Anda di halaman 1dari 34

BAB 1

PENDAHULUAN
A. Kota Muna Dalam Genggaman Kekuasaan Bos Lokal
Studi ini bermaksud mengungkap hubungan hubungan kuasa dan
jaringan ekonomi - politik bos lokal dalam tata kelola hutan di Kabupaten
Muna. Tujuannya adalah untuk melihat sejauhmana bekerjanya bos lokal
menjalankan praktik pengelolaan sumber daya daerah berupa kekayaan
alam sebagai upaya dalam meningkatkan pendapatan daerah di
Kabupaten Muna. Sumber daya alam dimaksud adalah kekayaan alam
berupa hutan yang mana Kabupaten Muna dikenal sebagai penghasil
kayu jati terbesar di Sulawesi Tenggara.
Bermula dari melihat lanskap politik lokal sejak runtuhnya rezim
Soeharto, para elit oligarki lokal tumbuh subur dalam agenda reformasi
dan governance di seluruh daerah di Indonesia.1 Pada saat bersamaan
fenomena orang kuat lokal (local strongmen) dan bos lokal (bossisme)
telah bermunculan di seluruh wilayah di Indonesia.2 Melihat peristiwa ini
menunjukkan lanskap politik lokal telah digerogoti oleh kekuasaaan elit
elit lokal sebagai konfigurasi dari kepentingan dan ambisi pribadinya.
Keadaan ini menjadi agenda penting bagi elit elit lokal dalam upaya
mereka untuk meningkatkan status, kekayaan, demi kepentingan dan
pribadinya. Bagi elit elit lokal mereka bertarung di arena politik untuk
merebut dan menguasai seluruh sumber daya ekonomi dan politik di
tingkat lokal demi keuntungan akumulasi kapital.
Sementara situasi seperti ini menyebabkan terjadinya praktik rent
seeking yang dilakukan elit elit lokal untuk mengamankan akses menuju
posisi aparatur negara sebagai tahap akumulasi dan demi kepentingan
1

Lihat. Hadiz,V.R. Localising Power In Post Autoritarian Indonesia A South East Asian
Perspective. California: Stanford University Press, 2010 : Hadiz melihat runtuhnya Rezim
Otoritarian sebagai gejala bangkitnya para oligarki lama dan baru yang telah lama bersemayam
dalam politik pusat maupun daerah
2
Agustino, Leo.Sisi Gelap Otonomi Daerah; Sisi Gelap Desentralisasi di Indonesia Berbanding Era
Setralisasi. Bandung: Widya Padjadjaran, 2011. Hal. 67

BAB I Pendahuluan | 1

pribadinya.3 Hal ini kemudian menyebabkan negara dipandang sebagai


arena kontestasi para elit elit di tingkat lokal.4 Dengan demikian, negara
dianggap sebagai arena transaksional dan pasar politik yang dapat
ditransaksikan melalui proses kontestasi yang diperagakan para elit elit
lokal.5
Bila ditilik, fenomena orang kuat lokal (strongmen) atau bos lokal
telah tumbuh subur sejak terjadinya perubahan struktur politik dan proses
demokratisasi di Asia Tenggara seperti Filipina, Thailand dan Indonesia. 6
Keadaan ini pun telah diamini para penstudi Indonesia yang melihat
desentralisasi dan otonomi daerah sebagai gejala kemunculan bos lokal di
tingkat lokal. Banyak dari mereka sangat mencurahkan perhatiannya
untuk melihat gejala kemunculan dan mengukur sejauh mana kekuatan
modalitas sebagai menunjang kekuasaan bos lokal yang dipertaruhkan di
arena sosial - politik di tingkat lokal.7
Selain itu, studi politik di tingkat lokal banyak memaparkan
bangkitnya kekuasaan para bangsawan, usif, karaeng dan sultan sebagai
simbol orang kuat lokal

atau bos lokal yang secara kultural telah

terlegitimasi dan mampu bertahan dalam struktur sosial politik di tingkat


lokal.8 Peristiwa - peristiwa tersebut merefleksikan kekuatan kekuatan
3

Hadiz,R.Vedy.Dinamika Kekuasaan.Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto. Jakarta;


LP3ES, 2005. hal.240
4
Howard, Dick & Jeremy Mulholland.The state as marketplace. Slush funds and intra-elite
rivalry,dalam Edward Aspinall& Gerry Van Klinken. eds,State And Illegality In Indonesia. The
Netherlands; KITVL Press, 2011) hal.65, Howard, Dick & Jeremy, Mulholland yang mengutip
pemikiran Joel Migdal, yang mengartikan Negara sebagai arena kontestasi.
5
Howard, Dick & Mulholland, Jeremy. 2011. Ibid. Hal. 66; Negara dianggap sebagai ruang untuk
mendapatkan akses ke otoritas dan properti serta hak atas sumber daya ekonomi yang dapat
ditransaksikan serta diperjualbelikan melalui proses negoisasi maupun kontestasi
6
Sidel, T. John. Bossisme dan Demokrasi di Filipina, Thailand dan Indonesia; Menuju kerangka
Analisis Baru Tentang Orang Kuat Lokal. John Harris, Kristian Stoke dan Olle Tornquist.
Eds.Politisasi Demokrasi:Politik Lokal Baru,. Jakarta: Demos, 2005. Hal 78 - 79
7
Lihat, Aryandi, Eka. Bos Lokal di Way Kanan,Studi Kasus Kependudukan Lahan Register 42.
Tesis. Program Pascasarjana Studi Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan. Yogyakarta, Universitas
Gajah Mada, 2011. (tidak dipublikasikan); Lihat juga, Demitrus Andre.Bossisme Dalam Proses
Elektoral,Studi Tentang Strategi Bossisme dalam Mempengaruhi Proses Elektoral Pada Pilkada
Halmahera Barat. Tesis. Program Pascasarjana Studi Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan.
Yogyakarta, Universitas Gajah Mada, 2011. (tidak dipublikasikan)
8
Lihat. Aziz, P.H. Dominasi Simbolik Karaeng, Studi Tentang Interaksi Kuasa Bangsawan Dalam
Perubahan Sosial di Jeneponto Sulawesi Selatan. Program Studi Sosiologi Pascasarjana Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Yogyakarta; Universitas Gajah Mada, 2012 (tidak dipublikasikan); Lihat
juga, Masaaki, Okatomo & Rozaki, Abdur.Eds. Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era

BAB I Pendahuluan | 2

sosial (local strongman/bossisme) merupakan aktor atau kelompok yang


memiliki simbol par excellence atas lokalitas kedaerahannya.9
Namun, pada studi ini akan berusaha mengeksplorasi lebih jauh lagi
dengan berupaya menunjukkan sejauhmana bekerjanya kekuasaan bos
lokal dalam praktik pengelolaan perekonomian di tingkat lokal. Hal ini
pada gilirannya akan menambahkan khasanah baru fenomena orang kuat
lokal atau bos lokal yang telah menggejala dalam lanskap politik lokal di
Indonesia.
Dalam menelisik jauh di Kabupaten Muna pada pasca desentralisasi
telah hadir aktor sosial yang mencoba hadir mendominasi di arena sosio
politik. Berkat kontestasi di arena pemilu lokal telah menghadirkan sosok
bos lokal yakni seorang pengusaha yang berhasil masuk dalam ranah
politik lokal. Selaku pemimpin tertinggi di Kabupaten Muna, bos lokal
menjadi

penguasa

tunggal

bahkan

kekuasaan

monopolistik

dan

sumberdaya yang dimilikinya mampu mengendalikan dan mengatur


perekonomian lokal di Kabupaten Muna.
Dengan

kepiawaiannya

telah

membentuk

ceruk

baru

atas

kekuasaannya di Kabupaten Muna yang mampu mengendalikan seluruh


lembaga lembaga Negara di tingkat lokal.10 Ketika pemberlakuan
desentralisasi

sektor

kehutanan

di

seluruh

Indonesia,

bos

lokal

menangkap peluang untuk mengelola sektor kehutanan sebagai sebuah

Reformasi.Yogyakarta; IRE Press, 2006. Lihat. Umasugi, Fandi. Survivalitas Raja Dalam
Mempertahankan Kekuasaan; Studi Kasus Pada Tiga Raja Di Kabupaten Buru. Tesis. Program
Pascasarjana Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik. Konsentrasi Politik Lokal Dan Otonomi Daerah
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 2011. (tidak dipublikasikan) Lihat juga. Tomaito, Subhkan
Strategi Politik Aristokrat di Pemilu. Studi komparatif Tentang Kemenangan Sultan Ternate dan
kekalahan Sultan Tidore dan Sultan Jailolo di Pemilihan Umum DPD RI Tahun 2009 di Provinsi
Maluku Utara . Tesis. Program Pascasarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta. 2011. Tidak dipublikasikan
9
Van Klinken, Gerry .Kembalinya Para sultan: Pentas Gerakan Komunitarian Dalam Politik Lokal,
Davidson, Henley. At.el.Eds, Adat Dalam Politik Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2010. Hal. 166
10
Lembaga lembaga Negara dalam tulisan ini mengacu pada Lembaga pemerintah daerah.
Hutan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah hutan jati yang memiliki nilai ekonomis tinggi bila
diolah serta di produksi menjadi kayu olahan berkualitas.

