TK Pakerisan
TK Pakerisan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pemanfaatan lahan menyebabkan perubahan tata guna lahan di suatu wilayah.
Perubahan tata guna lahan seringkali tidak disertai dengan tindakan pencegahan
kerusakan lahan, sehingga lahan semakin terdegradasi. Salah satu bentuk kerusakan
lahan yang dapat dilihat saat ini yaitu berupa erosi yang diakibatkan adanya
penggunaan lahan yang tidak tepat, sehingga mengakibatkan menurunnya kualitas
tanah dan air. Penyebab terjadinya erosi di suatu lahan disebabkan penggunaan lahan
yang tidak sesuai dengan peruntukannya dan tidak adanya tindakan konservasi tanah
dan air yang bisa menekan ataupun mencegah erosi yang mungkin terjadi.
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu
kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung,
menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut
secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut
sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (PP No. 37,
2012). Namun penggunaan lahan yang berkaitan erat dengan aktivitas manusia
menyebabkan
keseimbangan
ekosistem
DAS
terganggu.
Eksploitasi
DAS
ketertarikan minat dari penulis untuk memilih DAS Pakerisan sebagai lokasi
penelitian.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Karsun
(2014) tentang kondisi karakteristik lahan, tingkat bahaya erosi, bentuk arahan
klasifikasi fungsi kawasan, dan alternative tindakan konservasi tanah yang baik
sebagai bentuk arahan penggunaan lahan pada Sub DAS Telagawaja. Penelitian ini
dilakukan untuk memproleh hasil prediksi erosi, klasifikasi kemampuan lahan dan
arahan penggunaan lahan di wilayah DAS Pakerisan. Melalui penelitian yang
dilakukan ini, diharapkan akan dapat mengetahui tingkat erosi yang terjadi,
mengklasifikasi kemampuan lahan yang ada, serta dapat menghasilkan arahan
penggunaan lahan yang tepat dan menjadi perencanaan konservasi tanah dan air di
DAS Pakerisan.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah tingkat erosi dan merencanakan tindakan konservasi tanah dan
air di DAS Pakerisan ?
2. Bagaimanakah klasifikasi kemampuan lahan yang ada di DAS Pakerisan ?
1.3.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Memprediksi tingkat erosi dan merencanakan tindakan konservasi tanah dan
air di DAS Pakerisan
2. Menentukan klasifikasi kemampuan lahan yang ada di DAS Pakerisan
3. Menentukan arahan penggunaan lahan yang ada di DAS Pakerisan
1.4.
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian yang dilakukan yaitu :
1. Manfaat Akademis
Secara akademis penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai
Daerah Aliran Sungai, tingkat erosi, penggunaan lahan yang sesuai dengan
Di permukaan bumi, kejadian erosi selalu dan akan tetap terjadi. Bentuk
permukaan bumi selalu berubah sepanjang masa, sehingga di suatu tempat akan
terjadi pengikisan dan di tempat lainnya akan terjadi penimbunan (Melisa, 2013).
Wayer dan Wischemeier (1969) dalam Hardjowigeno (2003) meninjau proses
terjadinya erosi air di suatu lereng tanah harus dihancurkan dulu oleh curah hujan dan
aliran permukaan. Setelah tanah hancur baru siap untuk diangkut ke tempat lain oleh
curah hujan damn aliran permukaan yang akan mengendap di suatu tempat yang lain.
Asdak, (2010) menyatakan erosi dapat terjadi secara alami maupun karena
aktivitas manusia. Erosi alamiah terjadi untuk mempertahankan keseimbangan tanah
secara alami, sedang erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan karena
terkelupasnya lapisan tanah akibat kegiatan yang bersifat merusak keadaan fisik tanah
dan tidak mengindahkan kaidah konservasi tanah. Arsyad (1989) menyatakan bahwa
hilangnya atau terkikisnya tanah atau bagian bagian tanah dari suatu tempat ke
tempat lain yang diangkut oleh air atau angin disebut dengan erosi. Pada peristiwa
erosi, tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat terkikis dan terangkut yang
kemudian diendapkan pada suatu tempat yang lain. Pengangkutan atau pemindahan
tanah tersebut terjadi oleh media alami yaitu air dan angin. Suripin (2001)
menyatakan bahwa erosi merupakan proses alamiah yang tidak bisa atau
sulit dihilangkan sama sekali atau tingkat erosinya nol, khususnya untuk lahanlahan yang diusahakan untuk pertanian, dan tindakan yang dapat dilakukan adalah
mengusahakan agar erosi yang terjadi masih di bawah ambang batas maksimum (soil
loss tolerance), yaitu besarnya erosi tidak melebihi laju pembentukan tanah.
10
untuk mencegah dan memperkecil erosi dapat dilakukan dengan penerapan tindakan
konservasi tanah dan air.
Penelitian yang dilakukan oleh Melisa D.D. ( 2013) di DAS Bondoyudo
Lumajang menunjukkan bahwa nilai laju erosi pada DAS Bondoyudo yaitu sebesar 0
15 ton/ton/Ha/Tahun, yaitu tingkat erosi yang diijinkan. Hasil penelitian Gunamanta
(2002) di DAS Anyar Kabupaten Buleleng, menunjukkan telah terjadinya erosi dari
tingkat yang ringan sampai berat. Hasil penelitianya menunjukkan bahaya erosi
ringan sekitar 15 60 ton/ha/tahun, sedangkan tingkat bahaya erosi yang berat 180
480 ton/ha/tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Widyantara et al. (2014) di DAS
Yeh Empas Tabanan Bali, menunjukkan bahwa erosi yang terjadi yaitu dari tingkat
ringan sampai sangat berat. Erosi ringan seluas 10.787, 58 hektar dan erosi dengan
tingkat sangat berat seluas 436,31 hektar.
Menurut Rahim (2003) faktor-faktor yang mempengaruhi erosi tanah meliputi
hujan, angin, limpasan permukaan, jenis tanah, kemiringan lereng, penutupan tanah
baik oleh vegetasi atau lainnya, dan ada atau tidaknya tindakan konservasi, sehingga
makin tinggi curah hujan semakin tinggi juga penutupan tanah oleh vegetasi,
mengakibatkan semakin membaiknya proteksi terhadap tanah. Menurut Arsyad
(1989), ada tiga komponen karakteristik hujan yang berpengaruh terhadap erosi yaitu
jumlah, intensitas dan distribusi hujan. Jumlah hujan adalah volume air yang jatuh
pada suatu wilayah tertentu dinyatakan dalam milimeter atau centimeter. Intensitas
hujan menyatakan besarnya atau jumlah hujan yang jatuh dalam waktu yang singkat,
dinyatakan dalam milimeter/jam atau centimeter/jam. Jumlah rata-rata curah hujan
yang tinggi mungkin tidak menyebabkan terjadinya erosi jika intensitasnya rendah.
11
Demikian juga hujan yang intensitasnya besar yang terjadi dalam waktu singkat
mungkin tidak akan menimbulkan erosi karena tidak cukup air untuk mengangkut
tanah. Intensitas hujan banyak digunakan untuk menjelaskan fenomena laju erosi
yang terjadi. Penelitian yang dilakukan oleh Idjudin (2011) menunjukkan bahwa,
curah hujan adalah salah satu unsur iklim yang besar peranannya terhadap kejadian
erosi. Purwowidodo (1999) menyatakan bahwa faktor-faktor iklim yang berperan
penting dalam merangsang erosi tanah adalah temperatur, angin, dan curah hujan.
