PENDAHULUAN
Tujuan Umum
Mengetahui definisi child abuse dan cara menatalaksananya secara
komperehensif.
1.3.2
Tujuan Khusus
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Epidemiologi
Menurut data pelanggaran hak anak yang dikumpulkan Komisi Nasional
Perlindungan Anak dari data induk lembaga perlindungan anak yang ada di 30
provinsi di Indonesia dan layanan pengaduan lembaga tersebut, pada tahun 2006
jumlah kasus pelanggaran hak anak yang terpantau sebanyak 13.447.921 kasus
dan pada 200 jumlahnya meningkat 40.398.625 kasus. Di samping itu Komnas
Anak juga melaporkan bahwa selama periode Januari-Juni 2008 sebanyak 12.726
anak menjadi korban kekerasan seksual dari orang terdekat mereka seperti orang
tua kandung/tiri/angkat, guru, paman, kakek dan tetangga.4
Pada 2008 kekerasan fisik terhadap anak yang dilakukan oleh ibu kandung
mencapai 9,27 % atau sebanyak 19 kasus dari 205 kasus yang ada. Sedangkan
kekerasan yang dilakukan oleh ayah kandung adalah 5,85% atau sebanyak 12
kasus. Ibu tiri (2 kasus atau 0,98%), ayah tiri (2 kasus atau 0,98%). Bahkan
berdasarkan riset dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan) menyebutkan, perempuan ternyata lebih banyak melakukan
kekerasan terhadap anak dengan presentase sebesar 60 persen dibanding laki-laki.
Kondisi ini menimbulkan keprihatinan tersendiri bagi kelangsungan generasi
penerus bangsa, sehingga perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengurangi
kekerasan terhadap anak terutama di dalam keluarga.3
2.3 Faktor Risiko
Menurut Snyder (1983), perlakuan salah terhadap anak adalah sebagai
akibat dari pelepasan tujuan hidup orang tua, hubungan orang tua dengan anak
tidak lebih dari hubungan biologi saja. Kehidupan orang tua sebagian besar
diliputi pelanggaran hukum, penyalahgunaan penghasilan, pengusiran berulang,
penggunaan alkohol yang berlebihan, dan keadaan rumah yang menyedihkan.
Orang tua seperti ini kelihatannya tidak mampu menolong dirinya sendiri. Mereka
menganiaya anaknya seolah-olah sebagai pelampiasan rasa frustrasinya, ketidak
bertanggungjawabannya, ketidak berdayaannya dan sebagainya. Orang tua seperti
kasus di atas lebih sering menganiaya anak yang lebih besar karena pada
umumnya mereka lebih mawas terhadap sesuatu perbedaan dengan orang tua
mereka sehingga seolah-olah anak tersebut melawan orang tuanya. Anak yang
dianiaya tersebut tampak oleh si penganiaya sebagai saingan atau penghalang
yang harus dihancurkan atau paling tidak, harus disakiti.5
Faktor-faktor risiko terhadap kejadian child abuse dapat ditinjau dari 3
aspek yaitu faktor sosial, orang tua dan anak.
1. Faktor masyarakat/sosial, yaitu tingkat kriminalitas yang tinggi, layanan
sosial yang rendah, kemiskinan yang tinggi, tingkat pengangguran yang
tinggi, adat istiadat mengenai pola asuh anak, pengaruh pergeseran budaya,
stress pada para pengasuh, budaya memberikan hukuman badan kepada anak,
dan pengaruh media massa.
