Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN RESMI

BIOLOGI TERAPAN
Pengaruh perbedaan jumlah larutan EM4 (Efective Mickroorganism)
terhadap kecepatan pembuatan pupuk kompos
berbahan baku sampah dedaunan

Disusun Oleh :
Kelompok III
Firda Putri Darojati

13312241013

Ema Nurkhasanah

13312241022

Maya Nurohmawati

13312241033

Rachmad Aji Wijaya

13312241078

Adnan Faruliansyah

13312244007

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN IPA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
JANUARI, 2016

HALAMAN PENGESAHAN:
BIOLOGI TERAPAN
FAKULTAS MIPA, UNY
Oleh:
Kelompok III
Yogyakarta, 11 Januari 2016
Anggota Kelompok:
Nama
Firda Putri Darojati
Ema Nurkhasanah
Maya Nurohmawati
Rachmad Aji Wijaya
Adnan Faruliansyah

NIM
13312241013
13312241022
13312241033
13312241078
13312244007

Tanda tangan
(
(
(
(
(

)
)
)
)
)

Disahkan pada tanggal 11 Januari 2015 pukul 11.00 WIB.

Mengetahui,
Dosen

(Ekosari R. M,Pd)

A. JUDUL
Pengaruh perbedaan jumlah larutan EM4 (Efective Mickroorganism) terhadap
kecepatan pembuatan pupuk kompos berbahan baku sampah dedaunan

B. TUJUAN
1. Untuk mengetahui jumlah larutan EM4 yang paling baik untuk mempercepat
proses pembuatan kompos.
2. Untuk mengetahui cara pembuatan kompos berbahan baku sampah dedaunan.
C. LATAR BELAKANG
Sampah adalah bahan padat buangan dari kegiatan rumah tangga, pasar,
perkantoran, ruamh penginapan, hotel, rumah makan, industri, atau aktivitas manusia
lainnya. Sampah merupakan hasil sampingan dari aktivitas manusia yang sudah tidak
terpakai (Nurhidayat, 2006). Sampah juga merupakan bagian terintim dari diri
manusia yang hingga saat ini masalahnya selalu menarik untuk dibicarakan tetapi
menakutkan untuk dijamah. Berawal dari keberadaan sampah tersebut maka estetika
akan berkurang nilainya jika sampah dibiarkan ada dimana-mana. Semua riset
mengatakan bahwa pertambahan jumlah sampah sama dengan pertambahan jumlah
penduduk sehingga, semakin banyak penduduk yang menghuni bumi maka jumlah
sampah juga akan semakin bertambah (Ritapunto, 2009).
Kesadaran masyarakat tentang hidup bersih dan teratur perlu terus
ditumbuhkan, salah satunya dalam penanganan sampah dari skala rumah tangga
karena sampah juga merupakan bagian dari perilaku hidup bersih dan sehat. Untuk
mengubah kebiasaan membuang sampah menjadi mengelola sampah perlu upaya
yang dimulai secara individual di setiap rumah (Atmojo, 2007).Untuk menjaga
lingkungan bersih bebas dari sampah salah satu solusinya mengubah kebiasaan
membuang sampah untuk mengolah sampah menjadi kompos dimulai dari sampah
rumah tangga (Andriyeni, 2009). Karena sebagiansampah yang dihasilkan
merupakan sampah organik (sampah basah), yaitu mencapai 60-70% dari total
volume sampah, yang berasal dari dapur dan halaman. Sampah organik ini, jika
pengelolaannya tidak secara benar maka akan memberikan bau busuk (H2S dan FeS)
dan akan menjadi sumber lalat, bahkan dapat menjadi sumber lebih dari 25 jenis
penyakit (Atmojo, 2007).
Sampah organik yang masih mentah, apabila diberikan secara langsung ke
dalam tanah, justru akan berdampak menurunkan ketersediaan hara tanah,
disebabkan sampah organik langsung akan disantap oleh mikroba. Populasi mikroba
yang tinggi, justru akan memerlukan hara untuk tumbuh dan berkembang, dan hara
tadi diambil dari tanah yang seyogyanya digunakan oleh tanaman, sehingga mikroba
dan tanaman saling bersaing merebutkan hara yang ada. Berdasarkan keadaan

tersebut, justru akan terjadi gejala kekurangan hara nitrogen (N) yang sering
ditunjukan oleh daun berwarna kekuning-kuningan (clorosis) (Atmojo, 2007).
Alam memiliki andil besar dalam pengolahan sampah secara otomatis
terutama sampah organik. Akan tetapi kerja keras alam dalam pengolahan sampah
secara natural sangat tidak berimbang dibanding berjuta ton volume sampah yang
diproduksi. Selain itu sampah tidak selalu harus dibuang karena dengan sedikit
kreatifitas dan kerja keras manusia, sampah yang tidak layak pakai dapat berubah
menjadi barang kaya manfaat. Beragam jenis sampah, terutama sampah organik
dapat dengan mudah dan sederhana diaplikasikan menjadi bahan olahan (Andriyeni,
2009).
Berdasarkan hal tersebut, kelompok kami akan menjelasakan dan
mempraktekan cara pengolahan sampah organik yang berasal dari rumah tangga
khususnya berbahan dasar sampah sayur. Pada kegiatan ini, kelompok kami akan
mengambil judul Pengaruh perbedaan jumlah EM4 terhadap kecepatan pembuatan
kompos berbahan baku sampah dedaunan. Dengan adanya pengolahan ini diharap
dapat membantu mengurangi sampah yang ada di lingkungan.
D. KAJIAN PUSTAKA
1. Definisi Kompos, Komposting dan Sampah
a. Kompos
Kompos adalah hasil penguraian parsial dari campuran bahan-bahan
organic yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam
mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobic atau
anaerobic.
Menurut Soetedjo (2002), kompos merupakan zat akhir suatu proses
fermentasi, tumpukan sampah atau tanaman maupun bangkai binatang.
Sesuai dengan humifikasi fermentes suatu pemupukan, dirincikan oleh hasil
bagi C/N yang menurun. Perkembangan mikrobia memerlukan waktu agar
tercapai suatu keadaan fermentasi yang optimal. Pada kegiatan mempercepat
proses dipakai aktifator, baik dalam jumlah sedikit maupun banyak. Aktifator
yang digunakan misalnya kotoran hewan.
b. Komposting
Komposting adalah adalah hasil dekomposisi sampah organic yang
tidak dapat diuraikan lagi (stabil). Komposting adalah proses dimana bahan
organik mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikrobamikroba yang memanfaatkan bahan organic sebagai sumber energi. Membuat

kompos adalah mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos
dapat terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi membuat campuran bahan
yang seimbang, pemberian air yang cukup, pengaturan aerasi, dan
penambahan

aktivator

pengomposan.

