Anda di halaman 1dari 72

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Pemanfaatan lahan menyebabkan perubahan tata guna lahan di suatu wilayah.

Perubahan tata guna lahan seringkali tidak disertai dengan tindakan pencegahan
kerusakan lahan, sehingga lahan semakin terdegradasi. Salah satu bentuk kerusakan
lahan yang dapat dilihat saat ini yaitu berupa erosi yang diakibatkan adanya
penggunaan lahan yang tidak tepat, sehingga mengakibatkan menurunnya kualitas
tanah dan air. Penyebab terjadinya erosi di suatu lahan disebabkan penggunaan lahan
yang tidak sesuai dengan peruntukannya dan tidak adanya tindakan konservasi tanah
dan air yang bisa menekan ataupun mencegah erosi yang mungkin terjadi.
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu
kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung,
menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut
secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut
sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (PP No. 37,
2012). Namun penggunaan lahan yang berkaitan erat dengan aktivitas manusia
menyebabkan

keseimbangan

ekosistem

DAS

terganggu.

Eksploitasi

DAS

menimbulkan masalah : 1) banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau,


2)penurunan debit air sungai, 3)erosi dan sedimentasi, 4) longsor.

Erosi di DAS umumnya terjadi karena pemanfaatn lahan yang tidak


mengindahkan kaidah konservasi tanah dan air. Erosi di suatu lahan menyebabkan
hilangnya lapisan atas tanah yang subur untuk menyangga pertumbuhan tanaman
(Tan, 1991). Untuk mempertahankan kelestarian produktivitas tanah maka dapat
dilakukan hal hal yang dapat mencegah agar erosi yang terjadi tidak melebihi batas
melalui upaya rehabilitasi dan konservasi tanah. Rehabilitasi hutan dan lahan
dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan
dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung
1
system penyangga kehidupan tetap terjaga (UU No. 41, 1991). Upaya Konservasi
Tanah dan Air diartikan sebagai upaya perlindungan, pemulihan, peningkatan, dan
pemeliharaan fungsi tanah pada lahan sesuai dengan kemampuan dan peruntukan
lahan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan kehidupan yang lestari
(UU 37, 2014)
DAS Pakerisan merupakan salah satu bagian dari Satuan Wilayah Pengelolaan
OoS Jinah, yang secara administrasi meliputi Kabupaten Bangli (kecamatan Bangli,
dengan total luas wilayah sebesar 9.091,89 Ha, yang terdiri dari bentuk lahan
Vulkanik dan Fluvial, dan penggunaan lahan yang beragam, baik itu hutan, kebun
campuran, sawah, dan pemukiman. Terjadi banyak aktivitas yang dilakukan oleh
penduduk yang tinggal pada lahan di wilayah Daerah Aliran Sungai Pakerisan,
sehingga tingkat ketergantungan pada lahan sangat besar. Hal inilah yang membuat

ketertarikan minat dari penulis untuk memilih DAS Pakerisan sebagai lokasi
penelitian.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Karsun
(2014) tentang kondisi karakteristik lahan, tingkat bahaya erosi, bentuk arahan
klasifikasi fungsi kawasan, dan alternative tindakan konservasi tanah yang baik
sebagai bentuk arahan penggunaan lahan pada Sub DAS Telagawaja. Penelitian ini
dilakukan untuk memproleh hasil prediksi erosi, klasifikasi kemampuan lahan dan
arahan penggunaan lahan di wilayah DAS Pakerisan. Melalui penelitian yang
dilakukan ini, diharapkan akan dapat mengetahui tingkat erosi yang terjadi,
mengklasifikasi kemampuan lahan yang ada, serta dapat menghasilkan arahan
penggunaan lahan yang tepat dan menjadi perencanaan konservasi tanah dan air di
DAS Pakerisan.

1.2.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah tingkat erosi dan merencanakan tindakan konservasi tanah dan
air di DAS Pakerisan ?
2. Bagaimanakah klasifikasi kemampuan lahan yang ada di DAS Pakerisan ?

3. Bagaimanakah arahan penggunaan lahan yang ada di DAS Pakerisan ?

1.3.

Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai

berikut:
1. Memprediksi tingkat erosi dan merencanakan tindakan konservasi tanah dan
air di DAS Pakerisan
2. Menentukan klasifikasi kemampuan lahan yang ada di DAS Pakerisan
3. Menentukan arahan penggunaan lahan yang ada di DAS Pakerisan
1.4.

Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian yang dilakukan yaitu :
1. Manfaat Akademis
Secara akademis penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai
Daerah Aliran Sungai, tingkat erosi, penggunaan lahan yang sesuai dengan

klasifikasi kemampuan lahan yang ada, serta perencanaan konservasi tanah


dan air yang tepat di DAS Pakerisan.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis dapat memberikan masukan kepada pemerintah dan
masyarakat dapat melindungi lingkungan yaitu dengan mengetahui kondisi
awal Daerah Aliran Sungai, penggunaan lahan yang sesuai dengan
kemampuan lahan, serta dapat mencegah potensi kerusakan Daerah Aliran
Sungai terutama kejadian erosi dan penggunaan lahan yang tidak memenuhi
kaidah-kaidah konservasi tanah dan air.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daerah Aliran Sungai


Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disebut DAS adalah suatu wilayah
daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang
berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan
ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis
dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas
daratan (Peraturan Pemerintah Nomor 37, 2012). Sub DAS adalah bagian DAS yang
menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai utama. Setiap
DAS terbagi habis di dalam Sub-sub DAS (Kementerian Kehutanan, 2013).

Kementerian Kehutanan (2013) menyatakan bahwa daerah aliran sungai (DAS)


memiliki 3 komponen utama yang menjadi ciri khas atau penciri utamanya, yaitu: (1)
suatu wilayah yang dibatasi oleh puncak gunung/bukit dan punggung/igir-igirnya; (2)
hujan yang jatuh di atasnya diterima, disimpan, dan dialirkan oleh sistem sungai; dan
(3) sistem sungai itu keluar melalui satu outlet tunggal. Selanjutnya beberapa ahli
DAS membuat suatu kesimpulan bahwa DAS merupakan: (1) suatu wilayah bentang
lahan dengan batas topografi; (2) suatu wilayah kesatuan hidrologi; dan (3) suatu
wilayah kesatuan ekosistem.
Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengendalikan hubungan
timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala
aktifitasnya, dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta
meningkatkan kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia secara berkelanjutan
(Departemen Kehutanan, 2009b)
Asdak (2010) menyatakan bahwa secara konseptual, pengelolaan DAS
dipandang sebagai suatu sistem perencanaan terhadap: (1) aktivitas pengelolaan
sumberdaya termasuk tata guna lahan, praktek pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya setempat dan praktek pengelolaan sumberdaya di luar daerah kegiatan
program atau proyek; (2) alat implementasi untuk menempatkan usaha-usaha
pengelolaan DAS se-efektif mungkin melalui elemen-elemen masyarakat dan
perseorangan; dan (3) pengaturan organisasi dan kelembagaan di wilayah proyek
dilaksanakan.

Effendi (2007) menyatakan bahwa dalam rangka memberikan gambaran


keterkaitan secara menyeluruh dalam pengelolaan DAS, terlebih dahulu diperlukan
batasan-batasan mengenai DAS berdasarkan fungsi, yaitu pertama DAS bagian hulu
didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk mempertahankan kondisi
lingkungan DAS agar tidak terdegradasi, yang antara lain dapat diindikasikan dari
kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit),
dan curah hujan. Kedua DAS bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air
sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan
ekonomi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air,
kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada
prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau. Ketiga DAS
bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat
memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan
melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah
hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengelolaan air limbah.
Keterpaduan biofisik tersebut menyebabkan DAS harus dipandang sebagai satu
kesatuan yang utuh menyeluruh yang terdiri dari sumber-sumber air, badan air,
sungai, danau, dan waduk yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisah-pisahkan
(Departemen Kehutanan, 2001).
2.2 Prediksi Erosi

Di permukaan bumi, kejadian erosi selalu dan akan tetap terjadi. Bentuk
permukaan bumi selalu berubah sepanjang masa, sehingga di suatu tempat akan
terjadi pengikisan dan di tempat lainnya akan terjadi penimbunan (Melisa, 2013).
Wayer dan Wischemeier (1969) dalam Hardjowigeno (2003) meninjau proses
terjadinya erosi air di suatu lereng tanah harus dihancurkan dulu oleh curah hujan dan
aliran permukaan. Setelah tanah hancur baru siap untuk diangkut ke tempat lain oleh
curah hujan damn aliran permukaan yang akan mengendap di suatu tempat yang lain.
Asdak, (2010) menyatakan erosi dapat terjadi secara alami maupun karena
aktivitas manusia. Erosi alamiah terjadi untuk mempertahankan keseimbangan tanah
secara alami, sedang erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan karena
terkelupasnya lapisan tanah akibat kegiatan yang bersifat merusak keadaan fisik tanah
dan tidak mengindahkan kaidah konservasi tanah. Arsyad (1989) menyatakan bahwa
hilangnya atau terkikisnya tanah atau bagian bagian tanah dari suatu tempat ke
tempat lain yang diangkut oleh air atau angin disebut dengan erosi. Pada peristiwa
erosi, tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat terkikis dan terangkut yang
kemudian diendapkan pada suatu tempat yang lain. Pengangkutan atau pemindahan
tanah tersebut terjadi oleh media alami yaitu air dan angin. Suripin (2001)
menyatakan bahwa erosi merupakan proses alamiah yang tidak bisa atau
sulit dihilangkan sama sekali atau tingkat erosinya nol, khususnya untuk lahanlahan yang diusahakan untuk pertanian, dan tindakan yang dapat dilakukan adalah
mengusahakan agar erosi yang terjadi masih di bawah ambang batas maksimum (soil
loss tolerance), yaitu besarnya erosi tidak melebihi laju pembentukan tanah.

Purwowidodo (1999) mengemukakan erosi bisa terjadi apabila intensitas hujan


turun lebih tinggi dibanding kemampuan tanah untuk menyerap air hujan tersebut.
Terjadinya erosi secara rinci bisa dijelaskan melalui tiga tahapan, yaitu :
1. penghancuran agregat tanah dan pelepasan partikel.
2. pengangkutan tanah oleh aliran air.
3. pengendapan tanah akibat aliran air tidak mampu lagi mengangkut tanah
Mekanisme percikan di lahan datar dan tidak ada angin, tidak menyebabkan
kehilangan tanah yang serius, tetapi jika ada angin kuat yang menyebabkan
percikannya mengikuti arah angin, kemiringan lahan juga mengarahkan percikan
tanah dan menyebabkannya terkumpul ke arah kaki bukit. Laju erosi karena pengaruh
angin dan kemiringan lahan tergantung kepada ketinggian dan jarak tempuh mendatar
percikannya.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ariyanto Wibowo dkk (2015) di DAS
Sungai Rawa Jombor menunjukkan Erosi yang terangkut ke dalam aliran sungai
kemudian mengendap ke Rawa Jombor sehingga mengakibatkan penurunan kapasitas
tampung dan peningkatan kesuburan di badan air Rawa Jombor. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Alwi dan Marwah (2014) di DAS Wanggu Sulawesi Tenggara,
menunjukkan bahwa akibat tidak adanya penerapan tindakan konservasi tanah dan air
dalam penggunan lahan telah mengakibatkan erosi di daerah hulu DAS. Begitu juga
hasil penelitian yang dilakukan oleh Komaruddin (2008) di Sub DAS Cileungsi
Bogor, menunjukkan bahwa sistem pertanian lahan kering tanpa penerapan teknik
konservasi tanah dan air yang memadai juga menyebabkan terjadinya erosi. Jadi

10

untuk mencegah dan memperkecil erosi dapat dilakukan dengan penerapan tindakan
konservasi tanah dan air.
Penelitian yang dilakukan oleh Melisa D.D. ( 2013) di DAS Bondoyudo
Lumajang menunjukkan bahwa nilai laju erosi pada DAS Bondoyudo yaitu sebesar 0
15 ton/ton/Ha/Tahun, yaitu tingkat erosi yang diijinkan. Hasil penelitian Gunamanta
(2002) di DAS Anyar Kabupaten Buleleng, menunjukkan telah terjadinya erosi dari
tingkat yang ringan sampai berat. Hasil penelitianya menunjukkan bahaya erosi
ringan sekitar 15 60 ton/ha/tahun, sedangkan tingkat bahaya erosi yang berat 180
480 ton/ha/tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Widyantara et al. (2014) di DAS
Yeh Empas Tabanan Bali, menunjukkan bahwa erosi yang terjadi yaitu dari tingkat
ringan sampai sangat berat. Erosi ringan seluas 10.787, 58 hektar dan erosi dengan
tingkat sangat berat seluas 436,31 hektar.
Menurut Rahim (2003) faktor-faktor yang mempengaruhi erosi tanah meliputi
hujan, angin, limpasan permukaan, jenis tanah, kemiringan lereng, penutupan tanah
baik oleh vegetasi atau lainnya, dan ada atau tidaknya tindakan konservasi, sehingga
makin tinggi curah hujan semakin tinggi juga penutupan tanah oleh vegetasi,
mengakibatkan semakin membaiknya proteksi terhadap tanah. Menurut Arsyad
(1989), ada tiga komponen karakteristik hujan yang berpengaruh terhadap erosi yaitu
jumlah, intensitas dan distribusi hujan. Jumlah hujan adalah volume air yang jatuh
pada suatu wilayah tertentu dinyatakan dalam milimeter atau centimeter. Intensitas
hujan menyatakan besarnya atau jumlah hujan yang jatuh dalam waktu yang singkat,
dinyatakan dalam milimeter/jam atau centimeter/jam. Jumlah rata-rata curah hujan
yang tinggi mungkin tidak menyebabkan terjadinya erosi jika intensitasnya rendah.

