Anda di halaman 1dari 12

Suku Dayak Kayan (Apo Kayan)

suku Dayak Kayan


Suku Dayak Kayan (Apo Kayan), adalah suatu masyarakat dayak yang bermukim di sepanjang
sungai Kayan. Sedangkan sungai Kayan merupakan anak sungai yang bermuara ke sungai
Melawi. Bagian hulunya berada di kampung Gemare, Tebidah di kecamatan Kayan Hulu.
Populasi suku Kayan diperkirakan berjumlah 30.000 orang.
Menurut legenda pada masyarakat Dayak Kayan, orang Kayan merupakan cikal bakal dari
semua suku-suku kecil dayak yang berada di sepanjang sungai Kayan, yang terdiri dari suku
Papak, suku Tebidah, suku Paya, suku Goneh, suku Nanga, suku Kebahan dan suku
Barai. Semua suuku-suku kecil dayak tersebut adalah keturunan suku Kayan, dan tergabung
dalam rumpun Kayan, kecuali suku Dayak Lebang saja yang tidak berasal dari suku Kayan ini.
Orang-orang pertama yang membentuk komunitas suku Kayan, terdiri dari Apang Isai, Indai Isai,
Madung Panjang, Madung Penda', Mambang Tobing Kumpang, dan Mia Balon Sasa'. Dari
mereka semua ini lah yang menurunkan suku Kayan. Mereka semua bermukim di Tapang Sungai
Emas.
Temenggung pertama yang memimpin orang Kayan adalah Temenggung Mangku, yang berasal
dari Topan. Setelah itu dipimpin oleh Temenggung Tukut dari Lintang Tambuk dan Temenggung
Sadu dari Nanga Masau.
Waktu memasuki daerah ini, mereka tidak langsung bermukim di daerah hulu, tetapi mereka
mendirikan perkampungan di daerah Nanga Kayan. Setelah tinggal beberapa waktu, lalu pindah
ke arah hulu Nanga Kayan, yaitu di wilayah sungai Kayan. Kemudian mereka pindah lagi ke
arah bagian hilir Nanga Mau. Lalu periode berikutnya mereka lalu pindah lagi ke arah hulu
Nanga Mau. Dari daerah bagian hulu Nanga Mau, lalu mereka pindah lagi ke arah dekat Nanga
Tebidah dan pada akhir perjalanan, mereka menetap di Nanga Tebidah.

suku Dayak Kayan


Masyarakat suku Kayan menyadari, mereka bukan berasal dari sungai Kayan itu sendiri.
Menurut mereka, bahwa mereka berasal dari luar daerah mereka sekarang, ketika para leluhur
memasuki wilayah sungai Kayan, yang pada awalnya daerah ini masih belum berpenghuni.
Ada sebuah pemikiran yang mengatakan bahwa nenek moyang suku Kayan kemungkinan
berasal dari daerah Kalimantan Tengah, tepatnya dari daerah sungai Kahayan. Diperkirakan
mereka memiliki hubungan dengan suku Dayak Ngaju. Lagi pula bila dilihat dari nama-nama
orang Kayan pertama yang membentuk komunitas suku Kayan, nama-nama tersebut mendekati
kepada nama-nama dari suku Dayak Ngaju. Sedangkan para peneliti berpendapat, suku Kayan
adalah bagian dari rumpun Kenyah-Kayan-Bahau yang berasal dari Sarawak. Pada awalnya
ketika memasuki wilayah Kalimantan Timur, mereka menetap di daerah Apau Kayan yang
berada di daerah aliran sungai Kayan. Tetapi karena pada saat itu terjadi perang antara suku-suku
dayak, mereka pun mencari daerah yang lebih aman, subur dan terisolir. Suku Kayan
meninggalkan daerah Apau Kayan yang telah mereka tempati selama 300 tahun. Mereka
bermigrasi menuju daerah yang lebih maju agar dapat lebih berkembang kehidupannya. Saat ini
mereka menetap di daerah aliran sungai Wahau yang telah dihuni oleh suku Dayak Wehea di
kabupaten Kutai Timur terutama di Desa Miau Baru sejak tahun 1969. Diperkirakan pada zaman
Kerajaan Kutai Martadipura (Kutai Mulawarman), suku Kayan belum memasuki Kalimantan
Timur. Suku Kayan diperkirakan termasuk salah satu suku yang belakangan memasuki pulau
Kalimantan, yang diperkirakan berasal dari pulau Formosa (Taiwan).
Suku Dayak Kayan (Apo Kayan), terdiri 10 suku kecil, yaitu:

