Pembimbing:
Paul Matulessy, dr.,MN
Yunita B. Sitompul, dr.,Sp.OK.,MKK
Louisa Langi, dr.,MS.,MA
Disusun oleh:
Joy Jesica Mendy L.
(0961050161)
Filologus Siwabessy
(1161050102)
Yulian Huningkor
(1161050068)
Giri Endaristi T.
(1161050117)
Ni Made Putri L.
(1161050079)
Gerry Sanjaya
(1161050169)
Cahaya Santi S.
(1161050082)
Apen Hoddor S.
(1161050180)
Firman Wirasto S.
(1161050088)
(1261050139)
1.1
Latar Belakang
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah salah satu masalah kesehatan
yang terjadi baik di negara berkembang maupun negara maju. Infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA) dapat terjadi pada segala usia terutama terjadi pada anakanak. ISPA merupakan radang akut saluran pernafasan atas maupun bawah yang
disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, virus, maupun riketsia, tanpa atau
disertai radang parenkim paru. 1
ISPA memiliki dampak yang luar biasa pada kesehatan masyarakat. ISPA
merupakan penyakit infeksi yang menempati urutan ketujuh penyebab kematian di
Indonesia pada tahun 2001 dengan prevalensi sebesar 4,9%. Penyakit ISPA
merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak. Episode penyakit batuk-pilek pada
balita di Indonesia diperkirakan 3 sampai 6 kali per tahun, ini berarti seorang balita
rata-rata mendapat serangan batuk-pilek sebanyak 3 sampai 6 kali setahun. Sebagai
kelompok penyakit, ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan berobat di
Puskesmas dan 15-30% kunjungan berobat di bagian rawat jalan dan rawat inap
rumah sakit.2
ISPA menyebabkan 40% dari kematian anak usia 1 bulan sampai 4 tahun. Hal
ini berarti dari seluruh jumlah anak umur 1 bulan sampai 4 tahun yang meninggal,
lebih dari sepertiganya meinggal disebabkan oleh ISPA. Sebagian besar hasil
penelitian di negara berkembang menunjukkan bahwa 20-35% kematian bayi dan
anak balita disebabkan oleh ISPA.1,2
Kejadian ISPA menyebabkan banyak komplikasi pada organ tubuh salah
satunya pada organ telinga yaitu otitis media akut (OMA). OMA adalah peradangan
3
pada telinga tengah yang bersifat akut. Telinga tengah adalah organ yang biasanya
dalam keadaan steril. Bila terdapat infeksi bakteri pada nasofaring dan faring, secara
alamiah terdapat mekanisme pencegahan penjalaran bakteri memasuki telinga tengah
oleh enzim pelindung dan bulu-bulu halus yang dimiliki oleh tuba eustachii. OMA
terjadi akibat tidak berfungsinya sistem pelindung tersebut. Sumbatan dan peradangan
pada tuba eustachii merupakan faktor utama terjadinya otitis media. Pada anak-anak,
otitis media akut semakin besar. Angka kejadian OMA pada penderita bayi
diakibatkan kerena letak tuba eustahciusnya pendek, lebar dan agak horizontal.3
Epidemiologi seluruh dunia menyatakan angka kejadian otitis media pada anak
berusia 1 tahun berkisar 62%, sedangkan anak-anak berusia 3 tahun sekitar 83%. Di
Amerika Serikat, diperkirakan 75% anak mengalami minimal satu episode otitis
media sebelum usia 3 tahun dan hampir setengah dari mereka mengalaminya tiga kali
atau lebih. Di Inggris setidaknya 25% anak mengalami minimal satu episode sebelum
usia 10 tahun. Insiden OMA tertinggi terjadi pada usia 2 tahun pertama kehidupan,
dan yang kedua pada waktu berusia 5 tahun bersamaan dengan anak masuk sekolah.3
Penyakit ini bahkan berkaitan dengan kematian anak khususnya akibat
komplikasi ke otak. Kejadian terbanyak ditemukan pada usia 6-18 bulan dan 4-5
tahun, laki-laki lebih sering terkena penyakit tersebut dibandingkan perempuan.