Komposting

merupakan

upaya

pengurangan sampah organik melalui proses atau pengolahan.


Pada dasarnya semua bahan-bahan organik padat dapat dikomposkan,
misalnya limbah organik rumah tangga, sampah-sampah organik pasar atau
kota, kertas, kotoran/limbah peternakan, limbah- limbah pertanian, limbahlimbah agroindustri, limbah pabrik kertas, limbah pabrik gula, limbah pabrik
kelapa sawit. Bahan organik yang sulit untuk dikomposkan antara lain:
tulang, tanduk, dan rambut.
c. Sampah
Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah, definisi sampah adalah Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari
manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Menurut WHO, sampah
adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi atau
sesuatu yang dibuang berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan
sendirinya.
Sampah yang dikelola berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2008 tentang Pengelolaan Sampah terdiri atas sampah rumah tangga, sampah
sejenis sampah rumah tangga, dan sampah spesifik. Sampah rumah tangga
merupakan sampah yang berasal dari kegiatan sehari-hari dalam rumah
tangga, tidak termasuk tinja dan sampah spesifik. Sampah sejenis sampah
rumah tangga adalah sampah yang berasal dari kawasan komersial, kawasan
industri, kawasan khusus, fasilitas sosial, fasilitas umum, dan/atau fasilitas
lainnya. Sampah spesifik yakni meliputi:sampah yang mengandung bahan
berbahaya dan beracun, sampah yang mengandung limbah bahan berbahaya
dan beracun, sampah yang timbul akibat bencana, puing bongkaran
bangunan, sampah yang secara teknologi belum dapat diolah, dan/atau
sampah yang timbul secara tidak periodik.
2. Jenis-jenis sampah

Jenis sampah yang ada di sekitar manusia cukup beraneka ragam, ada
yang berupa sampah rumah tangga, sampah industri, sampah pasar, sampah
rumah sakit, sampah pertanian, sampah perkebunan, sampah peternakan, sampah
institusi/kantor/sekolah, dan sebagainya.
Berdasarkan bahan asalnya, sampah dibedakan menjadi (Nurhidayat dan
Purwendro 2006) :
a. Sampah Organik
Sampah organik adalah sampah yang dihasilkan dari bahan bahan
hayati yang dapat didegradasi oleh mikroba atau bersifat biodegradable.
Sampah ini dengan mudah dapat diuraikan melalui proses alami. Sampah
rumah tangga sebagian besar merupakan bahan organik. Termasuk sampah
organik, misalnya sampah dari dapur, sisa sisa makanan, pembungkus
(selain kertas, karet dan plastik), tepung , sayuran, kulit buah, daun dan
ranting.
b. Sampah Anorganik
Sampah anorganik adalah sampah yang dihasilkan dari bahan- bahan
nonhayati, baik berupa produk sintetik maupun hasil proses teknologi
pengolahan bahan tambang. Sampah anorganik dibedakan menjadi : sampah
logam dan produk produk olahannya, sampah plastik, sampah kertas,
sampah kaca dan keramik, sampah detergen. Sebagian besar anorganik tidak
dapat

diurai

oleh

alam/mikroorganisme

secara

keseluruhan

(unbiodegradable). Sementara, sebagian lainnya hanya dapat diuraikan dalam


waktu yang lama. Sampah jenis ini pada tingkat rumah tangga misalnya botol
plastik, botol gelas, tas plastik, dan kaleng.
Berdasarkan keadaan sifat fisiknya sampah dikelompokkan menjadi
dua jenis, yaitu:
a. Sampah basah (garbage)
Sampah yang termasuk sampah basah merupakan sisa sisa
pengolahan atau sisa sisa makanan dari rumah tangga atau merupakan
timbulan hasil sisa makanan, seperti sayur mayur, yang mempunyai sifat
mudah membusuk, sifat umumnya adalah mengandung air dan cepat
membusuk sehingga mudah menimbulkan bau.
b. Sampah kering (rubbish)

Sampah yang termasuk golongan sampah kering diklompokkan


menjadi dua jenis, yakni, golongan sampah tak lapuk dan sampah tak lapuk.
Golongan sampah lapuk benar-benar tak akan bisa lapuk secara alami,
sekalipun telah memakan waktu beberapa tahun, contohnya kaca dan mika.
Sedangkan golongan sampah tak mudah lapuk akan sulit lapuk, tetapi akan
bisa lapuk perlahan secara alami. Sampah jenis ini masih bisa dipisahkan lagi
atas sampah yang mudah terbakar, contohnya seperti kertas dan kayu, dan
sampah tak mudah lapuk yang tidak bisa terbakar, seperti kaleng dan kawat.
3. Metode Pengomposan
Proses pengomposan baik secara aerob dan anaerob dapat diterapkan
dalam pengolahan sampah kota. Umumnya proses anaerob lebih komplek
dibandingkan proses aerob. Proses anaerob memungkinkan produksi energi
dalam bentuk gas metan yang dapat dimanfaatkan lebih lanjut. Sebaliknya proses
aerob memerlukan energi karena suplay oksigen harus diberikan agar proses
penguraian sampah berlangsung optimum. Namun demikian, proses aerob
memiliki kelebihan yakni mudah pengoperasiannya dan bila dilakukan dengan
benar dapat mereduksi volume sampah kota khususnya materi organiknya.
Pengomposan aerob merupakan proses penguraian secara biologis yang
paling banyak diterapkan dalam merubah materi organik sampah kota menjadi
materi yang stabil menyerupai humus atau lebih dikenal kompos. Bahan kompos
yang paling banyak diterapkan adalah :
a) Sampah kebun atau halaman.
b) Sampah kota telah dipisahkan materi organiknya.
c) Komposting bersama lumpur air buangan.
d) Limbah-limbah pertanian
e) Limbah-limbah agroindustry
f) Limbah pabrik kertas
g) Limbah pabrik gula
h) Limbah pabrik kelapa sawit
Tabel 1. Perbandingan Proses Pengomposan Aerob dan Anaerob
Karakteristik

Aerob

Anaerob

Pemakaian energi

Pemakai energi

Penghasil energi

Produk akhir

Humus,CO2,H2O

Lumpur,CO2,CH4

Reduksi volume sampah

Mencapai 50 %

Mencapai 50 %

Waktu pengomposan

20-30 hari

20-40 hari

Tujuan Primer

Reduksi volume

Produk energi

Tujuan Sekunder

Produk kompos

Reduksi volume, stabilisasi


sampah.

