Anda di halaman 1dari 14

HUKUM SURAT-SURAT BERHARGA

Mata Kuliah : Hukum Komersial


Dosen Pengajar : Yenny Eta Widyanti, SH.MHum.
Diajukan untuk memenuhi tugas UTS

Disusun oleh :

Disusun Oleh :
Agus Ainul Falah
145020101111058
AD

PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN


JURUSAN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada saat ini kemajuan teknologi di dunia yang semakin pesat ternyata
menyangkut juga dalam sektor perdagangan. Hal ini terlihat atau terbukti, diantaranya
dalam hal orang yang menghendaki segala sesuatunya yang menyangkut urusan
perdagangannya dapat bersifat praktis dan aman serta dapat dipertanggungjawabkan
khususnya dalam hal pembayarannya. Aman dan praktis artinya tidak setiap orang
bisa menggunakan surat berharga tersebut, dikarenakan pembayaran dengan
menggunakan surat berharga memerlukan cara-cara yang khusus ataupun tertentu.
Dalam dunia perdagangan kemungkinan pembayaran/transaksi perdagangan dengan
menggunakan uang tunia akan banyak sekali risikonya. Selain mungkin akan selalu
menjadi incaran orang jahat terhadap pembawanya, juga akan mengalami kesulitan
dalam membawanya, jikalau mata uang logam tentunya terlalu berat sedangkan
jikalau mata uang kertas akan memerlukan tempat, dan untuk menghitungnya tentu
akan menyita waktu yang banyak. Dalam hal ini setiap orang tidak harus
menggunakan alat pembayaran berupa uang, melainkan cukup dengan menerbitkan
surat berharga baik sebagai alat pembayaran kontan maupun sebagai alat pembayaran
kredit.
Dalam sistem hukum dagang Indonesia terdapat surat-surat berharga yang
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan diluar KUHD.
Secara formal KUHD hanya mengkodifikasi regulasi atau ketentuan surat berharga
yang dapat menjalankan fungsi alat bayar dalam Bab VI dan Bab VII. 1 Jika dilihat
perkembangan pengaturan surat berharga, tampak bahwa surat berharga yang diatur di
luar KUHD lebih dinamis dan berkembang dibanding daripada surat berharga yang
diatur dalam KUHD. Apabila dicermati secara baik, hal tersebut sebagai dampak dari
dinamika atau perkembangan bisnis dan semakin majunya teknologi yang membawa
pengaruh terhadap perkembangan sistem hukum, antara lain yang terkait dengan
sistem pembayaran.

KUHD tidak memberikan definisi tentang surat berharga. Istilah surat berharga
disebutkan dalam Pasal 469 KUHD yang berbunyi : ... untuk dicurinya emas, perak,
permata, dan lain-lain barang berharga, uang dan surat-surat berharga, begitupun
untuk teruskan pada .... Abdulkadir Muhammad menyebutkan, surat berharga adalah
surat yang oleh penerbitnya, sengaja diterbitkan sebagai pelaksanaan pemenuhan
suatu prestasi, yang berupa pembayaran sejumlah uang. Akan tetapi, pembayaran itu
tidak dilakukan dengan menggunakan mata uang, melainkan dengan menggunakan
alat bayar lain. Alat bayar itu berupa surat yang di dalamnya mengandung suatu
perintah kepada pihak ketiga, atau pernyataan sanggup, untuk membayar sejumlah
uang kepada pemegang surat tersebut.2
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004, terakhir dengan UndangUndang Nomor 6 Tahun 2009 (selanjutnya disebut UU Bank Indonesia) tidak
menyebutkan pengertian surat berharga. Bank-bank dan atau lembaga-lembaga lain
yang mempunyai hubungan rekening giro dengan Bank Indonesia, dalam melakukan
penarikan juga menggunakan instrumen penarikan dalam bentuk surat cek, bilyet giro
dan atau yang dipersamakan dengan itu. Hanya saja penggunaan surat berharga ini
oleh bank-bank dan atau lembaga lain yang mempunyai hubungan rekening giro pada
Bank Indonesia, pemakaiannya sangat terbatas antara lain, tidak dapat secara leluasa
dipindahtangankan, tetapi lebih ditekankan sebagai instrumen penarikan simpanan
semata.
Cek atau surat cek adalah warkat atau surat berharga yang paling populer
dalam kegiatan operasional perbankan. Surat cek diperlakukan sebagai alat
pembayaran disamping mata uang. Surat cek dikelompokkan ke dalam alat
pembayaran giral, mempunyai peranan penting dalam memperlancar transaksi dunia
bisnis. Kepercayaan terhadap surat cek sebagai alat bayar sedikit agak terganggu
dengan perbuatan spekulasi pelaku bisnis dalam menerbitkan surat cek, yakni
terjadinya penolakan akibat dana penerbit tidak cukup dan atau kosong. Antisipasi
yang lazim dilakukan oleh kalangan bisnis adalah mencantumkan dalam bukti
pembayaran seperti kwitansi atau invoice (faktur) dengan klausul Pembayaran
dengan cek dianggap sah, jika tidak ada penolakan oleh bank atau sebutan lain yang
sama dengan itu. Pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia selaku otoritas sistem
pembayaran, mendorong penggunaan alat pembayaran giral, terutama untuk menekan

