TINJAUAN UMUM
2.1
Definisi Apotek
2.2
farmasi
yang
melaksanakan
peracikan,
pengubahan
bentuk,
2.3
Perizinan Apotek
Ketentuan dan tata cara mengenai perizinan pendirian apotek diatur dalam
Kepmenkes RI No: 1332/MENKES/SK/X/2002. Kepmenkes tersebut merupakan
hasil perubahan dari Permenkes RI No. 922/MENKES/PER/X/1993. Izin
pendirian Apotek diberikan oleh Menteri, dalam hal ini yang dimaksud menteri
adalah Menteri Kesehatan RI. Menteri akan melimpahkan wewenang pemberian
izin apotek kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota wajib melaporkan pelaksanaan pemberian izin,
pembekuan izin, pencairan izin, dan pencabutan izin apotek sekali setahun kepada
Menteri dan tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi.
Tata cara pendirian apotek yang diatur pada pasal 7 adalah sebagai berikut(4):
menggunakan
Formulir
APT-2
Kepala
Dinas
Kesehatan
dengan
tembusan
kepada
Kepala
Dinas
Propinsi
dengan
2.4
Tenaga Kefarmasian
2.4.1 Apoteker
i) Definisi apoteker
Menurut PP 51 tahun 2009, Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah
lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker(2).
Pelayanan Kefarmasian di apotek diselenggarakan oleh apoteker, dapat
dibantu oleh apoteker pendamping dan/atau tenaga teknis kefarmasian
yang memiliki surat tanda registrasi, surat izin praktek atau surat izin
kerja. Dalam melakukan pelayanan kefarmasian apoteker harus memenuhi
kriteria(3):
1. Persyaratan administrasi : memiliki ijazah dari institusi pendidikan
farmasi yang terakreditasi, Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA),
sertifikat kompetensi yang masih berlaku, Surat Izin Praktik Apoteker
(SIPA)
2. Menggunakan atribut praktek antara lain baju praktek dan tanda
pengenal.
3. Wajib mengikuti pendidikan berkelanjutan/Continuing Professional
Development (CPD) dan mampu memberikan pelatihan yang
berkesinambungan.
4. Apoteker
harus
mampu
mengidentifikasi
kebutuhan
akan
dengan
pada
pasien.
Apoteker
sistem
harus
pelayanan
mengintegrasikan
kesehatan
secara
berkesinambungan.
2. Pengambil keputusan : Apoteker harus mempunyai kemampuan dalam
mengambil keputusan dengan menggunakan seluruh sumber daya yang
ada secara efektif dan efisien.
3. Komunikator : Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan pasien
maupun profesi kesehatan lainnya sehubungan dengan terapi pasien.
Oleh karena itu harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang
baik.
4. Pemimpin : Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi
pemimpin. Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian
mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan
mengkomunikasikan dan mengelola hasil keputusan.
5. Pengelola : Apoteker harus mampu mengelola sumber daya manusia,
fisik, anggaran dan informasi secara efektif. Apoteker harus mengikuti
kemajuan teknologi informasi dan bersedia berbagi informasi tentang
Obat dan hal-hal lain yang berhubungan dengan Obat.
6. Pembelajar seumur hidup : Apoteker harus terus meningkatkan
pengetahuan, sikap dan keterampilan profesi melalui pendidikan
berkelanjutan (Continuing Professional Development/CPD)
7. Peneliti : Apoteker harus selalu menerapkan prinsip/kaidah ilmiah
dalam mengumpulkan informasi sediaan farmasi dan pelayanan
kefarmasian dan memanfaatkannya dalam
pelaksanaan pelayanan kefarmasian.
pengembangan dan
10
2.5
Apotek harus mudah diakses oleh masyarakat. Sarana dan prasarana apotek dapat
menjamin mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
serta kelancaran praktik pelayanan kefarmasian. Sarana dan prasarana yang
diperlukan untuk menunjang pelayanan kefarmasian di apotek meliputi sarana
yang memiliki fungsi:
11
12
2.6
bagi
tenaga
kefarmasian
dalam
menyelenggarakan
pelayanan
Standar
pelayanan
kefarmasian
di
apotek
bertujuan
untuk
13
merupakan
proses
penyediaan
sediaan
farmasi
yang
badan
hukum
yang memiliki
izin
untuk pengadaan,
14
15
kadaluwarsa,
kehilangan
serta
pengembalian
pesanan.
16
pada
sediaan
bentuk
suspensi
atau
emulsi
dan
obat
harus dilakukan
17
18
alergi,
apakah
pasien
sedang
hamil/menyusui,
data
laboratorium);
5. Uraian pertanyaan;
6. Jawaban pertanyaan;
7. Referensi;
8. Metode pemberian jawaban (lisan, tertulis, per telepon) dan data
apoteker yang memberikan pelayanan informasi obat.
iv) Konseling(3)
Konseling
merupakan
proses
interaktif
antara
apoteker
dengan
19
20
terapi
obat
yang
efektif
dan
terjangkau
dengan
21
tanpa indikasi, pemilihan obat yang tidak tepat, dosis terlalu tinggi,
dosis terlalu rendah, terjadinya reaksi obat yang tidak diinginkan atau
terjadinya interaksi obat
4. Apoteker menentukan prioritas masalah sesuai kondisi pasien dan
menentukan apakah masalah tersebut sudah atau berpotensi akan
terjadi
5. Memberikan rekomendasi atau rencana tindak lanjut yang berisi
rencana pemantauan dengan tujuan memastikan pencapaian efek terapi
dan meminimalkan efek yang tidak dikehendaki
6. Hasil identifikasi masalah terkait obat dan rekomendasi yang telah
dibuat oleh apoteker harus dikomunikasikan dengan tenaga kesehatan
terkait untuk mengoptimalkan tujuan terapi.
