Anda di halaman 1dari 13

Proceeding

1st ICTOH 2014


Indonesian Conference on Tobacco or Health 2014
Tobacco Control: Saves Lives, Saves Money
Penyunting : Tobacco Control Support Center

ISBN:
Diterbitkan pertama kali oleh
Panitia The 1st Indonesian Conference on Tobacco or Health
Jalan Benda 4 No.25 Panglima Polim Jakarta Selatan
http://ictoh.tcsc-indonesia.org/
Jakarta, November 2014

Lengkap]....175
Guru Sekolah Dasar di Kota Semarang terhadap Penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR)
di Lingkungan Sekolah. Bagoes Widjanarko, Abdun Mufidz, Novia Handayani, Ana K.
Ummah1, Wahyuni Arumsari, dan Dewi F. Wisudawati......184

Evaluasi Iimplementasi Perda Kota Surabaya No. 5 Tahun 2008 Tentang KTR dan KTM
Pada Tahun 2013 di Fasilitas Kesehatan. Kurnia D Artanti, Kusuma S Lestari, dan Santi
Martini
[Makalah
Lengkap]190
Konstruksi Sosial Hak Merokok dan Hak Udara Bersih: Studi Kasus Pemanfaatan Smoking
Area di Kota Surabaya. Arief Priyo Nugroho, Irfan Ardani, dan Diyan Ermawan Effendi
[Makalah
Lengkap].195
Analisis Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2009 Kota
Palembang Pada Sarana Transportasi Uumum Kota Palembang. Rizma Adlia Syakurah
[Makalah
Lengkap].................205
Pelarangan iklan rokok di Kota Bogor. Dewi Sitoresmi213
Tinjauan Pelaksanaan Perda Nomor 12 Tahun 2009 di Kota Bogor. Acep
Suhaemi214
Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku merokok siswa-siswi SMK Tunas
Grafika Informatika, Petukangan, Jakarta Selatan tahun 2013.
Kartika Oktavia, Dwi Joko, dan Eflita Meiyetriani, Apriningsih...217
Determinan Perilaku Merokok di Kalangan Remaja. Rifqi A. Fattah, Dwidjo Susilo, dan
Sugiatmi..219
Persepsi Pengunjung Terhadap Efektivitas Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok di Stasiun kereta Api Manggarai, Jakarta Tahun 2014.Apriningsih, dan Eflita
Meiyetriani
[Makalah
Lengkap]
220
Urinary Cotinine Concentrations in Non-Smoking Women Exposed to Environmental
Tobacco Smoke at Home in Pasar Rebo Area, Jakarta ( Pre-Eliminary Report). Herman
Suryatama, Feni Fitriani, Sita andriani, Agus Dwi Susanto, Achmad Hudoyo.225
Profile Mapping of Cigarette Advertisement and Promotion Activities Impact on Childern
Up To 10 Years Old in The District of Bantul and Sleman and Yogyakarta Municipality.
Mutia Hariati Hussin, Nanik Prasetyoningsih, Tri Hastuti Nur Rochimah,
dkk.226

xii

Prosiding The 1st Indonesian Conference on Tobacco or Health (ICTOH) 2014

KONSTRUKSI SOSIAL HAK MEROKOK DAN HAK UDARA


BERSIH: STUDI KASUS PEMANFAATAN SMOKING AREA DI
KOTA SURABAYA
Arief Priyo Nugroho1 , Irfan Ardani2, Diyan Ermawan Effendi3
Humaniora Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Jl. Indrapura
17, Surabaya, Email: ariefhobia@litbang.depkes.go.id
2Pusat Humaniora Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Jl. Percetakan
Negara 23a, Jakarta, Email: ardhani.irfan@gmail.com
3Pusat Humaniora Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Jl. Indrapura
17, Surabaya, Email: diyan.effendi@gmail.com
Abstrak
Upaya pembatasan perilaku merokok oleh Dinkes Provinsi Jawa Timur, melalui
kebijakan pembangunan smoking area tidak terlalu efektif untuk membatasi perilaku
merokok. Dalam studi kasus atas pemanfaatan smoking area di Surabaya yang
dilakukan pada tahun 2012 ditemukan adanya konstruksi sosial yang membentuk
realitas sosial penolakan keberadaan smoking area sebagai pembatasan perilaku
merokok. Kebiasaan dan pengetahuan dari masyarakat yang merupakan perokok aktif
maupun pasif tidak afirmatif terhadap kebijakan Pemprov. Jawa Timur. Hal ini
dikarenakan kebiasaan dan pengetahuan yang ada telah mengkonstruksi pemahaman
masyarakat atas hak merokok dibanding hak udara bersih. Kondisi ini terjadi karena
adanya institusionalisasi dan internalisasi kebiasaan dan pengetahuan atas konsepsi
hak merokok dibanding hak udara bersih melalui institusi sosial, yaitu lingkungan serta
keluarga. Dua institusi sosial tersebutlah yang berperan besar dalam membangun
kebiasaan dan pengetahuan seseorang. Oleh karena itu upaya melakukan kebijakan
affirmatif mendukung kebijakan pembatasan perilaku merokok perlu adanya social
engginering dalam mengubah konstruksi yang terbangun dari institusi sosial terkecil,
yaitu keluarga. Melalui keluarga pengawasan dan pembatasan perilaku merokok
menjadi sangat efektif untuk mendukung kebijakan pembatasan perilaku merokok.
Kata kunci: Konstruksi sosial, perilaku merokok, institusi sosial
1Pusat