Pada umumnya suatu areal memiliki topografi yang berbeda, mulai dari datar,
landai sampai dengan curam. Faktor-faktor topografi yang mempengaruhi besar
kecilnya erosi dan limpasan permukaan ialah derajat kemiringan lereng lapangan dan
panjang lereng, dengan kata lain erosi dan limpasan permukaan akan lebih besar pada
tanah dengan lereng yang lebih curam dan lebih panjang. Erosi tidak menjadi masalah
pada daerah datar, akan tetapi apabila daerah mulai miring maka masalah pencegahan
erosi menjadi serius. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Goro (2008) menunjukkan
bahwa, besarnya kemiringan lereng akan mempengaruhi laju kecepatan aliran
permukaan, semakin curam suatu lereng semakin cepat aliranya, sehingga
kesempatan air untuk meresap ke dalam tanah lebih kecil dan akan memperbesar
aliran permukaan, yang berakibat menambah besarnya erosi.
Arsyad (1989) menyatakan bahwa beberapa pengaruh vegetasi terhadap erosi
ialah sebagai intersep hujan oleh kanopi tanaman, mengurangi kecepatan aliran
permukaan dan kekuatan perusak air, pengaruh akar terhadap erositas dan kestabilan
agregat tanah, pengaruh kegiatan-kegiatan biologi yang berhubungan dengan
pertumbuhan vegetasi dan pengaruhnya terhadap porositas tanah, serta proses
12
13
indeks erosivitas hujan. Indeks erosivitas curah hujan ditetapkan berdasarkan ciriciri hujan di berbagai lokasi di Amerika Serikat dan negara lain, yang dinilai
berkaitan erat dengan laju erosi tanah yaitu energi kinetik hujan (Ek) dan intensitas
14
hujan maksimum dalam 30 menit (I30). Metode penghitungan erosivitas curah hujan
tergantung pada jenis data curah hujan yang tersedia. Disarankan agar
menggunakan rumus Bols jika diketahui jumlah curah hujan bulanan rata-rata,
jumlah hari hujan dalam bulan tertentu, dan curah hujan harian rata-rata maksimal
pada bulan tertentu.
Penelitian yang dilakukan oleh Fitria dan Arif (2010) pada lahan pertanian
di hulu DAS Jeneberag, yang menggunakan rumus USLE dalam memperkirakan
laju erosi, menunjukkan bahwa tingkat curah hujan tertinggi yaitu stasiun
Paladingan dengan nilai erosivitas hujan 2417,72 kg/ha dan tingkat curah hujan
terendah yaitu stasiun Tinggi Moncong/Malino dengan nilai erosivitas 1325,24
kg/ha. Intensitas hujan yang cukup tinggi akan menimbulkan erosi pada suatu lahan
yang ada karena tetesan butiranbutiran hujan yang jatuh ke atas tanah
mengakibatkan pecahnya agregat agregat tanah yang diakibatkan oleh tetesan
butiran hujan yang memiliki energi kinetik yang cukup besar.
Bols (1978) telah mengembangkan persamaan penduga erosivitas hujan
berdasarkan data curah hujan rata-rata bulanan, jumlah hari hujan rata-rata bulanan,
dan rata-rata curah hujan maksimum dalam 24 jam dalam bulan yang bersangkutan
dengan persamaan sebagai berikut ini:
R=
Dimana:
R
Rain
15
16
andosol dengan nilai erodibilitas 0,28 dengan kriteria erodibilitas sedang, sehingga
cukup tahan terhadap erosi. Hasil penelitian yang diperoleh oleh Rusnam (2013) di
sub DAS Batang Kandis di distrik Koto Tangah Kota Padang, menunjukkan bahwa
terdapat 3 jenis tanah di Sub DAS Batang Kandis didominasi jenis tanah kambisol
dengan luasan 4503,39 ha dengan nilai erodibilitas 0,23 kemudian diikuti oleh jenis
tanah glei humus 600,96 ha dengan nilai erodibilitas 0,26 dengan kriteria erodibilitas
sedang sehingga cukup tahan terhadap erosi dan jenis tanah regosol 402,21 ha dengan
nilai erodibilitas tanah (K) sebesar 0,4 dengan kriteria erodibilitas agak tinggi
sehingga peka terhadap erosi. Disisi lain penelitian yang dilakukan oleh Suwarna dan
Arief (2009) pada lahan hutan yang ada menunjukkan bahwa jenis tanah podsolik
merah kuning pada daerah hutan memiliki laju erosi 27,81 ton/ha karena nilai
erodibilitas yang tinggi. Jadi semakin tinggi nilai erodibilitas tanah maka semakin
besar pula kemampuan tanah mengalami erosi.
Wischmeir dan Smith (1978), telah mengembangkan metode untuk penetapan
nilai faktor erodibilitas tanah (K) berdasarkan sifat fisik tanah. Berikut ini bebebrapa
sifat fisik tanah yang digunakan dalam penetapan nilai erodibilitas tanah (K) yaitu:
persentase pasir (ukuran 2,00 0,10 mm), pasir sangat halus (0,10 - 0,05 mm), debu
(0,05 0,002 mm), liat (<0,002 mm), bahan organik, struktur tanah dan permeabilitas
tanah.
Untuk menentukan nilai erodibilitas tanah (K) digunakan peramaan berikut:
100 K={2,1 M 1,14 (10-4 (12- a) +3,25(b2)+2,5(c3)}1,292
Dimana :
17
18
dengan hasil yaitu tipe penggunaan lahan 1 dengan kemiringan 40% maka nilai LS
yang diperoleh sebesar 30,4. Sedangkan nilai LS terendah dijumpai pada tipe
penggunaan lahan 5 dan 6 dengan kemiringan lereng sebesar 0-3 %, dengan nilai LS
yaitu
sebesar 0,55. Jadi semakin besar kelas kemiringan dan panjang lereng
merupakan faktor yang mempengaruhi besar kecilnya erosi yang terjadi pada suatu
unit lahan
4. Faktor Pengelolaan Tanaman (C)
Faktor C menunjukkan keseluruhan pengaruh dari vegetasi, serasah, keadaan
permukaan tanah, dan pengelolaan lahan terhadap besarnya tanah yang tererosi.
Oleh karenanya besarnya angka C tidak selalu sama dalam kurun waktu satu tahun.
Asdak (2010) menyatakan bahwa ada sembilan parameter yang ditentukan sebagai
faktor penentu besar nilai C, yaitu konsolidasi tanah, sisa-sisa tanaman, tajuk
vegetasi, sistem perakaran, efek sisa perakaran dari kegiatan pengelolaan lahan,
faktor kontur, kekasaran permukaan tanah, gulma dan rumput-rumputan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurmansyah et al. (2007) di kawasan
wisata Kaliurang, menunjukkan bahwa nilai korelasi vegetasi dan tindakan
konservasi terhadap erosi sebesar 0,367, sehingga dapat memperkecil terjadinya
erosi. Namun disisi lain penelitian yang dilakukan oleh Ispriyanto et al. (2001)
Tasikmalaya, Jawa Barat menunjukkan bahwa penebangan hutan yang diremajakan
kembali menggunakan sisitem tumpang sari mengakibatkan peningkatan laju erosi
sebesar 0,182 ton/ha/tahun.
