

serta

komplemen (C1q , C1r , C1s , C4 dan C2) telah terbukti. 1


Suatu penelitian menemukan adanya kelainan pada 4 gen yang mengatur
apoptosis, suatu proses alami pengrusakan sel. Penelitian lain menyebutkan
bahwa terdapat beberapa kelainan gen pada pasien SLE yang mendorong
dibentuknya kompleks imun dan menyebabkan kerusakan ginjal. 3
3. Faktor Lingkungan
Satu atau lebih faktor eksternal dapat memicu terjadinya respon autoimun
pada seseorang dengan kerentanan genetik. Pemicu SLE termasuk, flu, kelelahan,
stres, kontrasepsi oral, bahan kimia, sinar matahari dan beberapa obat-obatan. 3

Virus. Pemicu yang paling sering menyebabkan gangguan pada sel T


adalah virus. Beberapa penelitian menyebutkan adanya hubungan antara virus
Epstein-Barr, cytomegalovirus dan parvovirus-B19 dengan SLE. Penelitian lain
menyebutkan adanya perbedaan tipe khusus SLE bagian tiap-tiap virus, misalnya
cytomegalovirus yang mempengaruhi pembuluh darah dan menyebabkan
fenomena Raynaud (kelainan darah), tapi tidak banyak mempengaruhi ginjal. 3
Sinar matahari. Sinar ultraviolet (UV) sangat penting sebagai pemicu
tejadinya SLE. Ketika mengenai kulit, UV dapat mengubah struktur DNA dari sel
di bawah kulit dan sistem imun menganggap perubahan tersebut sebagai antigen
asing dan memberikan respon autoimun. 3
Drug-Induced Lupus. Terjadi setelah pasien menggunakan obat-obatan
tertentu dan mempunyai gejala yang sama dengan SLE. Karakteristik sindrom ini
adalah radang pleuroperikardial, demam, ruam dan artritis. Jarang terjadi nefritis
dan gangguan SSP. Jika obat-obatan tersebut dihentikan, maka dapat terjadi
perbaikan manifestasi klinik dan dan hasil laoratoium.
Hormon.

Secara umum estrogen meningkatkan produksi antibodi dan

menimbulkan flare sementara testosteron mengurangi produksi antibodi. Sitokin


berhubungan langsung dengan hormon sex. Wanita dengan SLE biasanya
memiliki hormon androgen yang rendah, dan beberapa pria yang menderita SLE
memiliki level androgen yang abnormal.3 Penelitian lain menyebutkan bahwa
hormon prolaktin dapat merangsang respon imun. 1
D. Patogenesis
SLE adalah penyakit autoimun yang mengenai multipel organ. Kadangkadang, yang menonjol hanya satu organ tubuh yang terkena, misalnya ginjal pada
nefritis lupus, tetapi lambat laun organ-organ lain akan menyusul. Gambaran
klinis yang ditemukan terjadi akibat terbentuknya autoantibodi terhadap berbagai
macam antigen jaringan. Autoantibodi yang paling banyak ditemukan adalah
terhadap inti sel, yaitu terhadap DNA tubuh sendiri berupa anti DNA double
stranded (ds-DNA), juga anti DNA single stranded (ss-DNA).

Gangguan imunitas pada SLE ditandai oleh persistensi limfosit B dan T


yang bersifat autoreaktif. Autoantibodi yang terbentuk akan berikatan dengan
autoantigen membentuk3 kompleks imun yang mengendap berupa depot dalam
jaringan. Akibatnya akan terjadi aktivasi komplemen sehingga terjadi reaksi
inflamasi yang menimbulkan lesi di tempat tersebut.
Faktor keluarga yang kuat terutama pada keluarga dekat. Resiko
meningkat 25-50% pada kembar identik dan 5% pada kembar dizygotic, diduga
menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik. Penyakit lupus disertai oleh
petanda penyakit genetik seperti defisiensi herediter komplemen (seperti C1q,
C1r, C1s, C4 dan C2) dan imunoglobulin (IgA), atau kecenderungan jenis fenotip
HLA (-DR2 dan -DR3). Faktor imunopatogenik yang berperan dalam SLE
bersifat multipel, kompleks dan interaktif.
Jumlah sel B meningkat pada pasien dengan lupus yang aktif dan
menghasilkan peningkatan kadar antibodi dan hipergamaglobulinemia. Jumlah sel
B yang memproduksi IgG di darah perifer berkorelasi dengan aktivitas penyakit.
Aktivasi sel B poliklonal disebabkan oleh antigen eksogen, antigen yang
merangsang proliferasi sel B atau abnormalitas intrinsik dari sel B. Antibodi IgG
anti-dsDNA dengan afinitas tinggi juga merupakan karakteristik, yang disebabkan
oleh hipermutasi somatik selama aktivasi sel B poliklonal yang diinduksi oleh
faktor lingkungan seperti virus atau bakteri.
Selain memproduksi autoantibodi, sel B juga mempengaruhi presentasi
antigen dan respon diferensiasi sel Th. Gangguan pengaturan produksi
autoantibodi disebabkan gangguan fungsi CD8+, natural killer cell dan inefisiensi
jaringan idiotip-antiidiotip. Imunoglobulin mempunyai struktur tertentu pada
bagian determinan antigenik yang disebut idiotip, yang mampu merangsang
respons pembentukan antibodi antiidiotip. Sebagai respons tubuh terhadap
peningkatan kadar idiotip maka akan dibentuk antiidiotip yang bersifat spesifik
terhadap berbagai jenis struktur determin antigen sesuai dengan jenis idiotip yang
ada. Secara teoritis mungkin saja salah satu dari antiidiotip mempunyai sifat
spesifik antigen diri hingga dengan pembentukan berbagai antiidiotip dapat timbul
aktivitas autoimun. Persistensi antigen dan antibodi dalam bentuk kompleks imun