1. PENDAHULUAN
Di Indonesia, rokok dan kegiatan
merokok seolah telah menjadi bagian
dari keseharian. Dari sisi historis, rokok
memiliki sejarah yang cukup panjang.
Tembakau sebagai bahan bakunya
merupakan tanaman yang dibawa oleh
bangsa barat bahkan sebelum masa
penjajahan, yang kemudian berkembang
dengan munculnya kretek di kudus,
yang oleh pihak pro tembakau
dipercaya berguna untuk mengurangi
sesak nafas akibat asma. Dalam
perjalanannya, melekat pula aspek
maskulinitas dan modernitas pada
kretek yang terbawa masa masa
kolonial
(Arnez:
2009).
Begitu

panjangnya sejarah bermulanya rokok


di Indonesia menunjukkan bagaimana
rokok telah menjadi bagian tak
terpisahkan dari masyarakat. Bahkan
dibeberapa kesempatan dalam wacanawacana sosial dikatakan bahwa kretek
juga
merupakan
produk
dari
kebudayaan masyarakat Indonesia.
Meskipun anggapan tersebut masih
menjadi perdebatan antara pihak-pihak
yang pro dan kontra. Effendi et al.
(2014) mengulas bahwa konsepsi
kretek sebagai budaya asli nusantara
merupakan propaganda produsen rokok
dan pihak-pihak yang pro terhadapnya
melalui diskursus sosial yang dikemas
dengan sangat apik. Budaya merokok
adalah budaya impor yang berasal dari
196

Prosiding The 1st Indonesian Conference on Tobacco or Health (ICTOH) 2014


daratan
Amerika.
Bermula
dari
kebiasaan pria-pria dewasa suku Indian
yang menghisap tembakau dalam ritualritual tertentu yang kemudian dibawa
dan disebarluaskan oleh pedagang
Eropa keseluruh dunia. Faktanya adalah
Indonesia tidak mengenal budaya
mengkonsumsi dedaunan dengan cara
dibakar dan dihisap asapnya, di
Indonesia dedaunan lazim dinikmati
dengan cara dikunyah, salah satunya
adalah sirih atau menyirih (ibid).
Kendati demikian, dengan sumbangan
devisa yang tidak sedikit, rokok menjadi
suatu komoditas yang begitu kuat
pengaruhnya, baik secara sosial, politik
maupun ekonomi.
Telah mengakarnya rokok dalam
masyarakat membuat ia tak akan
mudah
dibatasi.
Upaya-upaya
pemerintah untuk membatasi ruang
gerak rokok dengan berbagai kebijakan
juga tidak efektif. Salah satu kebijakan
itu adalah tentang kebijakan kawasan
tanpa rokok dan kawasan terbatas
merokok. Kebijakan tersebut kemudian
diterjemahkan oleh Dinas Kesehatan
Provinsi
jawa
timur
dalam
pelaksanaanya melalui pembangunan
smoking area. Tujuan awal dari
pembentukan smoking area adalah
untuk membatasi perilaku merokok
masyarakat ditempat umum guna
melindungi masyarakat luas atas bahaya
asap rokok. Mencoba untuk membatasi
kebiasaan merokok yang masih mahfum
terjadi di sarana publik seperti terminal
atau stasiun. Upaya pembatasan
perilaku merokok ini pun tak mendapat
respon yang bagus. Smoking area yang
telah dibangun hanya sekedar menjadi
penghias tanpa dimanfaatkan maksimal.
Menurut Effendi et al. (2014),
tidak maksimalnya upaya pemerintah
dalam
mengendalikan
produksi,
distribusi dan konsumsi tembakau
dikarenakan upaya yang dilakukan
masih terpaku pada pendekatan
normative yang mengunakan legal

product sebagai senjata utama. Sifatsifat produk hukum yang kaku,


mengikat dan disertai dengan sanksisanksi
sehingga
terkesan
tidak
bersahabat secara tidak langsung
menimbulkan
penolakan
dari
masyarakat dan ketidakrelaan dalam
pelaksanaannya (ibid). Dilihat dari sudut
pandang konstruksi sosial, kebiasaan
merokok telah lama ada menjadi satu
realitas sosial yang dikonstruksi oleh
masyarakat itu sendiri. Berger dan
Luckman (1966) menjelaskan bahwa
memang suatu realitas sosial itu
terbentuk atas kontruksi yang dibangun
melalui kebiasaan dan pengetahuan
masyarakatnya. Realitas sosial tersebut
kemudian membentuk suatu kriteria
pemaknaan atas hak. Dalam hal ini,
mendefinisikan
subyek,
substansi,
landasan dan tujuan dari hak merokok
dalam masyarakat.
Permasalahan rokok di Indonesia
masih pada area abu-abu, masih sering
diperdebatkan
manfaat
dan
kerugiannya. Dalam konteks pemaknaan
rokok yang berbeda inilah yang
membuat
kebijakan
pembatasan
perilaku
merokok
tak
berjalan
maksimal.
Kebijakan
pembatasan
aktivitas merokok hanya berdasar atas
asumsi kesehatan tanpa mengindahkan
secara signifikan realitas sosial yang ada
dalam masyarakat. Realitas sosial yang
membuat masih lebarnya ranah samar
dalam pemakanaan hak perokok dan
hak bagi non-perokok. Perbedaan
pemaknaan hak dari sudut pandang
konstruksi sosial Berger dan Luckman
inilah yang akan menjadi perhatian
penulis dalam makalah ini.
2. METODE
Untuk melacak kontruksi sosial
dalam masyarakat atas dualisme hak
dalam
memandang
rokok
di
masyarakat,
penulis
mencoba
197

