Anda di halaman 1dari 24

2.1.

Definisi
Menurut Garko (2012), penyakit jantung koroner atau penyakit arteri koroner
adalah sebuah penyakit jantung di mana dinding endotel bagian dalam pada satu atau
lebih arteri koroner menjadi sempit baik sebagian ataupun total akibat akumulasi
kronis dari plak ateromatous yang mengurangi aliran darah yang kaya nutrisi dan
oksigen dari paru-paru ke otot jantung sehingga merusak struktur dan fungsi dari
jantung dan meningkatkan resiko dari berbagai kejadian pada jantung seperti nyeri
dada (contohnya angina pektoris) dan serangan jantung (infark miokard).
2.2. Etiologi
Penyebab tersering dari penyakit jantung koroner adalah deposit ateroma di
jaringan subintima pada arteri koroner besar dan sedang (aterosklerosis). Penyakit
jantung koroner juga dapat disebabkan spasme dari arteri koroner, vaskulitis (bisa
karena systemic lupus erythematosus (SLE) atau sifilis), dan penyakit-penyakit yang
mengenai arteri koroner, seperti emboli, diseksi, dan aneurisma, tetapi jarang
menyebabkan penyakit jantung koroner (Porter & Kaplan,2011).
Aterosklerosis adalah suatu proses kronis yang progresif dan tiba-tiba muncul
dengan karakteristik berupa penumpukan lemak, elemen fibrosa, dan molekul
inflamasi

pada

dinding

arteri

koroner.

Aterosklerosis

merupakan

proses

etiopatogenesis utama penyebab penyakit jantung koroner dan progresivitasnya


berhubungan dengan faktor lingkungan dan genetik dimana faktor tersebut akhirnya
akan berubah menjadi faktor resiko dari penyakit jantung koroner (Sayols-Baixeras,
et al.,2014). Walaupun kejadian penyakit jantung koroner muncul di dekade ke-5
pada laki-laki dan dekade ke-6 pada perempuan, sesungguhnya proses aterosklerosis
telah dimulai dari awal kehidupan, bahkan dari masa perkembangan janin
(Lavezzi,2009 dalam Sayols-Baixeras, et al.,2014).
2.3. Epidemiologi
a. Prevalensi
Menurut Roger, et al. (2012) dalam Garko (2012), diperkirakan sekitar
16,3 juta orang (7% populasi orang Amerika dewasa di atas 20 tahun)
menderita penyakit jantung koroner. Dari total populasi yang terdiagnosis

penyakit jantung koroner, sekitar 8,3% adalah laki-laki dan 6,1% adalah
perempuan. Diprediksi pada tahun 2030, sekitar 8 juta populasi Amerika
dewasa yang lain akan terdiagnosis penyakit jantung koroner. Jumlah ini
mencerminkan peningkatan prevalensi sebesar 16,6% dari prevalensi pada
tahun 2010.
Prevalensi penyakit jantung di Indonesia adalah 0,5% yang
terdiagnosis oleh dokter dan sekitar 1,5% bila jumlah yang terdiagnosis
ditambah dengan pasien yang memiliki gejala yang mirip dengan penyakit
jantung koroner. Di Sumatera Utara, prevalensi penyakit jantung koroner yang
terdiagnosis dokter adalah 0,5%, sedangkan yang terdiagnosis dokter pasien
dengan gejala mirip penyakit jantung koroner adalah 1,1% (Riskesdas,2013).
b. Insidensi
Pada tahun 2011, 785.000 populasi Amerika dewasa akan mendapat
serangan penyakit jantung koroner yang baru, dimana 470.000 populasi
Amerika dewasa akan mendapat pengalaman sebuah serangan jantung
berulang. Diperkirakan insidensi tiap tahun dari kasus baru serangan jantung
adalah 610.000 dengan 325.000 serangan berulang. Rata-rata umur pertama
kali mengalami serangan jantung adalah sekitar umur 64,5 tahun untuk lakilaki dan 70,3 tahun untuk perempuan (Roger, et al.,2012). Menurut Biro
Sensus Amerika Serikat (2004), perkiraan insidensi penyakit jantung koroner
di Indonesia adalah 1,05 juta kasus baru pada tahun 2004.
c. Mortalitas
Setiap 25 detik, seorang di Amerika akan mengalami pengalaman
kejadian yang berhubungan dengan koroner dan setiap menitnya, ada satu
orang yang akan mendapat pengalaman ke,jadian jantung yang fatal, biasanya
serangan jantung (Roger, et al.,2012).
Berdasarkan data WHO (2011), kematian akibat penyakit jantung
koroner di Indonesia mencapai 234 ribu atau 17,05% total kematian di
Indonesia. Angka kematian yang sesuai umur (age adjusted death rate) adalah

150,77 per 100.000 populasi yang menempatkan Indonesia sebagai peringkat


51 di dunia.
2.4. Faktor resiko
Faktor resiko dari penyakit jantung koroner dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Faktor resiko utama
Faktor resiko utama adalah faktor resiko yang menurut banyak
penelitian memberikan hasil yang bermakna dalam meningkatkan
resiko dari penyakit jantung koroner, yang terbagi menjadi 2 bagian,
yaitu:
a. Faktor resiko utama yang tidak dapat dimodifikasi, terdiri dari :
1) Penambahan umur
Perubahan pada arteri koroner berkaitan erat dengan
pertambahan umur (Deopujari & Dixit,2010). Hubungan umur dengan
mortalitas dari penyakit jantung koroner membentuk grafik log linear
sebagai akibat efek akumulasi dari kerusakan pembuluh darah yang
lama dan kegagalan dalam mekanisme perbaikan (Vaidya, et al.,2011).
Perubahan utama yang terjadi oleh penuaan adalah penebalan tunika
intima disertai tunika media yang mengalami fibrosis. Ketebalan dari
tunika intima yang diamati secara bertahap meningkat ketika dekade
keempat dan kemudian menipis secara bertahap (Deopujari &
Dixit,2010). Umur berperan penting dalam terjadinya penyakit jantung
koroner karena dapat mempengaruhi faktor resiko lain, seperti tekanan
darah tinggi, obesitas, dan kadar lemak. Berat badan yang merupakan
faktor resiko yang dapat dimodifikasi meningkat pada umur dewasa
tua. Gangguan dalam profil lemak, seperti nilai total kolesterol dan
LDL meningkat disertai nilai HDL yang rendah, juga berhubungan
dengan pertambahan umur (Ghosh,2010). Sekitar 82% orang
meninggal akibat penyakit jantung koroner berumur di atas 65 tahun
dan jumlah kasus pada umur antara 75 sampai 84 tahun akan menjadi
2 kali lipat pada 30 tahun kemudian (Odden, et al.,2011). Pada umur