BAB I Pendahuluan | 3

entitas yang memiliki nilai ekonomis tinggi yang mampu meningkatkan


perekonomian dan pembangunan di Kabupaten Muna.11
Saat itu, berawal dari diskursus peningkatan perekonomian dan
pembangunan di Kabupaten Muna. Ketika itu, pengelolaan sektor hutan
menyebabkan terjadinya kegiatan illegal logging yang terjadi di seluruh
area kawasan hutan di Kabupaten Muna. Disaat bersamaan yang dimotori
bos lokal selaku komando tertinggi di Kabupaten Muna maka kekerasan
juga terjadi seperti penggusuran dan penangkapan terhadap masyarakat
lokal yang berada di wilayah wilayah kehutanan dikarenakan tuduhan
telah merambah lahan hutan Negara secara ilegal.12 Hal Ini merupakan
cara yang dilakukan bos lokal yakni dengan pemaksaan kontrol terhadap
masyarakat lokal merupakan sebuah bentuk penetrasi kekuasaan dalam
mengatur masyarakat sesuai dengan keinginannya demi kepentingan
ekonominya.
Perjalanan panjang pengelolaan sektor hutan menjadi salah satu
upaya peningkatan ekonomi lokal telah menyebabkan terjadinya praktik
perburuan rente (rent seeking) terhadap akses atas keuntungan hutan
jati di Muna. Para aktor aktor lokal yakni pengusaha lokal dan politisi
lokal berlomba lomba untuk mendapat akses keuntungan dari hutan jati
yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Dengan mendapatkan akses ke
pemerintah daerah maka para aktor aktor lokal mendapatkan izin lisensi
ekploitasi hutan.13
Sementara di sisi lain, bos lokal selaku selaku penguasa menjadi
aktor tunggal yang memberi izin - izin lisensi hutan jati tersebut. Dengan
demikian, kepentingan ekonomi-politik bos lokal dapat berjalan serta
terakomodasi melalui kepiawaiannya menggunakan sumberdaya Negara
dengan penerbitan izin eksploitasi hutan Jati di Kabupaten Muna.
11

Hutan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah hutan Jati yang memiliki nilai ekonomis tinggi bila
diolah serta di produksi menjadi kayu olahan berkualitas.
12
Emila & suwito. Ibid. Hal 20 21.
13
Yang saya maksudkan para aktor aktor lokal adalah yaitu para pengusaha lokal, politisi dan
birokrat pemerintah daerah yang pengumpulkan sumberdaya dan bahan baku dengan tujuan
tertentu.

BAB I Pendahuluan | 4

Ketika itu, pemberlakuan eksploitasi besar besaran menyebabkan


penjarahan hutan dan kegiatan penebangan secara massif tanpa
terkontrol oleh pemerintah daerah yang diakibatkan longgarnya kebijakan
pemerintah daerah dalam tata kelola hutan. Sementara para aktor aktor
lokal berlomba - lomba mendapatkan keuntungan besar dengan
menggunakan dan memanfaatkan masyarakat sebagai akses untuk
mengeruk kekayaan hutan yang kemudian hasil dari penambangan
tersebut diakses kembali dan dijual kepihak pihak lain.
Alih alih ini merupakan manifestasi kegigihan politik bos lokal
dalam mengelola dan mengontrol negara lokal sehingga kegiatan ekonomi
lokal berupa pengelolaan hutan menjadi tujuan memperoleh keuntungan
atas proyek pembangunan yang bergulir dengan mengakses aktor aktor
lain ke pasar. Situasi tersebut memperlihatkan sebuah relasi keuntungan
yang terjalin bersifat ekonomis maupun politis dalam pengeloaan sektor
hutan, bahkan bos lokal dengan kepiawaiannya mengelola Negara
memperlihatkan bahwa Negara menjadi sumber kekuasaan tunggal.
Dengan kepiawaiannya mengontrol dan mengelola ekonomi lokal
maka kepentingan bos lokal dapat terakomodasi. Semua ini merupakan
sebuah keunggulan bos lokal. Hal ini terlihat dari kemampuannya
menggunakan sumberdaya negara sebagai upaya dalam meningkatkan
modal ekonomi maupun politik untuk dapat mempertahankan posisi
strategisnya di kepulauan Muna dan keuntungan bagi relasinya.

B. Rumusan Masalah
Berangkat

dari latar belakang permasalahan

di atas maka

pertanyaan yang akan diajukan adalah sebagai berikut:


Bagaimana pola relasi antara bos lokal dan aktor aktor lokal
lainnya dalam tata kelola hutan di Kabupaten Muna?
Penelitian ini membawa misi utama yaitu pertama menjelaskan
watak dan karakteristik bos lokal sebagai salah satu entitas yang

BAB I Pendahuluan | 5

mendominasi kekuasaan di Kabupaten Muna, kedua akan menjelaskan


bentuk pola relasi dan jejaring bos lokal di dalam perburuan keuntungaan
dalam pengelolaan sektor hutan.
C. Tujuan Penelitian
Studi ini bertujuan pertama menjadi pelengkap studi studi tentang
bos lokal dengan mengungkap relasi dan jejaring jejaring kuasa bos
lokal di Kabupaten Muna. Kedua mengungkap metode bos lokal dalam
pengelolaan sektor hutan di Muna
D. Manfaat penelitian
Manfaat dalam studi ini yaitu secara akademis menjadi pelengkap
studi studi yang terkait dengan bos lokal untuk melihat perbedaan watak
dan karakteristik bos lokal di tingkat lokal.
E. Literatur

Review:

Politik

Lokal

Dan

Pengelolaan

Perekonomian Lokal di Indonesia


Dalam membaca relasi ekonomi politik pada lanskap politik lokal
Indonesia secara kontemporer berbagai macam pendekatan sudah
banyak digunakan untuk memahami persoalan pengelolaan ekonomi lokal
di tingkat lokal. Bahasan utamanya ialah terletak pada pola relasi diantara
state - society untuk memahami praktik pengelolaan ekonomi di tingkat
lokal.
Dimulai

studi

di

Kalimantan

Tengah

oleh

McCharty

yang

menggunakan pendekatan Institusional, McCarthy melihat rapuhnya


institusi negara menyebabkan pengelolaan ekonomi lokal telah digerogoti
oleh kekuatan sosial (society center) yang pada gilirannya terjadi praktik
informal ekonomi sebagai mata rantai komoditas dalam mengakses
keuntungan dari hutan hutan melalui relasi personalistik dan ikatan
etnis.14
14

Lihat. McCarthy, J.F. Dijual ke Hilir: Merunding Kembali Kekuasaan Publik Atas Alam di
Kalimantan Tengah. Dalam Henk Schutle Nordholt & Gerry van klinken.Eds. Politik Lokal di
Indonesia. KITLV, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. 2007. 189 224

BAB I Pendahuluan | 6

Di Kabupaten Bangka, dalam studi Erman15 (2007) yang melakukan


pelacakan menggunakan pendekatan shadow state dan informal ekonomi
yang memperlihatkan praktik relasi antara pengusaha dan penguasa lokal
menyebabkan rapuhnya kekuasaan negara yang disebabkan kemampuan
elit ekonomi (baca: pengusaha) mempengaruhi aktor negara dan aparat
negara (baca: kepolisian daerah) dalam mengakomodasi kepentingan
bisnisnya. Argumen pokok yang hendak disampaikan ialah relasi ekonomi
- politik telah didominasi oleh aktor non negara yakni pengusaha atau elit
ekonomi. Sementara pola pertukaran yang dilakukan melalui praktik
informal ekonomi yang di akses ke pasar secara ilegal dan setiap hasilnya
telah memberikan keuntungan besar bagi pelaku yang berada dalam
lingkaran shadow state. Dari gambaran tersebut memperlihatkan praktik
politik

yang

terinstitusionalisasi

sehingga

terjadi

kekaburan

atas

kekuasaan Negara di tingkat lokal ketika transaksi ekonomi politik


dilakukan secara informal antara aktor aktor yang berada didalam
lingkaran shadow state.
Studi yang sama dari Kabupaten Banten, oleh Syarif Hidayat16 yang
mencurahkan perhatiannya pada pendekatan ekonomi politik. Hidayat
menunjukkan bahwa telah terjadi pembajakan negara yang dilakukan oleh
orang kuat lokal dengan menyimpan keluarganya di ranah negara untuk
dapat mempengaruhi kebijakan negara dalam upaya mengakomodasi
kepentingan bisnisnya. Argumentasi pokok yang hendak dibangun adalah
praktik shadow state dan informal ekonomi telah merangsek masuk dalam
negara.
Hidayat menunjukkan orang kuat lokal mampu mempengaruhi
kebijakan serta menangkap kekayaan negara melalui politik kekerasan
dalam upaya memonopoli sumber kekayaan Negara. Pola ini sama
15

Erman, Erviza. Deregulasi Tata Niaga Timah dan Pembuatan Negara bayangan Lokal; Studi
Kasus Bangka. Dalam H.S Nordholt & Gerry van klinken. Eds. Politik Lokal di Indonesia. KITLV,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. 2007. 225 266
16
Hidayat,Syarif. Shadow State....? Bisnis dan Politik di Provinsi Banten. Dalam, Henk Schutle
Nordholt & Gerry van klinken. Eds. Politik Lokal di Indonesia. KITLV, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta. 2007 hal. 267 303

BAB I Pendahuluan | 7

diperlihatkan dalam studi Sidel17 di Thailand yang memperlihatkan chao


pao telah menaruh antek anteknya di negara agar dapat menjaga serta
mengakomodasi kepentingan bisnis ilegalnya dalam meningkatkan
akumulasi primitif yang didefenisikan sebagai bos lokal pialang kekuasaan
lokal yang mencapai kontrol monopoli atas sumberdaya koersif dan
ekonomi diwilayah kekuasaan teriorialnya.
Studi lain Syarif Hidayat18 berjudul Menebar Demokrasi Menuai
oligarkhi: Kepemimpinan Lokal dan Relasi Kekuasaan Pasca Pilkada
mencoba memperluas analisisnya dengan memperlihatkan karakteristik
aktor

negara

dan

relasi

kekuasaannya

pada

penyelenggaraan

pemerintahan pasca pilkada. Hidayat mencoba menunjukkan praktik


penyelenggaraan negara terindikasi terjadi praktik shadow political dan
business manager di tingkat lokal. Hidayat mengungkapkan bahwa relasi
kekuasaan yang terjadi terindikasi didasari atas kesamaan etnis, personal
network, jaringan marga dan ikatan kepartaian yang memunculkan
lingkaran oligarki, ketika poros kekuasaannya berada pada aktor informal
yang memiliki pengaruh dalam proses kebijakan maupun implementasi
kebijakan.19
Dalam beberapa ulasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa politik
lokal saat ini telah digerogoti oleh kekuatan elit elit lokal dimana struktur
kekuasaan di tingkat lokal telah memperlihatkan pola kekuasaan
patrimonial. Sementara jaringan informal ekonomi menggurita dalam
penyelenggaraan negara di tingkat lokal sehingga membentuk sebuah
negara bayangan (shadow state). Secara teoritik pandangan tersebut
17

John T, Sidel. Bossisme dan Demokrasi Di Filipina, Thailand dan Indonesia, dalam. Harriss,
John, Kristian, Stoke, Olle Tornquist. Eds.Politisasi Demokrasi. Politik Lokal Baru.. Jakarta;
Demos, 2005. Bandingkan dengan , Syarif HIdayat. Shadow State .? Bisnis dan Politik Di
Provinsi Banten,Politik Lokal di Indonesia. dalam, Henk Schutle Nordholt, Gerry Van Klinken,
Ireen Karaang-Hoogenboom. Eds. Jakarta; Yayasan Obor Indonesia, KITVL. 2007 Perbedaan
dengan orang kuat di Banten menaruh keluarga di arena ranah Negara.
18
Lihat. Hidayat, Syarif.Menebar Demokrasi Menuai oligarkhi: kepemimpinan Lokal dan Relasi
Kekuasaan Pasca Pilkada dalam, Hamdan Basyrah & Fredy BL. Tobing. Eds.. Kepemimpinan
Nasional, Demokratisasi dan Tantangan Globalisasi. Yogyakarta; Pustaka Pelajar.2009 Hal. 201
259.
19
Aktor informal disini adalah pengusaha yang memiliki hubungan personal network terhadap aktor
formal.Lihat lebih lanjut.Syarif hidayat.Ibid. hal 228.

BAB I Pendahuluan | 8

lebih ekonomi deterministik ketika relasinya bersifat ekonomis dan politis


sehingga dipandang sebagai negara lemah (weak state).
Sementara studi ini mencoba memperlihatkan bahwa negara tidak
gagal dalam menjalankan fungsinya ketika hadirnya aktor berbasis negara
yang dengan kekuasaan dan pengaruhnya menjadikan negara sebagai
sentral kekuasaan dalam menjalankan kebijakan - kebijakan untuk
mengelola wilayah kekuasaannya. Dalam studi ini juga akan melakukan
pelacakan dalam mengungkap relasi kuasa bos lokal di Kabupaten Muna.
Dalam pelacakan tersebut penulis mencoba menggunakan pendekatan
yang berbeda untuk melihat bingkai relasi ekonomi politik atau bisnis
politik dalam bingkai klientalisme sebagai sebuah jaringan dan relasi
pertukaran diantara bos lokal dan aktor aktor lokal di Kabupaten Muna.

F. Kerangka Teoritik
Fokus kajian ini adalah relasi antara bos lokal dan aktor aktor lokal
seperti para politisi dan pengusaha dalam pengelolaan sektor hutan di
Kabupaten Muna. Karena dalam studi ini menggunakan pendekatan actor
oriented, oleh untuk itu saya mencoba mengelaborasi konsep bossisme
dan kekuasaan untuk mengukur kapasitas, kepemilikan sumberdaya dan
pengaruh bos lokal dalam konteks sosial politik di tingkat lokal. Tentunya
untuk memahami watak, karakteristik dan logika kuasa bos lokal maka
konsep kekuasaan menjadi alat pengukur kemampuan dan pengaruh
terhadap orang lain. Sementara itu, untuk melihat bingkai relasi antara bos
lokal (patron) dan politisi pengusaha (klien), maka konsep klientelisme
digunakan sebagai dalam menjelaskan relasi dan jaringan yang dimiliki
bos lokal yang didalamnya terjalin sebuah kepentingan yang saling
menguntungkan antara bos lokal dan politisi pengusaha.

BAB I Pendahuluan | 9

1. Konsep Bos Lokal & Orang Kuat Lokal, diantara Strong State
Weak Society
Pada bahasan ini akan mencoba memaparkan konsep bos lokal
sebagai kerangka teoritik tentang elit lokal. Bermula dari pandangan Sidel
(2005) dalam studi komparatifnya di Asia Tenggara seperti

Filipina,

Thailand dan Indonesia. Sidel mencoba menunjukkan hadirnya kekuatan


sosial baru yang memiliki sifat dasar, watak kekuasaan serta basis sosial
politik yang bersandar pada kekuasaan negara. Sidel menunjukkan
fenomena bossisme atau orang kuat lokal merupakan sebagai anti-tesis
dari pendekatan Migdal yang memahami kekuasaan orang kuat lokal
(strongmen) yang telah lama menggerogoti politik di lokal di ketiga negara
tersebut.
Perbedaannya terlihat dari perspektif state and society. Migdal,
berpijak dari perspektif society center yang melihat negara sebagai
sebuah tatanan politik telah digerogoti oleh kekuatan sosial (strongmen)
yang memiliki jaringan dan kekuasaan yang mampu menembus ranah
negara. Menurutnya para pemimpin politik negara dunia ketiga telah
menghadapi

hambatan

hambatan

dari

kekuatan

sosial

dalam

masyarakat yang memiliki kepentingan atas kebijakan kebijakan


negara.20
Hal ini menunjukkan tatanan sosial - politik didominasi kepentingan
para strongmen yang mencoba memobilisasi kepentingan melalui jaringan
kekuasan yang telah menggerogoti negara. Lebih tegasnya lagi, perspektif
society center terdigtum yang melihat terjadinya pelapukan institusi dan
fungsi negara, jaringan kuasa local strongmen yang mirip jaringan masuk
menggerotogi institusi negara yang mampu mempengaruhi aktor negara.
Hal ini terlihat dari keberhasilan orang kuat lokal menempatkan jaringan
kekuasaannya pada sejumlah jabatan penting di pemerintahan demi
menjamin alokasi sumber sumber daya yang berjalan sesuai dengan
20

Migdal,S Joel. State in Society; Studying How States and Society Transform And Constitute One
Another. Cambridge University Press. 2004. Hal 47 49

BAB I Pendahuluan | 10

aturan mereka sendiri. Lebih tegasnya, argumen utama Migdal sebagai


berikut:
1. Orang

kuat

lokal

(local

strongmen)

tumbuh

subur

dalam

masyarakat mirip jaringan sebagai sekumpulan organisasi


organisasi sosial mandiri yang memperoleh pengaruh melampaui
pengaruh para pemimpin daerah dan para birokrat.
2. Orang kuat lokal melakukan kontrol sosial dan memiliki legitimasi
yang menempatkan diri sebagai patron pemberi kebaikan personal
bagi klien di wilayah kekuasaannya.
3. Orang kuat lokal berhasil menangkap lembaga negara dan sumber
daya negara yang membatasi otonomi dan kapasitas negara, yang
menyebabkan

negara

lemah

berorientasi perubahan sosial.

dalam

menjalankan

tujuan

21

Namun, berbeda dengan padangan Sidel yang mencoba mengkritik


perspektif Midgal melalui pendekatan state center yang memandang
negara tidak dalam keadaan lemah (weak state). Tetapi sebaliknya
melalui otonomi negara dan kapasitas negara yang begitu dominan telah
mencerminkan kemampuan aktor negara dalam mengelola wilayah
kekuasaannya.
Sidel mencoba menganalisis tentang kemunculan bos lokal dengan
menunjukkan terjadinya perubahan struktur politik dan pelembagaan
politik menjadi awal menghablurnya serta mengakarnya kekuasaan bos
lokal di sebagian negara di Asia Tenggara. Pertama dari perspektif
Filipina, Sidel melihat bahwa gejala kemunculan bos lokal bersamaan
dengan perubahan struktur politik dan pemilihan umum yang tertutup serta
pergantiannya yang begitu lama memfasilitasi bos lokal mampu
membenamkan diri serta membangun kontrol monopolistis dalam
perekonomian lokal selama bertahun tahun.22 Menariknya lagi, Sidel
21

Sidel, J.T. Bossisme dan Demokrasi di Filipina, Thailand dan Indonesia. Menuju Kerangka
Analisis Baru tentang orang kuat lokal. dalam Harris, John. Stokke Kristian, Tornquest. Olle.
Politisasi Demokrasi. Politik Lokal Indonesia. Jakarta; Demos. 2005. Hal 71 74
22
Sidel, J.T. ibid. Hal 78

BAB I Pendahuluan | 11

menerangkan hubungan patron klien sebagai alat perekat sosial telah


mengabaikan kegigihan kekuasaan memaksa dan monopoli dalam politik
elektoral serta hubungan sosial.23
Sementara perspektif Thailand, Sidel melihat hal yang sama dimana
bos lokal di dalam terminologi lokal disebut Cao Po, muncul bersamaan
dengan pembentukan negara dan perkembangan kapitalis dikenal lewat
sifat monopolistis kegiatan ekonomi dalam daerah kekuasaannya yang
diperoleh dari negara. Cao po berhasil mengakar kuat karena melayani
atau memberikan suara dalam pemilihan anggota parlemen di Bangkok. 24
Meskipun demikian, pola bos lokal Indonesia berbanding terbalik
dengan pola pola bos lokal di Negara Filipina dan Thailand. Dalam
pandangan Sidel, pola bos lokal di Indonesia menunjukkan pola yang
begitu berbeda yang merujuk pada terminologi mafia, jaringan dan marga.
Menurut Sidel, perubahan struktur politik yang ditandai hadirnya reformasi
dan desentralisasi, bersamaan dengan pemilihan umum di tingkat lokal
menjadi pintu masuk kemunculan bos lokal di Indonesia dengan merebut
kekuasaan di tingkat lokal untuk menduduki posisi tertinggi pemerintahan
daerah. Berkat demokratisasi dan desentralisasi para bos bos lokal
memperoleh kesempatan untuk menangkap jabatan jabatan dan
lembaga negara di tingkat lokal.25
Dalam pandangan Sidel melihat bahwa kelompok mafia, marga dan
jaringan merupakan aliansi dan afiliasi yang berada dalam jaringan
klientelisme dan patronase negara.26 Sementara kuatnya Negara Orde
Baru telah membatasi kemunculan para orang kuat lokal (local strongmen)
maupun bos lokal (local bossisme) bermunculan dan mengakar di seluruh
nusantara. Pemilihan umum dan pembatasan jabatan serta mutasi pejabat
23

Sidel. J.T. Philipine, Politics In Town, District, and Province: Bossisme, In Civate and Cebu ,
Journal Of Asian Studies. Vol. 56 No. 4. Nov. 1997. Ibid.hal.949
24
Sidel, J.T. dalam Harris, Stoke & Tornquist. Eds. Ibid. Hal 81 83 : Cao po merupakan pialang
suara yang memfasilitasi pemilihan parlemen, mereka dikenal karena kontrol dan kekuasaan yang
menggurita di negara lokal, mampu mengontrol aparatur negara dan kemampuan mereka
memonopoli organisasi kekerasan berbasis negara, memanipulasi modal, manipulasi pemilih dan
penyelenggaraan usaha usaha ilegal.
25
Sidel, J.T. Ibid. Hal 94 95
26
Sidel, J.T. Ibid.