Uma Pliau

Uma Samuka

Uma Puh

Uma Paku

Uma Bawang

Uma Naving

Uma Lasung

Uma Daru

Uma Juman

Uma Leken

Sebenarnya selain 10 kecil di atas, ada 3 suku kecil lain yang ditambahkan ke dalam rumpun
Kayan (Apo Kayan), yang terdapat di kabupaten Kapuas Hulu provinsi Kalimantan Barat, yaitu:

Uma Aging

Uma Pagung

Uma Suling.

Tetapi hal ini menjadi perdebatan bagi ke 3 kelompok suku kecil yang berada di sekitar sungai
Mendalaam, kabupaten Kapuas Hulu ini, mereka tidak setuju bila dimasukkan ke dalam
kelompok Kayan. Mereka lebih suka disebut sebagai kelompok Kayaan. Bagi ke 3 suku kecil ini,
penulisan Kayan, tidak menunjukkan kepada diri mereka, karena mereka tidak merasa sebagai
Kayan. Jadi mereka adalah Kayaan, bukan Kayan. Mereka menyebut diri mereka sebagai suku
Kayaan Mendalam.
Menurut sejarah suku Kayan, pada sekitar tahun 1863, suku Dayak Iban bermigrasi dan
memasuki daerah hulu sungai Saribas dan sungai Rejang, dan menyerang suku Kayan yang
berada di daerah hulu sungai. Perang dan serangan pengayauan menyebabkan suku-suku dayak
lain juga terusir dari wilayahnya.
Di daerah Empakan terdapat beberapa sandung dan temaduk. Ada juga 12 buah adau atau
sumur air asin yang bernama Dayang Iyang, Semanuk, Jabai, Gelagas, Pendak, Kenek,
Engkabang, Baru, Engkudu, Batu Babi, Rangkupm dan Dapuh.

gadis-gadis suku Dayak Kayan


Orang Dayak Kayan mengenal suatu tradisi lisan seperti kana dan cara menceritakannya disebut
bekana. Tradisi ini adalah cerita tentang kepahlawanan dan percintaan yang diceritakan dengan
alunan yang khas. Di samping itu juga mereka mengenal kebiasaan begurau di dalam pesta atau
sewaktu minum. Selain itu pada suku Kayan juga memiliki beberapa tarian yang selalu mereka
tarikan setiap melaksanakan upacara adat, maupun dalam menyambut para tamu. Selain itu seni
budaya suku Kayan juga sering ditampilkan di pentas nasional maupun internasional, sehingga
suku Kayan beserta budayanya sangat populer di dunia Internasional.

Suku Dayak Seberuang

suku Dayak Seberuang


(darakia.blogspot.com)
Suku Dayak Seberuang, adalah salah satu suku Dayak yang mendiami wilayah kabupaten
Sintang, Kalimantan Barat, terutama di kecamatan Sepauk kabupaten Sintang dan kecamatan
Tempunak kabupaten Sintang.
Suku Dayak Seberuang dimasukkan ke dalam rumpun Dayak Iban, atau kelompok Ibanik.
Menurut cerita pada suku Dayak Seberuang, pernah ada kerajaan di Sintang yang dipimpin oleh
seorang Raja yang berasal dari hulu sungai Sepauk tepatnya dari daerah bukit Kujau di Hulu
sungai Sepauk dan Tempunak. Di daerah Sepauk tempat Suku Dayak Seberuang, terdapat suku
Dayak Sekujam dan suku Dayak Sekubang yang diperkirakan sudah terlebih dahulu menetap di
wilayah ini. Suku Seberuang juga mendiami wilayah kecamatan yang berada di kabupaten
Kapuas Hulu yaitu di pesisir sungai Seberuang kabupaten Kapuas Hulu.

