Anda di halaman 1dari 11

BAB V

HASIL PENELITIAN
Dalam

bab ini akan dijabarkan hasil pengumpulan data dan analisis data dari

penelitian mengenai hubungan antara faktor internal dan ekstenal dengan tingkat stres pada
karyawan shift.
1.1 Distribusi Karateristik Subyek Penelitian
Tabel 3. Distibusi Karakteristik Subyek Penelitian
Frekuensi
Karakteristik Subyek Penelitian

26-35 tahun

116

80.0

36-45 tahun

27

18.7

46-55 tahun
Jenis kelamin

1.4

Usia

Laki-laki

96

66.2

Perempuan
Status perkawinan

49

33.8

Menikah

68

46.9

Belum menikah

75

51.7

Cerai
Pendidikan terakhir

1.4

SMA

32

22.1

D3

30

20.7

S1

76

52.4

S2
Masa kerja

4.8

<5 tahun

99

68.3

>5 tahun

46

31.7

Total subyek penelitian yang berpatisipasi dalam pelaksanaan penelitian ini adalah 145
subyek. Karakteristik dari subyek penelitian berdasarkan pembagian usia dimulai dari 26-35
tahun sebanyak 116 subyek atau 80.0%, pada usia 36-45 tahun sebanyak 27 subyek atau

18.7%, dan pada usia 46-55 tahun sebanyak 2 subyek atau 1.4%. Karakteristik berdasarkan
jenis kelamin yaitu laki-laki sebayak 96 subyek atau 66.2% sedangkan perempuan sebayak
49 subyek atau 33.8%. Karakteristik berdasarkan status perkawinan yaitu menikah sebanyak
68 subyek atau 46.9%, belum menikah sebanyak 75 subyek atau 51.7% dan yang cerai
sebanyak 2 subyek atau 1.4%. Karateristik berdasarkan pendidikan terakhir dimulai dari
SMA sampai pada S2 subyek penelitian terbanyak pada pendidikan S1 yaitu 76 subyek atau
52.4%. Sedangkan karakteristik berdasarkan masa kerja yaitu < 5 tahun sebanyak 99 subyek
atau 68,3% dan > 5 tahun sebanyak 46 subyek atau 31.7%.
1.2 Distribusi Frekuensi Tingkat Stres Kerja
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Tingkat Stres Kerja
Frekuensi
Tingkat Stres Kerja
Tidak Stres

N
31

%
21.4

Stres ringan

26

17.9

Stres sedang

35

24.1

Stres berat

53

36.6

Jumlah

145

100.0

Sebanyak 145 subyek yang ikut berpatisipasi dalam penelitian ini, dimana terdapat 31 subyek
atau 21.4% yang tidak mengalami stres kerja, 26 subyek atau 17.9% mengalami stres ringan,
35 subyek atau 24.1% mengalami stres sedang, dan 53 subyek atau 36.6% mengalami stres
berat. Tingkat stres akibat kerja yang dialami oleh karyawan dalam penelitan ini terbanyak
mengalami stres berat.

1.3 Distribusi Frekuensi Dukungan Sosial


Tabel 5. Distribusi Frekuensi Dukungan Sosial
Frekuensi
Dukungan Sosial
N

Baik

6.2

Sedang

124

85.5

Buruk

12

8.3

Jumlah

145

100.0

Dari tabel distribusi dukungan sosial diatas, terdapat 145 subyek dalam penelitian ini,
dimana 9 subyek atau 6.2% mendapat dukungan sosial baik, 124 subyek atau 85.5%
mendapat dukungan sosial sedang dan 12 subyek atau 8.3% mendapat dukungan sosial
yang buruk.
1.4 Hubungan antara faktor internal dan tingkat stres kerja
Tabel 6. Hubungan antara usia dan tingkat stres kerja
Usia
36-45 tahun
n
%
10
6.9