11

Demikian juga hujan yang intensitasnya besar yang terjadi dalam waktu singkat
mungkin tidak akan menimbulkan erosi karena tidak cukup air untuk mengangkut
tanah. Intensitas hujan banyak digunakan untuk menjelaskan fenomena laju erosi
yang terjadi. Penelitian yang dilakukan oleh Idjudin (2011) menunjukkan bahwa,
curah hujan adalah salah satu unsur iklim yang besar peranannya terhadap kejadian
erosi. Purwowidodo (1999) menyatakan bahwa faktor-faktor iklim yang berperan
penting dalam merangsang erosi tanah adalah temperatur, angin, dan curah hujan.
Pada umumnya suatu areal memiliki topografi yang berbeda, mulai dari datar,
landai sampai dengan curam. Faktor-faktor topografi yang mempengaruhi besar
kecilnya erosi dan limpasan permukaan ialah derajat kemiringan lereng lapangan dan
panjang lereng, dengan kata lain erosi dan limpasan permukaan akan lebih besar pada
tanah dengan lereng yang lebih curam dan lebih panjang. Erosi tidak menjadi masalah
pada daerah datar, akan tetapi apabila daerah mulai miring maka masalah pencegahan
erosi menjadi serius. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Goro (2008) menunjukkan
bahwa, besarnya kemiringan lereng akan mempengaruhi laju kecepatan aliran
permukaan, semakin curam suatu lereng semakin cepat aliranya, sehingga
kesempatan air untuk meresap ke dalam tanah lebih kecil dan akan memperbesar
aliran permukaan, yang berakibat menambah besarnya erosi.
Arsyad (1989) menyatakan bahwa beberapa pengaruh vegetasi terhadap erosi
ialah sebagai intersep hujan oleh kanopi tanaman, mengurangi kecepatan aliran
permukaan dan kekuatan perusak air, pengaruh akar terhadap erositas dan kestabilan
agregat tanah, pengaruh kegiatan-kegiatan biologi yang berhubungan dengan
pertumbuhan vegetasi dan pengaruhnya terhadap porositas tanah, serta proses

12

transpirasi yang mengakibatkan keringnya tanah. Penelitian yang dilakukan oleh


Moch Arifin (2010) di kabupaten Kediri menujukkan bahwa dari hasil akhir
penghitungan pendugaan nilai erosi pada berbagai penggunaan lahan, yaitu hutan
sengon, tumpangsari, dan monokultur, diketahui bahwa lahan pertanian monokultur
dan tumpangsari mempunyai nilai erosi yang tinggi dan termasuk dalam kriteria
tingkat bahaya erosi berat.
Menurut Arsyad (1989), beberapa sifat tanah yang mempengaruhi erosi adalah
tekstur, struktur, bahan organik, kedalaman, sifat lapisan tanah, dan tingkat kesuburan
tanah, sedangkan kepekaan tanah terhadap erosi yang menunjukkan mudah dan
tidaknya tanah mengalami erosi ditentukan oleh berbagai sifat fisika tanah. Setiap
perbedaan sifat tanah akan menyebabkan perbedaan sifat tanah akan menyebabkan
perbedaan nilai kepekaan erosi. Menurut Hardjowigeno (2007) berbagai tipe tanah
mempunyai kepekaan yang berbeda-beda terhadap erosi. Kepekaan tanah yaitu
mudah atau tidaknya tanah tererosi merupakan fungsi dari berbagai interaksi sifatsifat fisik dan kimia tanah. Sifat tanah yang penting pengaruhnya terhadap permukaan
erosi terhadap kepekaan erosi dan limpasan permukaan adalah tekstur, struktur,
kandungan bahan organik, kesarangan, kapasitas lapang, tebal dan sifat horizon serta
kadar air tanah
Arsyad (1989) menyatakan bahwa penggunaan lahan dapat bersifat membangun
dapat juga bersifat merusak. Manusia dapat mengubah tanah menjadi lebih baik atau
lebih buruk, tergantung dari cara penggunaan dan pengolahannya. Pola tataguna
lahan merupakan pencerminan kegiatan manusia di atasnya. Pengusahaan lahan

13

tergantung pada tingkat penggunaan teknologi, tingkat pendapatan, hubungan antara


masukan dan keluaran pertanian, pendidikan, penyuluhan, pemilikan lahan, dan
penguasaan lahan. Oleh karena itu Penelitian yang dilakukan oleh Andreawan et al.
(2015) menunjukkan bahwa perlakuan pengolahan tanah oleh manusia sangat nyata
mempengaruhi erosi yang terjadi, dimana pengolahan tanah yang salah dapat
memperbesar laju erosi yang terjadi.
Metode USLE yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978)
digunakan untuk menghitung laju erosi yang terjadi dalam suatu penggunaan lahan
tertentu. Metode yang umum digunakan dalam prediksi erosi yaitu metode USLE,
dengan persamaan sebagai berikut :
A=R.K.L.S.C.P
Dimana :
A
R
K
L
S
C
P

= banyaknya tanah tererosi (ton/ha/tahun)


= faktor curah hujan dan aliran permukaan (ton/ha/cm)
= faktor erodibilitas tanah
= faktor panjang lereng (m)
= faktor kemiringan lereng (%)
= faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman
= faktor tindakan-tindakan khusus Konservasi
1. Faktor Erosivitas Hujan (R)
Menurut Komarudin (2008), nilai faktor R dalam USLE adalah jumlah satuan

indeks erosivitas hujan. Indeks erosivitas curah hujan ditetapkan berdasarkan ciriciri hujan di berbagai lokasi di Amerika Serikat dan negara lain, yang dinilai
berkaitan erat dengan laju erosi tanah yaitu energi kinetik hujan (Ek) dan intensitas

14

hujan maksimum dalam 30 menit (I30). Metode penghitungan erosivitas curah hujan
tergantung pada jenis data curah hujan yang tersedia. Disarankan agar
menggunakan rumus Bols jika diketahui jumlah curah hujan bulanan rata-rata,
jumlah hari hujan dalam bulan tertentu, dan curah hujan harian rata-rata maksimal
pada bulan tertentu.
Penelitian yang dilakukan oleh Fitria dan Arif (2010) pada lahan pertanian
di hulu DAS Jeneberag, yang menggunakan rumus USLE dalam memperkirakan
laju erosi, menunjukkan bahwa tingkat curah hujan tertinggi yaitu stasiun
Paladingan dengan nilai erosivitas hujan 2417,72 kg/ha dan tingkat curah hujan
terendah yaitu stasiun Tinggi Moncong/Malino dengan nilai erosivitas 1325,24
kg/ha. Intensitas hujan yang cukup tinggi akan menimbulkan erosi pada suatu lahan
yang ada karena tetesan butiranbutiran hujan yang jatuh ke atas tanah
mengakibatkan pecahnya agregat agregat tanah yang diakibatkan oleh tetesan
butiran hujan yang memiliki energi kinetik yang cukup besar.
Bols (1978) telah mengembangkan persamaan penduga erosivitas hujan
berdasarkan data curah hujan rata-rata bulanan, jumlah hari hujan rata-rata bulanan,
dan rata-rata curah hujan maksimum dalam 24 jam dalam bulan yang bersangkutan
dengan persamaan sebagai berikut ini:
R=

6,119(Rain)1,21 (Days)-0,47 (Max P)0,53

Dimana:
R

: Erosivitas hujan (ton/ha/cm)

Rain

: Curah hujan rata-rata bulanan (mm)

15

Days : jumlah hari hujan rata-rata per bulan (Hari)


Max P : rata rata curah hujan maksimum dalam 24 jam pada bulan yang
bersangkutan (mm)
2. Faktor Erodibilitas Tanah ( K )
Faktor erodibilitas tanah (K) menunjukkan resistensi partikel tanah terhadap
pengelupasan dan transportasi partikel-partikel tanah tersebut oleh adanya energi
kinetik air hujan. Meskipun besarnya resistensi tersebut di atas akan bergantung pada
topografi, kemiringan lereng, dan besarnya gangguan. Tanah yang mempunyai
erodibilitas rendah mungkin mengalami erosi yang berat jika tanah tersebut terdapat
pada lereng curam dan panjang. Sebaliknya tanah yang mempunyai erodibilitas
tinggi, mungkin memperlihatkan gejala erosi ringan atau tidak sama sekali bila
terdapat pada lereng landai, penutupan vegetasi baik, curah hujan berintensitas
rendah. Menurut Veiche (2002) pada prinsipnya sifat-sifat tanah yang mempengaruhi
erodibilitas tanah adalah sifat-sifat tanah yang mempengaruhi laju infiltrasi,
permeabilitas dan kapasitas tanah menahan air dan sifat-sifat tanah yang
mempengaruhi ketahanan struktur tanah terhadap dispersi, dan pengikisan oleh butirbutir air hujan dan aliran permukaan. Sifat-sifat tanah tersebut mencakup tekstur,
struktur, bahan organik, kedalaman tanah, sifat lapisan tanah dan tingkat kesuburan
tanah.
Penelitian yang dilakukan oleh Fitria dan Arif (2010) di hulu DAS Jeneberang
menunjukkan bahwa, jenis yang terdapat pada hulu DAS Jeneberang adalah tanah

16

andosol dengan nilai erodibilitas 0,28 dengan kriteria erodibilitas sedang, sehingga
cukup tahan terhadap erosi. Hasil penelitian yang diperoleh oleh Rusnam (2013) di
sub DAS Batang Kandis di distrik Koto Tangah Kota Padang, menunjukkan bahwa
terdapat 3 jenis tanah di Sub DAS Batang Kandis didominasi jenis tanah kambisol
dengan luasan 4503,39 ha dengan nilai erodibilitas 0,23 kemudian diikuti oleh jenis
tanah glei humus 600,96 ha dengan nilai erodibilitas 0,26 dengan kriteria erodibilitas
sedang sehingga cukup tahan terhadap erosi dan jenis tanah regosol 402,21 ha dengan
nilai erodibilitas tanah (K) sebesar 0,4 dengan kriteria erodibilitas agak tinggi
sehingga peka terhadap erosi. Disisi lain penelitian yang dilakukan oleh Suwarna dan
Arief (2009) pada lahan hutan yang ada menunjukkan bahwa jenis tanah podsolik
merah kuning pada daerah hutan memiliki laju erosi 27,81 ton/ha karena nilai
erodibilitas yang tinggi. Jadi semakin tinggi nilai erodibilitas tanah maka semakin
besar pula kemampuan tanah mengalami erosi.
Wischmeir dan Smith (1978), telah mengembangkan metode untuk penetapan
nilai faktor erodibilitas tanah (K) berdasarkan sifat fisik tanah. Berikut ini bebebrapa
sifat fisik tanah yang digunakan dalam penetapan nilai erodibilitas tanah (K) yaitu:
persentase pasir (ukuran 2,00 0,10 mm), pasir sangat halus (0,10 - 0,05 mm), debu
(0,05 0,002 mm), liat (<0,002 mm), bahan organik, struktur tanah dan permeabilitas
tanah.
Untuk menentukan nilai erodibilitas tanah (K) digunakan peramaan berikut:
100 K={2,1 M 1,14 (10-4 (12- a) +3,25(b2)+2,5(c3)}1,292
Dimana :

17

a : kandungan bahan organik (%)


b : harkat struktur tanah
c : harkat permeabilitas tanah
Sebelum bisa menentukan nilai erodibilitas tanah, maka terlebih dahulu perlu
diketahui besarnya nilai M, Untuk menentukan bearnya nilai M yang belum
diketahui, maka digunakan persamaan berikut:
M = (% silt + % very fine sand) x (100 - % clay)

3. Faktor Panjang Lereng (L) dan Kemiringan Lereng (S)


Dalam Purwowidodo (1999) disebutkan bahwa, faktor-faktor topografi
merupakan panjang lereng dan faktor kemiringan dalam USLE dapat ditetapkan
secara terpisah sebagai nilai faktor L dan S, 9999namun untuk berbagai pekerjaan
lapangan yang lebih teknis faktor-faktor tersebut disatukan menjadi faktor LS. Nilai
faktor L adalah perbandingan antara laju erosi tanah dari suatu lahan dengan panjang
lereng tertentu dengan nilai laju erosi tanah dari suatu lahan dengan panjang lereng di
petak standar (22,1 m). Nilai faktor S adalah perbandingan antara laju erosi tanah dari
suatu lahan dengan kemiringan tertentu dan laju erosi tanah dari lahan dengan
kemiringan lereng di petak standar (9%).
Penelitian yang dilakukan oleh Rusdi (2013) di kecamatan Lembah Seulawah
Kabupaten Aceh Besar, menunjukkan nilai faktor panjang lereng dan kemiringan
lereng (LS) pada masing masing tipe penggunaan lahan yang ditentukan
berdasarkan kelas kemiringan lereng dan faktor panjang dan kemiringan lereng (LS)