Pada dasarnya penentuan nilai C sangat rumit, karena harus mempertimbangkan
sifat perlindungan tanaman terhadap erosivitas hujan. Sifat perlindungan tanaman
19
harus dinilai sejak dari pengolahan tanah hingga panen, bahkan hingga penanaman
berikutnya. Selain itu, penyebaran hujan selama satu tahun juga perlu memperoleh
perhatian. Untuk mendapatkan nilai C tanpa mengurangi ketelitian prediksi erosi
yang hendak dicapai dapat ditempuh cara dengan merujuk publikasi yang telah ada
sesuai dengan kondisi Indonesia. Bila untuk sebidang lahan terdapat rotasi tanaman
atau cara pengelolaan tanaman yang tidak tercantum dalam publikasi yang dirujuk,
maka dapat ditempuh dengan memperhitungkan kembali nilai C tersebut berdasarkan
nilai-nilai C pada publikasi rujukan.
5. Faktor Pengelolaan Tanah (P)
Purwowidodo (1999) menjelaskan bahwa nilai faktor tindakan konservasi tanah
atau nilai faktor P dalam USLE adalah perbandingan nilai laju erosi tanah dari suatu
lahan yang memperoleh tindakan konservasi tertentu terhadap laju erosi tanah lahan
tersebut jika diolah mengikuti arah kemiringan lahan. Menurut Arsyad (1989)
penerapan teknik konservasi di lapangan dilakukan untuk melindungi tanah dan
tanaman dari bahaya erosi, sehingga faktor konservasi atau pengelolaan tanah (P)
biasanya sudah menjadi suatu nilai dengan faktor pengelolaan tanaman (C) atau
menjadi (CP).
20
lahan dan bertujuan untuk mengurangi besarnya erosi sampai tingkat yang lebih kecil
dari laju erosi yang dapat ditoleransi. Menurut Sukresno (1994), laju erosi dapat
dikendalikan dengan adanya bangunan konservasi tanah dan air. Hammer (1981),
menyebutkan bahwa besarnya erosi pada masing masing unit lahan jika
dibandingkan dengan erosi yang dapat ditoleransikan, apabila prediksi erosi (A) lebih
besar dari erosi yang ditoleransikan (T), maka perlu dilakukan perencanaan
konservasi tanah dan air. Perencanaan konservasi tanah dan air dilakukan dengan
memperhatikan nilai dari faktor pengelolaan tanaman (C) dan faktor pengelolaan
tanah (P). Alternatif nilai dari faktor pengelolaan tanaman (C) dan faktor pengelolaan
tanah (P) dipilih, sehingga erosi yang terjadi lebih rendah dari erosi yang dapat
ditoleransikan.
Laju erosi yang dapat ditoleransi (tolerable soil loss: TSL) adalah laju erosi
terbesar yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan, agar terpelihara kedalaman
tanah yang cukup bagi pertumbuhan tanaman sehingga memungkinkan tercapainya
produktivitas tinggi secara lestari (Banuwa, 2013). Adanya erosi yang ditoleransikan
dilakukan untuk mengetahui seberapa besar laju erosi standar yang terjadi pada suatu
lahan. Apabila laju erosi aktual telah ditetapkan maka dapat diperkirakan nilai erosi
yang diperbolehkan dan dapat ditentukan kebijakan atau langkah tindakan konservasi
tanah yang dapat dilakukan agar tidak terjadi kerusakan tanah sehingga tanah yang
digunakan menjadi produktif dan lestari (Arsyad,1989)
Penelitian yang dilakukan oleh Ardiansyah et al. (2013) di kawasan hilir DAS
Padang, menunjukkan bahwa besarnya erosi yang diperbolehkan pada lokasi
21
penelitian yaitu sebesar 28.250 ton/ha/tahun, dan nilai erosi aktual tertinggi berada
pada lahan yang ditanami karet yaitu sebesar 374.298 ton/ha/tahun pada keadaan
topografi yang bergelombang.
Menurut Thompson 1957 (dalam Banuwa, 2013) untuk menentukan nilai laju
erosi yang dapat ditoleransi sangat ditentukan oleh:
a. Kedalaman Tanah
Pada tanah dangkal nilai laju erosi yang dapat ditoleransi harus rendah
bahkan 0, karena pada tanah tanah dangkal bila nilai laju erosi yang dapat
ditoleransi tinggi maka maka umur guna tanah akan singkat, lebih lebih bila
langsung di atas batuan sehingga produktivitas tinggi dan lestari sulit untuk
dipertahankan.
b. Permeabilitas Lapisan Bawah
Apabila tanah lapisan bawah lebih parmaeabel maka nilai laju erosi yang
dapat ditoleransi dapat lebih besar daripada tanah yang kedap air, hal ini
berhubungan dengan kecepatan pementukan tanah pada areal tersebut
c. Kondisi substratum
Apabila kondisi substratum tidak terkonsolidasi (sudah mengalami
pelapukan) maka proses pembentukan tanah cepat, sehingga nilai laju erosi
yang dapat ditoleransi dapat lebih besar daripada substratum yang
terkonsolidasi.
Dalam menghitung erosi yang diperbolehkan (T), dimana Hammer (1981)
menggunakan konsep kedalaman ekivalen dan umur guna tanah, dengan
memperhatikan kedalaman tanah minimum dan kecepatan proses pembentukan tanah
dengan persamaan sebagai berikut:
22
T=
CP Maksimum
Dimana :
CP Maksimum
T
R
K
LS
T
R x K x LS
23
bidang olah 50 % dengan tanaman pangan dan 50% dengan tanaman tahunan. Pada
lereng 25-45%, proporsi tanaman pada bidang olah 25 % dengan tanaman pangan dan
75% dengan tanaman tahunan. Penelitian yang dilakukan Henny et al. ( 2011) di
Desa Kebun Baru di hulu DAS Merao, Kabupaten Kerinci Jambi, menunjukkan
bahwa penanaman kentang pada guludan memotong lereng 15 % dengan jarak 4,5
meter dapat mengendalikan erosi dan kehilangan hara.
2.4 Klasifikasi Kemampuan Lahan
Menurut Arsyad (1989) klasifikasi kemampuan lahan merupakan penilaian
lahan secara sistematik dan mengelompokannya ke dalam beberapa katagori
berdasarkan
sifat-sifat
yang
merupakan
potensi
dan
penghambat
dalam
24
al. (1991) menyatakan bahwa kelas kemampuan adalah kelompok unit lahan yang
memiliki tingkat pembatas atau penghambat (degree of limitation) yang sama jika
digunakan untuk pertanian yang umum, dan lahan dikelompokan dalam delapan kelas
yang ditandai dengan huruf romawi dari I sampai VIII, dan ancaman kerusakan atau
hambatan meningkat berturut-turut dari Kelas I sampai kelas VIII.
Penelitian yang dilakukan oleh Suyana dan Muliawati (2014) di wilayah Sub
DAS Serang Daerah Tangkapan Waduk Kedung Ombo, menunjukkan bahwa
kelasifikasi kemampuan lahan pada daerah penelitian memiliki kelas kemampuan
lahan yang didominasi oleh kelas II (40,6 % ) dan kelas III (38, 9 %), sedangkan yang
paling terkecil adalah kelas VI yang hanya mencapai 1,7 % dari luas lahan
keseluruhan yaitu 37.474,10 ha dengan faktor penghambat utama yaitu kemiringan
lereng dan kedalaman tanah. Namun penelitian yang dilakukan oleh Manuputty dan
Talakua (2014) di DAS Mai Tina Kabupaten Buru Selatan Provinsi Maluku,
menunjukkan bahwa kelas kemampuan lahan yang memiliki luas paling besar adalah
kelas IV dengan luasan sebesar 24.636 ha atau 51,19 % dan kelas kemampuan lahan
yang memiliki luas paling kecil adalah kelas V dengan luasan sebesar 2.944,75 ha
atau 6,12%, dengan faktor penghambat utama didominasi oleh oleh lereng yang
bergelombang sampai dengan yang sangat curam dan tingkat erosi yang berat. Jadi
klasifikasi kemampuan lahan pada suatu areal atau daerah sangat ditentukan oleh
faktor penghambat seperti kemiringan lereng dan tingkat erosi.