yang lebih tua, wanita yang mengalami serangan jantung menjadi


lebih sering dari pria, kebanyakan dari wanita tersebut akan meninggal
karena penyakit jantung koroner dalam beberapa minggu (AHA,2013).
Pada setiap umur, ditemukan juga perbedaan pada faktor resiko yang
meningkatkan resiko penyakit jantung. Pada dewasa muda, faktor
resiko yang berperan, yaitu stress dan serba kecukupan, sedangkan
pada dewasa pertengahan, faktor resiko yang berperan bertambah lebih
banyak, yaitu stress, merokok, aktivitas fisik yang kurang, obesitas,
pria, dan pengangguran. Dan pada umur tua, faktor yang berperan
dalam menyebabkan penyakit jantung bertambah lebih banyak lagi,
yaitu stress, riwayat merokok, aktivitas fisik yang kurang, obesitas,
laki-laki, pengangguran, kulit putih, dan kemiskinan (Wang &
Wang,2013).
2) Jenis kelamin
Pria memunyai resiko lebih besar dari perempuan dan
mendapat serangan lebih awal dalam kehidupannya dibandingkan
wanita (NHBLI,2011). Itu dikarenakan kebanyakan faktor resikonya
tidak mau diubah oleh pria, seperti merokok, alkohol, dan kadar HDL
yang lebih rendah dari wanita (Krmer, et al,2012) dan sebelum
menopause, estrogen memberikan perlindungan kepada wanita dari
penyakit jantung koroner (NHBLI,2011). Setelah masa menopause,
ketika angka kematian pada wanita akibat penyakit jantung koroner
meningkat, itu tidak melebih angka kematian pada pria (AHA,2013).
Berbeda dengan pria, wanita memunyai faktor resiko tambahan yang
meningkatkan kejadian terjadinya penyakit jantung koroner, seperti
sindrom ovarium polikistik, preeklampsia, menopause, penggunaan
obat kontrasepsi oral, dan terapi hormonal (Tan, et al.,2009). Wanita
dengan sindrom ovarium polikistik meningkatkan resiko terjadinya

sindrom metabolik dan faktor resiko penyakit jantung koroner yang


lain, seperti diabetes melitus tipe 2 (Shaw, et al.,2008 dalam Maas &
Appleman,2010). Preeklampsia pada wanita yang ditandai dengan
hipertensi (>140/90 mmHg) dan proteinuria (> 0,3g/24 jam) setelah
masa kehamilan 20 minggu juga beresiko 2 kali terkena penyakit
jantung koroner dibandingkan wanita dengan normotensi selama masa
kehamilan (Bellamy, et al.,2007 dalam Maas & Appleman,2010).
Menopause yang awal pada seorang wanita akan meningkatkan resiko
terkena penyakit jantung koroner atau stroke sebesar 2 kali lipat dan
meningkatkan resiko mortalitas akibat penyakit jantung koroner
sebesar 1,5 sampai 2 kali lipat dibandingkan dengan wanita dengan
waktu menopause yang normal (Wellons, et al.,2012). Wanita juga
dapat hidup lebih lama dari pria dan memunyai kecenderungan ke
salah faktor resiko utama dari penyakit jantung koroner, yaitu diabetes
melitus dibandingkan pria (Lee, et al.,2013) dan hipertensi
(Jamee,2013).
3) Genetik (termasuk ras)
Riwayat penyakit jantung koroner dini pada keluarga
merupakan faktor resiko yang bebas, dan diduga ada variasi urutan
DNA yang diturunkan yang berperan dalam resiko penyakit jantung.
Studi asosiasi mengenai genom berhasil mengidentifikasi SNPs
(single nucleotide polymorphism) pada 13 daerah genom yang
berkaitan dengan penyakit jantung koroner, infark miokard, atau
keduanya (Musunuru & Kathiresan,2010). Diperkirakan salah satu gen
yang berperan dalam kejadian penyakit jantung koroner adalah gen
Ch9p21 SNPs dan gen tersebut juga berperan dalam kejadian infark
miokard (Angelakopoulou,2012). Anak dari orang tua dengan penyakit
jantung akan lebih berpotensi terkena penyakit jantung (AHA,2013).

Baik pria maupun perempuan yang memiliki paling sedikit satu orang
tua yang memiliki penyakit jantung koroner beresiko 1,4 sampai 1,6
kali terkena penyakit jantung koroner dibandingkan dengan orang
tanpa

orang

tua

yang

menderita

penyakit

jantung

koroner

(Sundquist,et al.,2011). Orang Amerika Afrika memunyai tekanan


darah yang sangat tinggi dan parah dibandingkan orang Kaukasia serta
berpeluang lebih tinggi menderita pernyakit jantung. Itu dikarenakan
mereka

