Anda di halaman 1dari 6

Mari Berkebun Sahang

Novia karmiyati

Kabupaten Bangka Tengah adalah salah satu kawasan


yang tengah bebenah diri. Salah satu sumber penghasilan
masyarakat Bangka Tengah adalah dari berkebun sahang ini
atau yang biasa kita kenal dengan lada. sahang sudah lama
dikenal sejak zaman penjajahan belanda,namun memasuki tahun
2000-an minat masyarakat di Bangka Tengah untuk berkebun
sahang mengalami penurunan.penyebab penurunan itu sendiri
adalah maraknya pertambangan timah di Bangka Tengah seprti
tambang inkonversial dan PT.koba Tin. Semenjak maraknya
tambang inkonversial dan luasnya lahan yang digunakan PT.Koba
Tin.Lahan yang dulunya digunakan untuk perkebunan sahang
berubah menjadi area tambang timah. Semakin banyaknya
tambang inkonversial membuat pemerintah lebih fokus terhadap
timah dibandingkan dengan sahang atau lada, selain itu banyak
lahan yang dialih fungsikan membuat produksi sahang(lada)
semakin menurun. Hal lain yang menjadi penyebab penurunan
lada semakin meningkat,karena masyarakat merasa bahwa
timah lebih menjanjikan dan lebih cepat hasilnya dibandingkan
sahang(lada), yang pada saat itu harga sahang hanya 18rb
perkilo sedangkan jika dibandingkan dengan timah harganya
2kali lipat dari harga sahang yaitu 36rb perkilo untuk timah.
Padahal sahang hingga saat ini masih menjadi primadona yang
mengharumkan nama Bangka ini. Dibeberapa tahun inilah
sahang kurang mendapatkan perhatian lagi oleh pemerintah.
Berlalunya masa jaya sahang alias lada di Bateng ini,
gampang dilihat. Bagaimana tidak, tahun 2000 masih ada 80 ribu
hektar kebun sahang. Kini susut hanya tinggal 7 ribu
hektar,bayangkan berapa banyak pohon lada yang rusak serta
bercampur dengan alang-alang, Sebagian lahannya lagi
digunakan untuk bertambang inkonversial. Saya sendiri
menanyakan kepada ayah saya,perbandingan mengelolah antara
sahang dan timah yang mana kebetulan ayah saya seorang
pekebun sahang dan dulunya pernah mengeluti timah,Dengan

luas 1 hektar, kebun lada menghasilkan sekitar 2,5 ton, yang


baru bisa dipanen dalam 3 tahun kata ayah. Sementara bila
tambang inkonversial kawasan itu harus punya kandungan
timah,yang mana bisa menghasilkan sekitar 10 ton, tanpa perlu
menanti masa panen, Modal yang dikeluarkan pun untuk
pertambangan inkonvensional ini tidak lebih dari 15 juta
rupiahlanjut ayah. Uang tersebut untuk membeli generator, pipa
penghisap atau kapu-kapu,mesin, alat penyaring atau shakan
dan biaya sewa tanah, yang disetorkan ke pemerintah desa
setempat. Dengan produksi timah seratus kilogram per harinya,
modal awal sudah kembali, hanya dalam beberapa hari
sajaterang ayah lebih lanjut.
Keberadaan tambang timah ini juga memberi peluang
rezeki bagi warga lainnya,bagi warga yang tidak mepunyai lahan
untuk berkebun atau bertambang inkonversial, yakni dengan
jalan menjadi pelimbang, atau mencari sisa bijih timah yang
terjatuh dan terbawa arus air, dari shakan. Tidak perlu keahlian
khusus untuk jadi pelimbang. Yang penting, jeli melihat bijih
timah di atas tanah. Karenanya, baik anak kecil maupun orang
dewasa, banyak yang jadi pelimbang. Setelah bijih timah yang
masih bercampur pasir itu dikumpulkan, barulah mereka
memisahkan bijih timah itu di sungai, menggunakan alat
pelimbang seperti piring plastik dan karpet, yang biasanya
terbuat dari bahan serat fiber. Keuntungan yang didapat dari
pertambangan, memang cukup besar. Namun, kerugian yang
ditimbulkan, sesungguhnya lebih besar lagi. Bagi para
penambang, kebutuhan mendapatkan timah, telah membutakan
kewajiban mereka menutup kembali lahan bekas penggalian
timah. Akibatnya, lubang bekas galian timah menganga yang tak
enak dipandang masih berada dimana-mana di Pulau Bangka
Belitung ini.

Saat ini tercatat sekitar 700 hektar lahan bekas galian


tambang inkonvensional di Belitung, ada dalam kondisi seperti
ini. belum direklamasi. Bila dibiarkan, dalam beberapa tahun
mendatang, Pulau Belitung bisa dipastikan seperti wajah yang
penuh luka, lubang besar dimana-mana. Buntutnya, mengancam

keberadaan sumber air bersih. Kondisi seperti ini bukannya tidak


disadari para penambang. Namun, untuk mereklamasi lubang
bekas galian timah pun, perlu biaya yang tidak sedikit. Biaya
sewa sebuah eskavator, mencapai 400 ribu rupiah per jamnya.