Prosiding The 1st Indonesian Conference on Tobacco or Health (ICTOH) 2014


menjelaskannya melalui studi kasus
mengenai pemanfaatan smoking area di
Surabaya. Tulisan ini akan mencoba
menjawab
pertanyaan,
bagaimana
konstruksi sosial pemaknaan hak atas
perokok maupun hak non perokok
terhadap kebijakan smoking area di
Surabaya. Teori Berger dan Luckman
(1966) atas kontruksi sosial digunakan
untuk menjelaskan bahwa pada suatu
kenyataan sosial terdapat dialektika
yang
terjadi
dengan
proses
eksternalisasi,
obyektivikasi
dan
internalisasi
dalam
masyarakat
sehingga membentuk suatu realitas
sosial.
Dialektika atas ketiga tahapan
tersebut digunakan untuk memahami
realitas sosial atas subyek, substansi,
landasan dan tujuan atas hak merokok
dan hak non perokok yang telah lama
terbangun dalam masyarakat sebagai
penyebab respon penolakan terhadap
kebijakan
smoking
area.
Untuk
mendalami ketiga proses dialektika
yang mempengaruhi konstruksi sosial di
masyarakat
dilakukan
wawancara
mendalam kepada pengelola smoking
area dan masyarakat yang beraktivitas
disekitar
smoking
area.
Upaya
triangulasi data dilakukan melalui
pengamatan langsung secara acak
selama dua kali seminggu dalam waktu
dua bulan untuk melihat pola
pemanfaatan smoking area.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Institusionalisasi
3.1.1. Endapan Pengetahuan dan
Legitimasi Perilaku merokok
Pengetahuan masyarakat tentang
rokok dan akibatnya sejatinya tidak
pernah sama. Banyak versi dari
pengetahuan yang dipercaya benar oleh
masyarakat. Hal ini terlihat dalam
pendapat masyarakat atas keberadaan
smoking area dan perilaku merokok.
Ada sebagian besar yang menganggap
rokok sebagai sebuah perilaku yang

tidak merugikan siapapun, bahkan bagi


para perokok itu sendiri.
merokok ya sah-sah saja, itu kan hak
mereka. Kalo menegur, ya kan mereka
sendiri yang merasakan akibatnya non
perokok, pengunjung terminal Purabaya

Pada cuplikan argumentasi yang


diajukan oleh narasumber terlihat
bahwa sekalipun bukanlah perokok, ia
tidak mengetahui bahaya kesehatan
menjadi
perokok
pasif.
Mereka
menganggap bahwa merokok adalah
hak dari setiap individu dan tidak
berakibat langsung pada dirinya. Dalam
kondisi ini terlihat bahwa ada sebuah
konsepsi yang terbangun atas hak yang
berbeda. Perokok pasif melihat bahwa
ada sebuah hak dari para perokok
dikarenakan minimnya pengetahuan
atas bahaya sebagai perokok pasif, dia
tidak
memasukkan
pertimbangan
bahwa dalam hak yang ia anggap
sebagai hak para perokok aktif tidak
bersinggungan hak mereka sendiri.
Tabel 1. Matriks pengetahuan merokok

Kategori
Perokok
Aktif
Pasif

Pengetahuan Dampak
Merokok
Tahu
Tidak tahu
Tipe 1
Tipe 2
Tipe 3
Tipe 4

Sebagian perokok pasif telah


memiliki informasi dan pengetahuan
memadai atas bahaya perilaku merokok
dalam lingkungannya. Meski tidak
sedikit pula perokok pasif yang tidak
memeliki pengetahuan yang mencukupi
tentang
bahaya
rokok
dalam
lingkungannya.
Pengetahuan
atas
bahaya perilaku merokok bagi perokok
pasif maupun aktif memang seringkali
tidak menjadi dasar atas tindakan yang
dilakukan. Dalam hal ini pengetahuan
yang mencukupi atas bahaya merokok
belum tentu berbanding positif dengan
kesadaran perilaku hidup sehat tanpa
rokok. Para perokok pasif yang sadar
198

Prosiding The 1st Indonesian Conference on Tobacco or Health (ICTOH) 2014


akan permasalahan kesehatan yang
diakibatkan rokok seringkali juga tidak
mengindahkan
perilaku
merokok.
Begitu juga dengan para perokok aktif
dengan
pengetahuan
mencukupi
mengenai akibat perilaku merokok
belum tentu mampu mengurangi
kebiasaan merokoknya.
sekarang sampeyan bayangkan saja.
Makanya kadang-kadang anak saya
minta sesuatu, saya tidak bisa memberi.
Kadang saya berpikir, saya kalau
merokok habis berapa tiap hari, kalau
dikalikan sebulan berapa. Ada merasa
bersalah menolak permintaan anak yang
sebenarnya tidak seberapa. Padahal saya
tahu merokok itu menganggu kesehatan,
membuang uang. Saya menyadari itu
perokok, pegawai dinas provinsi Jawa
Timur

