Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
A. Definisi Surveilans Gizi
Surveilans gizi adalah suatu proses pengumpulan, pengolahan dan diseminasi informasi
hasil pengolahan data secara terus menerus dan teratur tentang indikator yang terkait dengan
kinerja pembinaan gizi masyarakat.
B. Prinsip - prinsip dasar dalam surveilans gizi meliputi :
1. Tersedia data yang akurat dan tepat waktu
2. Ada proses analisis atau kajian data
3. Tersedianya informasi yang sistematis dan terus menerus
4. Ada proses penyebarluasan informasi, umpan balik dan pelaporan
5. Ada tindak lanjut sebagai respon terhadap perkembangan informasi
C. Manfaat
Kegiatan surveilans gizi bermanfaat untuk memberikan informasi pencapaian kinerja
dalam rangka pengambilan tindakan segera, perencanaan jangka pendek dan menengah serta
perumusan kebijakan, baik di kabupaten/kota, provinsi dan pusat. Selain itu kegiatan surveilans
gizi juga bermanfaat untuk mengevaluasi pencapaian kinerja pembinaan gizi masyarakat.
D. Tujuan
Tujuan Umum :
Terselenggaranya kegiatan surveilans gizi untuk memberikan gambaran perubahan
pencapaian kinerja pembinaan gizi masyarakat dan indikator khusus lain yang diperlukan secara
cepat, akurat, teratur dan berkelanjutan dalam rangka pengambilan tindakan segera, perencanaan
jangka pendek dan menengah serta perumusan kebijakan.

Tujuan Khusus
a. Tersedianya informasi secara cepat, akurat, teratur dan berkelanjutan mengenai perubahan
pencapaian kinerja pembinaan gizi :
1) Persentase balita gizi buruk yang mendapat perawatan
2) Persentase balita yang ditimbang berat badannya
3) Persentase bayi usia 0-6 bulan mendapat ASI Eksklusif
4) Persentase rumah tangga mengonsumsi garam beriodium
5) Persentase balita 6-59 bulan mendapat kapsul vitamin A
6) Persentase ibu hamil mendapat 90 tablet Fe
7) Persentase kabupaten/kota melaksanakan surveilans gizi
8) Persentase penyediaan bufferstock MP-ASI untuk daerah bencana.

b. Tersedianya informasi indikator gizi lainnya secara berkala jika diperlukan, seperti:
1) Prevalensi balita gizi kurang berdasarkan antropometri
2) Prevalensi status gizi anak usia sekolah, remaja dan dewasa
3) Prevalensi risiko Kurang Energi Kronis (KEK) pada Wanita Usia Subur ( WUS) dan ibu hamil
4) Prevalensi anemia gizi besi dan Gangguan Akibat Kurang Iodium (GAKI), Kurang Vitamin A
(KVA) dan masalah gizi mikro lainnya
5) Tingkat konsumsi zat gizi makro (energi dan protein) dan mikro (defisiensi zat besi, defisiensi
iodium)
6) Data pendistribusian Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI) dan Pemberian Makanan
Tambahan (PMT)

7) Data terkait lainnya yang diperlukan.

E. Ruang Lingkup
Ruang lingkup surveilans gizi meliputi kegiatan pengumpulan data dari laporan rutin atau
survei khusus, pengolahan dan diseminasi hasilnya yang digunakan sebagai dasar pengambilan
keputusan atau tindakan cepat, perumusan kebijakan, perencanaan kegiatan dan evaluasi hasil
kegiatan. Dalam petunjuk pelaksanaan ini ruang lingkup kegiatan surveilans gizi mencakup
pencapaian indikator kinerja kegiatan pembinaan gizi masyarakat dan data terkait lainnya di
seluruh kabupaten/kota dan provinsi.
F. Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah terkait kasus stunting pada pembahasan selanjutnya, ialah :

