Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN UMUM

2.1

Definisi Apotek

Apotek adalah salah satu contoh fasilitas kefarmasian. Fasilitas kefarmasian


merupakan sarana yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian.
Pekerjaan Kefarmasian meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau
penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional(2).

Menurut Permenkes No. 35 tahun 2014, apotek merupakan sarana pelayanan


kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker. Pelayanan
Kefarmasian yang dimaksud adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung
jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud
mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien(3).

2.2

Fungsi dan Peran Apotek

Tugas dan fungsi apotek adalah(2):


1. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah
jabatan sebagai apoteker
2. Sarana

farmasi

yang

melaksanakan

peracikan,

pengubahan

bentuk,

pencampuran dan penyerahan obat atau bahan obat


3. Sarana penyalur perbekalan farrmasi yang harus menyebarkan obat yang
diperlukan masyarakat secara meluas dan merata.

Apotek sebagai perusahaan pengecer, memiliki fungsi dan peran sebagai


pedagang perantara (intermediary) antara pemasok (supplier) dengan konsumen
akhir (end user), yang dalam usahanya memiliki 5 fungsi kegiatan yaitu(3):
1. Pengadaan dan pembelian barang (purchasing)
2. Penerimaan, penyimpanan dan perawatan barang di gudang (wearhouse)
3. Penyerahan atau pelayanan penjualan (sales and service)

4. Pencatatan (accounting) dan pelaporan (reporting)


5. Pengevaluasian dan pengendalian (evaluating and controlling)

Apotek juga memiliki fungsi sebagai pedagang eceran antara lain:


1. Tempat menjual beraneka barang dagangan dan jasa dalam bentuk eceran
sesuai dengan kebutuhan atau keinginan konsumen akhir
2. Gudang barang atau jasa sementara konsumen, yang dapat digunakan
sewaktu-waktu saat diperlukan
3. Agen atau ujung tombak pemilik barang (principal) untuk menjual atau
mendistribusikan produknya kepada konsumen
4. Agen principal atau produsen untuk mempromosikan dan menginformasikan
produknya kepada konsumen melalui media advertising (spanduk, brosur,
stiker, poster, wobler, banner) dan display produknya di rak (shelfing)
5. Agen konsumen untuk menyampaikan keinginan atau keluhannya mengenai
harga, bentuk, kegunaan, khasiat, warna, gaya dan hal-hal lainnya mengenai
jasa atau produk kepada principal atau pembuat barang (produsennya)
6. Pengelolaan sediaan farmasi, menjaga kualitasnya tetap sesuai dengan standar
farmakope, mengawasi pengadaan, penyimpanan dan penyerahaan sediaan
farmasi kepada konsumen sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku

2.3

Perizinan Apotek

Ketentuan dan tata cara mengenai perizinan pendirian apotek diatur dalam
Kepmenkes RI No: 1332/MENKES/SK/X/2002. Kepmenkes tersebut merupakan
hasil perubahan dari Permenkes RI No. 922/MENKES/PER/X/1993. Izin
pendirian Apotek diberikan oleh Menteri, dalam hal ini yang dimaksud menteri
adalah Menteri Kesehatan RI. Menteri akan melimpahkan wewenang pemberian
izin apotek kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota wajib melaporkan pelaksanaan pemberian izin,
pembekuan izin, pencairan izin, dan pencabutan izin apotek sekali setahun kepada
Menteri dan tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi.
Tata cara pendirian apotek yang diatur pada pasal 7 adalah sebagai berikut(4):

1. Permohonan Izin Apotik diajukan kepada Kepala Dinas Kesehatan


Kabupaten/Kota dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-1; contoh
formulir model APT 1 dilihat pada Lampiran 1, Gambar II.1.
2. Dengan

menggunakan

Formulir

APT-2

Kepala

Dinas

Kesehatan

Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah menerima


permohonan dapat meminta bantuan teknis kepada Kepala Balai POM untuk
melakukan pemeriksaan setempat terhadap kesiapan apotik untuk melakukan
kegiatan;
3. Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM selambat
lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah permintaan bantuan teknis dari Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan hasil pemeriksaan setempat
dengan menggunakan contoh Formulir APT-3;
4. Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (3) tidak
dilaksanakan, apoteker Pemohon dapat membuat surat pernyataan siap
melakukan kegiatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
setempat

dengan

tembusan

kepada

Kepala

Dinas

Propinsi

dengan

menggunakan contoh Formulir Model APT-4; Contoh formulir model APT 4


dilihat pada Lampiran 2, Gambar II.2.
5. Dalam jangka waktu 12 (dua belas) hari kerja setelah diterima laporan hasil
pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat (3), atau pernyataan dimaksud ayat
(3) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat mengeluarkan Surat
Izin Apotik dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-5; Contoh
formulir model APT 5 dilihat pada Lampiran 3, Gambar II.3.
6. Dalam hal hasil pemeriksaan Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau
Kepala Balai POM dimaksud ayat (3) masih belum memenuhi syarat Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dalam waktu 12 (dua belas) hari
kerja mengeluarkan Surat Penundaan dengan menggunakan contoh Formulir
Model APT-6;
7. Terhadap Surat Penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), Apoteker
diberi kesempatan untuk melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi
selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal Surat
Penundaan terhadap permohonan izin apotek yang ternyata tidak memenuhi

persyaratan, maka Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dalam


jangka waktu selambat-lambatnya 12 (dua belas) hari kerja wajib
mengeluarkan Surat Penolakan disertai dengan alasan-alasannya dengan
mempergunakan contoh Formulir Model APT-7.