memiliki

angka

obesitas

dan

diabetes

yang

tinggi

(AHA,2013).
b. Faktor resiko utama yang dapat dimodifikasi, terdiri darah :
1) Merokok
Rokok mengandung zat kimia, seperti nikotin, karbon
monoksida, ammonia, formaldehida, tar, dan lain-lain. Bahan aktif
utamanya adalah nikotin (efek akut) dan tars (efek kronis). Efek
nikotin pada sistem kardiovaskuler adalah efek simpatomimetik,
seperti menyebabkan takikardi, kontraksi ventrikuler di luar sistol,
meningkatkan noradrenalin dalam plasma, tekanan darah, cardiac
output, dan konsumsi oksigen sehingga menyebabkan penyempitan
aterosklerotik, penempelan platelet, dan menurunkan HDL. LDL
menjadi lebih mudah memasuki dinding arteri yang berperan dalam
patogenesis penyakit jantung koroner (Yathish, et al.,2011). Merokok
juga meningkatkan oksidasi dari LDL dan meningkatkan berbagai
faktor resko lain, yaitu hiperlipidemia, hipertensi, dan diabetes melitus
(Kelley,2009). Banyak efek merokok yang sinergis sehingga
meningkatkan faktor resiko penyakit jantung, seperti trombosis,
disfungsi endotel, aterosklerosis, gangguan hemodinamik, dan
menyebabkan resistensi insulin (Prasad, et al.,2009). Merokok, bahkan
beberapa batang per hari, akan meningkatkan resiko menderita

penyakit jantung (HeartUK,2012). Merokok meningkatkan resiko


penyakit jantung koroner sebanyak 2-4 kali dari yang tidak merokok.
Orang yang merokok satu bungkus rokok tiap hari meningkatkan
resiko serangan jantung sebesar 2 kali lipat dari yang belum pernah
merokok (AHA,2013). Mereka yang merokok terus menerus memiliki
resiko terkena penyakit jantung koroner 2,01 kali lipat bila kurang dari
10 tahun dan 5,12 kali lipat bila lebih dari 10 tahun (Ram &
Trivedi,2012(a)). Mengisap rokok meningkatkan resiko penyakit
jantung koroner lebih besar dibandingkan yang memakai pipa dan
cerutu (Yathish, et al.,2011). Wanita yang merokok memunyai resiko
25% lebih besar terkena penyakit jantung koroner dibandingkan
dengan pria yang merokok bila bebas dari faktor resiko yang lain
(Huxley & Woodward,2011).
2) Kadar lemak yang abnormal (kolesterol dan trigliserida)
Salah satu komponen lemak tubuh adalah kolesterol.
Kolesterol sangat penting bagi sel yang sehat, tetapi bila tubuh
mengakumulasikannya

dalam

jumlah

banyak,

kolesterol

akan

berdeposit ke dinding pembuluh darah yang akan menyebabkan


kerusakan dan bisa menghambat aliran darah. Jika ini terjadi, resiko
serangan jantung akan meningkat (HeartUK,2012). Kolesterol terdiri
dari 2 bentuk utama, yaitu HDL (high density lipoprotein) yang
berperan dalam membawa kadar lemak yang tinggi dalam jaringan ke
hati untuk dimetabolisme dan dikeluarkan dari tubuh dan LDL yang
berperan membawa kolesterol ke jaringan, termasuk arteri koroner.
Nilai LDL yang tinggi dan HDL yang rendah berperan dalam
peningkatan resiko penyakit jantung, terutama penyakit jantung
koroner (NHLBI,2011). HDL memiliki fungsi yang sangat menarik
termasuk

aktivitas

antiinflamasi,

antioksidan

(McGrowder,

et

al.,2011), antiapoptotik, dan antitrombotik (Ali, et al.,2012). Aktivitas


dari antioksidan dan antiinflamasi yang tinggi dari HDL berhubungan
dengan

perlindungan

tubuh

terhadap

penyakit

kardiovaskuler

(McGrowder, et al.,2011). Komponen LDL yang berperan sebagai


faktor resiko yang penting adalah lipoprotein a (lp(a)). Mekanisme
patogenesis lp(a) yang berlebihan meliputi peningkatan trombogenesis
dan gangguan fibrolisis akibat berkompetisi dengan plasminogen,
penghambatan transforming growth factor , ketidakstabilan plak,
peningkatan proliferasi dan migrasi otot polos, pembentukan trombus
penyumbat, gangguan pembentukan pembuluh darah kolateral,
peningkatan pengambilan oksidasi dan retensi LDL, dan upregulation
dari pengekspresian plasminogen activator inhibitor (PAI-I). Serum lp
(a) didapati lebih rendah pada umur 20-30 tahun dan lebih tinggi pada
umur 50-60 tahun (Sharma, et al.,2012). Hal lain yang berperan
penting

dari

komponen

LDL

adalah

lipoprotein-associated

phospholipase A2 (Lp-PLA2), yaitu sebuah enzim yang diekspresikan


oleh sel inflamasi pada plak aterosklerotik dan dibawa oleh sirkulasi
dengan berikatan utamanya dengan LDL. Lp-PLA2 menghidrolisis
fosfolipid yang teroksidasi menjadi produk proinflamasi yang
berperan dalam disfungsi endotel, proses inflamasi pada plak, dan
pembentukan inti nekrotik pada plak (Thompson, et al.,2010).
Komponen yang lain adalah trigliserida. Bila dalam darah terdapat
jumlah lemak yang berlebih, terutama trigliserida, biasanya akan
berpasangan dengan kadar HDL yang rendah (HeartUK,2012). Rasio
non-HDL kolesterol, trigliserida, dan total kolesterol dengan HDL
kolesterol lebih berhubungan erat dengan resiko penyakit jantung
koroner pada masa depan dibandingkan hanya LDL kolesterol. Di sini
juga ditemukan pada kadar LDL dalam berbagai level, individu
dengan salah satu rasio peningkatan level non-HDL kolesterol, atau