BAB I Pendahuluan | 12

daerah tidak memungkinkan mereka mengakar kuat dan abadi di wilayah


kekuasaannya masing masing. Namun, Sidel menduga munculnya
gelombang demokratisasi yang menerpa Indonesia, perubahan struktur
politik yang bersamaan dengan pemilu pemilu lokal menjadi pintu masuk
kemunculan para bos bos lokal di seluruh nusantara.27
Melihat studi komparatif diatas menunjukkan pola bos lokal di ketiga
negara sangat berbeda. Namun garis tegasnya terlihat dari kemunculan
bos lokal bersamaan dengan perubahan struktur politik. Kemunculan bos
lokal di Indonesia yang tidak terlepas dari proses demokratisasi dimana
mereka hadir bersamaan dengan pemilihan umum langsung yang masuk
melalui partai politik dan bersaing dalam merebut kekuasaan di daerah
daerah dengan mekanisme strategi pembelian suara, manipulasi dan
intimidasi dengan menggunakan kekerasan.28
Lebih tegasnya, bos lokal hadir bersamaan dengan demokratisasi,
desentralisasi dimana hadirnya cabang cabang partai politik, parlemen
di tingkat lokal, sehingga menguatnya jaringan patronase di daerah untuk
mengakses sumber publik dan institusi lokal.29 Tidak hanya itu, bos lokal
merupakan cerminan keadaan pembentukan negara dan pembangunan
kapitalisasi dimana kehadiran mereka sebagai perangkap demokrasi
elektoral yang secara formal telah tertindas oleh kepentingan bos lokal
atas negara sebagai tahap akumulasi primitif.30 Dengan kata lain bos lokal
merujuk pada broker kekuasaan yang memiliki posisi dan kontrol
monopolistis abadi terhadap kekuasaan koersif dan sumber sumber
ekonomi di daerah kekuasaannya masing masing.31
27

Sidel, J.T. dalam Harriss, Stoke & Tornquist. Op.cit. Hal


Sidel, John T. Capital,Coercion and Crime: bossism in The Philippines. Dikutip Dalam Hutabarat.
Fenomena Orang Kuat Lokal di Indonesia era desentralisasi. Studi Kasus Tentang Dinamika
Kekuasaan Zulkifli Nurdin Di Jambi. Fakultas Ilmu Sosial dan Departemen Ilmu Politik.Program
pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia.Tahun 2012. Tesis tidak dipublikasikan. Diakses
lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20296621-T29879-Fenomenaorang.pdf
29
http://www.demosindonesia.org/diskursus/3104-raja-lokal-bos-lokal-dan-chao-pho.html
30
Review, Nathan Gilbert Quimpo.Oligarchic Patrimonialism, Bossism, Electoral Clientelism, and
Contested Democracy in thePhilippines. comparative Politics. Vol. 37.No.2 (Jan 2005). hal. 231
31
Mereka adalah walikota puluhan tahun mengelola kotamadya seperti tanah tanah milik pribadi,
anggota kongres dan gubernur membangun mesin politik dan kerajaan bisnis yang merambah
seluruh distrik atau provinsi. Sidel. Ibid. Hal 78
28

BAB I Pendahuluan | 13

Melihat penjelasan diatas, dapat disimpulkan bos lokal perspektif


Indonesia merupakan pialang kekuasaan yang terdiri elit lokal, pengusaha
lokal, dan birokrat, preman preman yang muncul melalui pemilu pemilu
di tingkat lokal, berkontestasi merebut posisi strategis untuk mencapai
posisi monopolistis, membajak lembaga lembaga negara lokal demi
kepentingan dan ambisi pribadinya.
Asumsi yang bisa ditarik adalah setidaknya relasi yang terjalin antara
bos lokal dan aktor aktor lokal di sektor tata kelola hutan tidak terjalin
kesetaraan status diantara mereka. Hal tersebut dikarenakan bos lokal
memiliki sumberdaya yang besar karena kemampuannya menangkap dan
mengelola sumberdaya Negara di tingkat lokal. Sumberdaya negara
menjadi kekuatan koersif sebagai alat perekat sosial dalam melakukan
tekanan

pemaksaan

terhadap

kelompok

masyarakat

sehingga

sumberdaya negara menjadi penting untuk melakukan penetrasi dan


tekanan pemaksaan terhadap masyarakat atau kelompok lainnya.
Oleh sebab itu, keberadaan bos lokal dalam struktur negara
berimplikasi dengan semakin besarnya kekuasaan yang dimilikinya dan
pada gilirannya akan dipergunakan dalam mengatur wilayah teritorialnya.
Dengan demikian, pengelolaan perekonomian lokal akan jatuh pada
kegiatan legal maupun ilegal, monopoli dan eksploitasi sumberdaya
daerah serta intimidasi dan semua itu demi pencapaian kepentingan
akumulasi modal. Maka bekerjanya bos lokal tidak terlepas dari kekuatan
negara dan jabatan publik untuk meningkatkan dan mempertahankan
kekuasaannya.
Alfian yang melaporkan penelitian Fred J. Cook bahwa istilah
bossisme politik atau bos lokal adalah warisan budaya politik Amerika
Serikat yang diartikan sebagai sistem yang menempatkan sosok aktor
tunggal yang mengontrol jalannya jaringan organisasi yang memadukan
kepentingan politik dan ekonomi di dalamnya.32

The Encyclopedia Of

32

M.Alfan Alfian M. Menjadi Pemimpin Politik: Perbincangan Kepemimpinan dan Kekuasaan.


Jakarta; PT. Gramedia Pustaka Utama.2009. Hal 271

BAB I Pendahuluan | 14

Political Science 2011 menyebutkan di negara Spanyol dan wilayah


Amerika Latin istilah ini lebih dikenal dengan sebutan Cacique yang
merujuk pada bos politik formal yang menjalankan kekuasaannya melalui
cara cara informal, personalistik, kekerasan atau ancaman untuk
menopang

kekuasaan

mencerminkan

sifat

regionalisme

serta

ketidakmampuan negara pusat mengkonsolidasikan kekuasaan mereka di


seluruh daerah.33
Seperti yang apa yang diungkapkan oleh Sidel, bahwa bos lokal
merupakan hasil produk "negara" lahir dari masyarakat" sebagaimana
studinya di negara Filipina Provinsi Civate, Justiniano Montano seorang
panglima perang yang menduduki jabatan politik dan menjadi pemimpin
kongres nasional selama lebih dari tiga puluh tahun.34 Melihat definisi dan
maknanya maka bos lokal merupakan aktor politik dengan kekuasaan
berasal dari negara, berwatak predatoris, yang memiliki jaringan
personalistik, yang bekerja demi kepentingan dan ambisi pribadinya.
Sementara itu, basis kekuasaan yang bersumber dari negara maka
bos lokal memiliki kemampuan dalam mengontrol lembaga lembaga
negara. Dalam proses politik di tingkat lokal bos lokal mampu mengontrol
penuh seluruh aktivitas politik, selaku pemimpin politik yang menempati
jabatan tertinggi di tingkat lokal sehingga akan memudahkan mengelola
wilayah kekuasaannya dengan mudah. Kontrol terhadap aparat sipil
maupun aparat keamanan semakin mudah, hal ini juga diperoleh
dikarenakan struktur pelembangaan yang berubah ketika liberalisasi politik
dan desentralisasi hadir yang menempatkan otonomi daerah berada di
tingkat dua (kabupaten/kota).
Namun, ada beberapa tinjauan dari pendekatan ini sebagaimana
Ariyandi35 yang mengutip pemikiran Sidel.
33

Caciquismo dan Coronelismo. Dalam, George Thomas. Kurain eds. The Encyclopedia Of
Political Science 2011 .Washington DC: CQ Press, 2011. Hal. 174 175 ; Caciquismo atau bos
lokal muncul dan menguat di dalam negara yang sedang berkembang.
34
Review Benedict J. Tria Kerkvliet.Capital, Coercion, and Crime: Bossism in the Philippines by
John T. Sidel. The Journal of Asian Studies, Vol. 61, No. 4 (Nov, 2002). Hal. 1441
35
Ariyandi.Eka.2011.Op.cit,.Hal. 14