18

dengan hasil yaitu tipe penggunaan lahan 1 dengan kemiringan 40% maka nilai LS
yang diperoleh sebesar 30,4. Sedangkan nilai LS terendah dijumpai pada tipe
penggunaan lahan 5 dan 6 dengan kemiringan lereng sebesar 0-3 %, dengan nilai LS
yaitu

sebesar 0,55. Jadi semakin besar kelas kemiringan dan panjang lereng

merupakan faktor yang mempengaruhi besar kecilnya erosi yang terjadi pada suatu
unit lahan
4. Faktor Pengelolaan Tanaman (C)
Faktor C menunjukkan keseluruhan pengaruh dari vegetasi, serasah, keadaan
permukaan tanah, dan pengelolaan lahan terhadap besarnya tanah yang tererosi.
Oleh karenanya besarnya angka C tidak selalu sama dalam kurun waktu satu tahun.
Asdak (2010) menyatakan bahwa ada sembilan parameter yang ditentukan sebagai
faktor penentu besar nilai C, yaitu konsolidasi tanah, sisa-sisa tanaman, tajuk
vegetasi, sistem perakaran, efek sisa perakaran dari kegiatan pengelolaan lahan,
faktor kontur, kekasaran permukaan tanah, gulma dan rumput-rumputan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurmansyah et al. (2007) di kawasan
wisata Kaliurang, menunjukkan bahwa nilai korelasi vegetasi dan tindakan
konservasi terhadap erosi sebesar 0,367, sehingga dapat memperkecil terjadinya
erosi. Namun disisi lain penelitian yang dilakukan oleh Ispriyanto et al. (2001)
Tasikmalaya, Jawa Barat menunjukkan bahwa penebangan hutan yang diremajakan
kembali menggunakan sisitem tumpang sari mengakibatkan peningkatan laju erosi
sebesar 0,182 ton/ha/tahun.
Pada dasarnya penentuan nilai C sangat rumit, karena harus mempertimbangkan
sifat perlindungan tanaman terhadap erosivitas hujan. Sifat perlindungan tanaman

19

harus dinilai sejak dari pengolahan tanah hingga panen, bahkan hingga penanaman
berikutnya. Selain itu, penyebaran hujan selama satu tahun juga perlu memperoleh
perhatian. Untuk mendapatkan nilai C tanpa mengurangi ketelitian prediksi erosi
yang hendak dicapai dapat ditempuh cara dengan merujuk publikasi yang telah ada
sesuai dengan kondisi Indonesia. Bila untuk sebidang lahan terdapat rotasi tanaman
atau cara pengelolaan tanaman yang tidak tercantum dalam publikasi yang dirujuk,
maka dapat ditempuh dengan memperhitungkan kembali nilai C tersebut berdasarkan
nilai-nilai C pada publikasi rujukan.
5. Faktor Pengelolaan Tanah (P)
Purwowidodo (1999) menjelaskan bahwa nilai faktor tindakan konservasi tanah
atau nilai faktor P dalam USLE adalah perbandingan nilai laju erosi tanah dari suatu
lahan yang memperoleh tindakan konservasi tertentu terhadap laju erosi tanah lahan
tersebut jika diolah mengikuti arah kemiringan lahan. Menurut Arsyad (1989)
penerapan teknik konservasi di lapangan dilakukan untuk melindungi tanah dan
tanaman dari bahaya erosi, sehingga faktor konservasi atau pengelolaan tanah (P)
biasanya sudah menjadi suatu nilai dengan faktor pengelolaan tanaman (C) atau
menjadi (CP).

2.3 Perencanaan Konservasi Tanah dan Air


Konservasi tanah dan air merupakan suatu upaya untuk mempertahankan,
memperbaiki, dan meningkatkan daya guna lahan sesuai dengan kelas kemampuan

20

lahan dan bertujuan untuk mengurangi besarnya erosi sampai tingkat yang lebih kecil
dari laju erosi yang dapat ditoleransi. Menurut Sukresno (1994), laju erosi dapat
dikendalikan dengan adanya bangunan konservasi tanah dan air. Hammer (1981),
menyebutkan bahwa besarnya erosi pada masing masing unit lahan jika
dibandingkan dengan erosi yang dapat ditoleransikan, apabila prediksi erosi (A) lebih
besar dari erosi yang ditoleransikan (T), maka perlu dilakukan perencanaan
konservasi tanah dan air. Perencanaan konservasi tanah dan air dilakukan dengan
memperhatikan nilai dari faktor pengelolaan tanaman (C) dan faktor pengelolaan
tanah (P). Alternatif nilai dari faktor pengelolaan tanaman (C) dan faktor pengelolaan
tanah (P) dipilih, sehingga erosi yang terjadi lebih rendah dari erosi yang dapat
ditoleransikan.
Laju erosi yang dapat ditoleransi (tolerable soil loss: TSL) adalah laju erosi
terbesar yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan, agar terpelihara kedalaman
tanah yang cukup bagi pertumbuhan tanaman sehingga memungkinkan tercapainya
produktivitas tinggi secara lestari (Banuwa, 2013). Adanya erosi yang ditoleransikan
dilakukan untuk mengetahui seberapa besar laju erosi standar yang terjadi pada suatu
lahan. Apabila laju erosi aktual telah ditetapkan maka dapat diperkirakan nilai erosi
yang diperbolehkan dan dapat ditentukan kebijakan atau langkah tindakan konservasi
tanah yang dapat dilakukan agar tidak terjadi kerusakan tanah sehingga tanah yang
digunakan menjadi produktif dan lestari (Arsyad,1989)
Penelitian yang dilakukan oleh Ardiansyah et al. (2013) di kawasan hilir DAS
Padang, menunjukkan bahwa besarnya erosi yang diperbolehkan pada lokasi

21

penelitian yaitu sebesar 28.250 ton/ha/tahun, dan nilai erosi aktual tertinggi berada
pada lahan yang ditanami karet yaitu sebesar 374.298 ton/ha/tahun pada keadaan
topografi yang bergelombang.
Menurut Thompson 1957 (dalam Banuwa, 2013) untuk menentukan nilai laju
erosi yang dapat ditoleransi sangat ditentukan oleh:
a. Kedalaman Tanah
Pada tanah dangkal nilai laju erosi yang dapat ditoleransi harus rendah
bahkan 0, karena pada tanah tanah dangkal bila nilai laju erosi yang dapat
ditoleransi tinggi maka maka umur guna tanah akan singkat, lebih lebih bila
langsung di atas batuan sehingga produktivitas tinggi dan lestari sulit untuk
dipertahankan.
b. Permeabilitas Lapisan Bawah
Apabila tanah lapisan bawah lebih parmaeabel maka nilai laju erosi yang
dapat ditoleransi dapat lebih besar daripada tanah yang kedap air, hal ini
berhubungan dengan kecepatan pementukan tanah pada areal tersebut
c. Kondisi substratum
Apabila kondisi substratum tidak terkonsolidasi (sudah mengalami
pelapukan) maka proses pembentukan tanah cepat, sehingga nilai laju erosi
yang dapat ditoleransi dapat lebih besar daripada substratum yang
terkonsolidasi.
Dalam menghitung erosi yang diperbolehkan (T), dimana Hammer (1981)
menggunakan konsep kedalaman ekivalen dan umur guna tanah, dengan
memperhatikan kedalaman tanah minimum dan kecepatan proses pembentukan tanah
dengan persamaan sebagai berikut:

22

T=

Nilai faktor kedalaman (mm) x kedalaman evektif

Umur guna (tahun)


Dimana nilai faktor kedalaman tanah ditentukan berdasarkan tabel nilai faktor
kedalaman bebebrapa sub ode tanah (Arsyad,1989 ) (Lampiran 3 ).
Perencanaan konservasi tanah dan air berdasarkan nilai (CP) maksimum
diperoleh dengan persamaan :

CP Maksimum
Dimana :
CP Maksimum
T
R
K
LS

T
R x K x LS

: Nilai CP terbesar digunakan untuk mengurangi erosi


: Erosi yang dapat ditoleransi (ton/ha/tahun)
: Erosivitas hujan (ton/ha/cm)
: Erodibilitas tanah
: Panjang (m) dan kemiringan lereng (%)

Dengan menggunakan nilai faktor pengelolaan tanaman dan faktor


pengelolaan tanah, maka beberapa alternatif kombinasi nilai CP yang sama atau lebih
kecil dari nilai CP maksimum dapat dipilih. Nilai faktor C untuk berbagai jenis
tanaman dan pengelolaan tanam serta nilai P untuk berbagai tindakan konservasi
tanah di Indonesia (Lampiran 1 dan 2).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Puspaningsih (1999) di DAS Cisadane
Kabupaten Bogor menunjukkan bahwa, untuk mengurangi laju erosi dapat
diupayakan pola usaha tani tumpangsari tanaman pangan dan tanaman tahunan serta
sistem usaha tani konservasi teras bangku atau teras gulud dengan konstruksi baik.
Pada lereng < 15% proporsi tanaman pada bidang olah 75 % dengan tanaman pangan
dan 25 % dengan tanaman tahunan. Pada lereng 15-25 % , proporsi tanaman pada

23

bidang olah 50 % dengan tanaman pangan dan 50% dengan tanaman tahunan. Pada
lereng 25-45%, proporsi tanaman pada bidang olah 25 % dengan tanaman pangan dan
75% dengan tanaman tahunan. Penelitian yang dilakukan Henny et al. ( 2011) di
Desa Kebun Baru di hulu DAS Merao, Kabupaten Kerinci Jambi, menunjukkan
bahwa penanaman kentang pada guludan memotong lereng 15 % dengan jarak 4,5
meter dapat mengendalikan erosi dan kehilangan hara.
2.4 Klasifikasi Kemampuan Lahan
Menurut Arsyad (1989) klasifikasi kemampuan lahan merupakan penilaian
lahan secara sistematik dan mengelompokannya ke dalam beberapa katagori
berdasarkan

sifat-sifat

yang

merupakan

potensi

dan

penghambat

dalam

penggunaannya. Adapun tujuan dari klasifikasi kemampuan lahan ini menurut


Sutanto, 2005 (dalam Adnyana dan As-syakur, 2011) yaitu memberikan arahan
perencanaan dan pemanfaatan sumberdaya dan lingkungan yang sesuai dengan
potensinya serta berkelanjutan. Menurut Hockensmith dan Steele, 1943 (dalam
Murtianto, 2013) klasifikasi kemampuan lahan dapat diterapkan sebagai metode
perencanaan penggunaan lahan.
Sistem klasifikasi kemampuan lahan yang banyak dipakai di Indonesia
dikemukakan oleh Hockensmith dan Steele 1943 (dalam Murtianto, 2013), menurut
sistem ini lahan dikelompokan dalam tiga kategori umum yaitu kelas, subkelas dan
satuan kemampuan (capability units) atau satuan pengelompokan (management unit).
Pengelompokan di dalam kelas didasarkan atas intensitas faktor penghambat. Sys et

24

al. (1991) menyatakan bahwa kelas kemampuan adalah kelompok unit lahan yang
memiliki tingkat pembatas atau penghambat (degree of limitation) yang sama jika
digunakan untuk pertanian yang umum, dan lahan dikelompokan dalam delapan kelas
yang ditandai dengan huruf romawi dari I sampai VIII, dan ancaman kerusakan atau
hambatan meningkat berturut-turut dari Kelas I sampai kelas VIII.
Penelitian yang dilakukan oleh Suyana dan Muliawati (2014) di wilayah Sub
DAS Serang Daerah Tangkapan Waduk Kedung Ombo, menunjukkan bahwa
kelasifikasi kemampuan lahan pada daerah penelitian memiliki kelas kemampuan
lahan yang didominasi oleh kelas II (40,6 % ) dan kelas III (38, 9 %), sedangkan yang
paling terkecil adalah kelas VI yang hanya mencapai 1,7 % dari luas lahan
keseluruhan yaitu 37.474,10 ha dengan faktor penghambat utama yaitu kemiringan
lereng dan kedalaman tanah. Namun penelitian yang dilakukan oleh Manuputty dan
Talakua (2014) di DAS Mai Tina Kabupaten Buru Selatan Provinsi Maluku,
menunjukkan bahwa kelas kemampuan lahan yang memiliki luas paling besar adalah
kelas IV dengan luasan sebesar 24.636 ha atau 51,19 % dan kelas kemampuan lahan
yang memiliki luas paling kecil adalah kelas V dengan luasan sebesar 2.944,75 ha
atau 6,12%, dengan faktor penghambat utama didominasi oleh oleh lereng yang
bergelombang sampai dengan yang sangat curam dan tingkat erosi yang berat. Jadi
klasifikasi kemampuan lahan pada suatu areal atau daerah sangat ditentukan oleh
faktor penghambat seperti kemiringan lereng dan tingkat erosi.

