Anda di halaman 1dari 13

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Deskripsi Teori
Pembelajaran Matematika
Belajar merupakan kegiatan bagi seseorang yang tidak dapat lepas dari
kehidupan manusia. Definisi belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif
mantap berkat latihan dan pengalaman (Hamalik, 2001: 154). Perubahan sebagai
hasil dari proses belajar ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti perubahan
sikap, perubahan tingkah laku serta perubahan aspek lain yang ada pada individu
yang belajar.
Belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks, sebagai
tindakan belajar yang dialami oleh siswa sendiri. Dimyati dan Moedjiono (2002:
7) mengemukakan siswa adalah penentu terjadi atau tidaknya proses belajar.
Berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan pendidikan tergantung pada proses
belajar dan mengajar yang dialami siswa dan pendidik baik para siswa itu di
sekolah maupun di lingkungan keluarganya sendiri. Dan Henry E. Garret
berpendapat bahwa belajar merupakan proses yang berlangsung dalam jangka
waktu lama melalui latihan maupun pengalaman yang membawa kepada
perubahan diri dan perubahan cara mereaksi terhadap suatu perangsang tertentu
(Sagala, 2005: 13).
Pendapat yang lain tentang belajar dikemukakan oleh Hilgard dan Marquis
bahwa belajar merupakan proses mencari ilmu yang terjadi dalam diri seseorang
melalui latihan, pembelajaran, dan sebagainya sehingga terjadi perubahan dalam
diri (Sagala, 2005: 13). Skinner mengemukakan bahwa belajar adalah proses
perubahan atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif, pada
saat orang belajar, maka respon menjadi lebih baik dan sebaliknya (Dimyati dan
Mudjiono, 2002: 9).
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah
A.
1.

proses perubahan dalam suatu individu dengan tanda-tanda bahwa perilaku


individu berubah sebagai akibat terjadinya proses belajar, dengan perhatian utama
dalam proses belajar adalah perilaku verbal dari individu, yaitu kemampuan untuk
menangkap informasi mengenai ilmu pengetahuan yang diterimanya.
Pembelajaran merupakan proses belajar yang dapat meningkatkan
kemampuan berpikir siswa serta dapat meningkatkan kemampuan mengkonstruksi
pengetahuan baru. Pembelajaran menurut Bruner adalah siswa belajar melalui

keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip dalam memecahkan


masalah serta guru sebagai motivator bagi siswa dalam mendapatkan pengalaman
yang memungkinkan mereka menemukan dan memecahkan masalah (Depdiknas,
2004: 9). Menurut Cagne dan Biggs dalam Djaafar (2001: 2) pembelajaran adalah
rangkaian peristiwa atau kejadian yang mempengaruhi siswa sedemikian rupa
sehingga proses belajarnya dapat berlangsung dengan mudah. Sebagai bagian dari
system, sasaran pembelajaran adalah merubah masukan berupa siswa yang belum
terdidik menjadi manusia yang terdidik dengan tujuan membantu siswa untuk
belajar. Agar proses pembelajaran dapat berlangsung dengan efektif dan efisien,
pembelajaran harus dirancanakan dan didesain dengan baik.
Pembelajaran matematika merupakan salah satu kegiatan yang ada di
sekolah. Dalam pembelajaran matematika, siswa dibiasakan untuk memperoleh
pemahaman melalui pengalaman tentang sifat-sifat yang dimiliki dan tidak
dimiliki dari sekumpulan objek. Pembelajaran matematika sebagai suatu proses
dalam menciptakan lingkungan belajar agar siswa terkondisikan dalam belajar
matematika dibutuhkan suatu desain pembelajaran yang mengoptimalkan siswa
dalam belajar matematika. Tujuan pembelajaran matematika adalah:
a. Melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan
b. Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan

penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin


tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba
c. Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah
d. Mengembangkan
kemampuan
menyampaikan
informasi
atau
mengkomunikasikan gagasan.
(Depdiknas, 2004: 18)
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika
adalah proses interaksi belajar dan mengajar matematika antara perserta didik dan
pendidik yang melibatkan segenap aspek didalamnya untuk mencapai tujuan
kurikulum agar proses belajar mengajar berkembang secara optimal. Sehingga
diharapkan guru dalam merancang pembelajaran matematika dapat memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada siswa untuk berperan aktif dalam
membangun konsep secara mandiri atau bersama-sama. Dengan adanya
pembelajaran matematika yang dirancang dan didesain dengan baik serta
dilakukan secara efektif dan efisien akan diperoleh hasil belajar yang optimal.
2.

a.

Pendekatan Kontekstual
Konsep Dasar dan Karakteristik Pendekatan Kontekstual

Pendekatan kontekstual adalah suatu pendekatan yang hendaknya digunakan


dalam pembelajaran matematika sekolah (Depdiknas, 2006: 345). Suherman
(2003: 3) menyatakan bahwa pembelajaran dengan pendekatan kontekstual adalah
pembelajaran yang dimulai dengan mengambil (mensimulasikan, menceritakan,
berdialog, atau tanya jawab) kejadian pada dunia nyata kehidupan sehari-hari
yang dialami siswa kemudian diangkat kedalam konsep yang dibahas.
Hakekat

pendekatan

kontekstual

adalah

suatu

konsep

pendekatan

pembelajaran yang mengaitkan antara meteri yang akan diajarkan melalui situasi
dunia nyata dengan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan
yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari,
dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif (Dit, PLP, 2003:
5). Tujuh komponen utama pembelajaran dengan pendekatan kontekstual tersebut
adalah:
1)

Kontruktivisme (Contructivism)
Kontruktivisme merupakan landasan berfikir pembelajaran dengan
pendekatan kontekstual. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan
memberi makna melalui pengalaman nyata sehingga dalam pembelajaran
dengan

pendekatan

kontekstual,

siswa

didorong

untuk

mampu

mengkontruksi pengetahuan sendiri melalui pengalaman nyata. Siswa perlu


dibiasakan untuk menyelesaikan masalah, menemukan sesuatu yang berguna
bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Siswa harus menemukan dan
mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain. Dalam
pendekatan ini, strategi bagaimana cara memperoleh pengetahuan lebih

diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan


mengingat pengetahuan. Tugas guru dalam pembelajaran dengan pendekatan
kontekstual adalah lebih memfasilitasi proses tersebut.
2)

Menemukan (inquiry)
Proses

menemukan

merupakan

bagian

penting

dari

kegiatan

pembelajaran dengan pendekatan kontekstual. Oleh karena itu, dalam


merancang kegiatan pembelajaran, guru bukanlah mempersiapkan sejumlah
materi yang harus dihafal oleh siswa, melainkan merancang kegiatan yang
mengutamakan pada kegiatan siswa untuk dapat menemukan sendiri materi
yang harus dipahaminya. Secara umum kegiatan menemukan dapat
dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: 1) merumuskan
masalah, 2) mengamati atau melakukan observasi, 3) menganalisis dan
menyajikan hasil, dapat dalam bentuk tulisan, gambar tabel, bagan, atau
lainnya, 4) mengkomunikasikan atau menyampaikan hasil pada teman
sekelas, guru , atau audien lainnya.
3)

Bertanya (Questioning)
Bertanya merupakan strategi utama pada pembelajaran dengan
pendekatan kontekstual. Karena bertanya dapat dipergunakan oleh guru
dalam kegiatan mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir
siswa. Dalam sebuah pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya dapat
berguna

untuk:

1)

menggali

informasi

(mengecek)

tentang

kemampuan/pemahaman siswa, 2) membangkitkan respons siswa untuk


belajar, 3) merangsang keingintahuan siswa terhadap sesuatu, 4)

memfokuskan

perhatian

siswa

pada

sesuatu

yang

diinginkan,

5)

membimbing siswa dalam menemukan atau menyimpulkan sesuatu.


Bertanya dapat diterapkan pada semua aktivitas belajar, baik antara siswa
dengan siswa, siswa dengan guru, dan sebagainya.
4)

Masyarakat belajar (Learning community)


Konsep masyarakat belajar menyarankan agar hasil pembelajaran
diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Dalam kelas dengan pendekatan
kontekstual, penerapan komponen masyarakat belajar ini dapat dilakukan
melalui pembelajaran dengan menggunakan kelompok-kelompok belajar.
Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya sedapat mungkin
yang heterogen dalam segala hal. Sehingga hasil belajar diperoleh dari
sharing antarteman, antarkelompok, dan antar yang tahu ke yang belum
tahu.

5)

Pemodelan (Modeling)
Komponen pemodelan maksudnya adalah dalam sebuah pembelajaran
materi apapun, ada model yang dapat ditiru oleh setiap siswa. Model
tersebut dapat berupa contoh cara mengerjakan sesuatu, cara melukis
bangun-bangun geometri, dan lain sebagainya. Pada prinsipnya, dalam
sebuah pembelajaran selalu ada model yang dapat ditiru. Proses modeling
tidak terbatas dari guru saja, akan tetapi dapat juga guru memanfaatkan
siswa yang dianggap memiliki kemampuan.

6)

Refleksi (reflection)
Refleksi adalah cara berfikir tentang apa yang baru saja dipelajari atau
berpikir kebelakang tentang apa saja yang sudah dilakukan. Melalui proses

7)

refleksi, pengalaman belajar itu akan dimasukkan dalam struktur kognitif


siswa yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari pengetahuan yang
dimilikinya. Refleksi memungkinkan siswa menyadari bahwa ide-ide baru
mereka atau proses belajar mereka menghasilkan sebuah pengetahuan baru
di benak mereka. Dengan proses refleksi ini siswa dibantu memperbaiki
konsep yang kurang tepat menjadi benar dengan pemahaman dan bukan
dengan keputusan tanpa penjelasan. Penerapan di kelas, setiap berakhir
proses pembelajaran guru memberi kesempatan siswa untuk merenung dan
mengingat apa yang telah dipelajari.
Penilaian yang sebenarnya (Authentic assessment)
Penilaian yang sebenarnya adalah proses yang dilakukan guru untuk
mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan
siswa. Dalam penilaian yang dilakukan lebih dipentingkan proses dari pada
hasil yang diperoleh.
Nur M (2000:2) menyebutkan lima karakteristik utama dari
pendekatan kontekstual adalah sebagai berikut:
a)

Diajukannya masalah kontekstual untuk dipecahkan atau diselesaikan


oleh siswa sebagai titik awal proses pembelajaran.

b)

Dikembangkannya cara, alat, atau model matematis (gambar, grafik,


tabel, dll) oleh siswa sebagai jawaban informal terhadap masalah yang
dihadapi yang berfungsi sebagai jembatan antara dunia real dengan
abstrak sehingga terwujud proses matematisasi horisontal (yaitu proses
diperolehnya matematika informal).

c)

Terjadi interaksi antara guru dengan siswa/siswa dengan siswa, atau


antara siswa dengan pakar dalam suasana demokratif berkenaan
dengan penyelesaian masalah yang diajukan selama proses belajar.

d)

Ada keseimbangan antara proses matematisasi horisontal dan proses


matematisasi vertikal (yaitu proses pembahasan matematika secara

simbolik dan abstrak). Ini berarti jawaban informal siswa dihargai


sebelum sampai pada tahap mempelajari bentuk formal matematika.
Dengan cara demikian diharapkan ada kesempatan bagi siswa untuk
merefleksi,

menginterpretasi,

dan

menginternalisasi

hal

yang

dipelajari.
e)

Pembelajaran matematika tidak semata-mata memberi penekanan pada


komputasi dan hanya mementingkan langkah-langkah prosedural
penyelesaian soal (drill) namun juga memberi penekanan pada
pemahaman konsep dan pemecahan masalah.

Sri Wardhani (2004:6-8) menyebutkan ada beberapa ciri menonjol pada


pembelajaran yang kontekstual yaitu; ciri pertama, digunakannya masalah
berkonteks kehidupan nyata (kontekstual) sebagai titik awal proses pembelajaran
masalah-masalah itu dapat disajikan dalam bahasa biasa atau cerita, bahasa
lambang, benda konkret atau model (gambar, grafik, tabel dll). Melalui masalah
atau soal-soal kontekstual sejak awal siswa diharapkan menemukan cara, alat
matematis atau model matematis sekaligus pemahaman tentang konsep atau
prinsip yang dipelajari; ciri kedua, siswa didorong untuk memunculkan atau
mengajukan suatu cara, alat atau pemodelan matematis sehingga diperoleh
pemahaman tentang hal yang dipelajari dari masalah atau soal kontekstual yang
dihadapinya; ciri ketiga, siswa diperlakukan sebagai siswa aktif dalam proses
pembelajaran maka tidak dikehendaki adanya pemberian informasi yang sudah
jadi namun diharapkan siswa sendiri yang menemukan, hal ini bisa dilakukan
dalam bentuk diskusi sehingga interaksi antara guru dan siswa atau antara siswa

dan siswa atau siswa dengan orang dewasa lain (nara sumber/pakar) menjadi lebih
penting; ciri terakhir, siswa diberi kesempatan melakukan refleksi yaitu berfikir
tentang hal-hal yang baru saja dipelajari atau berfikir ke belakang tentang yang
sudah dilakukan sebelumnya yaitu antara lain dengan menyimpulkan,
menyampaikan gagasan atau pendapat terkait dengan hal yang baru dipelajari,
mengungkapkan kesan terhadap hal-hal yang dipelajari.
b.

Langkah-langkah Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual


Menurut Hadi S (2000: 4), bahwa pembelajaran matematika yang

kontekstual meliputi langkah-langkah sebagai berikut:


1)

Pendahuluan
a) Guru memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang riil
bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkah pengetahuannya
(masalah kontekstual) sehingga siswa segera terlibat dalam pembelajaran
secara bermakna.
b) Guru memberikan permasalahan kepada siswa sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut.

2)

Pengembangan
a) Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model matematis
simbolik secara informal terhadap persoalan atau maslah yang diajukan.
b) Kegiatan pembelajaran berlangsung secara interaktif. Siswa diberi
kesempatan menjelaskan dan memberi alasan terhadap jawaban yang
disampaikannya, memahami jawaban teman atau siswa lain, menyatakan
setuju atau tidak

setuju terhadap jawaban yang disampaikannya,

memahami jawaban teman atau siswa lain, mencari alternatif


penyelesaian yang lain.
3)

Penutup/Penerapan
Melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap
hasil pelajaran.

c.

Kelebihan dan Kendala Pendekatan Kontekstual


Beberapa kelebihan penerapan pendekatan pembelajaran kontekstual sebagai

berikut:
1)

Suasana dalam proses pembelajaran menyenangkan karena menggunakan


realitas yang ada disekitar siswa.

2)

Siswa merasa dihargai dan semakin terbuka karena setiap jawaban ada
nilainya, hal ini memberikan pengertian pada siswa bahwa dalam
penyelesaian suatu soal atau masalah matematika tidak harus tunggal.

3)

Karena siswa membangun sendiri pengetahuannya maka siswa tidak mudah


lupa dengan materi.

4)

Melatih siswa untuk terbiasa berpikir kritis dan berani mengemukakan


pendapat.

5)

Pendidikan budi pekerti, misal: saling kerjasama dan menghormati teman


yang sedang berbicara.
Beberapa kendala penerapan pendekatan pembelajaran kontekstual sebagai

berikut:
a)
b)

Tidak mudah mengubah perilaku siswa yang biasanya pasif menjadi aktif
dalam pelaksanaan pembelajaran.
Untuk memahami satu materi pelajaran dibutuhkan waktu yang cukup lama.

10

c)
d)
e)

Tidak mudah bagi guru dalam mencari soal-soal kontekstual yang memenuhi
syarat dalam pendekatan pembelajaran kontekstual.
Tidak mudah dalam mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara
untuk menyelesaikan tiap-tiap soal.
Penilaian pembelajaran kontekstual lebih rumit.
(Depdiknas,2004: 35)
Dari uraian diatas, pembelajaran dengan penerapan pendekatan kontekstual

merupakan pembelajaran yang diawali dengan masalah kontekstual untuk


diselesaikan siswa; dikembangkan cara, model atau alat matematis yang informal
(gambar, grafik, tabel, dll) oleh siswa sebagai jawaban atau penyelesaian masalah
yang diajukan; ada interaksi antara guru-siswa atau siswa-siswa dalam suasana
demokratis berkenaan dalam proses mencari jawaban atau pemecahan masalah
yang diajukan; proses pembelajaran berlangsung seimbang antara proses
matematisasi horisontal yang menghasilkan penyelesaian masalah menurut alam
pikiran siswa (informal) dan proses matematisasi vertikal yaitu proses membahas
matematika formal (simbolik dan abstrak); ada kesempatan bagi siswa untuk
melakukan refleksi antara lain dengan menyimpulkan, menyampaikan gagasan
atau pendapat. Peran guru dalam pendekatan ini sebagai fasilitator, memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan
mengajak siswa agar dengan menyadari dan dengan sadar menggunakan strategistrategi mereka sendiri yang pada akhirnya ada kesempatan cukup bagi siswa
untuk merefleksi, menginterpretasi dan menginternalisasi secara rasional dan
relevan hal-hal yang telah dipelajari atau dihasilkan oleh siswa selama proses
belajar.
3.

Prestasi Belajar

11

Prestasi belajar erat hubungannya dengan proses belajar mengajar. Prestasi


belajar bisa dikatakan sebagai hasil dari proses belajar mengajar. Kata prestasi
berasal dari bahasa Belanda yaitu prestatie, kemudian dalam bahasa Indonesia
menjadi prestasi yang berarti hasil usaha (Arifin, 2001: 3). Sedangkan
menurut Sudjana (2001: 22), hasil atau prestasi belajar adalah kemampuan yang
dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajar. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia dinyatakan bahwa prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan atau
keterampilan yang dikembangkan melalui mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan
dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru.
Menurut Zainal Arifin (1991: 3) prestasi belajar mempunyai beberapa fungsi
antara lain:
a. Prestasi belajar sebagai indikator kualitas dan kuantitas pengetahuan yang
telah dikuasai anak didik.
b. Prestasi belajar sebagai lambang pemuasan hasrat ingin tahu.
c. Prestasi belajar sebagai bahan reformasi dalam inovasi pendidikan.
palppalppalppalppalppalppalppalpcgrid Prestasi
belajar
sebagai
indikator intern dan ekstern dari suatau innstitusi pendidikan. Arti Indikator intern
bahwa prestasi belajar dapat dijadikan indikator tingkat produktivitas suatu
institusi pendidikan. Sedangkan indikator ekstern adalah tinggi rendahnya prestasi
belajar dapat dijadikan indikator tingkat kesuksesan anak didik di masyarakat.
Sri Rumini, dkk (1993: 61) mengemukakan bahwa hasil belajar dipengaruhi
oleh dua faktor yaitu: faktor yang berasal dari individu yang sedang belajar dan
faktor yang berasal dari luar diri individu. Faktor yang terdapat dalam diri
individu dikelompokkan menjadi dua faktor, yaitu faktor psikis dan faktor fisik.
Yang termasuk faktor psikis antara lain adalah kognitif, afektif, psikomotor,
campuran, kepribadian. Sedangkan yang termasuk faktor fisik adalah kondisi:
indera, anggota badan, tubuh, kelenjar, syaraf, dan organ-organ dalam tubuh.
Faktor-faktor yang berasal dari luar diri individu yang mempengaruhi hasil belajar
adalah faktor lingkungan, faktor sosial ekonomi, guru, metode mengajar,
kurikulum, program, materi pelajaran, sarana dan prasarana.
Dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah hasil penguasaan
pengetahuan dan keterampilan yang dicapai siswa selama mengikuti proses
belajar dalam waktu tertentu dalam suatu lembaga pendidikan yang hasilnya
ditunjukkan dengan angka atau nilai. Sedangkan prestasi belajar matematika
adalah tingkat kemampuan mempelajari matematika yang dicapai oleh siswa
dalam belajar matematika yang dapat diukur dengan tes. Prestasi belajar
matematika biasanya ditunjukkan dengan angka nilai tes matematika yang

12

diberikan guru pada saat evaluasi dilaksanakan. Dalam hal ini tes tersebut
berfungsi sebagai alat untuk mengukur hasil belajar yang dicapai oleh siswa
dalam belajar matematika.