peningkatan level trigliserida, atau dengan peningkatan total kolesterol


dibandingkan

dengan

level

HDL kolesterol

juga

berpeluang

berkembang menjadi penyakit jantung koroner (Arsenault, et


al.,2010).
3) Tekanan darah tinggi
Tekanan darah tinggi meningkatkan kerja jantung dan
menyebabkan dinding jantung menjadi tebal dan kaku yang
menyebabkan jantung tidak berkerja dengan baik. Ini meningkatkan
resiko kejadian stroke, serangan jantung, gagal ginjal, dan penyakit
jantung kongestif. Ketika tekanan darah tinggi ini bergabung dengan
faktor resiko yang lain, akan meningkatkan (AHA,2013). Patofisiologi
dari hipertensi menyebabkan penyakit jantung koroner melalui 2 cara.
Pertama, hipertensi menyebabkan kerusakan pada endotel yang akan
menyebabkan senyawa vasodilator tidak dapat keluar dan membuat
penumpukan okigen reaktif serta penumpukan faktor-faktor inflamasi
yang mendukung perkembangan dari aterosklerosis, trombosis, dan
penyumbatan pembuluh darah. Kedua, hipertensi menyebabkan
peningkatan afterload yang menyebabkan hipertropi dari ventrikel
kiri. Itu menyebabkan meningkatnya kebutuhan oksigen miokardium
dan menurunnya aliran darah koroner. Semua hal di atas mendukung
terjadinya penyakit jantung koroner, gagal jantung, stroke, dan
kematian jantung tiba-tiba (Olafiranye, et al.,2011). Orang dengan
hipertensi memiliki resiko lebih besar terkena penyakit jantung
koroner sebesar 3 kali lipat dibandingkan yang normotensi. Hipertensi
juga secara signifikant berkaitan dengan perkembangan penyakit
jantung koroner (Ram & Trivedi,2012(b)). Pulse pressure (PP),
tekanan sistol, tekanan diastol, dan mean arterial pressure (MAP)
merupakan prediktor kuat dari gejala penyakit jantung pada seseorang

dengan hipertensi dan penyakit jantung koroner (Bangalore, et


al.,2009). Pada seseorang dengan hipertensi, terjadi penurunan tekanan
diastol padahal suplai nutrisi dan oksigen terjadi fase diastol, sehingga
terjadi penurunan perfusi dan membuat otot jantung rentang terkena
iskemik. Penurunan diastol meningkatkan besar rentang pulse pressure
(Nogueira,2013). Seseorang dengan tekanan darah diastol <70 mmHg
dengan tekanan darah sistol 120 mmHg berkaitan dengan resiko
penyakit jantung dimana rata-rata peningkatan sistolnya adalah 20
mmHg (Franklin & Wong,2013). Tekanan sistol sekarang lebih
berperan sebagai parameter yang sangat penting dibandingkan dengan
tekanan diastol. Penurunan tekanan sistol sebesar 5-6 mmHg
menurunkan resiko penyakit jantung koroner sebesar 16% dan resiko
stroke sebesar 38% (Bangalore, et al.,2009).
4) Aktivitas fisik yang kurang
Aktvitas fisik dibagi 2 jenis, yaitu aktivitas fisik pekerjaan
yang kadang-kadang dapat merusak kesehatan dan aktivitas fisik pada
waktu santai (misalnya olahraga) yang bermanfaat bagi kesehatan.
Aktivitas fisik pekerjaan sedang dapat menurunkan resiko penyakit
jantung, berbeda halnya dengan aktivitas fisik yang berat yang tidak
memberikan efek protektif terhadap penyakit jantung (Lie &
Siegrist,2012). Ada peran olahraga terhadap sistem hemodinamik yang
mempengaruhi interaksi endotel pembuluh darah dan otot polos
(Newcomer, et al.,2011) dimana meningkatkan fungsi dan perbaikan
dari pembuluh darah dengan cara meningkatkan endothelial
progenitor cell (EPC) (Lenk, et al.,2010). Aktivitas fisik yang kurang
meningkatkan resiko penyakit jantung koroner sebesar 2 kali lipat dan
dapat memperburuk faktor-faktor resiko yang lain, seperti tekanan
darah tinggi, kadar kolesterol dan trigliserida yang tinggi, diabetes,

dan berat badan yang berlebih (NHLBI,2011). Seseorang dengan


aktivitas fisik sedang yang intensif selama 150 menit/minggu dan
tambahan 300 menit/minggu akan menurunkan resiko penyakit
jantung koroner sebesar 14% dibandigkan dengan orang yang tidak
melakukan aktivitas fisik (Sattelmair, et al.,2011).
5) Berat badan berlebih (obesitas dan overweight)
Obesitas abdominal atau sentral, dapat diukur melalui lingkar
pinggang, dipertimbangkan sebagai sebuah faktor resiko yang kuat,
terlepas dari berat badan (Canoy, et al.,2007 dalam Rana, et al.,2011).
Obesitas, khususnya obesitas sentral, menyebabkan berbagai hal.
Salah satunya adalah menyebabkan peningkatan kadar insulin dan
resistensi insulin (diabetes melitus) dimana insulin menyebabkan
peningkatan sistem saraf simpatis dan mempengaruhi ginjal untuk
meretensi garam sehingga terjadi peningkatan tekanan darah. Obesitas
juga menyebabkan defisiensi leptin dimana leptin berperan dalam
mengatur rasa kenyang dan juga mengaktifkan sistem renin
angiotensin aldosteron yang akan meningkatkan tekanan darah
(Landsberg, et al.,2013). Obesitas berhubungan dengan inflamasi
derajat rendah yang kronis itu dikarenakan berbagai substansi yang
disekresikan oleh sel adiposa (sel lemak), seperti IL-1, IL-6, TNF-,
resistin, prostaglandin, angiotensinogen, endotelin, PAI-I, dan creactive protein (CRP) (Wang & Nakayama,2010). Pada orang
obesitas, didapati kadar sirkulasi berbagai tanda-tanda inflamasi,
seperti CRP, secretory phospholipase A2 (sPLA2), fibrinogen, dan
adiponektin, berhubungan linear dengan aktivitas fisik yang kurang
dan pertambahan lingkar pinggang (Rana, et al.,2011). Orang dengan
kelebihan lemak tubuh, terutama di daerah pinggang, beresiko
berkembang menjadi penyakit jantung dan stroke jika tidak memunyai