suku Dayak Seberuang


(imasikafmipa.blogspot.com)
Pada masa dahulu suku Dayak Seberuang suka berperang dengan suku-suku tetangganya dan
dalam peperangan mereka suka memenggal kepala musuhnya. Kebiasaan ini disebut "kayau".
Tetapi saat ini suku Dayak Seberuang telah menjadi suku yang sangat ramah. Mereka telah lama
menghentikan tradisi 'mengayau'.
Saat ini wilayah kediaman suku Dayak Seberuang banyak dimasuki oleh arus pendatang,
sehingga orang Dayak Seberuang semakin terdesak, yang pada awalnya tinggal di tepi sungai
semakin terdesak tinggal ke dalam hutan.

Upacara Adat 'Ngalu dan Mulai Ke Buah' Suku Dayak


Seberuang
Ritual adat ngalu dan mulai ke buah adalah salah satu ritual yang biasa dilakukan oleh Dayak
Seberuang dan Dayak Desa di wilayah Kabupaten Sintang. Ritual ini dibagi menjadi dua bagian,
yaitu Ngalu Ke Buah dan Mulai Ke Buah. Ngalu ke Buah adalah ritual untuk menyambut
kedatangan musim buah yaitu antara bulan AgustusSeptember setiap tahun. Sebaliknya, Mulai
ke Buah adalah ritual untuk melepas atau mengakhiri musim buah yang biasa dilakukan antara
bulan Maret hingga April setiap tahunnya.
Salah satu daerah yang masih rutin melakukan uapacara ini adalah Kampung Sungai Kura,
Dusun Benua Kencana, Desa Layang Tari Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang. Terakhir,
warga melakukan upacara Mulai ke Buah pada bulan April 2005 lalu.
Menurut Antonius Ajat (43), salah seorang pengurus adat Sungai Kura, sebenarnya ritual ini
dilakukan oleh warga setiap pintu (per KK) dan ditutup dengan ritual bersama oleh warga
sekampung. Ritual bersama tersebut harus dilakukan langsung di bawah pohon buah. Adapun
buah yang dianggap sebagai induk buah (perwakilan buah lainnya adalah durian dan
tengkawang). Ajat juga menjelaskan, antara tahun 1996 hingga 2001 ritual tersebut sempat
terabaikan. Bahkan sebagian warga menganggap kegiatan seperti itu sudah kuno dan tidak layak
dilakukan.
Akibat pro dan kontra terhadap ritual adat asli Dayak Seberuang dan Desa ini, pengurus dan
tetua adat serta mereka yang masih taat pada adat aslinya melakukan sendiri di rumah masingmasing. Pada rentang waktu yang sama pula yaitu tahun 19962001, penduduk di Sungai Kura

