Anda di halaman 1dari 11

Pendahluan

Histamin adalah senyawa normal yang ada pada jaringan tubuh, yaitu pada
jaringan sel mast dan peredaran basofil, yang berperan terhadap berbagai proses
fisiologi penting. Histamin dikeluarkan dari tempat pengikatan ion pada kompleks
heparin-protein dalam sel mast, sebagai hasil reaksi antigen-anttibodi, bila ada
rangsangan senyawa alergen. Senyawa alergen dapat berupa spora, debu rumah,
sinar ultra-violet, cuaca, racun, tripsin dan enzim proteolitik lain, detergen, zat
warna, obat, makanan dan beberapa turunan amin. Histamin dapat dimetabolisme
melalui reaksi oksidasi, N-metilasi dan asetilasi. Sumber histamin dalam tubuh
adalah histidn yang mengalam dekarboksilasi menjadi histidin.
Sewaktu diketahui bahwa histamin mempengarhi banyak proses faalan dan
patologik, maka dicarikan obat yang dapat mengantagoniskan efek histamin.
Antihistamin adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek
histamin terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor-histamin (penghambatan
saingan). Epinefrin merupakan antagonis faalan pertama yang digunakan. Antara
taun 1937-1972, beratus-ratus antihistamin ditemukan dan sebagian digunakan
dalam terapi, tetapi efeknya tidak banyak berbeda. Antihistamin misalnya
antergan, neonategran, difenhidramin dan tripelenamin dalam dosis terapi efektif
untuk mengobati udem, eritam dan pruritus tetapi tidak dapat melawan efek
hpersekresi asam lambung akibat histamin. Antihistamin tersebut di atas disebut
dengan antihistamin penghambat reseptor H1 (AH1).
Sesudah tahun 1972, ditemukan kelompok antihistamin baru, yaitu
burimamid, metiamid dan simetidin yan dapat menghambat sekresi asam lambung
akibat histamin. Kedua jenis antihistamin ini bekerja secara kompetitif, yaitu
dengan menghambat interaksi histamin dan reseptor histamin H 1 atau H2
(Ganiswarna, 1995).

Tinjauan Pustaka
1. Pengertian

Antihistamin adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalangi


efek histamin terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor-histamin
(penghambatan saingan). Pada awalnya hanya dikenal satu tipe antihistamin,
tetapi setelah ditemukannya jenis reseptor khusus pada tahun 1972, yang
disebut reseptor-H2, maka secara farmakologi reseptor histamin dapat dibagi
dalam dua tipe, yaitu-H1 dan reseptor-H2.
Berdasarkan penemuan ini, anthistamin juga dapat dibagi dalam 2
kelompok, yakni antagonis reseptor-H1 (singkatannya disebut H1-bocker atau
antihistanika) dan antagonis reseptor-H2 (H2-blocker atau zat penghambat
asam).
2. Mekanisme Kerja
Histamin sudah lama dikenal karena merupakan mediator utama
timbulnya peradangan dan gejala alergi. Mekanisme kerja obat antihistamin
dalam menghilangkan gejala-gejala alergi berlangsung melalui kompetisi
dengan menghambat histamin berikatan dengan reseptor H1 atau H2 di organ
sasaran. Histamin yang kadarnya tinggi akan memunculkan lebih banyak
reseptor. Reseptor yang baru tersebut akan diisi oleh antihistamin. Peristiwa
molekular ini akan mencegah untuk sementara timbulnya reaksi alergi.
Reseptor H1 diketahui terdapat di otak, retina, medula adrenal, hati, sel
endotel, pembuluh darah otak, limfosit, otot polos saluran nafas, saluran cerna,
saluran genitourinarius dan jaringan vaskular. Sedangkan reseptor H 2 terdapat
di korteks serebri dan otot polos bronkus. terdapat reseptor H 3 di kulit juga
yang merupakan autoreseptor, mengatur pelepasan dan sintesis histamin.
Namun, peranan dalam menimbulkan gatal dan inflamasi masih belum jelas.