Adanya bentang pengetahuan


yang beragam membuat adanya
pemaknaan
yang
berbeda
dari
masyarakat dalam memandang perilaku
merokok dan akibat yang ditimbulkan.
Hal ini dikarenakan pengetahuan yang
didapat masih dipengaruhi oleh variasi
faktor afeksi dan konasi. Faktor afeksi
dan konasi inilah yang lebih mendorong
suatu pengetahuan mampu menjadi
sebuah dasar atas perilaku seorang
individu. Dalam bentang hubungan
perilaku dan pengetahuan ini menjadi
tidak mengherankan dalam titik
tertentu terdapati fakta bahwa tingkat
pengetahuan terkini atas bahaya
merokok menjadi tidak berkorelasi
secara positif dengan perilaku merokok
secara signifikan (Nugroho et al., 2012).
Perilaku merokok menjadi tidak terlalu
memiliki hubungan yang kuat dengan
pengetahuan yang dimiliki seseorang
atas merokok dikarenakan alphanya
afeksi dan konasi-nya. Dimana aspek
tersebutlah yang menjadikan sebuah
pengetahuan menjadi dasar perilaku.
Hal
ini
memperlihatkan
adanya
pengukuhan pengetahuan lama yang
telah ter-institusionalkan dengan begitu

baik, yaitu pengetahuan bahwa perilaku


merokok tidak memiliki dampak yang
signifikan terhadap perokok aktif
maupun pasif. Pengetahuan lama yang
telah ada menjadikan pengetahuan atas
bahaya merokok yang relatif baru
didapat
menjadi
tidak
begitu
berpengaruh atas perilaku masyarakat
itu sendiri. Fenomena ini dalam
kacamata Berger dan Luckman (1966:
47-92) adalah proses pembiasaan yang
telah menjadi tradisi.
Pembiasaan yang menjadi tradisi
disebabkan adanya pengukuhan yang
dilakukan oleh masyarakat itu sendiri.
Pengukuhan tersebut menjadi sebuah
legitimasi dan pembenaran tersendiri
atas perilaku merokok. Legitimasi
perilaku merokok di Indonesia secara
kultural juga memiliki sejarah yang
cukup
panjang.
Berdasar
atas
pengetahuan lama yang ada, legitimasi
tersebut dalam aplikasi kesehariannya
terlihat ada ketika para parokok pasif
mempersilahkan perilaku merokok.
Perilaku para perokok pasif yang tidak
menghiraukan
perilaku
merokok
disekitarnya adalah bentuk persetujuan
bagi para perokok aktif.
agak risih, tapi biarin aja. Kalo enggak
betah ya tinggal aja. Biasanya kan masmas dan bapak bapak, jadi takut
Pengunjung terminal Purabaya non
perokok

Legitimasi perilaku merokok juga


datang pada sisi yang lebih luas. Pada
kajian Margana et al. (2014) merokok
merupakan komoditas perdagangan
bukan hanya memiliki nilai ekonomis
tetapi juga nilai sosial, politik dan
budaya yang cukup mengakar di
Indonesia. Beragamnya aspek nilai yang
dimiliki menempatkan rokok sebagai
komoditas dengan pengaruh besar
dalam kehidupan masyarakat. Rokok
dan perilaku konsumsinya tak bisa
dengan mudah dibatasi atau bahkan
disubtitusikan
dengan
komiditas
lainnya.
199

Prosiding The 1st Indonesian Conference on Tobacco or Health (ICTOH) 2014


Rentang pengetahuan tentang
perilaku
merokok
sejak
awal
tumbuhnya telah membuat suatu
bentukan yang sulit diubah. Ini
dikarenakan perilaku merokok yang
telah
lama
mengendap
sebagai
pengetahuan lama dan memperoleh
legitimasi dari masyarakat (perokok
aktif maupun perokok pasif). Konteks
inilah yang kemudian menjelaskan
bahwa keberadaan smoking area tidak
begitu dimanfaatkan. Masyarakat, baik
itu perokok aktif maupun pasif, merasa
tidak mendapat manfaat langsung dari
keberadaannya.
Konsepsi
yang
terbangun adalah merokok masih
merupakan perilaku yang tidak dibatasi.
Konsepsi tersebut berdasar atas
pengetahuan lama dan legitimasi
dalam perilaku merokok di masyarakat.
Sikap masyarakat yang permisif
terhadap perilaku merokok menjadikan
smoking area dan fungsi yang
diharapkan menjadi vis a vis dengan
konteks yang masih terpatri dalam
masyarakat. Smoking area lantas bisa
diibaratkan sebagai pengusung konsepsi
baru ke masyarakat tentang adanya
kepentingan untuk membatasi perilaku
merokok dengan isu kesehatan yang
dibawa. Konsepsi baru yang dibawa
dengan sudut pandang kesehatan tidak
mudah diterima karena yang dihadapi
adalah perilaku berlatar pengetahuan
dan terlegitimasi di masyarakat sejak
lama.
3.1.2. Keluarga dan Lingkungan
Keluarga merupakan institusi
sosial terkecil dalam masyarakat,
disinilah proses sosialisasi dari suatu
individu dimulai. Proses sosialisasi
adalah awal bagaimana individu mulai
berperilaku dan merespon lingkungan
sosialnya. Pada permasalahan perilaku
merokok, keluarga juga menjadi pijakan
awal dari setiap individu dalam
memandang perilaku merokok. Peran
keluarga cukup besar atas perilaku