2.4

Tenaga Kefarmasian

2.4.1 Apoteker
i) Definisi apoteker
Menurut PP 51 tahun 2009, Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah
lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker(2).
Pelayanan Kefarmasian di apotek diselenggarakan oleh apoteker, dapat
dibantu oleh apoteker pendamping dan/atau tenaga teknis kefarmasian
yang memiliki surat tanda registrasi, surat izin praktek atau surat izin
kerja. Dalam melakukan pelayanan kefarmasian apoteker harus memenuhi
kriteria(3):
1. Persyaratan administrasi : memiliki ijazah dari institusi pendidikan
farmasi yang terakreditasi, Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA),
sertifikat kompetensi yang masih berlaku, Surat Izin Praktik Apoteker
(SIPA)
2. Menggunakan atribut praktek antara lain baju praktek dan tanda
pengenal.
3. Wajib mengikuti pendidikan berkelanjutan/Continuing Professional
Development (CPD) dan mampu memberikan pelatihan yang
berkesinambungan.
4. Apoteker

harus

mampu

mengidentifikasi

kebutuhan

akan

pengembangan diri, baik melalui pelatihan, seminar, workshop,


pendidikan berkelanjutan atau mandiri.
5. Harus memahami dan melaksanakan serta patuh terhadap peraturan
perundang undangan, sumpah apoteker, standar profesi (standar
pendidikan, standar pelayanan, standar kompetensi dan kode etik) yang
berlaku.

ii) Peran dan tugas apoteker


Dalam melakukan Pelayanan Kefarmasian seorang Apoteker harus
menjalankan peran yaitu:
1. Pemberi layanan : Apoteker sebagai pemberi pelayanan harus
berinteraksi
pelayanannya

dengan
pada

pasien.

Apoteker

sistem

harus

pelayanan

mengintegrasikan
kesehatan

secara

berkesinambungan.
2. Pengambil keputusan : Apoteker harus mempunyai kemampuan dalam
mengambil keputusan dengan menggunakan seluruh sumber daya yang
ada secara efektif dan efisien.
3. Komunikator : Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan pasien
maupun profesi kesehatan lainnya sehubungan dengan terapi pasien.
Oleh karena itu harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang
baik.
4. Pemimpin : Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi
pemimpin. Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian
mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan
mengkomunikasikan dan mengelola hasil keputusan.
5. Pengelola : Apoteker harus mampu mengelola sumber daya manusia,
fisik, anggaran dan informasi secara efektif. Apoteker harus mengikuti
kemajuan teknologi informasi dan bersedia berbagi informasi tentang
Obat dan hal-hal lain yang berhubungan dengan Obat.
6. Pembelajar seumur hidup : Apoteker harus terus meningkatkan
pengetahuan, sikap dan keterampilan profesi melalui pendidikan
berkelanjutan (Continuing Professional Development/CPD)
7. Peneliti : Apoteker harus selalu menerapkan prinsip/kaidah ilmiah
dalam mengumpulkan informasi sediaan farmasi dan pelayanan
kefarmasian dan memanfaatkannya dalam
pelaksanaan pelayanan kefarmasian.

pengembangan dan

10

2.4.2 Tenaga Teknis Kefarmasian


Berdasarkan Permenkes No. 889 tahun 2011 tentang registrasi, izin praktik dan
izin kerja tenaga kefarmasian, tenaga teknis kefarmasian adalah tenaga yang
membantu apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian yang terdiri atas
sarjana farmasi, ahli madya farmasi, analis farmasi dan tenaga menengah
farmasi/asisten apoteker.(5)Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) yang teregistrasi
memiliki Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian (STRTTK) yang
diberikan oleh menteri kesehatan. Telah terjadi perubahan peraturan mengenai
TTK berdasarkan undang-undang no. 36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan
yaitu tenaga teknis kefarmasian meliputi sarjana farmasi, ahli madya farmasi, dan
analis farmasi(3). Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian, tenaga teknis
kefarmasian dapat menerima pelimpahan pekerjaan kefarmasian dari tenaga
apoteker. Pelimpahan tindakan sebagaimana dimaksud dilakukan dengan
ketentuan(3):
1. Tindakan yang dilimpahkan termasuk dalam kemampuan dan keterampilan
yang telah dimiliki oleh penerima pelimpahan;
2. Pelaksanaan tindakan yang dilimpahkan tetap di bawah pengawasan pemberi
pelimpahan;
3. Pemberi pelimpahan tetap bertanggung jawab atas tindakan yang dilimpahkan
sepanjang pelaksanaan tindakan sesuai dengan pelimpahan yang diberikan;
dan
4. Tindakan yang dilimpahkan tidak termasuk pengambilan keputusan sebagai
dasar pelaksanaan tindakan.

2.5

Sarana dan Prasarana(3)

Apotek harus mudah diakses oleh masyarakat. Sarana dan prasarana apotek dapat
menjamin mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
serta kelancaran praktik pelayanan kefarmasian. Sarana dan prasarana yang
diperlukan untuk menunjang pelayanan kefarmasian di apotek meliputi sarana
yang memiliki fungsi:

11

1. Ruang penerimaan resep


Ruang penerimaan resep sekurang-kurangnya terdiri dari tempat penerimaan
resep, 1 (satu) set meja dan kursi, serta 1 (satu) set komputer. Ruang
penerimaan resep ditempatkan pada bagian paling depan dan mudah terlihat
oleh pasien.
2. Ruang pelayanan resep dan peracikan (produksi sediaan secara terbatas)
Ruang pelayanan resep dan peracikan atau produksi sediaan secara terbatas
meliputi rak obat sesuai kebutuhan dan meja peracikan. Di ruang peracikan
sekurang-kurangnya disediakan peralatan peracikan, timbangan obat, air
minum (air mineral) untuk pengencer, sendok obat, bahan pengemas obat,
lemari pendingin, termometer ruangan, blanko salinan resep, etiket dan label
obat. Ruang ini diatur agar mendapatkan cahaya dan sirkulasi udara yang
cukup, dapat dilengkapi dengan pendingin ruangan (air conditioner).
3. Ruang penyerahan obat
Ruang penyerahan obat berupa konter penyerahan obat yang dapat
digabungkan dengan ruang penerimaan resep.
4. Ruang konseling
Ruang konseling sekurang-kurangnya memiliki satu set meja dan kursi
konseling, lemari buku, buku-buku referensi, leaflet, poster, alat bantu
konseling, buku catatan konseling dan formulir catatan pengobatan pasien.
5. Ruang penyimpanan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai
Ruang penyimpanan harus memperhatikan kondisi sanitasi, temperatur,
kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk menjamin mutu produk dan
keamanan petugas. Ruang penyimpanan harus dilengkapi dengan rak/lemari
obat, pallet, pendingin ruangan (AC), lemari pendingin, lemari penyimpanan
khusus narkotika dan psikotropika, lemari penyimpanan obat khusus,
pengukur suhu dan kartu suhu.
6. Ruang arsip
Ruang arsip dibutuhkan untuk menyimpan dokumen yang berkaitan dengan
pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
serta pelayanan kefarmasian dalam jangka waktu tertentu.

12

2.6

Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek

Standar pelayanan kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai


pedoman

bagi

tenaga

kefarmasian

dalam

menyelenggarakan

pelayanan

kefarmasian. Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan


bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan
maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien(3).
Pengaturan

Standar

pelayanan

kefarmasian

di

apotek

bertujuan

untuk

meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian, menjamin kepastian hukum bagi


tenaga kefarmasian dan melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat
yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety). Standar
pelayanan kefarmasian di apotek meliputi standar pengelolaan sediaan farmasi,
alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai serta pelayanan farmasi klinik.

2.6.1 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis


Habis Pakai
Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku meliputi
perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan, pengendalian,
pencatatan dan pelaporan.
i) Perencanaan(3)
Perencanaan adalah suatu kegiatan yang dilakukan dalam rangka
menyusun daftar kebutuhan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai yang berkaitan dengan suatu konsep kegiatan yang
sistematis dengan urutan yang logis dalam mencapai sasaran atau tujuan
yang telah ditetapkan. Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai perlu diperhatikan
pola penyakit, pola konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat. Halhal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan yaitu:
1. Mengenal dengan jelas jangka panjang apakah program dapat
mencapai tujuan atau sasaran

13

2. Persyaratan barang meliputi : kualitas, barang, fungsi barang,


pemakaian satu merek dan untuk jenis obat narkotika harus mengikuti
peraturan yang berlaku
3. Kecepatan peredaran barang dan jumlah peredaran barang
4. Pertimbangan anggaran dan prioritas
ii) Pengadaan
Pengadaan

merupakan

proses

penyediaan

sediaan

farmasi

yang

dibutuhkan dan diperoleh dari pemasok eksternal. Untuk menjamin


kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan farmasi harus
melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan(3).
Pedagang Besar Farmasi (PBF) dan PBF cabang merupakan jalur resmi
pengadaan sediaan farmasi. Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan
berbentuk

badan

hukum

yang memiliki

izin

untuk pengadaan,

penyimpanan, penyaluran perbekalan farmasi dalam jumlah besar sesuai


ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan PBF Cabang adalah
cabang PBF yang telah memiliki pengakuan untuk melakukan pengadaan,
penyimpanan, penyaluran obat dan/atau bahan obat dalam jumlah besar
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan(2).
iii) Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis
spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam
surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima. Semua dokumen terkait
penerimaan barang harus tersimpan dengan baik(3).
iv) Penyimpanan
Aturan penyimpanan obat di apotek sebagai berikut(3):
1. Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam
hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain,
maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi
yang jelas pada wadah baru. Wadah sekurang-kurangnya memuat
nama obat, nomor batch dan tanggal kadaluwarsa.
2. Semua obat/bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai
sehingga terjamin keamanan dan stabilitasnya.

14

3. Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk sediaan


dan kelas terapi obat serta disusun secara alfabetis.
4. Pengeluaran obat memakai sistem FEFO (First Expire First Out) dan
FIFO (First In First Out)
Untuk menjaga keamanan dan stabilitas obat selama penyimpanan, obat
perlu disimpan pada suhu yang sesuai. Klasifikasi suhu penyimpanan
berdasarkan Farmakope adalah sebagai berikut(7):
1. Dingin: suhu tidak lebih dari 8oC : lemari pendingin memiliki suhu
2oC sampai 8oC, sedangkan lemari pembeku mempunyai suhu antara 20oC dan - 10oC
2. Sejuk :suhu antara 8oC dan 15oC
3. Suhu kamar : suhu pada ruang kerja. Suhu kamar terkendali adalah
suhu yang diatur antara 15oC dan 30oC
4. Hangat : suhu antara 30oC dan 40oC
5. Panas berlebih : suhu diatas 40oC
v) Pemusnahan
Aturan pemusnahan obat di apotek sebagai berikut(3):
1. Obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis
dan bentuk sediaan. Pemusnahan obat kadaluwarsa atau rusak yang
mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan oleh apoteker dan
disaksikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pemusnahan obat
selain narkotika dan psikotropika dilakukan oleh apoteker dan
disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain yang memiliki surat izin
praktik atau surat izin kerja.
2. Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun dapat
dimusnahkan. Pemusnahan resep dilakukan oleh apoteker disaksikan
oleh sekurang-kurangnya petugas lain di apotek dengan cara dibakar
atau cara pemusnahan lain yang dibuktikan dengan berita acara
pemusnahan resep.
vi) Pengendalian
Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah
persediaan sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem

15

pesanan atau pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran. Hal ini bertujuan


untuk menghindari terjadinya kelebihan, kekurangan, kekosongan,
kerusakan,

kadaluwarsa,

kehilangan

serta

pengembalian

pesanan.