pertumbuhan uang beredar jenis kartal. Di negara maju seperti Amerika Serikat dan
Inggris, peredaran alat pembayaran giral lebih tinggi dibanding pertumbuhan uang
kartal. Kondisi ini berbanding terbalik dengan Indonesia. Slogan Ayo ke Bank yang
dikobarkan oleh Bank Sentral adalah bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang
bank minded, disamping untuk memperkenalkan produk-produk bank, juga
mendorong masyarakat menggunakan alat pembayaran yang bankertable.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :
a. Apakah kasus yang diangkat dalam hal pelanggaran surat berharga pada umumnya
dan surat cek pada khusunya ?
b. Bagaimana analisis posisi kasus tersebut sesuai dengan subjek, objek, dan
pelanggaran?
c. Bagaimana analisis tindak penyelesaian sengketa kasus tersebut menggunakan
undang-undang?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah :
a. Untuk mengetahui kasus yang diangkat dalam hal pelanggaran surat berharga
pada umumnya dan surat cek pada khusunya.
b. Untuk mengetahui analisis tindak pidana kasus tersebut sesuai dengan subjek,
objek, dan pelanggaran
c. Untuk mengetahui analisis tindak penyelesaian sengketa kasus tersebut
menggunakan undang-undang

BAB II
PEMBAHASAN

A. Contoh Kasus

B. Analisis Posisi Kasus


a. Subjek

Dalam hal ini dapat kita ketahui bahwa analisis subjek pada kasus ini yaitu
antara Subianto Pramono sebagai Wakil Direktur PT Mekar Minang Sakti (MPS)
dengan toko Sinar Bintan bahwa di dalam kontrak jual-beli tersebut, Subianto
Pramono berkewajiban membayar Rp 250.000.000,00 atas pembelian sejumlah
bahan material bangunan di toko Sinar Bintan. Sebagian dari jumlah bahan
material tersebut telah dibayarkan terdakwa (Subianto Pramono) kepada korban
(toko Sinar Bintan) dalam bentuk uang kontan, sedangkan sebagian lagi
dibayarkan dalam bentuk cek kontan sebanyak 3 lembar cek di masing-masing
bank berbeda. Namun dalam kasus tersebut, toko Sinar Bintan tidak mendapatkan
haknya yaitu uang pembayaran senilai Rp 130.000.000,00 sesuai dengan
perjanjian jual-beli yang telah mereka sepakati.
b. Objek
Dalam hal ini dapat kita ketahui bahwa yang menjadi objek pada kasus ini
yaitu adanya pemakaian cek kosong sebagai alat pembayaran atas perjanjian jualbeli senilai Rp 130.000.000,00 oleh Subianto Pramono. Ketiga lembar cek terdiri
dari 1 lembar cek kontan di Bank Riau Tanjungpinang dengan Nomor cek ER
153632 tertanggal 15 Februari 2010, 1 lembar cek kontan melalui Bank Rakyat
Indonesia (BRI) cabang Tanjungpinang dengan Nomor cek CEQ 919158
tertanggal 1 April 2010, dan 1 lembar Surat Keterangan Penolakan (SKP) dari
Bank BCA cabang Tanjungpinang dengan nomor sandi 0142065.
c. Pelanggaran
Dalam hal ini dapat kita ketahui bahwa terjadi pelanggaran atas dasar
wanprestasi terkait pihak Subianto Pramono tidak memenuhi kewajiban yang
telah ditetapkan berdasarkan perjanjian jual-beli yang telah disepakati.
C. Analisis Tindak Penyelesaian Sengketa Kasus
Dimana jika kita kaitkan dengan kasus yaitu perjanjian kontrak jual-beli
sejumlah bahan material bangunan antara Subianto Pramono dengan toko Sinar
Bintan senilai Rp 250.000.000,00. Di dalam kontrak jual-beli tersebut, Subianto
Pramono berkewajiban membayar Rp 250.000.000,00 atas pembelian sejumlah bahan
material bangunan terhadap toko Sinar Bintan. Adapun di dalam pasal 1320 KUH
Perdata telah mengatur syarat sahnya suatu kontrak, yang menyebutkan bahwa untuk
sahnya suatu perjanjian harus memenuhi empat unsur yaitu :3
1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu; dan
4. Kausa yang legal.