merokok remaja. Remaja yang orang


tuanya memiliki perilaku sebagai
perokok
aktif
mempunyai
kecenderungan untuk menirunya. Disini
terlihat bahwa keluarga sebagai
instistusi sosial dimana sosialisasi
dimulai, memiliki peran yang cukup
penting
dalam
pembentukan
karakteristik preferensi pada perilaku
merokok.
Temuan atas pengaruh keluarga
dalam perilaku merokok remaja
tersebut menjadi menarik disandingkan
dengan temuan bahwa keluarga,
terutama
orang
terdekat,
juga
merupakan agen potensial sebagai
pencegahan perilaku merokok. Dalam
pemanfaatan smoking area di Surabaya,
terlihat bahwa hanya orang-orang
terdekat yang berani menegur seorang
perokok.
kalo pas dirumah berani negur. Kalo
bapak merokok ya berani menegur.
Pengunjung terminal Purabaya non
perokok

Saat mereka berada di ruang publik


dimana relatif orang yang ditemui tidak
dikenali, ada keengganan menegur para
perokok aktif yang sembarangan dan
tidak pada tempat yang disediakan.
Disini tergambar bahwa faktor keluarga
memainkan peran penting membentuk
respon masyarakat atas perilaku
merokok. Disamping peran keluarga,
perilaku merokok juga dipengaruhi oleh
lingkungan, yang merupakan tahapan
sosialisasi berikutnya bagi seorang
individu. Hal ini terlihat pada perilaku
merokok di ruang publik berdasarkan
kebiasaan yang telah mereka cerna
dalam proses sosialisasi dalam hidup
mereka.
ya tergantung kalo yang disamping ibuibu ya ndak ngerokok, tapi kalo orang
laki-laki ya biasa. Ibu-ibu kan biasanya
bau asapnya mengganggu narasumber
di Terminal Purabaya

200

Prosiding The 1st Indonesian Conference on Tobacco or Health (ICTOH) 2014


Konsepsi yang telah mereka dapatkan
dari lingkungannya menjadi dasar atas
perilaku perokok aktif dalam merokok
di tempat publik. Konsepsi pengetahuan
dari keluarga dan lingkungan menjadi
sebuah dasar institusionalisasi dari
perilaku merokok yang memang lebih
cenderung permisif. Pada tataran
tertentu memang ditemukan bahwa
keluarga memiliki potensi menjadi agen
pembatasan perilaku merokok, namun
hal ini masih harus berhadapan dengan
legitimasi atas pengetahuan yang telah
lama ada dalam masyarakat serta lebih
cenderung berdampak positif pada
perilaku merokok.
3.1.3. Subyek dan Substansi Hak
Perokok dan Non Perokok

Ada dua sudut pandang yang


berbeda dalam melihat perilaku
merokok dan smoking area. Pertama
berdasarkan sudut pandang para
perokok pasif sedangkan yang kedua
berdasarkan sudut pandangan para
perokok aktif. Perbedaan sudut pandang
ini yang mendasari adanya perbedaan
pemaknaan atas hak dari sisi subyek
hak-nya maupun dari sisi substansi hak.
Pada konteks pertama, yaitu dalam
sudut pandang para perokok pasif,
udara bersih merupakan hak dalam
kesehariannya. Pada konteks kedua
terjadi sebaliknya, bahwa para perokok
aktif menganggap rokok merupakan hak
individu yang tidak bisa dengan
mudahnya diatur. Hal ini menjurus pada
pandangan hak yang liberal dimana
setiap individu memiliki otonomitas
dalam
melakukan
hak,
tanpa
memandang eksternalitas dari hak
tersebut.
Tabel 2. Matriks perdebatan hak merokok

Subyek Hak
Perokok Pasif
Perokok Aktif

Susbtansi
Hak
Udara bersih
Merokok

Obyek
Rokok
Rokok

Perbedaan
level
dalam
perdebatan subyek hak dan substansi
yang dibawanya menjadi titik awal
penjelasan tidak pernah memperoleh
kesepahaman. Pada konteks perilaku
merokok dan hubungannya dengan
pemanfaatan smoking area, dua hal
tersebut memiliki pembenaran masingmasing yang sama kuat. namun
konsepsi atas subyek dan substansi hak
dari para perokok aktif sudah relatif
lama berkembang di masyarakat.
Pengetahuan umum di masyarakat lebih
mendukung substansi hak dalam
perilaku
merokok
dan
telah
terlegitimasi dengan pola interaksi
antara perokok aktif dan pasif yang
telah lama terjalin.
agak-agak risih tapi ya biarin aja.
Biasanya ditinggal pergi kalo udah benarbenar tidak betah ya ditinggal pergi,
tidak berani menegur soalnya kan
biasanya mas-mas, bapak-bapak, ya tidak
berani
narasumber
seorang
perempuan non-perokok di Terminal
Purabaya.