BAB I Pendahuluan | 15

1. Bos lokal tumbuh dan dibentuk dari rahim negara sebagai


kemampuan bos lokal memanfaatkan sumberdaya negara
2. Mekanisme kerjanya menggunakan tindakan koersif (kekerasan).
3. Bos lokal sebagai pengatur hubungan dengan masyarakat.
4. Hubungan bos lokal dengan lembaga negara sebagai alat yang
dikendalikan bos lokal dalam pengaturan pengaturan di wilayah
yuridiksinya.
5. Hubungan dengan resource bos lokal sebagai kekuasaan
tertinggi atas kontrol monopolistik terhadap kekuatan koersif
sumber dan sumber ekonomi.
6. Jejaring jejaring politis dibentuk sebagai basis sumber daya.
Jadi, bekerjanya bos lokal pada arena sosio politik tidak dibatasi
oleh kekuatan kekuatan lain yang menghambatnya dalam melakukan
kontrol atas sumber publik, melainkan bos lokal dengan leluasanya
melakukan tindakan dan kontrol atas wilayah kekuasannya. Hal tersebut
disebabkan kemampuannya menangkap peluang dan berada pada posisi
eksklusif di daerah. Dengan demikian, Sidel telah memberikan kerangka
analisisnya mengenai kemunculan bos lokal yang tak tertandingi memiliki
kemampuan memanipulasi Negara. Bukan hanya kelebihannya dalam
mengontrol lembaga negara akan tetapi lebih luas jangkauannya dalam
mengontrol masyarakat serta akses sumberdaya lokal yang ditandai
dengan daya represifnya di wilayah kekuasaannya.
Oleh karena itu dalam studi ini pendekatan bos lokal (bossisme)
sangat membantu untuk menjelaskan fenomena kekuasaan elit lokal di
Kabupaten Muna ketika dominasi ekonomi-politik bos lokal bekerja dalam
struktur kekuasaan pemerintah lokal sebagai basis sumberdaya bos lokal
dalam

menjalankan

aturan

main

serta

kekuasaan

koersif

untuk

melanggengkan kepentingan akan status dan kuasanya di wilayah


kekuasaannya.

BAB I Pendahuluan | 16

2. Kekuasaan dan Basis Sumber Daya Bos lokal


Konsep kekuasaan menjadi penting digunakan untuk menganalisis
sumber daya yang dimiliki bos lokal untuk menjalankan kekuasaannya di
Kabupaten Muna. Konsepsi kekuasaan bisa difahami sebagai kapasitas
aktor melakukan tindakan untuk bisa mempengaruhi orang lain. Seperti
dikemukakan Budiarjo36 mengutip pemikiran Lasswell dan Kaplan bahwa
inti dari kekuasaan adalah kemampuan individu mempengaruhi tindakan
individu lain sesuai dengan keinginan individu yang memiliki kekuasaan.
Seperti yang dijelaskan The Encyclopedia Of Political Science bahwa
kekuasaan merupakan kemampuan yang mencakup kemampuan untuk
bertindak secara otonom, memiliki pengaruh atau kontrol atas orang lain
yang dipergunakan pada pencapaian tujuan dan kepentingan aktor
sosial.37 Selain itu, kekuasaan memiliki sifat instrumental digambarkan
pada keadaan aktor sosial (pemegang kuasa) dapat membujuk atau
memaksa aktor lain bertindak dalam hal memajukan kepentingan pihak
penguasa.38 Dengan demikian, konsepsi kekuasaan dapat difahami
sebagai hubungan (relationship) antara dua atau lebih dimana pemegang
kekuasaan menjalankan kontrol atas sejumlah orang lain.39
Namun dalam menelisik kekuasaan aktor politik yang perlu
diperhatikan adalah kapasitas dari seorang aktor politik tersebut.
Kapasitas di sini dapat diukur dari sumber sumber kekuasaan seperti
kedudukan, kekayaan, kepercayaan, kepiawaian maupun keterampilan
dari aktor sosial.40 Lebih jelasnya lagi kapasitas bisa difahami sebagai
36

Budiarjo, Miriam.Konsep Kekuasaan: Tinjauan Kepustakaan, dalam Miriam Budiarjo.Aneka


Pemikiran Tentang Kuasa Dan Wibawa. Jakarta; Pustaka Sinar Harapan, 1991. Hal. 9
37
Kurain. G.T. The Encyclopedia Of Political Science. CQ Press ,Washington DC. 1330
38
Gunther, Schonleiter. Dapatkah Deliberasi Publik Mendemokratisasi Aksi Negara? Dewan
Kesehatan Kotapraja Dan Demokrasi Lokal di Brazil. Dalam, Harriss, Stokke & Tornquist. Politisasi
Demokrasi: Politik Lokal Baru. Terj. Jakarta: Demos, 2005: Hal 123
39
Penjelasan tentang konsepsi kekuasaan lihat, Budiarjo. Ibid. Hal 12 ; karya lain yang dirujuk,
Adrain, C.F. Kehidupan Politik Dan Perubahan Sosial. Terj. Yogyakarta; PT. Tiara Wacana
Yogya, 1992. Hal 130
40
Penjelasan tentang sumber - sumber kekuasaan bisa dimaknai sebagai sifat kekuasaan yang
bersumber dari kekayaan, kedudukan dan ekonomi; Dirujuk dalam karya, Budiarjo. Ibid. Hal 13
Karya lain yang dirujuk, Lihat juga Kurain. . Ibid. Hal. 1330, ; Kekuasaan dapat dijalankan oleh aktor
sosial apabila memiliki kapasitas yang diukur dari status kekayaan, sumber produksi, kemampuan
individu dan sumberdaya sosial.

BAB I Pendahuluan | 17

bentuk kemampuan aktor sosial dalam menggunakan sumber daya untuk


memperoleh kepatuhan dari orang lain.41 Menggunakan padangan Adrain
(1992) sumber daya terbagi dalam lima tipe tipe sumber daya politik
terdiri

kekuasaan

fisik,

kekuasaan

ekonomi,

kekuasaan

normatif,

kekuasaan personal dan kekuasaan keahlian sebagai berikut.42 Tipe


sumber daya fisik yang dimaksud seperti kepemilikan senjata yang
memiliki pontensi untuk memperoleh kepatuhan dari orang

lain.43

Kekuatan sosial dengan kepemilikan senjata bisa dimaknai sebagai


instrumen kekuasaan yang mampu mempengaruhi tindakan yang pada
gilirannya akan memperoleh kepatuhan orang lain.
Tipe sumber daya ekonomi bisa berbentuk kekayaan, pendapatan
dan kepemilikan sumber -

sumber produksi. Melalui sumber daya

ekonomi aktor sosial mampu mempengaruhi orang lain untuk memperoleh


kepatuhan dengan cara memberikan imbalan imbalan material kepada
orang lain.44 Tipe sumber daya normatif dapat dimaknai sebagai
kepemilikan sumber daya yang berkualitas seperti kebijakan religius,
kebenaran moral, dan wewenang sah. Bila ditelisik sumber daya normatif
merupakan sumber daya yang terlegitimasi dan aktor sosial memiliki hak
untuk menjalankan kekuasaan. Bila merujuk dengan studi ini tentunya
sumber daya normatif bagi bos lokal bertumpu pada jabatan resmi yang
berasal dari organisasi maupun negara.45
Sumber daya personal bisa difahami sebagai kemampuan bos lokal
secara personal yang dilihat dari kemampuannya secara pribadi seperti
menarik, menawan dan memiliki kharisma yang pada gilirannya
41

Adrain, C.F. Ibid


Adrain, C.F. Ibid. Hal 132 135; pembahasan tipe tipe kekuasaan dari pandangan Adrain juga
dapat lihat pada, Haryanto.Kekuasaan Sebuah Bahasan Pengantar. Polgov UGM. Yogyakarta.
2005.
43
Haryanto.Politik Kain Timur: Instrumen Meraih Kekuasaan. Yogyakarta; Polgov, 2015. Hal 12
17
44
Haryanto. Ibid.
45
Winters, J.F. Oligarki.terj. Jakarta; PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011. Hal. 20 21; :Winters
juga penjelasan tentang Sumber daya kekuasaan oligarki tentang jabatan resmi yang dimaknai
sebagai sumber daya yang memiliki pengaruh besar ketika jabatan dipergunakan untuk
menghimpun berbagai sumber daya seperti ekonomi, jejaring operasi dan mengelompokkan
anggota bawahan untuk mendapatkan kepatuhan.
42

BAB I Pendahuluan | 18

kepribadian aktor sosial menjadikan orang lain tertarik dan patuh


kepadanya. Tipe sumber daya keahlian difahami sebagai kemampuan
aktor sosial yang memiliki modal seperti informasi, pengetahuan, keahlian
teknis dan intelegensi.46 Dalam menjalankan kekuasaan, tentu saja aktor
sosial harus memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam menjalankan
lembaga lembaga negara dan kemampuan mengorganisir orang lain.
Sumber daya keahlian merupakan gambaran kepiawaian aktor sosial
dalam bertindak untuk menjalankan kekuasaan dan pengaruhnya.
Kekuasaan dan tipe sumber daya menjadi penting dalam menelisik
basis kekuasaan bos lokal di Kabupaten Muna. Karena studi ini berfokus
pada bos lokal sebagai penguasa lokal tentunya negara menjadi sumber
daya kekuasaan yang dapat dipergunakan untuk kepentingan dan ambisi
pribadinya.47 Seperti yang dikemukakan oleh Sidel basis kekuasaan bos
lokal banyak bersandar pada negara dimana kemampuan mengontrol
lembaga negara yang pada gilirannya terjadinya monopoli kegiatan
ekonomi baik bersifat legal maupun legal.48

3. Klientelisme dan Patronase Politik di Sektor Hutan


Patronase dan klientelisme merupakan dua sisi mata uang yang
tidak terpisahkan dimana klientelisme dikenal sebagai model patron
klien yang merembes dalam sistem politik kontemporer di seluruh dunia.49
Secara konseptual klientelisme adalah bentuk lain dari praktik patronase
yang terjalin hubungan timbal balik yang mengacu rantai kompleks
ikatan pribadi antara patron dan klien yang dibangun atas kerja sama