faktor resiko yang lain bahkan memperparah faktor resiko yang sudah
ada. Berat badan berlebih akan meningkatkan kerja jantung karena
meningkatkan jumlah tahanan perifer total sehingga tekanan darah
menjadi tinggi (NHLBI,2011) dan menyebabkan penebalan dinding
ventrikel tanpa pelebaran ruangan ventrikel sehingga terjadi
peningkatan massa pada ventrikel terutama ventrikel kiri (Artham, et
al.,2009). Selain meningkatkan tekanan darah, obesitas dapat
meningkatkan level kolesterol dan trigliserida, serta menurunkan HDL
(NHLBI,2011). Peningkatan 10 kg berat badan akan meningkatkan
tekanan sistol sebesar 3 mmHg dan tekanan diastol sebesar 2,5 mmHg
(Artham, et al.,2009) dan setiap peningkatan IMT sebesar 4 kg/m2
meningkatkan resiko terkena penyakit jantung iskemik sebesar 26%
(Nordestgaard, et al.,2012). Dengan menurunkan berat badan sebesar
10%, akan menurunkan resiko penyakit jantung (NHLBI,2011).
6) Diabetes melitus
Kadar gula darah yang tinggi akan menyebabkan peningkatan
pembentukan

plak

ateromatous

pada

arteri

(NHLBI,2011).

Hiperglikemi pada orang diabetes menyebabkan banyak perubahan


pada biomolekuler tubuh, yaitu peningkatan reduksi nicotinamide
adenine dinucleotide (NAD+) menjadi NADH yang belum terbukti
sebagai stressor oksidatif seluler, peningkatan produksi uridine
diphosphate

(UDP)

N-acetyl

glucosamine

yang

diperkirakan

mengubah fungsi enzimatik seluler, dan pembentukan advanced


glycation end product (AGE) yang secara langsung menganggu fungsi
sel endotel dan mempercepat aterosklerosis, serta peningkatan reactive
oxygen species (ROS) yang menganggu produksi nitrit oksida endotel
dan menipiskan plak aterosklerosis sehingga mudah ruptur (Chiha, et
al.,2012). Itu menyebabkan kematian pasien dengan diabetes melitus

sering disebabkan serangan sindrom koroner akut dibandingkan yang


tidak memiliki diabetes melitus (Unachukwu & Ofori,2012). Yang
lebih penting lagi, glikolisasi dari protein pada dinding arteri yang
diperkirakan

berkonstribusi

dalam

pembentukan

aterosklerosis

diabetik (Chiha, et al.,2012). Pada tikus pada uji eksperimental


memperlihatkan hiperinsulinemia menstimulasi sintesis asam lemak
dengan meningkatkan transkripsi gen enzim lipogenik di hati. Asam
lemak tersebut memacu produksi dari very low density lipoprotein
(VLDL) sehingga dikenal resistensi insulin (diabetes melitus tipe 2)
menginduksi dislipidemia (Steinberger, et al., 2009). Diabetes melitus
meningkatkan resiko morbilitas dan mortalitas berbagai penyakit
kardiovaskuler. Diabetes dengan sindrom metabolik secara signifikan
meningkatkan level trigliserida, rasio level trigliserida dibandingkan
HDL, atherogenic index of plasma (AIP), tekanan darah, dan IMT
(Kalidhas, et al.,2011). Diabetes secara serius meningkatkan resiko
menjadi penyakit jantung sebesar 2 kali lipat, terlepas dari faktor
resiko lainnya (Sarwar, et al.,2010). Bahkan ketika kadar glukosa
dalam darah dapat dikontrol, diabetes tetap akan meningkatkan resiko
penyakit jantung dan stroke walaupun tidak separah yang tidak
terkontrol kadar gula darahnya. Sekitar 65% orang yang terkena
diabetes meninggal karena berbagai penyakit pada jantung dan
pembuluh darah (AHA,2013).
2. Faktor resiko pendukung
Faktor resiko pendukung adalah faktor yang berhubungan dengan
peningkatan resiko penyakit jantung koroner, tetapi hasilnya tidak terlalu
bermakna, terdiri dari:
1) Stres

Menurut Yayasan Jantung Inggris dalam Parswani, et al.


(2013), peneliti mengindikasikan bahwa faktor psikologi, seperti stres,
depresi, dan anxiety secara signifikan berkonstribusi dalam onset,
gejala klinis, dan prognosis dari penyakit jantung koroner. Stres
merupakan efek fisik dan emosi yang tidak diinginkan dimana dapat
berefek pada jantung akibat perlepasan hormon-hormon tertentu yang
meningkatkan tekanan darah dan dapat mendorong pembentukan
clotting pada arteri. Yang termasuk pemicu stres termasuk isolasi
sosial, stres pekerjaan, dan peristiwa akut atau kronik yang terjadi
dalam kehidupan. Stres dan kecemasan bisa berperan dalam penyebab
penyakit jantung koroner karena akan menyebabkan pembuluh darah
arteri mengalami vasokonstriksi sehingga akan meningkatkan tekanan
darah. Ini bisa menyebabkan peningkatan serangan jantung. Stres juga
dapat menyebabkan seseorang makan makanan yang tinggi lemak dan
gula berlebihan (NHLBI,2011). Beberapa peneliti menemukan
hubungan antara resiko penyakit jantung koroner dan stres pada
kehidupan seseorang, kebiasaan hidup sehat mereka, dan status
sosioekonomi. Misalnya, ketika berada dalam keadaan stres, seseorang
akan mulai merokok lebih dari yang mereka bisa (AHA,2013). Orang
yang mengalami stres berat beresiko terkena penyakit jantung koroner
sebesar 1,27 kali dibanding yang mengalami stres ringan (Richardson,
et al.,2012). Menurut penelitian Orth-Gomr, et al. (2009), wanita
dengan penyakit jantung koroner yang menerima program berbasis
grup untuk menurunkan stres didapati angka harapan hidupnya 3 kali
lebih besar 3 kali lipat dibandingkan yang mendapat perawatan yang
biasa.
2) Alkohol

