Disusun Oleh :
Raka Anindita P.
145020207111037
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
JURUSAN MANAJEMEN
MALANG
2016
Daftar Isi
Kepemimpinan Menurut Adat Jawa Keraton................................................................................1
Konsep Kepemimpinan Yang Diterapkan Oleh Sultan Yogyakarta..............................................4
Ilmu Hasta Brata tergolong ajaran yang sangat tua, mulai diperkenalkan melalui lakon
pewayangan Wahyu Makutharama. Istilah Hasta Brata berasal dari kitab Hindu berbahasa Sansekerta
Manawa Dharma Sastra. Konsep Hasta Brata dalam kitab tersebut menyiratkan bahwa pemimpin
bertindak sesuai dengan karakter para dewa. Hasta Brata pun menjadi tolok ukur sebuah
kepemimpinan di masa itu.
Pemimpin yang menguasai ilmu Hasta Brata ini akan mampu melakukan internalisasi diri
(pengejawantahan) ke dalam delapan sifat agung tersebut.
Dalam beberapa literatur juga disebutkan bahwa delapan sifat alam ini mewakili simbol kearifan dan
kebesaran Sang Pencipta.
Yasadipura I (1729-1803 M), pujangga keraton Surakarta menuliskan Hasta Brata sebagai delapan
prinsip kepemimpinan sosial yang meniru filosofi atau sifat alam, yaitu:
1. Mahambeg Mring Kismo (meniru sifat bumi). Bumi diibaratkan sebagai ibu pertiwi.
Sebagai ibu pertiwi, bumi memiliki peran sebagai ibu, yang memiliki sifat keibuan, yang
harus memelihara dan menjadi pengasuh, pemomong, dan pengayom bagi makhluk yang
hidup di bumi.
2. Mahambeg Mring Warih (meniru sifat air). Seorang pemimpin harus mempunyai
kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan siapapun termasuk pengikutnya (adaptif). Air
selalu mengalir ke bawah, artinya pemimpin harus memperhatikan potensi, kebutuhan dan
kepentingan pengikutnya, bukan mengikuti kebutuhan atasannya.
3. Mahambeg Mring Samirono (meniru sifat angin). Pemimpin yang menguasai sifat Angin
adalah ia yang selalu terukur bicaranya (tidak asal ngomong), setiap perkataannya selalu
disertai argumentasi serta dilengkapi data dan fakta. Dengan demikian, pemimpin yang
menguasai sifat Angin ini akan selalu melakukan check and recheck sebelum berbicara atau
mengambil keputusan.
4. Mahambeg Mring Condro (meniru sifat bulan). dalam memperlakukan anak buahnya,
seorang pemimpin harus dilandasi oleh aspek-aspek sosio-emosional. Pemimpin harus
memperhatikan harkat dan martabat pengikutnya sebagai sesama, atau nguwongke. Ia juga
harus menjadi penuntun dan memberikan pencerahan.
5. Mahambeg Mring Suryo (meniru sifat matahari). Seorang pemimpin yang menguasai
sifat Matahari harus mampu memberikan inspirasi dan semangat kepada rakyatnya untuk
menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi. Energi positif seorang pemimpin dapat
memberi petunjuk dan solusi atas masalah yang dihadapi pengikutnya.
7. Mahambeg Mring Wukir (meniru sifat gunung). Layaknya sifat gunung yang teguh dan
kokoh, seorang pemimpin harus memiliki keteguhan-kekuatan fisik dan psikis serta tidak
mudah menyerah untuk membela kebenaran maupun membela rakyatnya.
8. Mahambeg Mring Dahono (meniru sifat api). Seorang pemimpin yang menguasai sifat
Api adalah ia yang cekatan dan tuntas dalam menyelesaikan persoalan. Juga selalu konsisten
dan objektif dalam menegakkan aturan, tegas, tidak pandang bulu dan objektif, serta tidak
memihak.
Peradaban Jawa klasik pada jaman Sultan Agung menyimpan kekayaan hikmat tentang
kepemimpinan. Dalam Serat Nitripraja terdapat uraian tentang moralitas kekuasaan, kewajibankewajiban moral para pemimpin, etika atasan-bawahan, prinsip hubungan rakyat dengan
pemerintah, dan sebagainya (Purwadi, 2007). Dalam Serat Suryarajayang diluncurkan pada
awal abad 18, dijelaskan empat gatra kepemimpinan oleh Sultan Hamengku Buwono
(Meneguhkan
Tahta
untuk
Rakyat,
1999).
Gatra
yang
pertama
adalah
perinsip amulatjantra yang berarti peka terhadap alam sekelilingnya. Gatra yang kedua adalah
perinsip pandamprana yang berarti intelek dan transparan. Perinsip yang ketiga adalah
perinsip sundaracitra yang berarti agung dan lembut dalam menjatuhkan hukuman. Perinsip
yang keempat adalah perinsip dayakuwerakawulo alit. yang berarti berkorban dengan berpihak
kepada kawulo alit/rakyat kecil.
Pada waktu Sri Sultan HB X naik tahta atau jumenengan dalem (7 Maret 1989), ia
menyampaikan Lima Tekad Dasar kepemimpinan. Lima perinsip ini bukan hanya menjadi
sebuah komitmen pribadi, tetapi juga menjadi sebuah komitmen untuk membangun peradaban
yang tinggi.
Tekad pertama adalah tidak mempunyai prasangka, rasa iri dan dengki serta
tetap hangrengkuh kepada siapa pun, baik terhadap mereka yang senang maupun yang
tidak senang, bahkan juga terhadap yang menaruh rasa benci.
Tekad kedua adalah lebih banyak memberi jika dibandingkan dengan menerima.
Tekad keempat adalah berani mengatakan yang benar adalah benar dan yang salah
adalah salah.
Tekad kelima adalah tidak memiliki ambisi apapun, selain senantiasa berusaha bagi
kesejahteraan rakyat.