Syarat pertama dan kedua adalah mengenai subjeknya atau pihak-pihak dalam
perjanjian sehingga disebut syarat subjektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat
disebut syarat objektif karena mengenai objek perjanjian. Jika syarat objektif tidak
terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum, dengan pengertian bahwa perjanjian
tidak pernah terjadi serta tidak memiliki dasar untuk saling menuntut di depan hakim.
Sedangkan jika syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjiannya bukan batal demi
hukum, melainkan salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian
itu dibatalkan.
Bila sepakat sudah tercapai, maka perjanjian jual-beli tersebut telah sah dan
mengikat serta berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yaitu Subianto Pramono
dan toko Sinar Bintan. Kata sepakat ini juga menciptakan hak dan kewajiban bagi
penjual dan pembeli. Penjual dalam hal ini toko Sinar Bintan berkewajiban untuk
menyerahkan hak milik atas benda yang dijualbelikan yaitu bahan material bangunan,
menjamin kenikmatan tenteram atas benda tersebut dan menanggung cacat benda
yang tersembunyi. Pembeli berhak untuk menerima barang atau benda yang
diperjualbelikan dari penjual dan berkewajiban untuk membayar harga sesuai dengan
yang telah diperjanjikan. Jadi jika penjual sudah melaksanakan kewajibannya akan
penjual juga berhak menerima harga barang berupa sejumlah uang pada waktu dan
tempat sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian. Perjanjian jual beli adalah suatu
perjanjian yang dibentuk karena pihak yang satu telah mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan hak kebendaan dan pihak yrang lain bersedia untuk membayar harga
yang diperjanjikan (Pasal 1457 KUHPerdata).
Namun jika dikaitkan dengan kasus yang diangkat, walaupun telah terjadi
kesepakatan perjanjian jual-beli. Akan tetapi belum terjadi keadilan antara penjual
dengan pembeli. Jika mengetengahkan pandangan Aristoteles dan Adam Smith dalam
teori keadilan komutatif.4 Keadilan ini mengatur hubungan yang adil antara orang
yang satu dan yang lain atau antara warga negara yang satu dan warga negara lainnya.
Dengan kata lain, konsep keadilan ini menuntut agar dalam interaksi sosial antara
warga yang satu dan warga yang lain, tidak boleh ada pihak yang dirugikan hak dan
kepentingannya. Ini berarti prinsip keadilan komutatif menuntut agar semua orang
memberikan, menghargai, dan menjamin apa yang menjadi hak orang lain. Kita
diharapkan untuk selalu menghargai hak dan kepentingan orang lain sebagaimana kita
sendiri ingin agar hak dan kepentingan kita dihargai oleh orang lain. Maka, dasar

moralnya bahwa semua orang mempunyai harkat dan martabat, dan karena itu juga
hak, yang sama yang harus dijamin dan dihargai oleh semua orang lain. Karena itu,
kalau dalam interaksi sosial apa pun terjadi bahwa pihak tertentu dirugikan hak dan
kepentingannya, maka negara dituntut untuk turun tangan menindak pihak yang
merugikan dan dengan demikian memulihkan kembali kesetaraan kedua pihak yang
terganggu oleh adanya pelanggaran.
Diterapkan dalam bisnis, itu berarti relasi dagang atau bisnis harus terjalin
dalam hubungan yang setara antara pihak yang satu dengan pihak yang lain. Jikalau
dalam relasi dan kegiatan bisnis terdapat pihak yang dirugikan hak dan
kepentingannya, maka negara dituntut untuk turun tangan memulihkan ketidakadilan
itu dengan mengenakan sanksi atau hukuman yang setimpal dengan kerugian yang
diderita korban. Dengan sanksi dan hukuman yang setimpal, hubungan yang tidak
simetris dikembalikan menjadi simetris. Dalam bisnis, keadaan, relasi, dan transaksi
yang dianggap adil adalah yang pada akhirnya melahirkan win-win situation.
Dalam hal ini dengan dasarnya bahwa belum terpenuhinya prestasi dari pihak
pembeli yaitu Subianto Pramono untuk melakukan pembayaran kepada pihak penjual
(toko Sinar Bintan). Menurut Pasal 1234 KUH Perdata yang dimaksud dengan
prestasi adalah seseorang yang menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu, dan tidak
melakukan sesuatu, sebaliknya dianggap wanprestasi bila sesorang:5
1.
2.
3.
4.

Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;


Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat; dan
Melakukan sesuatu yang menurut kontrak tidak boleh dilakukannya.
Gugatan atau sanksi bagi pelaku wanprestasi dapat berupa menuntut ganti rugi

(Pasal 1243 KUH Perdata) yang terdiri dari 3 unsur yaitu:


1. Biaya, yaitu semua pengeluaran/ongkos yang secara nyata telah dikeluarkan
oleh toko Sinar Bintan;
2. Ganti Rugi, yaitu kerugian karena kerusakan barang milik kreditur yang
diakibatkan kelalaian debitur;
3. Bunga, kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang telah direncanakan
oleh toko Sinar Bintan. Hal ini dapat juga dimintakan pembatalan perjanjian
melalui pengadilan (Pasal 1266 KUH Perdata), atau dapat membayar biaya
perkara bila diperkarakan di pengadilan.

Secara garis besar, kasus yang diangkat dapat diartikan sebagai Utang Rp
130.0000.000,00 dibayar cek kosong. Surat cek kosong atau cek kosong adalah surat
cek yang ditarik oleh pemegang rekening suatu bank dan ketika diajukan kepada bank
pembayar dananya tidak ada atau tidak mencukupi. Umumnya pejabat atau petugas
bank (teller) bank akan memberitahukan kepada pemegang surat cek bahwa surat cek
tidak dapat dibayar, diminta menghubungi penarik. Jika penarik masuk dalam kategori
nasabah prima (prime customer), pejabat bank berusaha menghubungi penarik surat
cek dan memberitahukan kondisi surat cek yang dibukunya. 5 Penyebab terjadi surat
cek kosong adalah sebagai berikut.
1. Emmy Pangaribuan Simanjuntak menyebutkan, salah satu penyebab terjadinya
cek kosong adalah Pasal 180 alinea kedua KUHD, yang mana memungkinkan
pemegang

rekening

untuk

tidak

menyediakan

dana

pada

saat

penarikan/penerbitan surat cek. Klausul tersebut tidak memberikan manfaat


bagi masyarakat, karena surat cek merupakan warkat perintah pembayaran
tunai, sehingga hal tersebut dapat menimbulkan surat cek kosong.6
2. Imam Prayoga Suryohadibroto Cs. ,ketentuan rahasia bank termasuk penyebab
terjadinya surat cek kosong. Hal mana terutama, karena pemegang surat cek
tidak akan dapat meminta keterangan kepada bank, apakah surat cek yang
diterimanya, mempunyai dana yang cukup pada bank pembayar.7
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1964 tentang larangan penarikan surat cek
kosong, mengklasifikasikan penarikan surat cek kosong masuk dalam ranah tindak
pidana kejahatan dengan ancaman hukuman pidana mati, seumur hidup atau pidana
penjara selama-lamanya 20 tahun dan denda sebanyak-banyaknya empat kali yang
ditulis dalam surat cek kosong yang bersangkutan. Undang-Undang ini dicabut
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1971 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1971. Alasan pencabutan
undang-undang ini karena menghambat kelancaran lalu lintas perekonomian pada
umunya dan dunia perbankan pada khususnya. Sejak diterapkan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia kewenangan pengaturan mengenai
masalah surat cek kosong tetap berada pada Bank Indonesia. Pengaturan tersebut
dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia dengan aturan pelaksanaan Surat Edaran
Ekstern. Bank Indonesia menetapkan sanksi yang bersifar administratif terhadap
penarik surat cek kosong. Jika dilakukan dalam rentang waktu yang ditetapkan,