3.2.
Internalisasi
3.2.1. Atribut hak Kebijakan Smoking
Area

Realitas bahwa rokok adalah


bagian dari kehidupan sehari-hari
masyarakat di Indonesia tidak datang
begitu
saja.
Ia
dibentuk
atas
pengetahuan yang dimiliki masyarakat
sejak awal dia berkembang dalam suatu
tatanan
masyarakat.
Pengetahuan
ditanamkan secara perlahan dan
distribusikan
kepada
masyarakat
(Schutz dalam Berger & Luckman:
1966).
Distribusi
pengetahuan
dilakukan
melalui
lingkungan
keseharian, lingkungan kerja, keluarga,
sekolah. Sehingga pengetahuan tentang
tembakau mulai terdistribusi sejak
mulai populernya produk olahan dari
bahan
tersebut.
Menjadi
tidak
mengherankan jika di Indonesia,
pengetahuan yang ada sejak lama itu
201

Prosiding The 1st Indonesian Conference on Tobacco or Health (ICTOH) 2014


hingga kini telah membuat orang
terbiasa atas kebiasaan merokok tanpa
ada
upaya
pembatasan.
Dalam
kehidupan
sehari-hari,
terutama
ditempat
umum,
masyarakat
di
Surabaya
memperlihatkan
bahwa
memang merokok masih merupakan
suatu perilaku biasa yang tak memiliki
dampak apapun. Sikap permisif dan
menempatkan rokok bukanlah hal yang
berbahaya disebabkan kebiasaan atas
merokok telah ia dapat selama
hidupnya, dari kecil sampai dewasa. Hal
ini menyerupai apa yang dikatakan
Parsons (1991); Berger (1963) sebagai
suatu
tahapan
sosialisasi
dan
internalisasi sebuah orientasi nilai yang
ada dalam masyarakat kepada individu.
Pendapat
masyarakat
ini
memperlihatkan
bahwa
selain
menyiratkan bahwa merokok adalah
sebuah hak, juga memberi makna pada
sebuah sebuah keengganan untuk
bertindak dari luar kebiasaanya selama
ini
yang
tidak
terlalu
mempermasalahkan perilaku merokok
sembarangan. Sekalipun mungkin orang
bersangkutan tidak merokok, aktivitas
merokok yang terjadi dimana ia berada
merupakan sebuah hal yang tidak bisa
ditolak.
Struktur dalam hak: subyek,
substansi, landasan dan tujuan dari hak
itu sendiri (Shapiro, 2006: 15). Parsons
(1991)
tentang
sosialisasi
dan
internalisasi
nilai
dalam
suatu
masyarakat terhadap individu yang
merupakan bagian dari masyarakat itu
sendiri. Upaya kampaye tentang sisi
negatif rokok menjadi sia-sia, karena
ia
berhadapan
dengan
sebuah
konstruksi positif rokok yang telah
ter-internalisasi dan didapat sejak
lingkungan inti (keluarga) hingga
lingkungan sosialnya. Salah satu contoh
konstruksi
positif
rokok
pada
lingkungan sosial yang mendukung
sikap permisif masyarakat terhadap
kebiasaan
merokok
sebagaimana

dikemukakan oleh Effendi et al. (2014)


adalah rokok sebagai sebuah media
pergaulan. Dikalangan para perokok
aktif, sebuah obrolan seringkali diawali
dengan menawarkan rokok, terutama
bagi orang yang baru dikenal. Sikap
menawarkan rokok ini, suka tidak suka
telah menjadi suatu kebiasaan yang
dianggap bersahabat, dan para
pelakunya lebih dikenal sebagai social
smoker. Sementara bagi para perokok
pasif atau orang-orang yang bukan
perokok, rokok juga merupakan sarana
pergaulan. Mereka dengan secara sadar
dan rela menghirup asap rokok yang
dihembuskan oleh teman-teman di
dekatnya yang merupakan perokok
aktif, karena dengan demikian salah
satu halangan dalam komunikasi yaitu
rokok dianggap bukan lagi sebagai
penghalang (Ibid).
3.2.2. Whose right is right?

Kebanyakan masyarakat non


perokok, masih belum secara tegas
bersikap bahwa rokok melanggar hak
mereka. Mereka masih tidak merasa ada
kerugian atas udara bersih. Konstruksi
sosial yang telah lama dibangkitkan dari
lingkungan,
membuat
masyarakat
menempatkan
perokok
sebagai
sekelompok orang yang memiliki "hak"
yang tidak dapat dibatasi. Meskipun
dalam beberapa kasus non-perokok
merasa terganggu, mereka menganggap
hal itu sebagai sesuatu yang sangat
lumrah.
Kebiasaan ini didasari pada
paradigma lama yang menganggap
bahwa merokok adalah urusan privat
setiap orang. Jika ada akibat buruk dari
aktivitas merokok maka hanya akan
dialami oleh perokok itu sendiri,
sehingga pengendaliannya diserahkan
kepada kebijakan moderat masingmasing individu (Goodin; 1989). Rokok
telah demikian lama dianggap sebagai
sesuatu yang hanya perlu dikontrol oleh
tatanan sosial, dan tidak cocok untuk
202