Sumber : Winarko & Darjati,2003


Tabel 2. Kadar Nitrogen (Dalam Persen) dan Rasio C/N dari Beberapa Sampah
(Dalam Berat Kering)
No

1.

2.

3.

4.

Macam sampah

Persen N
Rasio C/N
Kotoran Hewan
Sapi
1,7
18,0
Kuda
2,3
25,0
Babi
3,75
20,0
Ayam
6,3
15,0
Lumpur
Lumpur aktif terdigesti 1,88
15,7
Lumpur aktif segar
5,6
6,3
Sampah Halaman
Daun segar
0,5-1,0
40,0-80,0
Rumput
2,15
20,1
Kertas
Kertas koran
0,05
983
Kertas campuran
0,25
173
Sumber : Winarko & Darjati,2003
Tabel 3 Perkiraan Komposisi C/N dari Berbagai Bahan Organik

No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Bahan
Rumput Potong
Rumput Liar
Daun
Kertas
Sampah Berat
Sampah Makanan
Serbuk Gergaji/kayu

C/N rasio

Kelembaban

(berat/berat)

(%)

20
19
60
170
35
15
450

85
85
40
10
80
80
15

C/100
gr.bahan
basah(gram)
6
6
24
86
8
8
34

N/100
gr.bahan
basah
(gram)
0,3
0,3
0,4
0,2
0,2
0,5
0,08

8.

Kotoran

Ayam(non

feses
9. Feses ayam
10. Jerami
11. Kotoran Lembu
12. Urine Manusia

450

30

10
30
25
100
10
36
12
50
20

Sumber : Winarko & Darjati,2003

4,3
2,5
0,4
1,7
0,9 (/100 ml)

4. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Pengomposan


Setiap organisme pendegradasi bahan organik membutuhkan kondisi
lingkungan dan bahan yang berbeda-beda. Apabila kondisinya sesuai, maka
dekomposer tersebut akan bekerja giat untuk mendekomposisi limbah padat
organik. Apabila kondisinya kurang sesuai atau tidak sesuai, maka organisme
tersebut akan dorman, pindah ke tempat lain, atau bahkan mati. Menciptakan
kondisi yang optimum untuk proses pengomposan sangat menentukan
keberhasilan proses pengomposan itu sendiri. Faktor-faktor yang mempengaruhi
proses pengomposan antara lain:
a. Rasio C/N
Rasio C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara
30:1 hingga 40:1. Mikroba memecah senyawa C sebagai sumber energi dan
menggunakan N untuk sintesis protein. Pada rasio C/N di antara 30 s/d 40
mikroba mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk sintesis protein.
Apabila rasio C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sintesis
protein sehingga dekomposisi berjalan lambat.
b. Ukuran Partikel
Aktifitas mikroba berada di antara permukaan area dan udara.
Permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara mikroba
dengan bahan dan proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Ukuran
partikel juga menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas). Untuk
meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran
partikel bahan tersebut.
c. Aerasi
Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup
oksigen(aerob). Aerasi secara alami akan terjadi pada saat terjadi peningkatan
suhu yang menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin
masuk ke dalam tumpukan kompos. Aerasi ditentukan oleh porositas dan

kandungan air bahan(kelembaban). Apabila aerasi terhambat, maka akan


terjadi proses anaerob yang akan menghasilkan bau yang tidak sedap. Aerasi
dapat ditingkatkan dengan melakukan pembalikan atau mengalirkan udara di
dalam tumpukan kompos.
d. Porositas
Porositas adalah ruang diantara partikel di dalam tumpukan kompos.
Porositas dihitung dengan mengukur volume rongga dibagi dengan volume
total. Rongga-rongga ini akan diisi oleh air dan udara. Udara akan mensuplai
oksigen untuk proses pengomposan. Apabila rongga dijenuhi oleh air, maka
pasokan oksigen akan berkurang dan proses pengomposan juga akan
terganggu.
e. Kelembaban (Moisture content)
Kelembaban memegang peranan yang sangat penting dalam proses
metabolisme mikroba dan secara tidak langsung berpengaruh pada
ketersediaan oksigen. Mikroorganisme dapat memanfaatkan bahan organik
apabila bahan organik tersebut larut di dalam air. Kelembaban 40-60 %
adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroba. Apabila kelembaban di
bawah 40%, aktifitas mikroba akan mengalami penurunan dan akan lebih
rendah lagi pada kelembaban 15%. Apabila kelembaban lebih besar dari
60%, hara akan tercuci, volume udara berkurang, akibatnya aktifitas mikroba
akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau
tidak sedap.
f. Temperatur/suhu
Panas dihasilkan dari aktifitas mikroba. Ada hubungan langsung
antara peningkatan suhu dengan konsumsi oksigen. Semakin tinggi
temperatur akan semakin banyak konsumsi oksigen dan akan semakin cepat
pula proses dekomposisi. Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat pada
tumpukan kompos. Temperatur yang berkisar antara 30-60 oC menunjukkan
aktifitas pengomposan yang cepat. Suhu yang lebih tinggi dari 60oC akan
membunuh sebagian mikroba dan hanya mikroba termofilik saja yang akan
tetap bertahan hidup. Suhu yang tinggi juga akan membunuh mikrobamikroba patogen tanaman dan benih-benih gulma.
g. pH

Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang lebar. H yang


optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6,5 sampai 7,5. pH
kotoran ternak umumnya berkisar antara 6,8 hingga 7,4. Proses pengomposan
sendiri akan menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH bahan itu
sendiri. Sebagai contoh, proses pelepasan asam, secara temporer atau lokal,
akan menyebabkan penurunan pH, sedangkan produksi amonia dari senyawasenyawa yang mengandung nitrogen akan meningkatkan pH pada fase-fase
awal pengomposan. pH kompos yang sudah matang biasanya mendekati
netral.
h. Kandungan hara
Kandungan P dan K juga penting dalam proses pengomposan dan
biasanya terdapat di dalam kompos-kompos dari peternakan. Hara ini akan
dimanfaatkan oleh mikroba selama proses pengomposan.
i. Kandungan bahan berbahaya
Beberapa bahan organik mungkin mengandung bahan-bahan yang
berbahaya bagi kehidupan mikroba. Logam-logam berat seperti Mg, Cu, Zn,
Nickel, dan Cr adalah beberapa bahan yang termasuk kategori ini. Logamlogam berat akan mengalami imobilisasi selama proses pengomposan.
j. Lama pengomposan
Lama waktu pengomposan tergantung pada karakteristik bahan yang
dikomposakan, metode pengomposan yang digunakan dan dengan atau tanpa
penambahan aktivator pengomposan. Secara alami, pengomposan akan
berlangsung dalam waktu beberapa minggu sampai 2 tahun hingga kompos
benar-benar matang.
Tabel 4 Kondisi yang Optimal untuk Mempercepat Proses Pengomposan
Kondisi
Rasio C/N
Kelembaban
Konsentrasi oksigen tersedia
Ukuran partikel
Bulk Density
pH
Suhu

Kondisi yang bisa diterima


20:1 s/d 40:1
40 65 %
> 5%
1 inchi
1000 lbs/cu yd
5.5 9.0
43 66oC
(Sumber: Isroi. 2008)

Ideal
25-35:1
45 62 % berat
> 10%
bervariasi
1000 lbs/cu yd
6.5 8.0
54 -60oC

5. Kematangan Kompos
Stabilitas dan kematangan kompos adalah beberapa istilah yang sering
dipergunakan untuk menentukan kualitas kompos. Stabil merujuk pada kondisi
kompos yang sudah tidak lagi mengalami dekomposisi dan hara tanaman secara
perlahan (slow release) dikeluarkan ke dalam tanah. Stabilitas sangat penting
untuk menentukan potensi ketersediaan hara di dalam tanah atau media tumbuh
lainnya. Kematangan adalah tingkat kesempurnaan proses pengomposan. Pada
kompos yang telah matang, bahan organik mentah telah terdekomposisi
membentuk produk yang stabil.
Untuk mengetahui tingkat kematangan kompos dapat dilakukan dengan
uji dilaboratorium ataupun pengamatan sederhana di lapangan. Berikut ini
disampaikan cara sederhana untuk mengetahui tingkat kematangan kompos
(Isroi, 2008).
a. Dicium atau dibaui
Jika proses pembuatan kompos berjalan dengan normal, maka tidak
boleh menghasilkan bau yang menyengat (bau busuk). Walaupun demikian
dalam pembuatan kompos tidak akan terbebas sama sekali dari adanya bau.
Dengan memanfaatkan indra penciuman, dapat dijadikan sebagai alat untuk
mendeteksi permasalahan yang terjadi selama proses pembuatan kompos.
Sebagai gambaran, jika tercium bau amonia, patut diduga campuran bahan
kompos kelebihan bahan yang mengandung unsur Nitrogen (ratio C/N terlalu
rendah). Untuk mengatasinya tambahkanlah bahan-bahan yang mengandung
C/N tinggi, misalnya berupa:
1)
2)
3)
4)

Potongan jerami
Potongan kayu
Serbuk gergaji
Potongan kertas koran dan atau karton dan lain-lain
Jika tercium bau busuk, mungkin campuran kompos terlalu banyak
mengandung air. Apabila ini terjadi, lakukanlah pembalikan. Kompos yang
sudah matang berbau seperti tanah dan harum. Apabila kompos tercium bau
yang tidak sedap, berarti terjadi fermentasi anaerobik dan menghasilkan
senyawa-senyawa berbau yang mungkin berbahaya bagi tanaman. Apabila
kompos masih berbau seperti bahan mentahnya berarti kompos belum
matang.

b. Warna kompos

Warna kompos yang sudah matang adalah coklat kehitam-hitaman.


Apabila kompos masih berwarna hijau atau warnanya mirip dengan bahan
mentahnya berarti kompos tersebut belum matang.
c. Penyusutan
Terjadi penyusutan volume atau bobot kompos seiring dengan
kematangan kompos. Besarnya penyusutan tergantung pada karakteristik
bahan mentah dan tingkat kematangan kompos. Penyusutan berkisar antara
20-40%. Apabila penyusutan masih kecil atau sedikit kemungkinan proses
pengomposan belum selesai dan kompos belum matang.
d. Tas kantong plastik
Contoh kompos diambil dari bagian dalam tumpukan. Kompos
kemudian dimasukkan dalam kantung plastik, ditutup rapat, dan disimpan
dalam suhu ruang selama kurang lebih 1 minggu. Apabila setelah 1 minggu
kompos berbentuk baik, tidak berbau atau berbau tanah berarti kompos telah
matang.
e. Tes perkecambahan
Contoh kompos diletakkan di dalam bak kecil atau beberapa pot kecil.
Letakkan beberapa benih (3-4 benih). Jumlah benih harus sama. Pada saat
yang bersamaan beberapa benih juga ditaruh di atas kapas basah yang
diletakkan di dalam bak dan ditutup dengan kaca atau plastik bening. Benih
akan berkecambah dalam beberapa hari. Pada hari kelima atau ketujuh hitung
benih yang berkecambah. Bandingkan jumlah kecambah yang tumbuh di
dalam kompos dan di atas kapas basah. Kompos yang matang dan stabil
ditunjukkan oleh banyaknya benih yang sudah berkecambah.
f. Suhu
Suhu kompos yang sudah matang mendekati dengan suhu awal
pengomposan. Suhu kompos yang masih tinggi, atau di atas 50 C berarti
proses pengomposan masih berlangsung aktif.
g. Kandungan air kompos
Kompos yang sudah matang memiliki kandungan air kurang lebih 5565%. Cara mengukur kandungan air kompos adalah sebagai berikut :Ambil
sampel kompos dan ditimbang. Lalu, Kompos dikeringkan dalam oven atau
microwave hingga beratnya konstan, kompos ditimbang kembali.