terserang penyakit aneh yaitu sejenis kolera, batuk, sengah (pilek), demam dan sakit perut.
Anehnya, ben-cana ini selalu terjadi setiap tahun tepatnya pada musim buah antara bulan
Oktober hingga April.
Kami diserang bencana penyakit kolera dan penyakit lain seperti batuk, sengah, demam, sakit
perut dan lainnya. Penyakit itu selalu datang setiap tahun yaitu pada musim buah, kisah Ajat.
Mereka yang terserang penyakit ini hampir tidak dapat disembuhkan meski dengan dokter ahli
sekalipun. Oleh karena itu, setiap tahunnya pasti memakan korban meninggal dunia minimal satu
orang dalam setahun. Menurut Ajat, setidaknya sudah ada enam orang yang meninggal akibat
penyakit itu.
Pada tahun 2002 lalu, memperhatikan itu semua, pengurus adat yang langsung dipimpin
Antonius Ajat mendesak warga untuk melakukan ritual Ngalu dan Mulai Ke Buah secara
bersama seperti dulu lagi. Semenjak tahun 2002 hingga sekarang ritual adat ini menjadi salah
satu agenda kampung yang diprioritaskan. Sejak itu pula warga Sungai Kura tidak pernah
diserang wabah penyakit sampai sekarang.
Prosesi ritual dan perlengkapan upacara adat ini cukup panjang dan rumit. Yang pasti tatacaranya
masih murni seperti asal mulanya.
Ritual ini membuat ikatan persau-daraan di Sungai Kura semakin erat ka-rena mereka merasa
bagian dari satu hingga lainnya. Tradisi ini juga menjadi sebuah kekuatan yang memiliki nilai
ter-sendiri bagi masyarakat adat yang meyakininya, sekaligus sebagai bukti rasa syukur kepada
Petara Puyang Gana yang telah memberi mereka buah dan menciptakan alam semesta.

Suku Dayak Kerabat

suku Dayak Kerabat


Suku Dayak Kerabat, adalah suatu kelompok masyarakat dayak yang bermukim di kecamatan
Sekadau Hulu kabupaten Sekadau provinsi Kalimantan Barat, tepatnya di hulu sungai Kerabat
dan sungai Engkulun.

Suku Dayak Kerabat dulunya disebut sebagai Dayak Penyapat, yang berawal dari peristiwa
perang antar suku Dayak Seberuang dan suku Dayak Jawatn. Suku Dayak Kerabat diminta oleh
Kerajaan Sekadau untuk menjadi penengah untuk menghentikan pertikaian antara suku Dayak
Seberuang dengan suku Dayak Jawatn. Karena posisi suku ini sebagai penyapat (penengah atau
benteng) maka disebutlah saat itu sebagai suku Dayak Penyapat. Tetapi di tanah asal mereka
berada, yaitu di sungai Ngkulun (Engkulun), mereka dikenal sebagai Dayak Kerabat, maka
istilah Kerabat ini lah yang bertahan sampai sekarang. Sedangkan sungai yang menjadi daerah
pemukiman suku Dayak Kerabat ini juga disebut sebagai sungai Kerabat.
Suku Dayak Kerabat berbicara menggunakan bahasa Dayak Kerabat, yang sekilas kedengaran
mirip dengan bahasa Melayu Sekadau (bahasa Dayak Senganan atau komunitas dayak yang