juga

disebabkan

oleh

pembersihan

yang

kurang

optimal

dari

sistem

retikuloendotelial. Hal ini disebabkan antara lain oleh kapasitas sistem


retikuloendotelial dalam membersihkan kompleks interaksi antara autoantibodi
dan antigen yang terlalu banyak. Dengan adanya kadar autoantibodi yang tinggi,
pengaturan produksi yang terganggu dan mekanisme pembersihan kompleks imun
yang terganggu akan menyebabkan kerusakan jaringan oleh kompleks imun.
Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis
autoantibodi terhadap berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenis autoantibodi
yang paling sering dijumpai pada penderita lupus adalah antibodi antinuklear
(autoantibodi terhadap DNA, RNA, nukleoprotein, kompleks protein-asam
nukleat). Umumnya titer anti-DNA mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit
lupus.
Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk, yaitu
bersifat sitotoksik dengan mengaktifkan komplemen, tetapi dapat juga dengan
mempermudah destruksi sel sebagai perantara bagi sel makrofag yang mempunyai
reseptor Fc imunoglobulin. Contoh klinis mekanisme terakhir ini terlihat sebagai
sitopenia autoimun. Ada pula autoantibodi tertentu yang bersifat membahayakan
karena

dapat

berinteraksi

dengan

substansi

antikoagulasi,

diantaranya

antiprotrombinase (antibodi terhadap glikoprotein trombosit), sehingga dapat


terjadi trombositopenia, dan trombosis disertai perdarahan. Antibodi antinuklear
telah dikenal pula sebagai pembentuk kompleks imun yang sangat berperan
sebagai penyebab vaskulitis.
Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada patogenesis ataupun
bernilai sebagai petanda imunologik penyakit lupus. Antibodi antinuklear dapat
ditemukan pada bukan penderita lupus, atau juga dalam darah bayi sehat dari
seorang ibu penderita lupus. Selain itu diketahui pula bahwa penyakit lupus
ternyata tak dapat ditularkan secara pasif dengan serum penderita lupus.
Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis SLE didasarkan
pada adanya kompleks imun pada serum dan jaringan yang terkena (glomerulus
renal, tautan dermis-epidermis, pleksus koroid) dan aktivasi komplemen oleh

kompleks imun menyebabkan hipokomplemenemia selama fase aktif dan adanya


produk aktivasi komplemen.
Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan terdeposit di jaringan,
beberapa terbentuk insitu (suatu mekanisme yang sering terjadi pada antigen
dengan afinitas tinggi, seperti dsDNA). Komponen C1q dapat terikat langsung
pada dsDNA dan menyebabkan aktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi.
Kompleks imun menyebabkan lesi inflamasi melalui aktivasi kaskade
komplemen. Akibatnya terdapat faktor kemotaktik (C3a, C5a), adanya granulosit
dan makrofag sehingga terjadi inflamasi, seperti vaskulitis. Beberapa faktor
terlibat dalam deposit kompleks imun pada SLE, antara lain banyaknya antigen,
respon autoantibodi yang berlebih dan penurunan pembersihan kompleks imun
karena inefisiensi atau kelelahan sistem retikuloendotelial. Penurunan fungsi ini
dapat disebabkan oleh penurunan reseptor komplemen CR1 pada permukaan sel.
Pada lupus nefritis, lesi ginjal mungkin terjadi karena mekanisme pertahanan di
daerah membran basal glomerulus, yaitu ikatan langsung antara antibodi dengan
membran basal glomerulus, tanpa intervensi kompleks imun.
Pasien dengan SLE aktif mempunyai limfositopenia T, khususnya bagian
CD4+ yang mengaktivasi CD8+ (T-supressor) untuk menekan hiperaktif sel B.
Terdapat perubahan (shift) fenotip sitokin dari sel Th0 ke sel Th2. Akibatnya
sitokin cenderung untuk membantu aktivasi sel B melalui IL-10, IL-4, IL-5 dan
IL-6.
Autoantibodi yang terdapat pada SLE ditujukan pada antigen yang
terkonsentrasi pada permukaan sel apoptosis. Oleh karena itu abnormalitas dalam
pengaturan apoptosis mempunyai peranan penting dalam patogenesis SLE. Pada
SLE terjadi peningkatan apoptosis dari limfosit. Selain itu, terjadi pula persistensi
sel apoptosis akibat defek pembersihan (clearance). Kadar C1q yang rendah
mencegah ambilan sel apoptosis oleh makrofag. Peningkatan ekspresi Bcl-2 pada
sel T dan protein Fas pada CD8+ mengakibatkan peningkatan apoptosis dan
limfositopenia.

Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namun


mempunyai peranan penting dalam predisposisi dan derajat keparahan penyakit.
Penyakit LES terutama terjadi pada perempuan antara menars dan menopause,
diikuti anak-anak dan setelah menopause. Namun, studi oleh Cooper dkk
menyatakan bahwa menars yang terlambat dan menopause dini juga dapat
mendapat LES, yang menandakan bahwa pajanan estrogen yang lebih lama bukan
risiko terbesar untuk mendapat LES.
Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon
estrogen merupakan karakteristik pada SLE. Anak-anak dengan SLE juga
mempunyai kadar hormon FSH (Follicle-stimulating hormone), LH (Luteinizing
hormone) dan prolaktin yang meningkat. Pada perempuan dengan SLE, juga
terdapat peningkatan kadar 16 alfa hidroksiestron dan estriol. Frekuensi SLE juga
meningkat saat kehamilan trimester ketiga dan postpartum. Pada hewan percobaan
hormon androgen akan menghambat perkembangan penyakit lupus pada hewan
betina, sedangkan kastrasi prapubertas akan mempertinggi angka kematian
penderita jantan.
Fakta bahwa sebagian kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor
predisposisi genetiknya belum dapat diungkapkan secara jelas, menunjukkan
faktor lingkungan juga berpengaruh. Infeksi dapat menginduksi respon imun
spesifik berupa molecular mimicry yang mengacau regulasi sistem imun.
E. Manifestasi Klinis
Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Onset
penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi.
1. Sistemik
Setiap serangan biasanya disertai dengan gejala umum yang jelas seperti
demam, malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, dan
iritabilitas. Yang paling menonjol adalah demam, kadang-kadang disertai
menggigil.

10

2. Muskulosketal
Gejala yang paling sering berupa artritis atau atralgia dan biasanya
mengawali gejala yang lain. Selain kelemahan dan edema dapat pula terjadi efusi
yang bersamaan dengan poliartritis yang bersifat simetris, nonerosif, dan biasanya
tanpa deformitas4, bukan kontraktur atau ankilosis. Kaku pagi hari jarang
ditemukan. Adakalanya terdapat nodul reumatoid. Mungkin juga terdapat nyeri
otot dan miositis.

Paling sering mengenai interfalangeal proksimal (PIP) dan

metakarpofalangeal, pergelangan tangan, siku dan lutut.


3. Hematologi
Anemia, hemolisis, leukopenia, trombositopenia, antikoasalan lupus.
4. Gejala mukokutan
Ruam kulit yang dianggap khas untuk SLE adalah ruam kulit berbentuk
kupu-kupu (butterfly rash) berupa eritema pada hidung dan kedua pipi. Pada
bagian tubuh yang terpapar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena
hipersensitivitas.

Gambar 1: Butterfly rash (ruam kupu-kupu / malar rash)

Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis dan


atrofi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosus yang meninggi, tertutup oleh
sisik keratin disertai penyumbatan folikel, dan jika telah berlangsung lama akan
terbentuk sikatriks. 1

11

Gambar 2: Ruam pada lupus diskoid

Vaskulitis kulit dapat berupa memar yang dalam dan bisa menyebabkan
ulserasi serta perdarahan jika terjadi pada membran mukosa mulut, hidung, atau
vagina. Pada beberapa orang dapat terjadi livido retikularis, lesi ungu-kemerahan
pada jari-jari tangan dan kaki atau dekat kuku jari.3 Alopesia dapat pulih kembali
jika penyakit mengalami remisi. Kadang-kadang terdapat urtikaria yang tidak
dipengaruhi oleh kortikosteroid dan antihistamin. Biasanya hilang beberapa bulan
setelah penyakit tenang secara klinis dan serologis. 1

5. Sistem saraf
Disfungsi mental ringan merupakan gejala yang paling umum, namun
dapat pula mengenai setiap daerah otak, saraf spinal, atau sistem saraf. Beberapa
gejala yang mungkin tampak adalah seizure, psikosis, organic brain syndrome,
dan sakit kepala. Pencitraan otak menunjukkan adanya kerusakan serabut saraf
dan mielin. Gejala yang tampak berupa irritabilitas, kecemasan, depresi, serta
gangguan ingatan dan konsentrasi ringan.

6. Kardiopulminal
Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat (efusi
perikard), iskemia miokard dan endokarditis verukosa.3 Keadaan tersebut dapat
menimbulkan nyeri dan arithmia.
Efusi pleura , dan pleuritis dapat terjadi pada SLE. Diagnosis pneumonitis
lupus baru dapat ditegakkan jika faktor-faktor lain telah disingirkan seperti

12

infeksi, virus jamur, tuberkulosis.1 Gejalanya berupa takipnea, batuk, dan demam.
Hemoptisis menandakan terjadinya pulmonary hemorhage. Nyeri dada dan
pernapasan pendek sering tejadi bersama gangguan tersebut.

7. G i n j a l
Sebanyak 70% pasien SLE akan mengalami kelainan ginjal. Pengendapan
komplek imun yang mungkin mengandung ds-DNA, bertanggung jawab atas
terjadinya kelainan ginjal. Bentuk in situ kompleks imun memungkinkan
pengikatan DNA ke membran basalis glomeruluis dan matriks ekstraseluler.
Dengan mikroskop elektron, kompleks imun akan tampak dalam pola kristalin di
daerah mesangeal, subendotelial atau subepitelial. IgG merupakan imunoglobulin
yang paling sering tampak diikuti oleh IgA dan IgM. Kadang-kadang tampak
IgG, IgA, IgM, C3, C4 dan C1q pada glomerulus yang sama (pola full house).2