Pengendalian persediaan dilakukan menggunakan kartu stok baik dengan


cara manual atau elektronik. Kartu stok sekurang-kurangnya memuat
nama Obat, tanggal kadaluwarsa, jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran
dan sisa persediaan(3).
vii) Pencatatan dan Pelaporan(3)
Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai meliputi pengadaan (surat
pesanan, faktur), penyimpanan (kartu stock), penyerahan (nota atau struk
penjualan) dan pencatatan lainnya disesuaikan dengan kebutuhan.
Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal. Pelaporan internal
merupakan pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan manajemen
apotek, meliputi keuangan, barang dan laporan lainnya. Pelaporan
eksternal merupakan pelaporan yang dibuat untuk memenuhi kewajiban
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan meliputi
pelaporan narkotika.
2.6.2 Pelayanan Farmasi Klinik(3)
Pelayanan farmasi klinik di apotek merupakan bagian dari pelayanan kefarmasian
yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dengan maksud mencapai
hasil yang pasti untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pelayanan farmasi
klinik meliputi: pengkajian resep, dispensing, pelayanan Informasi Obat (PIO),
konseling, pelayanan kefarmasian di rumah (home pharmacy care), Pemantauan
Terapi Obat (PTO) dan monitoring Efek Samping Obat (MESO).
i) Pengkajian Resep(3)
Kegiatan pengkajian resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik
dan pertimbangan klinis. Kajian administratif yang meliputi nama pasien,
umur, jenis kelamin dan berat badan, nama dokter, nomor Surat Izin
Praktik (SIP), alamat, nomor telepon, paraf dokter, tanggal penulisan

16

resep. Kajian kesesuaian farmasetik yang meliputi bentuk dan kekuatan


sediaan, stabilitas dan kompatibilitas (ketercampuran obat). Pertimbangan
klinis yang meliputi ketepatan indikasi dan dosis obat, aturan, cara dan
lama penggunaan obat, duplikasi dan/atau polifarmasi, reaksi obat yang
tidak diinginkan (alergi, efek samping obat, manifestasi klinis lain), kontra
indikasi dan interaksi obat.
Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian maka
apoteker harus menghubungi dokter penulis resep.
ii) Dispensing
Dispensing merupakan suatu rangkaian kegiatan mulai dari penerimaan
resep dari pasien hingga menyerahkan obat disertai informasi kepada
pasien.
1. Obat dengan resep(3)
Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian
informasi obat. Setelah melakukan pengkajian resep dilakukan hal
sebagai berikut:
a. Menyiapkan obat sesuai dengan permintaan resep dengan cara
menghitung kebutuhan jumlah obat sesuai dengan resep kemudian
mengambil obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan dengan
memperhatikan nama obat, tanggal kadaluwarsa dan keadaan fisik
obat.
b. Melakukan peracikan obat bila diperlukan
c. Memberikan etiket yaitu etiket warna putih untuk obat dalam/oral,
warna biru untuk obat luar dan suntik, menempelkan label kocok
dahulu

pada

sediaan

bentuk

suspensi

atau

emulsi

dan

memasukkan obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk


obat yang berbeda untuk menjaga mutu obat dan menghindari
penggunaan yang salah.
Setelah penyiapan obat dilakukan hal sebagai berikut:
a. Sebelum

obat

diserahkan kepada pasien

harus dilakukan

pemeriksaan kembali mengenai penulisan nama pasien pada etiket,

17

cara penggunaan serta jenis dan jumlah obat (kesesuaian antara


penulisan etiket dengan resep);
b. Memanggil nama dan nomor tunggu pasien;
c. Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien;
d. Menyerahkan obat yang disertai pemberian informasi obat;
e. Memberikan informasi cara penggunaan obat dan hal-hal yang
terkait dengan obat antara lain manfaat obat, makanan dan
minuman yang harus dihindari, kemungkinan efek samping, cara
penyimpanan obat dan lain-lain;
f. Penyerahan obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara
yang baik, mengingat pasien dalam kondisi tidak sehat mungkin
emosinya tidak stabil;
g. Memastikan bahwa yang menerima obat adalah pasien atau
keluarganya;
h. Membuat salinan resep sesuai dengan resep asli dan diparaf oleh
apoteker (apabila diperlukan);
i. Menyimpan resep pada tempatnya;
j. Apoteker membuat catatan pengobatan pasien.
2. Swamedikasi
Apoteker di apotek juga dapat melayani obat non resep atau pelayanan
swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang
memerlukan obat non resep untuk penyakit ringan dengan memilihkan
obat bebas atau bebas terbatas yang sesuai(3).
iii) Pelayanan Informasi Obat (PIO)(3)
Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
Apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak,
dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek
penggunaan obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat.
Informasi mengenai obat termasuk obat resep, obat bebas dan herbal.
Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan
metoda pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan alternatif,
efikasi, keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek

18

samping, interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia


dari obat dan lain-lain. Kegiatan pelayanan informasi obat di apotek
meliputi:
1. Menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan;
2. Membuat dan menyebarkan buletin/brosur/leaflet, pemberdayaan
masyarakat (penyuluhan);
3. Memberikan informasi dan edukasi kepada pasien;
4. Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa farmasi
yang sedang praktek profesi;
5. Melakukan penelitian penggunaan obat;
6. Membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah;
7. Melakukan program jaminan mutu.
Pelayanan informasi obat harus didokumentasikan untuk membantu
penelusuran kembali dalam waktu yang relatif singkat dengan. Hal-hal
yang harus diperhatikan dalam dokumentasi pelayanan informasi obat :
1. Topik pertanyaan;
2. Tanggal dan waktu pelayanan informasi obat diberikan;
3. Metode pelayanan informasi obat (lisan, tertulis, lewat telepon);
4. Data pasien (umur, jenis kelamin, berat badan, informasi lain seperti
riwayat

alergi,

apakah

pasien

sedang

hamil/menyusui,

data

laboratorium);
5. Uraian pertanyaan;
6. Jawaban pertanyaan;
7. Referensi;
8. Metode pemberian jawaban (lisan, tertulis, per telepon) dan data
apoteker yang memberikan pelayanan informasi obat.
iv) Konseling(3)
Konseling

merupakan

proses

interaktif

antara

apoteker

dengan

pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran


dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan
Obat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali
konseling, apoteker menggunakan three prime questions. Apabila tingkat

19

kepatuhan pasien dinilai rendah, perlu dilanjutkan dengan metode health


belief model. Apoteker harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau
keluarga pasien sudah memahami obat yang digunakan. Kriteria
pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling:
1. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati dan/atau
ginjal, ibu hamil dan menyusui).
2. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya: TB,
DM, AIDS, epilepsi).
3. Pasien yang menggunakan obat dengan instruksi khusus (penggunaan
kortikosteroid dengan tappering down/off).
4. Pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit (digoksin,
fenitoin, teofilin).
5. Pasien dengan polifarmasi; pasien menerima beberapa obat untuk
indikasi penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk
pemberian lebih dari satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat
disembuhkan dengan satu jenis obat.
6. Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah.
Tahap kegiatan konseling:
1. Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien
2. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan obat melalui three
prime questions
3. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada
pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan obat
4. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah
penggunaan obat
5. Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien
Apoteker mendokumentasikan konseling dengan meminta tanda tangan
pasien sebagai bukti bahwa pasien memahami informasi yang diberikan
dalam konseling.
v) Pelayanan Kefarmasian di Rumah (home pharmacy care)(3)
Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan
pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk

20

kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya.


Jenis pelayanan kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan oleh apoteker,
meliputi :
1. Penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan dengan
pengobatan
2. Identifikasi kepatuhan pasien
3. Pendampingan pengelolaan Ooat dan/atau alat kesehatan di rumah,
misalnya cara pemakaian obat asma, penyimpanan insulin
4. Konsultasi masalah obat atau kesehatan secara umum
5. Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan penggunaan obat
berdasarkan catatan pengobatan pasien
6. Dokumentasi pelaksanaan pelayanan kefarmasian di rumah.
vi) Pemantauan Terapi Obat (PTO)(3)
PTO merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien
mendapatkan

terapi

obat

yang

efektif

dan

terjangkau

dengan

memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping. Kriteria pasien


yang dilakukan PTO:
1. Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui.
2. Menerima obat lebih dari 5 (lima) jenis.
3. Adanya multidiagnosis.
4. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati.
5. Menerima obat dengan indeks terapi sempit.
6. Menerima obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi obat yang
merugikan.
Kegiatan yang dilakukan saat PTO diantaranya:
1. Memilih pasien yang memenuhi kriteria.
2. Mengambil data yang dibutuhkan yaitu riwayat pengobatan pasien
yang terdiri dari riwayat penyakit, riwayat penggunaan obat dan
riwayat alergi; melalui wawancara dengan pasien atau keluarga pasien
atau tenaga kesehatan lain
3. Melakukan identifikasi masalah terkait obat. Masalah terkait obat
antara lain adalah adanya indikasi tetapi tidak diterapi, pemberian obat

21

tanpa indikasi, pemilihan obat yang tidak tepat, dosis terlalu tinggi,
dosis terlalu rendah, terjadinya reaksi obat yang tidak diinginkan atau
terjadinya interaksi obat
4. Apoteker menentukan prioritas masalah sesuai kondisi pasien dan
menentukan apakah masalah tersebut sudah atau berpotensi akan
terjadi
5. Memberikan rekomendasi atau rencana tindak lanjut yang berisi
rencana pemantauan dengan tujuan memastikan pencapaian efek terapi
dan meminimalkan efek yang tidak dikehendaki
6. Hasil identifikasi masalah terkait obat dan rekomendasi yang telah
dibuat oleh apoteker harus dikomunikasikan dengan tenaga kesehatan
terkait untuk mengoptimalkan tujuan terapi.
7. Melakukan dokumentasi pelaksanaan pemantauan terapi obat.
vii) Monitoring Efek Samping Obat (MESO)(3)
MESO merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang
merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang
digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau
memodifikasi fungsi fisiologis. Kegiatan MESO meliputi:
1. Mengidentifikasi obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi
mengalami efek samping obat.
2. Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
3. Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional
Terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan saat melakukan MESO
yaitu:
1. Kerjasama dengan tim kesehatan lain.
2. Ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat.