3. Penggolongan Obat
A. Antagonis-H1
Obat ini mengantagonir histamin dengan jalan memblok reseptor-H1
di otot licin dari dinding pembuluh, bronchi dan saluran cerna, kandung
kemih dan rahim. Begitu pula melawan efek histamin di kapiler dan ujung

saraf (gatal, flare reaction). Efeknya adalah simtomatis, antihistaminika


tidak dapat menghindarkan timbulnya reaksi alergi.
Dahulu antihistaminika deibagi secara kimiawi dalam 7-8 kelompok,
tetapi kini digunakan penggolongan dalam 2 kelompok atas dasar kerjanya
terhadap SSP, yakni zat-zat generasi ke-1 dan ke-2.

Gambar. Struktur Antagonis-H1


1) Mekanisme Kerja
Antihistamin

dalam

menghilangkan

gejala-gejala

alergi

berlangsung melalui kompetisi dalam berikatan dengan reseptor H1 di


organ sasaran. Histamin yang kadarnya tinggi akan memunculkan lebih
banyak reseptor H1. Antihistamin tersebut digolongkan dalam
antihistamin generasi pertama. Untuk pedoman terapi, penggolongan
AH dengan lama kerja, bentuk sediaan dan dosis dapat di lihat pada
Tabel 1. Antihistamin generasi pertama ini mudah didapat, baik sebagai
obat tunggal atau dalam bentuk kombinasi dengan obat dekongestan,
misalnya

untuk

pengobatan

influensa.

Kelas

ini

mencakup

klorfeniramine, difenhidramine, prometazin, hidroksisin dan lain-lain.


Pada umumnya obat antihistamin generasi pertama ini mempunyai
efektifitas yang serupa bila digunakan menurut dosis yang dianjurkan
dan dapat dibedakan satu sama lain menurut

gambaran efek

sampingnya. Namun, efek yang tidak diinginkan obat ini adalah


menimbulkan rasa mengantuk sehingga mengganggu aktifitas dalam
pekerjaan,

harus

berhati-hati

waktu

mengendarai

kendaraan,

mengemudikan pesawat terbang dan mengoperasikan mesin-mesin

berat. Efek sedatif ini diakibatkan oleh karena antihistamin generasi 1


ini 1 pertama ini memiliki sifat lipofilik yang dapat menembus sawar
darah otak sehingga dapat menempel pada reseptor H di sel-sel otak.
Dengan tiadanya histamin yang menempel pada reseptor H1 sel otak,
kewaspadaan menurun dan timbul rasa mengantuk. Selain itu, efek
sedatif diperberat pada

pemakaian alkohol dan obat antidepresan

misalnya minor tranquillisers. Karena itu, pengguna obat ini harus


berhati-hati. Di samping itu, beberapa antihistamin mempunyai efek
samping antikolinergik seperti mulut menjadi kering, dilatasi pupil,
penglihatan berkabut, retensi urin, konstipasi dan impotensia.
Dahulu antihistaminika deibagi secara kimiawi dalam 7-8
kelompok, tetapi kini digunakan penggolongan dalam 2 kelompok atas
dasar kerjanya terhadap SSP, yakni zat-zat generasi ke-1 dan ke-2.
2) Penggolongan
a) Antihistamin generasi pertama
Sejak tahun 1937-1972, ditemukan beratus-ratus antihistamin
dan digunakan dalam terapi, namun khasiatnya tidak banyak berbeda.
AH dalam dosis terapi efektif untuk menghilangkan bersin, rinore,
gatal pada mata, hidung dan tenggorokan pada seasonal hay fever,
tetapi tidak dapat melawan efek hipersekresi asam lambung akibat
histamin. AH efektif untuk mengatasi urtikaria akut, sedangkan pada
urtikaria kronik hasilnya kurang baik.
b) Antihistamin Generasi Kedua
Antihistamin generasi kedua mempunyai efektifitas antialergi
seperti generasi pertama, memiliki sifat lipofilik yang lebih rendah
sulit menembus sawar darah otak. Reseptor H sel otak tetap diisi
histamin, sehingga efek samping yang ditimbulkan agak kurang tanpa
efek mengantuk. Obat ini ditoleransi sangat baik, dapat diberikan
dengan dosis yang tinggi untuk meringankan gejala alergi sepanjang
hari, terutama untuk penderita alergi yang tergantung pada musim.
Obat ini juga dapat dipakai untuk pengobatan jangka panjang pada
penyakit kronis seperti urtikaria dan asma bronkial. Peranan histamin