8. Saluran pencernaan
Sekitar 45% pasien SLE menderita masalah gastrointestinal, termasuk
nausea, kehilangan berat badan, nyeri abdomen ringan, dan diare.3 Radang traktus
intestinal jarang terjadi yaitu sekitar 5% pasien dan menyebabkan kram akut,
muntah, diare, dan walaupun jarang, perforasi usus. Retensi cairan dan
pembengkakan dapat menyebabkan terjadinya obstruksi intestinal. 3

9. Mata
Peradangan pembuluh darah pada mata dapat mengurangi suplai darah ke
retina, sehingga menyebabkan degenerasi sel saraf dan resiko terjadinya
perdarahan retina. Gejala yang paing umum adalah cotton-wool-like spots pada
retina. Sekitar 5% pasien mengalami kebutaan sementara yang terjadi secara tibatiba.3 Kelainan lain berupa konjungtivitis, edema periorbital, perdarahan
subkonjungtival, uveitis dan adanya badan sitoid di retina. 1

13

10. Kehamilan
Abortus berulang, preeklamsia dan kematian janin
Tabel 1.1 Persentase spektrum klinis SLE6

Sistem Organ

Manifestasi Klinik

Sistemik

Lemah, demam, anoreksia, penurunan berat badan

95

Muskuloskeletal

Artralgia, mialgia, poliartritis, miopati

95

Hamatologi

Anemia,

hemolisis,

leukopenia,

trombositopenia, 85

antikoasalan lupus.
Kulit

Ras kupu-kupu, ruam kulit, fotosensivitas, ulkus mulut, 80


hopesia, ras kulit

Neurologik

Disfungsi kongenital, gangguan berpikir, sakit kepala, 60


kejang

Kardiopulmonal

Pleuritis, perikarditis, miokarditis, endokarditis Libman- 60


Sacks

Ginjal

Proteinuria, sindroma nefrotik, gagal ginjal

60

Gastrointestinal

Anoreksia, mual, nyeri, diare

45

Mata

Infeksi konjungtiva

15

Kehamilan

Abortus berulang, preeklamsia, kematian janin

30

F. Diagnosis
Tabel

1.2

Kriteria

Diagnosis

SLE

menurut American

College

of

Rheumatology, revisi tahun 1997.6


Kriteria untuk Kelainan Kulit
1.
Ruam Malar (butterfly rash)

Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan

14

2.

Ruam/ lesi discoid

cenderung tidak melibatkan lipatNasolabial


Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan folikular.

3.

Fotosensitifitas

Pada SLE lanjut dapat ditemukanparut atrofik


Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar
matahari, baik dari anamnesis pasien atauyang dilihat oleh dokter

4.

pemeriksa
Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh

Ulkus mulut

dokter pemeriksa
Kriteria Sistemik
5.
Artritis
6.

Serositis,

Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer,
yaitu

Perikarditis

ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusi


Pleuritis Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yang didengar oleh
dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura.Terbukti dengan
rekaman EKG atau pericardial friction rub atau terdapat bukti
efusiperikardium.

7.

Gangguan renal

a.. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila tidak
dilakukan pemeriksaan kuantitatifatau
b. Silinder seluler : dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin,

8.

Gangguan neurologi

granular, tubular atau campuran.


a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan
metabolik ( misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan
elektrolit).atau
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan
metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan
elektrolit).

Kriteria Laboratorium
9.
Kelainan hematologik

a. Anemia hemolitik dengan retikulosisatau


b. Leukopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih
atau
c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih
atau
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obatobatan

10.

Kelainan imunologik

a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang


abnormal atau
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm atau

15

c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang didasarkan


atas: 1) kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau
IgM, 2) Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metoda
standard, atau 3) hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis paling
tidak selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan test imobilisasi
Treponema
11.

pallidum

atau

tes fluoresensi

absorpsi

antibodi

treponema.
Antibodi antinuklearpositif (ANA) Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan pemeriksaan
imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun
waktu perjalan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui
berhubungan dengan sindroma lupus yang diinduksi obat.

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki


sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah
satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada
pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE.
Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum
tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan. 6

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Darah Rutin dan Pemeriksaan Urin.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus
Eritematosus Sistemik ( SLE ) adalah pemeriksaan darah rutin dan
pemeriksaan urin. Hasil pemeriksaan darah pada penderita SLE menunjukkan
adanya anemia hemolitik, trombositopenia, limfopenia, atau leukopenia;
erytrocytesedimentation rate (ESR) meningkat selama penyakit aktif, Coombs
test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi, ratio albumin-globulin
terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu, hasil pemeriksaan urin
pada penderita SLE menunjukkan adanya proteinuria, hematuria, peningkatan
kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme granular atau sel darah merah pada
urin. 7
b. Pemeriksaan Autoantibodi.