46

Adrain.C.F. Ibid. Hal 135


Penjelasan Sidel begitu jelas bahwa letak kekuasaan bos lokal banyak bertumpu pada basis
sumber daya yang di dasari oleh negara yang pada gilirannya mampu mengontrol dan monopoli
seluruh kegiatan ekonomi baik secara legal maupun ilegal di wilayahnya.
48
Sidel, J.T. Ibid. 76 80
49
Brinkerhoff, D.W. & Goldsmith, A.A..Clientelism,Patrimonialism and Democratic Governance:An
Overview and Framework for Assessment and Programming Prepared for U.S. Agency for
International Development Office of Democracy and Governance under Strategic Policy and
Institutional Reform: December 2002. Hal 2
47

BAB I Pendahuluan | 19

saling menguntungkan secara material.50 Sedangkan Eisenstadt melihat


bentuk patronase di dominasi oleh sifat klientelisme sebagai hubungan
antara patron dan klien yang terlembagakan dalam organisasi politik dan
lembaga negara seperti birokrasi pemerintah dan partai politik.51
Hal yang serupa diungkapkan Aspinall & Sukmajati yang memaknai
klientelisme sebagai karakteristik dari relasi kuasa antara bos lokal dan
pihak lain yang bersifat personalistik, saling menguntungkan, memiliki
kontigensi, bersifat hierarkis dan terjalin aspek pengulangan.52 Lebih
jelasnya lagi bahwa jaringan klientelisme hadir apabila para sekutu
(partner) menguasai sumber daya yang tidak dapat dibandingkan
(noncomporable resources); terjalin hubungan personalistik dan; terjalin
relasi timbal balik yang saling menguntungkan.53
Melihat penjelasan diatas dapat disimpulkan klientelisme merupakan
bentuk dan pola relasi antara patron dan klien bersifat personalistik,
bersifat hierarkis dan hubungannya terjalin hubungan timbal balik yang
saling menguntungkan diantara patron dan klien. Dalam interaksinya
terjalin pemberian keuntungan diantara bos lokal dan klien begitupun
sebaliknya klien akan membalas jasa dari bos lokal sebagai imbalan dari
bentuk kerja sama yang saling menuntungkan. Dengan demikian,
klientelisme dapat dilihat dari (1) terjadinya interaksi antara bos lokal dan
aktor aktor lokal yang terjalin dalam hubungan personalistik 54 (2) bos
50

Brinkerhoff, D. W. & Goldsmith,A.A.Clientelism, Patrimonialism and Democratic Governance:An


Overview and Framework for Assessment and Programming Prepared for U.S. Agency for
International Development Office of Democracy and Governance under Strategic Policy and
Institutional Reform: December 2002. Hal 2 ;Bos selaku patron memberi sumber daya material
(uang dan pekerjaan) dan klien atau pendukungnya mendapat imbalan material atas kerjasama
dan loyalitas yang dibangun terhadap patron.
51
Djalong. Ibid. Hal 19
52
Aspinall, E & Sukmajati, M. Patronase Dan Klientelisme Dalam Politik Elektoral di Indonesia.
Dalam Edward Aspinall & Mada Sukmajati. Ed. Politik Uang Di Indonesia; Patronase dan
Klientelisme Pada Pemilu Legislatif 2014. Yogyakarta; Polgov, 2015. Ibid. Hal. 4 5; Disini Aspinall
& Sukmajati meminjam pendekatan dari Hicken 2011, tentang relasi klientelisme yang
mengandung hubungan (1) timbal balik; pemberian barang dan jasa antara patron dan klien, ; (2)
terjadi relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara patronklien. (3) klientelisme berlangsung
terus menerus
53
Legg, K.R. Tuan, Hamba dan Politisi. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1983. Hal 29
54
Menurut pendapat saya, apabila merujuk pada hubungan personalistik maka untuk mengukur
kemesraan antara bos lokal dan aktor aktor lokal dapat diukur dari sejauhmana kedekatan
diantara bos lokal dan aktor aktor lokal di Muna maka untuk itu perlu dilihat apakah terjalin ikatan

BAB I Pendahuluan | 20

lokal memiliki sumberdaya yang tidak dimiliki oleh para klien (aktor aktor
lokal) yang akan membentuk hubungan asimetris55 (3) terjalin hubungan
pertukaran timbal balik diantara bos lokal dan klien (aktor aktor lokal)
yang saling menguntungkan kedua belah pihak.
Manfaat dari konsep klientelisme pada studi ini untuk memahami
pola dan karakteristik relasi yang terjalin diantara bos lokal dan aktor
aktor lokal dalam tata kelola sektor hutan. Apabila digunakan pada studi
ini, maka bos lokal dikategorikan sebagai patron sedangkan aktor aktor
lokal dikategorikan sebagai klien.
Dalam praktik klientelisme dan politik patronase pada praktiknya
tidak dapat terpisahkan dimana dalam bekerjanya klientelisme terjadi
distribusi patronase yang akan dipertukarkan ke pihak klien untuk
mendapatkan dukungan maupun keuntungan politis. Bila merujuk The
Encyclopedia Of Political Science 2011 patronase difahami sebagai
praktek penggunaan sumber daya negara (publik) oleh penguasa atau
pemimpin politik (patron) untuk menyediakan pekerjaan, layanan dan jasa
kepada klien atau pendukung agar mendapat dukungan.56
Hal sama diungkapkan Muller yang memaknai patronase sebagai
penggunaan sumber daya publik yang dipertukarkan ke pihak klien atau
pengikut agar patron akan mendapatkan dukungan politik seperti
dukungan suara dalam pemilihan.57 Namun Eisenstadt memandang pada
praktik patronase dapat terlihat di dalam lingkungan masyarakat yang
memiliki ketimpangan status sosial, ekonomi dan politik.58

ikatan yang terjalin dalam hubungan kekerabatan,hubungan lembaga dan organisasi. Karena
ikatan ikatan seperti kekerabatan, lembaga dan organisasi memiliki derajat kemesraaan yang
memungkinkan terjalin hubungan personalistik diantara bos lokal dan aktor aktor lokal
55
Menurut pendapat saya, bahwa hubungan timpang diantara bos lokal dan aktor aktor lokal
menandakan terjalin ketidaksetaraan sumber daya diantara bos lokal dan aktor aktor lokal,
dimana bos lokal memiliki sumber daya yang besar sementara aktor aktor lokal berperan sebagai
klien.
56
Kurain, G .T.Ibid. Hal. 1330
57
Muller, W.C. Patronase Partai Dan Kolonisasi Partai Atas Negara, dalam Richard S. Katz &
William Crotty.Handbook Partai Politik. Bandung, Nusamedia: 2014. Hal 311.
58
Dalam Djalong.
Ibid. Hal 18; Eisenstadt memandang bahwa pada praktik patronase
memungkinkan terjadi sifat memaksa dan pemerasan dimana pada praktik patronase akan
memungkinkan terjadi dalam dimensi ilegal maupun legal

BAB I Pendahuluan | 21

Dengan demikian, patronase merujuk pada penggunaan sumber


daya publik yang akan dipertukarkan ke pihak klien untuk mendapatkan
dukungan. Sementara klientelisme merupakan karakteristik relasi dan
jaringan yang terbentuk dari sebuah hubungan istimewa seperti hubungan
personalistik, ikatan kekerabatan dan kelembangan yang didalamnya
terjalin hubungan timbal balik yang saling menguntungkan diantara bos
lokal dan klien. Namun, Legg memandang relasi patron klien

perlu

menempatkan peran perantara sebagai penghubung antara patron di


tingkat atas dan klien di tingkat bawah.59 Peran perantara disini sebagai
saluran yang mendistribusikan aliran sumber daya ke pihak klien begitu
pula sebaliknya ke pihak patron.
Studi klientelisme Asia Tenggara umumnya memperlihatkan peran
broker begitu penting sebagai saluran dan rantai patronase penghubung
antara patron dan klien.60 Bila merujuk pada tradisi antropologi politik, Blok
menjelaskan broker adalah perantara diantara individu dan kelompok
yang memanfaatkan kedudukannya yang strategis didalam jaringan
masyarakat dan berusaha menarik keuntungan besar.61
Gambar 1. Piramida Klientelisme Politik

Bos Lokal
bos lokal
broker/makelar

broker

broker

klien

Klien

Klien

Klien

Demikian pula Wolfgang Muno menjelaskan broker merupakan


mediator antara patron dan klien yang kemungkinan terjalin hubungan
59

Legg. Ibid. Hal 30


Lihat, Aspinall, E. Money Politics, Patronage and Clientelism In Southeast Asia. Dalam William
Case, ed. Routledge Handbook of Southeast Asian Democratization. Routledge London And New
York. 2015 Hal. 306 ; Aspinal, melihat peran broker sebagai jaringan pribadi yang dibentuk oleh
patron sebagai yang menjadi rantai dan penghubungan ke pihak klien/pemilih
61
Claessen, H.J.M.. Antropologi Politik.. Jakarta; Penerbit Erlangga. 1987. Hal 40 41
60

BAB I Pendahuluan | 22

personalistik antara patron dan broker di satu sisi, dan broker - klien di sisi
lain.62
Gambar 2. Aliran Distribusi Patronase

Alur Distribusi Patronase

Apa bila ditarik dalam konteks ini, maka yang perlu diperhatikan
adalah kemampuan bos lokal dalam mengelola kekuasaannya, serta
kemampuannya mendistribusikan sumber patronase. Selain itu juga
sebagai penguasa tentunya kekuasaan negara menjadi sandaran dan
saluran utama dalam mendistribusikan sumber sumber patronase yang
ditujukan kepada pihak klien. Dalam bekerjanya patronase, relasi dan
jaringan klientelisme hadir sebagai penopang saluran patronase dan pada
gilirannya akan terdistribusikan ke pihak klien yang lebih bawah. Bila
merujuk piramida diatas, maka bekerjanya jaringan klientelisme dimana
peran broker sebagai penyalur yang meneteskan sumber daya patronase
dari atas ke bawah ke pihak klien. Begitu juga sebaliknya dalam proses
pertukaran antara patron klien, peran broker begitu penting dalam
menjembatani kepentingan antara patron dan klien. Boleh jadi, proses
pertukaran pun akan terangkai dari bawah menuju ke atas.