25

2.5 Arahan Penggunaan Lahan


Food and Agriculture Organization (1976) mendefinisikan tentang satuan
lahan, yaitu merupakan satuan bentang alam yang digambarkan serta dipetakan atas
dasar sifat fisik atau karakteristik lahan tertentu. Arahan penggunaan lahan dapat
dibagi menjadi tiga kawasan yaitu kawasan lindung, kawasan penyangga dan
kawasan budidaya. Berdasarkan Undang Undang Republik Indonesia No. 26 tahun
2007 menyebutkan bahwa kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan
fungsi utama yaitu melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencangkup
sumber daya alam dan sumber daya buatan. Namun menurut Nugraha et al. (2006)
menyatakan bahwa fungsi utama kawasan lindung yaitu sebagai perlindungan sistem
penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan
erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Huzaini dan Rahayau (2013) di
Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang, menunjukkan hasil dimana penggunaan
kawasan yang paling luas adalah diperuntukan untuk kawasan budidaya yang
mencapai luas 3.081,76 hektar atau mencapai 50 % dari seluruh kawasan yang ada.
Hasil yang hampir sama juga didapatkan oleh Ardi dan Rahayu (2013) setelah
melakukan penelitian di kawasan Sub DAS Rawapening, yaitu penggunaan kawasan
yang paling luas adalah untuk kawasan budidaya yang mencapai persentase 48, 35 %
atau seluas 13.216,97 hektar. Penelitian yang dilakukan oleh Soraya dan Fambayaun
(2010) di Sub DAS Kedungwulu Kabupaten Blora, menunjukkan bahwa arahan
untuk penggunaan lahan direkomendasikan dimana untuk kawasan lindung sebesar
12,85 ha, hutan produksi dengan luas 583,90 ha, hutan rakyat 15,22 ha. Penelitian

26

yang dilakukan oleh Karsun et al. 2015 di wilayah Sub DAS Telagawaja Provinsi
Bali menunjukkan bahwa arahan penggunaan lahan diperuntukan sebagai kawasan
lindung seluas 7.337, 28 (66,01%) dan untuk kawasan penyangga seluas 3.778,31
(33,99%).Dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemanfaatan sebuah lahan
disamping dimanfaatkan untuk kawasan budidaya tetapi juga harus ada
pemanfaatannya untuk kawasan pelindung dan penyangga.
Menurut Nugraha et al. (2006), kawasan penyangga adalah kawasan yang
ditetapkan untuk menopang keberadaan kawasan lindung sehingga fungsi
lindungnya tetap terjaga sehingga kawasan penyangga merupakan batas antara
kawasan lindung dan kawasan budidaya, dan kawasan budidaya adalah kawasan yan
difungsikan untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam,
sumberdaya manusia dan sumber daya buatan. Kawasan budidaya dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu kawasan budidaya tahunan dan kawasan budidaya semusim.
Berdasarkan SK Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/8/1981 kriteria arahan
penggunaan lahan diuraikan sebagai berikut :
A. Lahan di Luar Kawasan Hutan
a. Kawasan Lindung
Jumlah skor dari ketiga faktor fisik pada satuan lahan sama atau lebih besar
dari 175 atau atau memenuhi kriteria di bawah ini:
1. Mempunyai kemiringan lereng > 45 %
2. Merupakan kawasan yang mempunyai jenis tanah yang sangat peka
terhadap erosi (regosol, litosol, dan renzina) dan memiliki kemiringan
lereng > 15 %

27

3. Merupakan jalur pengaman aliran sungai sekurang kurangnya 100 meter


di kanan kiri alur sungai
4. Merupakan pelindung mata air yaitu 200 meter dari sumber mata air
5. Berada pada ketinggian > 2000 meter di atas permukaan laut
6. Guna keperluan atau kepentingan khusus ditetapkan oleh Menteri
Kehutanan sebagai hutan lindung
b. Kawasan Penyangga
Jumlah skor dari ketiga faktor fisik pada satuan lahan berkisar antara 125 174
atau memenuhi salah satu dari kreteria di bawah ini:
1. Keadaan fisik wilayah memungkinkan untuk dilakukan budidaya secara
ekonomis
2. Lokasinya secara ekonomis mudah dikembangkan sebagai kawasan
penyangga
3. Tidak merugikan dari segi ekologi ataupun lingkungan hudup apabila
dikembangkan sebagai kawasan penyangga
c. Kawasan Budidaya Tanaman Tahunan
Pada kawasan budidaya tanaman tahunan jumlah skor fisik pada satuan lahan
sama atau kurang dari 124 dan sesuai dikembangkan untuk usaha tani tahunan, di
samping itu kawasan ini harus memenuhi kriteria umum untuk kawasan
penyangga.
d. Kawasan Budidaya Tanaman Semusim
Jumlah skor dari ketiga faktor fisik pada satuan luas untuk satuan luas pada
kawasan budidaya tanaman semusim sama dengan penetapan kawasan budidaya
tanaman tahunan serta terletak di tanam milik, tanah adat atau desa, dan tanah
negara yang seharusnya dikembangkan untuk usaha tani tanaman semusim.
B. Lahan di Dalam Kawasan Hutan
a. Hutan Lindung
Jumlah skor dari ketiga faktor fisik pada satuan lahan untuk hutan lundung
sama atau lebih besar dari 175, sehingga kawasan tersebut merupakan kawasan

28

yang dijadikan dan dipertahankan sebagai kawasan hutan lindung atau


memenuhi salah salah satu kriteria di bawah ini :
1. Mempunyai kemiringan lereng > 45 %
2. Merupakan kawasan yang mempunyai jenis tanah yang sangat peka
terhadap erosi (regosol, organosol dan renzena) dan memiliki kemiringan
lereng >15 %.
3. Merupakan pelindung mata air yaitu 200 meter dari sumber mata air
4. Merupakan jalur pengaman aliran sungai sekurang kurangnya 100 meter
di kanan kiri alur sungai
5. Berada pada ketinggian > 2000 meter di atas permukaan laut
6. Guna keperluan atau kepentingan khusus ditetapkan oleh Menteri
Kehutanan sebagai hutan lindung
b. Hutan Produksi
Hutan produksi dibedakan menjadi dua jenis yaitu hutan produksi
penebangan terbatas dengan jumlah skor ketiga faktor fisik 125 174 dan hutan
produksi bebas dengan jumlah skor ketiga faktor fisik sama atau kurang dari
124 di luar kawasan hutan suaka alam dan hutan konservasi lainya.
c. Hutan Suaka Alam dan Hutan Wisata
Penetapan hutan suaka alam dan hutan wisata tidak berdasarkan nilai skor
dari ketiga faktor fisik pada suatu unit lahan melainkan lebih diarahkan kepada
kepentingan kebudayaan, ilmu pengetahuan, pelestarian plasma nutfah dan
rekreasi.

BAB III
KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN
3.1. Kerangka Berpikir

29

Sumber daya alam yang ada di muka bumi memiliki berbagai macam bentuk
salah satunya adalah bentang alam. Bentang alam tersebut memiliki karakteristik dan
potensi yang berbeda beda pula. Salah satu bentang lahan yang memiliki potensi
dengan karakteristik yang berbeda beda yang ada di permukaan bumi adalah lahan.
Bertambahnya jumlah manusia dan semakin tingginya kebutuhan manusia akan
berdampak pada kuantitas penggunaan dan pemanfaatan lahan yang ada. Apabila
manusia tidak memperhatikan kaidah kaidah lingkungan maka potensi kerusakan
lingkungan berpeluang terjadi. Salah satu dari kerusakan lingkungan terkait dengan
penggunaan atau pemanfaatan lahan adalah erosi. Erosi ini terjadi akaibat tidak
seimbangnya antara penggunaan sumberdaya lahan dengan tindakan konservasi tanah
dan air yang dilakukan sehingga dapat mengakibatakan degradasi lingkungan berupa
erosi. Oleh sebab itu salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencegah dan
mengurangi kerusakan lingkungan adalah melalui perediksi erosi dengan metode
USLE yang telah dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978). Dengan
diketahuinya erosi yang telah terjadi maka akan dapat digunakan sebagai salah satu
unsur untuk menentukan klasifikasi kemampuan lahan. Menurut Hockensmith dan
Steele, 1943 (dalam Murtianto, 2013) klasifikasi kemampuan lahan dapat diterapkan
sebagai metode perencanaan penggunaan lahan. Dari adanya klasifikasifikasi
kemampuan lahan yang ada, sehingga nantinya dapat diusahakan arahan penggunaan
lahan dan perencanaan konservasi tanah dan air yang sesuai untuk pemanfaatannya.
Dari adanya arahan penggunaan lahan diharapkan nantinya dapat mengurangi atau
mencegah erosi yang terjadi khususnya pada lahan yang memiliki tofografi yang

30

terjal dan intensitas hujan yang tinggi. Bagan kerangka berpikir dalam penelitian ini
disajikan dalam Gambar 3.1.

Penggunaan lahan tanpa kaidah


konservasi
tanah dan air yang memadai

Kerusakan lahan
(erosi)

Tindakan pencegahan dan


pengurangan kerusakan lahan

Prediksi erosi

Klasifikasi
kemampuan lahan

Arahan
penggunaan lahan

Arahan penggunaan lahan dan perencanaan konservasi


tanah dan air
Gambar 3.1.
Bagan kerangka berpikir
3.2. Konsep Penelitian
Dalam penelitian ini untuk memprediksi erosi menggunakan rumusan USLE
yang telah dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978). Menentukan besarnya
masing masing nilai dari rumusan prediksi erosi dari rumusan USLE maka
diperlukan analisis beberapa faktor yang mempengaruhi rumusan USLE tersebut
antara lain, yaitu erosivitas hujan (R), erodibilitas tanah (K), panjang dan kemiringan
lereng (LS), pengelolaan tanaman (C) dan pengelolaan tanah (P). Dari pengaruh

31

kelima faktor tersebut maka akan diperoleh nilai dari rumusan USLE untuk
menentukan seberapa besar dan kelas bahaya erosi yang terjadi, yang selanjutnya
digunakan dalam penentuan perencanaan konservasi tanah dan air.
Klasifikasi kemampuan lahan menggunakan metode Arsyad (1989) yaitu
dengan memperhitungkan nilai pada masing masing faktor pembatas, seperti faktor
pembatas kemiringan lereng, tingkat bahaya erosi, kedalaman efektif, tekstur,
permeabilitas, drainase, batuan dan ancaman banjir yang selanjutnya disesuaikan
dengan tabel klasifikasi kemampuan lahan yang ada, sehingga diperoleh
pengkelasan kemampuan lahan dari I VIII. Arahan penggunaan lahan
menggunakan metode skoring yang berdasarkan atas SK Menteri Pertanian Nomor
837/Kpts/Um/11/1980 dan Nomor 683/Kpts/Um/8/1981. Penggunaan metode ini
dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor lereng lapangan, faktor kepekaan jenis
tanah terhadap erosi dan faktor intensitas hujan harian rata-rata. Dari penjumlahan
ketiga faktor tersebut untuk di luar kawasan hutan akan menentukan nilai dari
kawasan lindung dengan skor > 175, kawasan penyangga dengan skor antara 125
174, dan kawasan budidaya tahunan dan semusim dengan skor < 124, sedangkan
untuk di dalam kawasan hutan akan menentukan nilai dari kawasan hutan lindung
dengan skor > 175, hutan produksi dengan skor antara 125 174 dan hutan suaka
alam dan wisata ditetapkan berdasarkan kepentingan kebudayaan, ilmu pengetahuan,
pelestarian plasma nutfah dan rekreasi. Berikut di bawah ini bagan konsep penelitian
yang dilakukan disajikan pada Gambar 3.2.

32

Gambar 3.2

Penggunaan lahan

Tindakan pencegahan dan pengurangan kerusakan

tanpa penerapan kaidah

lahan

konservasi tanah dan air


yang memadai

Prediksi erosi dan


konservasi tanah dan air

Klasifikasi
kemampuan
lahan

Arahan
penggunaan
lahan

33

Prediksi erosi dengan metode

Metode Arsyad (1989)

Metode skoring
zonasi kawasan

USLE
a. Faktor erosivitas hujan (R)
b. Faktor erodibilitas tanah (K)
c. Faktor panjang dan
kemiringan lereng (LS),
d. Faktor pengelolaan tanaman
(C)
e. Faktor Pengelolaan tanah
(P).

Faktor pembatas :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

Kemiringan lereng
Kepekaan erosi
Tingkat bahaya erosi
Kedalaman efektif
Tekstur
Permeabilitas
Drainase
Batuan
Ancaman banjir

Luar
kawasan
hutan

Dalam
kawasan
hutan

Arahan penggunaan lahan dan


perencanaan konservasi tanah dan air
Gambar 3.2. Konsep Penelitian
BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian


Rancangan penelitaian yang digunakan adalah rancangan penelitian kuantitatif,
dimana

dalam

penelitian

pengambilan

sampel

pada

unit

lahan

dengan

mempertimbangkan kemiringan lereng, jenis tanah, pengelolaan dan jenis tanaman

34

yang ada pada unit lahan yang sesuai. Metode USLE digunakan untuk menentukan
besarnya erosi yang terjadi. Metode untuk menentukan klasifikasi kemempuan lahan
digunakan metode Arsyad (1989), yaitu dengan memperhitungkan nilai faktor
pembatas seperti kemiringan lereng, bahaya erosi, kepekaan erosi, kedalaman efektif,
tekstur, permeabilitas, drainase, batuan, ancaman banjir dan menyesuaikannya dengan
kriteria klasifikasi kemampuan lahan (Lampiran 4). Metode arahan penggunaan lahan
ditentukan dengan cara skoring pada kawasan hutan dan di luar kawasan hutan.
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitaian
Penelitian ini dilaksanakan di Daerah Aliran Sungai Pakerisan yaitu dari bulan
Januari Maret 2016. Pemilihan lokasi ini didasarkan atas Daerah Aliran Sungai
Pakerisan memiliki penggunaan lahan yang cukup bervariatif dan jumlah curah hujan
yang cukup berfluktuasi. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 4.1.