2.7

Pengelolaan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor(6)

Definisi narkotika menurut Undang-Undang No. 35 tahun 2009 yaitu zat atau obat
yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis,
yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan

22

ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan-golongan sebagaimana


terlampir dalam Undang-Undang tentang Narkotika. Peraturan mengenai
psikotropika diatur dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1997.(7) Berdasarkan
undang-undang tersebut, lebih lanjut pengelolaan narkotika, psikotropika dan
prekursor farmasi diatur dalam Permenkes No. 3 tahun 2015.(9) Psikotropika
adalah zat/bahan baku atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika,
yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat
yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Prekursor
Farmasi adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan
sebagai bahan baku/penolong untuk keperluan proses produksi industri farmasi
atau produk antara, produk ruahan, dan produk jadi yang mengandung ephedrine,
pseudoephedrine, norephedrine/phenylpropanolamine, ergotamin, ergometrine,
atau Potasium Permanganat.
2.7.1 Peredaran(9)
Peredaran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi terdiri dari Penyaluran
dan Penyerahan. Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang diedarkan
harus memenuhi persyaratan keamanan, khasiat, dan mutu. Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi hanya dapat
diedarkan setelah mendapatkan izin edar dari Menteri. Untuk mendapatkan izin
edar Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi harus
melalui pendaftaran pada Badan Pengawas Obat dan Makanan. Ketentuan
mengenai tata cara untuk mendapat izin edar dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Industri Farmasi yang memproduksi Narkotika dan PBF atau Instalasi Farmasi
Pemerintah yang menyalurkan Narkotika wajib memiliki izin khusus dari Menteri
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Izin khusus sebagaimana
dimaksud berupa Izin Khusus Produksi Narkotika, Izin Khusus Impor Narkotika;
atau Izin Khusus Penyaluran Narkotika.

23

Lembaga ilmu pengetahuan yang memperoleh, menanam, menyimpan, dan


menggunakan

Narkotika dan/atau Psikotropika untuk kepentingan

ilmu

pengetahuan dan teknologi harus memiliki izin dari Menteri sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.7.2 Penyaluran(9)
Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi wajib memenuhi cara
distribusi obat yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya dapat
dilakukan berdasarkan surat pesanan; atau laporan Pemakaian dan Lembar
Permintaan Obat (LPLPO) untuk pesanan dari puskesmas.
Surat pesanan Narkotika hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) jenis Narkotika.
Surat pesanan Psikotropika atau Prekursor Farmasi hanya dapat digunakan untuk
1 (satu) atau beberapa jenis Psikotropika atau Prekursor Farmasi. Surat pesanan
sebagaimana dimaksud harus terpisah dari pesanan barang lain.
i) Penyaluran Narkotika Golongan I
Penyaluran Narkotika Golongan I hanya dapat dilakukan oleh perusahaan
PBF milik Negara yang memiliki Izin Khusus Impor Narkotika kepada
Lembaga Ilmu Pengetahuan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, termasuk untuk kebutuhan laboratorium.
Penyaluran Narkotika hanya dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan
dari apoteker penanggung jawab dan/atau kepala lembaga ilmu
pengetahuan.
ii) Penyaluran Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi Dalam Bentuk
Bahan Baku
Penyaluran Narkotika dalam bentuk bahan baku hanya dapat dilakukan
oleh perusahaan PBF milik Negara yang memiliki Izin Khusus Impor
Narkotika kepada Industri Farmasi dan/atau Lembaga Ilmu Pengetahuan.
Penyaluran Narkotika sebagaimana dimaksud hanya dapat dilakukan
berdasarkan surat pesanan dari apoteker penanggung jawab produksi
dan/atau kepala lembaga ilmu pengetahuan. Penyaluran Psikotropika
dalam bentuk bahan baku hanya dapat dilakukan oleh PBF yang memiliki

24

izin sebagai IT Psikotropika kepada Industri Farmasi dan/atau Lembaga


Ilmu Pengetahuan. Penyaluran Psikotropika sebagaimana dimaksud hanya
dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan dari apoteker penanggung
jawab produksi dan/atau kepala lembaga ilmu penyaluran prekursor
farmasi berupa zat/bahan pemula/bahan kimia atau produk antara/produk
ruahan hanya dapat dilakukan oleh PBF yang memiliki izin IT Prekursor
Farmasi kepada Industri Farmasi dan/atau Lembaga Ilmu Pengetahuan.
Penyaluran Prekursor Farmasi sebagaimana dimaksud hanya dapat
dilakukan berdasarkan surat pesanan dari apoteker penanggung jawab
produksi dan/atau kepala lembaga ilmu pengetahuan.
iii) Penyaluran Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi Dalam Bentuk
Obat Jadi
Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk
obat jadi hanya dapat dilakukan oleh:
1. Industri farmasi kepada PBF dan instalasi farmasi pemerintah;
2. PBF kepada PBF lainnya, apotek, instalasi farmasi rumah sakit,
instalasi farmasi klinik, instalasi farmasi pemerintah dan lembaga ilmu
pengetahuan;
3. PBF milik Negara yang memiliki Izin Khusus Impor Narkotika kepada
industri farmasi, untuk penyaluran Narkotika;
4. Instalasi farmasi pemerintah pusat kepada instalasi farmasi pemerintah
daerah, instalasi farmasi rumah sakit milik pemerintah, dan instalasi
farmasi tentara nasional indonesia atau kepolisian; dan
5. Instalasi farmasi pemerintah daerah kepada instalasi farmasi rumah
sakit milik pemerintah daerah, instalasi farmasi klinik milik
pemerintah daerah, dan puskesmas.
Selain kepada PBF lainnya, apotek, rumah sakit, instalasi farmasi
pemerintah dan lembaga ilmu pengetahuan, PBF dapat menyalurkan
Prekursor Farmasi golongan obat bebas terbatas kepada toko obat.
Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk
obat jadi oleh industri farmasi kepada PBF hanya dapat dilakukan oleh
industri farmasi pemilik izin edar. Penyaluran Narkotika, Psikotropika,

