Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kecemasan karena kekerasan telah menyebar pada anak dari semua kelas
sosial.1 Semua bentuk perlakuan menyakitkan secara fisik ataupun emosional,
penyalahgunaan seksual, pelalaian, eksploitasi komersial atau eksploitasi lain,
yang mengakibatkan cedera atau kerugian nyata ataupun potensial terhadap
kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak, atau martabat
anak, dan dilakukan dalam konteks hubungan tanggung jawab, kepercayaan, atau
kekuasaan adalah child abuse.2 Dalam bidang kedokteran, child abuse pertama
kali dilaporkan oleh Ambroise Tardieu dari Perancis pada tahun 1860, dari hasil
otopsi 32 anak yang meninggal dengan kecurigaan akibat perlakuan salah.
Kemudian Caffey 1946, pada makalahnya tentang seorang anak yang dilaporkan
menderita patah tulang yang multiple dan subdural hematom sebagai akibat
perlakuan salah dari orang tuanya.3
Komite Perlindungan Anak Indonesia melaporkan sepanjang tahun 2007 di
Jakarta tercatat 365 kasus child abuse. Bentuk kekerasan yang terjadi berupa
kekerasan fisik (136 kasus), kekerasan seksual (117 kasus), dan kekerasan mental
dan psikologis (112 kasus).2 Sangat sukar dipercaya, bahwa ada orang tua yang
melakukan penganiayaan terhadap anaknya sampai perlu dirawat di Rumah Sakit
atau bahkan sampai meninggal dunia. Hal ini dapat disebabkan karena orang tua
tersebut kurang dewasa dalam kontrol dirinya dan sangat impulsif dalam
bertindak.3

1.2 Rumusan masalah


Rumusan masalah pada penulisan ini adalah
a. Apa yang dimaksud dengan child abuse?
b. Bagaimana cara mengetahui tanda-tanda kekerasan terhadap anak?
c. Bagaimana cara menatalaksana kekerasan yang terjadi terhadap anak?
d. Bagaimana mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1

Tujuan Umum
Mengetahui definisi child abuse dan cara menatalaksananya secara

komperehensif.
1.3.2

Tujuan Khusus

1. Mengetahui definisi child abuse.


2. Mengetahui cara diagnosis child abuse.
3. Mengetahui tatalaksana child abuse.
4. Mengetahui pencegahan child abuse.
1.4 Metode penulisan
Penulisan makalah ini merujuk kepada berbagai literatur kepustakaan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Child Abuse


Perlakuan yang salah terhadap anak adalah (child abuse) adalah semua
bentuk perlakuan menyakitkan secara fisik ataupun emosional, penyalahgunaan

seksual, pelalaian, eksploitasi komersial atau eksploitasi lain, yang mengakibatkan


cedera/kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan
hidup anak, tumbuh kembang anak, atau martabat anak, yang dilakukan dalam
konteks hubungan tanggung jawab, kepercayaan, atau kekuasaan.4
Ada beberapa pengertian perlakuan yang salah terhadap anak, yaitu
sebagai berikut:
1. Child abuse adalah seorang anak yang mendapat perlakuan badani yang keras
yang dikerjakan sedemikian rupa sehingga menarik perhatian suatu badan dan
menghasilkan pelayanan yang melindungi anak tersebut. (Delsboro, 1963)
2. Child abuse termasuk malnutrisi dan menelantarkan anak sebagai stadium awal
dari sindrom perlakuan salah dan penganiayaan fisik berada pada stadium akhir
yang paling berat dari spektrum perlakuan salah oleh orang tuanya/pengasuhnya.
(Fontana, 1971)
3. Child abuse adalah termasuk penganiayaan, penelantaran, dan eksploitasi
terhadap anak dimana ini adalah hasil dari perilaku manusia yang keliru terhadap
anak. (David Gill, 1981)

2.2 Epidemiologi
Menurut data pelanggaran hak anak yang dikumpulkan Komisi Nasional
Perlindungan Anak dari data induk lembaga perlindungan anak yang ada di 30
provinsi di Indonesia dan layanan pengaduan lembaga tersebut, pada tahun 2006
jumlah kasus pelanggaran hak anak yang terpantau sebanyak 13.447.921 kasus

dan pada 200 jumlahnya meningkat 40.398.625 kasus. Di samping itu Komnas
Anak juga melaporkan bahwa selama periode Januari-Juni 2008 sebanyak 12.726
anak menjadi korban kekerasan seksual dari orang terdekat mereka seperti orang
tua kandung/tiri/angkat, guru, paman, kakek dan tetangga.4
Pada 2008 kekerasan fisik terhadap anak yang dilakukan oleh ibu kandung
mencapai 9,27 % atau sebanyak 19 kasus dari 205 kasus yang ada. Sedangkan
kekerasan yang dilakukan oleh ayah kandung adalah 5,85% atau sebanyak 12
kasus. Ibu tiri (2 kasus atau 0,98%), ayah tiri (2 kasus atau 0,98%). Bahkan
berdasarkan riset dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan) menyebutkan, perempuan ternyata lebih banyak melakukan
kekerasan terhadap anak dengan presentase sebesar 60 persen dibanding laki-laki.
Kondisi ini menimbulkan keprihatinan tersendiri bagi kelangsungan generasi
penerus bangsa, sehingga perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengurangi
kekerasan terhadap anak terutama di dalam keluarga.3
2.3 Faktor Risiko
Menurut Snyder (1983), perlakuan salah terhadap anak adalah sebagai
akibat dari pelepasan tujuan hidup orang tua, hubungan orang tua dengan anak
tidak lebih dari hubungan biologi saja. Kehidupan orang tua sebagian besar
diliputi pelanggaran hukum, penyalahgunaan penghasilan, pengusiran berulang,
penggunaan alkohol yang berlebihan, dan keadaan rumah yang menyedihkan.
Orang tua seperti ini kelihatannya tidak mampu menolong dirinya sendiri. Mereka
menganiaya anaknya seolah-olah sebagai pelampiasan rasa frustrasinya, ketidak
bertanggungjawabannya, ketidak berdayaannya dan sebagainya. Orang tua seperti
kasus di atas lebih sering menganiaya anak yang lebih besar karena pada

umumnya mereka lebih mawas terhadap sesuatu perbedaan dengan orang tua
mereka sehingga seolah-olah anak tersebut melawan orang tuanya. Anak yang
dianiaya tersebut tampak oleh si penganiaya sebagai saingan atau penghalang
yang harus dihancurkan atau paling tidak, harus disakiti.5
Faktor-faktor risiko terhadap kejadian child abuse dapat ditinjau dari 3
aspek yaitu faktor sosial, orang tua dan anak.
1. Faktor masyarakat/sosial, yaitu tingkat kriminalitas yang tinggi, layanan
sosial yang rendah, kemiskinan yang tinggi, tingkat pengangguran yang
tinggi, adat istiadat mengenai pola asuh anak, pengaruh pergeseran budaya,
stress pada para pengasuh, budaya memberikan hukuman badan kepada anak,
dan pengaruh media massa.
2. Faktor orang tua atau situasi keluarga, yaitu riwayat orang tua dengan
kekerasan fisik atau seksual pada masa kecil, orang tua remaja, imaturitas
emosi, kepercayaan diri rendah, dukungan sosial rendah, keterasingan dari
masyarakat, kemiskinan, kepadatan hunian (rumah tinggal), masalah interaksi
dengan masyarakat, kekerasan dalam rumah tangga, riwayat depresi dan
masalah kesehatan mental lainnya (ansietas, skizoprenia), mempunyai banyak
anak balita, riwayat penggunaan zat/ obatobatan terlarang (NAPZA) atau
alkohol, kurangnya dukungan sosial bagi keluarga, diketahui ada riwayat
child abuse dalam keluarga, kurang persiapan menghadapi stres saat
kelahiran anak, kehamilannya disangkal, orang tua tunggal, riwayat bunuh
diri pada orang tua/ keluarga, pola mendidik anak, nilai-nilai hidup yang
dianut orangtua, dan kurang pengertian mengenai perkembangan anak.
3. Faktor anak, yaitu, prematuritas, berat badan lahir rendah, cacat, dan anak
dengan masalah/ emosi.

Gambar 2.1 Faktor faktor yang mempengaruhi perlakuan yang salah pada anak3

Klasifikasi
1.
2.
-

Perlakuan salah terhadap anak, dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu:3
Berdasarkan jenis perlakuan salah:
Penganiayaan fisik
Penganiayaan emosional
Penganiayaan seksual
Kelalaian atau penelantaran anak
Sindrom Munchausen
Berdasarkan lokasi
Dalam keluarga

1.

Dalam institusi/lembaga, di tempat kerja, di jalan, di medan perang.


Bentuk perlakuan salah pada anak tersebut adalah sebagai berikut:
Penganiayaan fisik
Penganiayaan fisik adalah setiap cedera fisik pada anak yang disebabkan
bukan oleh kecelakaan, sekalipun orangtua/pengasuh yang mengakibatkan
penderitaan tersebut menyatakan bahwa mereka tidak bermaksud melakukan
penganiayaan. Penganiayaan fisik dapat berupa memukul, mencambuk, mencubit,
menyilet, menampar, mendorong, mengolok, menendang, melempar, menggigit,
mencekik, mencabut rambut, menyundut dengan rokok, menyiram dengan air
panas atau objek panas lainnya, memberi hukuman fisik berat yang tidak sesuai
dengan umur anak. Hukuman badan (corporal/physical punishment) apabila
hanya menyebabkan nyeri tetapi tidak mengakibatkan cedera fisik sedangkan
penganiayaan fisik merupakan hasil dari perilaku yang agresif atau kasar sehingga
menyebabkan cedera. Namun, hukuman badan dapat di luar kontrol dan sangat
mudah berubah menjadi penganiayaan fisik.

2.

Kelalaian/ penelantaran/ neglect


Kelalaian ini pada umumnya tidak sengaja dan merupakan akibat dari
ketidaktahuan atau kesulitan ekonomi. Bentuk kelalaian ini antara lain:
a. Pengasuhan yang kurang memadai dapat mengakibatkan gagal tumbuh
(failure to thrive), anak merasa kehilangan kasih sayang, gangguan
kejiwaan, atau keterlambatan perkembangan.
b. Pengawasan yang kurang dapat menyebabkan anak mengalami terjadinya
trauma fisik dan jiwa.
c. Kelalaian dalam mendapatkan pengobatan seperti kegagalan merawat anak
dengan baik, misalnya tidak diberi imunisasi atau lalai dalam memberikan
pengobatan sehingga memperburuk penyakit anak.
d. Kelalaian dalam pendidikan seperti mendidik anak untuk mampu

berinteraksi dengan lingkungannya, gagal menyekolahkannya atau


menyuruh anak mencari nafkah untuk keluarga sehingga anak terpaksa
3.

putus sekolah.
Penganiayaan emosional
Penganiayaan emosional bisa berupa verbal abuse, mental abuse, atau
psychological maltreatment abuse; dengan kecaman kata-kata yang merendahkan
anak, membandingkan negatif dengan anak lain, tidak pernah memberikan
ganjaran yang positif, tidak pernah mengucapkan "sayang" atau memeluk anak,
sering menuduh anak, memanggil anak dengan sebutan yang merendahkan anak,
atau tidak mengakui sebagai anak. Keadaan ini sering berlanjut dengan melalaikan
anak, mengisolasikan anak dari lingkungan dan hubungan sosialnya, atau
menyalahkan anak secara terus menerus. Penganiayaan emosional seperti ini
umumnya selalu diikuti bentuk penganiayaan lain.