4.3. Sumber Data


34
Sumber data dalam penelitaian ini dibedakan menjadi dua sumber data yaitu :
a. Data primer
Data primer mencangkup:
1. Data hasil pengambilan sampel dari populasi yang ada pada unit lahan
untuk mentukan karakteristik tanah seperti tekstur, struktur, bahan organik
dan berat volume tanah.
2. Data kedalaman tanah, diperoleh dengan cara mengebor kedalam tanah

35

3. Data panjang dan kemiringan lereng diukur langsung dilapangan


4. Data jenis tanaman dan pengelolaanya diukur secara langsung di lapangan
b. Data Sekunder
Data sekunder mencangkup:
1. Data curah hujan yang digunakan untuk menghitung erosivitas hujan akan
diperoleh pada stasiun pengamatan curah hujan yang ada di Kecamatan
Baturiti yaitu stasiun pengamat curah hujan Baturiti dan stasiun
penghamat curah hujan Candikuning.
2. Kemiringan lereng, jenis tanah, dan penutupan vegetasi diperoleh dari peta
topografi, peta jenis tanah dan peta penggunaan lahan sekala 1 : 70.000
yang diperoleh dari Badan Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten
Tabanan.

4.4.

Bahan dan Instrumen Penelitian


Adapun bahan dan instrumen penelitian yang digunakan yaitu:
Bahan yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan yaitu :
1. Peta administrasi dan topografi DAS Pakerisan yang digunakan sebagai
dasar penentuan lokasi daerah penelitian.
2. Peta penggunaan lahan DAS Pakerisan yang digunakan sebagai dasar
pengambilan sampel tanah.

36

3. Peta kemiringan lereng dan peta jenis tanah DAS Pakerisan yang
digunakan sebagai dasar pengambilan sampel tanah.
4. Data curah hujan DAS Pakerisan yaitu pengamat curah hujan stasiun di
Kabupaten Gianyar dan sekitarnya.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
1. Kompas yang digunakan untuk menentukan lokasi azimut pengambilan
sampel di lapangan.
2. Abney level yang digunakan untuk mengukur kemiringan lereng di lokasi
pengambilan sampel.
3. Bor tanah yang digunakan untuk menentukan kedalam tanah pada masing
masing sampel.
4.

Cangkul digunakan untuk mengabil sampel (tanah) di lokasi penelitian


5. Kantung plastik yang digunakan untuk menyimpan sampel tanah yang
akan dianalisa untuk menentukan struktur, tekstur, permeabilitas, bahan
organik, dan berat volume tanah.
6. Pita ukur digunakan untuk mengukur panjang lereng.
7. Alat tulis yang digunakan untuk mencatat data yang akan diperoleh di
lapangan.

4.5.

Prosedur Penelitian
Kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini yang pertama adalah
mendapatkan peta unit lahan daerah penelitian yaitu dengan menumpangtindihkan
peta jenis tanah, peta kemiringan lereng dan peta penggunaan lahan sehingga

37

didapatakan peta unit lahan. Selanjutnya ditentukan titik sampel yang akan diambil
sesuai dengan peta yang telah ditumpangtindihkan baik itu kemiringan lereng, jenis
tanah dan penggunaan lahan. Setelah pengumpulan data selesai dan data telah
didapatkan maka selanjutnya dilakukan analisis data yang menyangkut prediksi erosi,
klasifikasi kemampuan lahan dan arahan penggunaan lahan dengan metode yang
telah ditentukan. Satuan unit lahan daerah penelitian disajikan pada Tabel 4.1

Tabel 4.1.
Satuan Unit Lahan Daerah Penelitian
KABUPA
TEN
Bangli

KECAMAT
AN
Kintamani

DESA
Batur Tengah
Batur Tengah
Total
Bayunggede
Bayunggede
Total
Sekardadi

No. Unit
Lahan
1
7

Kelas
Lereng
II
II

Bentuk
Lahan
Vulkanik
Vulkanik

8
28

II
I

Vulkanik
Vulkanik

9
18
26
29
30

II
I
I
I
I

Vulkanik
Vulkanik
Vulkanik
Vulkanik
Vulkanik

10
20
23

II
I
I

Vulkanik
Vulkanik
Vulkanik

24

Vulkanik

Sekardadi
Total
JUMLAH
Susut

Penglumbara
n

Penglumbara

Luas
(Ha)
32.58
42.23
74.81
71.96
32.21
104.1
7
61.68
84.27
55.4
97.68
82.99
382.0
2
561
134.5
5
62.55
59.36
135.4
5
391.9

38

n Total
Sulahan

Sulahan Total
Susut

Susut Total
Tiga

11
13
77

II
III
I

Vulkanik
Vulkanik
Vulkanik

16
70
79

II
I
I

Vulkanik
Vulkanik
Vulkanik

19
21

I
I

Vulkanik
Vulkanik

22
27
31

I
I
I

Vulkanik
Vulkanik
Vulkanik

73

Vulkanik

49
56
57
91

I
I
I
I

Vulkanik
Vulkanik
Vulkanik
Fluvial

90
92
93

I
I
I

Fluvial
Fluvial
Fluvial

41

Vulkanik

59

Vulkanik

Tiga Total
JUMLAH
JUMLAH KAB.
BANGLI
Gianyar

Blahbatu

Bedulu
Bedulu Total
Belega

Belega Total
Blahbatuh

Blahbatuh
Total
Bona

Bona Total

1
40.75
64.1
180
284.8
5
43.21
78.23
36.01
157.4
5
95.81
45.48
185.8
1
34.05
95.47
456.6
2
1290.
83
1851.
83
57.45
57.45
51.99
92.17
28.21
89.82
262.1
9
63.92
65.73
34.83
164.4
8
54.15
166.6
2
220.7
7

39

Buruan

Buruan Total
Keramas

Keramas
Total
Medahan
Medahan
Total
Pering

Pering Total
Saba

42
54

I
I

Vulkanik
Vulkanik

62
88

I
I

Vulkanik
Fluvial

96

Fluvial

89

Fluvial

97

Fluvial

84
86
87
99
100

I
I
I
I
I

Fluvial
Fluvial
Fluvial
Fluvial
Fluvial

85

Fluvial

98

Fluvial

44

Vulkanik

58

Vulkanik

47
50

I
I

Vulkanik
Vulkanik

69

Vulkanik

53

Vulkanik

Saba Total
JUMLAH
Gianyar

Abianbase
Abianbase
Total
Bakbakan

Bakbakan
Total
Beng
Beng Total

74.51
54.02
128.5
3
48.73
71.23
304.7
1
424.6
7
47.92
380.3
7
428.2
9
29.99
30.32
39.64
43.48
507.8
651.2
3
36.33
119.5
2
155.8
5
2493.
46
41.97
169.2
6
211.2
3
57.34
97.35
155.3
3
310.0
2
80.65
80.65

40

Bitera

Bitera Total
Gianyar

Gianyar Total
Lebih

Lebih Total
Petak

Petak Total
Petak Kaja
Petak Kaja
Total
Samplangan
Samplangan
Total
Serongga

Serongga
Total
Siangan

Siangan Total
Sumita

35
45

I
I

Vulkanik
Vulkanik

52
75

I
I

Vulkanik
Vulkanik

43
55

I
I

Vulkanik
Vulkanik

61
95

I
I

Vulkanik
Fluvial

33

Vulkanik

66

Vulkanik

38

Vulkanik

64

Vulkanik

51

Vulkanik

40
60

I
I

Vulkanik
Vulkanik

94

Fluvial

34
36
48

I
I
I

Vulkanik
Vulkanik
Vulkanik

67

Vulkanik

74

Vulkanik

68

Vulkanik

33.99
80.49
185.0
8
95.61
395.1
7
176
53.02
229.0
2
61.49
67.32
128.8
1
72.45
152.9
3
225.3
8
35.24
130.4
9
165.7
3
36.84
36.84
40.63
71.74
132.8
6
245.2
3
52.37
49.82
26.07
195.7
9
114.7
5
438.8
53.12

41

83

Vulkanik

65

Vulkanik

2
3

II
II

Vulkanik
Vulkanik

4
5
6
12
14
15
17

II
II
II
III
II
II
I

Vulkanik
Vulkanik
Vulkanik
Vulkanik
Vulkanik
Vulkanik
Vulkanik

25
76

I
I

Vulkanik
Vulkanik

37

Vulkanik

63

Vulkanik

80
81

I
I

Vulkanik
Vulkanik

46
72

I
I

Vulkanik
Vulkanik

82

Vulkanik

32
39

III
I

Vulkanik
Vulkanik

71

Vulkanik

Sumita Total
Suwat
Suwat Total
JUMLAH
Tampak
Siring

Manukaya

Manukaya
Total
Pejeng
Kangin

Pejeng
Kangin Total
Pejeng Kelod

Pejeng Kelod
Total
Tampaksiring

27.16
80.28
254.4
6
254.4
6
2801.
62
27.71
92.67
183.4
7
64.6
86.23
26.9
44.64
40.41
28.87
361.9
3
75.73
1033.
16
37.12
117.9
9
112.6
6
44.1
311.8
7
42.44
27.52
116.0
9
186.0
5
80.97
62.14
222.0
7

42

78

Vulkanik

Tampaksiring
Total
JUMLAH
JUMLAH KAB.
GIANYAR
JUMLAH
KAB.
BANGLI
+
GIANYAR

Rumusan USLE (Universal Soil Loss Equation) digunakan untuk menentukan


prediksi erosi. Dalam menentukan nilai dari rumusan USLE maka terlebih dahulu
perlu dilakukan analisis terhadap faktor faktor yang berpengaruh terhadap rumusan
USLE itu sendiri. Adapun faktor faktor yang mempengaruhi dari rumusan USLE
yaitu faktor erosivitas hujan (R), erodibilitas tanah (K), panjang dan kemiringan
lereng (LS), pengelolaan tanaman (C) dan faktor pengelolaan tanah (P).
Faktor erosivitas hujan (R) merupakan faktor yang mempengaruhi dari
penggunaan rumus USLE, dimana data erosivitas hujan didapat dari data sekunder
yang terdiri dari curah hujan rata rata bulanan, curah hujan rata rata haraian dan
rata rata curah hujan maksimum dalam 24 jam pada bulan yang bersangkutan. Faktor

48.72
413.9
1944.
98
7240.
06

9091.
89

43

erodibilitas tanah (K) didapat dari data primer dengan pengambilan sampel tanah di
lapangan dan dianalisis di labotarium untuk mendapatkan data berupa tekstur tanah,
struktur, permeabilitas, bahan organik, dan berat volume tanah. Faktor panjang dan
kemiringan lereng (LS) ditentukan dari pengamatan dan pengukuran secara langsung
dilapangan. Paktor pengelolaan tanaman (C) dan faktor pengelolaan tanah (P)
ditentukan secara langsung berdasarkan pengamatan secara langsung dilapangan dan
disesuaikan dengan nilai pengelolaan tanaman dan konservasi tanah yang sudah
umum digunakan di Indonesia.
Berdasarkan faktor erosivitas hujan, erodibilitas tanah, panjang dan kemiringan
lereng, pengelolaan tanaman dan pengelolaan tanah tersebut, maka akan didapatkan
nilai dari rumusan USLE, yang selanjutnya digunakan untuk menentukan seberapa
besar erosi yang terjadi dan kelas tingkat bahaya erosi, serta nilai erosi yang
ditoleransikan. Metode USLE dan erosi yang dapat ditoleransikan akan digunakan
untuk mencari nilai dari perencanaan konservasi tanah dan air.
Metode Arsyad (1989) digunakan untuk menentukan klasifikasi kemampuan
lahan. Dalam menentukan klasifikasi kemampuan lahan menggunakan metode
Arsyad (1989) ini dilakukan dengan memperhitungkan nilai dari faktor pembatas
yaitu faktor pembatas kemiringan lereng yaitu ditentukan dari pengamatan langsung
dan data sekunder berupa peta kemiringan lereng yang telah di dapat; faktor pembatas
tingkat bahaya erosi yaitu didapat setelah melakukan analisis data mengenai prediksi
erosi yang diklasifikasikan menurut kelas erosi yang ada; faktor pembatas kedalaman
efektif yang diperoleh dengan pengukuran langsung di lapangan; faktor pembatas

44

faktor pembatas tekstur tanah yang diperoleh dari analisis labotarium sampel tanah
yang telah diambil; faktor pembatas drainase yaitu diperoleh dengan cara pengamatan
langsung; faktor pembatas batuan diperoleh dengan cara pengamatan langsung di
lapangan; faktor pembatas ancaman banjir diperoleh dengan cara pengamatan secara
langsung keadaan lahan di lapangan. Setelah memperhitungkan nilai yang dimiliki
masing masing faktor pembatas maka selanjutnya disesuaikan dengan kriteria
klasifikasi kemampuan lahan yang ada.
Metode skoring digunakan untuk menentukan arahan penggunaan lahan.
Dalam menggunakan metode ini dipertimbangkan tiga faktor, yaitu faktor lereng
lapangan, faktor kepekaan jenis tanah terhadap erosi dan faktor intensitas curah hujan
harian rata-rata. Penjumlahan dari ketiga faktor tersebut akan menentukan arahan
penggunaan lahan dengan kreteria skor untuk masing masing kawasan, yaitu skor
untuk kawasan lindung > 175, kawasan penyangga dengan skor antara 125 174, dan
dan kawasan budidaya tahunan dan semusim dengan skor < 124, sedangkan untuk di
dalam kawasan hutan akan menentukan nilai dari kawasan hutan lindung dengan skor
> 175, hutan produksi dengan skor antara 125 174 dan hutan suaka alam dan wisata
ditetapkan berdasarkan kepentingan kebudayaan, ilmu pengetahuan, pelestarian
plasma nutfah dan rekreasi. Prosedur Penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.3.