25

dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi hanya dapat dilakukan
berdasarkan surat pesanan dari apoteker penanggung jawab atau kepala
lembaga

ilmu

pengetahuan

untuk

kebutuhan

penelitian

dan

pengembangan, dikecualikan dari ketentuan untuk penyaluran kepada


instalasi farmasi pemerintah, surat pesanan dapat ditandatangani oleh
apoteker yang ditunjuk. Dalam hal penyaluran Prekursor Farmasi dari PBF
kepada toko obat, hanya dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan dari
tenaga teknis kefarmasian. Pengiriman Narkotika, Psikotropika, dan
Prekursor Farmasi yang dilakukan oleh industri farmasi, PBF, atau
instalasi farmasi pemerintah harus dilengkapi dengan:
1. Surat pesanan;
2. Faktur dan/atau surat pengantar barang, paling sedikit memuat : nama
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi, bentuk sediaan,
kekuatan, kemasan, jumlah, tanggal kadaluarsa dan nomor batch.

Pengiriman Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dilakukan


melalui

jasa

pengangkutan

hanya

dapat

membawa

Narkotika,

Psikotropika, dan Prekursor Farmasi sesuai dengan jumlah yang tecantum


dalam surat pesanan, faktur, dan/atau surat pengantar barang yang dibawa
pada saat pengiriman.
2.7.3 Penyerahan(9)
Penyerahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya dapat
dilakukan dalam bentuk obat jadi. Dalam hal penyerahan dilakukan kepada
pasien, harus dilaksanakan oleh apoteker di fasilitas pelayanan kefarmasian.
Penyerahan secara langsung sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian.
Dikecualikan dari ketentuan, penyerahan Prekursor Farmasi yang termasuk
golongan obat bebas terbatas di toko obat dilakukan oleh tenaga teknis
kefarmasian.

26

i) Penyerahan Narkotika dan/atau Psikotropika


Penyerahan Narkotika dan/atau Psikotropika hanya dapat dilakukan oleh
apotek, puskesmas, instalasi farmasi rumah sakit, instalasi farmasi klinik
dan dokter.
Apotek hanya dapat menyerahkan Narkotika dan/atau Psikotropika
kepada: apotek lainnya, puskesmas, instalasi farmasi rumah sakit, instalasi
farmasi klinik, dokter dan pasien.
Penyerahan Narkotika dan/atau Psikotropika kepada apotek lain,
puskesmas, IFRS, instalsi farmasi klinik hanya dapat dilakukan untuk
memenuhi

kekurangan

jumlah

Narkotika

dan/atau

Psikotropika

berdasarkan resep yang telah diterima. Penyerahan harus berdasarkan surat


permintaan tertulis yang ditandatangani oleh apoteker penanggung jawab.
Apotek, puskesmas, instalasi farmasi rumah sakit, dan instalasi farmasi
klinik hanya dapat menyerahkan Narkotika dan/atau Psikotropika kepada
pasien berdasarkan resep dokter.
Penyerahan Narkotika dan Psikotropika oleh apotek kepada dokter hanya
dapat dilakukan dalam hal:
1. Dokter

menjalankan

praktik

perorangan

dengan

memberikan

Narkotika dan Psikotropika melalui suntikan; dan/atau


2. Dokter menjalankan tugas atau praktik di daerah terpencil yang tidak
ada apotek atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Penyerahan sebagaimana dimaksud harus berdasarkan surat permintaan
tertulis yang ditandatangani oleh dokter yang menangani pasien.
Penyerahan Narkotika dan Psikotropika oleh dokter kepada pasien hanya
dapat dilakukan dalam hal:
1. Dokter

menjalankan

praktik

perorangan

dengan

memberikan

Narkotika dan Psikotropika melalui suntikan;


2. Dokter menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan
memberikan Narkotika melalui suntikan;
3. Dokter menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan
memberikan Psikotropika; atau

27

4. Dokter menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek


berdasarkan surat penugasan dari pejabat yang berwenang.
ii) Penyerahan Prekursor Farmasi
Penyerahan Prekursor Farmasi hanya dapat dilakukan oleh apotek,
puskesmas, instalasi farmasi rumah sakit, instalasi farmasi klinik, dokter
dan toko obat.
Apotek hanya dapat menyerahkan Prekursor Farmasi golongan obat keras
kepada apotek lainnya, puskesmas, instalasi farmasi rumah sakit, instalasi
farmasi klinik, dokter dan pasien.
Apotek hanya dapat menyerahkan Prekursor Farmasi golongan obat keras
kepada pasien berdasarkan resep dokter. Penyerahan Prekursor Farmasi
golongan obat bebas terbatas oleh apotek kepada apotek lainnya,
puskesmas, instalasi farmasi rumah sakit, instalasi farmasi klinik, dan toko
obat hanya dapat dilakukan untuk memenuhi kekurangan kebutuhan harian
Prekursor Farmasi golongan obat bebas terbatas yang diperlukan untuk
pengobatan. Penyerahan Prekursor Farmasi oleh apotek kepada dokter
hanya dapat dilakukan apabila diperlukan untuk menjalankan tugas/praktik
di daerah terpencil yang tidak ada apotek atau sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Penyerahan harus berdasarkan surat
permintaan tertulis yang ditandatangani oleh apoteker/tenaga teknis
kefarmasian penanggung jawab atau dokter yang menangani pasien.
2.7.4 Penyimpanan(9)
Tempat penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi di fasilitas
produksi, fasilitas distribusi, dan fasilitas pelayanan kefarmasian harus mampu
menjaga keamanan, khasiat, dan mutu Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi. Tempat penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi
dapat berupa gudang, ruangan, atau lemari khusus. Tempat penyimpanan
Narkotika dilarang digunakan untuk menyimpan barang selain Narkotika. Tempat
penyimpanan Psikotropika dilarang digunakan untuk menyimpan barang selain
Psikotropika. Tempat penyimpanan Prekursor Farmasi dalam bentuk bahan baku
dilarang digunakan untuk menyimpan barang selain Prekursor Farmasi dalam