pada asma masih belum sepenuhnya diketahui. Pada dosis yang dapat
mencegah bronkokonstriksi karena histamin, antihistamin dapat
meredakan gejala ringan asma kronik dan gejala-gejala akibat
menghirup alergen pada penderita dengan hiperreaktif bronkus.
Namun, pada umumnya mempunayai efek terbatas dan terutama untuk
reaksi cepat dibanding dengan reaksi lambat, sehingga antihistamin
generasi kedua diragukan untuk terapi asma kronik. Yang digolongkan
dalam antihistamin generasi kedua yaitu terfenadin, astemizol,
loratadin dan cetirizin. Terfenadin diperkenalkan di Eropa pada tahun
1981 dan merupakan antihistamin pertama yang tidak mempunyai
efek sedasi dan diijinkan beredar di Amerika Serikat pada tahun 1985.
Namun, pada tahun 1986 pada keadaan tertentu dilaporkan
terjadinya aritmia ventrikel, gangguan ritme jantung yang berbahaya,
dapat menyebabkan pingsan dan kematian mendadak. Beberapa faktor
seperti hipokalemia, hipomagnesemia, bradikardia, sirosis atau
kelainan hati lainnya atau pemberian bersamaan dengan juice anggur,
antibiotika makrolid (misalnya eritromisin), obat anti jamur (misalnya
itraconazole

atau

ketoconazole)

berbahaya

karena

dapat

memperpanjang interval QT. Pada tahun 1997 FDA menarik


terfenadin dari pasaran karena telah ditemukannya obat sejenis dan
lebih aman. Contoh Obat Astemizol, Loratadin dan Cetirizin

B. Antagonis-H2
Antagonis-H2 adalah senyawa yang menghambat secara bersaing
interaksi histamni dengan reseptor H2 sehingga dapat menghabat sekresi
asam lambung. Secara umum digunakan untuk pengobatan tukak lambung
dan usus. Efek samping antagonis-H2 antara lain adalah diare, nyeri otot
dan kegelisahan
1) Mekanisme Kerja
Antagonis-H2 mempunyai struktur serupa dengan histamin, yaitu
mengandung cincin imidazol atau bioisosteriknya, tetapi berbeda pada
panjang gugus rantai samping yang panjang dan tidak bermuatan terikat

melalui ikaan hidrofob dan kekuatan van der waals pada sisi reseptor
tidak khas.
Hipotesis sederhana mekanisme kerja senyawa antagonis-H2
dijelaskan sebagai berikut :
Sekresi asam lambung dipengaruhi oleh histamin, gastrin dan
asetilkolin, antagonis H-2 mengahambat secara langsung kerja histamin
pada sekresi asam (efikasi intrinsik) dan meghambat kerja potensiasi
histamin pada sekres asam, yang dirangsang oleh gastrin atau asetilkolin
(efikasi potensiasi), jadi histamin mempunyai efikasi potensiasi. Hal ini
berarti bahwa hanya histamin yang dapat meningkatkan sekresi asam,
sedangkan gastrin ata asetilkolin hanya meningkatkan sekresi asam
karena efek potensiasinya dengan histamin.
2) Hubungan Struktur dan Aktivitas
Dari studi hubungan struktur da aktivitas dalam usahan
pengembangan obat antagonis-H2, telah dilakukan modifikasi struktur
histamnin dan didapat hal-hal menarik sebagai berikut :

a) Modifikasi pada cincin


Cincin imidazol dapat membentuk dua tautomer, yaitu N-H dan

N-H. Bentuk N-H lebih dominan dan diperlukan untuk aktivitas

antagonis H2-Metiamid, dengan bentuk N-H , mempunyai aktivitas 5


kali lebih besar dibandingkan burimamid yang mempunyai bentuk NH.
Cincin imidazol pada umunya mengandng rantai samping gugus
yang bersifat penarik elektron. Pemasukan gugus metil pada atom C2
cincin imidazol secara selektif dapat merangsang reseptor H1.
Pemasukan gugus metil pada atom C4 ternyata senyawa bersifat
selektif H2-agonis dengan efek H1-agonis lemah. Hal ini disebabkan
substituen 4-metil yang bersifat donor elektron akan memperkuat efek
tautoeri rantai samping penarik elektron sehingga bentuk tautomer NH lebih stabil.