6. Manfaat Kompos
Kompos ibarat multi-vitamin untuk tanah pertanian. Kompos akan
meningkatkan kesuburan tanah dan merangsang perakaran yang sehat. Kompos
memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan kandungan bahan organik
tanah dan akan meningkatkan kemampuan tanah untuk mempertahankan
kandungan air tanah. Aktifitas mikroba tanah yang bermanfaat bagi tanaman
akan meningkat dengan penambahan kompos. Aktifitas mikroba ini membantu
tanaman untuk menyerap unsur hara dari tanah dan menghasilkan senyawa yang
dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Aktifitas mikroba tanah juga diketahui
dapat membantu tanaman menghadapi serangan penyakit. Tanaman yang
dipupuk dengan kompos juga cenderung lebih baik kualitasnya daripada tanaman
yang dipupuk dengan pupuk kimia, misalnya hasil panen lebih tahan disimpan,
lebih berat, lebih segar, dan lebih enak.
Kompos memiliki banyak manfaat yang ditinjau dari beberapa aspek
yakni sebagai berikut (Isroi, 2008) :
a. Aspek Ekonomi
1) Menghemat biaya untuk transportasi dan penimbunan limbah
2) Mengurangi volume/ukuran limbah
3) Memiliki nilai jual yang lebih tinggi dari pada bahan asalnya
b. Aspek Lingkungan
1) Mengurangi polusi udara karena pembakaran limbah
2) Mengurangi kebutuhan lahan untuk penimbunan
c. Aspek bagi tanah/tanaman
1) Meningkatkan kesuburan tanah
2) Memperbaiki struktur dan karakteristik tanah
3) Meningkatkan kapasitas serap air tanah
4) Meningkatkan aktifitas mikroba tanah
5) Meningkatkan kualitas hasil panen (rasa, nilai gizi, dan jumlah panen)
6) Menyediakan hormon dan vitamin bagi tanaman
7) Menekan pertumbuhan/serangan penyakit tanaman
8) Meningkatkan retensi/ketersediaan hara di dalam tanah
Pada dasarnya kompos dapat meningkatkan kesuburan kimia dan fisik
tanah yang selanjutnya akan meningkatkan produksi tanaman. Pada tanaman
hortikultura (buah-buahan, tanaman hias, dan sayuran) atau tanaman yang
sifatnya perishable ini hampir tidak mungkin ditanam tanpa kompos. Demikian
juga di bidang perkebunan, penggunaan kompos terbukti dapat meningkatkan
produksi tanaman. Di bidang kehutanan, tanaman akan tumbuh lebih baik dengan

kompos. Sementara itu, pada perikanan, umur pemeliharaan ikan berkurang dan
pada tambak, umur pemeliharaan 7 bulan menjadi 5-6 bulan.
Kompos membuat rasa buah-buahan dan sayuran lebih enak, lebih harum
dan lebih masif. Hal inilah yang mendorong perkembangan tanaman organik,
selain lebih sehat dan aman karena tidak menggunakan pestisida dan pupuk
kimia rasanya lebih baik, lebih getas, dan harum. Penggunaan kompos sebagai
pupuk organik saja akan menghasilkan produktivitas yang terbatas. Penggunaan
pupuk buatan saja (urea, SP, MOP, NPK) juga akan memberikan produktivitas
yang terbatas. Namun, jika keduanya digunakan saling melengkapi, akan terjadi
sinergi positif. Produktivitas jauh lebih tinggi dari pada penggunaan jenis pupuk
tersebut secara masing-masing.
Sampah organik secara alami akan mengalami peruraian oleh berbagai
jenis mikroba, binatang yang hidup di tanah, enzim dan jamur. Proses peruraian
ini memerlukan kondisi tertentu, yaitu suhu, udara dan kelembaban. Makin cocok
kondisinya, makin cepat pembentukan kompos, dalam 46 minggu sudah jadi.
Apabila sampah organik ditimbun saja, baru berbulan-bulan kemudian menjadi
kompos. Dalam proses pengomposan akan timbul panas karena aktifitas mikroba.
Ini pertanda mikroba mengunyah bahan organik dan merubahnya menjadi
kompos. Suhu optimal untk pengomposan dan harus dipertahankan adalah 45 0650C. Jika terlalu panas harus dibolak-balik, setidak-tidaknya setiap 7 hari (Nia,
Tanpa Tahun).
7. EM4
Larutan effective microorganisms 4 yang disingkat EM 4 ditemukan pertama
kalioleh Teruo Higa dari Universitas Ryukyus, Jepang. Kurang lebih 80

genus

mikroorganisme fermentasi yang terkandung di dalam EM4. Dari sekian banyak


mikroorganisme, ada lima golongan utama penyusun EM4 yaitu bakteri fotosintetik,
lactobacillus sp., Streptomyces sp., ragi, dan Actinomycetes (Indriani,1999).
Djuarnani et al. (2005) menyatakan bahwa EM4 dapat menekan pertumbuhan
mikroorganisme patogen yang selalu menjadi masalah pada budidaya monokultur dan
budidaya tanaman sejenis secara terus-menerus (continous cropping). EM4 dapat
memfermentasikan sisa pakan dan kulit udang atau ikan di tanah dasar tambak, sehingga gas
beracun dan panas di tanah dasar tambak menjadi hilang. EM4 dapat digunakan untuk

memproses bahan limbah menjadi kompos dengan proses yang lebih cepat dibandingkan
dengan pengolahan limbah secara tradisional.

EM4 atau Efektif Mikroorganisme-4 merupakan salah satu activator


pengomposan. Efektif Mikroorganisme adalah bahan yang membantu mempercepat
proses pembuatan pupuk organik dan meningkatkan kualitas pupuk yang dihasilkan.
Selain itu juga dapat memperbaiki struktur tanah dan tekstur tanah. Kegunaan EM4
antara lain, yaitu:
1. Memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah
2. Meningkatkan produksi tanaman dan menjaga kestabilan produksi
3. Memfermentasi bahan organik tanah dan mempercepat dekomposisi bahan
organik.
E. METODOLOGI PRAKTIKUM
1. Rumusan Masalah
1) Berapa jumlah larutan EM4 yang paling baik untuk mempercepat proses
pembuatan kompos?
2) Bagaimana cara pembuatan kompos berbahan baku sampah dedaunan?
2. Variabel-variabel
Variabel bebas
: Jumlah Larutan EM4 (5 ml; 10 ml; 15 ml dengan campuran
air 250 ml)
Variabel control : Banyaknya sampah daun yang digunakan (5kg), sekam, gula
pasir, tanah, ember atau trash bag
Variabel terikat : kecepatan proses pembuatan kompos berbahan baku sampah
Dedaunan
3. Tempat dan waktu pelaksanaan
Tempat
: Rumah Adnan (Bantul)
Waktu
: 5 Desember 2015 16 Desember 2015
4. Alat dan bahan
1) Alat
a. Ember / keranjang plastik
( 3 buah )
b. Pisau / cutter
c. Sarung tangan
2) Bahan
a. Dedaunan hijau ( rumput, daun singkong, kedebong pisang)
b. Larutan EM4
c. Sekam / sisa serbuk kayu
d. Air
5. Langkah Percobaan

Menyiapkan alat dan bahan untuk membuat kompos, yaitu sayuran sisa yang
sudah hampir membusuk.

