Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN PENDAHULUAN

ANEMIA
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Individu Departemen Maternitas
di Ruang 09 Onkologi dan Ginekologi RSSA Malang

Oleh:
Mike Istianawati
NIM. 150070300011081

PROGRAM PROFESI NERS


JURUSAN ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

A. DEFINISI
Anemia adalah penurunan jumlah sel eritrosit, kuantitas hemoglobin, atau
volume packed red cells dalam darah di bawah normal; gejala yang ditimbulkan
oleh berbagai penyakit dan kelainan (Dorland, 2011).
Anemia merupakan keadaan di mana masa eritrosit dan/atau masa hemoglobin
yang beredar tidak memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan
tubuh. Secara laboratories, anemia dijabarkan sebagai penurunan kadar
hemoglobin serta hitung eritrosit dan hematokrit di bawah normal (Handayani &
Haribowo, 2008).
B. KRITERIA
Untuk memenuhi definisi anemia, maka perlu ditetapkan batas hemoglobin atau
hematokrit yang dianggap sudah terjadi anemia. Batas tersebut sangat dipengaruhi
oleh usia, jenis kelamin, dan ketinggian tempat tinggal dari permukaan laut.
Batasan umum yang digunakan adalah kriteria WHO pada tahun 1968. Dinyatakan
sebagai anemia bila terdapat nilai dengan kriteria sebagai berikut (Handayani &
Haribowo, 2008):
-

Laki-laki dewasa

Hb <13 gr/dL

Perempuan dewasa tidak hamil

Hb <12 gr/dL

Perempuan hamil

Hb <11 gr/dL

Anak usia 6-14 tahun

Hb <12 gr/dL

Anak usia 6 bulan-6 tahun

Hb <11 gr/dL

Untuk kriteria anemia di klinik, rumah sakit, atau praktik klinik pada umumnya
dinyatakn anemia bila tedapat nilai sebagai berikut :
-

Hb <10 gr/dL

Hematokrit <30%

Eritrosit <2,8 juta/mm3

C. DERAJAT
Derajat anemia ditentukan oleh kadar Hb. Klasifikasi derajat anemia yang umum
dipakai adalah sebagai berikut (Handayani & Haribowo, 2008):
-

Ringan sekali

Hb 10 gr/dL-13 gr/dL

Ringan

Hb 8 gr/dL-9,9 gr/dL

Sedang

Hb 6 gr/dL-7,9 gr/dL

Berat

Hb <6 gr/dL

D. EPIDEMIOLOGI
Perkiraan prevalensi anemia di Indonesia menurut Husaini, dkk. tergambar
dalam tabel di bawah ini:
Kelompok Populasi

Angka
P
re
v
al
e
n

Anak

si
30-40%

prasekolah
Anak usia sekolah
Dewasa tidak hamil
Hamil
Laki-laki dewasa
Pekerja berpenghasilan

25-35%
30-40%
50-70%
20-30%
30-40%

rendah

Angka prevalensi anemia di dunia sangat bervariasi, bergantung pada geografi dan
taraf sosial ekonomi masyarakat (Handayani & Haribowo, 2008).
E. MANIFESTASI KLINIS
Gejala anemia sangat bervariasi, tetapi pada umumnya dapat dibagi menjadi
tiga golongan besar, yaitu sebagai berikut (Handayani & Haribowo, 2008):
1. Gejala umum
Gejala umum disebut juga sebagai sindrom anemia atau anemic syndrome.
Gejala umum anemia atau sindrom anemia adalah gejala yang timbul pada
semua jenis anemia pada kadar hemoglobin yang sudah menurun sedemikian
rupa di bawah titik tertentu. Gejala ini timbul karena anoksia organ target dan
mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan hemoglobin. Gejala-gejala
tersebut apabila diklasifikasikan menurut organ yang terkena, yaitu sebagai
berikut :
a. Sistem kardiovaskular: lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi, sesak napas
saat beraktivitas, angina pectoris, dan gagal jantung.
b. Sistem saraf: sakit kepala, pusing, telinga mendenging, mata berkunangkunang, kelemahan otot, iritabilitas, lesu, serta perasaan dingin pada
ekstremitas.

c. Sistem urogenital: gangguan haid dan libido menurun.


d. Epitel: warna pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit menurun, serta
rambut tipis dan halus.
2. Gejala khas masing-masing anemia
a. Anemia defisiensi besi: disfagia, atropi papil lidah, stomatitis angularis
b. Anemia defisiensi asam folat: lidah merah (buffy tongue)
c. Anemia hemolitik: ikterus dan hepatosplenomegali
d. Anemia aplastik: perdarahan kulit atau mukosa dan tanda-tanda infeksi
3. Gejala akibat penyakit dasar
Gejala penyakit dasar yang menjadi penyebab anemi. Gejala ini timbul karena
penyakit-penyakit yang mendasari anemia tersebut, misalnya anemia defisiensi
besi yang disebabkan oleh infeksi cacing tambang berat akan menimbulkan
gejala seperti pembesaran parotis dan telapak tangan berwarna kuning seperti
jerami.
F. PATOFISIOLOGI
Terjadinya anemia pada penderita kanker (tumor ganas), dapat disebabkan
karena aktivasi sistem imun tubuh dan sistem inflamasi yang ditandai dengan
peningkatan beberapa petanda sistem imun seperti interferon, Tumor Necrosis
Factor (TNF) dan interleukin yang semuanya disebut sitokin, dan dapat juga
disebabkan oleh sel kanker itu sendiri.
Anemia karena sitokin
Mekanisme

patogenik

berikut

telah

dirumuskan

bertanggung jawab terhadap terjadinya anemia yang

sebagai
diperantarai

yang
oleh

interleukin-1, interferon, dan tumor necrosis factor yaitu:


1. Gangguan pemakaian zat besi
Pada

penderita

kanker

terjadi

aktivasi

makrofag

yang

mengganggu

metabolisme besi dan menimbulkan anemia. Eritoblas penderita kanker


jumlahnya berkurang dan TFR (Transferin Receptor) pada sel-sel tersebut
afinitasnya terhadap transferin menurun dibandingkan pada orang normal.
2. Penekanan terhadap sel progenitor eritrosit (sel darah merah).
Mekanisme lain yang turut menciptakan anemia karena penyakit kronik adalah
penekanan terhadap sel progenitor eritrosit di sumsum tulang sehingga
eritropoesis terganggu.
3. Produksi eritropoetin tidak memadai

Pada pasien kanker produksi Epo terganggu oleh tumor atau oleh karena terapi
yang dilakukan yang menggangu fungsi ginjal terutama oleh obat kemoterapi
yang menginhibisi sintesis RNA sehingga proses eritropoesis menurun.

4. Pemendekan umur sel darah merah (eritrosit)


Pada penderita dengan anemia karena penyakit kronik umur sel darah merah
biasanya 60-90 hari, lebih pendek dari umur sel darah merah orang normal
yang berada sekitar 120 hari.

Anemia karena efek langsung neoplasma


Sering terabaikan sebagai faktor yang menyebabkan anemia bahwa keganasan ini
juga menyebabkan reaksi desmoid dan reaksi fibrotik yaitu terjadinya peningkatan
proses fibrosis di dalam sumsum tulang yang akan mengurangi volume rongga
sumsum tulang dan matrix sinusoid. Proses ini dapat menyebabkan gangguan
pelepasan sel darah merah yang matang dari sumsum tulang
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan laboratorium hematologis
Pemeriksaan laboratorium hematologis dilakukan secara bertahap sebagai
berikut:
a. Tes penyaring: tes ini dilakukan pada tahap awal pada setiap kasus anemia.
Dengan pemeriksaan ini, dapat dipastikan adanya anemia dan bentuk

morfologi anemia tersebut. Pemeriksaan ini meliputi pengkajian pada


komponen-komponen berikut ini:
-

Kadar hemoglobin

Indeks eritrosit (MCV, MCH, dan MCHC)

Hapusan darah tepi

b. Pemeriksaan rutin merupakan pemeriksaan untuk mengetahui kelainan pada


sistem leukosit dan trombosit. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi laju
endap darah (LED), hitung diferensial, dan hitung retikulosit.
c. Pemeriksaan sumsum tulang: Pemeriksaan ini harus dilakukan pada
sebagian

besar kasus anemia untuk mendapatkan diagnosis definitive

meskipun ada beberapa kasus yang diagnosisnya tidak memerlukan


pemeriksaan sumsum tulang.
d. Pemeriksaan atas indikasi khusus: pemeriksaan ini akan dikerjakan jika telah
mempunyai dugaan diagnosis awal sehingga fungsinya adalah untuk
mengonfirmasi dugaan diagnosis tersebut. Pemeriksaan tersebut meliputi
komponen berkiut ini:
-

Anemia defisiensi besi: serum iron, TIBC, saturasi transferin, dan feritin
serum

Anemia megaloblastik: asam folat darah/eritrosit, vitamin B12

Anemia hemolitik: hitung retikulosit, tes Coombs, dan elektroforesis Hb

Anemia pada leukemia akut biasanya dilakukan pemeriksaan sitokimia

2. Pemeriksaan laboratorium nonhematologis


-

Faal ginjal

Faal endokrin

Asam urat

Faal hati

Biakan kuman

3. Pemeriksaan penunjang lain


-

Biopsi kelenjar yang dilanjutkan dengan pemeriksaan histopatologi

Radiologi: torak, bone survey, USg, atau limfangiografi

Pemeriksaan sitogenetik

Pemeriksaan biologi molekuler (PCR= polymerase chain reaction, FISH=


fluorescence in situ hybridization)

H. PENATALAKSANAAN

Pada setiap kasus anemia perlu diperhatikan prinsip prinsip sebagai berikut ini
(Handayani & Haribowo, 2008):
-

Terapi spesifik sebaiknya diberikan setelah diagnosis ditegakkan

Terapi diberikan atas indikasi yang jelas, rasional dan efisien

Jenis-jenis terapi yang dapat diberikan adalah:


1. Terapi Gawat Darurat
Pada kasus anema dengan payah jantung atau ancaman payah jantung, maka
harus segera diberikan terapi darurat dengan transfuse sel darah merah yang
dimampatkan (PRC) untuk mencegah perburukan payah jantung tersebut.
2. Terapi Khas untuk Masing-Masing Anemia
Terapi ini bergantung pada jenis anemia yang dijumpai, misalnya preparat besi
untuk anemia defisiensi besi.
3. Terapi Kausal
Terapi kausal merupakan terapi untuk mengobati penyakit dasar yang menjadi
penyebab anemia. Misalnya, anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh
infeksi cacing tambang harus diberikan obat anti cacing tambang.
4. Terapi Ex-Juvantivus (Empiris)
Terapi yang terpaksa diberikan sebelum diagnosis dapat dipastikan, jika terapi
ini berhasil, berarti diagnosis dapat dikuatkan. Terapi ini hanya dilakukan jika
tidak tersedia fasilitas diagnosis yang mencukupi. Pada pemberian terapi jenis
ini, penderita harus diawasi dengan ketat. Jika terdapat respon yang baik,
terapi diteruskan, tetapi jika tidak terdapat respon, maka harus dilakukan
evaluasi kembali.

DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W. A. Newman. 2011. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC.
Handayani, W & A. S. Haribowo. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan pada Klien
dengan Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai