Anda di halaman 1dari 47

PRESENTASI KASUS

TUBERCULOSIS PARU KASUS BARU


DENGAN DIABETES MELLITUS

Oleh :
RAYSILVA CHUNEVA ALROS
1102012230
Pembimbing :
dr. Rizky Drajat, Sp.P

TUGAS KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD CILEGON
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE NOVEMBER 2016 FEBRUARI 2017

Alhamdulillah puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Karena atas rahmat dan ridho-Nya, penulis
dapat menyelesaikan presentasi kasus penyakit dalam ini dengan judul TB PARU KASUS
BARU DENGAN DIABETES MELLITUS sebagai salah satu persyaratan mengikuti ujian
kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Cilegon. Berbagai kendala yang
telah dihadapi penulis hingga presentasi kasus ini selesai tidak terlepas dari bantuan dan
dukungan dari banyak pihak. Atas bantuan yang telah diberikan, baik moril maupun materil,
maka selanjutnya penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang
tulus kepada :
1. dr. H. Rizky Drajat, Sp.P selaku konsulen yang telah memberikan bimbingan, ilmu,
saran dan kritik kepada penulis dalam penyelesaian presentasi kasus ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan presentasi kasus ini, kesalahan
dan kekurangan tidak dapat dihindari. Untuk itu penulis memohon maaf atas segala
kekurangan yang dibuat. Semoga presentasi kasus ini dapat bermanfaat, khususnya bagi
penulis dan pembaca dalam memberikan sumbang pikir dan perkembangan ilmu pengetahuan
di dunia kedokteran. Kritik dan saran sangat penulis harapkan demi memperoleh hasil yang
lebih baik.
Akhir kata, dengan mengucapkan Alhamdulillah, semoga Allah SWT selalu merahmati
kita semua.

Cilegon, Desember 2016

Penulis

DAFTAR ISI
1

Kata Pengantar........................................................................................................ 1
Daftar isi .................................................................................................................. 2
BAB I Presentasi kasus
Laporan kasus ........................................................................................................ 3
Analisa kasus........................................................................................................... 12
BAB II Tinjauan Pustaka
2.1 Tuberculosis Paru. 14
2.2 Tuberculosis paru pada DM 37
Daftar Pustaka......................................................................................................... 42

BAB I
2

PRESENTASI KASUS

Identitas Pasien
Nama

: Ny. S

Usia

: 60 tahun

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

Agama

: Islam

Alamat

: Kebon Dalem

Jenis kelamin

: Perempuan

Ruangan

: Alamanda RSUD Cilegon

No. CM

: 985XXX

Tanggal Masuk

: 18 Desember 2016

Pembiayaan

: Umum

Anamnesa
Keluhan Utama :
Pasien mengatakan batuk disertai darah yang banyak.
Keluhan Tambahan :
Pasien mengeluh pusing berputar, demam, badan lemas
Riwayat Penyakit Sekarang :
Ny. S datang ke IGD RSUD Cilegon pada tanggal 17 Desember 2016 dengan keluhan
batuk disertai darah. Selain itu pasien juga mengeluh pusing berputar, badan lemas, dan
demam. Pasien mengatakan keluhan dirasakan satu hari sebelum masuk rumah sakit.
Awalnya pasien sudah mengalami batuk selama lebih dari satu bulan tetapi tidak
memeriksakan kondisinya. Demam juga dirasakan naik turun. Pasien hanya meminum
obat batuk yang dibelinya di warung. Namun, kondisinya hanya membaik sesaat hingga
satu hari sebelum masuk rumah sakit pasien batuk disertai darah yang banyak berwarna
merah segar cair. Riwayat berkeringat saat malam hari disangkal oleh pasien, namun
penurunan berat badan sangat dirasakan pasien.
3

Riwayat Penyakit Dahulu:


Pasien memiliki riwayat Hipertensi dan diabetes mellitus tidak terkontrol
Riwayat Penyakit Keluarga:
Riwayat sakit paru oleh suami 2 tahun lalu dan pernah melakukan pengobatan paru 6
bulan
III. Pemeriksaan Fisik
a.

Tanda Vital:
Keadaan umum

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Compos mentis

GCS

: E4 M6 V5

Tekanan Darah

: 120/80 mmHg

Nadi

: 88 kali/menit

Respirasi

: 22x kali/menit

Suhu

: 36,8 0C

STATUS GENERALIS:
1. Kepala :
Normocephale, rambut hitam, tidak lebat, dan tidak rontok.
2. Mata :
Bentuk normal, Conjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), refleks
cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tidak langsung (+/+)
3. Hidung :
Bentuk normal, deviasi septum (-), epistaksis (-/-), secret (-/-)
4. Telinga :
Membran timpani intak (+), serumen (-/-), secret (-/-)
5. Mulut :
4

Mukosa mulut basah dan lidah dalam batas normal, tidak sianosis,
sariawan (-), candidiasis (-)

6. Leher :
Tidak tampak pulsasi vena pada leher, tidak teraba adanya massa atau
pembesaran KGB, trakea berada ditengah
7. Dada :
a. Jantung
Inspeksi : Iktus cordis terlihat samar
Palpasi : Iktus cordis teraba pada sela iga ke-5 sinistra
Perkusi : tidak dilakukan karena pasien hemoptosis

Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)


b. Paru
Inspeksi : Hemitoraks kanan kiri simetris dalam keadaan statis
dan dinamis
Palpasi : Fremitus taktil dan fremitus vokal simetris kanan dan
kiri, tidak teraba massa
Perkusi : Tidak dilakukan karena pasien hemoptosis
Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/8. Abdomen
Inspeksi

: Tampak simetris, membuncit, tidak terdapat sikatrik,


tidak terlihat massa, terlihat adanya pelebaran vena,
tidak ada kelainan kulit
5

Auskultasi

: Bising usus (+) normal, bising aorta abdominalis tidak

terdengar.
Perkusi

: Terdengar suara dominan timpani pada keempat


kuadran abdomen

Palpasi

Turgor

normal,

soefl,

tidak

terdapat

hepatomegali/splenomegali, tidak terdapat nyeri tekan.


9. Ekstremitas
Superior

: Akral hangat, CRT < 2 detik, edema -/-

Inferior

: Akral hangat, CRT < 2 detik, edema -/-

IV. Pemeriksaan Penunjang


Jenis

18/12/2016

19/12/2016

20/12/2016

Haemoglobin

13,3

Hematokrit

38,4

Leukosit

12.900

Trombosit

271.000

SGOT

13

SGPT

13

Ureum

24

Kreatinin

0,50

GDS

238

Natrium

132,7

139,2

Kalium

3,35

3,46

452

Chlorida

95,0

MCV

80,2

MCH

27,8

MCHC

34,6

EKG

103,1

Interpretasi EKG

Irama

: Sinus

Heart Rate

: 83x

Axis

: Normoaxis

Kelainan Lain : -

Kesimpulan : Dalam batas normal

Foto Rontgen Thoraks

Jantung

: Tidak membesar, CTR <50%, aorta baik

Paru

: Hillus tidak menebal, tampak infiltrat pada parahillus dan paru kanan tengah,

terdapat perselubungan homogen pada paru kiri bawah


Diafragma : Tidak mendatar, sudut kostophrenicus lancip
Kesan

: TB paru + efusi pleura kiri

V. Diagnosis
8

Diagnosis Kerja :-

TB paru kasus baru


DM type II

VI. Diagnosis Banding


Pneumonia, keganasan paru, bronkiektasis
VII. Pemeriksaan yang Dianjurkan
Cek sputum BTA
VIII. Terapi yang diberikan
IGD
- IVFD RL 500 cc

ALAMANDA
- IVFD RL 16 tpm

- Inj. Cefotaxime 2 x 1 gr

- Inj. Cefotaxime 2 x 1 gr

- Inj. Methylprednisolon 2 x 62,5 mg

- Inj. Methylprednisolon 2 x 62,5 mg

- salbutamol 3 x 2 mg

- Inj. Asam tranexamat 3 x 500 mg

- Cetirizine 2 x 1 tab

- Inj. Vit K 3 x 1

- Ambroxol 3 x 1 tab

-Lantus 12 iu

- Nebu combivent tiap 8 jam

- Novorapid

- Oksigen 3 liter/menit

- Mecobalamin 1 x 1 tab

- Co. Sp.P

- KSR 1 x 1 tab
- R/H/Z/E 450/300/1000/1000
- Asam mefenamat 3 x 500 mg
- Salbutamol 3 x 2 mg
- Cetirizine 2 x 1 tab
- Ambroxol 3 x 1 tab
- Codein 3 x 10 mg
- Betahistin 3 x 1 tab
- Flunarizin 2 x 1 tab
- Nebu Combivent

IX. Prognosis

Quo ad vitam

: dubia ad bonam

Quo ad functionam

: dubia ad bonam

Quo ad sanactionam : dubia ad malam

10

Follow Up
19 Desember 2016
S:

O:

Pasien
mengeluh
mual, lemas,
dan pusing.

o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o

KU: TSS
KS: CM
TD: 100/70
RR: 22
N: 92
S: 36,5oC
Kepala
: normocephal
Mata
: CA -/- Si -/THT
: dbn
Wajah
: dbn
Leher
: dbn
Dada
: simetris, retraksi (-)
Cor
: BJ I-II reg, m(-) g(-)
Pulmo
: ves +/+, wh(-) rh +/+
Abd.
: supel, NT(-), BU(+) N
Ext.
: akral hangat +/+ , edema -/-

A:

P:

Obs dypneu ec
TB paru, efusi
pleura dextra.

Cefotaxime 2x1
MP 2x62,5mg
As. Tranex 3x500
Vit. K 3x1
Salbutamol 3x2
Cetirizine 2x1
Ambroxol 3x1
Flunarizine 2x1
Betahistine 3x1
IVFD RL 16 tpm

20 Desember 2016
S:

O:

Pasien
mengeluh
masih lemas
dan pusing.

o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o

KU: TSS
KS: CM
TD: 110/80
RR: 21x
N: 82x
S: 36,1oC
Kepala
: normocephal
Mata
: CA -/- Si -/THT
: dbn
Wajah
: dbn
Leher
: dbn
Dada
: simetris, retraksi (-)
Cor
: BJ I-II reg, m(-) g(-)
Pulmo
: ves +/+, wh(-) rh(-)
Abd.
: supel, NT(-), BU(+) N
Ext.
: akral hangat +/+ +/+ edema
/- , -/11

A:

Cefotaxime 2x1

TB paru kasus
baru, efusi
pleura kiri, DM
type II, vertigo

MP 2x62,5mg
As. Tranex 3x500
Vit. K 3x1
Lantus 12 iu
Novorapid
Salbutamol 3x2
Cetirizine 2x1
Ambroxol 3x1
Flunarizine 2x1
Betahistine 3x1

RHZE
450/300/1000/100
0
PCT 3x1
Codein 3x10mg
IVFD RL 16 tpm

21 Desember 2016
S:

O:

Pasien
mengeluh
masih lemas
dan pusing.

o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o

KU: TSS
KS: CM
TD: 110/70
RR: 21x
N: 78x
S: 36,6oC
Kepala
: normocephal
Mata
: CA -/- Si -/THT
: dbn
Wajah
: dbn
Leher
: dbn
Dada
: simetris, retraksi (-)
Cor
: BJ I-II reg, m(-) g(-)
Pulmo
: ves +/+, wh(-) rh(-)
Abd.
: supel, NT(-), BU(+) N
Ext.
: akral hangat +/+ +/+ edema
/- , -/-

A:

Cefotaxime 2x1

TB paru kasus
baru, efusi
pleura kiri, DM
type II, vertigo

MP 2x62,5mg
As. Tranex 3x500
Vit. K 3x1
Lantus 12 iu
Novorapid
Salbutamol 3x2
Cetirizine 2x1
Ambroxol 3x1
Flunarizine 2x1
Betahistine 3x1
KSR 1x1 tab
Mecobalamin 1x1
RHZE
450/300/1000/100
0
PCT 3x1
Codein 3x10mg
IVFD RL 16 tpm

12

ANALISA KASUS
Apakah penegakan diagnosis pada kasus ini sudah tepat ?
Sudah tepat. Karena berdasarkan anamnesa pasieen memiliki riwayat batuk lama, riwayat
batuk darah, penurunan berat badan dan memiliki riwayat keluarga satu

rumah pernah

menderita TB paru. Selain itu pada pemeriksaan lab didapatkan leukositosis dan pemeriksaan
radiologis ada infiltrat di daerah parahillus.
Bagaimana terjadinya infeksi TB pada kasus ini?

13

Infeksi terjadi setelah seseorang menghirup Myobacterium tuberculosis. Setelah


melalui barier mukosilier saluran napas, kuman TB akan mencapai alveoli. Kuman akan
mengalami multiplikasi di paru,yang disebut sebagai concentration Gohn. Melalui aliran
limfe,kuman TB akan mencapai kelenjar limfe hilus. Fokus Gohn dan limfadenopati hilus
membentuk kompleks primer TB. Melalui kompleks primer, kuman TB akan menyebar
melalui pembuluh darah ke seluruh tubuh. Respon tubuh terhadap infeksi kuman TB berupa
responimun seluler hipersensitifitas tipe lambat yang terjadi 4-6minggu setelah terinfeksi.
Banyaknya kuman TB serta kemampuan daya tahan horde menentukan perjalanan penyakit
selanjutnya. Pada sebagian besar kasus, respon imun tubuh dapat menghentikan multiplikasi
kuman,sebagian kecil kuman dorman. Pada penderita dengan daya tahan tubuh buruk, respon
imun tidak dapat menghentikan multiplikasi kuman sehingga horde akan sakit beberapa bulan
kemudian.
Bagaimana pengobatan TB pada kasus ini?
Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi
kuman terhadap OAT. Mikobakteri merupakan kuman tahan asam yang sifatnya berbeda
dengan kuman lain karena tumbuhnya sangat lambat dan cepat sekali timbul resistensi bila
terpajan dengan satu obat. Umumnya antibiotika bekerja lebih aktif terhadap kuman yang
cepat membelah dibandingkan dengan kuman yang lambat membelah. Jenis obat utama (lini
1) yang digunakan adalah: Isoniazid, Rifampisin, Streptomisin, Etambutol. Jenis obat
tambahan lainnya (lini 2): Kanamisin, Amikasin, Kuinolon.
14

Pada pasien diabetes mellitus, penggunaan Rifampisin dapat mengurangi efektifitas


obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat antidiabetes perlu ditingkatkan.
Insulin dapat digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah selesai pengobatan TB,
dilanjutkan dengan antidiabetes oral. Pada pasien Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasi
retinopathy diabetika, oleh karena itu hati-hati dengan pemberian etambutol, karena dapat
memperberat kelainan tersebut.
Apa komplikasi pada kasus ini?
Komplikasi yang terjadi pada penderita Tb paru, yaitu pleuritis, efusi pleura,
empiema, laryngitis, hemoptisis masif yang dapat mengakibatkan kematian karena sumbatan
jalan nafas atau syok hipovolemik, kolaps lobus, bronkietaksis dan fibrosis pada paru,
pnemotoraks spontan, penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, sendi, ginjal, dan
sebagainya.
Bagaimanakah prognosis pada pasien ini?
Quo at vitam

: dubia ad bonam

Quo at functionam

: dubia ad bonam

Quo at sanationam

: dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberculosis Paru


2.1.1 definisi
Tuberkulosis paru (Tb paru) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang
penyakit parenkim paru. Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis complex.
Tb paru ini bersifat menahun dan secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan
menimbulkan nekrosis jaringan. Tb paru dapat menular melalui udara, waktu seseorang
dengan Tb aktif pada paru batuk, bersin atau bicara.

2.1.2 Epidemiologi

15

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia


ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberculosis
sebagai Global Emergency. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta
kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan
Asam) positif. Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi tuberkulosis di dunia ini, dan
sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis. Jumlah terbesar kasus TB
terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari
jumlah penduduk, terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk.Di Afrika hampir 2 kali lebih
besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 penduduk. Diperkirakan terdapat 2 juta
kematian akibat tuberculosis pada tahun 2002. Jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat
di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000
penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk,
dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang
muncul.
Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001
didapatkan bahwa penyakit pada sistem pernapasan merupakan penyebab kematian kedua
setelah sistem sirkulasi. Pada SKRT 1992 disebutkan bahwa penyakit TB merupakan
penyebab kematian kedua, sementara SKRT 2001 menyebutkan bahwa tuberkulosis adalah
penyebab kematian pertama pada golongan penyakit infeksi. Sementara itu dari hasil laporan
yang masuk ke subdit TB P2MPL Departemen Kesehatan tahun ,2001 terdapat 50.443
penderita BTA positif yang diobati (23% dari jumlah perkiraan penderita BTA positif ). Tiga
perempat dari kasus TB ini berusia 15 49 tahun. Pada tahun 2004 WHO memperkirakan
setiap tahunnya muncul 115 orang penderita tuberkulosis paru menular (BTA positif) pada
setiap 100.000 penduduk. Saat ini Indonesia masih menduduki urutan ke 3 di dunia untuk
jumlah kasus TB setelah India dan China.
2.1.3 Etiologi
Tuberculosis merupakan penyakit infeksi bakteri menahun yang disebabkan oleh
Mycobakterium tuberculosis yang ditandai dengan pembentukan granuloma pada jaringan yang
terinfeksi. Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman aerob yang dapat hidup terutama di paru /
berbagai organ tubuh lainnya yang bertekanan parsial tinggi. Penyakit tuberculosis ini biasanya
menyerang paru tetapi dapat menyebar ke hampir seluruh bagian tubuh termasuk meninges, ginjal,
tulang, nodus limfe. Infeksi awal biasanya terjadi 2-10 minggu setelah pemajanan. Individu kemudian

16

dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan atau ketidakefektifan respon imun. Mycobacterium

tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak
berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 0,6 m dan panjang 1 4 m. Dinding
M.tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun
utama dinding sel M.tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes),
trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan
dalam virulensi. TB paru disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis yang merupakan
batang aerobic tahan asam yang tumbuh lambat dan sensitive terhadap panas dan sinar UV.
2.1.4 Klasifikasi
Ada beberapa klasifikasi Tb paru yaitu menurut Depkes (2006) yaitu:
a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
1. Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. Tidak
termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2. Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak,
selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran
kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada Tb Paru:
1. Tuberkulosis paru BTA positif
- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran
tuberkulosis.
- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman Tb positif.
- 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian
antibiotika non OAT.
2. Tuberkulosis paru BTA negatif
17

Kriteria diagnostik Tb paru BTA negatif harus meliputi:


- Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.
- Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
- Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
- Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
c. Klasifikasi berdasarkan tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya, yaitu:
1. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT
kurang dari satu bulan (4 minggu).
2. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan
telah dinyatakan sembuh tetapi kambuh lagi.
3. Kasus setelah putus berobat (default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
4. Kasus gagal (failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif
pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5. Kasus kronik
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif setelah selesai
pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik
6. Kasus bekas TB
Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakanjika ada fasilitas) negatif dan gambaran
radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif, terlebih gambaran radiologik serial
menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT yang adekuat akan lebih
mendukung
Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi TB aktif, namun setelah mendapat
pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata tidak ada perubahan gambaran radiologik
7. Kasus lain

18

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, dalam kelompok ini termasuk
kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai
pengobatan ulangan
2.1.5 Patogenesis dan Patofisiologis
PATOGENESIS
A. TUBERKULOSIS PRIMER
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan
paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek
primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan
sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju
hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening
di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional
dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib
sebagai berikut :
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik, sarang
perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara : Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu contoh
adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus
medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran
napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang
bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada
lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis. Penyebaran secara
bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau tertelan. Penyebaran
secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah
dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila
tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat
seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosa, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini
19

juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak
ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan :
- Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada anak
setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma ) atau
- Meninggal.
Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer.

B. TUBERKULOSIS PASCA-PRIMER
Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis post-primer,
biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer mempunyai nama yang bermacam
macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan
sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat,
karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang
dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior.
Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib sarang pneumonik ini
akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :
1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat
Sarang tadi mula mula meluas, tetapi segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri menjadi lebih keras,
terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk
2. Perkapuran.
Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk jaringan
keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar. Sarang pneumonik
meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan muncul dengan
dibatukkannya
3. Jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan
-

menjadi tebal (kaviti sklerotik). Nasib kaviti ini :


Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang
pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan diatas

20

Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut tuberkuloma.
Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif kembali,

mencair lagi dan menjadi kaviti lagi


Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity,
atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya mengecil. Kemungkinan
berakhir sebagai kaviti yang terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti
bintang (stellate shaped).

PATOFISIOLOGIS
Infeksi authority terjadi setelah seseorang menghirup Myobacterium tuberculosis. Setelah
melalui barrier mukosilier saluran napas, kuman TB akan mencapai alveoli. Kuman akan
mengalami multiplikasi di paru,yang disebut sebagai concentration Gohn. Melalui aliran
limfe, kuman TB akan mencapai kelenjar limfe hilus. Fokus Gohn dan limfadenopati hilus
membentuk kompleks primer TB. Melalui kompleks primer, kuman TB akan menyebar
melalui pembuluh darah ke seluruh tubuh. Respon tubuh terhadap infeksi kuman TB
berupa respon imun seluler hipersensitifitas tipe lambat yang terjadi 4-6minggu setelah
terinfeksi. Banyaknya kuman TB serta kemampuan daya tahan menentukan perjalanan
penyakit selanjutnya. Pada sebagian besar kasus, respon imun tubuh dapat menghentikan
multiplikasi kuman, sebagian kecil kuman dorman. Pada penderita dengan daya tahan
tubuh buruk, respon imun tidak dapat menghentikan multiplikasi kuman sehingga
penderita akan sakit beberapa bulan kemudian.
Berdasar penularannya maka tuberkulosis dapat dibagi dalam 3 bentuk, yaitu:
Tuberkulosis primer. Setelah 6-8 minggu akan mulai terbentuk mekanisme imunitas
dalam tubuh, sehingga exam tuberkulin akan positif. Pada pasien ini akan terbentuk
kompleks authority TB dan selanjutnya dapat menyebar secara hematogen ke apeks paru
yang kaya oksigen.
Reaktifasi dari tuberkulosis primer. Infeksi TB authority akan mengalami reaktifasi
terutama pada 2tahun post infeksi authority maka keadaan ini disebut sebagai tuberkulosis
postprimer. Kuman akan disebarkan secara hematogen ke segmen apical posterior.
Reaktifasi dapat juga terjadi melalui metastase hematogen ke berbagai jaringan tubuh.
Reinfeksi. Keadaan ini terjadi pada saat adanya penurunan imunitas tubuh atau terjadi
penularan secara terus-menerus oleh kuman TB dalam satu keluarga Tempat masuk
21

kuman M. tuberculosis adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan dan luka terbuka
pada kulit. Kebanyakan infeksi tuberculosis terjadi melalui udara (airborne), yaitu melalui
inhalasi droplet yang mendukung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang
yang terinfeksi. Saluran pencernaan merupakan tempat masuk utama bagi jenis bovin,
yang penyebarannya melalui susu yang terkontaminasi. Tuberkulosis adalah penyakit
yang dikendalikan oleh respon imunitas perantara sel. Sel efektornya adalah makrofag,
sedangkan limfosit (biasanya limfosit T) adalah sel imunosupresifnya. Tipe imunitas
seperti ini biasanya local, melibatkan makrofag yang diaktifkan ditempat infeksi oleh
limfosit dan limfokinnya . Respon ini disebut sebagai reaksi hipersensitivitas. Basil
tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai suatu unit yang
terdiri dari satu sampai tiga basil. Setelah berada di alveolus biasanya dibagian bawah
lobus atas paru-paru atau bagian atas lobus bawah basil tuberkel ini membangkitkan
reaksi peradangan. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan akan
mengalami gejala pneumonia akut. Pneumonia ini dapat sembuh dengan sendirinya,
sehingga tidak ada sisa yang tertinggal, atau proses dapat juga berlanjut terus dan bakteri
dapat terus difagosit atau berkembang biak dalam sel. Basil juga menyebar dalam getah
bening menuju kekelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi
menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid,
yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10 sampai 20
hari. Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat dan seperti
keju, lesi nekrosis ini disebut kaseosa. Lesi primer pary-paru dinamakan focus Ghon dan
dan gabungan terserangnya getah bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks
Ghon. Respon lain yang dapat terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan, dimana
bahan cair lepas kedalam bronchus dan menimbulkan kavitas kemudian akan masuk
kepercabangan trakheobronkhial. Proses ini dapat terulang kembali dibagian lain dari
paru-paru atau basil dapat terbawa sampai kelaring, telinga tengah atau usus

22

2.1.6 Gejala klinis


Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik (atau
gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.
1. Gejala respiratorik
Batuk 3 minggu
Batuk darah
Sesak napas
Nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup
berat tergantung dari luas lesi. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka
penderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus,
dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak keluar. Bila terjadi sumbatan
sebagian bronkusakibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan
suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak.
23

2. Gejala sistemik
Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama
Gejala sistemik lain : malaise, keringat malam hari, anoreksia, berat badan menurun
2.1.7 Diagnosis
Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan diagnosis klinis, dilanjutkan dengan
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologis.

a. Diagnosis klinis
Diagnosis klinis adalah diagnosis yang ditegakkan berdasarkan ada atau tidaknya
gejala pada pasien. Pada pasien TB paru gejala klinis utama adalah batuk terus menerus dan
berdahak selama 3 minggu atau lebih. Gejala tambahan yang mungkin menyertai adalah
batuk darah, sesak nafas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat
badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan
dan demam/meriang lebih dari sebulan (Depkes RI, 2006).

b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan pertama pada keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva
mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris), badan kurus atau berat
badan menurun. Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan
terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Pada TB
paru lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal.
Bila TB mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura sehingga paru yang sakit akan terlihat
tertinggal dalam pernapasan, perkusi memberikan suara pekak, auskultasi memberikan suara
yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali. Dalam penampilan klinis TB sering
24

asimtomatik dan penyakit baru dicurigai dengan didapatkannya kelainan radiologis dada pada
pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang positif.

c. Pemeriksaan radiologis
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk
menemukan lesi TB. Dalam beberapa hal pemeriksaan ini lebih memberikan keuntungan,
seperti pada kasus TB anak-anak dan TB milier yang pada pemeriksaan sputumnya hampir
selalu negatif. Lokasi lesi TB umumnya di daerah apex paru tetapi dapat juga mengenai lobus
bawah atau daerah hilus menyerupai tumor paru. Pada awal penyakit saat lesi masih
menyerupai sarang-sarang pneumonia, gambaran radiologinya berupa bercak-bercak seperti
awan dan dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka
bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas dan disebut tuberkuloma (Depkes
RI, 2006).

25

Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat dengan densitas


tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas dengan penciutan yang dapat terjadi

pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu bagian paru. Gambaran tuberkulosa milier
terlihat berupa bercak-bercak halus yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan
paru. Pada TB yang sudah lanjut, foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan
sekaligus seperti infiltrat, garis-garis fibrotik, kalsifikasi, kavitas maupun atelektasis dan
emfisema. Sebagaimana gambar TB paru yang sudah lanjut pada foto rontgen dada di bawah
ini :
Gambar 2. Tuberkulosis Yang Sudah Lanjut Pada Foto Rontgen Dada

d. Pemeriksaan bakteriologis
a. Sputum
Tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya
BTA positif pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan
dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga pemeriksaan dahak SPS (SewaktuPagi-Sewaktu) BTA hasilnya positif (Depkes RI, 2006).
Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut
yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan spesimen SPS diulang. 1). Kalau hasil
rontgen mendukung tuberkulosis, maka penderita didiagnosis sebagai penderita TB
26

BTA positif. 2). Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB, maka pemeriksaan dahak
SPS diulangi.
Bila ketiga spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik spektrum luas
(misalnya, Kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1-2 minggu. Bila tidak ada
perubahan, namun gejala klinis mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan dahak SPS. 1).
Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita tuberkulosis BTA positif. 2).
Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada, untuk
mendukung diagnosis TB.
a. Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis sebagai penderita TB BTA negatif
rontgen positif
b. Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan TB.
Diagnosis TB paru sesuai alur yang dibuat oleh Depkes RI (2006), sebagaimana bisa
dilihat di bawah ini :

27

28

Berdasarkan diagnosis di atas WHO pada tahun 1991 memberikan kriteria pada pasien
TB paru menjadi : a). Pasien dengan sputum BTA positif adalah pasien yang pada
pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis ditemukan BTA, sekurang kurangnya pada 2 kali
pemeriksaan/1 sediaan sputumnya positif disertai kelainan radiologis yang sesuai dengan
gambaran TB aktif /1 sediaan sputumnya positif disertai biakan yang positif. b). Pasien
dengan sputum BTA negatif adalah pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara
mikroskopis tidak ditemukan BTA sama sekali, tetapi pada biakannya positif.
b. Darah
Pada saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit
meninggi dengan pergeseran hitung jenis ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah normal.
Laju endap darah (LED) mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit

29

kembali ke normal dan jumlah limfosit masih tinggi, LED mulai turun ke arah normal lagi.
Hasil pemeriksaan darah lain juga didapatkan: anemia ringan dengan gambaran normokrom
normositer, gama globulin meningkat, dan kadar natrium darah menurun (Depkes RI, 2006).
c. Tes Tuberkulin
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis TB
terutama pada anak-anak (balita). Sedangkan pada dewasa tes tuberkulin hanya untuk
menyatakan apakah seorang individu sedang atau pernah mengalami infeksi Mycobacterium
tuberculosis atau Mycobacterium patogen lainnya (Depkes RI, 2006).
Tes tuberkulin dilakukan dengan cara menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin P.P.D (Purified
Protein Derivative) secara intrakutan. Dasar tes tuberkulin ini adalah reaksi alergi tipe lambat.
Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi kemerahan
yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibodi seluler dan
antigen tuberkulin. Cara penyuntikan tes tuberkulin dapat dilihat pada gambar di bawah ini
(Bahar, 2007):

(Bahar, 2007)
Gambar 4. Penyuntikan Tes Tuberkulin

Berdasarkan indurasinya maka hasil tes mantoux dibagi dalam : a). Indurasi 0-5 mm
(diameternya) : Mantoux negatif = golongan no sensitivity. Di sini peran antibodi humoral
paling menonjol. b). Indurasi 6-9 mm : Hasil meragukan = golongan normal sensitivity. Di
30

sini peran antibodi humoral masih menonjol. c). Indurasi 10-15 mm : Mantoux positif =
golongan low grade sensitivity. Di sini peran kedua antibodi seimbang. d). Indurasi > 15 mm :
Mantoux positif kuat = golongan hypersensitivity. Di sini peran antibodi seluler paling
menonjol.
Biasanya hampir seluruh penderita TB paru memberikan reaksi mantoux yang positif
(99,8%). Kelemahan tes ini adalah adanya positif palsu yakni pada pemberian BCG atau
terinfeksi dengan Mycobacterium lain, negatif palsu pada pasien yang baru 2-10 minggu
terpajan tuberkulosis, anergi, penyakit sistemik serta (Sarkoidosis, LE), penyakit
eksantematous dengan panas yang akut (morbili, cacar air, poliomielitis), reaksi
hipersensitivitas menurun pada penyakit hodgkin, pemberian obat imunosupresi, usia tua,
malnutrisi, uremia, dan penyakit keganasan. Untuk pasien dengan HIV positif, tes mantoux
5 mm, dinilai positif.
TB pada anak
Gejala TB pada anak tidak khas. Penurunan berat badan, lemah, letih, lesu merupakan
gejala utama TB pada anak. Batuk pada anak jarang merupakan gejala utama TB pada anak.
Pada anak dengan gejala utama batuk dan atau anak dapat mengeluarkan dahak wajib
diperiksa dahak mikroskopis SPS. Apabila terbukti anak dengan BTA positif, maka anak
tersebut termasuk sumber penularan bagi lingkungan di sekitarnya. Anak <3 tahun dan
dengan malnutri atau kondisi imminosupresan memiliki resiko paling tinggi untuk penderita
TB. TB terutama menyerang paru, tapi 20-30% TB pada anak menyerang organ lain. Bayi
dan balita paling beresiko terkena TB berat seperti meningitis TB yang mampu menyebabkan
buta, tuli, serta kelumpuhan.

2.1.8 Tatalaksana

31

Tujuan pengobatan pada TB Paru selain untuk mengobati juga mencegah kematian,
mencegah kekambuhan atau resistensi terhadap OAT serta memutuskan mata rantai
penularan. Pengobatan Tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sbb:
- OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, tidak OAT tunggal
(monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan
sangat dianjurkan.
- Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT =
Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
- Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif (2-3 bulan) dan lanjutan (4-7
bulan)
- Tahap intensif: obat diberikan setiap hari,dan diawasi langsung untuk mencegah resistensi
obat. Jika diberikan secara tepat, yang awalnya menular bisa menjadi tidak menular dalam
kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar TB BTA positif menjadi BTA negatif dalam 2 bulan
- Tahap lanjutan: diberikan obat lebih sedikit dengan jangka waktu yang lama. Tahap ini
penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah kekambuhan.

Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok, yaitu:
-

Obat primer / Lini pertama: Isoniazid (INH), Rifampisin, Etambutol, Streptomisin,


Pirazinamid.

Obat sekunder / Lini kedua: Kuinolon, Etionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin,


Amikasin, Kapreomisin, Kanamisin.

Kombinasi dosis tetap (fixed dose combination), terdiri dari : empat OAT dalam satu
tablet ( Rifampisin 150mg, isoniazid 75mg, pirazinamid 400mg, dan etambutol
275mg), atau tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet ( Rifampisin 150mg,
isoniazid 75mg, dan pirazinamid 400mg).

OBAT ANTI TB
Isoniazid (INH)
32

Efek antibakteri : bersifat tuberkulostatik dan tuberkulosid. Efek bakterisidnya hanya


terlihat pada kuman yang sedang tumbuh aktif. Isoniazid dapat menembus ke dalam
sel dengan mudah.

Mekanisme kerja: menghambat biosintesis asam mikolat (mycolic acid) yang


merupakan unsur penting dinding sel mikobakterium.

Farmakokinetik: mudah diabsorbsi pada pemberian oral maupun parenteral. Mudah


berdifusi ke dalam sel dan semua cairan tubuh. Antar 75-95% diekskresikan melalui
urin dalam waktu 24 jam dan hampir seluruhnya dalam bentuk metabolit.

Efek samping: reaksi hipersensitivitas menyebabkan demam, berbagai kelainan kulit.


Neuritis perifer paling banyak terjadi. Mulut terasa kering, rasa tertekan pada ulu hati,
methemoglobinemia, tinnitus, dan retensi urin.

Sediaan dan posologi: terdapat dalam bentuk tablet 50, 100, 300, dan 400 mg serta
sirup 10 mg/mL. Dalam tablet kadang-kadang telah ditambahkan B6. biasanya
diberikan dalam dosis tunggal per orang tiap hari. Dosis biasa 5 mg/kgBB, maksimum
300 mg/hari. Untuk TB berat dapat diberikan 10mg/kgBB, maksimum 600 mg/hari,
tetapi tidak ada bukti bahwa dosis demikian besar lbih efektif. Anak < 4 tahun
dosisnya 10mg/kgBB/hari. Isoniazid juga dapat diberikan secara intermiten 2 kali
seminggu dengan dosis 15 mg/kgBB/hari.

Rifampisin
-

Aktivitas antibakteri: menghambat pertumbuhan berbagai kuman gram-positif dan


gram-negatif.

Mekanisme kerja: terutama aktif terhadap sel yang sedang tumbuh. Kerjanya
menghambat

DNA-dependent

RNA

polymerase

dari

mikrobakteria

dan

mikroorganisme lain dengan menekan mula terbentuknya (bukan pemanjangan) rantai


dalam sintesis RNA.
-

Farmakokinetik: pemberian per oral menghasilakn kadar puncak dalam plasma


setelah 2-4 jam. Setelah diserap dari saluran cerna, obat ini cepat diekskresi melalui
empedu dan kemudian mengalami sirkulasi enterohepatik. Penyerapannya dihambat
oleh makanan. Didistribusi ke seluruh tubuh. Kadar efektif dicapai dalam berbagai
organ dan cairan tubuh, termasuk cairan otak, yang tercermin dengan warna merah
jingga pada urin, tinja, ludah, sputum, air mata, dan keringat.

33

Efek samping: jarang menimbulkan efek yang tidak diingini. Yang paling sering ialah
ruam kulit, demam, mual, dan muntah.

Sediaan dan posologi: tersedia dalam bentuk kapsul 150 mg dan 300 mg. Terdapat
pula tablet 450 mg dan 600 mg serta suspensi yang mengandung 100 mg/5mL
rifampisin. Beberapa sediaan telah dikombinasi dengan isoniazid. Biasanya diberikan
sehari sekali sebaiknya 1 jam sebelum makan atau dua jam setelah makan. Dosis
untuk orang dewasa dengan berat badan kurang dari 50 kg ialah 450 mg/hari dan
untuk berat badan lebih dari 50 kg ialah 60 mg/hari. Untuk anak-anak dosisnya 10-20
mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 600 mg/hari.

Etambutol
-

Aktivitas antibakteri: menghambat sintesis metabolit sel sehingga metabolisme sel


terhambat dan sel mati. Hanya aktif terhadap sel yang tumbuh dengan khasiat
tuberkulostatik.

Farmakokinetik: pada pemberian oral sekitar 75-80% diserap dari saluran cerna.
Tidak dapat ditembus sawar darah otak, tetapi pada meningitis tuberkulosa dapat
ditemukan kadar terapi dalam cairan otak.

Efek samping: jarang. Efek samping yang paling penting ialah gangguan penglihatan,
biasanya bilateral, yang merupakan neuritis retrobulbar yaitu berupa turunnya
ketajaman penglihatan, hilangnya kemampuan membedakan warna, mengecilnya
lapangan pandang, dan skotom sentral maupun lateral. Menyebabkan peningkatan
kadar asam urat darah pada 50% pasien.

Sediaan dan posologi: tablet 250 mg dan 500 mg. Ada pula sediaan yang telah
dicampur dengan isoniazid dalam bentuk kombinasi tetap. Dosis biasanya 15
mg/kgBB, diberikan sekali sehari, ada pula yang menggunakan dosis 25 mg/kgBB
selama 60 hari pertama, kemudian turun menjadi 15 mg/kgBB.

Pirazinamid
-

Aktivitas antibakteri: mekanisme kerja belum diketahui.

Farmakokinetik: mudah diserap usus dan tersebar luas ke seluruh tubuh. Ekskresinya
terutama melalui filtrasi glomerulus.

34

Efek samping: yang paling umum dan serius adalah kelainan hati. Menghambat
ekskresi asam urat. Efek samping lainnya ialah artralgia, anoreksia, mual, dan muntah,
juga disuria, malaise, dan demam.

Sediaan dan posologi: bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Dosis oral 20-35 mg/kgBB
sehari (maksimum 3 g), diberikan dalam satu atau beberapa kali sehari.

Streptomisin
-

Aktivitas antibakteri: bersifat bakteriostatik dan bakterisid terhadap kuman TB.


Mudah masuk kavitas, tetapi relatif sukar berdifusi ke cairan intrasel.

Farmakokinetik: setelah diserap dari tempat suntikan, hampir semua streptomisin


berada dalam plasma. Hanya sedikit sekali yang masuk ke dalam eritrosit. Kemudian
menyebar ke seluruh cairan ekstrasel. Diekskresi melalui filtrasi glomerulus.

Efek samping: umumnya dapat diterima dengan baik. Kadang-kadang terjadi sakit
kepala sebentar atau malaise. Bersifat nefrotoksik. Ototoksisitas lebih sering terjadi
pada pasien yang fungsi ginjalnya terganggu.

Sediaan dan posologi: bubuk injeksi dalam vial 1 dan 5 gram. Dosisnya 20 mg/kgBB
secara IM, maksimum 1 gr/hari selama 2 sampai 3 minggu. Kemudian frekuensi
berkurang menjadi 2-3 kali seminggu.

Etionamid
-

Aktivitas antibakteri: in vitro, menghambat pertumbuhan M. tuberculosis jenis human


pada kadar 0.9-2.5 g/mL.

Farmakokinetik: pemberian per oral mudah di absorpsi. Kadar puncak 3 jam dan
kadar terapi bertahan 12 jam. Distribusi cepat, luas, dan merata ke cairan dan jaringan.
Ekskresi cepat dalam bentuk utama metabolit 1% aktif.

Efek samping: paling sering anoreksia, mual da muntah. Sering terjadi hipotensi
postural, depresi mental, mengantuk dan asthenia.

Sediaan dan posologi: dalam bentuk tablet 250 mg. Dosis awalnya 250 mg sehari,
lalu dinaikan setiap 5 hari dengan dosis 125 mg 1 g/hr. Dikonsumsi waktu makan
untuk mengurangi iritasi lambung.

35

Paraaminosalisilat
-

Aktivitas bakteri: in vitro, sebagian besar strain M. tuberculosis sensitif dengan kadar
1 g/mL.

Farmakokinetik: mudah diserap melalui saluran cerna. Masa paruh 1 jam. Diekskresi
80% di ginjal dan 50% dalam bentuk asetilasi.

Efek samping: gejala yang menonjol mual dan gangguan saluran cerna. Dan kelianan
darah antara lain leukopenia, agranulositopenia, eosinofilia, limfositosis, sindrom
mononukleosis atipik, trombositopenia.

Sediaan dan posologi: dalam bentuk tablet 500 mg dengan dosis oral 8-12 g sehari.

Sikloserin
-

Aktifitas bakteri: in vitro, menghambat M.TB pada kadar 5-20 g/mL dengan
menghambat sintesis dinding sel.

Farmakokinetik: baik dalam pemberian oral. Kadar puncak setelah pemberian obat 48 jam. Ditribusi dan difusi ke seluruh cairan dan jaringan baik. Ekskresi maksimal
dalam 2-6 jam, 50% melalui urin dalam bentuk utuh.

Efek samping: SSP biasanya dalam 2 minggu pertama, dengan gejala somnolen, sakit
kepala, tremor, vertigo, konvulsi, dll.

Sediaan dan posologi: bentu kapsul 250 mg, diberikan 2 kali sehari. Hasil terapi
paling baik dalam plasma 25-30 g/mL.

Kanamisin dan Amikasin


-

Menghambat sintesis protein bakteri. Efek pada M. tb hanya bersifat supresif.

Farmakokinetik: melalu suntikan intramuskular dosis 500 mg/12 jam (15mg/kgBB/hr,


atau dengan intravena selama 5 hr/mgg selama 2 bulan,dan dilanjutkan dengan 1-1.5
mg 2 atau 3 kali/mgg selama 4 bulan.

Kapreomisin
-

Efek samping : nefrotoksisitas dengan tanda nnaiknya BUN, menurunnya klirens


kreatinin dan albuminuria. Selain itu bisa terjadi hipokalemia, uji fungsi hati buruk,
eosinogilia, leukositosis, leukopenia, dan trombositopenia.

36

Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:


1. TB paru (kasus baru), BTA positif atau lesi luas
Paduan obat yang diberikan : 2 RHZE / 4 RH
Alternatf : 2 RHZE / 4R3H3 atau 2 RHZE/ 6HE
Paduan ini dianjurkan untuk ;
a. TB paru BTA (+), kasus baru
b. TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk luluh paru)
c. TB di luar paru kasus berat
Pengobatan fase lanjutan, bila diperlukan dapat diberikan selama 7 bulan, dengan paduan
2RHZE / 7 RH, dan alternatif 2RHZE/ 7R3H3, seperti pada keadaan:
a. TB dengan lesi luas
b. Disertai penyakit komorbid (Diabetes Melitus,
Pemakaian obat imunosupresi / kortikosteroid)
c. TB kasus berat (milier, dll)
2. TB Paru (kasus baru), BTA negatif
Paduan obat yang diberikan : 2 RHZ / 4 RH
Alternatif : 2 RHZ/ 4R3H3 atau 6 RHE
Paduan ini dianjurkan untuk :
a. TB paru BTA negatif dengan gambaran radiologik lesi minimal
b. TB di luar paru kasus ringan
3. TB paru kasus kambuh
Pada TB paru kasus kambuh minimal menggunakan 4 macam OAT pada fase intensif selama
3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat sesuai hasil uji resistensi). Lama
pengobatan fase lanjutan 6 bulan atau lebih lama dari pengobatan sebelumnya, sehingga
paduan obat yang diberikan : 3 RHZE / 6 RH.
Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat :
2RHZES/1 RHZE/5R3H3E3

37

4. TB Paru kasus gagal pengobatan


Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi, dengan minimal menggunakan 4 -5
OAT dengan minimal 2 OAT yang masih sensitif ( seandainya H resisten, tetap diberikan).
Dengan lama pengobatan minimal selama 1 2 tahun . Menunggu hasil uji resistensi dapat
diberikan dahulu 2 RHZES , untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji resistensi
- Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat :
2RHZES/1 RHZE/5H3R3E3
- Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal
- Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru

5. TB Paru kasus lalai berobat


Penderita TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan
kriteria sebagai berikut :
- Penderita yang menghentikan pengobatannya < 2 minggu, pengobatan OAT dilanjutkan
sesuai jadual
- Penderita menghentikan pengobatannya 2 minggu
1) Berobat 4 bulan , BTA negatif dan klinik,radiologik negatif, pengobatan OAT STOP
2) Berobat > 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang
lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama
3) Berobat < 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang
sama
4) Berobat < 4 bulan , berhenti berobat > 1 bulan , BTA negatif, akan tetapi klinik dan atau
radiologic positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama
5) Berobat < 4 bulan, BTA negatif, berhenti berobat 2-4 minggu pengobatan diteruskan
kembali sesuai jadual.
6. TB Paru kasus kronik
- Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES. Jika
telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal terdapat 2 macam
OAT yang masih sensitive dengan H tetap diberikan walaupun resisten) ditambah dengan obat
lain seperti kuinolon, betalaktam, makrolid.
- Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup
38

- Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan


- Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru

2.1.9 Komplikasi
Tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi.
Komplikasi dini antara lain dapat timbul pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, usus
Poncets arthropathy. Sedangkan komplikasi lanjut dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas,
kerusakan parenkim paru, kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, dan sindrom gagal
napas (sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB).

2.1.10 Prognosis
-

Ad vitam: ad bonam
Prognosis ad bonam karena keadaan yang ditemukan pada pasien ini bukan kondisi

yang berat yang dapat menyebabkan kematian. Perlu pemeriksaan lebih lanjut apakah pada
pasien terdapat infeksi HIV atau tidak.