Menumpangtindihkan peta:
1. Jenis tanah
2. Kemiringan lereng
3. Peta penggunaan lahan
Prediksi erosi dan perencanaan
konservasi tanah dan air dengan
metode USLE

Peta unit lahan


Penentuan sampel penelitian
Klasifikasi kemampuan
lahan (Arsyad, 1989)

Arahan penggunaan
lahan dengan metode
skoring

45

Prediksi Erosi dengan metode


USLE:
1. Faktor erosivitas hujan (R)
2. Faktor erodibilitas tanah (K)
3. Faktor panjang dan
kemiringan lereng (LS),
4. Faktor pengelolaan tanaman
(C)
5. Faktor Pengelolaan tanah
(P).

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Faktor pembatas :
Kemiringan lereng
Kepekaan erosi
Tingkat bahaya erosi
Kedalaman efektif
Tekstur
Permeabilitas
Drainase
Batuan
Ancaman banjir

Kriteria klasifikasi kemampuan lahan

Faktor yang diperhitungkan:


1. Faktor lereng lapangan
2. Faktor kepekaan jenis
tanah terhadap erosi
3. Faktor intensitas curah
hujan harian rata-rata.

Dalam
kawasan
hutan

Luar
kawasan
hutan

Arahan penggunaan lahan dan perencanaan konservasi tanah dan air

Gambar 4.3.
Bagan Alir Prosedur Penelitian
4.6.
4.6.1.

Analisis Data
Prediksi Erosi
Analisis data mengenai prediksi erosi yaitu dengan cara, data tata yang telah
terkumpul baik itu data sekunder maupun data primer akan dianalisis menggunakan
rumus USLE yang telah dikembangkan oleh Wischmeir dan Smith (1978). Dimana
dalam analisis menggunakan rumus USLE ini akan mengkobinasikan beberapa faktor
utama penyebab terjadinya erosi sehingga terjadi kehilangan tanah pada suatu areal
tertentu. Berikut persamaan USLE yang digunakan dalam analisis data yang akan
diperoleh:
A=R.K.L.S.C.P

46

dimana:
A
= banyaknya tanah tererosi (ton/ha/tahun)
R
= faktor curah hujan (ton/ha/cm)
K
= faktor erodibilitas tanah
L
= faktor panjang lereng (m)
S
= faktor kemiringan lereng (%)
C
= faktor vegetasi penutup tanah dan
pengelolaan tanaman
P
= faktor tindakan-tindakan khusus
Konservasi

a. Faktor Erosivitas Hujan (R)


Perhitungan besarnya faktor erosivitas hujan akan menggunakan persamaan
penduga erosivitas yang dikembangkan oleh Bols (1978) yaitu berdasarkan data
curah hujan rata-rata bulanan, jumlah hari hujan rata-rata bulanan dan curah hujan
maksimum dalam satu hari (24 jam) pada bulan yang bersangkutan. Berikut
persamaannya:
R= 6,119(Rain)1,21 (Days)-0,47 (Max P)0,53
Dimana:
R

: Erosivitas hujan (ton/ha/cm)

Rain : Curah hujan rata-rata bulanan (mm)


Days : jumlah hari hujan rata-rata per bulan (Hari)
Max P : rata rata curah hujan maksimum dalam 24 jam pada bulan yang
bersangkutan (mm)

47

Berkenaan dengan menentukan nilai dari faktor erosivitas hujan (R), karena
menggunakan dua stasiun curah hujan, maka untuk mendapatakan curah hujan
rata rata daerah penelitian digunakan metode rata rata aljabar (Suyono
1977, dalam Atmaja 1995). Berikut persamaannya:
=1/n ( R1 + R2 ..+ Rn)
Dimana:
: Curah hujan rata- rata daerah /wilayah (mm)
n : Jumlah titik pengamatan
R1 , R2 , Rn : Curah hujan tiap stasiun (mm)
b. Faktor Erodibilitas Tanah ( K)
Faktor erodibilitas tanah dapat dihitung dengan menggunakan rumus yang
telah dikembangkan oleh Wischmeir dan Smith (1978 ) yaitu:
100 K={2,1 M

1,14

(10-4 (12- a) +3,25(b2)+2,5(c3)}1,292

Dimana :
K : Erodibilitas tanah
M : (Persentase pasir halus + debu) x (100 persentase liat)
a : persentase kandungan bahan organik (%)
b : Kode harkat struktur tanah
c : Kode harkat permeabilitas tanah
Dalam menentukan besarnya nilai dari faktor erodibilitas tanah terkait dengan
rumus yang dipakai, maka berikut tabel yang digunakan dalam menentukan kode

48

No

Kelas Struktur Tanah

Kode ( Nilai)

1.

Granuler sangat halus ( < 1 mm )

2.

Granuler halus ( 1 2 mm )

3.

Granuler sedang sampai kasar ( 2 -10 mm)

4.

Berbentuk bumpal, kubus, pipih, atau masif

struktur tanah, kode permeabilitas tanah dan nilai dari erodibilitas tanah yang
disajikan pada Tabel 4.2, Tabel 4.3, dan Tabel 4.4.

Tabel 4.2.
Kode Struktur Tanah
Sumber : Arsyad (1989)

Tabel 4.3.
Kode Permeabilitas Tanah
No
Kelas Permeabilitas
Kecepatan
( cm/jam )
1.
Sangat lambat
< 0,05
2.
Lambat
0,05 2,0
3.
Sedang sampai lambat
2,0 6,3
4.
Sedang
6,3 12,7
5.
Sedang sampai sepat
12,7 25,4
6.
Cepat
>25,4
Sumber: Arsyad (1989)

Kode
(Nilai)
6
5
4
3
2
1

49

Tabel 4.4.
Klasifikasi Nilai Erodibilitas Tanah (K)
Kelas
Nilai K
1
0,00 0,10
2
0,11 0,20
3
0,21 0, 32
4
0,33 0,40
5
0,41 0,55
6
0,56 0,64
Sumber: Arsyad (1989)

Klasifikasi
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Agak tinggi
Tinggi
Sangat tinggi

c. Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng (LS)


Analisis data mengenai faktor panjang dan kemiringan lereng (LS)
ditentukan dengan mengguanakan persamaan berikut:
0,0138+0,00965 s +0,00138 s
X
LS=

Dimana :
LS : Faktor tofografi
X : Panjang lereng (m)
s : Kedalaman lereng (%)
Berikut tabel yang digunakan untuk menentukan nilai faktor panjang dan
kemiringan lereng berdasarkan kelas kemiringan lereng yang disajikan pada Tabel
4.5.
Tabel 4.5.
Penilaian LS Berdasarkan Kelas Kemiringan Lereng
Kelas Kemiringan Lereng
Nilai LS
08
0,4
8 15
1,4

50

15 25
25 45
>45
Sumber: Kusumandari dan Soedjoko (2007)

3,1
6,8
9,5

d. Faktor Pengelolaan tanaman (C)


Faktor pengelolaan tanaman dapat diketahui setelah pengamatan
dilapangan dan disesuaikan dengan nilai faktor C untuk berbagai jenis
tanaman dan pengelolaan tanaman di Indonesia (Lampiran 1).
e. Faktor Pengelolaan Tanah (P)
Faktor pengelolaan tanah dapat diketahui dari pengamatan langsung di
lapangan lalu disesuaikan dengan nilai P untuk berbagai tindakan konservasi
tanah dan air di Indonesia (Lampiran 2).
Hasil perhitungan yang telah diperoleh menggunakan rumus USLE yang
telah memperhitungkan nilai dari faktor erosivitas hujan (R), erodibilitas
tanah (K), panjang dan kemiringan lereng (LS), pengelolaan tanaman (C) dan
Pengelolaan tanah (P) selanjutnya dikelasifikasikan ke dalam kelas tingkat
bahaya erosi. Adapun pedoman yang digunakan dalam mengklasifikasikan
kelas tingkat bahaya erosi dapat dilihat pada Tabel 4.6.

Kedalam
tanah ( cm)
> 90
60 -90

< 15
Sangat
ringan
Ringan

Tabel 4.6.
Kelas Laju Erosi
Erosi (ton/ha/tahun)
15- 60
60 - 180
180 480
Ringan
Sedang
Berat
Sedang

Berat

Sangat
berat

>480
Sangat
berat
Sangat
berat

51

30 -60

< 30

Sedang

Berat

Sangat
berat

Sangat
berat

Sangat
berat

Berat

Sangat
berat

Sangat
berat

Sangat
berat

Sangat
berat

Sumber: Adnyana (2000)

4.6.2.

Perencanaan Konservasi Tanah dan Air


Perencanaan konservasi tanah dan air dilakukan dengan cara
membandingkan besarnya prediksi erosi dengan erosi yang dapat ditoleransikan.
Apabila prediksi erosi (A) lebih besar dari erosi yang dapat ditoleransikan (T) maka
harus dilakukan perencanaan konservasi tanah dan air. Berikut persamaan nilai CP
maksimum yang digunakan untuk penentuan perencanaan konservasi tanah dan air:
CP

Maksimum

T
R x K x LS

Dimana :
CP Maksimum
T
R
K
LS

: Nilai CP terbesar digunakan untuk mengurangi erosi


: Erosi yang dapat ditoleransi (ton/ha/tahun)
: Erosivitas hujan (ton/ha/cm)
: Erodibilitas tanah
: Panjang (m) dan kemiringan lereng (%)

Hasil penjumlahan nilai R x K x LS adalah prediksi erosi potensial di lokasi


bersangkutan. Untuk menjaga tanah yang hilang melalui erosi, tetap berada di bawah
laju erosi yang dapat ditoleransikan, maka jenis tanaman dan sistem penanaman
serta konservasi tanah haruslah sesuai agar nilai faktor C x P tidak melebihi rasio

52

T/RKLS. Semua kombinasi jenis tanaman dan pengelolaanya dalam konservasi


tanah memberikan nilai CP maksimum yang memadai, sehingga menjadi
perencanaan konservasi tanah dan air yang sesuai untuk suatu lahan bersangkutan.
Dalam perencanaan konservasi tanah dan air dengan menggunakan nilai faktor
pengelolaan tanaman (C) dan faktor pengelolaan tanah, maka beberapa pilihan
kombinasi nilai CP yang sama atau lebih kecil dari nilai CP maksimum yang
memadai dipilih. Nilai faktor C untuk berbagai jenis tanaman dan pengelolaan
tanaman, serta nilai faktor P untuk berbagai tindakan konservasi tanah di Indonesia
(Lampiran 1 dan 2).

4.6.3.

Klasifikasi Kemampuan Lahan


Analisis data mengenai klasifikasi kemampuan lahan dilakukan dengan cara
metode klasifikasi kemampuan lahan yang dikemukakan oleh Arsyad (1989) yaitu
dengan menggolongkan kelas dan sub kelas kemampuan lahan, yaitu dengan cara
memperhitungkan nilai dari faktor pembatas yang dimiliki oleh suatu lahan dan
disesuaikan dengan kriteria klasifikasi kemampuan lahan. Dalam menentukan
klasifikasi sub kelas kemampuan lahan yaitu dengan memperhitungkan faktor
pembatas utama yaitu erosi (e), drainase (w), karakteristik tanah (s), iklim (c).
Adapun kriteria yang digunakan untuk pengelompokkan kelas kemampuan lahan
di Indonesia adalah sebagai berikut:

1.

Kemiringan Lereng

53

Kemiringan lereng dalam klasifikasi kemampuan lahan dikelompokkan


sebagai berikut:
A = 0 sampai 3 %
B = 3 sampai 8 % (landai atau berombak)
C = 8 sampai 15 % (agak miring atau bergelombang)
D = 15 sampai 30 % (miring atau berbukit)
E = 30 sampai 45 % (agak curam)
F = 45 sampai 65 % (curam)
G = lebih dari 65 % (sangat curam)
2. Kepekaan erosi
Kepekaan erosi tanah dalam klasifikasi kemampuan lahan dikelompokkan
sebagai berikut:
KE1 = 0,00 sampai 0,10 (sangat rendah)
KE2 = 0,11 sampai 0,20 (rendah)
KE3 = 0,21 sampai 0,32 (sedang)
KE4 = 0,33 sampai 0,43 (agak tinggi)
KE5 = 0,44 sampai 0,55 (tinggi)
KE6 = 0,56 sampai 0,64 (sangat tinggi)
3.

Tingkat erosi
Tingkat erosi tanah dalam klasifikasi kemampuan lahan dikelompokkan
sebagai berikut:
E0 = tidak ada erosi

54

E1 = sangat ringan
E2 = ringan
E3 = sedang
E4 = berat
E5 = sangat berat
4.

Kedalaman tanah
Penentuan klasifikasi kemampuan lahan dilihat dari :
k0 = lebih dari 90 cm (dalam)
k1 = 90 sampai 50 cm (sedang)
k2 = 50 sampai 25 cm (dangkal)
k3 = kurang dari 25 cm (sangat dangkal)

5.

