Uma Pliau
Uma Samuka
Uma Puh
Uma Paku
Uma Bawang
Uma Naving
Uma Lasung
Uma Daru
Uma Juman
Uma Leken
Sebenarnya selain 10 kecil di atas, ada 3 suku kecil lain yang ditambahkan ke dalam rumpun
Kayan (Apo Kayan), yang terdapat di kabupaten Kapuas Hulu provinsi Kalimantan Barat, yaitu:
Uma Aging
Uma Pagung
Uma Suling.
Tetapi hal ini menjadi perdebatan bagi ke 3 kelompok suku kecil yang berada di sekitar sungai
Mendalaam, kabupaten Kapuas Hulu ini, mereka tidak setuju bila dimasukkan ke dalam
kelompok Kayan. Mereka lebih suka disebut sebagai kelompok Kayaan. Bagi ke 3 suku kecil ini,
penulisan Kayan, tidak menunjukkan kepada diri mereka, karena mereka tidak merasa sebagai
Kayan. Jadi mereka adalah Kayaan, bukan Kayan. Mereka menyebut diri mereka sebagai suku
Kayaan Mendalam.
Menurut sejarah suku Kayan, pada sekitar tahun 1863, suku Dayak Iban bermigrasi dan
memasuki daerah hulu sungai Saribas dan sungai Rejang, dan menyerang suku Kayan yang
berada di daerah hulu sungai. Perang dan serangan pengayauan menyebabkan suku-suku dayak
lain juga terusir dari wilayahnya.
Di daerah Empakan terdapat beberapa sandung dan temaduk. Ada juga 12 buah adau atau
sumur air asin yang bernama Dayang Iyang, Semanuk, Jabai, Gelagas, Pendak, Kenek,
Engkabang, Baru, Engkudu, Batu Babi, Rangkupm dan Dapuh.
terserang penyakit aneh yaitu sejenis kolera, batuk, sengah (pilek), demam dan sakit perut.
Anehnya, ben-cana ini selalu terjadi setiap tahun tepatnya pada musim buah antara bulan
Oktober hingga April.
Kami diserang bencana penyakit kolera dan penyakit lain seperti batuk, sengah, demam, sakit
perut dan lainnya. Penyakit itu selalu datang setiap tahun yaitu pada musim buah, kisah Ajat.
Mereka yang terserang penyakit ini hampir tidak dapat disembuhkan meski dengan dokter ahli
sekalipun. Oleh karena itu, setiap tahunnya pasti memakan korban meninggal dunia minimal satu
orang dalam setahun. Menurut Ajat, setidaknya sudah ada enam orang yang meninggal akibat
penyakit itu.
Pada tahun 2002 lalu, memperhatikan itu semua, pengurus adat yang langsung dipimpin
Antonius Ajat mendesak warga untuk melakukan ritual Ngalu dan Mulai Ke Buah secara
bersama seperti dulu lagi. Semenjak tahun 2002 hingga sekarang ritual adat ini menjadi salah
satu agenda kampung yang diprioritaskan. Sejak itu pula warga Sungai Kura tidak pernah
diserang wabah penyakit sampai sekarang.
Prosesi ritual dan perlengkapan upacara adat ini cukup panjang dan rumit. Yang pasti tatacaranya
masih murni seperti asal mulanya.
Ritual ini membuat ikatan persau-daraan di Sungai Kura semakin erat ka-rena mereka merasa
bagian dari satu hingga lainnya. Tradisi ini juga menjadi sebuah kekuatan yang memiliki nilai
ter-sendiri bagi masyarakat adat yang meyakininya, sekaligus sebagai bukti rasa syukur kepada
Petara Puyang Gana yang telah memberi mereka buah dan menciptakan alam semesta.
Suku Dayak Kerabat dulunya disebut sebagai Dayak Penyapat, yang berawal dari peristiwa
perang antar suku Dayak Seberuang dan suku Dayak Jawatn. Suku Dayak Kerabat diminta oleh
Kerajaan Sekadau untuk menjadi penengah untuk menghentikan pertikaian antara suku Dayak
Seberuang dengan suku Dayak Jawatn. Karena posisi suku ini sebagai penyapat (penengah atau
benteng) maka disebutlah saat itu sebagai suku Dayak Penyapat. Tetapi di tanah asal mereka
berada, yaitu di sungai Ngkulun (Engkulun), mereka dikenal sebagai Dayak Kerabat, maka
istilah Kerabat ini lah yang bertahan sampai sekarang. Sedangkan sungai yang menjadi daerah
pemukiman suku Dayak Kerabat ini juga disebut sebagai sungai Kerabat.
Suku Dayak Kerabat berbicara menggunakan bahasa Dayak Kerabat, yang sekilas kedengaran
mirip dengan bahasa Melayu Sekadau (bahasa Dayak Senganan atau komunitas dayak yang
muslim), tetapi sebenarnya bahasa Dayak Kerabat berbeda dengan bahasa Dayak Senganan
(Melayu Sekadau), hanya saja gaya mengucapkannya yang terdengar mirip.
Salah satu tradisi adat yang tetap terpelihara sejak zaman nenek moyang dalam masyarakat suku
Dayak Kerabat adalah tradisi kompat (mengikir) gigi, yaitu suatu tradisi menuju kedewasaan
bagi anak-anak yang telah menginjak usia remaja.
Tradisi adat budaya kompat bagi suku kerabat merupakan kewajiban. Pelaksanaan kompat
disesuaikan dengan pesta gawai tutup tahun.