25
26
yang dilakukan oleh Karsun et al. 2015 di wilayah Sub DAS Telagawaja Provinsi
Bali menunjukkan bahwa arahan penggunaan lahan diperuntukan sebagai kawasan
lindung seluas 7.337, 28 (66,01%) dan untuk kawasan penyangga seluas 3.778,31
(33,99%).Dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemanfaatan sebuah lahan
disamping dimanfaatkan untuk kawasan budidaya tetapi juga harus ada
pemanfaatannya untuk kawasan pelindung dan penyangga.
Menurut Nugraha et al. (2006), kawasan penyangga adalah kawasan yang
ditetapkan untuk menopang keberadaan kawasan lindung sehingga fungsi
lindungnya tetap terjaga sehingga kawasan penyangga merupakan batas antara
kawasan lindung dan kawasan budidaya, dan kawasan budidaya adalah kawasan yan
difungsikan untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam,
sumberdaya manusia dan sumber daya buatan. Kawasan budidaya dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu kawasan budidaya tahunan dan kawasan budidaya semusim.
Berdasarkan SK Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/8/1981 kriteria arahan
penggunaan lahan diuraikan sebagai berikut :
A. Lahan di Luar Kawasan Hutan
a. Kawasan Lindung
Jumlah skor dari ketiga faktor fisik pada satuan lahan sama atau lebih besar
dari 175 atau atau memenuhi kriteria di bawah ini:
1. Mempunyai kemiringan lereng > 45 %
2. Merupakan kawasan yang mempunyai jenis tanah yang sangat peka
terhadap erosi (regosol, litosol, dan renzina) dan memiliki kemiringan
lereng > 15 %
27
28
BAB III
KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN
3.1. Kerangka Berpikir
29
Sumber daya alam yang ada di muka bumi memiliki berbagai macam bentuk
salah satunya adalah bentang alam. Bentang alam tersebut memiliki karakteristik dan
potensi yang berbeda beda pula. Salah satu bentang lahan yang memiliki potensi
dengan karakteristik yang berbeda beda yang ada di permukaan bumi adalah lahan.
Bertambahnya jumlah manusia dan semakin tingginya kebutuhan manusia akan
berdampak pada kuantitas penggunaan dan pemanfaatan lahan yang ada. Apabila
manusia tidak memperhatikan kaidah kaidah lingkungan maka potensi kerusakan
lingkungan berpeluang terjadi. Salah satu dari kerusakan lingkungan terkait dengan
penggunaan atau pemanfaatan lahan adalah erosi. Erosi ini terjadi akaibat tidak
seimbangnya antara penggunaan sumberdaya lahan dengan tindakan konservasi tanah
dan air yang dilakukan sehingga dapat mengakibatakan degradasi lingkungan berupa
erosi. Oleh sebab itu salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencegah dan
mengurangi kerusakan lingkungan adalah melalui perediksi erosi dengan metode
USLE yang telah dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978). Dengan
diketahuinya erosi yang telah terjadi maka akan dapat digunakan sebagai salah satu
unsur untuk menentukan klasifikasi kemampuan lahan. Menurut Hockensmith dan
Steele, 1943 (dalam Murtianto, 2013) klasifikasi kemampuan lahan dapat diterapkan
sebagai metode perencanaan penggunaan lahan. Dari adanya klasifikasifikasi
kemampuan lahan yang ada, sehingga nantinya dapat diusahakan arahan penggunaan
lahan dan perencanaan konservasi tanah dan air yang sesuai untuk pemanfaatannya.
Dari adanya arahan penggunaan lahan diharapkan nantinya dapat mengurangi atau
mencegah erosi yang terjadi khususnya pada lahan yang memiliki tofografi yang
30
terjal dan intensitas hujan yang tinggi. Bagan kerangka berpikir dalam penelitian ini
disajikan dalam Gambar 3.1.
Kerusakan lahan
(erosi)
Prediksi erosi
Klasifikasi
kemampuan lahan
Arahan
penggunaan lahan
31
kelima faktor tersebut maka akan diperoleh nilai dari rumusan USLE untuk
menentukan seberapa besar dan kelas bahaya erosi yang terjadi, yang selanjutnya
digunakan dalam penentuan perencanaan konservasi tanah dan air.
Klasifikasi kemampuan lahan menggunakan metode Arsyad (1989) yaitu
dengan memperhitungkan nilai pada masing masing faktor pembatas, seperti faktor
pembatas kemiringan lereng, tingkat bahaya erosi, kedalaman efektif, tekstur,
permeabilitas, drainase, batuan dan ancaman banjir yang selanjutnya disesuaikan
dengan tabel klasifikasi kemampuan lahan yang ada, sehingga diperoleh
pengkelasan kemampuan lahan dari I VIII. Arahan penggunaan lahan
menggunakan metode skoring yang berdasarkan atas SK Menteri Pertanian Nomor
837/Kpts/Um/11/1980 dan Nomor 683/Kpts/Um/8/1981. Penggunaan metode ini
dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor lereng lapangan, faktor kepekaan jenis
tanah terhadap erosi dan faktor intensitas hujan harian rata-rata. Dari penjumlahan
ketiga faktor tersebut untuk di luar kawasan hutan akan menentukan nilai dari
kawasan lindung dengan skor > 175, kawasan penyangga dengan skor antara 125
174, dan kawasan budidaya tahunan dan semusim dengan skor < 124, sedangkan
untuk di dalam kawasan hutan akan menentukan nilai dari kawasan hutan lindung
dengan skor > 175, hutan produksi dengan skor antara 125 174 dan hutan suaka
alam dan wisata ditetapkan berdasarkan kepentingan kebudayaan, ilmu pengetahuan,
pelestarian plasma nutfah dan rekreasi. Berikut di bawah ini bagan konsep penelitian
yang dilakukan disajikan pada Gambar 3.2.
32
Gambar 3.2
Penggunaan lahan
lahan
Klasifikasi
kemampuan
lahan
Arahan
penggunaan
lahan
33
Metode skoring
zonasi kawasan
USLE
a. Faktor erosivitas hujan (R)
b. Faktor erodibilitas tanah (K)
c. Faktor panjang dan
kemiringan lereng (LS),
d. Faktor pengelolaan tanaman
(C)
e. Faktor Pengelolaan tanah
(P).
Faktor pembatas :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
Kemiringan lereng
Kepekaan erosi
Tingkat bahaya erosi
Kedalaman efektif
Tekstur
Permeabilitas
Drainase
Batuan
Ancaman banjir
Luar
kawasan
hutan
Dalam
kawasan
hutan
dalam
penelitian
pengambilan
sampel
pada
unit
lahan
dengan
34
yang ada pada unit lahan yang sesuai. Metode USLE digunakan untuk menentukan
besarnya erosi yang terjadi. Metode untuk menentukan klasifikasi kemempuan lahan
digunakan metode Arsyad (1989), yaitu dengan memperhitungkan nilai faktor
pembatas seperti kemiringan lereng, bahaya erosi, kepekaan erosi, kedalaman efektif,
tekstur, permeabilitas, drainase, batuan, ancaman banjir dan menyesuaikannya dengan
kriteria klasifikasi kemampuan lahan (Lampiran 4). Metode arahan penggunaan lahan
ditentukan dengan cara skoring pada kawasan hutan dan di luar kawasan hutan.