Memotong sampah organik (10kg) yang telah dipilah atau dicacah kecilkecil (ukuran 1-2 cm).

Memasukkan ke dalam komposter (ember/keranjang plastik) bahan


sampah yang telah dicacah.

Melubangi bagian bawah keranjang plastic/ember (komposter) sebagai


tempat keluarnya air lindi.

Mempercepat pengomposan, dengan menambahkan bio-activator


berupa larutan effective microorganism (EM4)

Pemberian konsentrasi EM4 pada sampel A sebanyak 5 ml, sampel B sebanyak


10 ml, dan sampel C sebanyak 15 ml yang dicampur dengan 250 ml air

Mengamati keadaan kompos setiap 2 hari sekali

Setelah 12 hari mengeluarkan kompos matang dari komposter.

Menyimpan ditempat teduh agar kompos tidak terkena sinar matahari


secara langsung.

Semakin lama, kompos akan menjadi kering dan gembur dan siap
digunakan

F. DATA HASIL PENGAMATAN


No.
1.

Hari
Sabtu,
5/12/2015

Indikator
Bau

Warna
Penyusutan
2.

Minggu,
6/12/2015

Bau

Warna
Penyusutan
3.

Selasa,
8/12/2015

Bau

Warna

Penyusutan
4.

Kamis,
Bau
10/12/2015
Warna

Penyusutan

Pemberian larutan EM4


A (5ml)
B (10 ml)
C (15 ml)
Bau khas EM4 Bau khas EM4
Bau khas
(++++)
(++++)
EM4
(++++)
Dedaunan
Dedaunan hijau
Dedaunan
hijau segar,
segar,
hijau segar,
Belum terjadi
Belum terjadi
Belum terjadi
penyusutan
penyusutan
penyusutan
Bau khas EM4 Bau khas EM4
Bau khas
(++++)
(++++)
EM4
(++++)
Dedaunan
Dedaunan hijau
Dedaunan
hijau segar,
segar,
hijau segar,
Belum terjadi
Belum terjadi
Belum terjadi
penyusutan
penyusutan
penyusutan
Bau khas EM4 Bau khas EM4
Bau khas
mulai pudar
mulai pudar
EM4 mulai
(++)
(+++)
pudar
(+++)
Dedaunan
Dedaunan mulai Dedaunan
hijau segar
sedikit layu
mulai sedikit
kecoklatan,
layu
masih terdapat
kecoklatan,
daun yang hijau masih terdapat
(+)
daun yang
hijau
(++)
Belum terjadi
Belum terjadi
Belum terjadi
penyusutan
penyusutan
penyusutan
Bau khas EM4 Bau khas EM4
Bau khas
mulai pudar
pudar
EM4 pudar
(+)
Dedaunan
Dedaunan mulai Dedaunan
mulai sedikit
sedikit layu
mulai sedikit
layu
kecoklatan,
layu
kecoklatan
masih terdapat
kecoklatan,
masih terdapat daun yang hijau tidak terdapat
daun yang
(+)
daun yang
hijau
hijau
(++)
Belum terjadi
Belum terjadi
Terjadi sedikit

5.

6.

7.

penyusutan
Bau khas EM4
menghilang

penyusutan
Bau khas EM4
menghilang

Warna

Dedaunan
mulai
berwarna
coklat, daun
layu-layu

Dedaunan
berwarna coklat,
daun layu, daun
hijau tidak ada

Penyusutan

Belum terjadi
penyusutan

Belum terjadi
penyusutan

Bau khas EM4


menghilang

Bau khas EM4


menghilang

Warna

Dedaunan
mulai
berwarna
coklat, daun
layu-layu

Dedaunan
berwarna coklat,
daun layu, daun
hijau tidak ada

Penyusutan

Belum terjadi
penyusutan

Mulai terjadi
penyusutan

Bau khas EM4


menghilang

Bau khas EM4


menghilang

Dedaunan
mulai
berwarna
coklat, daun
layu-layu
Belum terjadi
penyusutan

Dedaunan
berwarna coklat,
daun layu, daun
hijau tidak ada

Sabtu,
Bau
12/12/2015

Minggu,
Bau
14/12/2015

Selasa,
Bau
16/12/2015
Warna

Penyusutan

Mulai terjadi
penyusutan

penyusutan
Bau khas
EM4
menghilang
Dedaunan
berwarna
coklat, daun
layu, daun
hijau tidak
ada.terdapat
beberapa daun
pecah (kecil)
Mulai terjadi
penyusutan
sampah
Bau khas
EM4
menghilang
hamper
seperti bau
kompos
Dedaunan
mulai
berwarna
kecoklatan
hamper
gelap/hitam
Penyusutan
sampah
semakin
terlihat, dilihat
dari potongan
daun yang
semakin
menghilang
Bau khas
EM4
menghilang
Bakal kompos
berwarna
pucat dan
berwarna
coklat gelap
Penyusutan
sampah