4.

Penganiayaan seksual
Penganiayaan seksual berupa mengajak anak untuk melakukan aktivitas
seksual yang melanggar norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat,
meskipun anak tidak memahami atau tidak bersedia. Aktivitas seksual dapat
berupa semua bentuk oral genital, genital, anal, atau sodomi. Incest adalah
penganiayaan seksual oleh orang yang masih berada dalam hubungan keluarga.
Hal-hal yang juga termasuk penganiayaan seksual adalah menunjukkan alat
kelamin, foto pornografi, berkata "jorok" kepada anak; tidak menghormati
privacy anak dengan memaksa anak tidak pakai baju, mengintip anak mandi/tidur,
membujuk anak melihat situs pornografi di internet, exploitasi seksual, dan
lainnya.

5.

Sindrom Munchausen

Sindrom Munchausen adalah permintaan pengobatan terhadap penyakit


yang dibuat-buat oleh orangtua dengan memberikan keterangan palsu untuk
menyokong suatu tuntutan. Orangtua membawa ke dokter atau rumah sakit untuk
mendapatkan diagnosis penyakit untuk anaknya, tetapi tenaga kesehatan tidak
mendapat keterangan yang benar tentang keluhan tersebut.
2.5

Diagnosis
Pendekatan klinis bayi dan anak yang kemungkinan mengalami kekerasan

fisik/ child abuse tidak jauh berbeda dengan standar pelayanan kesehatan anak
pada umumnya. Diagnosis child abuse biasanya didasarkan pada riwayat dan
penemuan fisik. Tingkah laku penderita biasanya mempunyai ciri khas, seperti
kontak mata anak kurang (lack of eye contact), takut sentuhan, bahasa tidak
teratur, gelisah berlebihan, pakaian tidak teratur, dan perubahan suasana hati yang
drastis.6
Anak yang mengalami cedera berat harus distabilisasikan dan mendapat
resusitasi terlebih dahulu oleh tim yang terdiri atas spesialis anak, bedah, dan tim
gawat darurat sebelum evaluasi lebih lanjut. Setelah anak stabil, dilakukan
anamnesis terhadap riwayat penyakit anak serta pemeriksaan fisik. Anamnesis
yang teliti, cermat, hati-hati dan rinci mutlak dilakukan.7
Anamnesis pada anak yang sudah dapat berbicara sebaiknya juga
dilakukan terpisah dari orang tuanya. Secara umum, kecurigaan adanya kekerasan
pada anak patut dipikirkan bila pada anamnesis didapatkan beberapa hal di bawah
ini:8
1. Ketidakcocokan riwayat kecelakaan yang diceritakan dengan jenis atau
beratnya trauma. Contohnya distribusi atau jenis lesi tidak sesuai dengan

riwayat kejadian yang diceritakan atau riwayat kejadian menyatakan trauma


ringan tetapi dijumpai trauma yang berat.
2. Ketidakjelasan cerita yang disampaikan pengasuh mengenai bagaimana
kecelakaan terjadi.
3. Adanya cerita yang berubah-ubah saat pengasuh menceritakan kepada petugas
kesehatan yang berlainan.
4. Keterangan yang berbeda bahkan saling bertentangan saat orangtua ditanya
secara terpisah.
5. Keterangan yang tidak masuk akal. Misalnya, anak dikatakan terjatuh ketika
berlari, padahal anak belum bisa duduk.
Observasi Umum
Saat melakukan anamnesis, perlu diperhatikan hal-hal berikut ini:8,9
1. Terdapat keterlambatan antara waktu terjadi kecelakaan dan waktu mencari
pertolongan medis.
2. Orangtua tampak tidak memperlihatkan kepedulian yang sesuai dengan
beratnya trauma.
3. Hubungan atau interaksi antara anak dan pengasuh (orangtua) yang tidak
sesuai.
4. Perilaku anak yang tidak biasa, seperti tampak ketakutan terhadap pengasuh.
Pemeriksaan Fisik Umum
Sering kali tidak ada kesesuaian antara pemeriksaan fisis dengan
anamnesis tentang kejadian yang diungkapkan oleh orang tua atau pengantar.
Pemeriksaan fisis harus dilakukan dengan teliti dan hati-hati terutama bila
ditemukan jelas pada bagian-bagian tubuh yang tidak lazim.6
Apabila anak stabil maka tinggi, berat badan, dan lingkar kepala diperiksa
kemudian diplot kedalam kurva pertumbuhan lalu dibandingkan dengan kurva
pada pemeriksaan sebelumnya untuk melihat adanya gagal tumbuh atau tidak.