Tekstur lapisan tanah


Tekstur lapisan tanah dalam klasifikasi kemampuan lahan dilihat dari tekstur
lapisan tanah atas (0 30 cm) dan lapisan tanah bawah (30 60 cm) maka
dikelompokkan sebagai berikut yaitu:
t1 = tanah bertekstur halus, meliputi tekstur lempung berpasir, lempung
berdebu dan lempung
t2 = tanah bertekstur agak halus, meliputi tekstur geluh lempung, berpasir dan
geluh lempung berdebu
t3 = tanah bertekstur sedang, meliputi tekstur geluh, geluh berdebu dan debu
t4 = tanah bertekstur agak kasar, meliputi tekstur geluh berpasir, geluh berpasir
halus dan geluh berpasir sangat halus

55

t5 = tanah bertekstur kasar, meliputi tekstur pasir bergeluh dan pasir


6. Permeabilitas
Tingkat permeabilitas tanah dalam klasifikasi kemampuan lahan
dikelompokkan sebagai berikut:
P1 = lambat

: kurang dari 0,5 cm/jam

P2 = agak lambat

: 0,5 2,0 cm/jam

P3 = sedang

: 2,0 6,25 cm/jam

P4 = agak cepat

: 6,25 12,5 cm/jam

P5 = cepat

: lebih dari 12,5 cm/jam

7. Drainase
Tingkat drainase tanah dalam klasifikasi kemampuan lahan dibedakan
sebagai berikut :
d0 = berlebihan
d1 = baik
d2 = agak baik
d3 = agak buruk
d4 = buruk
d5 = sangat buruk
8. Batuan
Tingkat batuan yang terdapat pada permukaan tanah dalam klasifikasi
kemampuan lahan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
b0 = tidak ada, kurang dari 2 % volume tanah

56

b1 = sedikit, 2 10 % volume tanah


b2 = sedang, 10 50 % volume tanah
b3 = banyak, 50 90 % volume tanah
b4 = sangat banyak, > 90 % volume tanah
9. Ancaman banjir
Tingkat ancaman banjir dalam klasifikasi kemampuan lahan dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
O0 = tidak pernah, dalam periode satu tahun lahan tidak pernah tertutup
banjir lebih dari 24 jam.
O1 = kadang-kadang, banjir yang menutupi lahan lebih dari 24 jam terjadinya
tidak teratur dalam periode kurang dari satu bulan.
O2 = selama waktu satu bulan dalam setahun lahan secara teratur tertutup
banjir untuk jangka waktu lebih dari 24 jam.
O3 = selama waktu 2 sampai 5 bulan dalam setahun secara teratur selalu
dilanda banjir yang lamanya lebih dari 24 jam
O4 = selama waktu 6 bulan atau lebih tanah selalu dilanda banjir secara
teratur yang lamanya lebih dari 24 jam.
Berdasarkan kriteria faktor penghambat yang telah ditentukan seperti lereng
permukaan, kepekaan erosi, tingkat erosi, kedalaman tanah, tekstur lapisan tanah,
permeabilitas, drenase, batuan, dan ancaman banjir. Adapun kriteria klasifikasi
kemampuan lahan yang akan digunakan untuk menentukan klasifikasi kemampuan
lahan berdasarkan metode Arsyad (1989) disajikan pada Tabel 4.7.

57

Tabel 4.7.
Kriteria Klasifikasi Kemampuan Lahan
Faktor
penghambat/Pembatas
Lereng Permukaan
Kepekaan erosi

Kelas Kemampuan Lahan


I

II

III

IV

VI

VII

VIII

A
KE1

D
KE6

A
(*)

E
(*)

F
(*)

G
(*)

E3
k2
t1 t2
t3 t4
P2 P3
P4
d4
b2
O3

(**)
(*)
(*)

E5
(*)
t1 t2
t3 t4
(*)

(*)
(*)
t5

P1

E4
k3
t1 t2
t3 t4
(*)

d5
b3
O4

(*)
(*)
(**)

(*)
(*)
(*)

d0
B4
(*)

Tingkat erosi
Kedalaman tanah
Tekstur lapisan tanah

E0
k0
t1 t2 t3

B
KE2
KE3
E1
k1
t1 t2 t3

Permeabilitas

P2 P3

P2 P3

C
KE4
KE5
E2
k2
t1 t2
t3 t4
P2 P3

d1
b0
O0

d2
b1
O1

d3
b1
O0

Drainase
Batuan
Ancaman banjir

Sumber: Arsyad (1989)


Keterangan: (*) dapat mempunyai sembarang sifat
(**) tidak berlaku

4.6.4.

Arahan Penggunaan Lahan


Dalam analisis data mengenai arahan penggunaan lahan menggunakan metode
skoring yang berdasarkan atas SK Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/ Um/ 11/ 1980
dan Nomor 683/Kpts/Um/8/1981. Dalam metode skoring ini diperhitungkan tiga
faktor yang berpengaruh antara lain yaitu, faktor lereng lapangan, faktor kepekaan
jenis tanah dan faktor intensitas curah hujan harian rata rata. Penjumlahan dari

P5

58

ketiga faktor tersebut menentukan nilai dari masing masing kawasan dengan
kreteria berikut:

A. Lahan di Luar Kawasan Hutan


a. Kawasan Lindung
Jumlah skor dari ketiga faktor fisik pada satuan lahan sama atau
lebih besar dari 175 atau atau memenuhi kriteria di bawah ini:
1. Mempunyai kemiringan lereng > 45 %
2. Merupakan kawasan yang mempunyai jenis tanah yang sangat peka
terhadap erosi (regosol, litosol, dan renzina) dan memiliki kemiringan
lereng > 15 %
3. Merupakan jalur pengaman aliran sungai sekurang kurangnya 100
meter di kanan kiri alur sungai
4. Merupakan pelindung mata air yaitu 200 meter dari sumber mata air
5. Berada pada ketinggian > 2000 meter di atas permukaan laut
6. Guna keperluan atau kepentingan khusus ditetapkan oleh Menteri
Kehutanan sebagai hutan lindung
b. Kawasan Penyangga
Jumlah skor dari ketiga faktor fisik pada satuan lahan berkisar antara
125 174 atau memenuhi salah satu dari kreteria di bawah ini:
1. Keadaan fisik wilayah memungkinkan untuk dilakukan budidaya
secara ekonomis
2. Lokasinya secara ekonomis mudah dikembangkan sebagai kawasan
penyangga
3. Tidak merugikan dari segi ekologi ataupun lingkungan hidup apabila
dikembangkan sebagai kawasan penyangga
c. Kawasan Budidaya Tanaman Tahunan
Pada kawasan budidaya tanaman tahunan jumlah skor fisik pada
satuan lahan sama atau kurang dari 124 dan sesuai dikembangkan untuk

59

usaha tani tahunan, di samping itu kawasan ini harus memenuhi kriteria
umum untuk kawasan penyangga.
d. Kawasan Budidaya Tanaman Semusim
Jumlah skor dari ketiga faktor fisik pada satuan luas untuk satuan luas
pada kawasan budidaya tanaman semusim sama seperti penetapan
kawasan budidaya tanaman tahunan serta terletak di tanah milik, tanah
adat atau desa, dan tanah negara yang seharusnya dikembangkan untuk
usaha tani tanaman semusim.
B. Lahan di Dalam Kawasan Hutan
a. Hutan Lindung
Jumlah skor dari ketiga faktor fisik pada satuan lahan untuk hutan
lundung sama atau lebih besar dari 175, sehingga kawasan tersebut
merupakan kawasan yang dijadikan dan dipertahankan sebagai kawasan
hutan lindung atau memenuhi salah salah satu kriteria di bawah ini :
1. Mempunyai kemiringan lereng > 45 %
2. Merupakan kawasan yang mempunyai jenis tanah yang sangat peka
terhadap erosi (regosol, organosol dan renzena) dan memiliki
kemiringan lereng >15 %.
3. Merupakan pelindung mata air yaitu 200 meter dari sumber mata air
4. Merupakan jalur pengaman aliran sungai sekurang kurangnya 100
meter di kanan kiri alur sungai
5. Berada pada ketinggian > 2000 meter di atas permukaan laut
6. Guna keperluan atau kepentingan khusus ditetapkan oleh Menteri
Kehutanan sebagai hutan lindung
b. Hutan Produksi
Hutan produksi dibedakan menjadi dua jenis yaitu hutan produksi
penebangan terbatas dengan jumlah skor ketiga faktor fisik 125 174 dan
hutan produksi bebas dengan jumlah skor ketiga faktor fisik sama atau

60

kurang dari 124 di luar kawasan hutan suaka alam dan hutan konservasi
lainya.
c. Hutan Suaka Alam dan Hutan Wisata
Penetapan hutan suaka alam dan hutan wisata tidak berdasarkan
nilai skor dari ketiga faktor fisik pada suatu unit lahan melainkan lebih
diarahkan

kepada

kepentingan

kebudayaan,

ilmu

pengetahuan,

pelestarian plasma nutfah dan rekreasi. Skor penetapan arahan


penggunaan lahan disajikan pada Tabel 4.8.
Tabel 4.8.
Skor Penetapan Arahan Penggunaan Lahan
Faktor

Kela

Kisaran

Kriteria

Skor

Lereng

s
1
2

08%
8 15 %

Datar
Landai

20
40

15 30 %

Agak Curam

60

30 45 %

Curam

80

> 45 %

Sangat curam

100

Aluvial, tanah glei, planosol,

Lapangan

Jenis tanah
menurut

hidromorf kelabu, laterik air

Tidak peka

tanah
Latosol

Kurang peka

30

Brown forest soil, non, clasic

Agak peka

45

brown, mediteran
Andosol, laterite, grumosol,

Peka

60

podsol, podsolik
Regosol, litososl, organosol,

Sangat peka

75

kepekaannya
terhadap erosi

15

renzina

61

Intensitas curah
hujan harian
rata - rata

1
2

0 13,6 mm/hari
13,6 20, 7 mm/hari

Sangat rendah
Rendah

10
20

20,7 27,7 mm/hari

Sedang

30

27,7 34,8 mm/hari

Tinggi

40

34,8 mm/hari

Sangat tinggi

50

Sumber: SK Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/11/1980 dan Nomor


683/Kpts/Um/8/1981.

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, I. W.S. 1999. Pemetaan Erosi, Perencanaan Penggunaan Lahan dan


konservasi tanah dan air di Kawasan Danau Beratan, Buyan, dan
Tamblingan. (Laporan Penelitian), Pusat Penelitian Lingkungan Hidup
(PPLH) Universitas Udayana. Denpasar.
Adnyana, I. W.S. 2000. Prediksi Erosi dan Perencanaan Konservasi Tanah dan Air.
Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Universitas Udayana Denpasar
Adnyana, I. W.S, dan A. R. As-syakur. 2011. Kelas Kemampuan Lahan dan Arahan
Penggunaan Lahan Provinsi Bali. Dalam : Adnyana, I. W. S., Arthana, I. W.,
dan As-syakur, A. R., (editors). Perubahan Penggunaan Lahan dan Daya
Dukung Lingkungan. Udayana Univesity Press dan Pusat Penelitian
Lingkungan Hidup (PPLH). Universitas Udayana. Denpasar, Hal. 52-64.
Alie, M. E. R. 2015. Kajian Erosi Lahan Pada DAS Dawas Kabupaten Musi
Bayuasin Sumatra Selatan. Jurnal Teknik Sipil dan Lingkungan. Vol. 3 (1):
749 754.

62

Alwi, O. D. dan Marwah, S. (2014) Dampak Penggunaan Lahan Terhadap Sumber


Daya Air. Jurnal Agroteknos. Vol. 4 (2): 134 145.
Ardi, A. D., dan S.Rahayu. 2013. Kajian Kesesuaian Perubahan Penggunaan Lahan
Terhadapa Arahan Pemanfaatan Fungsi Kawasan Sub DAS Rawapening.
Jurnal Teknik PWK. Vol 2 (4): 958 - 967
Andreawan, K.M., Banuwa, I. S., Zulkarnain, I. 2015. Pengaruh Sistem Olah Tanah
Terhadap Aliran Permukaan dan Erosi Pertanaman Singkong di
Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
Jurnal Teknik Pertanian Lampung. Vol.4 (1): 27 34.
Ardiansyah, T., Lubis, K. S., Hanum, H. 2013. Kajian Tingkat Bahaya Erosi di
Beberapa Penggunaan Lahan Di Kawasan Hilir Daerah Aliran Sungai
Padang. Jurnal Agroekoteknologi. Vol. 2 (1): 434 446.
Arsyad.S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press.
Asdak, C. 2010. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Atmaja, D.M. 1995. Buku Ajar Hidrologi. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha
Singara.
Badan Pusat Statistik Tabanan. 2013. Kecamatan Baturiti Dalam Angka 2012.
Kabupaten Tabanan
Banuwa, I. S. 2013. Erosi. Jakarta: Kencana Predana Group.
Banuwa, I.S. 2008. Evaluasi Kemampuan Lahan DAS Sekampung Hulu. Jurnal Tanah
Trop.Vol 13 (2) :145-153.
Badan Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Tabanan. 2014. Buku Data Status
Lingkungan Hidup Kabupaten Tabanan. Tabanan-Bali.
Bols. P. L. I978. The Iso-erdent Map Of Java and Madura. Report On Belgian
Technical Assistance Project ATA 105. SRI Bogor.
Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Tabanan. 2012. Rencana Detail Tata Ruang
(RDTR) Kecamatan Baturiti. Kabupaten Tabanan.