muslim), tetapi sebenarnya bahasa Dayak Kerabat berbeda dengan bahasa Dayak Senganan
(Melayu Sekadau), hanya saja gaya mengucapkannya yang terdengar mirip.
Salah satu tradisi adat yang tetap terpelihara sejak zaman nenek moyang dalam masyarakat suku
Dayak Kerabat adalah tradisi kompat (mengikir) gigi, yaitu suatu tradisi menuju kedewasaan
bagi anak-anak yang telah menginjak usia remaja.
Tradisi adat budaya kompat bagi suku kerabat merupakan kewajiban. Pelaksanaan kompat
disesuaikan dengan pesta gawai tutup tahun.
Dua buah pinang tua dikupas untuk menahan gigi geraham anak pada saat dikikiri atau
dikompat, sapu tangan untuk menahan bibir pada saat gigi dikikir atau dikompat, kikir kecil
untuk mengompat (mengikir) gigi, satu batang lemang bersama satu mangkuk adat berisi beras
dan ditimpa satu paha ayam yang sudah dimasak rebus itu, diserahkan kepada sepasang keluarga
(bapak dan ibu) yang menjadi saksi dalam pelaksanaan kompat. Satu buah tempayan tuak dihias
dan diberi empat batang sedotan bambu. Tuak tersebut dibuka oleh salah seorang yang sudah
ditunjuk sebagai saksi adat dalam acara kompat tersebut dan kemudian diminum secara
bergiliran. Pembukaan tempayan tuak itu untuk menyatakan bahwa sang anak telah selesai
melaksanakan adat kompat dan sekaligus sebagai syukuran atas pesta kompat. Sedangkan yang
satu tempayannya lagi diperas dan dihidangkan dengan cawan/gelas kepada semua tamu yang
ikut menyaksikan pelaksanaan kompat, dan para tamu yang ikut/hadir saat itu wajib minum tuak
tanpa kecuali walaupun hanya sedikit. Sedangkan kepala, hati, dan kaki babi dihidangkan untuk
tabas dan dimakan pada saat minum tuak yang pakai sedotan.
Tujuan adat kompat adalah untuk menyadarkan atau mengingatkan pada anak bahwa pada usia
tersebut mereka akan mulai menginjak masa remaja, yang dipersiapkan untuk menuju
kedewasaan dan kematangan pribadi. Pelaksanaan adat kompat mengarahkan seorang anak untuk
bersikap dewasa dalam segala hal. Setelah semua selesai, anak yang dikompat tersebut
dinyatakan sudah memasuki masa remaja dan menuju kedewasaan. Jika kelak si anak melakukan
suatu pelanggaran sebagai anak remaja dalam pergaulan dan tingkah laku, maka anak tersebut
dikenakan adat delapan poku (24 buah mangkuk adat) atau enam belas poku (48 buah mangkuk
adat). Untuk menentukan hukuman ini, tergantung besar kecilnya pelanggaran yang dilakukan
oleh sang anak.
Suku Dayak Kerabat, pada masa lalu mempercayai dunia roh dan segala sesuatu hal gaib di
alam, dan menganut agama adat layaknya suku-suku dayak di Kalimantan. Tetapi saat ini banyak
dari mereka yang telah meninggalkan kepercayaan lama nenek moyang mereka tersebut, dan
sebagian besar dari mereka memeluk agama Kristen dan sebagian kecil lainnya memeluk agama