Pravalensi penderita OMA belum bisa ditekan dikarenakan belum adanya tindakan
dari pemerintah pusat ataupun daerah yang secara khusus mensosialisasikan tentang
permasalahan OMA ini adalah biasa padahal penyakit ini adalah salah satu pintu
masuk untuk menjadikan penyakit komplikasi lain yang cukup fatal, seperti: Otitis
media Supuratif kronis yang dapat meimbulkan komplikasi seperti meningitis,
ensefalitis, abses subperiosteal dan abses otak.3
4
Data epidemiologi Pada penelitian Zackzouk dkk di Arab Saudi tahun 2001
terhadap 112 pasien infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) (6-35 bulan), didapatkan
30% mengalami otitis media akut dan 8% sinusitis.1,3
Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) 2004, ISPA merupakan
penyebab utaman kematian pada balita di dunia dengan angka Proportional Mortality
Rate (PMR) akibat ISPA pada balita yaitu 17%. Laporan WHO tahun 2005 di
Myanmar PMR akibat ISPA pada balita menunjukan angka 19%.3
Merujuk dari permasalahan yang telah dipaparkan tentang angka insidensi dari
OMA dan ISPA yang sama-sama tinggi di Indonesia, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian untuk melihat hubungan ISPA dengan angka kejadian otitis
media akut di Puskesmas Kecamatan Makasar.
5
b. Tujuan Khusus:
1. Memperoleh data distribusi frekuensi pasien OMA di Puskesmas
Kecamatan Makasar berdasarkan riwayat ISPA.
2. Memperoleh data distribusi frekuensi pasien OMA di Puskesmas
Kecamatan Makasar berdasarkan riwayat ISPA dihubungkan dengan jenis
kelamin.
3. Memperoleh data distribusi frekuensi pasien OMA di Puskesmas
Kecamatan Makasar berdasarkan riwayat ISPA dihubungkan dengan usia.
6
Dapat digunakan sebagai masukan dan data awal untuk dillakukannya
penelitian terkait ISPA dengan angka kejadian OMA sehingga mampu
dikembangkan dengan penelitian yang bersifat analisis mengenai faktorfaktor resiko yang berhungan dengan terjadinya OMA akibat ISPA.
BAB III
METODE PENELITIAN
7
dengan demikian mula-mula dikumpulkan kasus dan kontrol (variabel
dependen) kemudian dilihat ke belakang (retrospektif) variabel independen. Hal
ini dilakukan untuk mencari hubungan antara suatu variabel dengan variabel
yang lain.
3.2 Ruang lingkup Penelitian
a. Lingkup Tempat Penelitian : Kesehatan ibu dan anak, balai pengobatan di
Puskesmas Kecamatan Makasar
b. Lingkup Waktu Penelitian : 19 Mei- 09 Juni2016.
3.3 Definisi Operasional
Skala
No
Variabel
Definisi Operasional
Cara Ukur
Hasil Ukur
Ukur
Independent
1. Umur
penderita
ISPA
dan
tahun.
Penderita usia > 15 tahun
dokumentasi
6 bulan -15
tahun skor =
1
- Penderita
usia > 15
tahun skor
2. Jenis
kelamin
Wawancara
=0
- Laki laki
- perempuan
Nominal
dan
dokumentasi
8
2
Dependent
OMA
1,63
= 38,6503 34
Dengan besar populasi penderita OMA yang berjumlah 63 orang dan
n=
Faktor penyakit:
- keparahan
- onset
OMA
ISPA
Faktor pasien:
- Jenis obat
- Dosis
Faktor lainnya:
- Kepatuhan
minum obat
- kebersihan
Faktor umur
ISPA
OMA
9
10
Faktor jenis
3.10
Pengolahan Data
Data yang terkumpul dari setiap responden penelitian akan diolah dengan
menggunakan Program Program Package for Social Science (SPSS) 17.
Adapun tahapan yang ditempuh dalam pengolahan data meliputi:
a. Coding yaitu pemberian kode pada data yang diperoleh untuk memudahkan
pengolahan data.
b. Editing yaitu memeriksa kembali data untuk menghindari kesalahan data,
serta menjamin data sudah lengkap dan benar.
c. Tabulating yaitu memasukkan data yang diperoleh ke dalam tabel.
d. Cleaning yaitu mengevaluasi kembali data sehingga tidak ada kesalahan
dalam pengolahan data.
3.11
Analisis Data
Dalam menganalisa data, peneliti menggunakan analisis univariat untuk
menjelaskan tiap variabel, hasilnya akan ditampilkan dalam bentuk tabel data
narasi. Selanjutnya peneliti melakukan analisis bivariat yang dilakukan
terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi yaitu korelasi
antara variabel independen dengan variabel dependen. Teknik analisis yang
digunakan adalah analisis statistik parametrik dengan uji Chi-Square dengan
derajat kemaknaan 0,05 ( = 0,05) untuk membuktikan hipotesis nol.
Hipotesis nol ditolak apabila X2 hitung < X2 tabel namun sebaliknya hipotesis
nol diterima apabila X2 hitung > X2 tabel.
(OE)2
E
Adapun rumusnya adalah :
X =
2
Keterangan: X2 = Chi-Square
O = Nilai pengamatan
E = Nilai yang diharapkan
10
11
11