62

Muno, Wolfgang.Conceptualizing and Measuring Clientelisme Paper to be presented at the


workshop Neopatrimonialism in Various World Regions 23 August 2010, GIGA German Institute
of Global and Area Studies, Hamburg. Hal 4 5 ; Muno menjelaskan bahwa biasanya broker
adalah klien dari patron yang melakukan fungsi pelindung untuk klien paling bawah, Muno juga
menjelaskan perbedaan antara patron dan broker dimana broker tidak memiliki kontrol atas sumber
daya, Namun broker hanya mendapat beberapa sumber daya yang didistribusikan oleh patron dan
padagilirannya broker kembali mendistribusikan sumber daya ke para klien paling bawah.

BAB I Pendahuluan | 23

G. Definisi Konseptual dan Operasionalisasi


1. Konseptualisasi
Pemberian definisi konsep sangat penting sebagai batasan ruang
lingkup dan pengukuran variabel variabel dalam penelitian ini. Adapun
definisi konsep yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:
Bos lokal adalah sosok aktor lokal yang mampu bertransformasi menjadi
aktor negara yang memiliki kemampuan mengendalikan sumber sumber
publik dengan cara memanfaatkan kekuasaan negara yang dijalankan
dengan cara monopolistik bersifat legal dan ilegal demi kepentingan
ekonomi politik dan ambisi pribadinya.
Sumber daya bos lokal merupakan kapasitas yang termanifestasikan
dari seluruh sumber kekuasaan yang dimiliki bos lokal meliputi sumber
daya personal, sumber daya keahlian, sumber daya ekonomi dan sumber
daya normatif.
Aktor Aktor Lokal merupakan individu individu yang terdiri dari elit
pemerintahan, elit partai politik, birokrasi, pengusaha lokal dan dinas
kehutanan.
Jaringan Klientelisme merupakan karakteristik bentuk relasi dan jaringan
kuasa dimana terjalin ketidaksetaraan sumberdaya dimana bos lokal
memiliki sumberdaya yang begitu besar yang tidak bisa dibandingkan
dengan klien/broker. Relasi diantara bos lokal dan klien (aktor aktor
lokal) terjalin dalam hubungan yang bersifat personalistik yang terjalin
didalam ikatan ikatan

kekerabatan, persahabatan, dan hubungan

kelembagaaan.
Patronase merupakan penggunaan sumberdaya negara yang digunakan
bos lokal untuk menyediakan layanan, lisensi dan izin kepada pihak
klien/aktor aktor lokal demi mendapatkan dukungan ekonomi dan politik.
Dukungan ekonomi dapat dilihat dari pemberian materi berupa uang

BAB I Pendahuluan | 24

sedangkan dukungan politik dapat dilihat dari pemberian loyalitas kepada


bos lokal.
Broker/perantara merupakan mitra yang terdiri dari aktor aktor lokal
yang berada dalam relasi klientelisme dimana broker bekerja sebagai
perantara yang mencoba mendapatkan keuntungan dari hubungan
diantara bos lokal dan klien. Broker adalah klien dari bos lokal yang mana
dalam hubungan diantara bos lokal dan broker terjalin balas jasa dimana
broker akan membalas kebaikan atas pemberian reward dan profit yang
berikan oleh bos lokal. Sedangkan dalam hubungannya kepada pihak
klien, broker mendistribusikan sumber patronase yang didapatkan dari bos
lokal berupa layanan dan lisensi kepada pihak klien.
Klien merupakan individu atau kelompok masyarakat yang mencoba
mendapatkan akses dan sumberdaya patronase dari bos lokal.

2. Definisi Operasional
Definisi operasionalisasi merupakan indikator indikator untuk
menjawab penelitian tentang bagaimana relasi bos lokal dan aktor aktor
lokal dalam pengelolaan hutan di kabupaten Muna. Adapun indikator
indikator yang menjadi rujukan dalam penelitian ini:
Bos lokal
Bos Lokal hadir berkat terjadinya perubahan stuktur politik di sebuah
negara.
Bos lokal memiliki jejaring sosial politik.
Aktor politik yang mampu melakukan penetrasi kekuasaan ke dalam
ranah masyarakat maupun ranah negara.
Watak dan kekuasaan bersifat otonom yang didasari oleh kekuasaan
negara
Kemampuan bos lokal mengontrol sumber daya negara
Aktor politik yang memiliki kemampuan dalam mengendalikan seluruh
sumberdaya publik berupa perekonomian, perdagangan dan lembaga

BAB I Pendahuluan | 25

lembaga di tingkat lokal dengan kontrol monopolistik yang bersifat legal


maupun ilegal.
Sumber daya sebagai Basis Kekuasaan Bos Lokal
Kapasitas bos lokal kepemilikan sumber daya ekonomi berupa sumber
sumber material dan alat alat produksi .
Kepemilikan sumber daya normatif berupa sumber daya yang sumber
dari kewenangan sah yang terlegitimasi dalam masyarakat.
Kepemilikan sumber daya personal berupa kepiawaian bos lokal dalam
mengelola kekuasaan dan pengaruhnya di dalam masyarakat maupun
organisasi politik dan negara.
Kepemilikan sumber daya keahlian sebagai kapasitas dan kemampuan
bos lokal dalam menjalankan kekuasaannya di tingkat lokal.
Aktor Aktor Lokal
Birokrasi, aktor aktor partai politik, SKPD SKPD dan aktor aktor
yang berada dalam lingkungan dinas kehutanan.
Aktor aktor lokal yang memiliki akses dan koneksi terhadap
kekuasaan di Kabupaten Muna.
Patronase
Distribusi sumberdaya negara dari patron ke klien
Terjalin pertukaran timbal balik diantara bos lokal dan klien berupa
keuntungan politis maupun keuntungan ekonomis
Jaringan Klientelisme
Relasi yang terjalin bersifat personalistik
Jaringan yang bekerja sebagai perantara yang mendistribusikan
sumberdaya patronase ke pihak klien
Jaringan yang terbentuk dari jaringan formal (lembaga negara) dan
jaringan informal (lembaga di luar negara)
Hubungan yang terjalin dari ikatan terlembaga, ikatan kekerabatan dan
persahabatan
Terjalin hubungan timbal balik antara patron dan klien.
Terjalin hubungan saling menguntungkan diantara patron - klien

BAB I Pendahuluan | 26

Tejalin pendistribusian sumberdaya.


Transaksi pertukaran diantara patron dan klien yang bersifat mengikat
maupun tidak mengikat.
Bentuk pertukaran kepentingan antara patron dan klien bersifat
ekonomi, sosial dan politik.

H. Metode Penelitian
1. Desain Penelitian
Dalam upaya memahami fenomena sosial maka penelitian ini
menggunakan metode pendekatan kualitatif. Menurut Taylor dan Bogdan
sebagaimana dikutip Endrarso yang mendefinisikan penelitian kualitatif
sebagai sebuah penelitian yang akan menghasilkan data deskriptif
mengenai kata kata lisan, tertulis dan tingkah laku yang dapat diamati
dari orang orang yang diteliti.63 Dalam penelitian ini, penulis mencoba
menerapkan model studi kasus sebagai sebuah pilihan metode dan
strategi dalam memperoleh data data dari objek atau kasus yang akan
diteliti.
Penelitian studi kasus didefinisikan sebagai suatu penelitian kualitatif
yang berusaha menemukan makna, menyelidiki proses, dan memperoleh
pengertian serta pemahaman secara mendalam dari individu, kelompok
atau situasi sosial.64 Studi kasus merupakan strategi riset yang lebih
cocok pada pertanyaan how atau why bila periset hanya memiliki sedikit
peluang untuk mengontrol peristiwa peristiwa yang akan diselidiki dalam
setting sosial yang terjadi di Kabupaten Muna.65 Studi kasus digunakan
untuk mengetahui dan memahami kasus bagaimana kemunculan Ridwan
BAE serta bagaimana relasi kuasa Ridwan BAE dan aktor aktor lokal
pada pengelolaan sektor kehutanan di Kabupaten Muna.

63

Hendrarso, E.S. Penelitian Kualitatif: Sebuah Pengantar. Dalam Bagong Suyanto & Sutinah (ed).
Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan (Jakarta: Kencana Media Group. 2011).
Hal. 166
64
Emzir. Analisis Data: Metodologi Penelitian kualitatif. (Jakarta: Rajawali Pers. 2012). Hal. 20
65
Robert. K. Yin.2006.Studi Kasus.Desain & Metode. (Jakarta: Rajagrafindo Press, 2006). Hal 1

BAB I Pendahuluan | 27

Dalam metode studi kasus, periset akan mencoba melakukan


pengumpulan data dari studi lapangan dan kepustakaan lalu memberikan
penjelasan, interpretasi interpretasi dan persepsi persepsi dari hasil
informasi dan dokumentasi yang akan didapatkan dari data data yang
telah dikumpulkan dilapangan. Selanjutnya akan digeneralisasikan ke
dalam bentuk narasi teori yang pada gilirannya periset akan dituntut untuk
memaparkan dan menjelaskan keunikan studi ini yakni aktor lokal yang
hendak akan diteliti.
2. Lokasi Penelitian
Studi ini dilakukan di Provinsi Sulawesi Tenggara yang difokuskan di
Kabupaten Muna sebagai tempat dan wilayah Ridwan BAE menduduki
jabatan Bupati di Kabupaten Muna.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam studi ini proses pengumpulan sumber data dibagi menjadi dua
macam yakni sumber data primer dan sumber data sekunder. Menurut
Craswell,66 sebagaimana dikutip Emzir proses pengumpulan data dan
analisis data, peneliti perlu menjamin kesahihan temuan dan interpretasi
yang akurat oleh karena itu untuk menentukan keakuratan temuan
tersebut setidaknya menggunakan strategi triangulasi. Pada proses
pengumpulan data penggunaan triangulasi akan membantu kesahihan
studi pada pencapaian vadilitas penelitian dimana periset melakukan
perbandingan temuan antara sumber data primer dan data sekunder.67
Selain itu juga triangulasi data dapat digunakan untuk menguji data dari
informan satu dengan sumber informan yang lain, hal ini untuk

66

Emzir. Op.cit Hal 41.