16

Proses patogenik setiap penyakit tidak terlepas kaitannya dengan


berbagai proses imunologik, baik yang non spesifik atau spesifik. Kaitan
tersebut tentunya terlihat lebih nyata pada penyakit-penyakit autoimun
termasuk di dalamnya SLE, Arthritis Reumatoid, sindroma Sjogren dan
sebagainya. Adanya antibodi termasuk autoantibodi sering dipakai dalam
upaya membantu penegakkan diagnosis maupun evaluasi perkembangan
penyakit dan terapi yang diberikan.
Pembentukan autoantibodi cukup kompleks dan belum ada satu kajian yang
mampu menjelaskan secara utuh mekanisme patofisiologiknya. Demikian pula
halnya dengan masalah otoimunitas. Pada masalah yang terakhir, dikatakan
terdapat kekacauan dalam sistim toleransi imun dengan sentralnya pada Thelper dan melahirkan banyak hipotesis, antara lain modifikasi autoantigen,
kemiripan atau mimikri molekuler antigenik terhadap epitop sel-T, cross
reactive peptide terhadap epitop sel-B, mekanisme bypass idiotipik, aktivasi
poliklonal dan sebaginya. Mekanisme lain juga dapat dilihat dari sudut adanya
gangguan mekanisme regulasi sel baik dari tingkat thymus sampai ke peripher.
Kekacauan ini semakin besar kesempatan terjadinya sejalan dengan semakin
bertambahnya usia seseorang.
Umumnya, autoantibodi itu sendiri tidak segera menyebabkan penyakit. Oleh
karenanya, lebih baik autoantibodi dipandang sebagai petanda (markers)
proses patologik daripada sebagai agen patologik. Kadarnya yang dapat naik
atau turun dapat berkaitan dengan aktivitas penyakit atau sebagai hasil
intervensi terapi. Kompleks autoantigen dan autoantibodilah yang akan
memulai rangkaian penyakit autotoimun. Hingga saat ini hipotesis yang dianut
adalah autoantibodi baru dikatakan memiliki peran dalam perkembangan suatu
penyakit reumatik autoimun apabila ia berperan dalam proses patologiknya.7
c. Antibodi Antinuklear.
Antinuklear antibodi (ANA) merupakan suatu kelompok autoantibodi
yang spesifik terhadap asam nukleat dan nukleoprotein, ditemukan pada
connective tissue disease seperti SLE, sklerosis sistemik, Mixed Connective
Tissue Disease (MCTD) dan sindrom sjogrens primer. ANA pertama kali

17

ditemukan oleh Hargreaves pada tahun 1948 pada sumsum tulang penderita
LES. Dengan perkembangan pemeriksaan imunodifusi dapat ditemukan
spesifisitas ANA yang baru seperti Sm, nuclear ribocleoprotein (nRNP),
Ro/SS-A dan La/SS-B.
ANA dapat diperiksa dengan menggunakan metode imunofluoresensi. ANA
digunakan sebagai pemeriksaan penyaring pada connective tissue disease.
Dengan pemeriksaan yang baik, 99% penderita LES menunjukkan
pemeriksaan yang positif, 68% pada penderita sindrom Sjogrens dan 40%
pada penderita skleroderma.ANA juga pada 10% populasi normal yang
berusia > 70 tahun. 7
G. Penatalaksanaan LES secara umum.
Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam
penatalaksanaan penderita LES, terutama pada penderita yang baru terdiagnosis.
Hal ini dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepada penderita atau dengan
membentuk

kelompok

penderita

yang

bertemu

secara

berkala

untuk

membicarakan masalah penyakitnya. Pada umumnya, penderita LES mengalami


fotosensitivitas sehingga penderita harus selalu diingatkan untuk tidak terlalu
banyak terpapar oleh sinar matahari. Mereka dinasihatkan untuk selalu
menggunakan krim pelindung sinar matahari, baju lengan panjang, topi atau
payung bila akan berjalan di siang hari. Pekerja di kantor juga harus dilindungi
terhadap sinar matahari dari jendela. Selain itu, penderita LES juga harus
menghindari rokok. 1
Karena infeksi sering terjadi pada penderita LES, penderita harus selalu
diingatkan bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya, terutama pada
penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi, obat-obat sitotoksik,
penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup jantung, ulkus di kulit dan mukosa.
Profilaksis antibiotika harus dipertimbangkan pada penderita LES yang akan
menjalani prosedur genitourinarius, cabut gigi dan prosedur invasif lainnya.
Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita LES, terutama penderita
dengan nefritis, atau penderita yang mendapat obat-obat yang merupakan

18

kontraindikasi untuk kehamilan, misalnya antimalaria atau siklofosfamid.


Kehamilan juga dapat mencetuskan eksaserbasi akut LES dan memiliki risiko
tersendiri terhadap fetus. Oleh sebab itu, pengawasan aktifitas penyakit harus
lebih ketat selama kehamilan. 1
Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu apakah
penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau imunosupresif yang
agresif. Pada umumnya, penderita LES yang tidak mengancam nyawa dan tidak
berhubungan dengan kerusakan organ, dapat diterapi secara konservatif. Bila
penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-organ mayor, maka
dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis
tinggi dan imunosupresan lainnya. 1
H. LES Pada Kehamilan

1. Pengaruh Kehamilan terhadap SLE


Masih belum dapat dipastikan apakah kehamilan dapat mencetuskan SLE,
eksaserbasi SLE pada kehamilan tergantung dari lamanya masa remisi
SLE Keterlibatan organ organ vital seperti ginjal. Penderita LES yang
telah mengalami remisi lebih dari 6 bulan sebelum hamil mempunyai
risiko 25% eksaserbasi pada saat hamil dan 90% luaran kehamilannya
baik. Tetapi sebaliknya bila masa remisi SLE sebelum hamil kurang dari 6
bulan maka risiko eksaserbasi SLE pada saat hamil menjadi 50% dengan
luaran kehamilan yang buruk. Apabila kehamilan terjadi pada saat SLE
sedang aktif maka risiko kematian janin 50-75% dengan angka kematian
ibu menjadi 10%. Dengan meningkatnya umur kehamilan maka risiko
eksaserbasi juga meningkat, yaitu 13% pada trimeseter I, 14% pada
trimester II, 53% pada trimester III serta 23% pada masa nifas.6
2. Pengaruh LES terhadap Kehamilan
Nasib kehamilan penderita LES sangat ditentukan dari aktifitas
penyakitnya, konsepsi yang terjadi pada saat remisi mempunyai luaran
kehamilan yang baik. Beberapa komplikasi kehamilan yang biasa terjadi