Minum alkohol dalam jumlah sedang dapat menyebabkan


penurunan resiko penyakit jantung (HeartUK,2012). Alkohol dengan
dosis 15 g/hari untuk wanita dan dosis 30 g/hari secara signifikan
bermanfaat meningkatkan meningkatkan level HDL, apolipoprotein
A1, adiponektin, dan menurunkan level fibrinogen, tetapi tidak berefek
pada level trigliserida (Brien,et al.,2010). Tetapi bila berlebihan,
alkohol dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah sehingga
menyebabkan gagal jantung dan memicu stroke (AHA,2013). Manfaat
alkohol dalam menurunkan resiko penyakit jantung koroner hanya
berlaku pada dewasa muda dan tidak bermanfaat bahkan merugikan
pada dewasa pertengahan dan umur lebih tua (Hvidtfeldt, et al.,2010).
3) Diet dan Nutrisi yang tidak sehat
Diet yang sehat dapat menjadi senjata yang baik dalam
melawan penyakit jantung (AHA,2013). Mengonsumsi daging yang
telah diproses, bukan daging merah, berkaitan dengan insidensi yang
lebih tinggi dari penyakit jantung koroner (Micha, et al.,2010). Untuk
mencegah penyakit jantung koroner, asam lemak jenuh yang
dikonsumsi sebaiknya diganti dengan asam lemak tidak jenuh rantai
jamak daripada mengonsumsi asam lemak tidak jenuh rantai tunggal
atau konsumsi karbohidrat (Jakobsen, et al.,2009) dan menghindari
konsumsi makanan trans-fatty acid dan makanan tinggi indeks
glikemiknya (Mente, et al.,2009). Makanan yang dimakan akan dapat
berefek pada faktor resiko yang dapat dimodifikasi, seperti kolesterol,
tekanan darah, diabetes, dan obesitas. Diet yang tidak sehat, seperti
tinggi gula, lemak, dan garam, akan menyebabkan peningkatan berat
badan, tekanan darah, kadar lemak dalam tubuh, dan kadar gula darah
sehingga

meningkatkan

(NHLBI,2011).

resiko

penyakit

jantung

koroner

2.5. Klasifikasi
Menurut Braunwald (2001), PJK memiliki beberapa klasifikasi sebagai
berikut:
1. Angina Pektoris Stabil Angina pektoris stabil adalah keadaan yang
ditandai oleh adanya suatu ketidaknyamanan (jarang digambarkan sebagai
nyeri) di dada atau lengan yang sulit dilokalisasi dan dalam, berhubungan
dengan aktivitas fisik atau stres emosional dan menghilang dalam 5-15
menit dengan istirahat dan atau dengan obat nitrogliserin sublingual
(Yusnidar, 2007). Angina pektoris stabil adalah rasa nyeri yang timbul
karena iskemia miokardium yang merupakan hasil dari ketidakseimbangan
antara suplai oksigen dan kebutuhan oksigen miokard. Iskemia miokard
dapat disebabkan oleh stenosis arteri koroner, spasme arteri koroner dan
berkurangnya kapasitas oksigen di dalam darah (Aladdini, 2011).
2. Angina pektoris tak stabil adalah angina pektoris (atau jenis ekuivalen
ketidaknyamanan iskemik) dengan sekurang-kurangnya satu dari tiga hal
berikut; a. Timbul saat istirahat (atau dengan aktivitas minimal) biasanya
berakhir setelah lebih dari 20 menit (jika tidak diberikan nitrogliserin). b.
Lebih berat dan digambarkan sebagai nyeri yang nyata dan merupakan
onset baru (dalam 1 bulan). c. Timbul dengan pola crescendo (bertambah
berat, bertambah lama, atau lebih sering dari sebelumnya). Pasien dengan
ketidaknyamanan iskemik dapat datang dengan atau tanpa elevasi segmen
ST pada EKG (yusnidar, 2007).
Istilah angina tidak stabil pertama kali digunakan 3 dekade yang lalu dan
dimaksudkan untuk menandakan keadaan antara infark miokard dan kondisi
lebih kronis dari pada angina stabil. Angina tidak stabil merupakan bagian
dari sindrom koroner akut, dimana tidak ada pelepasan enzim dan biomarker

nekrosis miokard. Angina dari sindrom koroner akut (SKA) cenderung merasa
lebih parah dari angina stabil, dan biasanya tidak berkurang dengan istirahat
beberapa menit atau bahkan dengan tablet nitrogliserin sublingual. SKA
menyebabkan iskemia yang mengancam kelangsungan hidup otot jantung.
Kadang-kadang obstruksi menyebabkan SKA hanya berlangsung selama
waktu yang singkat dan tidak ada nekrosis jantung yang terjadi, SKA
memiliki dua dua bentuk gambaran EKG yantu:
1. Infak Otot Jantung tanpa ST Elevasi (Non STEMI) Non STEMI
merupakan tipe infark miokard tanpa elevasi segmen ST yang
disebabkan oleh obstruksi koroner akibat erosi dan ruptur plak, erosi
dan ruptur plak ateroma menimbulkan ketidakseimbangan suplai dan
kebutuhan oksigen. Pada non STEMI, trombus yang terbentuk
biasanya tidak menyebabkan oklusi menyeluruh pada lumen arteri
koroner. Non STEMI memiliki gambaran klinis dan patofisiologi yang
mirip dengan angina tidak stabil, sehingga penatalaksanaan keduanya
tidak berbeda. Diagnosis Non STEMI ditegakkan jika pasien dengan
manifestasi klinis angina tidak stabil menunjukkan bukti adanya
nekrosis miokard berupa peningkatan biomarker jantung.
2. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST (STEMI) STEMI
umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada
sebelumnya (Kasma, 2011).
2.6. Patogenesis
Penyebab utama penyakit jantung koroner adalah aterosklerosis (Porter &
Kaplan,2011). Aterosklerosis merupakan penyakit inflamasi kronis yang kompleks
yang ditandai dengan remodeling dan penyempitan arteri koroner yang menyuplai
oksigen ke jantung (Sayols-Baixeras, et al.,2014). Aterosklerosis melibatkan
pembentukan plak yang terdiri dari sejumlah lipoprotein, matriks ekstraseluler