2. Faktor orang tua atau situasi keluarga, yaitu riwayat orang tua dengan
kekerasan fisik atau seksual pada masa kecil, orang tua remaja, imaturitas
emosi, kepercayaan diri rendah, dukungan sosial rendah, keterasingan dari
masyarakat, kemiskinan, kepadatan hunian (rumah tinggal), masalah interaksi
dengan masyarakat, kekerasan dalam rumah tangga, riwayat depresi dan
masalah kesehatan mental lainnya (ansietas, skizoprenia), mempunyai banyak
anak balita, riwayat penggunaan zat/ obatobatan terlarang (NAPZA) atau
alkohol, kurangnya dukungan sosial bagi keluarga, diketahui ada riwayat
child abuse dalam keluarga, kurang persiapan menghadapi stres saat
kelahiran anak, kehamilannya disangkal, orang tua tunggal, riwayat bunuh
diri pada orang tua/ keluarga, pola mendidik anak, nilai-nilai hidup yang
dianut orangtua, dan kurang pengertian mengenai perkembangan anak.
3. Faktor anak, yaitu, prematuritas, berat badan lahir rendah, cacat, dan anak
dengan masalah/ emosi.
Gambar 2.1 Faktor faktor yang mempengaruhi perlakuan yang salah pada anak3
Klasifikasi
1.
2.
-
Perlakuan salah terhadap anak, dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu:3
Berdasarkan jenis perlakuan salah:
Penganiayaan fisik
Penganiayaan emosional
Penganiayaan seksual
Kelalaian atau penelantaran anak
Sindrom Munchausen
Berdasarkan lokasi
Dalam keluarga
1.
2.
putus sekolah.
Penganiayaan emosional
Penganiayaan emosional bisa berupa verbal abuse, mental abuse, atau
psychological maltreatment abuse; dengan kecaman kata-kata yang merendahkan
anak, membandingkan negatif dengan anak lain, tidak pernah memberikan
ganjaran yang positif, tidak pernah mengucapkan "sayang" atau memeluk anak,
sering menuduh anak, memanggil anak dengan sebutan yang merendahkan anak,
atau tidak mengakui sebagai anak. Keadaan ini sering berlanjut dengan melalaikan
anak, mengisolasikan anak dari lingkungan dan hubungan sosialnya, atau
menyalahkan anak secara terus menerus. Penganiayaan emosional seperti ini
umumnya selalu diikuti bentuk penganiayaan lain.
4.
Penganiayaan seksual
Penganiayaan seksual berupa mengajak anak untuk melakukan aktivitas
seksual yang melanggar norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat,
meskipun anak tidak memahami atau tidak bersedia. Aktivitas seksual dapat
berupa semua bentuk oral genital, genital, anal, atau sodomi. Incest adalah
penganiayaan seksual oleh orang yang masih berada dalam hubungan keluarga.
Hal-hal yang juga termasuk penganiayaan seksual adalah menunjukkan alat
kelamin, foto pornografi, berkata "jorok" kepada anak; tidak menghormati
privacy anak dengan memaksa anak tidak pakai baju, mengintip anak mandi/tidur,
membujuk anak melihat situs pornografi di internet, exploitasi seksual, dan
lainnya.
5.
Sindrom Munchausen
Diagnosis
Pendekatan klinis bayi dan anak yang kemungkinan mengalami kekerasan
fisik/ child abuse tidak jauh berbeda dengan standar pelayanan kesehatan anak
pada umumnya. Diagnosis child abuse biasanya didasarkan pada riwayat dan
penemuan fisik. Tingkah laku penderita biasanya mempunyai ciri khas, seperti
kontak mata anak kurang (lack of eye contact), takut sentuhan, bahasa tidak
teratur, gelisah berlebihan, pakaian tidak teratur, dan perubahan suasana hati yang
drastis.6
Anak yang mengalami cedera berat harus distabilisasikan dan mendapat
resusitasi terlebih dahulu oleh tim yang terdiri atas spesialis anak, bedah, dan tim
gawat darurat sebelum evaluasi lebih lanjut. Setelah anak stabil, dilakukan
anamnesis terhadap riwayat penyakit anak serta pemeriksaan fisik. Anamnesis
yang teliti, cermat, hati-hati dan rinci mutlak dilakukan.7
Anamnesis pada anak yang sudah dapat berbicara sebaiknya juga
dilakukan terpisah dari orang tuanya. Secara umum, kecurigaan adanya kekerasan
pada anak patut dipikirkan bila pada anamnesis didapatkan beberapa hal di bawah
ini:8
1. Ketidakcocokan riwayat kecelakaan yang diceritakan dengan jenis atau
beratnya trauma. Contohnya distribusi atau jenis lesi tidak sesuai dengan
10
Gagal tumbuh sering muncul bersamaan dengan anak yang mendapat kekerasan
fisik.7
a. Pemeriksan Pada Kasus Kekerasan Fisik
Beberapa keadaan yang dapat ditemukan pada kekerasan fisis: 7,8,10,11
1. Lokasi luka atau trauma berada pada area yang tidak lazim mengalami
kecelakaan seperti daerah lengan atas, paha, bokong dan genital. Memar yang
tidak disengaja akibat benturan adalah yang paling sering ditemukan. Lokasi
umumnya pada permukaan yang tipis di atas tulang seperti tulang kering,
lengan bawah, dagu, dan alis.