Ad sanationam: dubia ad bonam


Kemungkinan terjadinya infeksi TB berulang pada kasus ini cukup tinggi, disebabkan

oleh pertimbangan pasien pernah mengalami TB paru sebelumnya (gambaran fibrotic pada
foto Rontgen paru). Selain itu kemungkinan pengobatan TB paru pasien sebelumnya tidak
tuntas. Pengobatan TB yang tidak tuntas dikhawatirkan akan membuat kuman TB menjadi
resisten.
-

Ad fungsionam: dubia ad malam


Penyakit TB paru biasanya meninggalkan tanda berupa kalsifikasi dan jaringan

fibrosis pada jaringan parenkim paru yang terinfeksin. Adanya jaringan fibrosis ini terlihat
pada foto Rontgen thorax pasien. Jaringan yang sudah terkalsifikasi dan berubah menjadi
jaringan fibrosis bersifat irreversible sehingga tidak akan sepenuhnya kembali berfungsi
normal

39

2.1.11 Pencegahan
Penyuluhan Penderita Tuberkulosis
1) Petugas baik dalam masa persiapan maupun dalam waktu berikutnya secara berkala
memberikan penyuluhan kepada masyarakat luas melalui tatap muka, ceramah dan media
massa yang tersedia di wilayahnya, tentang cara pencegahan TB-paru
2) Memberikan penyuluhan kepada penderita dan keluarganya pada waktu kunjungan rumah
dan memberi saran untuk terciptanya rumah sehat, sebagai upaya mengurangi penyebaran
penyakit
3) Memberikan penyuluhan prorangan secara khusus kepada penderita agar penderita mau
berobat rajin teratur untuk mencegah penyebaran penyakit kepada orang lain
4) Menganjurkan, perubahan sikap hidup masyarakat dan perbaikan lingkungan demi
tercapainya masyarakat yang sehat
5) Menganjurkan masyarakat untuk melaporkan apabila diantarnya warganya ada yang
mempunyai gejala-gejala penyakit Tb paru
6) Berusaha menghilangkan rasa malu pada pederita oleh karena penyakit TB paru bukan lagi
penyakit yang memalukan, dapat dicegah dan disembuhkan seperti halnya penyakit lain
7) Petugas harus mencatat dan melaporkan hasil kegiatannya kepada koordinatornya sesuai
formulir pencatatan dan pelaporan kegiatan kader

Promotif
1 Penyuluhan kepada masyarakat apa itu TBC
2 Pemberitahuan baik melalui spanduk/iklan tentang bahaya TBC, cara penularan, cara
pencegahan, faktor resiko
3 Mensosialisasiklan BCG di masyarakat.
Preventif
1 Vaksinasi BCG
2 Menggunakan isoniazid (INH)
3 Membersihkan lingkungan dari tempat yang kotor dan lembab.
4 Bila ada gejala-gejala TBC segera ke Puskesmas/RS, agar dapat diketahui secara dini
40

2.2 Tuberculosis pada Diabetes Mellitus


2.2.1 Epidemiologi
Prevalensi TB meningkat seiring dengan peningkatan prevalensi DM. Frekuensi DM pada
pasien TB dilaporkan sekitar 10-15% dan prevalensi penyakit infeksi ini 2-5 kali lebih tinggi
pada pasien diabetes dibandingkan dengan kontrol yang non-diabetes. Dalam studi terbaru di
Taiwan disebutkan bahwa diabetes merupakan komorbid dasar tersering pada pasien TB yang
telah dikonfirmasi dengan kultur, terjadi pada sekitar 21,5% pasien. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Alisjahbana et al di Indonesia pada tahun 2001-2005, DM lebih banyak
ditemukan pada pasien baru TB paru dibandingkan dengan non TB.
2.2.2 Perubahan pertahanan paru pada DM
Paru pada penderita DM akan mengalami perubahan patologis, seperti penebalan
epitel alveolar dan lamina basalis kapiler paru yang merupakan akibat sekunder dari
komplikasi mikroangiopati sama seperti yang terjadi pada retinopati dan nefropati. Gangguan
neuropati dari syaraf otonom dapat berupa hipoventilasi sentral dan sleep apneu. Selain itu
juga dapat terjadi penurunan elastisitas rekoil paru, penurunan kapasitas difusi karbon
monoksida, dan peningkatan endogen produksi karbondioksida. Kejadian infeksi paru pada
penderita DM merupakan akibat kegagalan sistem pertahanan tubuh, dalam hal ini paru
mengalami gangguan fungsi pada epitel pernapasan dan juga motilitas silia. Gangguan fungsi
dari endotel kapiler vaskuler paru, kekakuan korpus sel darah merah, perubahan kurva
disosiasi oksigen akibat kondisi hiperglikemia yang lama menjadi faktor kegagalan
mekanisme pertahanan melawan infeksi.
2.2.3 Hubungan Diabetes Mellitus dengan Tuberkulosis
Hubungan DM dengan TB pertama kali dilaporkan oleh Avicenna (Ibnu Sina) pada
abad XI, yaitu TB merupakan penyebab kematian utama penderita DM. Pada otopsi
postmortem didapatkan lebih dari 50% pasien DM menderita TB. Pada awal abad 20,
dikatakan bahwa penyebab kematian pasien diabetes adalah ketoasidosis diabetic dan TB.
Setelah ditemukannya insulin pada tahun 1920 dan antibiotika untuk tuberculosis maka
terdapat penurunan angka kematian akibat kedua penyakit tersebut. Penelitian oleh Root
tahun 1934 pada 245 pasien DM dengan TB menunjukkan bahwa infeksi TB pada pasien DM
41

usia muda 10 kali lebih besar dari pasien non-DM, infeksi TB terjadi pada 85% pasien yang
didiagnosa DM, dan dikatakan bahwa insidens TB paru meningkat dengan semakin lamanya
menderita DM.
Kemungkinan penyebab meningkatnya insiden tuberkulosis paru pada pengidap
diabetes berupa defek pada fungsi sel-sel imun dan mekanisme pertahanan penjamu.
Meskipun demikian, mekanisme pastinya sampai sekarang belum dimengerti sepenuhnya.
Pada penderita DM, ditemukan adanya aktivitas bakterisidal leukosit yang berkurang,
terutama pada pasien dengan kontrol gula darah yang buruk. Pada penelitian yang dilakukan
oleh Wang et al dan Alisjahbana et al, dikatakan bahwa proporsi makrofag alveolar matur
pada pasien TB dengan DM lebih rendah dibandingkan dengan yang non-DM. Makrofag
alveolar ini berperan pada proses fagositosis dari kuman TB dan sebagai penyaji antigen ke
sel T. Hal ini diperkirakan berperan pada timbulnya perluasan infeksi TB dan jumlah bakteri
yang lebih banyak pada sputum pasien TB dengan DM. Selain itu, tidak didapatkan adanya
penurunan jumlah limfosit T yang signifikan pada pasien TB dengan DM. Beberapa alasan
yang dikemukakan para peneliti mengenai hubungan erat antara TB dan DM tipe 2 antara
lain: keadaan hiperglikemi yang membantu pertumbuhan, viabilitas dan pergerakan dari
kuman TB.
Gangguan nutrisi, elektrolit, dan asidosis jaringan lokal membuat tubuh rentan
terhadap infeksi. Selain itu, kerusakan sistem imun tubuh seperti defek makrofag alveolar
atau limfosit T pada pasien DM mengakibatkan mudahnya penyebaran infeksi. Pada DM
yang tidak terkontrol (hiperglikemi kronik dengan HbA1c yang tinggi) berhubungan dengan
imunitas yang turun. Studi yang tidak berhubungan dengan TB menemukan bahwa
hiperglikemi kronis ataupun transien mengubah fungsi imun. Upregulasi glukosa kronis
dapat menyebabkan akumulasi abnormal dari advanced glycation end products (AGE) yang
sangat reaktif dan dapat berikatan dan memodifikasi molekul respon imun (seperti antibodi,
komplemen). AGE yang berlebihan juga dapat menyebabkan stimulasi konstan dari reseptor
scavengernya yaitu, RAGE, yang berujung pada stimulasi abnormal fagosit dengan aktivasi
dari NFNB dan NADPH oksidase. Aktivitas NADPH yang berlebihan menyebabkan
akumulasi dari reactive oxidative species (ROS) sehingga menyebabkan stress oksidatif.
Temuan model klinis pada tikus TB dan DM tipe 2 oleh Martens dan Collborators melengkapi
dan memperluas pengamatan pada manusia.Pada tikus model C57BL/6 tikus diberikan
streptozotocin untukmembunuh sel-sel beta pankreas yang memicu DM akut ( 1 bulan)
ataukronik ( 3 bulan), dan selanjutnya tikus tersebut dipaparkan dosis rendah aerosol Mtb.
42