Diperlukan waktu berjam-jam hanya untuk menutup


sebuah lubang bekas galian berukuran 400 meter persegi
dengan kedalaman sekitar dua puluh meter. Padahal dari sisi
aturan, pihak pemda mengenakan dana reklamasi. Tapi toh tak
berjalan. Masalah utama karena lokasi penambangan sangat luas
dan seringkali terpencar. Akhirnya mudah ditebak, reklamasi
tidak berjalan baik. Itu baru urusan reklamasi, belum lagi soal
penertiban bagi penambang ilegal yang bersalasankan
menyambung hidup.
Mereka para penimbang ataupun PT.Koba Tin tidak
memikirkan bagaimana dampak dari perbuatan mereka apabila
mereka tidak menanggulangi bekas-bekas galian tersebut.
seperti halnya yang terjadi di Bangka Tengah saat ini, seperti
banjir yang ada dibeberapa desa di Bangka Tengah misalnya
saya ambil sendiri dari desa saya sendiri yaitu Desa Nibung yang
mana 2 tahun terkhir ini jika musin hujan,desa kami terkena
banjir yang awalnya berasalkan dari tambang PT.Koba Tin,
dimana dulunya bekas galian timah tersebut tidak ditimbun
kembali oleh orang yang berkerja di PT.Koba Tin. Tak hanya di
Nibung tetapi lubuk dan sekitarnya juga banjir, Kini dampaknya
bagi kami masyarakat di Nibung maupun di lubuk, aktivitas kami
semua menjadi terganggu. Banyak anak-anak yang ingin pergi
kesekolah terhalang karena banjir,sehingga kami tidak
sekolah.orang yang ingin berpergian ke koba atau ke Pangkal
Pinang menjadi susah,orang-orang yang ingin pergi ke kebun
juga terhalang oleh banjir. Bahkan ada di lubuk ada orang yang
hanyut terbawa arus banjir,mobil-mobil dan motor banyak yang
rusak karena banjir ini,bukan hanya itu saja masih banyak lagi
lainnya.
Namun kini, kejayaan lada seolah kembali lagi dari hari ke
hari. Harga jual si lada atau sahang dalam bahasa setempat,

amat tinggi. Membuat kebanyakan warga berpaling untuk


berkebun sahang lagi. Hal ini pula yang sekarang berkembang
dimasyarakat setempat. Keluarga saya adalah salah satu yang
pernah menikmati kejayaan tanaman lada. hasil yang keluarga
kami dapatkan alhamdulillah bisa mebiayai kuliah ke 2 kakak
saya di Jakarta,ya walaupun tidak semuanya dari hasil
sahang,karet dan sawit juga menjadi sumber pemasukan di
keluarga kami.

Kini orangtua kami mulai menanam sahang kembali,dan


tidak hanya kami banyak masyarakat Desa Nibung yang kini juga
menanam sahang dikebun mereka masing-masing. Harga sahang
yang mahal membuat semakin banyak yang ingin menanam
sahang, Tapi untuk menanam dan merawat pohonnya tidaklah
mudah. Agar lada yang dihasilkan berkualitas tinggi,
perawatannya harus cermat.
Dahulu pertengahan tahun 90-an adalah masa gemilang sahang
atau lada. Saat itu, harga lada per kilogram mencapai 50 ribu
rupiah. Setiap kali panen, seorang yang mempunyai kebun
sahang atau lada dapat mengumpulkan sampai 5 tonkata ayah
saya. Kehidupan pekebun atau petani lada yang kebanyakan
tinggal di pedesaan di Bangka ini, dengan sendirinya menjadi
terangkat.

Bahkan ketika saat masa krisis sekalipun melanda tanah


air, para petani lada sama sekali tak merasakannya. Bahkan
hingga saat ini timah tak lagi menjamin kehidupan
masyarakat,dikarenakan semakin sedikitnya timah yang ada di
pulau Bangka ini dan juga timah harga jualnya yang begitu
murah, selain itu timah sering dirazia oleh polisi. Hal inilah
membuat semakin banyaknya orang yang berminat berkebun
sahang,selain tidak menyebabkan banjir,harga sahang juga
tinggi,dan menjamin kehidupan masyarakat di Bangka ini.

D
I
S
U
S

U
N
Oleh : Novia karmiyati
kelas : XI IPA2

Tahun pelajaran
2014-2015
Biodata
Nama:novia karmiyati
Kelas: XI
Asal sekolah: jln.raya Arung dalam kec,koba
SMA 1 KOBA
Tempat tanggal lahir: 20 november 1997
Alamat:jalan raya Desa Nibung
No hp:0819 9559 5575

Anda mungkin juga menyukai