2. Adanya bentuk perlukaan atau trauma yang multipel dengan beberapa tingkat
penyembuhan. Misalnya: sundutan rokok yang baru dan masih basah, namun
ada pula yang dalam penyembuhan.
3. Temuan kekerasan yang bervariasi mulai dari memar ringan, hematoma,
abrasi hingga keadaan yang mengancam kehidupan anak.
4. Terdapat beberapa bentuk kelainan yang khas dan tidak lazim seperti:
a. Tanda dengan konfigurasi tertentu seperti konfigurasi jari tangan, kabel,
benda tumpul atau seterika.
b. Bekas gigitan berupa memar berbentuk bulan sabit yang saling
berhadapan.
c. Tanda cekikan di leher atau pergelangan kaki
d. Tanda alopesia traumatis yaitu berupa rambut yang putus dengan ukuran
panjang yang bervariasi
5. Luka bakar pada daerah yang tak lazim, seperti luka bekas setrika di daerah
lengan dalam. Jenis dan bentuk luka bakar yang khas.
6. Perdarahan berupa ptekie di area wajah dan bahu dapat disebabkan oleh
muntah-muntah dan menangis hebat.
7. Muntah berulang, ruptur hati dan limpa, dapat terjadi pada kasus trauma
abdomen.
11
8. Shaken baby syndrome. Pada kasus ini dapat terjadi hematoma subdural yang
dapat menyebabkan gejala sisa yang serius, bahkan kematian akibat pukulan
ataupun trauma guncangan yang keras.7,8
9. Munchhausen syndrome by proxy (MSBP) merupakan satu bentuk kekerasan
pada anak dengan empat karakteristik, yaitu anak dibawa ke dokter dengan
gejala palsu suatu penyakit yang dibuat-buat oleh pengasuh (umumnya oleh
ibu); riwayat anak dibawa ke beberapa dokter yang berbeda dan menjalani
berbagai tes diagnostik dan terapi; pengasuh tidak mengakui penyebab
kondisi anak yang sebenarnya; serta tanda dan gejala yang tidak dapat
dijelaskan secara medis saat anak dipisahkan dari orang tua/pelaku.10
Gambar 2.2 Jejas yang dapat ditemukan pada kekerasan pada anak11
12
Gangguan dalam mengendalikan buang air besar dan atau buang air kecil.
Cedera pada buah dada, bokong, perut bagian bawah, paha, sekitar alat
kelamin atau dubur.
Pakaian dalam robek dan atau adanya bercak darah pada pakaian dalam.
Rasa nyeri bila buang air besar atau buang air kecil.
13
penyakit
menular
seksual
(gonorrhea,
sifilis,
chlamydia,
14
15
Dehidrasi
Keterlambatan perkembangan
Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologis
Gambaran radiologis tertentu dapat merupakan indikator kuat adanya
perlakuan yang salah pada anak secara fisik; antara lain fraktur metafisis corner
atau fraktur bucklet handle pada tulang panjang bayi yang belum bisa jalan,
fraktur multipel iga atau tulang panjang bayi, fraktur spiral tulang panjang pada
16
bayi yang belum bisa jalan, fraktur multipel iga atau tulang panjang dengan
berbagai derajat penyembuhan. Temuan ini mengharuskan dokter untuk mencari
penjelasan penyebab trauma tersebut. Survei tulang secara radiologis perlu
dilakukan pada anak yang diduga diperlakukan salah tetap belum dapat berbicara.