semakin
terlihat, dilihat
dari potongan
daun yang
semakin
menghilang
G. PEMBAHASAN
Pada kegiatan praktikum Biologi Terapan terkait pembuatan kompos,
kelompok kami mengambil judul Pengaruh perbedaan jumlah larutan EM4 (Efective
Mickroorganism) terhadap kecepatan pembuatan pupuk kompos berbahan baku
sampah dedaunan. Kegiatan ini dilakukan secara mandiri, pada hari Sabtu 5
Desember 2015 hingga 16 Desember 2015. Praktikum ini dilakukan dalam waktu 12
hari hingga diperoleh produk akhir berupa kompos. Praktikum ini dilakukan di salah
satu rumah praktikan yakni saudara Adnan Faruliansyah di Bantul.
Adapaun alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini berupa
ember/keranjang palstik, pisau atau cutter, dan sarung tangan. Kemudian bahan yang
digunakan yakni dedaunan hijau (dapat berupa daun singkong, kedebog pisang,
rumput dll). Kemudian Larutan EM4. Pada larutan ini jumlah EM4 yang digunakan
berbeda-beda yakni 5 ml, 10 ml dan15ml dengan mencampurkannya bersama 250 ml
air bersih.
Pada praktikum ini variable terikat yang kami pilih adalah kecepatan proses
pembuatan kompos berbahan baku sampah dedaunan. Kemudian variable bebasnya
Jumlah Larutan EM4 (5 ml; 10 ml; 15 ml dengan campuran air 250 ml). sedangkan
variable yang dibuat sama atu variable kontrolnya adalah banyaknya sampah daun
yang digunakan yakni 10 kg untuk setiap sampel, sekam, gula pasir, tanah, ember
atau trash bag.
Langkah pertama yang dilakukan dalam kegiatan ini adalah menyiapkan alat
dan bahan yang digunakan. Kemudian memotong sampah organic atau dedaunan tadi
menjadi cacahan kecil-kecil kira-kira berukuran 1-2 cm. Kemudian memasukkan
kedalam ember/keranjang plastic bahan sampah yang telah dicacah. Selanjutnya
melubangi bagian bawah ember/keranjang plastic sebagai tempat keluarnya air lindi.
Selanjutnya untuk mempercepat pengomposan, menambahkan bio-activator berupa
larutan EM4 (Effective microorganism). Larutan EM4 yang digunakan sebanyak 5
ml untuk Sampel A, 10 ml untuk sampel B dan 15 ml untuk sampel C yang
kemudian dicampurkan atau dilarutkan pada 250 ml air bersih. Larutan tersebut
dimasukkan pada ember-ember yang berisi sampah dedaunan. Kemudian mengamati

keadaan kompos setiap 2 hari sekali selama 12 hari. Setelah 12 hari, kompos matang
dikeluarkan dari wadah komposter berupa ember. Kemudian disimpan ditempat
teduh agar kompos tidak terkena sinar matahari secara langsung.

Kompos

didiamkan hingga menjadi kering. Semakin lama kompos akan kering dan menjadi
gembur sehingga siap digunakan.
Kompos merupakan zat akhir suatu proses fermentasi, tumpukan sampah atau
tanaman maupun bangkai binatang (Soetedjo,2002). Kompos dibuat melalui proses
pengomposan. Pengomposan merupakan degradasi biokimia bahan organic menjadi
humus. Bentuk sederhana pengomposan dilakukan secara anaerobic yang sering
menimbulkan gas seperti indol, skatol, dan merkaptan pada suhu rendah. Proses
pengomposansecara anaerobic membutuhkan oksigen yang cukup dan tidak
menghasilkan gas yang berbahaya seperti pada anaerobic (Gumbira E, 1992)
Berikut ini hasil pengamatan kompos yang dilakukan praktikan:
Praktikan mengamati tiga hal dari proses pembuatan kompos dari dedaunan,
yakni berdasarkan bau, warna dan tingkat penyusutan sampah. Pada hari pertama
yakni Sabtu, 5 Desember 2015 dan hari kedua Minggu, 6 Desember 2015 pada
sampel A,B dan C belum ada perbedaan baik bau, warna maupun penyusutannya.
Bau pada ketiga sampel masih bau khas EM4. Kemudian warna dedaunan masih
hijau segar. Dan belum terjadi adanya penyusutan sampah.
Pada hari keempat, Selasa 8 Desember 2015. Pada Sampel A,B maupun C bau
khas dari EM4 mulai pudar. Dimana pada sampel A dedaunan masih hijau segar,
kemudian pada sampel B dan C dedaunan mulai layu kecoklatan namun masih ada
beberapa daun yang hijau. Dari ketiga sampel belum terjadi penyusutan bobot
sampah yang akan dibuat kompos.
Kemudian pada hari keenam 10 Desember 2015, pada ketiga sampel baik A,B
maupun C bu khas EM4 pudar. Kemudian pada sampel A dan B dedaunan sedikit
layu berwarna kecoklatan tetapi masih ada beberapa daun yang berwarna hijau.
Selanjutnya pada sampel C dedaunan mulai layu dan berwarna kecoklatan. Daun
berwarna hijau sudah tidak ditemukan.
Pada hari kedelapan, 14 Desember 2015 baik pada sampel A,B maupun C bau
EM4 sudah tidak tercium lagi. Pada sampel A dan B dedaunan mulai coklat dan layu.
Sedangkan pada sampel C dedaunan berwarna coklat, daun layu, dan daun mulai
pecah kecil-kecil. Kemudian penyusutan mulai terlihat pada Sampel C.
Pada hari kesepuluh, 16 Desember 2015 baik pada sampel A,B atau C bau EM4
sudah tidak tercium lagi dan sampel C mulai tercium sedikit bau kompos. Pada
sampel A dan B dedaunan berwarna coklat. Sampel C dedaunan berwarna coklat

gelap hamper hitam. Kemudian pada Sampel A belum terjadi penyusutan. Sampel B
mulai terjadi penyusutan dan sampel C penyusutan semakin terlihat dari potonganpotongan daun yang sudah hancur.
Kemudian pada hari keduabelas 16 Desember 2015 pada ketiga sampel bau EM4
sudah tidak tercium lagi. Pada sampel A dan B terlihat daun semakin berwarna
coklat. Kemudian pada sampel C daun sudah hamper menjadi bakal kompos
berwarna pucat dan berwarna coklat mendekati hitam gelap. Penyusutan sampah
paling terlihat pada sampel C.
Berdasarkan hasil percobaan dan pengamatan yang dilakukan praktikan,
sampah yang paling cepat menjadi kompos pada Sampel C dimana dengan larutan
EM4 sebanyak 15 ml. Berdasarkan literature (Suriawiria,2002) menyatakan bahwa
larutan EM4 berfungsi menguraikan bahan organic tanpa menimbulkan panas tinggi
karena mikroorganisme anaerob akan berkeja dengan kekuatan enzim sehingga
bahan-bahan organic seperti sampah akan mudah dipecah menjadi kandungan yang
lebih kecil sehingga cepat terbentuk kompos baru. Berdasarkan hasil percobaan
sampel A mengalami penyusutan sebesar 0,25 kg. pada sampel B sebesar 0,27kg dan
sampel C sebesar 0,73kg. berdasarkan literature, penyusutan iasanya sebesar 30-40%
dari berat awal.
Proses pengomposan akan segera berlansung setelah bahan-bahan mentah
dicampur. Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap,
yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Selama tahap-tahap awal proses, oksigen
dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi dan akan segera dimanfaatkan oleh
mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat. Demikian
pula akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan meningkat hingga di
atas 50 - 70 C. Suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu. Mikroba yang aktif
o