Mampu menjelaskan apa yang dimaksud dengan stunting dan ciri - cirinya
Mampu menjelaskan latar belakang terjadinya stunting
Mampu menjelaskan dampak negatif akibat terjadinya stunting
Mampu menjelaskan kelompok risiko tinggi yang terkena stunting
Mampu menjelaskan upaya pencegahan dan penanggulangan masalah stunting
Mampu menjelaskan metode pengobatan yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah
stunting

BAB II
Tinjauan Pustaka
Masalah gizi adalah masalah yang banyak dihadapi oleh negara-negara berkembang
termasuk Indonesia. Masalah gizi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang harus segera
ditanggulangi secara terpadu oleh berbagai sektor. Masalah-masalah gizi utama yang dihadapi
masyarakat adalah Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), Kekurangan Vitamin A
(KVA), Kurang Energi Protein (KEP), Anemia Gizi Besi.
Kurang Energi Protein (KEP) ialah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
keadaan yang diakibatkan oleh kurangnya zat gizi terutama defisiensi protein dan energi. KEP
sangat umum terjadi di seluruh dunia dan mempengaruhi sekitar 800 juta orang dewasa dan anak
- anak. Akan tetapi dampak yang terburuk terjadi pada anak - anak karena dengan menderita
KEP, berarti mereka mengalami kegagalan pertumbuhan. KEP dikenal dengan dua istilah yaitu
marasmus (kurang energi), kwashiorkor (kurang protein) dan marasmic kwashiorkor yang
merupakan gabungan dari keduanya dan lebih dikenal dengan istilah KEP.
A. Gambaran KEP di Indonesia
KEP banyak terjadi di negara berkembang, termasuk di Indonesia. Pada tahun 2005
diperkirakan prevalensi gizi kurang di Indonesia mencapai 5 juta anak. Sekitar 1,5 juta
diantaranya menderita gizi buruk. Dari jumlah anak yang menderita gizi buruk tersebut, 150.000
menderita KEP berat yang memerlukan perawatan medis. Masalah gizi kurang dan gizi buruk ini
terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia, bahkan cukup banyak yang mempunyai prevalensi
di atas 30%. Persentase ini menurut WHO masih sangat tinggi.
Secara umum, anak yang menderita KEP mempunyai ciri - ciri sebagai berikut :
- Mengalami kegagalan pertumbuhan
- Berat badan kurang dari seharusnya (Underweight)
- Tinggi badan kurang dari seharusnya (Stunted)

- Sangat kurus (severely wasted)


- Terjadi oedema pada tubuhnya
Tahapan terjadinya KEP dimulai ketika seorang anak mengalami kurang gizi
(undernutrition). Keadaan ini mengakibatkan anak mengalami gagal pertumbuhan dan ia
dikategorikan pada tahapan KEP sedang. Jika asupan zat gizinya tidak terpenuhi maka berat
badan anak akan makin turun dan berada pada -3rd dari simpangan baku standar berat badan
anak menurut WHO. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya marasmus atau kwashiorkor pada
anak yang artinya sudah masuk pada kategori KEP berat.
KEP sedang

Kurang Gizi
(Undernutrition)

Gagal tumbuh

KEP berat
Underweight
(BB< -3rd)
percentile

Marasmus

Kwashiorkor

Gambar I. Tahapan KEP


Untuk menentukan seorang anak menderita KEP atau tidak, digunakan pengukuran
antropometris yang didasarkan pada baku antropometris WHO-NCHS. Baku antropometri ini
didasarkan pada indikator tinggi badan dan berat badan serta menggunakan simpangan baku
sebagai penentu status gizi. Indikator yang digunakan adalah :
- BB/U, berat badan terhadap umur
- TB/U, tinggi badan terhadap umur