Islam dan yang lain tetap mempertahankan kepercayaan lama mereka.


Kehidupan sehari-hari masyarakat suku Dayak Kerabat dalam mempertahankan hidup mereka,
adalah dengan cara bertani berladang, serta memanfaatkan hutan untuk mencari sumber
kehidupan seperti berburu dan mengumpulkan hasil dari hutan. Selain itu mereka juga
menangkap ikan di sungai yang mengalir dekat perkampungan mereka. Untuk menambah
kegiatan dan penghasilan mereka juga memelihara beberapa ekor hewan ternak seperti ayam,
bebek dan babi.

Suku Dayak Tomun

suku Dayak Tomun


(chentdecathecist.blogspot.com)
Suku Dayak Tomun, berada di kabupaten Lamandau dan bermukim di desa Tapin Bini dan
daerah Sebabi-Asam Baru. Hidup di sepanjang alisan sungai Lamandau. Populasi suku Dayak
Tomun ini adalah yang terbesar di kabupaten Lamandau.

perempuan Dayak Tomun


(kahawakbilem.blogspot.com)

rumah adat suku Dayak Tomun


(kahawakbilem.blogspot.com)
Suku Dayak Tomun ini sempat dianggap sama dengan suku Dayak Blaman, bahkan suku Dayak
Tomun disebut sebagai suku Dayak Blaman, tentu saja mereka menolak anggapan ini. Dari
menurut penuturan masyarakat suku Dayak Tomun, bahwa mereka bukanlah suku Dayak
Blaman, karena suku Dayak Blaman sendiri bermukim daerah Bulik dan Mentobi. Bahkan
menurut mereka justru suku Dayak Blaman itu sebenarnya adalah sub suku atau bagian dari suku
Dayak Tomun. Nama suku Dayak Tomun sendiri kadang bisa disebut sebagai Tomuai, Tomoun
dan Tomuan.
Kata tomun memiliki makna berbicara, bertemu atau "saling memahami. Suku Dayak
Tomun terutama bermukim di pedalaman atau di hulu sungai yang ada di kabupaten Lamandau.
Suku Dayak Tomun sangat menghormati tradisi dan adat istiadat kebudayaan leluhurnya. Tradisi
atau kebiasaan leluhur tersebut sangat melekat dalam hati dan tindakan hidup dan bahkan
mempengaruhi hampir pada setiap aspek kehidupan mereka. Bentuk-bentuk tradisi tersebut bagi
mereka merupakan bentuk penghargaan, penghormatan, atau pelestarian warisan yang diberikan
oleh leuhur mereka. Tradisi suku Dayak Tomun yang hingga saat ini masih dilakukan, misalnya:
tradisi menyambut kelahiran baru dalam sebuah keluarga, pelepasan masa kanak-kanak menuju
kedewasaan, tradisi berladang (bahuma batongah), mencari ikan bersama (manuba), berburu
binatang (beburu), berobat (babolitn, basomur dan batibu), pernikahan, pendirian rumah hingga
upacara kematian.

Dayak Iban

Iban / Ibanic : Dayak Iban dan sub-sub kecil lainnya, Mualang, Ketungau, Kantuk,
Sebaruk, Banyur, Tabun, Bugau, Undup, Saribas, Desa, Seberuang, dan sebagainya.
Wilayah penyebarannya di Kabupaten Sambas (perbatasan), Kabupaten Sanggau /
malenggang dan sekitarnya (perbatasan) Kabupaten Sekadau (Belitang Hilir,
Tengah, Hulu) Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Serawak, Sabah dan
Brunai Darusalam. mempunyai ciri gerak pinggul yang dominan, tidak keras dan
tidak terlalu halus.

Ngayau

Ngayau adalah salah satu tradisi masyarakay Dayak pada jaman dahulu. Tradisi ini
tergolong kejam dan mengerikan. Dahulu, sudah menjadi kebiasaan suku-suku
primitif di mana-mana, bahwa untuk mempertahankan dan memperluas wilayah
kekuasaan, mereka sering melakukan perang antar suku. Dlam melakukan
peperangan tersebut, terdapat sebuah kebiasaan yaitu memenggal kepala musuh
serta membawanya ke kampung mereka. Kebiasaan tersebut sering disebut juga
sebagai kayau, atau ngayau. Tidak semua prajurit perang berani dan mampu
melakukan hal tersebut. Hanya beberapa orang saja yang memiliki keberanian lebih
dan mau melakukan ngayau. Oleh sebab itu, mereka yang berani melakukan kayau
banyak diperebutkan oleh para wanita suku Dayak Pedalaman karena dianggap
mampu melindungi mereka dengan keberaniannya. Kepercayaan lain yang
mendorong mereka mau melakukan kekejaman tersebut juga karena adanya
keyakinan bahwa dengan memenggal kepala musuh tersebut, maka roh si musuh
tidak akan gentayangan dan mengganggu mereka. Tidak semua musuh boleh
dipenggal kepalanya. Wanita dan anak-anak tidak boleh di kayau. Mereka hanya
boleh diperbudak saja. Beberapa upacara adat pun mereka lakukan untuk
menenangkan roh si musuh, dengan memberikan sejumlah sesaji dalam upacara
adat yang bernama Tiwah. Dimaksudkan, agar roh mereka yang di Kayau dapat
tenang melangkah ke langit ke tujuh dan tidak gentayangan membalas dendam.
Kesepakatan Meninggalkan Tradisi Ngayau Kesadaran untuk hidup dalam situasi
yang damai dan tentram serta kesepakatan untuk berbagi daerah dan hidup
bersama dalam kerukunan, menyebabkan diadakannya Rapat Damai Tumbang Anoi

pada 1894. Para petinggi suku Dayak Pedalaman menyepakati untuk tidak lagi
saling membunuh, saling memenggal kepala, serta saling memperbudak.
Selanjutnya, upacara adat yang memerlukan kepala manusia diganti dengan kepala
kerbau atau binatang lainnya.

Anda mungkin juga menyukai