Crewell, W.J. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed.(Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2012) Hal.286
67

BAB I Pendahuluan | 28

mendapatkan data apakah konsisten atau berlawanan.68 Adapun tahap


tahap proses pencarian data sebagai berikut.
1. Studi Dokumentasi
Studi domentasi ini merupakan pelengkap dari penggunaan metode
wawancara sebagai penjajakan periset untuk mengumpulkan informasi
dan data untuk penelitian politik yang bersifat sekunder yaitu berupa
pencarian dokumen dokumen resmi dari instansi pemerintah Daerah,
LSM, KPUD, partai politik, media cetak, studi pustaka, majalah, jurnal,
laporan penelitian, biografi, autobiografi dan sumber internet yang
berkaitan dengan fenomena bos lokal di Kabupaten Muna.
2. Wawancara
Wawancara adalah proses tanya jawab atau dialog yang dilakukan
oleh periset dan informan atau narasumber yang bertujuan memperoleh
informasi lisan maupun tertulis serta keterangan yang berkaitan dengan
fenomena yang akan diteliti. Sebagaimana Harison mengatakan bahwa
wawancara merupakan pertemuan periset dan informan dimana jawaban
informan menjadi data mentah yang akan diinterpertasikan oleh periset.69
Dalam metode wawancara ini, periset menggunakan wawancara
tidak terstruktur untuk memperoleh informasi yang detail. Dengan
wawancara jenis ini, maka periset mencoba melakukan diskusi atau
percakapan yang fokusnya seputar pertanyaan yang diangkat periset
yakni bagaimana relasi bos lokal dan aktor aktor lokal dalam tata kelola
hutan di kepulauan Muna. Dalam pencarian data primer tersebut periset
menggunakan teknik snowball sampling yaitu teknik pencarian dan
pengambilan informan atau narasumber yang dilakukan secara berantai.
Artinya tujuan dan pencarian informan menggunakan teknik snowball
sampling ini atas pertimbangan pertimbangan dari periset sendiri dalam
rangka memperoleh informasi dan keterangan yang memadai untuk
68
69

Pawito. Penelitian Komunikasi Kualitatif. ( Yogyakarta: LKIS,2007). Hal. 99


Harison, L. Metodologi Penelitian Kualitatif.(Jakarta: Kencana, 2007).Hal.104

BAB I Pendahuluan | 29

kebutuhan masalah yang diangkat dalam kasus ini. Seperti yang


diungkapkan Patton sebagaimana dikutip Satori & Komariah bahwa
penentuan sumber data primer, penentuannya berdasarkan tujuan dengan
memilih informan yang kaya akan informasi dan pengetahuan tentang
fenomena yang akan diteliti.70
Teknik yang dilakukan periset adalah pertama awal mula mencari
dan menentukan satu atau dua orang informan yang diangggap memiliki
pengetahuan dan kekayaan informasi tentang studi yang diangkat oleh
periset. Kedua, apabila sumber data masih dianggap kurang dari hasil
menggalian informasi pihak informan pertama maka setidaknya periset
mencari informan kedua untuk menggali informasi untuk melengkapi
sumber data yang telah didapatkan dari informan pertama. Apabila masih
dipandang belum mencukupi, maka selanjutnya pencarian informan ketiga
dan seterusnya hingga terjadi kejenuhan dan periset mengambil
keputusan untuk menghentikan penggalian informasi.
Penggunaan teknik snowball sampling didasari pertimbangan periset
sebagai orang yang berada diluar budaya lokasi penelitian (lokasi
outsider) yang sangat berbeda dengan peneliti yang mengkaji daerahnya
sendiri sehingga dapat mengenal dunianya sendiri. Sementara posisi
periset sebagai orang luar akan sangat membutuhkan penguasaan
wilayah dan setting penelitian.
Adapun informan yang menjadi target dalam wawancara penelitian
sebagai berikut.

Tokoh Tokoh Masyarakat yang berada di kawasan hutan.

Birokrasi

dan

Stakeholder

yang

pernah

terlibat

dalam

kepemimpinan Bos lokal sejak tahun 2000 sampai dengan tahun


2010

70

Dikutip oleh Satori, Djaman & Komariah, Aan. Metodologi Penelitian Kualitatif.(Bandung: Alfabeta
Bandung.2010). Hal 52

BAB I Pendahuluan | 30

Aktivis LSM LSM bidang Lingkungan seperti Walhi, Lepmil,


Swami yang terlibat dalam pendampingan terhadap masyarakat
yang berada diwilayah Hutan Lindung

Masyarakat Lokal di Kabupaten Muna yang berada di wilayah Patu


Patu, Kontu, Lasukara dan Wawesa

Informan lainnya yang berasal dari informan sebelumnya.

I. Teknik Analisis Data


Dalam analisa data pada penelitian ini menggunakan analisa
kualitatif dimana ada tiga macam kegiatan yang hendak dilakukan dalam
analisa kualitatif menurut Miles & Huberman sebagaimana dikutip Emzir 71
yaitu proses reduksi data, penyajian data dan penarikan/verifikasi
kesimpulan.
1. Proses

reduksi

data

merupakan

proses

pemilihan,

penyederhanaan dan pemusatan perhatian terhadap temuan data


di lapangan. Dalam tahap proses reduksi periset di tuntut untuk
dapat menggolongkan, mencari tema - tema dan membuang data
yang tidak diperlukan maka selanjutnya dapat di interpretasi.
2. Penyajian data adalah sekumpulan informasi tersusun yang
memberi

kemungkinan

untuk

menarik

kesimpulan

dan

pengambilan tindakan.72 Dalam proses ini periset mencoba


mengelompokkan hal hal yang serupa sesuai dengan rumusan
masalah yang diangkat dalam penelitian ini dan kemudian
memberikan tipologi didalamnya. Dalam tahap penyajian data
kemudian dianalisis kembali atau mengambil tindakan bila
dianggap perlu.
3. Penarikan kesimpulan merupakan pencarian makna makna
selama penelitian berlangsung dan menguji kebenaran data
sehingga sesuai dengan validitas penelitian.
71
72

Emzir. Op.cit. hal 129 -135


Basrowi & Suwandi. Memahami Penelititan Kualitatif. (Jakarta: Rineka Cipta. 2008) Hal. 209

BAB I Pendahuluan | 31

Dalam penarikan kesimpulan merupakan bagian terpenting dimana


periset melakukan cek ulang atau peninjauan ulang terhadap sumber
sumber data. Tahap ini juga perlu terjalin diskusi antara periset dan teman
teman peneliti lainnya atau orang orang yang terlibat dalam penelitian
ini untuk menempatkan temuan temuan yang didapatkan dari lapangan.
Seperti diungkapkan Moleong bahwa diskusi dengan teman sejawat akan
menghasilkan pandangan kritis terhadap hasil penelitian, temuan teori
substantif, dapat membantu mengembangkan langkah berikutnya dan
pandangan lain sebagai pembanding.73

73

Dalam Satori, Djaman & Komariah, Aan. Op.cit. Hal. 172

BAB I Pendahuluan | 32

J.

Sistematika Penulisan
Penulisan tesis ini telah terbagi dalam lima Bab. Pada bagian Bab I

merupakan latar belakang yang merupakan kerangka masalah penelitian


yang memaparkan mengapa penelitian tentang relasi bos lokal dan aktor
aktor lokal pada pengelolaan sektor hutan di Kabupaten Muna begitu
penting dilakukan penyelidikan lebih dalam.
Bagian bab II akan memuat tentang setting penelitian terdiri dari
gambaran dari lokasi penelitian di Kabupaten Muna. Tujuannya untuk
melihat bagaimana kondisi sosial ekonomi dan kondisi pengelolaan
kehutanan sampai akhir Orde Baru di Kabupaten Muna. Bagian ini juga
menguraikan bagaimana munculnya bos lokal dan perjuangan menembus
pemilihan Bupati di Kabupaten Muna.

Bagian Bab III menguraikan

sumber daya kekuasaan dan bagaimana bos lokal membangun basis


kekuasaan di Kabupaten Muna. Poin dari bab III bertujuan menunjukkan
bagaimana bos lokal membangun basis politik sebagai penunjang dalam
memperkuat

basis

kekuasaannya

khususnya

dalam

pemerintahan

Kabupaten Muna. Selanjutnya bab ini menguraikan bagaimana bos lokal


mencoba mengambil kembali kuasa atas sumber daya alam dan
bagaimana pengelolaan kehutanan ketika berada di bawah kekuasaan
bos lokal pasca Orde Baru di Kabupaten Muna.
Bagian Bab IV mengambil tema tentang bagaimana bos lokal
membangun jejaringan dan relasi keuntungan dalam tata kelola di sektor
hutan. Pada bab ini menunjukkan bagaimana sektor hutan menjadi
instrumen yang menjadi basis penunjang kepentingan ekonomi politik
bos lokal dan jejaringnya. Sementara itu, negara menjadi basis kekuasaan
untuk mengatur keuntungan keuntungan ekonomis maupun politis.
Sebaliknya, relasi yang terjalin begitu istimewa dimana keuntungan
ekonomis hanya dinikmati aktor aktor yang berada dalam jaringan
klientelisme. Bab IV merupakan muara dari seluruh argumentasi dari
penelitian tentang bos lokal di Kabupaten Muna. Bab ini merupakan

BAB I Pendahuluan | 33

perjalanan dari seluruh argumentasi berupa kesimpulan yang menjadi


tanggapan atas pertanyaan pertanyaan penelitian yang sebelumnya
telah di telaah.

BAB I Pendahuluan | 34

Anda mungkin juga menyukai