28

bentuk bahan baku. Penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi


wajib memenuhi Cara Produksi Obat yang Baik, Cara Distribusi Obat yang Baik,
dan/atau standar pelayanan kefarmasian sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
i) Penyimpanan Narkotika atau Psikotropika
Apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, instalasi farmasi klinik,
dan lembaga ilmu pengetahuan harus memiliki tempat penyimpanan
Narkotika atau Psikotropika berupa lemari khusus yang berada dalam
penguasaan apoteker penanggung jawab. Lemari khusus penyimpanan
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
1. Terbuat dari bahan yang kuat;
2. Tidak mudah dipindahkan dan mempunyai 2 (dua) buah kunci yang
berbeda;
3. Harus diletakkan dalam ruang khusus di sudut gudang, untuk instalasi
farmasi pemerintah;
4. Diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum, untuk
apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, instalasi farmasi
klinik, dan lembaga ilmu pengetahuan ; dan
5. Kunci

lemari

khusus

dikuasai

oleh

apoteker

penanggung

jawab/apoteker yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan.


ii) Penyimpanan Prekursor Farmasi
Apotek, puskesmas, instalasi farmasi rumah sakit, instalasi farmasi klinik,
dan lembaga ilmu pengetahuan harus menyimpan Prekursor Farmasi
dalam bentuk obat jadi di tempat penyimpanan obat yang aman
berdasarkan analisis resiko.
2.7.5 Pemusnahan(9)
Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya dilakukan
dalam hal:
1. Diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau
tidak dapat diolah kembali

29

2. Telah kadaluwarsa
3. Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau
untuk pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk sisa penggunaan
4. Dibatalkan izin edarnya
5. Berhubungan dengan tindak pidana.

Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang berhubungan


dengan tindak pidana dilaksanakan oleh instansi pemerintah yang berwenang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jika pemusnahan akibat
alasan yang lain, dapat dilakukan oleh apotek sendiri. Pemusnahan Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi harus dilakukan dengan tidak mencemari
lingkungan dan tidak membahayakan kesehatan masyarakat.

Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dilakukan dengan


tahapan sebagai berikut:
1. Penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas pelayanan
kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan menyampaikan
surat pemberitahuan dan permohonan saksi kepada:
a. Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan, bagi
Instalasi Farmasi Pemerintah Pusat;
b. Dinas Kesehatan Provinsi dan/atau Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan
Makanan setempat, bagi Importir, Industri Farmasi, PBF, Lembaga Ilmu
Pengetahuan, atau Instalasi Farmasi Pemerintah Provinsi; atau
c. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau Balai Besar/Balai Pengawas
Obat dan Makanan setempat, bagi Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit,
Instalasi Farmasi Klinik, Instalasi Farmasi Pemerintah Kabupaten/Kota,
Dokter, atau Toko Obat.
2. Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Dinas
Kesehatan Provinsi, Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan setempat,
dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menetapkan petugas di lingkungannya
menjadi saksi pemusnahan sesuai dengan surat permohonan sebagai saksi.

30

3. Pemusnahan disaksikan oleh petugas yang telah ditetapkan sebagaimana


dimaksud pada huruf b.
4. Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam bentuk bahan baku,
produk antara, dan produk ruahan harus dilakukan sampling untuk
kepentingan pengujian oleh petugas yang berwenang sebelum dilakukan
pemusnahan.
5. Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi harus
dilakukan pemastian kebenaran secara organoleptis oleh saksi sebelum
dilakukan pemusnahan.

Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dilakukan oleh pihak


ketiga, wajib disaksikan oleh pemilik Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi dan saksi. Penanggung jawab apotek yang melaksanakan pemusnahan
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi harus membuat Berita Acara
Pemusnahan. Berita Acara Pemusnahan, paling sedikit memuat:
1. Hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan;
2. Tempat pemusnahan;
3. Nama penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas
pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan;
4. Nama petugas kesehatan yang menjadi saksi dan saksi lain badan/sarana
tersebut;
5. Nama dan jumlah Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang
dimusnahkan;
6. Cara pemusnahan; dan
7. Tandatangan penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas
pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/ dokter praktik perorangan dan
saksi.

Berita Acara Pemusnahan dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dan tembusannya


disampaikan kepada Direktur Jenderal dan Kepala Badan/Kepala Balai.

31
2.7.6 Pencatatan(9)
Apotek yang melakukan Penyaluran, atau Penyerahan Narkotika, Psikotropika,
dan Prekursor Farmasi wajib membuat pencatatan mengenai pemasukan dan/atau
pengeluaran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi. Pencatatan paling
sedikit terdiri atas:
1. Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi;
2. Jumlah persediaan;
3. Tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan
4. Jumlah yang diterima;
5. Tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyaluran/penyerahan;
6. Jumlah yang disalurkan/diserahkan;
7. Nomor

batch

dan

tanggal

kadaluarsa

setiap

penerimaan

atau

penyaluran/penyerahan; dan
8. Paraf atau identitas petugas yang ditunjuk.

Pencatatan yang dilakukan harus dibuat sesuai dengan dokumen penerimaan dan
dokumen penyaluran termasuk dokumen impor, dokumen ekspor dan/atau
dokumen penyerahan. Seluruh dokumen pencatatan, dokumen penerimaan,
dokumen penyaluran, dan/atau dokumen penyerahan termasuk surat pesanan
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi wajib disimpan secara terpisah
paling singkat 3 (tiga) tahun.

Anda mungkin juga menyukai