Para peneliti menemukan DM kronis (tapi tidak akut) berhubungan dengan keterlambatan
imunitas bawaan untuk Mtb yang mengakibatkan keterlambatan pengiriman antigen
mikobakterium oleh sel-sel dendritik dari paru-paru ke kelenjar getah bening. Hal ini
menunda perekrutan limfosit T yang diperlukan untuk pembataan awal pertumbuhan Mtb.
Sesuai dengan hipotesis, pada 2 bulan pasca infeksi, tikus DM (dibandingkan tikus kontrol)
memiliki lebih banyak Mtb di paru dan peradangan yang lebih luas dengan ekspresi yang
lebih tinggi dari proinflamatory cytokines like IFN-.
Glucotoxicity banyak dibicarakan, tapi belum secara lengkap dipahami. Glucotoxicity
diartikan sebagai proses kerusakan yang timbul akibat adverse effect hiperglikemia kronis
pada insulin target tissue dan sel beta pankreas. Secara klinis terdapat bukti hubungan antara
tingginya kadar glukosa darah dan kerusakan jaringan tubuh. Glucotoxicity hypothesis
menempatkan hiperglikemia sebagai titik sentral atau memegang peran kunci dalam
timbulnya kerusakan. Jaringan tubuh penderita diabetes akan mengalami proses kerusakan
bila terpapar suasana hiperglikemia secara berkesinambungan atau kronis.24 Hiperglikemia
akut postprandial (HAP), yakni lonjakan-lonjakan kadar glukosa darah yang terjadi berulangulang setiap mengkonsumsi makanan, menajadi penyebab kerusakan bahkan semenjak fase
pradiabetes. Kerusakan endotel pembuluh darah (makro dan mikrovaskuler) merupakan target
penting glucotoxicity. Sel beta pankreas secara fungsi dan struktur juga mengalami kerusakan,
sedangkan pada jaringan terjadi proses desensitisasi terhadap insulin.
Derajat hiperglikemi memiliki pengaruh yang berbeda pada fungsi microbicidal dari
makrofag, bahkan dengan paparan yang singkat pada level gula darah 200 mg% respiratory
burst pada sel tersebut menurun secara signifikan. Hal ini membuktikan pengamatan pada
diabetes yang tidak terkontrol, dengan tingkat glycated haemoglobin yang tinggi, tuberkulosis
menyebabkan kerusakan yang lebih parah dan ini berhubungan dengan tingginya kematian.
Pada percobaan eksperimental yang dilakukan Stalenhoef et al. pada plasma darah manusia
didapatkan bahwa tidak ada perbedaan produksi sitokin antara pasien TB dengan atau tanpa
DM. Jika pasien dengan DM tipe 2 dibandingkan dengan kontrol yang sehat, produksi IFN
spesifik M. tuberculosis sama saja, tetapi produksi IFN- yang nonspesifik berkurang secara
signifikan pada kelompok DM. Diduga bahwa berkurangnya IFN- yang non-spesifik
tersebut menunjukkan adanya defek pada respon imun alamiah yang berperan pada
meningkatnya risiko pasien DM untuk mengalami TB aktif. Meskipun demikian, mekanisme
yang mendasari terjadinya hal tersebut masih perlu ditelusuri lebih lanjut.

43

2.2.4 Gambaran radiologi TB paru pada DM


Infeksi tuberkulosis paru dengan diabetes dapat memberikan gambaran infiltrat di
lobus manapun daripada pola klasik di bagian segmen apeks posterior. Pada beberapa
penelitian gambaran radiologi penderita TB paru dengan DM telah dideskripsikan sebagai
gambaran yang atipikal, kebanyakannya melibatkan lobus bawah paru dengan gambaran
kavitas. Keterlibatan beberapa lobus paru juga dilaporkan lebih banyak. Patel dkk. pada
penelitiannya di India melaporkan bahwa didapatkan 84% pasien TB dengan DM yang
menunjukkan gambaran TB pada lobus bawah dan hanya 16% pada bagian atas paru. 32%
menunjukkan keterlibatan kedua bagian paru, dan 68% hanya di satu sisi paru. Pada 10 dari
50 foto dengan gambaran kavitas yang lebih dari 2 cm dan kavitas ini paling banyak
ditemukan jika terdapat keterlibatan bagian bawah paru (80%). Lesi nodular ditemukan
sebesar 36% dan lesi eksudat ditemukan.
2.2.5 Terapi TB pada pasien DM
Penderita TB dengan DM mendapatkan terapi standar sesuai dengan pasien TB yang lain.
Rifampisin merupakan pengobatan yang utama untuk pasien TB dan efektivitasnya
dipengarui oleh dosis yang diberikan. Dosis yang direkomendasikan adalah 10 mg/kg berat
badan, yang merupakan dosis terapi minimal. Dosis yang lebih tinggi mungkin lebih efektif
dan dapat mengurangi lama pengobatan TB. Dalam praktek, pasien TB dengan DM memiliki
berat badan yang lebih tinggi, sehingga sebenarnya perlu diperhitungkan kembali dosis OAT
selama terapi terutama pada fase lanjut dimana kondisi pasien mulai membaik dan berat
badan mulai naik. Obat anti TB tidak dipengaruhi oleh obat anti glikemik, sehingga tidak
memerlukan dosis penyesuaian. World Health Organization dan The International Union
Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) memberikan rekomendasi pemberian
terapi TB pada penderita dengan DM dengan menggunakan regimen yang sama sesuai
standar. Pada fasilitas pelayanan DM juga harus memiliki program penanganan TB, jika tidak
mampu harus segera dirujuk ke pusat penanganan TB untuk pasien yang dicurigai atau
menderita TB.Panduan dari perhimpunan dokter paru Indonesia (PDPI) menyarankan paduan
OAT dan lama pengobatan yang pada prinsipnya sama dengan TB tanpa DM, dengan syarat
gula darah terkontrol. Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat
dilanjutkan sampai 9 bulan. Perlu diperhatikan penggunaan rifampisin karena akan
mengurangi efektivitas obat oral antidiabetes (sulfonilurea) sehingga dosisnya perlu
ditingkatkan. Hati-hati dengan penggunaan etambutol pada mata, sedangkan pasien DM
44

sering mengalami komplikasi kelainan pada mata. Penggunaan INH pada pasien TB dengan
DM harus lebih ketat dipantau efek neuropati perifer.

DAFTAR PUSTAKA
Alsagaff, Hood dan Abdul Mukty. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya :
Airlangga University Press. 2006
Bahar, A., 2007. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II,
Edisi IV. Jakarta : BPFKUI; 988-994.
Bahar, A., Zulkifli Amin. 2007. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI; 995-1000.
Brooks, G.F., Butel, J. S. and Morse, S. A., 2004. Jawetz, Melnick & Adelberghs:
Mikrobiologi Kedokteran. Buku I, Edisi I, Alih bahasa: Bagian Mikrobiologi FKU
Unair, Jakarta : Salemba Medika.
Cahyadi, A. , Venty. 2011. Tuberkulosis Paru Pada Pasien Diabetes Mellitus.
Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FK Universitas Atma Jaya. Jakarta
Daniel, M. Thomas. 1999. Harrison : Prinsip-Prinsip Ilmu penyakit dalam Edisi 13
Volume 2. Jakarta : EGC 799-808
Departemen

Kesehatan

Republik

Indonesia.

2006.

Pedoman

Nasional

Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. Jakarta.


Wulandari, D.R, Sugiri, Y. J. 2013. Diabetes Melitus dan Permasalahannya pada
infeksi tuberculosis. Departemen ilmu penyakit dalam FKUB. Malang,

45

https://bahankedokteran.wordpress.com/2012/07/22/tuberkulosis-paru-tb-paru/.
Diakses pada tanggal 23 desember, 21.00 WIB.
http://www.tbindonesia.or.id/tb-anak/. Diakses tanggal 23 Desember 2016, 21.15 WIB

46

Anda mungkin juga menyukai