Anda di halaman 1dari 14

MEDAN. Cafe Rumah Pohon namanya. Lokasinya di Jalan Sei Belutu.

Dari pinggir jalan hanya


terpampang petunjuk jalan bertuliskan Cafe Rumah Pohon, Chamil Residence, yang cenderung
terlewatkan jika tidak diperhatikan dengan teliti. Suasana di depan pintu masuk ke cafenya juga
cenderung sunyi, tertutup pagar dan rimbunnya pohon. Namun begitu masuk ke dalam, sebuah
rumah kayu artistik berlantai dua lengkap dengan halaman luasnya siap menyambut.

Ini adalah kali kedua kami berkunjung ke mari. Pada kunjungan pertama, kami harus putar
haluan karena datang tepat di akhir minggu dan suasana cafe sedang ramai-ramainya.

Sesuai namanya, cafe ini berpusat pada sebuah pohon rambutan tua yang disulap menjadi sebuah
rumah pohon, rumah yang dulunya dibuat sebagai tempat bermain cucu-cucu dari ayah si
pengelola cafe. Saat ini rumah pohon terbagi ke dua lantai yang jadi tempat bersantap para
pengunjung; lantai pertama menggunakan AC, sedangkan lantai kedua menggunakan kipas angin
dan AC alam sebagai sarana penyejuknya.

Dekorasi lantai dua Cafe Rumah Pohon, terlihat batang pohon rambutan yang menjadi pusat
dari cafe ini
Selain di dalam, kursi-kursi dan meja-meja juga tersedia di sekeliling rumah pohon. Ada yang
beratapkan kayu, dan ada yang beratapkan ranting pohon alami yang masih hidup. Sehingga
apabila hujan turun, mereka yang nongkrong di bawah ranting pohon mau tidak mau harus
pindah apabila tidak ingin berbasah-basahan.

Pemandangan dari jendela di lantai 2 Cafe Rumah Pohon


Dekorasi hingga peralatan makan di dalam cafe juga bisa membuat pengunjungnya nostalgia
menuju beberapa dekade ke belakang. Piring dan gelas kaleng yang digunakan mengingatkan ke
zaman ketika kakek-nenek kami masih remaja. Hal ini terasa kontras dengan pemandangan di
luar hingga di sudut-sudutnya yang kerap dipenuhi oleh muda-mudi yang berfoto dan
berswafoto. Inilah tempat ketika kekinian bertemu dengan nostalgia.

Peralatan makan di cafe rumah pohon, mayoritas terdiri atas piring dan gelas kaleng
Ketika sedang menunggu pesanan datang, beruntungnya, kami bertemu dengan si pemilik tempat
dan sempat ngobrol panjang lebar. Elisa Farah Pane namanya, akrab dipanggil Lisa. Beliau
adalah salah seorang perempuan bersemangat dengan tutur pelan, ramah, namun tegas di setiap
kata demi kata. Kepada kami perempuan berhijab ini menyampaikan kalau cafenya resmi berusia
tiga bulan hari ini (Kamis, 20 Oktober 2016).

Elisa Farah Pane, pemilik Cafe Rumah Pohon


Kami buka pukul 10 pagi hingga 1o malam, dan bisa hingga tengah malam kalau akhir minggu.
Nah alhamdulillah di sini pengunjungnya bisa dikatakan dari segala umur. Kalau pagi hingga
lewat jam makan siang biasanya yang kemari itu banyak ibu-ibu kantoran yang ingin
bernostalgia, sedangkan sore harinya ya seperti ini, didominasi anak-anak muda kekinian, papar
Lisa kepada kami.
Perempuan yang sempat menyabet rekor MURI (Museum Rekor Indonesia) untuk busana
dengan motif ulos terbanyak ini menerangkan, hidangan yang ia jual juga disesuaikan dengan
segmentasi pengunjungnya yaitu mereka yang ingin nostalgia dan muda-mudi kekinian.