Prosiding The 1st Indonesian Conference on Tobacco or Health (ICTOH) 2014


mendapatkan sanksi yang lebih serius,
misalnya sanksi hukum.
Kontroversi mengenai merokok
mulai muncul saat paradigma lama
tersebut mulai ditentang. Merokok tidak
lagi dianggap urusan privat yang hanya
merugikan perokok sendiri. Banyak
hasil penelitian yang menyatakan
bahwa rokok juga berakibat buruk pada
non perokok yang menghisap asap
rokok. Pada orang dewasa, perokok
pasif menyebabkan penyakit jantung
dan penyakit pernapasan yang serius,
termasuk penyakit jantung koroner dan
kanker paru-paru. Pada bayi, hal itu
menyebabkan kematian mendadak.
Pada wanita hamil, hal itu menyebabkan
berat badan lahir rendah (WHO: 2012)
Aspek bahaya bagi kesehatan
bahkan ancaman kematian tidak benarbenar membuat merokok menjadi hal
yang dilarang. Selain efek yang
ditimbulkan dari rokok tidak dirasakan
langsung dalam jangka waktu pendek,
rokok juga secara fisik menimbulkan
sifat adiktif sehingga sulit bagi perokok
untuk
menghentikan
kebiasaan
merokoknya.
Upaya pembatasan merokok
bukan tidak dilakukan, tetapi aspek
penegakannya masih setengah hati. UU
No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
telah memasukkan tembakau dan
produk olahannya termasuk
rokok
sebagai bahan adiktif yang berbahaya
bagi kesehatan manusia. Peraturan
turunan dari undang-undang tersebut
juga lebih rinci mengatur pembatasan
dan larangan merokok terutama di
tempat umum. Pemerintah Provinsi
Jawa Timur menerapkannya dengan
membuat kebijakan smoking area. Akan
tetapi saat ini masyarakat non perokok
masih harus berbagi ruang dengan para
perokok. Tempat-tempat umum belum
terbebas dari asap rokok. Udara bersih
yang terbebas dari asap rokok belum
menjadi hak yang perlu dilidungi secara
penuh. Secara bioetik (Beauchamp and

Childress, 1994) suatu hal dapat diklaim


sebagai hak apabila memenuhi syarat,
(1) menghormati otonomi orang lain,
(2) berbuat baik, (3) tidak merugikan
orang lain, dan (4) berkeadilan.
Menghormati otonomi didasarkan pada
prinsip menghormati hak orang lain,
dimana setiap orang mempunyai hak
untuk membuat pilihan hidupnya.
Prinsip berbuat baik dan tidak
merugikan mengandung pengertian
bahwa hal yang dilakukan menghormati
kepentingan orang lain dan tidak
merugikan.
Prinsip
keadilan
mengandung pengertian kepentingan
masing-masing pihak didistribusikan
secara adil (Erlanger Medical Ethict
Orintation Manual: 2000)
Dengan demikian, merokok di
tempat umum dapat dikatakan bukan
lagi sebagai hak ketika perilaku
merokok mereka berakibat buruk bagi
kesehatan dan kenyamanan orang lain.
Pilihan untuk merokok bertentangan
dengan hak non perokok untuk
menghirup udara bersih, bebas dari
asap rokok (Goodin; 1989).
Meski pada kenyataannya, dari
hasil observasi yang dilakukan, saat
melakukan kegiatan sehari-hari, hak
non perokok untuk menghirup udara
bersih belum menjadi dasar substansi
hak yang berlaku sepenuhnya di
masyarakat. Rendahnya respon atas
adanya smoking area memperlihatkan
hal tersebut. Konstruksi sosial dan
pengetahuan atas perilaku merokok
masih begitu kuat didominasi oleh
faktor kebisaan yang telah terbangun
sejak lama melalui konteks keluarga dan
lingkungannya. Konteks yang telah
terbangun sejak lama menjadi sebuah
kontruksi atas realitas sosial yang
permisif pada perilaku merokok. Upaya
untuk merubah realitas sosial tersebut
dengan konstruksi yang lebih baru
dengan upaya pembuatan smoking area
atau dengan pemberlakukan aturan
menjadi sebuah tantangan yang cukup
203

Prosiding The 1st Indonesian Conference on Tobacco or Health (ICTOH) 2014


berat. Di masyarakat masih ada area
perdebatan atas rokok apakah
berbahaya bagi kesehatan ataukah
tidak.
4. Smoking Area: A Social
Construction againts smokes?
Upaya yang telah dilakukan
Negara atas rokok dan perilaku
konsumsinya,
seperti
Pemerintah
Provinsi Jawa Timur memang belum
dirasakan sebagai upaya yang efektif.
Upaya mendirikan smoking area
merupakan sebuah upaya awal dari
suatu
upaya
eksternalisasi
atas
pembatasan perilaku merokok. Secara
substansi kebijakan upaya pembatasan
perilaku merokok dengan menggunakan
smoking area belum berpengaruh secara
signifikan. Para perokok yang menjadi
target kebijakan tersebut tak hirau atas
keberadaannya.
Keberadaan smoking area tetap
tak berpengaruh dalam urusan rokok
dan perilaku pemakaiannya. Faktanya,
perilaku merokok tetap tak bisa
dikendalikan dengan baik. Alih-alih
mengurangi perilaku merokok ditempat
umum, smoking area menjadi usang
tidak berguna. Keadaan ini dikarenakan
upaya pembatasan perilaku merokok
dalam pandangan masyarakat perokok
merupakan pembatasan hak mereka.
Hak yang mereka dasarkan atas
pengetahuan yang diperoleh dari
internalisasi
kebiasaan
di
lingkungannya selama bertahun-tahun.
Hak yang lebih cenderung berdasar
pertimbangan subyektif hak itu sendiri
dan
telah
ter-ekternalisasi
dan
dilegitimasi
melalui
proses
obyektivikasi dan internalisasi yang
cukup panjang dalam lingkungan
keseharian masyarakat itu sendiri.
Disisi yang berbeda, masyarakat
non-perokok juga belum merasa
kebiasaan merokok disekitar mereka
merupakan suatu pelanggaran atas hak
akan
udara
bersih.
Kurangnya

pemahaman
tersebut
dikarenakan
pengetahuan yang ia dapat dari
lingkungannya, tidak mendefinisikan
bebas dari asap rokok adalah sebuah
hak. Pengetahuan dan internalisasi
kebiasaan dari lingkungannya telah
mendefinisikan bahwa merokok adalah
sebuah kebiasaan yang tidak bisa
dilarang. Sekalipun pengetahuan secara
umum (terutama tentang kesehatan)
telah menunjukkan masyarakat non
perokok telah terganggu hak nya untuk
mendapat udara bersih. Rokok dan
perilaku konsumsinya yang telah
terkonstruksi
sedemikian
lama,
membuat ia telah menjadi suatu bagian
pula dari produk interaksi antar
sesamanya. Ia sudah tersosialisasikan
secara primer maupun sekunder
membentuk
realitas
sosial.
Menunjukkan realitas bahwa perokok
maupun non perokok, tidak benarbenar menempatkan rokok sebagai
pelanggaran hak atas masing-masing.
Negara yang dalam hal ini ingin
melakukan
eksternalisasi
dengan
mengadvokasi
masyarakat
untuk
mengubah perilakunya dalam merokok
terbentur kenyataan bahwa, realitas
yang terbangun dalam masyarakatnya
sendiri tidak menganggap apa yang
dibawa negara adalah penting. Jadilah
kebijakan-kebijakan
negara
dalam
upaya untuk membatasi ruang gerak
rokok dan perilaku konsumsinya
menemui jalan buntu. Karena kebijakan
yang dibuat tidak sekedar untuk
mengubah perilaku masyarakat yang
ada sekarang, tetapi juga proses
internalisasi atas konstruksi hak
merokok yang telah terlegitimasi sejak
lama. Bahkan sejak negara itu sendiri
belum resmi ada.
Jadilah kebijakan dalam upaya
membatasi perilaku merokok sebagai
sebuah upaya kontruksi baru menjadi
tidak
mudah
dilakukan.
Karena
kebijakan tersebut dihadapkan pada
konstruksi sosial yang telah lama
204

Prosiding The 1st Indonesian Conference on Tobacco or Health (ICTOH) 2014


terbangun. Jika mengikuti tahapan
dialektika yang diajukan Berger dan
Luckman (1966) upaya kebijakan yang
diwujudkan dengan adanya smoking
area masih berada pada tahapan sangat
awal dari upaya ekternalisasi. Oleh
karena itu upaya pembatasan perilaku
merokok perlu diintensifkan, sehingga
mampu mencapai tahapan obyektivikasi
dan internalisasi untuk mencapai
legitimasi atas pelarangan perilaku
merokok.
Daftar Pustaka
Peter L. 1978. Invitation to Sociology: A
Humanistic Perspective. USA: Penguin Books.
[2]Berger, Peter L & Luckman, Thomas. 1966. The
Social Construction of Reality: A Treatise in
The Sociology of Knowledge. USA: Penguin
Books.
[3]Beauchamp and Childress. 1994. Principles of
Biomedical Ethics, Fourth Edition. New York:
Oxford University Press Inc.
[4]Effendi, Diyan Ermawan et al. 2014. Diskursus
Tentang Rokok dalam Rachmat Hargono &
Agung Dwi Laksono Diskursus Rokok Dalam
Media Sosial Youtube. Yogyakarta: Kanisius.
[5]Parsons, Talcott. 1991. The Social System.
London: Routledge.
[1]Berger,

Ian. 2006. Evolusi Hak dalam Teori


Liberal. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
[7]Nugroho, Arief P et al. Pemanfaatan Fasilitas
Smoking Area SKPD di Jawa Timur. Penelitian
tahun 2012. (Laporan Penelitian, tidak
diterbitkan)
[8]The Tobacco Source Book: Data to Support a
National Tobacco Control Strategy. 2004
[10]Global Adault Tobacco Survey: Indonesia
Report 2011
[11]Fakta
Tembakau: Permasalahannya di
Indonesia Tahun 2010; Tobacco Control
Support Center-Ikatan Ahli Kesehatan
Masyarakat Indonesia.
[12]Goodin, Robert E. 1989. The Ethics of
Smoking. Ethics, vol. 99, no. 3, pp. 574-624,
http://www.jstor.org/stable/2380869
diakses: 27 Februari 2014
[13]World
Health
Organization.
2012.
http://www.who.int/mediacentre/factsheet
s/fs339/en/index.html diakses: Februari 20,
2013.
[14]Erlanger Medical Ethict Orintation Manual,
May
2000
https://www.utcomchatt.org/docs/biomede
thics.pdf diakses 27 Februari 2014
[15]Arnez, Monika. From Tobacco to Kretek: A
Succes Story about Cloves. zeitenblicke 8
(2009), Nr. 3.
www.zeitenblicke.de/2009/3/arnez/dippAr
ticle.pdf diakses: 12 Juni 2014
[6]Shapiro,

205

Anda mungkin juga menyukai