- BB/TB, berat badan terhadap tinggi badan


Indikator
BB/U

Simpangan Baku
2 SD

Status Gizi
Gizi lebih

-2 SD sampai +2 SD

Gizi baik

<-2 SD sampai -3 SD

Gizi kurang

TB/U

<-3 SD
-2 SD sampai +2 SD

Gizi buruk
Normal

BB/TB

<-2 SD
2 SD

Pendek (stunted)
Gemuk

- 2 SD sampai + 2 SD

Normal

<- 2 SD sampai -3 SD

Kurus

<- 3 SD

Sangat Kurus

Secara umum terjadinya KEP memberikan banyak dampak negatif, di antaranya tumbuh
kembang tidak seperti anak normal, anak kurang energi untuk melakukan aktifitas, dan
kekebalan tubuh untuk melawan penyakit infeksi makin berkurang serta anak nantinya memiliki
tubuh pendek (stunted) akibat jangka panjang.
B. Stunting
Status gizi berdasarkan indeks TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya
kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama. Misalnya: kemiskinan, perilaku hidup
tidak sehat, dan pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan yang
mengakibatkan anak menjadi pendek.
Prevalensi pendek secara nasional tahun 2013 adalah 37,2 persen, yang berarti terjadi
peningkatan dibandingkan tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%). Prevalensi pendek sebesar
37,2 persen terdiri dari 18,0 persen sangat pendek dan 19,2 persen pendek. Pada tahun 2013
prevalensi sangat pendek menunjukkan penurunan, dari 18,8 persen tahun 2007 dan 18,5 persen
tahun 2010. Prevalensi pendek meningkat dari 18,0 persen pada tahun 2007 menjadi 19,2
persen pada tahun 2013.

Terdapat 20 provinsi diatas prevalensi nasional dengan urutan dari prevalensi tertinggi
sampai terendah, yaitu:(1) Nusa Tenggara Timur, (2) Sulawesi Barat, (3) Nusa Tenggara Barat,
(4) Papua Barat, (5) Kalimantan Selatan, (6) Lampung, (7) Sulawesi Tenggara, (8) Sumatera
Utara, (9) Aceh, (10) Kalimantan Tengah, (11) Maluku Utara, (12) Sulawesi Tengah, (13)
Sulawesi Selatan, (14) Maluku, (15) Papua, (16) Bengkulu, (17) Sumatera Barat, (18) Gorontalo,
(19) Kalimantan Barat dan (20) Jambi.
Masalah kesehatan masyarakat dianggap berat bila prevalensi pendek sebesar 30 39
persen dan serius bila prevalensi pendek 40 persen (WHO 2010). Sebanyak 14 provinsi
termasuk kategori berat, dan sebanyak 15 provinsi termasuk kategori serius. Ke 15 provinsi
tersebut adalah: (1) Papua, (2) Maluku, (3) Sulawesi Selatan, (4) Maluku Utara, (5) Sulawesi
Tengah, (6) Kalimantan Tengah, (7) Aceh, (8) Sumatera Utara, (9) Sulawesi Tenggara, (10)
Lampung, (11) Kalimantan Selatan, (12) Papua Barat, (13) Nusa Tenggara Barat, (14) Sulawesi
Barat dan (15) Nusa Tenggara Timur.
Stunting adalah keadaan tubuh yang sangat pendek hingga melampaui defisit 2 standar
defiasi dibawah median panjang atau tinggi badan populasi yang menjadi referensi internasional.
Jadi yang dimaksud dengan stunting pada balita adalah balita yang memiliki tinggi badan
dibawah rata-rata dari standar dibandingkan dengan usia balita tersebut.
Stunting terjadi akibat kekurangan gizi berulang dalam waktu lama pada masa janin
hingga 2 tahun pertama kehidupan seorang anak. Masyarakat kita masih belum menyadari
masalah ini karena memang anak pendek umum terlihat di masyarakat sebagai anak-anak dengan
aktivitas yang normal, tidak seperti anak kurang gizi.
C. Kasus Stunting
1. Kasus Stunting di Dunia
a. Prevalensi
Seperti yang kita ketahui bahwa stunting adalah masalah kesehatan yang tidak boleh
dianggap remeh, dan apabila terjadi pada balita akan mempengaruhi perkembangannya.
Balita yang menderita stunting sering sekali tidak dapat dibedakan dari balita yang tidak
mengalami stunting, karena perbedaannya sangat tipis dan sering sekali tidak terlihat.

Stunting tidak hanya terjadi di Indonesia namun terjadi hampir di seluruh negara.
UNICEF menyebutkan jumlah balita yang telah menderita stunting pada tahun 2013
sebesar 161 juta anak. Menurut data jumlah kejadian stunting pada balita tahun 2013 telah
turun jika dibandingkan dengan tahun 2000, dari 33% menjadi 25%, dari 199 anak menjadi
161 anak. Stunting pada balita yang terjadi di tahun 2013, setengahnya didapatkan dari
kawasan Asia.
a. Trigger Level

Stunting merupakan masalah kesehatan masyarakat yang harus segera diatasi, karena
dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan terutama pada balita. Gambar diatas menyajikan
data prevalensi stunting pada balita. Prevalensi yang menjadi masalah kesehatan yang sangat
berat apabila prevalensi pendek sebesar 30-39 persen dan menjadi serius apabila prevelensi
40 persen (menurut WHO)
2. Stunting pada Balita di Indonesia
a. Prevalensi
Stunting pada balita di Indonesia juga memiliki angka lumayan serius yaitu pada tahun
2013 stunting pada balita mencapai 37,2 %, angka ini lebih tinggi daripada jumlah balita
penderita stunting pada tahun 2010 yang sebesar 35,6%. Kenaikan tingkat prevalensi di
Indonesia bisa disebabkan karena terjadinya peningkatan harga pada bahan pokok makanan,
sehingga menyulitkan para orangtua untuk memberikan makanan yang lebih bergizi kepada

anaknya. Selain karena kenaikan harga pada bahan pokok makanan juga kurangnya
pengetahuan yang dimiliki para orangtua. (Riskesdas, 2013)
b. Trigger Level
Berdasarkan Laporan Riskesdas 2013, prevalen pendek pada stunting balita secara
nasional adalah sebesar 37,2% yang berarti terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2010
(35.6%) dan 2007 (36.8%). Dalam laporan tersebut juga terdapat 14 provinsi yang termasuk
dalam kategori berat dan sebanyak 15 provinsi termasuk kategori serius. Ke 15 provinsi
tersebut adalah: (1) Papua, (2) Maluku, (3) Sulawesi Selatan, (4) Maluku Utara, (5) Sulawesi
Tengah, (6) Kalimantan Tengah, (7) Aceh, (8) Sumatera Utara, (9) Sulawesi Tenggara, (10)
Lampung, (11) Kalimantan Selatan, (12) Papua Barat, (13) Nusa Tenggara Barat, (14) Sulawesi
Barat dan (15) Nusa Tenggara Timur.
D. Kelompok Risiko Tinggi Terkena Stunting
Terdapat kelompok - kelompok risiko tinggi terhadap stunting. Kelompok risiko tinggi
tidak hanya meliputi balita saja tapi juga mencakup wanita hamil yang akan melahirkan seorang
anak nantinya. Kelompok - kelompok yang berisiko tinggi terhadap kejadian stunting di
antaranya :
1. Seorang anak yang kekurangan asupan gizi dan nutrisi di 1.000 hari pertama kehidupannya
(sejak dalam kandungan hingga usia dua tahun)
2. Ibu hamil yang terlambat ditangani, misalnya kekurangan energi kronis, maka anaknya secara
otomatis akan kekurangan energi kronis juga, sehingga berisiko lahir stunting
3. Wanita yang hamil terlalu dini
Hal ini disebabkan karena sang ibu yang berusia 15-19 tahun juga masih dalam masa
pertumbuhan, sehingga bisa terjadi saling berebut zat gizi antara si ibu dan bayi dalam
kandungannya.
F. Dampak Negatif Terhadap Kesehatan Akibat Stunting
Selain menghambat pertumbuhan tinggi badan seorang anak, stunting juga memiki
dampak negatif bagi kesehatan lainnya. Adapun dampak negatif tersebut di antaranya :
1. Stunting pada anak dapat berakibat fatal bagi produktivitas mereka dimasa dewasa
2. Kemampuan membaca anak yang pendek lebih rendah dibandingkan anak normal