Tangga menuju lantai dua dihiasi kain ulos di dinding kayunya


Pinginnya saya itu mengenalkan kuliner-kuliner lokal kita kepada generasi muda sekarang.
Andaliman contohnya, saya yakin anak muda sekarang banyak yang tidak tahu rempah lokal kita
ini. Itulah mengapa menu-menu di sini banyak mengangkat kuliner lokal dan nusantara seperti
arsik ayam, kue timpan, daun ubi tumbuk, kata lulusan Brisbane, Australia ini.
Tapi yaah gitu, anak muda paling banyak kemari pesannya nasi goreng lagi nasi goreng lagi,
hahaha, lanjutnya.
Sembari mengobrol dengan perempuan yang juga sempat bekerja di Jakarta International
School ini, akhirnya pesanan kami pun hadir di depan mata. Seporsi sate rusa (Rp 50.000) dan
paket dabu-dabu (Rp 35.000).

Sate rusa di Cafe Rumah Pohon


Sate rusa terdiri atas dua tusuk besar sate yang dihidangkan di atas nampan stainless steel
bersama lontong bumbu kacang, dan sayuran pelengkap. Di tusukan sate ini, bukan hanya daging
rusa, tapi ada juga tomat hijau, paprika, bawang, dan jeruk lemon. Daging rusanya sendiri
dilumuri dengan kecap manis, dengan tekstur lembut, berserat, juicy, dan manis. Enyaaaaaaak!
Idealnya sate rusa ini disajikan secara medium raw (setengah matang), tapi banyak juga tamu
yang komplain, kalau disajikan seperti itu malah dibilang belum masak, kata mantan Jurnalis di
Majalah Selera ini.
Untuk sate kami bekerjasama dengan Kambing Guling Rama yang sudah berpengalaman, dan
yang hobi kopi kami juga bekerjasama dengan Anonimo Coffe yang sajikan kopi nusantara
berkualitas, sambung perempuan yang survive dari penyakit Lupus ini.

Paket Dabu-Dabu di Cafe Rumah Pohon.


Selanjutnya adalah paket dabu-dabu, terdiri atas ikan nila goreng tepung yang dilengkapi
dengan sambal dabu-dabu khas Manado, nasi putih, bakwan jagung, sayuran, dan teh madu
kasturi. Menu ini lezat, komplit, dengan harga yang terjangkau. Sambal dabu-dabunya sukses
membuat lidah kami bergejolak. Ciamik!
Alhamdulillah, Lisa kemudian mempersilahkan kami untuk mencoba arsik ayamnya dengan
sambal andaliman.

Arsiknya sengaja kami buat arsik ayam bukan arsik ikan, biar yang makan gak repot misahin
tulang ikannya, kata perempuan berdarah Batak Australia ini.

Ayam Arsik Cafe Rumah Pohon


Ketika kami cicipi, arsik ayam ini sangat berasa kearifan lokalnya. asam cikala dan bawang
bataknya sukses berpadu dengan sambal andaliman yang diolah dengan kemiri dan
menghadirkan sensasi lidah bergetar. Mantap!
Sebagai hidangan penutup, Lisa menyuguhkan kue timpan khas Aceh. Berbeda dengan timpan
kebanyakan, di sini timpannya diolah dari nangka dengan tetap mempertahankan kelapa sebagai
isiannya. Alhasil citarasanya menjadi lebih manis, dan khas. Ini juga enak!
Timpan ini istimewa lho, karena yang bikin ibu saya yang orang Australia asli, yang jago masak
masakan kampung khas Indonesia, kata Lisa.

Kue timpan di Cafe Rumah Pohon


Mentari mulai berlabuh di ujung barat, dan suara adzan maghrib mulai menggema, menutup
perbincangan, Lisa menambahkan kalau ia dengan senang hati menerima siapa saja yang ingin
berdiskusi untuk memajukan kuliner lokal nusantara.
Kalau bukan kita sendiri yang mempromosikan kuliner lokal kita, siapa lagi ?, tutupnya.

Anda mungkin juga menyukai