10

Gagal tumbuh sering muncul bersamaan dengan anak yang mendapat kekerasan
fisik.7
a. Pemeriksan Pada Kasus Kekerasan Fisik
Beberapa keadaan yang dapat ditemukan pada kekerasan fisis: 7,8,10,11
1. Lokasi luka atau trauma berada pada area yang tidak lazim mengalami
kecelakaan seperti daerah lengan atas, paha, bokong dan genital. Memar yang
tidak disengaja akibat benturan adalah yang paling sering ditemukan. Lokasi
umumnya pada permukaan yang tipis di atas tulang seperti tulang kering,
lengan bawah, dagu, dan alis.
2. Adanya bentuk perlukaan atau trauma yang multipel dengan beberapa tingkat
penyembuhan. Misalnya: sundutan rokok yang baru dan masih basah, namun
ada pula yang dalam penyembuhan.
3. Temuan kekerasan yang bervariasi mulai dari memar ringan, hematoma,
abrasi hingga keadaan yang mengancam kehidupan anak.
4. Terdapat beberapa bentuk kelainan yang khas dan tidak lazim seperti:
a. Tanda dengan konfigurasi tertentu seperti konfigurasi jari tangan, kabel,
benda tumpul atau seterika.
b. Bekas gigitan berupa memar berbentuk bulan sabit yang saling
berhadapan.
c. Tanda cekikan di leher atau pergelangan kaki
d. Tanda alopesia traumatis yaitu berupa rambut yang putus dengan ukuran
panjang yang bervariasi
5. Luka bakar pada daerah yang tak lazim, seperti luka bekas setrika di daerah
lengan dalam. Jenis dan bentuk luka bakar yang khas.
6. Perdarahan berupa ptekie di area wajah dan bahu dapat disebabkan oleh
muntah-muntah dan menangis hebat.
7. Muntah berulang, ruptur hati dan limpa, dapat terjadi pada kasus trauma
abdomen.

11

8. Shaken baby syndrome. Pada kasus ini dapat terjadi hematoma subdural yang
dapat menyebabkan gejala sisa yang serius, bahkan kematian akibat pukulan
ataupun trauma guncangan yang keras.7,8
9. Munchhausen syndrome by proxy (MSBP) merupakan satu bentuk kekerasan
pada anak dengan empat karakteristik, yaitu anak dibawa ke dokter dengan
gejala palsu suatu penyakit yang dibuat-buat oleh pengasuh (umumnya oleh
ibu); riwayat anak dibawa ke beberapa dokter yang berbeda dan menjalani
berbagai tes diagnostik dan terapi; pengasuh tidak mengakui penyebab
kondisi anak yang sebenarnya; serta tanda dan gejala yang tidak dapat
dijelaskan secara medis saat anak dipisahkan dari orang tua/pelaku.10

Gambar 2.2 Jejas yang dapat ditemukan pada kekerasan pada anak11

b. Pemeriksaan Pada Kasus Kekerasan Seksual


Saat melakukan pemeriksaan kasus kekerasan seksual, tenaga kesehatan
atau dokter sebaiknya melakukan pemeriksaan setelah korban tenang dan
didampingi oleh keluarga. Keluarga perlu mendapatkan informed consent
mengenai tujuan dan proses pemeriksaan. Di pusat kesehatan yang telah memiliki
multidisiplin ilmu, sebaiknya anamnesis dan pemeriksaan fisis dilakukan secara

12

bersamaan sehingga pasien tidak harus mengulang kembali cerita terjadinya


kekerasan seksual yang dapat menjadi kelanjutan kekerasan bagi anak.8,12
Pada anamnesis perlu ditanyakan status perkembangan seks sekunder anak
seperti siklus haid, haid terakhir, serta kegiatan seksualnya, terutama selama dua
minggu terakhir. Anamnesis perlu dilengkapi dengan waktu, lokasi, dan bentuk
kegiatan seksual yang terjadi. Ada tidaknya penetrasi dan kekerasan fisis, apakah
anak sudah membersihkan bagian kelaminnya atau belum, juga merupakan hal
yang penting pula untuk ditanyakan.7,8,10
Indikator kemungkinan kekerasan seksual pada anak: 13

Adanya penyakit hubungan seksual, paling sering infeksi gonokokus.

Infeksi vaginal yang rekuren/berulang pada anak di bawah 12 tahun.

Rasa nyeri, perdarahan dan atau keluarnya sekret dari vagina.

Gangguan dalam mengendalikan buang air besar dan atau buang air kecil.

Kehamilan pada usia remaja.

Cedera pada buah dada, bokong, perut bagian bawah, paha, sekitar alat
kelamin atau dubur.

Pakaian dalam robek dan atau adanya bercak darah pada pakaian dalam.

Ditemukannya cairan mani/semen di sekitar mulut, genitali, anus atau


pakaian.

Rasa nyeri bila buang air besar atau buang air kecil.

Pada kasus kekerasan seksual perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:8


a. Pemeriksaan ada tidaknya tanda perlawanan dan kekerasan fisik:
1. Ada tidaknya tanda perlawanan, antara lain jejas cakaran, gigitan, memar,
dan lainnya.

13

2. Ada tidaknya tindak kekerasan fisis yang menyertai, seperti hematom,


bekas sayatan, dan lainnya.
3. Ada tidaknya tanda diberikan obat tidur, seperti jejas jarum suntik.
Pemeriksaan urin dan darah perlu dilakukan untuk mendeteksi ada
tidaknya obat yang dikonsumsi.
4. Bila terdapat bercak/kerak di tubuh, harus dikerok dengan skapel dan
masukkan ke dalam amplop. Begitu pula bila pada pakaian ditemukan
bercak, sebaiknya pakaian diperiksa
b. Pemeriksaan ginekologi
Pemeriksaan dimulai dari area luar di sekitar daerah kemaluan. Rambut
pubis disisir untuk mencari bila ada rambut yang terlepas milik tersangka, dan
disimpan. Periksa adanya jejas atau luka di sekitar vulva, perineum, dan vagina.
Tentukan ada tidaknya robekan selaput dara, lokasi, apakah luka baru atau lama,
dan robekan sampai ke dasar atau tidak.
c. Pemeriksaan colok dubur
Jika dicurigai adanya persetubuhan dubur, maka perlu dilakukan
pemeriksaan colok dubur dan proktoskopi. Bila ada kecurigaan persetubuhan oral,
maka harus dilakukan pemeriksaan daerah oral dan swab pada laring dan tonsil.
Pemeriksaan penunjang untuk memeriksa sampel sedapat mungkin diambil
terutama pada 72 jam pertama setelah terjadinya kekerasan seksual. Pengambilan
sampel harus menghindari kontaminasi, sampel diberikan label dan dikirim ke
laboratorium forensik. Pemeriksaan meliputi pemeriksaan serologi untuk
mendeteksi

penyakit

menular

seksual

(gonorrhea,

sifilis,

chlamydia,

Trichomonasvaginalis), skrining HIV, pemeriksaan duh vagina, dan pemeriksaan


kehamilan bila anak telah menstruasi. Pengambilan sampel dari dalam vagina

14

(forniks posterior) dapat dilakukan dengan menggunakan lidi kapas. Pengambilan


sampel persetubuhan dubur dilakukan dengan menelusuri rugae.8,11
c. Pemeriksaan Pada Kasus Kekerasan emosional
Bentuk kekerasan emosional atau psikologis (emotional/psychological
abuse) meliputi: meremehkan anak, memburukkan atau mencemarkan, mengejek,
menakut-nakuti, meneror, baik secara verbal atau nonverbal, dengan atau tanpa
bermaksud melukai, atau perlakuan lain yang kasar, atau penolakan. Keadaan ini
dapat memberi efek negatif terhadap perkembangan kognitif, sosial, emosi,
dan/atau fisik, dan dilakukan dalam kendali orang tua atau orang lain dalam posisi
hubungan tanggung jawab, kepercayaan atau kekuasaan terhadap anak.4 Seringkali
sulit untuk mengidentifikasi kekerasan emosional karena gejala fisik emotional
abuse tidak sejelas kekerasan lain.8
Indikator kemungkinan terjadinya emotional abuse pada anak:13
Gejala-gejala fisik dari emotional abuse seringkali tidak sejelas gejalagejala kekerasan lainnya. Penampilan anak seringkali tidak memperlihatkan
derajat penderitaan yang dialaminya. Cara berpakaian, keadaan gizi dan kondisi
fisik pada umumnya cukup memadai, namun ekspresi wajah, gerak-gerik bahasa
tubuhnya seringkali dapat mengungkapkan adanya kesedihan, keraguan diri,
kebingungan, kecemasan, ketakutan atau amarah yang terpendam.
d. Pemeriksaan Pada Kasus Penelantaran anak
Bentuk penelantaran anak (child neglect) bervariasi, seperti kegagalan
menyediakan kebutuhan anak untuk tumbuh kembangnya: kesehatan, pendidikan,
nutrisi,rumah, dan lainnya. Termasuk pula kegagalan dalam mengawasi dan

15

melindungi anak dari bahaya. Sehingga mengakibatkan gangguan kesehatan fisik,


mental, moral, dan sosial anak.8,10,11
Beberapa indikator adanya penelantaran pada anak, antara lain gagal
tumbuh fisik dan mental, malnutrisi yang tidak disertai dasar organik yang sesuai,
dehidrasi, adanya luka atau penyakit yang tidak diobati, tubuh dan pakaian yang
kotor tidak terawat, keterlambatan perkembangan, keadaan umum yang lemah,
letargik, dan lelah berkepanjangan. Bila terdapat gejala seperti ini, perlu ditelaah
lebih lanjut ada tidaknya penelantaran anak.8
Indikator kemungkinan terjadinya neglect pada anak:13

Gagal tumbuh fisik maupun mental

Malnutrisi, tanpa dasar organik yang sesuai

Dehidrasi

Luka atau penyakit yang dibiarkan tidak diobati

Kulit kotor tidak terawat, rambut dengan kutu-kutu

Pakaian lusuh dan kotor

Keterlambatan perkembangan

Keadaan umum yang lemah, letargik, lelah berkepanjangan

Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologis
Gambaran radiologis tertentu dapat merupakan indikator kuat adanya
perlakuan yang salah pada anak secara fisik; antara lain fraktur metafisis corner
atau fraktur bucklet handle pada tulang panjang bayi yang belum bisa jalan,
fraktur multipel iga atau tulang panjang bayi, fraktur spiral tulang panjang pada

16

bayi yang belum bisa jalan, fraktur multipel iga atau tulang panjang dengan
berbagai derajat penyembuhan. Temuan ini mengharuskan dokter untuk mencari
penjelasan penyebab trauma tersebut. Survei tulang secara radiologis perlu
dilakukan pada anak yang diduga diperlakukan salah tetap belum dapat berbicara.
Perdarahan subdural yang didapat melalui CT atau MRI berhubugan erat dengan
perlakuan salah pada anak. USG berguna untuk mendiagnosis trauma abdomen
pada anak, tetapi tidak berguna untuk mendiagnosis perdarahan subdural.13
b. Laboratorium
Pemeriksaan koagulasi berguna untuk anak yang mengalami banyak
memar pada berbagai tingkat umur yang berbeda. Berbagai kelainan koagulasi
dapat mengacaukan diagnosis, tetapi perlakuan salah pada anak dan koagulopati
merupakan satuan klinis yang berlainan. Anak dengan sepsis polimikroba, apnea
rekuren, dehidrasi kronis tanpa penyebab yang diketahui, atau kelainan laboratoris
lain yang berat harus dicurigai sebagai sindrom Munchausen by proxy.13
2.6

Dampak Child Abuse14


Anak-anak tumbuh dan berkembang dengan baik bila menerima segala

kebutuhan baik asuh, asih, maupun asah. Bila salah satu tidak terpenuhi maka
akan terjadi kepincangan dalam tumbuh kembang anak. Dampak yang terjadi
dapat secara langsung maupun tidak langsung atau dampak jangka pendek dan
dampak jangka panjang.
Pertumbuhan dan perkembangan anak yang mengalami child abuse, pada
umumnya lebih lambat dari pada anak yang normal. Dampak langsung terhadap
kejadian child abuse diantaranya adalah 5% mengalami kematian, 25%
mengalami komplikasi serius seperi patah tulang, luka bakar, cacat menetap.