Dua buah pinang tua dikupas untuk menahan gigi geraham anak pada saat dikikiri atau
dikompat, sapu tangan untuk menahan bibir pada saat gigi dikikir atau dikompat, kikir kecil
untuk mengompat (mengikir) gigi, satu batang lemang bersama satu mangkuk adat berisi beras
dan ditimpa satu paha ayam yang sudah dimasak rebus itu, diserahkan kepada sepasang keluarga
(bapak dan ibu) yang menjadi saksi dalam pelaksanaan kompat. Satu buah tempayan tuak dihias
dan diberi empat batang sedotan bambu. Tuak tersebut dibuka oleh salah seorang yang sudah
ditunjuk sebagai saksi adat dalam acara kompat tersebut dan kemudian diminum secara
bergiliran. Pembukaan tempayan tuak itu untuk menyatakan bahwa sang anak telah selesai
melaksanakan adat kompat dan sekaligus sebagai syukuran atas pesta kompat. Sedangkan yang
satu tempayannya lagi diperas dan dihidangkan dengan cawan/gelas kepada semua tamu yang
ikut menyaksikan pelaksanaan kompat, dan para tamu yang ikut/hadir saat itu wajib minum tuak
tanpa kecuali walaupun hanya sedikit. Sedangkan kepala, hati, dan kaki babi dihidangkan untuk
tabas dan dimakan pada saat minum tuak yang pakai sedotan.
Tujuan adat kompat adalah untuk menyadarkan atau mengingatkan pada anak bahwa pada usia
tersebut mereka akan mulai menginjak masa remaja, yang dipersiapkan untuk menuju
kedewasaan dan kematangan pribadi. Pelaksanaan adat kompat mengarahkan seorang anak untuk
bersikap dewasa dalam segala hal. Setelah semua selesai, anak yang dikompat tersebut
dinyatakan sudah memasuki masa remaja dan menuju kedewasaan. Jika kelak si anak melakukan
suatu pelanggaran sebagai anak remaja dalam pergaulan dan tingkah laku, maka anak tersebut
dikenakan adat delapan poku (24 buah mangkuk adat) atau enam belas poku (48 buah mangkuk
adat). Untuk menentukan hukuman ini, tergantung besar kecilnya pelanggaran yang dilakukan
oleh sang anak.
Suku Dayak Kerabat, pada masa lalu mempercayai dunia roh dan segala sesuatu hal gaib di
alam, dan menganut agama adat layaknya suku-suku dayak di Kalimantan. Tetapi saat ini banyak
dari mereka yang telah meninggalkan kepercayaan lama nenek moyang mereka tersebut, dan
sebagian besar dari mereka memeluk agama Kristen dan sebagian kecil lainnya memeluk agama
Dayak Iban
Iban / Ibanic : Dayak Iban dan sub-sub kecil lainnya, Mualang, Ketungau, Kantuk,
Sebaruk, Banyur, Tabun, Bugau, Undup, Saribas, Desa, Seberuang, dan sebagainya.
Wilayah penyebarannya di Kabupaten Sambas (perbatasan), Kabupaten Sanggau /
malenggang dan sekitarnya (perbatasan) Kabupaten Sekadau (Belitang Hilir,
Tengah, Hulu) Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Serawak, Sabah dan
Brunai Darusalam. mempunyai ciri gerak pinggul yang dominan, tidak keras dan
tidak terlalu halus.
Ngayau
Ngayau adalah salah satu tradisi masyarakay Dayak pada jaman dahulu. Tradisi ini
tergolong kejam dan mengerikan. Dahulu, sudah menjadi kebiasaan suku-suku
primitif di mana-mana, bahwa untuk mempertahankan dan memperluas wilayah
kekuasaan, mereka sering melakukan perang antar suku. Dlam melakukan
peperangan tersebut, terdapat sebuah kebiasaan yaitu memenggal kepala musuh
serta membawanya ke kampung mereka. Kebiasaan tersebut sering disebut juga
sebagai kayau, atau ngayau. Tidak semua prajurit perang berani dan mampu
melakukan hal tersebut. Hanya beberapa orang saja yang memiliki keberanian lebih
dan mau melakukan ngayau. Oleh sebab itu, mereka yang berani melakukan kayau
banyak diperebutkan oleh para wanita suku Dayak Pedalaman karena dianggap
mampu melindungi mereka dengan keberaniannya. Kepercayaan lain yang
mendorong mereka mau melakukan kekejaman tersebut juga karena adanya
keyakinan bahwa dengan memenggal kepala musuh tersebut, maka roh si musuh
tidak akan gentayangan dan mengganggu mereka. Tidak semua musuh boleh
dipenggal kepalanya. Wanita dan anak-anak tidak boleh di kayau. Mereka hanya
boleh diperbudak saja. Beberapa upacara adat pun mereka lakukan untuk
menenangkan roh si musuh, dengan memberikan sejumlah sesaji dalam upacara
adat yang bernama Tiwah. Dimaksudkan, agar roh mereka yang di Kayau dapat
tenang melangkah ke langit ke tujuh dan tidak gentayangan membalas dendam.
Kesepakatan Meninggalkan Tradisi Ngayau Kesadaran untuk hidup dalam situasi
yang damai dan tentram serta kesepakatan untuk berbagi daerah dan hidup
bersama dalam kerukunan, menyebabkan diadakannya Rapat Damai Tumbang Anoi
pada 1894. Para petinggi suku Dayak Pedalaman menyepakati untuk tidak lagi
saling membunuh, saling memenggal kepala, serta saling memperbudak.
Selanjutnya, upacara adat yang memerlukan kepala manusia diganti dengan kepala
kerbau atau binatang lainnya.