Penelitian yang Relevan


Penelitian yang dilakukan oleh Wijiyanti pada tahun 2004 tentang
Pembelajaran Matematika Pokok Bahasan lingkaran dengan Pendekatan
kontekstual di Kelas 2 semester II SLTPN 2 Pakem menyimpulkan bahwa dari
pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual yang telah dilakukan
dapat menumbuhkan rasa senang siswa, melatih keterampilan siswa dan
menambah kepahaman siswa dalam pembelajaran matematika.
B.

C.

Kerangka Berpikir
Berdasarkan latar belakang

dan

deskripsi

teori

diketahui

bahwa

pembelajaran dan prestasi belajar siswa SMP Negeri 3 Gamping pada mata
pelajaran matematika menunjukkan hasil yang kurang memuaskan. Prestasi
belajar siswa pada mata pelajaran matematika masih rendah. Hal ini
dimungkinkan karena siswa cenderung pasif menerima apa yang disampaikan
guru, siswa hanya hafal materi tapi belum bisa mengembangkan dan
mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Pendekatan kontekstual adalah salah satu pendekatan yang dapat digunakan
sebagai usaha perbaikan atau sebuah tindakan untuk mengatasi permasalahan
rendahnya prestasi belajar matematika siswa SMP Negeri 3 Gamping. Pendekatan
kontekstual merupakan pendekatan yang menekankan pada masalah kontekstual
untuk dipecahkan atau diselesaikan siswa. Beberapa kelebihan penerapan
pendekatan pembelajaran kontekstual sebagai berikut:

13

1)

Suasana dalam proses pembelajaran menyenangkan karena menggunakan


realitas yang ada disekitar siswa.

2)

Siswa merasa dihargai dan semakin terbuka karena setiap jawaban ada
nilainya, hal ini memberikan pengertian pada siswa bahwa dalam
penyelesaian suatu soal atau masalah matematika tidak harus tunggal.

3)

Karena siswa membangun sendiri pengetahuannya maka siswa tidak mudah


lupa dengan materi.

4)

Melatih siswa untuk terbiasa berpikir kritis dan berani mengemukakan


pendapat.
Dengan demikian, diperlukan upaya meningkatkan prestasi belajar

matematika siswa melalui pendekatan kontekstual.

D.

Hipotesis Tindakan
Hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah:

1.

Penerapan pembelajaran matematika melalui pendekatan kontekstual di


kelas VIIIE SMP Negeri 3 Gamping dilakukan dengan langkah-langkah,
yaitu: (1) pendahuluan, dengan mengajukan masalah (soal) yang riil bagi
siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkah pengetahuannya (masalah
kontekstual) sehingga siswa segera terlibat dalam pembelajaran secara
bermakna; (2) pengembangan, siswa mengembangkan atau menciptakan
model-model matematis simbolik secara informal terhadap persoalan atau
maslah yang diajukan; (3) penutup/penerapan, melakukan refleksi terhadap
setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran. Tujuh
komponen utama pembelajaran dengan pendekatan kontekstual tersebut
adalah: Kontruktivisme (Contructivism), Menemukan (inquiry), Bertanya
(Questioning), Masyarakat belajar (Learning community), Pemodelan
(Modeling), Refleksi (reflection), Penilaian yang sebenarnya (Authentic
assessment).
Ada peningkatkan prestasi belajar siswa kelas VIIIE SMP Negeri 3
Gamping setelah mengikuti pembelajaran matematika melalui pendekatan
kontekstual sehingga diperoleh hasil belajar yang optimal.
Ada respons positif dari siswa kelas VIIIE SMP Negeri 3 Gamping setelah
mengikuti pembelajaran matematika melalui pendekatan kontekstual.

2.

3.

Anda mungkin juga menyukai