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitaian
Penelitian ini dilaksanakan di Daerah Aliran Sungai Pakerisan yaitu dari bulan
Januari Maret 2016. Pemilihan lokasi ini didasarkan atas Daerah Aliran Sungai
Pakerisan memiliki penggunaan lahan yang cukup bervariatif dan jumlah curah hujan
yang cukup berfluktuasi. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 4.1.
35
4.4.
36
3. Peta kemiringan lereng dan peta jenis tanah DAS Pakerisan yang
digunakan sebagai dasar pengambilan sampel tanah.
4. Data curah hujan DAS Pakerisan yaitu pengamat curah hujan stasiun di
Kabupaten Gianyar dan sekitarnya.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
1. Kompas yang digunakan untuk menentukan lokasi azimut pengambilan
sampel di lapangan.
2. Abney level yang digunakan untuk mengukur kemiringan lereng di lokasi
pengambilan sampel.
3. Bor tanah yang digunakan untuk menentukan kedalam tanah pada masing
masing sampel.
4.
4.5.
Prosedur Penelitian
Kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini yang pertama adalah
mendapatkan peta unit lahan daerah penelitian yaitu dengan menumpangtindihkan
peta jenis tanah, peta kemiringan lereng dan peta penggunaan lahan sehingga
37
didapatakan peta unit lahan. Selanjutnya ditentukan titik sampel yang akan diambil
sesuai dengan peta yang telah ditumpangtindihkan baik itu kemiringan lereng, jenis
tanah dan penggunaan lahan. Setelah pengumpulan data selesai dan data telah
didapatkan maka selanjutnya dilakukan analisis data yang menyangkut prediksi erosi,
klasifikasi kemampuan lahan dan arahan penggunaan lahan dengan metode yang
telah ditentukan. Satuan unit lahan daerah penelitian disajikan pada Tabel 4.1
Tabel 4.1.
Satuan Unit Lahan Daerah Penelitian
KABUPA
TEN
Bangli
KECAMAT
AN
Kintamani
DESA
Batur Tengah
Batur Tengah
Total
Bayunggede
Bayunggede
Total
Sekardadi
No. Unit
Lahan
1
7
Kelas
Lereng
II
II
Bentuk
Lahan
Vulkanik
Vulkanik
8
28
II
I
Vulkanik
Vulkanik
9
18
26
29
30
II
I
I
I
I
Vulkanik
Vulkanik
Vulkanik
Vulkanik
Vulkanik
10
20
23
II
I
I
Vulkanik
Vulkanik
Vulkanik
24
Vulkanik
Sekardadi
Total
JUMLAH
Susut
Penglumbara
n
Penglumbara
Luas
(Ha)
32.58
42.23
74.81
71.96
32.21
104.1
7
61.68
84.27
55.4
97.68
82.99
382.0
2
561
134.5
5
62.55
59.36
135.4
5
391.9
38
n Total
Sulahan
Sulahan Total
Susut
Susut Total
Tiga
11
13
77
II
III
I
Vulkanik
Vulkanik
Vulkanik
16
70
79
II
I
I
Vulkanik
Vulkanik
Vulkanik
19
21
I
I
Vulkanik
Vulkanik
22
27
31
I
I
I
Vulkanik
Vulkanik
Vulkanik
73
Vulkanik
49
56
57
91
I
I
I
I
Vulkanik
Vulkanik
Vulkanik
Fluvial
90
92
93
I
I
I
Fluvial
Fluvial
Fluvial
41
Vulkanik
59
Vulkanik
Tiga Total
JUMLAH
JUMLAH KAB.
BANGLI
Gianyar
Blahbatu
Bedulu
Bedulu Total
Belega
Belega Total
Blahbatuh
Blahbatuh
Total
Bona
Bona Total
1
40.75
64.1
180
284.8
5
43.21
78.23
36.01
157.4
5
95.81
45.48
185.8
1
34.05
95.47
456.6
2
1290.
83
1851.
83
57.45
57.45
51.99
92.17
28.21
89.82
262.1
9
63.92
65.73
34.83
164.4
8
54.15
166.6
2
220.7
7
39
Buruan
Buruan Total
Keramas
Keramas
Total
Medahan
Medahan
Total
Pering
Pering Total
Saba
42
54
I
I
Vulkanik
Vulkanik
62
88
I
I
Vulkanik
Fluvial
96
Fluvial
89
Fluvial
97
Fluvial
84
86
87
99
100
I
I
I
I
I
Fluvial
Fluvial
Fluvial
Fluvial
Fluvial
85
Fluvial
98
Fluvial
44
Vulkanik
58
Vulkanik
47
50
I
I
Vulkanik
Vulkanik
69
Vulkanik
53
Vulkanik
Saba Total
JUMLAH
Gianyar
Abianbase
Abianbase
Total
Bakbakan
Bakbakan
Total
Beng
Beng Total
74.51
54.02
128.5
3
48.73
71.23
304.7
1
424.6
7
47.92
380.3
7
428.2
9
29.99
30.32
39.64
43.48
507.8
651.2
3
36.33
119.5
2
155.8
5
2493.
46
41.97
169.2
6
211.2
3
57.34
97.35
155.3
3
310.0
2
80.65
80.65
40
Bitera
Bitera Total
Gianyar
Gianyar Total
Lebih
Lebih Total
Petak
Petak Total
Petak Kaja
Petak Kaja
Total
Samplangan
Samplangan
Total
Serongga
Serongga
Total
Siangan
Siangan Total
Sumita
35
45
I
I
Vulkanik
Vulkanik
52
75
I
I
Vulkanik
Vulkanik
43
55
I
I
Vulkanik
Vulkanik
61
95
I
I
Vulkanik
Fluvial
33
Vulkanik
66
Vulkanik
38
Vulkanik
64
Vulkanik
51
Vulkanik
40
60
I
I
Vulkanik
Vulkanik
94
Fluvial
34
36
48
I
I
I
Vulkanik
Vulkanik
Vulkanik
67
Vulkanik
74
Vulkanik
68
Vulkanik
33.99
80.49
185.0
8
95.61
395.1
7
176
53.02
229.0
2
61.49
67.32
128.8
1
72.45
152.9
3
225.3
8
35.24
130.4
9
165.7
3
36.84
36.84
40.63
71.74
132.8
6
245.2
3
52.37
49.82
26.07
195.7
9
114.7
5
438.8
53.12
41
83
Vulkanik
65
Vulkanik
2
3
II
II
Vulkanik
Vulkanik
4
5
6
12
14
15
17
II
II
II
III
II
II
I
Vulkanik
Vulkanik
Vulkanik
Vulkanik
Vulkanik
Vulkanik
Vulkanik
25
76
I
I
Vulkanik
Vulkanik
37
Vulkanik
63
Vulkanik
80
81
I
I
Vulkanik
Vulkanik
46
72
I
I
Vulkanik
Vulkanik
82
Vulkanik
32
39
III
I
Vulkanik
Vulkanik
71
Vulkanik
Sumita Total
Suwat
Suwat Total
JUMLAH
Tampak
Siring
Manukaya
Manukaya
Total
Pejeng
Kangin
Pejeng
Kangin Total
Pejeng Kelod
Pejeng Kelod
Total
Tampaksiring
27.16
80.28
254.4
6
254.4
6
2801.