Total

Tidak stres

26-35 tahun
n
%
20
13.8

Stres ringan

20

13.8

4.1

0.0

26

17.9

Stres sedang

29

20.0

3.4

0.7

35

24.1

Stres berat

47

32.4

4.1

0.0

53

36.6

Total

116

80.0

27

18.6

1.4

145

100.0

Tingkat stres kerja

46-55 tahun
n
%
1
0.7

P-Value*

n
31

%
21.4

0.087

Hubungan antara usia dan tingkat stres kerja pada karyawan shift dilakukan dengan
analisis statistik dengan menggunakan uji Fishers exact yang ada dalam program SPSS
versi 20.0, didapatkan nilai p = 0.087 yang berarti nilai p > 0.05 maka hasil uji statistik
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia dan tingkat
stres kerja pada karyawan shift.
Tabel 7. Hubungan antara jenis kelamin dan tingkat stres kerja
Jenis kelamin
Tingkat stres kerja
Tidak stres

Total

Laki-laki
n
%

Perempuan
N
%

20

11

31

21.4

13.8

7.6

P-Value*

Stres ringan

19

13.1

4.8

26

17.9

Stres sedang

27

18.6

5.5

35

24.1

Stres berat

30

20.7

23

15.9

53

36.6

Total

96

66.2

49

33.8

145

100.0

0.200

Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji Chi-Square yang ada dalam program
SPSS versi 20.0 dari hubungan antara jenis kelamin dan tingkat stres kerja pada
karyawan shift, didapatkan nilai p = 0.200 yang berarti nilai p > 0.05 maka hasil uji
statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dan tingkat
stres kerja pada karyawan shift.
Tabel 8. Hubungan antara status perkawinan dan tingkat stres kerja
Status perkawinan
Tingkat stres kerja

Menikah

Belum

Cerai

Stres sedang

n
12
13
15

%
8.3
9.0
10.3

menikah
n
%
19
13.1
12
8.3
19
13.1

Stres berat
Total

28
68

19.3
46.9

25
75

Tidak stres
Stres ringan

17.2
51.7

Total

P-Value*

N
0
1
1

%
0.0
0.7
0.7

N
31
26
35

%
21.4
17.9
24.1

0
2

0.0
1.4

53
145

36.6
100.0

0.563

0.563

Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji Chi-Square yang ada dalam program
SPSS versi 20.0 dari hubungan antara jenis kelamin dan tingkat stres kerja pada
karyawan shift, didapatkan nilai p = 0.563 yang berarti nilai p > 0.05 maka hasil uji
statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara status perkawinan dan
tingkat stres kerja pada karyawan shift.
Tabel 9. Hubungan antara pendidikan terakhir dan tingkat stres kerja
Pendidikan terakhir
Tingkat stres
kerja

SMA
n
%

D3
n

Total

S1
%

S2
%

P-Value*
%

Tidak stres

3.4

4.8

18

12.4

0.7

31

21.4

Stres ringan

3.4

4.1

14

9.7

0.7

26

17.9

Stres sedang

6.2

4.8

16

11.0

2.1

35

24.1

Stres berat

13

9.0

10

6.9

28

19.3

1.4

53

36.6

Total

32

22.1

30

20.7

76

52.4

4.8

145

100.0

0.969

Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji Chi-Square yang ada dalam program
SPSS versi 20.0 dari hubungan antara jenis kelamin dan tingkat stres kerja pada
karyawan shift, didapatkan nilai p = 0.969 yang berarti nilai p > 0.05 maka hasil uji
statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara pendidikan terakhir dan
tingkat stres kerja pada karyawan shift.
Tabel 10. Hubungan antara masa kerja dan tingkat stres kerja
Masa kerja
< 5 tahun
n
%

Tidak stres

17

11.7

14

Stres ringan

17

11.7

Stres sedang

26

Stres berat
Total

Tingkat stres kerja

Total

>5 tahun
%

P-Value*

9.7

31

21.4

6.2

26

17.9

17.9

6.2

35

24.1

39

26.9

14

9.7

53

36.6

99

68.3

46

31.7

145

100.0

0.270

Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji Chi-Square yang ada dalam program
SPSS versi 20.0 dari hubungan antara jenis kelamin dan tingkat stres kerja pada
karyawan shift, didapatkan nilai p = 0.270 yang berarti nilai p > 0.05 maka hasil uji
statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara masa kerja dan tingkat stres
kerja pada karyawan shift.
1.5 Hubungan antara faktor eksternal dan tingkat stres kerja
Tabel 11. Hubungan antara dukungan sosial dan tingkat stres
Dukungan sosial
Tingkat stres kerja