3. Berisiko terkena penyakit tidak menular seperti diabetes, hipertensi, obesitas, dan juga stroke
saat beranjak dewasa
4. Beresiko tinggi meninggal akibat penyakit menular dibanding anak lain.
5. Balita stunting akan menderita pengembangan terhambat dari otak dan kapasitas kognitif.
G. Program Pencegahan Dan Penanggulangan Masalah Stunting
Adapun program pencegahan dan penanggulangan masalah stunting:
1. Direktorat Bina Gizi bekerjasama dengan UNICEF Indonesia gencar melaksanakan
advokasi stunting dengan tujuan memotong generasi stunting di Indonesia
Advokasi telah dimulai di wilayah binaan UNICEF meliputi beberapa kabupaten di Provinsi
Jawa Tengah, NTT, NTB, Aceh, dan Papua selama kurun waktu bulan Mei hingga Juli 2011. Upaya
advokasi diharapkan dapat membuka wawasan para pengambil kebijakan untuk membuka peluang
upaya pelaksanaan program pencegahan dan penanggulangan masalah stunting. Advokasi juga
ditujukan pada pemuka masyarakat untuk membantu pendekatan pada masyarakat dalam
membangun kesadaran pentingnya pemenuhan gizi terutama pada ibu hamil dan bayi hingga usia 2
tahun. Advokasi baru menjadi langkah awal dan tidak mungkin langsung merubah keadaan menjadi
lebih baik, butuh proses serta komitmen dari semua pihak yang bersinggungan dengan
masalah stunting sehingga kita siap membangun generasi yang lebih baik dan siap menyongsong
masa depan
2. Pemberian ASI ekslusif sampai usia enam bulan, kemudian dilanjutkan sampai usia dua tahun
dengan tambahan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI).
ASI menyediakan nutrisi pertumbuhan yang lengkap dan seimbang untuk mengejar pertumbuhan
optimal si kecil, sehingga mutu dan kualitas hidupnya tetap tinggi.
3. Intervensi gizi pada wanita yang akan hamil, selama masa kehamilan dan setelah anak lahir
sampai usia dua tahun
4. Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS)
5. Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG)
4. Upaya Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK)
H. Program Pengobatan Masalah Stunting
Adapun program pengobatan masalah stunting meliputi :
1. Pengobatan infeksi
2. Pemberian makanan

Daftar Pustaka
Herman. 2014. Bayi Lahir "Stunting" Lebih Berisiko Terserang Penyakit Tidak Menular.
Diakses pada 26 Mei 2015, melalui http://www.beritasatu.com/kesehatan/201972bayi-

lahir-stunting-lebih-berisiko-terserang-penyakit-tidak-menular.html

Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Bina Gizi Dan Kesehatan Ibu Dan Anak
Direktorat Bina Gizi. 2012. Petunjuk Pelaksanaan Surveilans Gizi. Jakarta
Laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007
Laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2010
Laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013
P, Hadriani. 2015. Hasil Riskedas 2013, Ini Masalah Gizi di Indonesia. Diakses pada 26 Mei
2015, melalui http://www.tempo.co/read/news/2015/02/24/060644937/HasilRiskedas-

2013-Ini-Masalah-Gizi-di-Indonesia

Syafiq, Ahmad, dkk. 2006. Modul Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: UIN Jakarta Press

Unicef. 2013. Kemajuan Global Menunjukkan Bahwa Jumlah Balita Pendek Bisa Dikurangi
Diakses

pada

26

Mei

2015,

melalui

http://www.unicef.org/indonesia/id/media_20795.html
Yuni, Zahraini. 2011. Stop Generasi Stunting di Indonesia. Diakses pada 26 Mei 2015, melalui
http://gizi.depkes.go.id/stop-generasi-stunting-di-indonesia

Anda mungkin juga menyukai