19

pada kehamilan yaitu, kematian janin meningkat 2-3 kali dibandingkan


wanita hamil normal, bila didapatkan hipertensi dan kelainan ginjal maka
mortalitas janin menjadi 50%. Kelahiran prematur juga bisa terjadi sekitar
30-50% kehamilan dengan LES yang sebagian besar akibat preeklamsia
atau gawat janin. Infark plasenta yang terjadi pada penderita LES dapat
menigkatkan risiko terjadinya Pertumbuhan janin Terhambat sekitar 25%
demikian juga risiko terjkadinya preeklamsia . eklamsia meningkat sekitar
25-30% pada penderita LES yang disertai lupus nepritis kejadian
preeklamsia menjadi 2 kali lipat. Membedakan preeklamsia dengan lupus
nepritis sulit karena keduanya mengalami hipertensi, protenuria, edema
dan perburukan fungsi ginjal. Kriteria dibawah ini dapat dipakai untuk
membedakan kedua keadaan diatas.6
Tabel 1.3. Perbedaan preeklamsia dengan eksaserbasi lupus renal. 6
Preeklamsia

Gagal Gijall

Kadar C3/C4

Membaik

Menurun

Kadar Anti-dsDNA

Tidak ada perubahan

Meningkat

Sedimen urin

Ringan

Aktif

Respon terhadap steroid

Memburuk

Membaik

3. Sindroma Lupus Eritematosus Neonatal (LEN)


LEN, merupakan komplikasi kehamilan dengan LES yang mengenai janin
dimana sindroma tersebut terdiri dari, blok jantung kongenital, lesi
kutaneus sesaat, sitopenia, kelainan hepar dan berbagai manifestasi
sistemik lainnya pada neonatus yang lahir dari seorang ibu yang menderita
LES pada saat hamil. Untuk menegakkan diagnosa LEN, The Research
Registry for Neonatal Lupus memberikan dua kriteria sebagai berikut :
a.

Adanya antibodi 52 kD SSA/Ro, 60 kD SSA/Ro atau 48 kD SSB/La


pada serum ibu.

20

b. Adanya blok jantung atau ras pada kulit neonatus.11


Kelainan konduksi jantung/blok jantung congenital ditemukan 1 diantara
20 000 kelahiran hidup (0,005%), tergantung dari adanya anti SSA/Ro
atau anti SSB/La. Apabila antibodi tersebut ditemukan pada penderita LES
maka risiko bayi mengalami blok jantung kongenital berkisar antara 1,5%
sampai 20% dibandingkan bila antibodi tersebut tidak ada yaitu sekitar
0,6% dengan distribusi yang sama antara bayi laki dan wanita. Patogenesis
blok jantung congenital neonatus pada penderita LES dengan anti SSA/Ro
dan Anti SSB/La positip belum jelas diketahui. Mekanisme yang dipercaya
saat ini adalah adanya transfer antibody melalui plasenta yang terjadi pada
trimester ke dua yang menyebabkan trauma imunologik pada jantung dan
sistem konduksi jantung janin. Sekali terjadi transfer antibodi ini maka
kelainan yang terjadi bersifat menetap dan akan manifes pada saat bayi
lahir. Usaha untuk menghentikan transfer antibodi ini ke janin seperti
pemberian kortiokosteroid, gammaglobulin intravenous atau plasmaparesis
telah gagal mencegah kejadian blok jantung kongenital neonatal. Oleh
karena itu pemeriksaan antibodi ini sangat penting untuk seorang ibu yang
menderita LES dan ingin hamil. 6
4. Waktu penderita SLE hamil
Disarankan bagi wanita dengan penyakit SLE sebaiknyamerencanakan
kehamilan bila kondisinya sudah stabil, dan sebaiknya

menunda

kehamilan hingga penyakit SLE telah mencapai masa remisi

selama

minimal 6 bulan sebelum konsepsi untuk mencegah resiko terjadinya


dampak yang buruk terhadap ibu dan janin. 6 Penderita SLE yang telah
mengalami remisi lebih dari 6 bulan sebelumnya mempunyai resiko 25%
terjadinya eksaserbasi pada saat hamil

dan

90%

kehamilannnya

baik. Tetapi bila masa remisi SLE sebelum hamil kurang dari 6 bulan
maka resiko eksaserbasi LES pada saat hamil menjadi 50 %. Akibatnya
terjadi komplikasi selama kehamilan baik pada ibu maupun

janin

dengan prognosis yang jelek. Dampak terhadap ibu yaitu meningkatnya


resiko preeklamsi dan eklamsi dengan prediktor diantaranya nefritis dan
tingginya skor Systemic Lupus Erythmatosus Disease Activity Index