Baik

Sedang

Buruk

Total

P-Value*

Tidak stres

n
0

%
0.0

n
28

%
19.3

n
3

%
2.1

n
31

%
21.4

Stres ringan

0.7

21

14.5

2.8

26

17.9

Stres sedang

1.4

32

22.1

0.7

35

24.1

Stres berat

4.1

43

29.7

2.8

53

36.6

Total

6.2

124

85.5

12

8.3

145

100.0

0.256

Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji Chi-Square yang ada dalam program
SPSS versi 20.0 dari hubungan antara jenis kelamin dan tingkat stres kerja pada karyawan
shift, didapatkan nilai p = 0.256 yang berarti nilai p > 0.05 maka hasil uji statistik
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara dukungan sosial dan tingkat stres kerja
pada karyawan shift.

BAB VI
PEMBAHASAN PENELITIAN
1.1 Hubungan antara faktor internal dengan tingkat stres kerja
1.1.1 Hubungan antara usia dan tingkat stres kerja
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok usia 26-35 tahun sebanyak 20
subyek atau sebesar 13.8% didapatkan tidak mengalami stres kerja dan juga terdapat
stres ringan, kemudian sebanyak 29 subyek atau 20% mengalami stres sedang, dan
sebanyak 47 subyek atau 32.4% mengalami stres berat. Pada kelompok usia 36-45 tahun
sebanyak 10 subyek atau 6.9% tidak mengalami stres, 6 subyek atau 4.1% mengalami
stres ringan dan stres berat, 5 subyek atau 3.4% mengalami stres sedang. Sedangkan pada
kelompok usia 46-55 tahun sebanyak 1 subyek atau 0.7% tidak mengalami stres dan juga

didapatkan stres sedang. Namun pada hasil analisis statistik dengan menggunakan uji
chi-Square diperoleh nilai p = 0.087 yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
antara usia dan tingkat stres kerja pada karyawan.
Meskipun tidak memiliki hubungan antara usia dan tingkat stres kerja, namun dari
penelitian ini dapat dilihat pada kelompok usia 26-35 tahun (dewasa awal) menunjukkan
lebih banyak mengalami stres kerja dibandingkan dengan kelompok usia 36-55 tahun.
Hal ini berhubungan erat dengan maturitas atau tingkat kedewasaan seseorang. Semakin
lanjut usia seseorang maka akan semakin meningkat kedewasaannya dan lebih mampu
dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Seiring bertambahnya umur maka
akan meningkat pula kemampuan dalam membuat keputusan, berpikir rasional,
bijaksana, mampu mengendalikan emosi, dan terbuka menerima pandangan atau
pendapat orang lain sehingga ketahanan dirinya terhadap stres akan meningkat.
Penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Tobing (2009) yang menyatakan
bahwa mayoritas perawat mengalami stres kerja pada kelompok usia dewasa awal yaitu
pada usia 26-35 tahun.
1.1.2

Hubungan antara jenis kelamin dan tingkat stres kerja


Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada laki-laki sebanyak 20 subyek atau 13.8%
tidak mengalami stres, 19 subyek atau 13.1% mengalami stres ringan, 27 subyek atau
18.6% mengalami stres sedang, dan 30 subyek atau 20.7% mengalami stres berat.
Sedangkan pada perempuan, sebanyak 11 subyek atau 7.6% tidak mengalami stres, 7
subyek atau 4.8% mengalami stres ringan, 8 subyek atau 5.5% mengalami stres sedang,
dan 23 subyek atau 15.9% mengalami stres berat. Namun pada hasil analisis statistik
dengan menggunakan uji chi-square diperoleh nilai p = 0.200 yang artinya tidak terdapat
hubungan antara jenis kelamin dan tingkat stres kerja pada karyawan.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fitri (2013) bahwa
tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan stres kerja. Hal ini mungkin
disebabkan karena perbedaan jenis kelamin tidak memberikan kontribusi yang besar bagi
stres kerja bila dibandingkan dengan perbedaan gender. Perbedaan gender yang
dimaksud adalah perbedaan kondisi psikologis individu yang dibedakan menjadi
maskulin dan feminim. Dari penelitian yang berjudul the effects of gender role on
perceived Job Stress yang dilakukan pada karyawan bank di Taiwan tahun 2010
mengungkapkan bahwa perbedaan gender mempengaruhi tingkat stres yang dirasakan di
tempat kerja.