Perdarahan subdural yang didapat melalui CT atau MRI berhubugan erat dengan
perlakuan salah pada anak. USG berguna untuk mendiagnosis trauma abdomen
pada anak, tetapi tidak berguna untuk mendiagnosis perdarahan subdural.13
b. Laboratorium
Pemeriksaan koagulasi berguna untuk anak yang mengalami banyak
memar pada berbagai tingkat umur yang berbeda. Berbagai kelainan koagulasi
dapat mengacaukan diagnosis, tetapi perlakuan salah pada anak dan koagulopati
merupakan satuan klinis yang berlainan. Anak dengan sepsis polimikroba, apnea
rekuren, dehidrasi kronis tanpa penyebab yang diketahui, atau kelainan laboratoris
lain yang berat harus dicurigai sebagai sindrom Munchausen by proxy.13
2.6
kebutuhan baik asuh, asih, maupun asah. Bila salah satu tidak terpenuhi maka
akan terjadi kepincangan dalam tumbuh kembang anak. Dampak yang terjadi
dapat secara langsung maupun tidak langsung atau dampak jangka pendek dan
dampak jangka panjang.
Pertumbuhan dan perkembangan anak yang mengalami child abuse, pada
umumnya lebih lambat dari pada anak yang normal. Dampak langsung terhadap
kejadian child abuse diantaranya adalah 5% mengalami kematian, 25%
mengalami komplikasi serius seperi patah tulang, luka bakar, cacat menetap.
17
2.7
Tatalaksana
18
Tata laksana kekerasan pada anak mencakup aspek medis, psikologis, dan
medikolegal, sehingga memerlukan keterlibatan multidisplin. Tata laksana medis
meliputi tata laksana kegawatdaruratan, cedera, dan infeksi. Dokumentasi medis
harus lengkap termasuk semua pernyataan verbal dan temuan pemeriksaan.
Advokasi berkelanjutan untuk menjamin keselamatan dan kesehatan anak perlu
dilakukan. Orangtua harus diinformasikan mengenai kemungkinan adanya
perlakuan salah pada anak dan perlu untuk melaporkannya kepada CPS (child
protection service=lembaga perlindungan anak), dengan fokus untuk menjamin
kebutuhan keamanan dan kesejahteraan anak.8,15
Penegak hukum akan menyelidiki kasus kejahatan pada anak, sehingga
polisi akan terlibat pada beberapa, namun tidak semua kasus, yang dicurigai
sebagai suatu perlakuan salah pada anak. Dokter dapat diminta bersaksi di
pengadilan mengenai isu-isu sipil, seperti dependensi, hak asuh anak, atau
masalah kesehatan. Telaah menyeluruh terhadap catatan medis diperlukan untuk
memberikan pendapat secara ilmiah mengenai diagnosis dan kondisi medis anak
secara obyektif dan tidak bias.8,11,15
Tata laksana psikologis pada pasien dilakukan secara individu dan
pendekatan psikososial terhadap keluarga untuk menghindari terulangnya kembali
kekerasan pada anak. Seringkali anak korban kekerasan berasal dari keluarga yang
memiliki masalah, seperti hubungan orangtua yang tidak baik, salah satu orang
tua memiliki gangguan kepribadian yang cenderung mudah melakukan kekerasan
(abusive parent), dan lainnya. Tenaga kesehatan perlu melakukan persuasi yang
dilanjutkan dengan konseling dan edukasi terhadap orang tua tentang pentingnya
19
Gambar 2.3 Pendekatan untuk memulai penyelidikan kecurigaan adanya perlakuan salah.11
20
Gambar 2.4 Pelaporan ke lembaga perlindungan anak (CPS) atau penegak hukum, atau keduanya,
pada kasus perlakuan salah pada anak.11
21
22
Pencegahan
Anak korban kekerasan merupakan bagian dari children in need of special
protection. Oleh sebab itu, pencegahan kasus kekerasan pada anak harus
melibatkan anak, keluarga, dan lingkungannya.21
Pencegahan tingkat pertama (primary prevention) meliputi pendidikan
kesehatan untuk anak dan keluarga, dan perlindungan pada anak dengan
membantu keluarga mengantisipasi hal yang dapat menimbulkan kekerasan pada
anak.10 Salah satu contoh upaya pencegahan primer adalah pada kasus jumlah
balita yang banyak dalam satu keluarga dapat menjadi faktor risiko kekerasan
pada anak. Program Keluarga Berencana (KB) berperan penting untuk mencapai
kelangsungan hidup anak agar mencapai tumbuh kembang yang optimal. Konsep
kelangsungan hidup anak ini dikembangkan menjadi konsep Kelangsungan
Hidup, Perkembangan dan Perlindungan Anak.Perlindungan anak dianggap perlu
ditambahkan karena menyangkut pengakuan hak anak, terutama dalam
penanganan secara utuh golongan anak dalam situasi teramat sulit (children in
especially difficult situations). Sehingga perlu edukasi pada keluarga untuk
mengikuti program KB.22
Secondary prevention atau pencegahan tingkat kedua meliputi deteksi dini
anak dengan kekerasan, konseling pada anak dan keluarga, dan perawatan anak
23
kita temui dalam pasal pidana penganiayaan ringan yaitu Pasal 351 dan 352 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 80 ayat (1) dan pasal 76 C
Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang Undang
Nomor 23 Tahun 20012 tentang Perlindungan Anak (UU 35/2014).
Pasal 76 C UU 35/2014
Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh
melakukan atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak
Pasal 80 ayat (1)UU 35/2014
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal
76 C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3(tiga) tahun 6(enam) bulan
dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
24
BAB III
KESIMPULAN
1. Perlakuan yang salah terhadap anak adalah (child abuse) adalah semua
bentuk
perlakuan
menyakitkan
secara
fisik
ataupun
emosional,
DAFTAR PUSTAKA
25
The National Child Abuse and Neglect Data System. Diakses tanggal 2
Desember 2016.
Diunduh dari:
https://www.childwelfare.gov/systemwide/statistics/can/stat_natl_state.cfm
17. Pusat Krisis Terpadu. Rekapitulasi data kasus PKT RS Cipto Mangunkusumo.
Pusat Krisis Terpadu. Jakarta, 2014.
18. IGE O.K, Fawole OI. Evaluating the medical care of child sexual abuse
victims in a general hospital in Ibadan, Nigeria. Ghana Medical Journal,
2012; 46:22-6.
19. JohnsonCF.Abuse and neglect of children. Dalam: Behrman RE, Kliegman
RM, Jenson HB, Stanton BF,penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi
ke-18. Philadelphia: WB Saunders. 2007; 171-84.
20. Flaherty EG, Sege R, Dhepyasuwan N, Price LL, Wasserman R. Child abuse
suspicion and reporting among primary care practitioners. Diunduh dari
http:// www.aap.org/research/abstracts/05abstract2.htm. Diakses pada tanggal
5 Desember 2016.
21. Children in need of special protection. Diakses tanggal 5 Desember 2016.
Diunduh dari:
http://www.ci.org.za/depts/ci/plr/pdf/salrc_dis/16-dp103-ch13.pdf.
22. Sularyo TS. Kependudukan, keluarga berencana dan kesehatan anak. Dalam:
Narendra MB, Sularyo TS, Soetjiningsih, Suyitno H, Ranuh IgNG,
Wiradisuria S. Tumbuh Kembang anak dan remaja. Buku ajar II. Edisi
Pertama. Jakarta:IkatanDokter Anak Indonesia. 2005; 30-56.
27