62
27.71
92.67
183.4
7
64.6
86.23
26.9
44.64
40.41
28.87
361.9
3
75.73
1033.
16
37.12
117.9
9
112.6
6
44.1
311.8
7
42.44
27.52
116.0
9
186.0
5
80.97
62.14
222.0
7
42
78
Vulkanik
Tampaksiring
Total
JUMLAH
JUMLAH KAB.
GIANYAR
JUMLAH
KAB.
BANGLI
+
GIANYAR
48.72
413.9
1944.
98
7240.
06
9091.
89
43
erodibilitas tanah (K) didapat dari data primer dengan pengambilan sampel tanah di
lapangan dan dianalisis di labotarium untuk mendapatkan data berupa tekstur tanah,
struktur, permeabilitas, bahan organik, dan berat volume tanah. Faktor panjang dan
kemiringan lereng (LS) ditentukan dari pengamatan dan pengukuran secara langsung
dilapangan. Paktor pengelolaan tanaman (C) dan faktor pengelolaan tanah (P)
ditentukan secara langsung berdasarkan pengamatan secara langsung dilapangan dan
disesuaikan dengan nilai pengelolaan tanaman dan konservasi tanah yang sudah
umum digunakan di Indonesia.
Berdasarkan faktor erosivitas hujan, erodibilitas tanah, panjang dan kemiringan
lereng, pengelolaan tanaman dan pengelolaan tanah tersebut, maka akan didapatkan
nilai dari rumusan USLE, yang selanjutnya digunakan untuk menentukan seberapa
besar erosi yang terjadi dan kelas tingkat bahaya erosi, serta nilai erosi yang
ditoleransikan. Metode USLE dan erosi yang dapat ditoleransikan akan digunakan
untuk mencari nilai dari perencanaan konservasi tanah dan air.
Metode Arsyad (1989) digunakan untuk menentukan klasifikasi kemampuan
lahan. Dalam menentukan klasifikasi kemampuan lahan menggunakan metode
Arsyad (1989) ini dilakukan dengan memperhitungkan nilai dari faktor pembatas
yaitu faktor pembatas kemiringan lereng yaitu ditentukan dari pengamatan langsung
dan data sekunder berupa peta kemiringan lereng yang telah di dapat; faktor pembatas
tingkat bahaya erosi yaitu didapat setelah melakukan analisis data mengenai prediksi
erosi yang diklasifikasikan menurut kelas erosi yang ada; faktor pembatas kedalaman
efektif yang diperoleh dengan pengukuran langsung di lapangan; faktor pembatas
44
faktor pembatas tekstur tanah yang diperoleh dari analisis labotarium sampel tanah
yang telah diambil; faktor pembatas drainase yaitu diperoleh dengan cara pengamatan
langsung; faktor pembatas batuan diperoleh dengan cara pengamatan langsung di
lapangan; faktor pembatas ancaman banjir diperoleh dengan cara pengamatan secara
langsung keadaan lahan di lapangan. Setelah memperhitungkan nilai yang dimiliki
masing masing faktor pembatas maka selanjutnya disesuaikan dengan kriteria
klasifikasi kemampuan lahan yang ada.
Metode skoring digunakan untuk menentukan arahan penggunaan lahan.
Dalam menggunakan metode ini dipertimbangkan tiga faktor, yaitu faktor lereng
lapangan, faktor kepekaan jenis tanah terhadap erosi dan faktor intensitas curah hujan
harian rata-rata. Penjumlahan dari ketiga faktor tersebut akan menentukan arahan
penggunaan lahan dengan kreteria skor untuk masing masing kawasan, yaitu skor
untuk kawasan lindung > 175, kawasan penyangga dengan skor antara 125 174, dan
dan kawasan budidaya tahunan dan semusim dengan skor < 124, sedangkan untuk di
dalam kawasan hutan akan menentukan nilai dari kawasan hutan lindung dengan skor
> 175, hutan produksi dengan skor antara 125 174 dan hutan suaka alam dan wisata
ditetapkan berdasarkan kepentingan kebudayaan, ilmu pengetahuan, pelestarian
plasma nutfah dan rekreasi. Prosedur Penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.3.
Menumpangtindihkan peta:
1. Jenis tanah
2. Kemiringan lereng
3. Peta penggunaan lahan
Prediksi erosi dan perencanaan
konservasi tanah dan air dengan
metode USLE
Arahan penggunaan
lahan dengan metode
skoring
45
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Faktor pembatas :
Kemiringan lereng
Kepekaan erosi
Tingkat bahaya erosi
Kedalaman efektif
Tekstur
Permeabilitas
Drainase
Batuan
Ancaman banjir
Dalam
kawasan
hutan
Luar
kawasan
hutan
Gambar 4.3.
Bagan Alir Prosedur Penelitian
4.6.
4.6.1.
Analisis Data
Prediksi Erosi
Analisis data mengenai prediksi erosi yaitu dengan cara, data tata yang telah
terkumpul baik itu data sekunder maupun data primer akan dianalisis menggunakan
rumus USLE yang telah dikembangkan oleh Wischmeir dan Smith (1978). Dimana
dalam analisis menggunakan rumus USLE ini akan mengkobinasikan beberapa faktor
utama penyebab terjadinya erosi sehingga terjadi kehilangan tanah pada suatu areal
tertentu. Berikut persamaan USLE yang digunakan dalam analisis data yang akan
diperoleh:
A=R.K.L.S.C.P
46
dimana:
A
= banyaknya tanah tererosi (ton/ha/tahun)
R
= faktor curah hujan (ton/ha/cm)
K
= faktor erodibilitas tanah
L
= faktor panjang lereng (m)
S
= faktor kemiringan lereng (%)
C
= faktor vegetasi penutup tanah dan
pengelolaan tanaman
P
= faktor tindakan-tindakan khusus
Konservasi
47
Berkenaan dengan menentukan nilai dari faktor erosivitas hujan (R), karena
menggunakan dua stasiun curah hujan, maka untuk mendapatakan curah hujan
rata rata daerah penelitian digunakan metode rata rata aljabar (Suyono
1977, dalam Atmaja 1995). Berikut persamaannya:
=1/n ( R1 + R2 ..+ Rn)
Dimana:
: Curah hujan rata- rata daerah /wilayah (mm)
n : Jumlah titik pengamatan
R1 , R2 , Rn : Curah hujan tiap stasiun (mm)
b. Faktor Erodibilitas Tanah ( K)
Faktor erodibilitas tanah dapat dihitung dengan menggunakan rumus yang
telah dikembangkan oleh Wischmeir dan Smith (1978 ) yaitu:
100 K={2,1 M
1,14
Dimana :
K : Erodibilitas tanah
M : (Persentase pasir halus + debu) x (100 persentase liat)
a : persentase kandungan bahan organik (%)
b : Kode harkat struktur tanah
c : Kode harkat permeabilitas tanah
Dalam menentukan besarnya nilai dari faktor erodibilitas tanah terkait dengan
rumus yang dipakai, maka berikut tabel yang digunakan dalam menentukan kode
48
No
Kode ( Nilai)
1.
2.