21

(SLEDAI). Dampak buruk pada janin berakibat resiko kelahiran prematur,


kelainan pertumbuhan janin dan kematian janin dan syndrom neonatal
lupus.
5. Prenatal care
Pada kunjungan pertama antenatal dilakukan pemeriksaan lengkap tanpa
memandang kondisi klinis pasien yang meliputi, pemeriksaan darah
lengkap, panel elktrolit, fungsi liver, fungsi ginjal, urinalisis, antibodi anti
DNA, anti bodi anti kardiolipin, antikoagulan Lupus, C3, C4 dan Anti
SSA/R0 dan Anti SSB/La. Pemeriksaan laboratorium tersebut diulang tiap
trimester, apabila antti SSA/Ro dan Anti SSB/La positif maka dilakukan
pemeriksaan ekokardiograpi janin pada usia kehamilan 24-26 minggu
untuk mendeteksi adanya blok janin kongenital. Apabila ditemukan
adanya blok jantung janin kongenital maka diberikan dexametason 4 mg
per-oral/hari selama 6 minggu/sampai gejala menghilang kemudian dosis
diturunkan sampai lahir. 8

6. Penatalaksanaan
Ada 2 hal yang perlu diperhatikan pada penatalaksanaan LES dengan
kehamilan yaitu :
a. Kehamilan dapat mempengaruhi perjalanan penyakit LES
b. Plasenta dan janin dapat menjadi target dari otoantibodib maternal
sehingga dapat berakhir dengan kegagalan kehamilan dan terjadinya
Lupus Eritematosus Neonatal.6
Pada

umumnya

penderita

LES

mengalami

fotosensitifitas,

sehingga disarankan untuk tidak terlalu banyak terpapar sinar matahari.


Mereka disarankan untuk menggunakan krem pelindung sinar matahari,
baju lengan panjang, topi atau payung bila akan berjalan dibawah sinar
matahari. Karena infeksi mudah terjadi maka penderita juga dinasehatkan
agar memeriksakan diri bila mengalami demam. Pada penderita yang akan
menjalani prosedur infasif diberikan antibiotika profilaksis. Modalitas
utama pengobatan LES adalah pemberian kortikosteroid,antiinflamasi
nonsteroid, aspirin, antimalaria, dan Imunosupresan.6

22

Pemberian kortikosteroid memiliki peran yang sangat penting pada


kehamilan dengan LES karena tanpa kortikosteroid sebagian besar
penderita

LES yang hamil akan mengalami eksaserbasi. Pemakaian

kortikosteroid jangka panjang seperti prednisone dan prednisolon,


hidrokortison pada

kehamilan umunya aman, karena glukokortikoid itu

segera akan mengalami

inaktivasi

oleh

hidroksidehidrogenase menjadi metabolic 11-

enzim
keto

yang

11-betainaktif,

sehingga hanya 10% dari dosis yang dipakai dapat memasuki janin. Pada
manifestasi klinik LES yang ringan, umumnya diberi

prednisone

oral dalam dosis rendah 0,5 mg/kgBB/hari, sedangkan pada


manifestasi klinis yang berat diberikan prednisolon dosis 1 mg
1,5

mg/kgBB/hari. Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram

atau15 mg/kgBB selama 3-5 hari dapat dipertimbangkan untuk mengganti


glukokortikoid oral dosis tinggi atau pada penderita yang tidak
memberikan

respon pada terapi oral. Setelah pemberian glukokortikoid

selama 6 minggu,

harus mulai dilakukan penurunan dosis obat secara

bertahap, 5-10% setiap

minggu bila tidak timbul eksaserbasi akut.

Bila timbul eksaserbasi dosis dikembalikan seperti dosis sebelumnya.


Pemakaian glukokortikoid yang berkepanjangan pada waktu
hamil dalam dosis tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan janin yang
terhambat, ketuban pecah dini, diabetes gestasional, hipertensi, dan
osteoporosis. 6
Imunosupresan diberikan pada penderita yang tidak responsive
terhadap terapi glukokortikoid selama 4 minggu. Siklofostamid
diberikan

bolus intravena 0,5 g/m2 body surface dalam 150 cc NaCl

0,9 selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24 jam.
Indikasi pemberian Siklofosfamid adalah sebagai berikut :
a. Penderita LES yang membutuhkan steroid dosis tinggi
b. Penderita LES yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis tinggi.
c. Penderita LES yang kambuh setelah terapi steroid jangka
panjang/berulang
d. Glomerulonefritis difus awal
e. LES dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid.
f. Penurunan laju fitrasi glomerulus atau peningkatan kreatinin tanpa
disertai dengan faktor ekstra renal lainnya.

23

g. LES dengan manifestasi susunan saraf pusat


Pemberian siklofosfamid pada perempuan hamil tersebut tidak
dianjurkan secara rutin kecuali benar-benar atas indikasi yang kuat dan
dalam keadaan dimana keselamatan ibu merupakan hala yang utama.
Dilaporkan bahwa pemakaian siklofosfamid dalam waktu yang lama dapat
menyebabkan kegagalan ovarium premature dan kelainan bawaan pada
janin.6
Obat imunosupresan lainnya yang cukup aman diberikan pada
perempuan hamil adalah azatioprin dan siklosporin.
Untuk mengantisispasi kemungkinan terjadinya eksaserbasi pada
saat persalinan atau pembedahan, sebaiknya penderita dipayungi dengan
metal prednisolon dosis tinggi sampai 48 jam pascapersalinan, setelah itu
dosis obat diturunkan.
Hampir semua obat untuk penderita LES diekskresikan bersama air
susu dalam jumlah yang bervariasi antara 0,1%-2% dosis obat, kecuali
Imunosupresan yang dikontraindikasikan untuk ibu menyusui. Pemberian
aspirin dalam dosis besar (>3 gr/hari) berhubungan dengan peningkatan
kejadian kehamilan posterm dan perdarahan selama persalinan. Dosis tinggi
salisilat juga dilaporkan telah menyebabkan oligohidramnion, penutupan
prematur dari duktus arteriosus dan hipertensi pulmonal pada neonatus.
Pemakaian NSAID atau aspirin dihindari beberapa minggu sebelum
persalinan. Hidroksiklorokuin juga sering dipakai dalam pengobatan LES
dan sampai saat ini pemakaian obat ini cukup aman untuk wanita hamil.6
7. Pemilihan kontarsepsi pasca persalinan
Pemilihan kontrasepsi yang efektif dan aman merupakan hal yang sangat
penting dalam penanganan penderita LES pasca persalinan. Kadar
estrogen dalam kontrasepsi oral yang melebihi 20-30 ugr/hari dapat
mencetuskan LES. Risiko tromboemboli pada penderita LES yang
memakai kontrasepsi oral juga meningkat terutama apabila aPLnya positif.
Kontrasepsi oral yang hanya mengandung progestogen dan depot
progestogen merupakan alternatif yang lebih aman untuk penderita LES
pasca persalinan. Pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) kurang