1.1.3

Hubungan antara status perkawinan dan tingkat stres kerja


Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada status perkawinan menikah yang tidak
mengalami stres kerja sebanyak 12 subyek atau 8.3%, stres ringan sebanyak 13 subyek
atau 9.0%, stres sedang sebanyak 15 subyek atau 10.3%, stres berat sebanyak 28 subyek
atau 19.3%. pada status perkawinan belum menikah, sebanyak 19 subyek atau 13.1%
tidak mengalami stres dan stres sedang, 12 subyek atau 8.3% mengalami stres ringan,
dan 25 subyek atau 17.2% mengalami stres berat. Sedangkan pada status perkawinan
cerai, terdapat 1 subyek yang mengalami stres ringan dan stres sedang. Namun, pada
hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi-square diperoleh nilai p = 0.563 yang
artinya tidak terdapat hubungan antara status perkawinan dengan tingkat stres kerja pada
karyawan.
Dari hasil penelitian diatas juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Siboro
(2009) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara status perkawinan
dengan stres kerja. Meskipun tidak terdapat hubungan, namun dapat diliat dari hasil
diatas bahwa kejadian stres kerja lebih banyak terdapat pada status yang telah menikah.
Menurut Hidayat (2000) menyatakan bahwa status seseorang mempengaruihi tingkat
kelelahan, orang yang sudah menikah lebih cepat mengalami kelelahan dibandingkan
dengan orang yang belum menikah. Dan menurut Munandar (2004) menyatakan bahwa
konflik antara tuntutan keluarga yang telah menikah dan tuntutan dalam pekerjaan, dapat
menjadi tekanan bagi karyawan dalam pekerjaannya sehingga dapat menyebabkan
seseorang menjadi stres.

1.1.4

Hubungan antara pendidikan terakhir dengan tingkat stres kerja


Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 5 subyek atau 3.4% pada pendidikan
terakhir SMA tidak mengalami stres kerja dan sebanyak 5 subyek atau 3.4% juga
mengalami stres ringan, 9 subyek atau 6.2% mengalami stres sedang dan 13 subyek atau
9.0% mengalami stres berat. Pada pendidikan terakhir D3, yang tidak mengalami stres
dan mengalami stres sedang sebanyak 7 subyek atau 4.8%, stres ringan sebanyak 6
subyek atau 4.1%, dan stres berat sebanyak 10 subyek atau 6.9%. Pada pendidikan
terakhir S1, yang tidak mengalami stres sebanyak 18 subyek atau 12.4%, stres ringan
sebanyak 14 subyek atau 9.7%,, stres sedang sebanyak 16 subyek atau 11.0%, dan stres
berat sebanyak 28 subyek atau 19.3%. Sedangkan pada pendidikan terakhir S2, yang
tidak mengalami stres dan juga mengalami stres ringan sebanyak 1 subyek atau 0.7%,

stres sedang sebanyak 33 subyek atau 2.1% dan stres berat sebanyak 2 subyek atau 1.4%.
Dari hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi-square diperoleh nilai p = 0.969
yang artinya tidak terdapat hubungan antara pendidikan terakhir dengan tingkat stres
kerja pada karyawan.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gobel, Rattu dan
Akili (2014) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan
dengan tingkat stres kerja pada karyawan. Karyawan dengan pendidikan rendah tidak
selalu mengalami stres kerja dan karyawan dengan pendidikan tinggi tidak dapat
dipastikan akan terbebas dari stres kerja.
Liebert dan Neakeref (2011) berpendapat bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi
pemilihan pekerjaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka keinginan
untuk melakukan pekerjaan dengan tingkat tantangan yang tinggi semakin kuat. Harapan
dan ide kreatif akan dituangkan dalam usaha penyelesaian tugas yang sempurna. Lain
halnya dengan seseorang yang berpendidikan S1 yang memiliki sifat pendidikan lebih
analitis atau manajerial, sehingga dalam menjalankan tugas selalu merasa tertantang
untuk menyeimbangkan antara kualitas dan kuantitas panggilan.