Granuler halus ( 1 2 mm )
3.
4.
struktur tanah, kode permeabilitas tanah dan nilai dari erodibilitas tanah yang
disajikan pada Tabel 4.2, Tabel 4.3, dan Tabel 4.4.
Tabel 4.2.
Kode Struktur Tanah
Sumber : Arsyad (1989)
Tabel 4.3.
Kode Permeabilitas Tanah
No
Kelas Permeabilitas
Kecepatan
( cm/jam )
1.
Sangat lambat
< 0,05
2.
Lambat
0,05 2,0
3.
Sedang sampai lambat
2,0 6,3
4.
Sedang
6,3 12,7
5.
Sedang sampai sepat
12,7 25,4
6.
Cepat
>25,4
Sumber: Arsyad (1989)
Kode
(Nilai)
6
5
4
3
2
1
49
Tabel 4.4.
Klasifikasi Nilai Erodibilitas Tanah (K)
Kelas
Nilai K
1
0,00 0,10
2
0,11 0,20
3
0,21 0, 32
4
0,33 0,40
5
0,41 0,55
6
0,56 0,64
Sumber: Arsyad (1989)
Klasifikasi
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Agak tinggi
Tinggi
Sangat tinggi
Dimana :
LS : Faktor tofografi
X : Panjang lereng (m)
s : Kedalaman lereng (%)
Berikut tabel yang digunakan untuk menentukan nilai faktor panjang dan
kemiringan lereng berdasarkan kelas kemiringan lereng yang disajikan pada Tabel
4.5.
Tabel 4.5.
Penilaian LS Berdasarkan Kelas Kemiringan Lereng
Kelas Kemiringan Lereng
Nilai LS
08
0,4
8 15
1,4
50
15 25
25 45
>45
Sumber: Kusumandari dan Soedjoko (2007)
3,1
6,8
9,5
Kedalam
tanah ( cm)
> 90
60 -90
< 15
Sangat
ringan
Ringan
Tabel 4.6.
Kelas Laju Erosi
Erosi (ton/ha/tahun)
15- 60
60 - 180
180 480
Ringan
Sedang
Berat
Sedang
Berat
Sangat
berat
>480
Sangat
berat
Sangat
berat
51
30 -60
< 30
Sedang
Berat
Sangat
berat
Sangat
berat
Sangat
berat
Berat
Sangat
berat
Sangat
berat
Sangat
berat
Sangat
berat
4.6.2.
Maksimum
T
R x K x LS
Dimana :
CP Maksimum
T
R
K
LS
52
4.6.3.
1.
Kemiringan Lereng
53
Tingkat erosi
Tingkat erosi tanah dalam klasifikasi kemampuan lahan dikelompokkan
sebagai berikut:
E0 = tidak ada erosi
54
E1 = sangat ringan
E2 = ringan
E3 = sedang
E4 = berat
E5 = sangat berat
4.
Kedalaman tanah
Penentuan klasifikasi kemampuan lahan dilihat dari :
k0 = lebih dari 90 cm (dalam)
k1 = 90 sampai 50 cm (sedang)
k2 = 50 sampai 25 cm (dangkal)
k3 = kurang dari 25 cm (sangat dangkal)
5.
55
P2 = agak lambat
P3 = sedang
P4 = agak cepat
P5 = cepat
7. Drainase
Tingkat drainase tanah dalam klasifikasi kemampuan lahan dibedakan
sebagai berikut :
d0 = berlebihan
d1 = baik
d2 = agak baik
d3 = agak buruk
d4 = buruk
d5 = sangat buruk
8. Batuan
Tingkat batuan yang terdapat pada permukaan tanah dalam klasifikasi
kemampuan lahan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
b0 = tidak ada, kurang dari 2 % volume tanah
56
57
Tabel 4.7.
Kriteria Klasifikasi Kemampuan Lahan
Faktor
penghambat/Pembatas
Lereng Permukaan
Kepekaan erosi
II
III
IV
VI
VII
VIII
A
KE1
D
KE6
A
(*)
E
(*)
F
(*)
G
(*)
E3
k2
t1 t2
t3 t4
P2 P3
P4
d4
b2
O3
(**)
(*)
(*)
E5
(*)
t1 t2
t3 t4
(*)
(*)
(*)
t5
P1
E4
k3
t1 t2
t3 t4
(*)
d5
b3
O4
(*)
(*)
(**)
(*)
(*)
(*)
d0
B4
(*)
Tingkat erosi
Kedalaman tanah
Tekstur lapisan tanah
E0
k0
t1 t2 t3
B
KE2
KE3
E1
k1
t1 t2 t3
Permeabilitas
P2 P3
P2 P3
C
KE4
KE5
E2
k2
t1 t2
t3 t4
P2 P3
d1
b0
O0
d2
b1
O1
d3
b1
O0
Drainase
Batuan
Ancaman banjir
4.6.4.
P5
58
ketiga faktor tersebut menentukan nilai dari masing masing kawasan dengan
kreteria berikut:
59
usaha tani tahunan, di samping itu kawasan ini harus memenuhi kriteria
umum untuk kawasan penyangga.
d. Kawasan Budidaya Tanaman Semusim
Jumlah skor dari ketiga faktor fisik pada satuan luas untuk satuan luas
pada kawasan budidaya tanaman semusim sama seperti penetapan
kawasan budidaya tanaman tahunan serta terletak di tanah milik, tanah
adat atau desa, dan tanah negara yang seharusnya dikembangkan untuk
usaha tani tanaman semusim.
B. Lahan di Dalam Kawasan Hutan
a. Hutan Lindung
Jumlah skor dari ketiga faktor fisik pada satuan lahan untuk hutan
lundung sama atau lebih besar dari 175, sehingga kawasan tersebut
merupakan kawasan yang dijadikan dan dipertahankan sebagai kawasan
hutan lindung atau memenuhi salah salah satu kriteria di bawah ini :
1. Mempunyai kemiringan lereng > 45 %
2. Merupakan kawasan yang mempunyai jenis tanah yang sangat peka
terhadap erosi (regosol, organosol dan renzena) dan memiliki
kemiringan lereng >15 %.
3. Merupakan pelindung mata air yaitu 200 meter dari sumber mata air
4. Merupakan jalur pengaman aliran sungai sekurang kurangnya 100
meter di kanan kiri alur sungai
5. Berada pada ketinggian > 2000 meter di atas permukaan laut
6. Guna keperluan atau kepentingan khusus ditetapkan oleh Menteri
Kehutanan sebagai hutan lindung
b. Hutan Produksi
Hutan produksi dibedakan menjadi dua jenis yaitu hutan produksi
penebangan terbatas dengan jumlah skor ketiga faktor fisik 125 174 dan
hutan produksi bebas dengan jumlah skor ketiga faktor fisik sama atau
60
kurang dari 124 di luar kawasan hutan suaka alam dan hutan konservasi
lainya.
c. Hutan Suaka Alam dan Hutan Wisata
Penetapan hutan suaka alam dan hutan wisata tidak berdasarkan
nilai skor dari ketiga faktor fisik pada suatu unit lahan melainkan lebih
diarahkan
kepada
kepentingan
kebudayaan,
ilmu
pengetahuan,
Kela
Kisaran
Kriteria
Skor
Lereng
s
1
2
08%
8 15 %
Datar
Landai
20
40
15 30 %
Agak Curam
60
30 45 %
Curam
80
> 45 %
Sangat curam
100
Lapangan
Jenis tanah
menurut
Tidak peka
tanah
Latosol
Kurang peka
30
Agak peka
45
brown, mediteran
Andosol, laterite, grumosol,
Peka
60
podsol, podsolik
Regosol, litososl, organosol,
Sangat peka
75
kepekaannya
terhadap erosi
15
renzina
61
Intensitas curah
hujan harian
rata - rata
1
2
0 13,6 mm/hari
13,6 20, 7 mm/hari
Sangat rendah
Rendah
10
20
Sedang
30
Tinggi
40
34,8 mm/hari
Sangat tinggi
50
DAFTAR PUSTAKA
62
63
Fitria, I. dan Arif, S. 2010. Analisis Erosi Lahan Pertanian dan Parameter Ekonomi
Berbasis Sisitem Informasi Geografis di Hulu DAS Jeneberag Makasar,
Jurnal Menejemen Sumberdaya Lahan Vol. 1 (13): 1-10
Food and Agriculture Organization (FAO). 1976. A Framework For Land Evaluation.