(kolagen, proteoglikan, glikosaminoglikan), kalsium, sel otot polos pembuluh darah,


sel inflamasi (monosit yang berubah menjadi makrofag, limfosit T, sel mast, sel
dendrit), dan pembuluh darah yang baru (angiogenesis) (Porter & Kaplan,2011).
Proses aterosklerosis ini ditandai dengan efluks LDL ke ruang subendotelial dimana
kemudian LDL tersebut dapat dimodifikasi dengan cara dioksidasi dan diglikasi oleh
berbagai jenis agen di sekitar arteri pembuluh darah ((1) pada gambar 2.8.). Partikel
LDL yang telah termodifikasi atau teroksidasi adalah molekul kemotaksis poten yang
menginduksi aktivasi dari molekul perlengketan sel vaskuler (vascular cell adhesion
molecule) dan molekul perlengketan intraseluler (intracellular adhesion molecule) di
lapisan endotel ((2) pada gambar 2.8.) dan memicu perlengketan monosit dan
chemoattractant molecule merangsang migrasi monosit ke ruang subendotel ((3) pada
gambar 2.8.). Monosit yang memasuki dinding arteri sebagai respon kepada
chemoattractant molecule, seperti monocyte chemmoattractant protein 1 (MCP-1),
merangsang diferensiasi monosit menjadi makrofag di lapisan intima media.
Makrofag berikatan dengan LDL yang teroksidasi melalui reseptor pembersih
(scavenger receptors) ((4) pada gambar 2.8.) untuk menjadi sel busa (foam cells) dan
memunyai fungsi proinflamasi, termasuk pelepasan sitokin-sitokin, seperti interleukin
(IL) dan tumor necrosis factor (TNF). Sel busa juga melepaskan molekul efektor,
seperti asam hipoklorit, anion superoksida (O2-), dan matriks metaloproteinase. Hasil
akhir dari proses ini adalah pembentukan lesi aterosklerotik pertama yang khas, yaitu
lapisan lemak (fatty streak) dimana sel busa berada di ruang subendotel (SayolsBaixeras, et al.,2014 dan Libby, et al.,2007).

Gambar 2.8. Skema Perkembangan Plak Aterosklerotik


Sumber: Libby, P., Bonow, R. O., Mann, D.L., Zipes, D. P.. 2007. Braunwalds Heart
Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine. 8th ed. Vol. 1. Philadelphia:
Elsevier Saunders.
Tipe leukosit yang lain, seperti limfosit dan sel mast, juga terakumulasi di
ruang subedotel. Efek gabungan monosit, makrofag, sel busa, dan sel T menghasilkan
respon imun seluler dan humoral dan berujung pada masa inflamasi kronis dengan
produksi dari beberapa molekul proinflamasi ((5) pada gambar 2.8.). Proses ini
dilanjutkan dengan migrasi dari sel otot polos yang membelah diri dari lapisan tengah
arteri ke lapisan intima ((6) pada gambar 2.8.), hasilnya perubahan bentuk dari fatty
streak menjadi lesi yang lebih kompleks. Saat sel otot polos berada di lapisan intima
media, mereka memproduksi molekul matriks ekstraseluler, membentuk tutup
fibrosus (fibrous cap) yang menutupi fatty streak sebelumnya ((7) pada gambar 2.8.).
Sel busa di dalam fibrous cap mati dan melepaskan lemak yang tersimpan ke ruang
ekstraseluler dan membentuk kolam kaya lemak yang dikenal sebagai inti nekrotik
(necrotic core) yang penuh lemak dan sel yang mati ((8) pada gambar 2.8.). Hasil dari
proses ini membentuk lesi ateroslerotik yang kedua, yaitu plak fibrosus (SayolsBaixeras, et al.,2014 dan Libby, et al.,2007).

2.7.

Gejala Klinis
Gejala PJK yang biasanya timbul adalah:
1. Dada terasa sakit, terasa tertimpa beban, terjepit, diperas, terbakar dan
tercekik. Nyeri terasa di bagian tengah dada, menjalar ke lengan kiri, leher,
bahkan menembus ke punggung. Nyeri dada merupakan keluhan yang paling
sering dirasakan oleh penderita PJK.
2. Sesak nafas
3. Takikardi
4. Jantung berdebar-debar
5. Cemas
6. Gelisah
7. Pusing kepala yang berkepanjangan
8. Sekujur tubuhnya terasa terbakar tanpa sebab yang jelas
9. Keringat dingin
10. Lemah
11. Pingsan
12. Bertambah berat dengan aktivitas

2.8. Diagnosis
A.Riwayat/Anamnesis
Diagnosa adanya suatu SKA harus ditegakkan secara cepat, tepat dan
didasarkan pada tiga kriteria, yaitu: gejala klinis nyeri dada spesifik, gambaran
EKG (elektrokardiogram) dan evaluasi biokimia dari enzim jantung. Nyeri dada
atau rasa tidak nyaman di dada merupakan keluhan dari sebagian besar pasien
dengan SKA. Sifat nyeri dada yang spesifik angina sebagai berikut:
1. Lokasi: substermal, retrostermal dan prekordial
2. Sifat nyeri: rasa sakit seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat,
seperti ditusuk, rasa diperas dan dipelintir

3. Penjalaran ke leher, lengan kiri, mandibula, gigi, punggung/interskapula dan


dapat juga ke lengan kanan
4. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat
5. Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin dan sesudah makan
6. Gejala yang menyertai: mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin dan
lemas.
Berat ringannya nyeri bervariasi sehingga sulit untuk membedakan antara
gejala APTS/NSTEMI dan STEMI. Pada beberapa pasien dapat ditemukan
tanda-tanda gagal ventrikel kiri akut, gejala yang tidak tipikal seperti: rasa lelah
yang tidak jelas, nafas pendek, rasa tidak nyaman di epigastrium atau mual dan
muntah dapat terjadi, terutama pada wanita, penderita diabetes dan pasien lanjut
usia. Kecurigaan harus lebih besar pada pasien dengan faktor risiko
kardiovaskular multipel dengan tujuan agar tidak terjadi kesalahan diagnosis
(Departemen Kesehatan, 2006)

B.Pemeriksaan Fisik
Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengidentifikasi faktor pencetus
dan kondisi lain sebagai konsekuensi dari NSTEMI seperti: hipertensi tak
terkontrol, anemia, tirotoksikosis, stenosis aorta berat, kardiomiopati hipertropik
dan kondisi lain, seperti penyakit paru. Keadaan disfungsi ventrikel kiri
(hipotensi, ronki dan gallop S3) menunjukkan prognosis yang buruk. Adanya
bruit di karotis atau penyakit vaskuler perifer menunjukkan bahwa pasien
memiliki kemungkinan penderita PJK (Depkes, 2006).