17

Terjadi kerusakan menetap pada susunan saraf yang dapat mengakibatkan


retardasi mental, masalah belajar/ kesulitan belajar, buta, tuli, masalah dalam
perkembangan motor/pergerakan kasar dan halus, kejadian kejang, ataksia,
ataupun hidrosefalus.
Perkembangan kejiwaan juga mengalami gangguan yaitu :

Kecerdasan, berbagai penelitian melaporkan terdapat keterlambatan dalam


perkembangan kognitif, bahasa, membaca, dan motorik. Retardasi mental
dapat diakibatkan trauma langsung pada kepala, ataupun karena malnutrisi.

Anak juga kurang mendapat stimulasi adekuat karena gangguan emosi.


Emosi, masalah yang sering dijumpai adalah gangguan emosi, kesulitan
belajar/sekolah, kesulitan dalam mengadakan hubungan dengan teman,
kehilangan kepercayaan diri, fobia cemas, dan dapat juga terjadi
pseudomaturitas emosi. Beberapa anak menjadi agresif atau bermusuhan
dengan orang dewasa, atau menarik diri/menjauhi pergaulan. Anak suka

mengompol, hiperaktif, gagal sekolah, dan sulit tidur.


Konsep diri, anak yang mendapat kejadian child abuse merasa dirinya jelek,
tidak dicintai, tidak dikehendaki, muram dan tidak bahagia, tidak mampu

menyenangi aktifitas dan melakukan percobaan bunuh diri.


Agresif, anak yang mendapat kejadian child abuse lebih agresif terhadap
teman sebaya. Sering tindakan agresif tersebut meniru tindakan orang tua
mereka atau mengalihkan perasaan agresif kepada teman sebayanya sebagai

hasil kurangnya konsep diri.


Hubungan sosial, anak-anak tersebut kurang dapat bergaul dengan teman
sebaya atau dengan orang dewasa, misalnya karena melempari batu ataupun
perbuatan kriminal lainnya.

2.7

Tatalaksana

18

Tata laksana kekerasan pada anak mencakup aspek medis, psikologis, dan
medikolegal, sehingga memerlukan keterlibatan multidisplin. Tata laksana medis
meliputi tata laksana kegawatdaruratan, cedera, dan infeksi. Dokumentasi medis
harus lengkap termasuk semua pernyataan verbal dan temuan pemeriksaan.
Advokasi berkelanjutan untuk menjamin keselamatan dan kesehatan anak perlu
dilakukan. Orangtua harus diinformasikan mengenai kemungkinan adanya
perlakuan salah pada anak dan perlu untuk melaporkannya kepada CPS (child
protection service=lembaga perlindungan anak), dengan fokus untuk menjamin
kebutuhan keamanan dan kesejahteraan anak.8,15
Penegak hukum akan menyelidiki kasus kejahatan pada anak, sehingga
polisi akan terlibat pada beberapa, namun tidak semua kasus, yang dicurigai
sebagai suatu perlakuan salah pada anak. Dokter dapat diminta bersaksi di
pengadilan mengenai isu-isu sipil, seperti dependensi, hak asuh anak, atau
masalah kesehatan. Telaah menyeluruh terhadap catatan medis diperlukan untuk
memberikan pendapat secara ilmiah mengenai diagnosis dan kondisi medis anak
secara obyektif dan tidak bias.8,11,15
Tata laksana psikologis pada pasien dilakukan secara individu dan
pendekatan psikososial terhadap keluarga untuk menghindari terulangnya kembali
kekerasan pada anak. Seringkali anak korban kekerasan berasal dari keluarga yang
memiliki masalah, seperti hubungan orangtua yang tidak baik, salah satu orang
tua memiliki gangguan kepribadian yang cenderung mudah melakukan kekerasan
(abusive parent), dan lainnya. Tenaga kesehatan perlu melakukan persuasi yang
dilanjutkan dengan konseling dan edukasi terhadap orang tua tentang pentingnya

19

perlindungan anak. Pendampingan oleh psikiater atau psikolog dibutuhkan untuk


melalukan terapi keluarga bersama-sama, sedangkan penanganan dari aspek
hukum yaitu diprosesnya kasus kekerasan seksual secara hukum, yang meliputi
pengalihan hak asuh anak sementara (saat terapi), penetapan keluarga di bawah
pengawasan, dan pemberian sanksi hukum terhadap pelaku.8,11,15
Child Abuse and Neglect: Kecurigaan dan Tata Laksana

Gambar 2.3 Pendekatan untuk memulai penyelidikan kecurigaan adanya perlakuan salah.11

20

Gambar 2.4 Pelaporan ke lembaga perlindungan anak (CPS) atau penegak hukum, atau keduanya,
pada kasus perlakuan salah pada anak.11