Modifikasi yang lain pada cincin ternyata tidak menghasilkan


efek H2-antagonis yang lebih kuat.
b) Modifikasi pada rantai samping
Untuk aktivitas optimal cincin hars terpisah dari gugus N oleh 4
atom C atau kivalennya. Pemendekan rantai dapat menurunkan
akivitas antagonis H2. Penanmabh panjang gugus metilen pada rantai
samping turunan guanidin aka meningkatkan kekuatan H2-antagonis
tetapi senyawa masih mempunyai efek parsial-agonis yng tidak
diinginkan.
Penggantian 1 gugus metilen (-CH2) pada rantai samping dengan
isometrik tioeter (-S) meningkatkan aktivitas antagonis.
c) Modifikasi pasa gugus N
Penggantian gugus amino rantai samping dengan gugus
guanidin yang bersifat basa kuat (NG-guanilhistamin) ternyata
mengahsilkan efek H2-antagonis lemah, dan masih bersifat parsial
agonis. Sifat basis senyawa (pKa = 13,6) menyebabkan senyawa
terionisasi sempurna pada pH fsilogis. Histamin (pKa = 5,9) di dalam
tubuh hanya 3% terionkan.

Penggantian gugus guanidin yang bermuatan positif dengan


gugus tiourea yang tidak bermuatan atau tidak terionisasi pada pH
tubuh danbersifat polar, serta masih mampu membentuk ikatan
hidrogen, seperti pada burimamid, akan menghasilkan efek agonis dan
memberikan efek H2-antagonis 100 kali lebih kuat dibandingkan N guanilhistamin.

Penelitian lebih lanjut menunjukan bahwa burimamid dan


metiamid menimbulkan efek samping kelainan darah (agranulositosi)
yang disebabkan oleh adanya gugus tiourea.
Modifikasi lebih lanjt adalah mengganti gugus tiourea dengan
gugus N-sianoguanidin yang tidak bermuatan dan masih bersifat polar,
seperti pada simetidin.

Gugus siano yang bersifat elektronegatif kuat mengurangi sifat


kebasaan atau ionisasi gugus guanidin sehngga absorpsi pada saluran
cerna menjadi lebih besar.
Simetidin aktivitasnya 2 kali lebih besar dibandigkan metiamid
dan menimbulkan efek samping agranulostosis lebih rendah simetidin
merupakan senyawa penghambat reseptor H2 pertama yang digunakan
secara klinik untuk menghambat sekresi asam lambung dan usus.
Etidin adalah analog simetidin di mana mengandung gugus metiletinil
pada ujung N-guanido, aktivitasnya 2 kali lebih besar dibandingkan
simetidin.
Modifikasi isosterik dari inti imidazol telah diselidiki dan
dihasilkan senyawa-senyawa anlaog simetidin yang berkhasiat lebih
baik dan efek samping yang lebih rendah. Penggantian inti imidazol
dengan cincin furan, pemasukan gugus dimetilaminoetil pasa cincin
dan penggantian gugus sianoguanidin dengan gugus nitrometenil,
menghasilkan ranitidin, yang dapat menghilangkan efek sampig
simetidin, seperti ginekomastia dan konfusi mental, dan mengurangi
kebabasan

senyawa.

Tidak

seperti

simetidin,

ranitidin

tidak

menghanbat metabolisme dari fenitoin, wafarin, dan aminofillin, san


juga tidak mengikat sitrokrom p-450.

Penggantian inti imidazol dengan cincn tiazol, pemasukan gugus


guanidin pada cincin dan penggantian gugus sianoguanidin dengan
gugus

sulfonamidoguanidin,

menghasilkan

famotidin,

yang

mempunyai aktivitas lebih poten dibandingkan simetidin dan ranitidin,


dapat menurunkan efek antiandrogenik, dan mengurangi sifat
kebasaan senyawa.