C. Pemeriksaan Penunjang/Pemeriksaan Diagnostik PJK


Untuk mendiagnosa PJK secara lebih tepat maka dilakukan pemeriksaan
penunjaung diantaranya:
a.

EKG
EKG memberi bantuan untuk diagnosis dan prognosis, rekaman yang
dilakukan saat sedang nyeri dada sangat bermanfaat. Gambaran diagnosis
dari EKG adalah : 1. Depresi segmen ST > 0,05 mV 2. Inversi gelombang T,
ditandai dengan > 0,2 mV inversi gelombang T yang simetris di sandapan
prekordial. Perubahan EKG lainnya termasuk bundle branch block (BBB)
dan aritmia jantung, terutama Sustained VT. Serial EKG harus dibuat jika
ditemukan adanya perubahan segmen ST, namun EKG yang normal pun
tidak menyingkirkan diagnosis APTS/NSTEMI. Pemeriksaaan EKG 12
sadapan pada pasien SKA dapat mengambarkan kelainan yang terjadi dan ini
dilakukan secara serial untuk evaluasi lebih lanjut dengan berbagai ciri dan
katagori: 1. Angina pektoris tidak stabil; depresi segmen ST dengan atau
tanpa inversi gelombang T, kadang-kadang elevasi segmen ST sewaktu
nyeri, tidak dijumpai gelombang Q 2. Infark miokard non-Q: depresi segmen

b.

ST, inversi gelombang T dalam (Kulick, 2014).


Chest X-Ray (foto dada) Thorax foto mungkin normal atau adanya
kardiomegali, CHF (gagal jantung kongestif) atau aneurisma ventrikiler

(Kulick, 2014).
c. Latihan tes stres jantung (treadmill). Treadmill merupakan pemeriksaan
penunjang yang standar dan banyak digunakan untuk mendiagnosa PJK,
ketika melakukan treadmill detak jantung, irama jantung, dan tekanan darah
terus-menerus dipantau, jika arteri koroner mengalami penyumbatan pada
saat melakukan latihan maka ditemukan segmen depresi ST pada hasil
rekaman (Kulick, 2014).
d. Ekokardiogram Ekokardiogram menggunakan gelombang suara untuk
menghasilkan gambar jantung, selama ekokardiogram dapat ditentukan

apakah semua bagian dari dinding jantung berkontribusi normal dalam


aktivitas memompa. Bagian yang bergerak lemah mungkin telah rusak
selama serangan jantung atau menerima terlalu sedikit oksigen, ini mungkin
e.

menunjukkan penyakit arteri koroner (Mayo Clinik, 2012).


Kateterisasi jantung atau angiografi Kateterisasi jantung atau angiografi
adalah suatu tindakan invasif minimal dengan memasukkan kateter
(selang/pipa plastik) melalui pembuluh darah ke pembuluh darah koroner
yang memperdarahi jantung, prosedur ini disebut kateterisasi jantung.
Penyuntikkan cairan khusus ke dalam arteri atau intravena ini dikenal
sebagai angiogram, tujuan dari tindakan kateterisasi ini adalah untuk
mendiagnosa dan sekaligus sebagai tindakan terapi bila ditemukan adanya

f.

suatu kelainan (Mayo Clinik, 2012).


CT scan (Computerized tomography Coronary angiogram) Computerized
tomography

Coronary

angiogram/CT

Angiografi

Koroner

adalah

pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk membantu memvisualisasikan


arteri koroner dan suatu zat pewarna kontras disuntikkan melalui intravena
selama CT scan, sehingga dapat menghasilkan gambar arteri jantung, ini
juga disebut sebagai ultrafast CT scan yang berguna untuk mendeteksi
kalsium dalam deposito lemak yang mempersempit arteri koroner. Jika
sejumlah besar kalsium ditemukan, maka memungkinkan terjadinya PJK
(Mayo Clinik, 2012).
g. Magnetic resonance angiography (MRA) Prosedur ini menggunakan
teknologi MRI, sering dikombinasikan dengan penyuntikan zat pewarna
kontras, yang berguna untuk mendiagnosa adanya penyempitan atau
penyumbatan, meskipun pemeriksaan ini tidak sejelas pemeriksaan
h.

kateterisasi jantung (Mayo Clinik, 2012).


Pemeriksaan biokimia jantung (profil jantung) Petanda biokimia seperti
troponin I (TnI) dan troponin T (TnT) mempunyai nilai prognostik yang
lebih baik dari pada CKMB. Troponin C, TnI dan TnT berkaitan dengan
konstraksi dari sel miokrad. Susunan asam amino dari Troponin C sama

dengan sel otot jantung dan rangka, sedangkan pada TnI dan TnT berbeda.
Nilai prognostik dari TnI atau TnT untuk memprediksi risiko kematian,
infark miokard dan kebutuhan revaskularisasi dalam 30 hari. Kadar serum
creatinine kinase (CK) dan fraksi MB merupakan indikator penting dari
nekrosis miokard, risiko yang lebih buruk pada pasien tanpa segment elevasi
ST namun mengalami peningkatan nilai CKMB (Depkes, 2006).

2.9. Tatalaksana

Anda mungkin juga menyukai