Pusat Krisis Terpadu (PKT) dibentuk menangani kasus kekerasan dan


penelantaran anak yang didukung oleh SCAN team (team for suspected child
abuse and neglect) yang terdiri dari dokter spesialis anak, spesialis kebidanan,
spesialis kedokteran forensik, spesialis bedah, psikiater, pekerja sosial, perawat,
psikolog, serta lembaga swadaya masyarakat. Tim akan mencatat, mengevaluasi,
dan mendiskusikan secara multidisiplin, untuk memutuskan langkah lebih lanjut
tentang pengobatan, baik medis maupun psikoterapi, serta penanganan keluarga
dan korban selanjutnya. Kemudian dilakukan pelaporan ke lembaga perlindungan
anak, dinas sosial, dan polisi.16,17
Kedaruratan dalam pemberian pengobatan kasus kekerasan seksual selain
mengatasi terjadinya perdarahan meliputi pemberian obat untuk mencegah
kehamilan dalam 72 jam setelah terjadi hubungan seksual pada remaja perempuan
yang sudah mengalami menstruasi, pemberian antibiotik dan antivirus untuk
mencegah terjadinya infeksi menular seksual. Beberapa pengobatan pada kasus

21

kekerasan seksual yaitu Antibiotik 47,2%, Analgesik 37,5%, Vitamin 25%,


Kontrasepsi oral 8,3%, Tetanus Toksoid 6,9%, Sedatif 4,2% dan Konseling 15,3%.
18

Tata laksana medis pada kasus kekerasan seksual merupakan prioritas


pertama karena bertujuan menyelamatkan nyawa anak. Dokter atau tenaga
kesehatan diharapkan mampu mendeteksi adanya tanda dan gejala yang mengarah
pada kekerasan seksual serta mengetahui kondisi gawat darurat medis akibat
kekerasan, dan selanjutnya dapat merujuk kasus tersebut pada lembaga
perlindungan anak. Anak korban kekerasan seksual tidak hanya menderita cedera
fisik namun juga dapat mengalami kekerasan emosi yang ditandai dengan adanya
perubahan perilaku, dan mental emosional. Ketakutan, cemas, mimpi buruk,
gangguan stres pasca trauma adalah problem mental yang sering dijumpai.
Korban kekerasan dengan gangguan mental yang berat, penanganannya dapat
dirujuk ke ahli psikiatrik.8,19
Secara umum selain penatalaksanaan medis dan bedah, perlu dilakukan
pendekatan psikologis pada pasien secara individu dan pendekatan psikososial
terhadap keluarga. Pendekatan psikologis pada pasien dilakukan agar pasien dapat
tumbuh kembang secara normal,sedangkan pendekatan psikososial keluarga
dilakukan untuk pembenahan terhadap aspek sosiokultural keluarga dan
menghindarkan terulangnya kembali kejadian kekerasan.1,8 Sebagian besar
kekerasan terhadap anak terjadi di dalam keluarga dan melibatkan salah satu atau
kedua orang tua sebagai pelakunya. Anak korban kekerasan seringkali berasal dari
keluarga yang memiliki hubungan antara anggota keluarga khususnya antara
kedua orang tua yang tidak baik.8,19,20

22

Kedaruratan dalam kasus child abuse dapat diidentifikasi melalui tanda


dan gejala yang terdapat pada anak, serta mengklasifikasikan ke dalam jenis-jenis
kekerasan terhadap anak. Diharapkan dengan identifikasi dini, intervensi dapat
segera dilakukan, untuk mencegah terjadinya dampak jangka panjang terhadap
anak.20
2.8

Pencegahan
Anak korban kekerasan merupakan bagian dari children in need of special

protection. Oleh sebab itu, pencegahan kasus kekerasan pada anak harus
melibatkan anak, keluarga, dan lingkungannya.21
Pencegahan tingkat pertama (primary prevention) meliputi pendidikan
kesehatan untuk anak dan keluarga, dan perlindungan pada anak dengan
membantu keluarga mengantisipasi hal yang dapat menimbulkan kekerasan pada
anak.10 Salah satu contoh upaya pencegahan primer adalah pada kasus jumlah
balita yang banyak dalam satu keluarga dapat menjadi faktor risiko kekerasan
pada anak. Program Keluarga Berencana (KB) berperan penting untuk mencapai
kelangsungan hidup anak agar mencapai tumbuh kembang yang optimal. Konsep
kelangsungan hidup anak ini dikembangkan menjadi konsep Kelangsungan
Hidup, Perkembangan dan Perlindungan Anak.Perlindungan anak dianggap perlu
ditambahkan karena menyangkut pengakuan hak anak, terutama dalam
penanganan secara utuh golongan anak dalam situasi teramat sulit (children in
especially difficult situations). Sehingga perlu edukasi pada keluarga untuk
mengikuti program KB.22
Secondary prevention atau pencegahan tingkat kedua meliputi deteksi dini
anak dengan kekerasan, konseling pada anak dan keluarga, dan perawatan anak

23

korban kekerasan dengan memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis. Pencegahan


tingkat tersier, antara lain membantu pemulihan kesehatan anak, dan membantu
anak untuk kembali ke lingkungannya dengan percaya diri.8,11
2.9

Undang Undang Kekerasan pada Anak23


Pengaturan mengenai kekerasan dan penganiayaan terhadapa anak dapat

kita temui dalam pasal pidana penganiayaan ringan yaitu Pasal 351 dan 352 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 80 ayat (1) dan pasal 76 C
Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang Undang
Nomor 23 Tahun 20012 tentang Perlindungan Anak (UU 35/2014).
Pasal 76 C UU 35/2014
Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh
melakukan atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak
Pasal 80 ayat (1)UU 35/2014
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal
76 C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3(tiga) tahun 6(enam) bulan
dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

24

BAB III
KESIMPULAN

1. Perlakuan yang salah terhadap anak adalah (child abuse) adalah semua
bentuk

perlakuan

menyakitkan

secara

fisik

ataupun

emosional,

penyalahgunaan seksual, pelalaian, eksploitasi komersial atau eksploitasi lain,


yang mengakibatkan cedera/kerugian nyata ataupun potensial terhadap
kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak, atau
martabat anak, yang dilakukan dalam konteks hubungan tanggung jawab,
kepercayaan, atau kekuasaan.
2. Dampak kekerasan pada anak dapat terjadi secara langsung maupun tidak
langsung. Kekerasan yang terjadi pada anak dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan anak, dan pada umumnya anak yang
mengalami child abuse pertumbuhan dan perkembangannya lebih lambat dari
pada anak yang normal.
3. Pencegahan pada child abuse pada anak harus melibatkan anak, keluarga dan
lingkungan. Dan tata laksana kekerasan pada anak mencakup aspek medis,
psikologis, dan medikolegal, sehingga memerlukan keterlibatan multidisplin.

DAFTAR PUSTAKA
25

1. Bolding D, Forman MA. Dampak kekerasan. Dalam: Kliegman RM, Stanton


BF, St. Geme III JW, Behrman RE, Schor N, penyunting. Nelson textbook of
pediatrics. Edisi ke-15. Philadelphia: WB Saunders, 2000; 141.
2. Pudjiadi AH, Hegar, Handryastuti. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia. 2010.
3. Soetjiningsih. Perlakuan salah pada pada anak (child abuse). Dalam: Ranuh
IGNG, penyunting. Tumbuh kembang anak. Jakarta: EGC. 1995: 165-75.
4. Fakih M. Buku panduan pelatihan deteksi dini dan penatalaksanaan korban
child abuse and neglect. Jakarta: IDI-UNICEF. 2003; 1-77.
5. Snyder JC. Family dysfunction: Violence, neglect, and sexual misuse. Dalam
Levine MD: Develeopmental-Behavioral Pediatrics, WB Saunders,
Philadelphia. 1st Ed. 1983: 258-66.
6. Widiastuti D, Sekartini R. Deteksi Dini, Faktor Risiko, dan Dampak
Perlakuan Salah pada Anak. Sari Pediatri. 2005; 7(2): 105 12
7. Kellog ND. Evaluation of Suspected Child Physical Abuse. American
Academy of Pediatrics Journal. 2007; 119 (6),
8. Sampurna B, Dharmono S, Kalibonso RS, Wiguna T, Sekartini R, Suryawan
A, et al. Deteksi dini, pelaporan dan rujukan kasus kekerasan dan
penelantaran anak. Child abuse and Neglect: Kecurigaan dan Tata
LaksanaIkatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta. Jakarta: Ikatan
Dokter Indonesia, 2003.
9. Kenny MC, Capri V, Reena R, Kolar T, Ryan EE, Runyon MK. Child sexual
abuse: from prevention to self protection. Child abuse Rev. 2008; 17: 36-54.
10. Jacobi G, Dettmeyer R, Banaschak S, Brosig B, Herrmann B. Child abuse
and neglect: diagnosis and management. Dtsch Arztebl Int. 2010; 107 : 231
40.
11. Dubowitz H, Lane WG. Abused and neglected of children. Dalam: Kliegman
RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Behrman RE, Schor N, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: WB Saunders, 2011; 13551.
12. Illinois Emergency Medical Services for Children. Child abuse and neglect
policy & procedure guidelines/toolkit.Diakses tanggal 8 Desember 2016.
Diunduh dari: http://www.luhs.org/depts/emsc/CAN/CAN2ndED_Final.pdf
13. Sampurna B, Dharmono S, Kalibonso RS, Wiguna T, Sekratini R, Suryawan
A, et al. Buku panduan pelatihan deteksidini dan penatalaksanaan korban
child abuse and neglect.Jakarta: IDI-UNICEF. 2003; 1-77
14. Widiastuti D, Sekartini R. Deteksi Dini, Faktor Risiko, dan Dampak
Perlakuan Salah pada Anak. Sari Pediatri. 2005; 7 (2).
15. Christian CW. Child abuse. Dalam: Schwartz MW, penyunting. Clinical
handbook of pediatrics. Edisi ke-3. Baltimore: Lippincott Williams &
Wilkins. 2003; 192-3.
16. US Department of Human and Health Services. Child Maltreatment 2012.
26

The National Child Abuse and Neglect Data System. Diakses tanggal 2
Desember 2016.
Diunduh dari:
https://www.childwelfare.gov/systemwide/statistics/can/stat_natl_state.cfm
17. Pusat Krisis Terpadu. Rekapitulasi data kasus PKT RS Cipto Mangunkusumo.
Pusat Krisis Terpadu. Jakarta, 2014.
18. IGE O.K, Fawole OI. Evaluating the medical care of child sexual abuse
victims in a general hospital in Ibadan, Nigeria. Ghana Medical Journal,
2012; 46:22-6.
19. JohnsonCF.Abuse and neglect of children. Dalam: Behrman RE, Kliegman
RM, Jenson HB, Stanton BF,penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi
ke-18. Philadelphia: WB Saunders. 2007; 171-84.
20. Flaherty EG, Sege R, Dhepyasuwan N, Price LL, Wasserman R. Child abuse
suspicion and reporting among primary care practitioners. Diunduh dari
http:// www.aap.org/research/abstracts/05abstract2.htm. Diakses pada tanggal
5 Desember 2016.
21. Children in need of special protection. Diakses tanggal 5 Desember 2016.
Diunduh dari:
http://www.ci.org.za/depts/ci/plr/pdf/salrc_dis/16-dp103-ch13.pdf.
22. Sularyo TS. Kependudukan, keluarga berencana dan kesehatan anak. Dalam:
Narendra MB, Sularyo TS, Soetjiningsih, Suyitno H, Ranuh IgNG,
Wiradisuria S. Tumbuh Kembang anak dan remaja. Buku ajar II. Edisi
Pertama. Jakarta:IkatanDokter Anak Indonesia. 2005; 30-56.

27

Anda mungkin juga menyukai