1.1.5

Hubungan antara masa kerja dan tingkat stres kerja


Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada masa kerja < 5 tahun, yang tidak
mengalami stres dan juga mengalami stres ringan sebanyak 17 subyek atau 11.7%, stres
sedang sebanyak 26 subyek atau 17.9%, dan stres berat sebanyak 39 subyek atau 26.9%.
Sedangkan pada masa kerja > 5 tahun, yang tidak mengalami stres dan mengalami stres
berat sebanyak 14 subyek atau 9.7%, stres ringan dan stres sedang sebanyak 9 subyek
atau 6.2%. Dari hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi-square diperoleh nilai
p = 0.270 yang artinya tidak terdapat hubungan antara masa kerja dengan tingkat stres
kerja pada karyawan.
Hasil analisis statistik diatas juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Mochtar dkk (2013), Nadialis dan Nugrohoseno (2014) yang menyatakan bahwa tidak
terdapat hubungan antara masa kerja dengan stres kerja. Dimana ketika karyawan pada
tahun-tahun pertama bekerja, mereka masih perlu belajar menyangkut masalah yang
berhubungan dengan pekerjaannya. Hal ini dapat mengakibatkan beban tugas dan
tekanan yang dimiliki karyawan sangat besar sehingga dapat memicu terjadinya stres
kerja. Sedangkan karyawan yang masa kerjanya lebih lama, sudah dapat menikmati
rutinitas pekerjaan mereka dan dapat mengendalikan stres dengan baik.

1.2 Hubungan antara faktor eksternal dan tingkat stres kerja


1.2.1 Hubungan antara dukungan sosial dan tingkat stres kerja
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada dukungan sosial dalam kategori baik yang
mengalami stres ringan sebanyak 1 subyek atau 0.7%, stres sedang sebanyak 2 subyek
atau 1.4%, dan stres berat sebanyak 6 subyek atau 4.1%. Dukungan sosial dalam kategori
sedang, yang tidak mengalami stres sebanyak 28 subyek atau 19.3%, stres ringan
sebanyak 21 subyek atau 14.%%, stres sedang sebanyak 32 subyek atau 22.1%, dan stres
berat sebanyak 43 subyek atau 29.7%. Sedangkan pada dukungan sosial dalam kategori
buruk yang tidak mengalami stres sebanyak 3 subyek atau 2.1%, stres ringan dan stres
berat sebanyak 4 subyek atau 2.8%, dan stres sedang sebanyak 1 subyek atau 0.7%. Dari
hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi-square diperoleh nilai p = 0.256 yang
artinya tidak terdapat hubungan antara dukungan sosial dengan tingkat stres kerja pada
karyawan.
Hasil penelitian ini berlawanan dengan penelitian yang dilakukan oleh Setiawan dan
Darminto (2013) yang menyatakan bahwa ada pengaruh dukungan sosial terhadap stres
kerja pada karyawan. Seseorang yang memiliki dukungan sosial yang baik dalam dunia
pekerjaan, akan dapat bertahan dengan baik dari serangan stres yang ditimbulkan akibat
beban kerja yang berat. Menurut Taylor (2005) mengatakan bahwa keluarga dan temanteman dapat memberikan bantuan nyata berupa barang atau jasa selama seseorang
mengalami tekanan. Dukungan dari keluarga dan teman dapat menentramkan perasaan
seseorang sehingga merasa bahagia dan dapat dipercaya orang lain. Dengan diterimanya
dukungan sosial, maka seseorang akan lebih sehat fisik dan psikis dibandingkan dengan
mereka yang tidak menerima dukungan sosial.
1.3 Keterbatasan penelitian
Dalam melakukan penelitian tentang hubungan antara faktor internal dan eksternal
dengan tingkat stres kerja pada karyawan shift, peneliti mengalami keterbatasan dalam
melakukan penelitian ini antara lain keterbatasan peneliti sebagai peneliti pemula yang
baru pertama kali melakukan penelitian sehingga terdapat banyak kekurangan dan halhal baru yang harus dipelajari dalam menjalankan penelitian ini. Dan juga dalam
penelitian ini membutuhkan kesabaran dalam menunggu subyek penelitian yang bersedia

dimana dibagi dalam tiga waktu yaitu pagi, sore dan malam sesuai jadwal shift kerja
karyawan.

Anda mungkin juga menyukai