7. Melakukan dokumentasi pelaksanaan pemantauan terapi obat.
vii) Monitoring Efek Samping Obat (MESO)(3)
MESO merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang
merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang
digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau
memodifikasi fungsi fisiologis. Kegiatan MESO meliputi:
1. Mengidentifikasi obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi
mengalami efek samping obat.
2. Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
3. Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional
Terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan saat melakukan MESO
yaitu:
1. Kerjasama dengan tim kesehatan lain.
2. Ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat.
2.7
Definisi narkotika menurut Undang-Undang No. 35 tahun 2009 yaitu zat atau obat
yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis,
yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
22
Industri Farmasi yang memproduksi Narkotika dan PBF atau Instalasi Farmasi
Pemerintah yang menyalurkan Narkotika wajib memiliki izin khusus dari Menteri
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Izin khusus sebagaimana
dimaksud berupa Izin Khusus Produksi Narkotika, Izin Khusus Impor Narkotika;
atau Izin Khusus Penyaluran Narkotika.
23
ilmu
pengetahuan dan teknologi harus memiliki izin dari Menteri sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.7.2 Penyaluran(9)
Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi wajib memenuhi cara
distribusi obat yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya dapat
dilakukan berdasarkan surat pesanan; atau laporan Pemakaian dan Lembar
Permintaan Obat (LPLPO) untuk pesanan dari puskesmas.
Surat pesanan Narkotika hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) jenis Narkotika.
Surat pesanan Psikotropika atau Prekursor Farmasi hanya dapat digunakan untuk
1 (satu) atau beberapa jenis Psikotropika atau Prekursor Farmasi. Surat pesanan
sebagaimana dimaksud harus terpisah dari pesanan barang lain.
i) Penyaluran Narkotika Golongan I
Penyaluran Narkotika Golongan I hanya dapat dilakukan oleh perusahaan
PBF milik Negara yang memiliki Izin Khusus Impor Narkotika kepada
Lembaga Ilmu Pengetahuan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, termasuk untuk kebutuhan laboratorium.
Penyaluran Narkotika hanya dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan
dari apoteker penanggung jawab dan/atau kepala lembaga ilmu
pengetahuan.
ii) Penyaluran Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi Dalam Bentuk
Bahan Baku
Penyaluran Narkotika dalam bentuk bahan baku hanya dapat dilakukan
oleh perusahaan PBF milik Negara yang memiliki Izin Khusus Impor
Narkotika kepada Industri Farmasi dan/atau Lembaga Ilmu Pengetahuan.
Penyaluran Narkotika sebagaimana dimaksud hanya dapat dilakukan
berdasarkan surat pesanan dari apoteker penanggung jawab produksi
dan/atau kepala lembaga ilmu pengetahuan. Penyaluran Psikotropika
dalam bentuk bahan baku hanya dapat dilakukan oleh PBF yang memiliki
24
25
dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi hanya dapat dilakukan
berdasarkan surat pesanan dari apoteker penanggung jawab atau kepala
lembaga
ilmu
pengetahuan
untuk
kebutuhan
penelitian
dan
jasa
pengangkutan
hanya
dapat
membawa
Narkotika,
26
kekurangan
jumlah
Narkotika
dan/atau
Psikotropika
menjalankan
praktik
perorangan
dengan
memberikan
menjalankan
praktik
perorangan
dengan
memberikan
27
28
lemari
khusus
dikuasai
oleh
apoteker
penanggung
29
2. Telah kadaluwarsa
3. Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau
untuk pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk sisa penggunaan
4. Dibatalkan izin edarnya
5. Berhubungan dengan tindak pidana.
30
31
2.7.6 Pencatatan(9)
Apotek yang melakukan Penyaluran, atau Penyerahan Narkotika, Psikotropika,
dan Prekursor Farmasi wajib membuat pencatatan mengenai pemasukan dan/atau
pengeluaran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi. Pencatatan paling
sedikit terdiri atas:
1. Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi;
2. Jumlah persediaan;
3. Tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan
4. Jumlah yang diterima;
5. Tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyaluran/penyerahan;
6. Jumlah yang disalurkan/diserahkan;
7. Nomor
batch
dan
tanggal
kadaluarsa
setiap
penerimaan
atau
penyaluran/penyerahan; dan
8. Paraf atau identitas petugas yang ditunjuk.
Pencatatan yang dilakukan harus dibuat sesuai dengan dokumen penerimaan dan
dokumen penyaluran termasuk dokumen impor, dokumen ekspor dan/atau
dokumen penyerahan. Seluruh dokumen pencatatan, dokumen penerimaan,
dokumen penyaluran, dan/atau dokumen penyerahan termasuk surat pesanan
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi wajib disimpan secara terpisah
paling singkat 3 (tiga) tahun.