FAO Soil Bull. No. 32 Rome, 72 pp. and ILRI Publication No. 22
Wageningen.
Gunamanta, P. G. 2002.Identifikasi Karakteristik Lahan Kering Sebagai Acuan
Perencanaan Konservasi Tanah dan Air di DAS Anyar, Bali(Tesis). Program
Studi Magister Pertanian Lahan Kering. Universitas Udayana.
Goro, G. L. (2008). Kajian Pengaruh Intensitas Hujan Pada Jenis Tanah Regosol
Kelabu Untuk Kemiringan Lereng Yang Berbeda. Jurnal Wahana Teknik
Sipil. Vol.13 (2): 86 98.
Hammer, W. I., 1981. Soil Conservation Consultant Report Center for Soil Research.
LPT Bogor. Indonesia.
Hardjowigeno, S. 2007. Ilmu Tanah. Jakarta : CV Akademika Pressindo
Henny, H., Murtilaksono, K., Sinukaban, N., Tarigan, S. D. 2011. Erosi dan
Kehilangan Hara Pada Pertanaman Kentang Dengan Beberapa Sistem
Guludan Pada Adisol Di Hulu DAS Merao, Kabupaten Kerinci, Jambi. Jurnal
Solum. Vol. 8 (2): 43 52.
Huzaini, A., dan S. Rahayu. 2013. Tingkat Kekritisan Lahan di Kecamatan
Gunungpati Kota Semarang. Jurnal Teknik PWK Vol. 2 (2): 270 - 280
Idjudin, A. 2011. Peranan Konservasi Lahan Dalam Pengelolaan Perkebunan. Jurnal
Sumberdaya Lahan. Vol. 5 (2) : 103 116.
Ispriyanto, R., Arifjaya, N. M., Hendarayanto. 2001. Aliran Permukaan dan Erosi di
Areal Tumpangsari Tanaman Pinus Merkusii Jungh. Et. De. Vriese. Jurnal
Manajemen Hutan Tropika. Vol. 7 (1): 37 47.
Karsun. Merit, I. N., Suarna, I. W. 2015. Arahan Penggunaan lahan Sub Daerah
Aliran Sungai (DAS) Telagawaja Provinsi Bali. Jurnal Ecotrophic, Vol. 9 (1) :
19 24.
Komaruddin, 2008. Penilaian Bahaya Erosi di Sub Derah Aliran Sungai Cileungsi,
Bogor. Jurnal Ilmu Tanah dan Agroklimatologi. Vol.19 (3):173-178.
64
65
Veiche, A. 2002. The Spatial Variability of Erodibility and Its Relation To Soil Types.
A Study for Northen Ghana.
Widyantara, I. G. A. L., Merit, I. N., Adnyana, I. W. S. 2014 Arahan Penggunaan
Lahan dan Perencanaan Konservasi Tanah dan Air Di DAS Yeh Empas,
Tabanan, Bali.. Jurnal Ecotrophic, Vol. 9 (1) : 54 62.
Wischmeir, W. H. and D. D. Smith. 1978. Predicting Rainfall Erosion Lossess: A
guide to Conservation Planning. USDA Agric. Handbook No.537.
Washington DC.
66
LAMPIRAN
Lampiran 1. Nilai faktor C untuk berbagai jenis tanaman dan pengelolaan tanam di
Indonesia
No
Nilai
Faktor C
1.
2.
Sawah beririgasi
0,01
3.
0,05
4.
0,7
5.
Ubi kayu
0,7
6.
Jagung
0,7
7.
0,5
8.
0,6
9.
Kacang tanah
10.
Kebun campuran,
bervariasi
1,0
0,452
tajuk
bertingkat,
penutup
tanah
67
11.
Kerapatan tinggi
0,1
Ubi kayu/kedelai
0,2
Kerapatan sedang
0,3
0,5
Kerapatan tinggi
Kerapatan sedang
0,1
0,5
12.
0,3
13.
0,2
14.
15.
Serasah tinggi
0,001
Serasah sedang
0,005
Hutan produksi
Tebang habis
0,5
Tebang pilih
0,2
16.
17.
Semak belukar
18.
19.
Semak lamtoro
20.
21.
22.
0,181
23
0,195
24
Karet
0,95
0,3
0,021
0,51
0,012
0,32
0,8
68
Teh
0,5
Kelapa sawit
0,5
Kelapa
0,5
Lampiran 1. (Lanjutan)
25
Rumput brachiaria
Tahun pertama
Tahun kedua
Tahun seterusnya
0,3
0,02
0,002
26.
0,496
27.
0,347
28.
0,357
29.
0,588
30.
0,495
31.
0,571
32.
0,049
33.
0,029
34.
1,0
35.
0,35
36.
0,08
37.
0,6
69
No
1.
2.
Kontruksi baik
0,04
Kontruksi sedang
0,15
Kontruksi buruk
0,35
0,04
0,40
3.
0,06
4.
0,02
5.
Teras tradisional
0,40
6.
0,01
7.
0,06
8.
0,01
9.
0,11
10.
0,15
11.
0,60
12.
0,05
Lampiran 2 (Lanjutan)
13.
14.
Kemiringan 0 8 %
0,50
Kemiringan 9 20 %
0,75
Kemiringan > 20 %
0,90
70
0,30
0,50
0,80
15.
0,40
16.
1,00
Taxonomi Tanah
(Sub Orde)
Harkat Kemerosotan
Sifat
Fisik dan Kimia Tanah
Fisika
Kimia
Nilai
Faktor
Kedalam
an
1.
Aquaf *)
0,90
2.
Udalf *)
0,90
3.
Ustalf
0,90
4.
Aquent
0,90
5.
Arent
1,00
6.
Fluvent *)
1,00
7.
Orthent
1,00
8.
Psmment
1,00
9.
Andept *)
1,00
10.
Aquept *)
0,95
11.
Tropept
1,00
12.
Alboll
0,75
13.
Aquoll
0,90
14.
Rendoll
0,90
71
15.
Udoll
1,00
16.
Ustoll
1,00
17.
Aquox
0,90
18.
Humox
1,00
19.
Orthox *)
0,90
20.
Ustox
0,90
21.
Aquod
0,90
22.
Ferrod
0,95
Lampiran 3 (Lanjutan)
23.
Humod
1,00
24.
Orthod
0,95
25.
Aquult
0,80
26.
Humult
1,00
27.
Udulf
0,80
28.
Ustult
0,80
29.
Udert
1,00
30.
Ustret
1,00
72