Contoh agonis-H2 : simetidin, ranitidin, famotidin, roksatidin,


etidin, tiotidin, lamitdin dan nizatidin.
1) Simetidin
(Cimet, Corsamet, Nulcer, Tagamet, Ulcedine), merupakan
antagonis kompetitif histamn pada reseptor H2 dari sel pariental
sehingga secara efektif dapat menghambat sekresi asam lambung.
Semetidin juga memblok sekrsei asam lambung yang disebabkan oleh
rangsangan makanan, asetilkolin, kafein dan insulin. Semetidin
digunakan untuk pengobatatn tukak lambung atau usus dan keadaan
hipersekresi yang patologis, misal sindrom Zollinger-Ellison. Efek
samping yang ditimblkan antara lain adalah diare, pusing, kelelahan
dan rash. Keadaan kebingungan, ginaekomastia dan impotensi juga
dapat terjadi tetapi bersifat terpulihkan. Absorbsi obat dalam saluran
cepat, kadar plasma tertinggi dicapai dalam 1 jam bila diberikan
dalam keadaan lambung kosng dan 2 jam bila diberikan bersama-sama
dengan makanan. Jadi pemberian simetdin sebaiknya bersama-sama
dengan makanan karena dapat menghambat absorpsi obat sehingga

memperpanjang masa kerja obat. Waktu pronya 2 jam. Dosis : 200


mg 3 dd, pada waktu makan dan 400 mg, sebelum tidur.
2) Ranitdin HCl
(Ranin, Rantin, ranatac, Zantac, Zantadin), merupakan antagonis
kompetitif histamin yang khas pada reseptor H2 sehingga secara
efektif dapat menghambat sekresi asam lambung. Ranitidin digunakan
untuk pengobatan tukak lambung atau usus dan keadaan hipersekresi
yang patologis, misal sindrom Zollinger-Ellison. Efek samping
ranitidin antara lain adalah hepatitis, trombositopena dan leukopenia
yang terpulihkan, sakit kepala dan pusing. Setelah pemberian oral,
rantidin diabsorpsi 39-87%. Ranitidin mempunyai masa kerja cukup
panjang, pemberian dosis 150 mg efektif menekan sekresi asam
lambung selama 8-12 jam. Kadar plasma tertinggi dicapai dalam 2-3
jam setelah pemberian oral, denga waktu paro eliminasi 2-3 jam.
Dosis : 150 mg 2 dd atau 300 mg, sebelum tidur.
3) Famotidin
(Facid, Famocid, Gaster, Regastin, Restadin), merupakan
antagonis kompetitif histamin yang khas pada reseptor H2, sehingga
secara efektif dapat menghambat sekresi asam lambung, menekan
kadar asam dan volume sekresi lambung. Famotidin merupakan
antagonis-H2 yang kuat dan sangat efektif dengan masa kerja panjang.
Famotidin digunakan untuk pengobatan tukak lambung atau usus dan
keadaan hipersekresi yang patologis, misal sindrom Zollinger-Ellison.
Efek samping obat antara lain adalah trombositopenia, konstipasi,
diare, arralgia, sakit kepala dan pusing. Absorpsi famotidin dalam
saluran cerna tidak sempurna 40-45% dan pengikatan protein
plasma relatif rendah 15-22%. Kadar plasma tertinggi dicapai dalam
1-3 jam setelah pemberian oral, waktu paro eliminasi 2,5-4 jam,
dengan masa kerja obat 12 jam. Dosis : 20 mg 2 dd atau 40 mg,
sebelum tidur.
4) Roksatadin asetat HCl
(Roxan), merpakan antagonis kompetitif histamin yang khas
pada sel pariental lambung atau reseptor H2, sehingga secara efektif

menghambat sekresi asam lambung, menekan kadar asam dan volume


sekresi lambung. Roksatidin merupakan atagonis-H2 yang kuat denga
masa kerja cukup panjang, digunakan untuk pengobatan tukak
lambung

dan

usus.

Efek

samping

obat

antara

lain

adalh

trombositopenia, konstipasi, diare, sakit kepla dan pusing. Dosis : 75


mg 2 dd atau 150 mg, sebelum tidur.

5) Nizatidin
(Axid), sifat dan kegunaan mirip dengan ranitidin. Pada
pemberia secara oral ketersediaan hayatinya lebih besar dari 90%,
tetapi waktu paro eliminasinya relatif pendek 1-2 jam. Dosis : 150 mg
2 dd, 300 mg, dalam dosis tunggal sebelim tidur.

C. Antagonis-H3 sampai sekarang belum digunakan untuk pengobatan, masih


dalam peneltian lebih lanjut dan kemungkinan berguna untuk pengaturan
sistem kardiovaskular, pengobatan alergi dan kelainan mental.

Daftar Pustaka
TIM Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995,
Farmakologi dan Terapi, Edisi 4, Universitas Indonesia, Jakarta, 252-260

Anda mungkin juga menyukai