rekening penarik surat cek kosong akan ditutup di semua bank dalam wilayah kliring
kantor Bank Indonesia, serta tidak dapat menggunakan surat cek. Apabila terdapat
saldo pada rekening yang ditutup tersebut maka penarikan dilakukan dengan
menggunakan kwitansi. Ketentuan mengenai Tata Usaha penarikan cek kosong diatur
dalam:
1. SEBI No. 2 / 10. DASP Perihal Tata Usaha penarikan Cek/ Bilyet giro kosong
2. SEBI No. 4/ 17/ DASP Perihal Perubahan Surat Edaran No. 2 / 10. DASP
Perihal Tata Usaha penarikan Cek/ Bilyet giro kosong
3. SEBI No. 8/ 17/ DASP Perihal Perubahan Kedua Surat Edaran No. 2 / 10.
DASP Perihal Tata Usaha penarikan Cek/ Bilyet giro kosong
4. SEBI No. 8/ 33/ DASP Perihal Perubahan Ketiga Surat Edaran No. 2 / 10.
DASP Perihal Tata Usaha penarikan Cek/ Bilyet giro kosong
Selain menggugat di bidang perdata, toko Sinar Bintan dapat juga menggugat
Subianto Pramono di dalam bidang pidana yaitu terkait masalah penipuan.
Berdasarkan putusan MA No.133.K/Kr/1973 yang menyatakan bahwa seseorang
yang menarik cheque yang diketahui/disadarinya bahwa cheque itu, tidak ada dananya
di bank merupakan kejahatan penipuan.9 Pasal 378 merumuskan sebagai berikut
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang
lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu,
dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang
lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang
maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara
paling lama 4 tahun.
Secara keseluruhan penyelesaian sengketa terhadap kasus penarikan surat cek
kosong dapat ditempuh dengan beberapa upaya hukum sebagai berikut.10
a. Mediasi
Pada dasarnya mediasi, merupakan penyelesaian sengketa secara nonlitigasi,
yang mana diharapkan sebagai upaya hukum yang paling baik, dalam hal
penyelesaian permasalahan hukum yang ditimbulkan oleh penarikan surat cek
kosong. Proses mediasi dapat ditempuh dengan cara:
1) Sebelum kasus penarikan surat cek dibawa ke ranah hukum secara
litigasi, proses mediasi dilakukan dengan cara menghadirkan seseorang
atau beberapa orang mediator yang mempunyai pengetahuan, baik
yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan maupun
pola penyelesaiannya. Hasil mediasi, para pihak dapat menerima

kesepakatan yang ditawarkan mediator, atau menolak. Jika terjadi


kesepakatan, hasilnya bersifat final biding, artinya tidak ada proses
lebih lanjut seperti banding atau kasasi;
2) Mediasi diwajibkan oleh ketentuan yakni Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 2008 jika sengketa penarikan surat cek kosong
diajukan melalui gugatan perdata. Sesuai Surat Edaran Mahkamah
Agung tersebut, mediasi dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri, dengan
menunjuk seorang atau beberapa hakim yang bertindak menjadi
mediator. Finalisasinya, para pihak yang dapat menerima kesepakatan
yang ditawarkan hakim mediator, atau menolak. Jika menolak maka
proses litigasi yaitu gugatan yang diajukan penggugat diteruskan dalam
proses persidangan perdata.
b. Perdata
Proses perdata adalah membawa penyelesaian perkara penarikan surat cek
kosong secara litigasi yakni mengajukan gugatan melalui Pengadilan Negeri.
Dalam perkara ini pihak yang dirugikan yakni pemegang surat cek yang tidak
menerima pembayaran melakukan gugatan. Substansi gugatan dapat terdiri,
(i) nominal yang ditagih, (ii) bunga yang dihitung sejak tanggal penerbitan
surat cek sampai masa tunggakan, dan (iii) biaya-biaya yang ditimbulkan
dalam penyelesaian perkara. Penyelesaian perkara didasarkan pada putusan
Majelis Hakim. Pihak yang tidak menerima putusan, dapat melakukan upaya
hukum banding dan seterusnya seperti kasasi atau peninjauan kembali.
c. Pidana
Substansi yang mendasari suatu kasus penarikan surat cek kosong menjadi
perkara pidana, adalah adanya indikasi atau unsur penipuan yang dilakukan
oleh penerbit atau penarik surat cek. Unsur-unsur melawan hukum tersebut
yang menjadikan dasar bagi pemegang surat cek kosong melaporkan penerbit
atau penarik surat cek kepada pihak kepolisian. Umumnya, pihak pemegang
surat cek kosong juga melakukan gugatan perdata kepada Pengadilan Negeri
dalam melakukan penagihan.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari hasil analisis kasus yang diangkat dapat disimpulkan bahwa bentuk
perlindungan hukum bagi pemegang surat cek dalam hal penerbitan surat cek kosong