63

Fitria, I. dan Arif, S. 2010. Analisis Erosi Lahan Pertanian dan Parameter Ekonomi
Berbasis Sisitem Informasi Geografis di Hulu DAS Jeneberag Makasar,
Jurnal Menejemen Sumberdaya Lahan Vol. 1 (13): 1-10
Food and Agriculture Organization (FAO). 1976. A Framework For Land Evaluation.
FAO Soil Bull. No. 32 Rome, 72 pp. and ILRI Publication No. 22
Wageningen.
Gunamanta, P. G. 2002.Identifikasi Karakteristik Lahan Kering Sebagai Acuan
Perencanaan Konservasi Tanah dan Air di DAS Anyar, Bali(Tesis). Program
Studi Magister Pertanian Lahan Kering. Universitas Udayana.
Goro, G. L. (2008). Kajian Pengaruh Intensitas Hujan Pada Jenis Tanah Regosol
Kelabu Untuk Kemiringan Lereng Yang Berbeda. Jurnal Wahana Teknik
Sipil. Vol.13 (2): 86 98.
Hammer, W. I., 1981. Soil Conservation Consultant Report Center for Soil Research.
LPT Bogor. Indonesia.
Hardjowigeno, S. 2007. Ilmu Tanah. Jakarta : CV Akademika Pressindo
Henny, H., Murtilaksono, K., Sinukaban, N., Tarigan, S. D. 2011. Erosi dan
Kehilangan Hara Pada Pertanaman Kentang Dengan Beberapa Sistem
Guludan Pada Adisol Di Hulu DAS Merao, Kabupaten Kerinci, Jambi. Jurnal
Solum. Vol. 8 (2): 43 52.
Huzaini, A., dan S. Rahayu. 2013. Tingkat Kekritisan Lahan di Kecamatan
Gunungpati Kota Semarang. Jurnal Teknik PWK Vol. 2 (2): 270 - 280
Idjudin, A. 2011. Peranan Konservasi Lahan Dalam Pengelolaan Perkebunan. Jurnal
Sumberdaya Lahan. Vol. 5 (2) : 103 116.
Ispriyanto, R., Arifjaya, N. M., Hendarayanto. 2001. Aliran Permukaan dan Erosi di
Areal Tumpangsari Tanaman Pinus Merkusii Jungh. Et. De. Vriese. Jurnal
Manajemen Hutan Tropika. Vol. 7 (1): 37 47.
Karsun. Merit, I. N., Suarna, I. W. 2015. Arahan Penggunaan lahan Sub Daerah
Aliran Sungai (DAS) Telagawaja Provinsi Bali. Jurnal Ecotrophic, Vol. 9 (1) :
19 24.
Komaruddin, 2008. Penilaian Bahaya Erosi di Sub Derah Aliran Sungai Cileungsi,
Bogor. Jurnal Ilmu Tanah dan Agroklimatologi. Vol.19 (3):173-178.

64

Kusmandari, A., dan Soedjoko, S. A. 2007. Petunjuk Praktikum Konservasi Tanah


dan Air. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM.
Manuputty, E. Y. dan Talakua, S. M. 2014. Evaluasi Kemampuan Lahan dan Arahan
Pemanfaatan Lahan di Daerah Aliran Sungai Wai Tina Kabupaten Buru
Selatan Provinsi Maluku. Jurnal Ilmu Budidaya Tanaman. Vol. 3 (3): 62 74.
Murtianto, H. 2013. Evaluasi Kemampuan Lahan Untuk Arahan Penggunaan Lahan.
Jurnal Nasional Ecopedon. Vol. 2 ( 1 ) : 2-15.
Nugraha, S. S. Sudarwanto., T. W. Sutirto., Sulastro. 2006. Kerusakan Sumber Daya
Lahan di Daerah Aliran Sungai Samin Kabupaten Karanganyar dan
Sukaharjo Provinsi Jawa Tengah. Laporan Penelitian. LPPM UNS. Surakarta.
Nurmansyah, S., Kusmandari, A., Kaharudin. 2007. Dampak Kepariwisataan
Terhadap Erosi Di Kawasan Wisata Kaliurang. Jurnal Ilmu Kehutanan. Vol.1
(1): 40 46.
Purwowidodo. 1999. Konservasi Tanah di Kawasan Hutan. Fakultas Kehutanan IPB.
Bogor: IPB Press.
Puspaningsih, N. 1999. Studi Perencanaan Pengelolaan Lahan Di Sub DAS
Cisadane Hulu Kabupaten Bogor. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. Vol. 5 (2):
45 53.
Rahim, S. E. 2003. Pengendalian Erosi Tanah dalam Rangka Pelestarian
Lingkungan Hidup. Jakarta: Bumi Aksara.
Rusdi, M. 2013. Degradasi Lahan Akibat Erosi Pada Areal Pertanian di Kecamatan
Lembah Seulawah Kabupaten Aceh Besar. Jurnal Menejemen Sumber daya
Lahan Vol. 2 (3): 240-249
Rusnam, 2013. Analisis Spasial Besaran Tingkat Erosi Pada Tiap Satuan Lahan di
Sub DAS Batang Kandis. Jurnal Teknik Lingkungan UNAND. Vol.10 (2): 149167.
Satriawan, H. 2010. Evaluasi Tingkat Bahaya Banjir dan Erosi serta Strategi
Penanggulangannya di Kabupaten Nagan Raya. Jurnal Ilmiah Sains dan
Teknologi. Vol.10 (1) :78 - 86
Sitorus, Santan R.P. 1985. Evaluasi Sumber Daya Lahan. Bandung: PT. Tarsito.

65

Soraya, E. dan Fambayun, R. A. 2010. Analisis Kemampuan Lahan dan Indeks


Kekeringan untuk Arahan Penggunaan Lahan. Jurnal Menejemen Hutan
Universitas Gadjah Mada, Vol.1 (3): 143 161.
Sukresno. 1994. Evaluasi Faktor Panjang Lereng dan Kemiringan Lereng pada
Metode USLE dan RUSLE. Jurnal Pengelolaan DAS. Balai Teknologi
Pengelolaan DAS Surakarta. Vol. 2 (23): 21-32
Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/8/1980 dan Nomor
683/Kpts/Um/8/1981 tentang Kriteria dan tata cara penetapan hutan lindung
dan hutan prodiksi.
Suripin. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Tanah dan Air. Yogyakarta: Andi Offset.
Suwarna, E. dan Arief, H. 2009. Erosi TanahAkibat Oprasi Pemanenan Hutan. Jurnal
Menejemen Hutan. Vol. 15 (2): 61 65.
Suyana, J. dan Muliawati, E. S. 2014. Analisis Kemampuan Lahan Pada Sistem
Pertanian di Sub DAS Serang Daerah Tangkapan Waduk Kedung Ombo.
Jurnal Ilmu Tanah dan Agroklimatologi, Vol. 11 (2): 139 149.
Syarief, S.E. 1985. Konservasi Tanah dan Air. Pustaka Buana, Bandung.
Sys, C.E. Van Ranst and J. Deveveye. 1991. Land Evaluation, Part II Methods In
Land Evaluation. Agricultural Publication, Belgium.
Undang Undang Republik Indonesia No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Veiche, A. 2002. The Spatial Variability of Erodibility and Its Relation To Soil Types.
A Study for Northen Ghana.
Widyantara, I. G. A. L., Merit, I. N., Adnyana, I. W. S. 2014 Arahan Penggunaan
Lahan dan Perencanaan Konservasi Tanah dan Air Di DAS Yeh Empas,
Tabanan, Bali.. Jurnal Ecotrophic, Vol. 9 (1) : 54 62.
Wischmeir, W. H. and D. D. Smith. 1978. Predicting Rainfall Erosion Lossess: A
guide to Conservation Planning. USDA Agric. Handbook No.537.
Washington DC.

66

LAMPIRAN

Lampiran 1. Nilai faktor C untuk berbagai jenis tanaman dan pengelolaan tanam di
Indonesia
No

Tipe Penggunaan Lahan/Jenis Tanaman dan


Pengelolaannya

Nilai
Faktor C

1.

Tanah bera tanpa tanaman, diolah

2.

Sawah beririgasi

0,01

3.

Sawah tadah hujan

0,05

4.

Tegalan, tanaman tidak spesifik

0,7

5.

Ubi kayu

0,7

6.

Jagung

0,7

7.

Padi gogo, tegalan, lahan kering

0,5

8.

Kacang kacangan, tidak spesifik

0,6

9.

Kacang tanah

10.

Kebun campuran,
bervariasi

1,0

0,452
tajuk

bertingkat,

penutup

tanah

67

11.

Kerapatan tinggi

0,1

Ubi kayu/kedelai

0,2

Kerapatan sedang

0,3

Kerapatan rendah Cayamus sp, kacang tanah

0,5

Tanaman perkebunan dengan tanaman penutup tanah


(permanen)

Kerapatan tinggi

Kerapatan sedang

0,1

0,5

12.

Reboisasi dengan penutup tanah, tahun pertama

0,3

13.

Kopi dengan penutup rendah

0,2

14.

Hutan alami (primer) berkembang baik :

15.

Serasah tinggi

0,001

Serasah sedang

0,005

Hutan produksi

Tebang habis

0,5

Tebang pilih

0,2

16.

Lahan Kritis, tanpa vegetasi

17.

Semak belukar

18.

Alang alang permanen

19.

Semak lamtoro

20.

Albisia dengan semak campuran

21.

Pohon tanpa semak

22.

Ubi kayu, tumpang sari dengan kedelai

0,181

23

Ubi kayu, tumpang sari dengan kacang tanah

0,195

24

Kebun produksi (penutup tanah buruk ) :

Karet

0,95
0,3
0,021
0,51
0,012
0,32

0,8

68

Teh

0,5

Kelapa sawit

0,5

Kelapa

0,5

Lampiran 1. (Lanjutan)
25

Rumput brachiaria

Tahun pertama

Tahun kedua

Tahun seterusnya

0,3
0,02
0,002

26.

Padi gogo jagung kacang tanah, dalam rotasi

0,496

27.

Padi gogo jagung kacang tanah, dalam rotasi,


dengan sisa tanaman jadi mulsa

0,347

28.

Padi gogo + jagung + kacang tanah (tumpang sari)


dengan mulsa sisa tanaman

0,357

29.

Padi gogo jagung kacang tanah (tumpang sari)

0,588

30.

Kacang tanah + kacang gude (tumpang sari)

0,495

31.

Kacang tanah + kacang tunggak (tumpang sari)

0,571

32.

Kacang tanah + mulsa jerami 4 ton/ha

0,049

33.

Padi gogo jagung (dalam rotasi)

0,029

34.

Kentang ditanam mengikuti arah lereng

1,0

35.

Kentang, penanaman mengikuti kontur

0,35

36.

Bawang, penanaman dalam kontur

0,08

37.

Pisang (jarang, sebagai monokultur)

0,6

Sumber: Arsyad (1989) dan Asdak (2002)

Lampiran 2. Nilai faktor P untuk berbagai tindakan konservasi tanah di Indonesia

69

No
1.

2.

Tindakan Konservasi Tanah


Teras bangku

Kontruksi baik

0,04

Kontruksi sedang

0,15

Kontruksi buruk

0,35

Teras koluvial ditanami strip rumput atau bambu atau


rumput permanen, seperti rumput bahia:

Kontruksi baik, tahun pertama


Kontruksi buruk, tahun pertama

0,04
0,40

3.

Teras bangku: jagung ubi kayu/kedelai

0,06

4.

Teras bangku: sorghum sorghum

0,02

5.

Teras tradisional

0,40

6.

Teras gulud: padi jagung

0,01

7.

Teras gulud: ketela pohon

0,06

8.

Teras gulud: jagung kacang + mulsa sisa tanaman

0,01

9.

Teras gulud: kacang kedelai

0,11

10.

Teras gulud, baik

0,15

11.

Rorak (split pits )

0,60

12.

Tanaman dalam jalur jalur: jagung kacang tanah +


mulsa

0,05

Lampiran 2 (Lanjutan)
13.

14.

Penanaman menurut kontur:

Kemiringan 0 8 %

0,50

Kemiringan 9 20 %

0,75

Kemiringan > 20 %

0,90

Mulsa sisa tanaman:

70

Serasah atau jerami 6 ton/ha/tahun

0,30

Serasah atau jerami 3 ton/ha/tahun

0,50

Serasah atau jerami 1 ton/ha/tahun

0,80

15.

Strip rumput permanen, jelek

0,40

16.

Tanpa tindakan konservasi tanah

1,00

Sumber: Arsyad (1989) dan Asdak (2002)


Lampiran 3. Nilai faktor kedalaman tanah ditentukan berdasarkan tabel nilai faktor
kedalaman beberapa Sub Order Tanah.
No

Taxonomi Tanah
(Sub Orde)

Harkat Kemerosotan
Sifat
Fisik dan Kimia Tanah
Fisika

Kimia

Nilai
Faktor
Kedalam
an

1.

Aquaf *)

0,90

2.

Udalf *)

0,90

3.

Ustalf

0,90

4.

Aquent

0,90

5.

Arent

1,00

6.

Fluvent *)

1,00

7.

Orthent

1,00

8.

Psmment

1,00

9.

Andept *)

1,00

10.

Aquept *)

0,95

11.

Tropept

1,00

12.

Alboll

0,75

13.

Aquoll

0,90

14.

Rendoll

0,90

71

15.

Udoll

1,00

16.

Ustoll

1,00

17.

Aquox

0,90

18.

Humox

1,00

19.

Orthox *)

0,90

20.

Ustox

0,90

21.

Aquod

0,90

22.

Ferrod

0,95

Lampiran 3 (Lanjutan)
23.

Humod

1,00

24.

Orthod

0,95

25.

Aquult

0,80

26.

Humult

1,00

27.

Udulf

0,80

28.

Ustult

0,80

29.

Udert

1,00

30.

Ustret

1,00

Sumber : Hammer 1981 (dalam Arsyad 1989)


Catetan : -*) Berdasarkan deskripsi penuh propil tanah dan data laboratorium.
-

Tanah dalam suatu order mempunyai keragaman yang besar.


penilaian ini adalah untuk tanah tanah yang umum terdapat di
Indonesia saja.
T = tinggi, S = sedang, dan R = rendah

72

Anda mungkin juga menyukai