24

baik karena dapat meningkatkan risko infeksi terutama pada penderita


yang memakai imunosupresan yang lama.6

8. Prognosis
Prognosa ibu hamil yang menderita SLE ditentukan pada saat
konsepsi, bila konsepsi terjadi pada masa remisi maka prognosanya akan
lebih baik. bila dalam waktu kurang dari 6 bulan sebelum konsepsi
terdapat riwayat nefritis dan penyakit SLE aktif dengan skor SLEDAI 4
atau lebih akan beresiko berdampak buruk terhadap janin. Penderita SLE
yang telah mengalami masa remisi lebih dari 6 bulan sebelum hamil
mempunyai resiko 25% eksaserbasi pada masa hamil dibandingkan
dengan bila masa remisi SLE sebelum hamil kurang dari 6 bulan maka
resiko eksaserbasi SLE pada saat hamil menjadi 50% dengan dampak
kehamilan yang buruk.
Hal ini menunjukan bahwa kehamilan pada penderita SLE
sangat ditentukan dari aktifitas penyakitnya, konsepsi yang terjadi pada
saat remisi mempunyai dampak kehamilan yang baik dibandingkan
dengan sebelum mencapai remisi. Dengan penyakit yang stabil atau
menderita flare yang relatif jarang atau hanya sedikit dalam kehamilan
akan melahirkan bayi yang sehat.7

25

BAB III
PENUTUP

Kehamilan pada ibu dengan penyakit Sistemik Lupus Erithematosus (SLE)


sangat berhubungan dengan tingkat kesakitan dan kematian ibu serta janin. Resiko
kematian ibu hamil yang menderita SLE memiliki dampak 20 kali lebih tinggi
karena komplikasi yang disebabkan oleh preeklamsi, trombosis, infeksi dan
kelainan darah.
Disarankan bagi wanita dengan penyakit SLE sebaiknya merencanakan
kehamilan bila kondisinya sudah stabil, dan sebaiknya menunda kehamilan hingga
penyakit SLE telah mencapai masa remisi selama minimal 6 bulan sebelum
konsepsi untuk mencegah resiko terjadinya dampak yang buruk terhadap ibu dan
janin. 7
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut di Indonesia terkait dengan SLE
dalam kehamilan, sehingga hasil penelitian ini dapat menjadi bahan kajian dalam
memberikan penatalaksanaan yang tepat seperti deteksi dini kehamilan dengan
penyakit SLE, konseling sebelum kehamilan, perawatan antenatal, perawatan dan
pemantauan selama kehamilan dan masa post partum terkait dengan upaya
menurunkan kematian perinatal 7

26

DAFTAR PUSTAKA
1. Albar Z. Lupus eritematosus sistemik. Dalam: Noer MS, editor kepala.
Ilmu penyakit dalam. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1996. h: 1509.
2. Rubin E, editor. In: Essential pathology: Lupus eritematosus sistemik. 3 th
edition. Philadelphia: Lippicott Williams & Wilkins; 2001. p: 86-8,4689,650.
3. Simon H, editor-in-chief. Sistemic Lupus Erythematosus. 2000 March.
Available
from:http://wellness.ucdavis.edu/medical_conditions_az/sistemic
lupus63.html. Accessed: 2004 September 17.
4. Varghese stephy, Crocker Ian, Bruce N Ian & Tower Clare. 2011. Systemic
Lupus Erythematosus, Regulatory T Cells and Pregnancy. From
www.expert-reviews.com/toc/eci/7/5. Diunduh tanggal 10 Februari 2012.
5. Kusuma Jaya Ngurah Agung. 2007. Lupus Eritematosus Sistemik Pada
Kehamilan. dipublikasikan dalam Jurnal Penyakit Dalam 2011. Diunduh
tanggal 21 Maret 2012.
6. Dkdkd

27

7. Zvezdanovic L, Dordevic V, Cosic V, Cvetkovic T, Kundalic S, Stankovic


A. The significance of cytokines in diagnosis of autoimmune diseases.
Jugoslov Med Biohem 2006;25:363-372.
8. Branch WD, Porter TF, autoimune disease. In: DK james, PJ Steer, CP
Wefer, B Gonk, editor.High risk pregnancy, management options. Second
edition.London, W.b saunders.1999. p : 853-864.

Anda mungkin juga menyukai