pada kondisi ini adalah mikroba Termofilik, yaitu mikroba yang aktif pada suhu
tinggi. Pada saat ini terjadi dekomposisi/penguraian bahan organik yang sangat aktif.
Mikroba di dalam kompos dengan menggunakan oksigen akan menguraikan
bahan organik menjadi CO2, uap air dan panas. Setelah sebagian besar bahan telah
terurai, maka suhu akan berangsur-angsur mengalami penurunan. Pada saat ini
terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus.
Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa
bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30 40% dari volume/bobot awal bahan.
Berikut ini gambaran proses pengomposan menurut (Rynk, 1992):

Secara garis besar mmembuat kompos berarti merangsang pertumbuhan


bakteri atau mikroorganisme untuk menghancurkan atau menguraikan bahan-bahan
yang dikomposkan sehingga terurai menjadi senyawa lain. Proses yang terjadi adalah
dekomposisi. Dekomposisi yaitu menghancurkan ikatan organic molekul besar
menjadi molekul yang lebih kecil, mengeluarkan ikatan CO2 dan H2O serta
penguraian lanjutan yaitu transformasi kedalam mineral atau dari ikatan organic
menjadi anorganik. Proses penguraian tersebut mengubah unsur hara yang terikat
dalam senyawa organic yang sukar larut menjadi senyawa organic yang larut
sehingga dapat dimanfaatkan.
Prinsip pengomposan adalah menurunkan nilai rasio C/N bahan organic menjadi
sama dengan rasio C/N tanah. Rasio C/N adalah hasil perbandingan antara karbon dan
nitrogen yang terkandung didalam suatu bahan. Bahan organic yang memiliki rasio C/N
sama dengan tanah memungkinkan bahan tersebut dapat diserap oleh tanaman (Djuarnani et
al. 1996).
Sutanto (2002) menyatakan bahwa selama proses pengomposan berlangsung,
perubahan secara kualitatif dan kuantitatif terjadi. Pada tahap awal akibat perubahan
lingkungan beberapa spesies flora menjadi aktif, makin berkembang dalam waktu yang
cepat, dan kemudian hilang untuk memberikan kesempatan pada populasi lain untuk
menggantikan. Selama dekomposisi intensif berlangsung, dihasilkan suhu yang cukup tinggi
dalam waktu relatif pendek, dan bahan organik yang mudah terdekomposisi akan diubah
menjadi senyawa lain. Selama tahap pematangan utama dan pasca pematangan bahan yang
agak sukar terdekomposisi menjadi terurai dan terbentuk ikatan kompleks lempung-humus.
Berdasarkan literature, EM4 merupakan cairan berwarna kecoklatan yang beraroma
manis yang didalamnya berisi campuran beberapa mikroorganisme hidup yang
menguntungkan bagi proses penyerapan atau persediaan unsur hara dalam tanah.
Mikroorganisme yang ada dalam EM4 terdiri dari microorganism aerob maupun anaerob.
Larutan EM4 paling baik diberikan sebanyak 15 ml dengan campuran air 250 ml per 10 kg

sampah. Larutan EM4 akan mempercepat proses pengomposan berbahan dasar sampah. Hal
ini disebabkan karena kerja bakteri pada larutan EM4 yang aktif dan efektif. Menurut
(Nurhayatti, 2005) menyatakan bahwa Penggunaan EM4 dalam pengomposan limbah akan
mempengaruhi kecepatan pengomposan. Hal tersebut dapat dilihat dari lama perlakuan
pengomposan meningkatkan kandungan N,P,K,Mg dll. Larutan tersebut mampu menurunkan
suhu dan menurunkan pH.
Kompos yang baik akan memiliki ciri-ciri antara lain memiliki bau seperti tanah dan
harum. Apabila kompos tercium bau yang tidak sedap berarti terjadi fermentasi anaerob dan
menghasilkan senyawa berbau yang mungkin berbahaya. Selain itu, kompos yang baik akan
terasa lunak ketika dihancurkan. Warna kompos biasanya coklat kehitam-hitaman. Apabila
kompos masih berwarna hijau berarti kompos belum dalam keadaan matang. Biasanya
terjadi penyusuan volume kompos seiring dengan kematangan kompos. Besarnya
penyusutan bergantung pada karakteristik bahan mentah dan tingkat kematangan kompos.
Berdasarkan literature, penyusutan kompos berkisar dari 20-40%.

H. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil yang dilakukan praktikan dapat ditarik kesimpulan sebgai berikut:
1. Kompos yang paling cepat jadi, pada pemberian larutan EM4 sebanyak 15 ml
dengan pengenceran sebanyak 250 ml air.
I. DAFTAR PUSTAKA
Djuarnani N, Kristian, Budi SS. 2005. Cara Cepat Membuat Kompos. Depok: Agro Media
Pustaka.
Indriani YH. 2004. Membuat Kompos Secara Kilat. Jakarta: Penebar Swadaya
Suriawiria U. 2002. Pupuk Organik Kompos Dari Sampah. Bandung: Humaniora Utama
Press.
Sutanto R. 2002. Pertanian Organik. Yogyakarta: Kanisius.
Nurhidayat
Rintapunto
Andriyani
Atmojo (dilator belakang)

Firda aku bahasnya sebisaku yaa. Tolong dikoreksi . nek kurang opo bilang aku
fir. Aku belum bias ngaitin ke fermentasinya fir. Kamu tambahi yaa.
Terimakasih
Oh iya fir, maf metodenya aku ubah soalnya kata putri arum pake seperti
laporan biasa bukan pakai pendahuluan. Maafkan daku

Anda mungkin juga menyukai