terdapat kekosongan hukum dalam Undang-Undang demikian pula dengan perjanjian


yang dibuat antara para pihak dalam penerbitan surat cek kosong tidak memberikan
kejelasan perlindungan terhadap pemegang surat cek kosong.
Bahwa penggunaan cek sebagai alat pembayaran di Indonesia masih sering
menimbulkan masalah terutama mengenai cek kosong. Cek kosong menimbulkan
kerugian bagi orang-orang yang menerimanya saat transaksi berlangsung.
Penyelesaian masalah yang timbul dalam praktek penggunaan cek kosong sebagai alat
pembayaran di Indonesia juga sangat rumit karena pemegang cek dibebani prosedur
yang panjang untuk mengklaim haknya, sampai akhirnya harus diselesaikan dengan
kembali kepada perjanjian pokok para pihak.
B. Saran
1) Bagi Perbankan Indonesia diharapkan dapat memberikan perjanjian terhadap
penerbit juga pemegang, karena dengan itu memberikan rasa percaya terhadap
masyarakat akan fasilitas atau produk bank terhadap setiap nasabahnya.
2) Bagi Masyarakat agar dapat menambah wawasan yang akan dijadikan
masukan atau informasi mengenai surat-surat berharga khususnya surat cek,
dengan adanya aturan yang jelas, masyarakat dapat memakai surat cek dengan
rasa aman.

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU
Kansil, C.S.T. dan Kansil, Christine S.T. 2010. Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang
Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Keraf, A. Sonny. 1998. Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya. Yogyakarta: Kanisius.

Lontoh, Rudhy A. ; Kailimang, Denny ; dan Ponto, Benny. 2001. Penyelesaian UtangPiutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bandung:
Alumni Anggota IKAPI.
Muhammad, Abdulkadir. 2007. Hukum Dagang tentang Surat-Surat Berharga. Bandung: PT
Citra Aditya Bakti.
Rahman, Sufirman dan Rinaldy, Eddie. 2013. Hukum Surat Berharga Pasar Uang. Jakarta:
Sinar Grafika.
Saliman, Abdul R. 2011. Hukum Bisnis untuk Perusahaan. Jakarta: Kencana.
Simanjuntak, Emmy Pengaribuan. 1981. Hukum Dagang Surat-Surat Berharga. Yogyakarta:
Seksi Hukum Dagang, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
Suryohadibroto, Imam Prayogo dan Prakoso, Djoko. 1995. Surat Berharga Alat Pembayaran
dalam Masyarakat Modern. Jakarta: Rineka Cipta.
Zulham. 2013. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
B. INTERNET
Kasus Cek Kosong, Kontraktor Dompak Divonis 3 Bulan.
http://www.haluankepri.com/tanjungpinang/3388-kasus-cek-kosong-kontraktor-dompakdivonis-3-bulan-.html

DAFTAR CATATAN KAKI


1

Sufirman Rahman dan Eddie Rinaldy, Hukum Surat Berharga Pasar Uang, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2013), h.2.

Abdulkadir Muhammad, Hukum Dagang tentang Surat-Surat Berharga, (Bandung: PT Citra


Aditya Bakti, 2007), h.5.

Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013),
h.71.

A. Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta: Kanisius, 1998),
h.140.

Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan, (Jakarta: Kencana, 2011), h.47-48.

Sufirman Rahman dan Eddie Rinaldy, Hukum Surat Berharga Pasar Uang, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2013), h.90.

Ekky Pengaribuan Simanjuntak, Hukum Dagang Surat-Surat Berharga, (Yogyakarta: Seksi


Hukum Dagang, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1981), h.151.

Imam Prayoga Suryohadibroto dan Djoko Prakoso, Surat Berharga Alat Pembayaran dalam
Masyarakat Modern, (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), h.219.

Sufirman Rahman dan Eddie Rinaldy, Hukum Surat Berharga Pasar Uang, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2013), h.93.

10

Sufirman Rahman dan Eddie Rinaldy, Hukum Surat Berharga Pasar Uang, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2013), h.94-95.

Anda mungkin juga menyukai