Anda di halaman 1dari 11

PRODUKSI BIOETANOL DARI SINGKONG (Manihot utilissima)

DENGAN SKALA LABORATORIUM


PRODUCTION OF BIOETHANOL FROM CASSAVA (Manihot utilissima)
WITH LABORATORY SCALE
Jhiro Ch. Mailool 1), Robert Molenaar 2), Dedie Tooy 2), Ireine A. Longdong 2)
1)

Mahasiswa Program Studi Teknik Pertanian Fakultas Pertanian


Universitas Sam Ratulangi
2)

Dosen Teknik Pertanian Fakultas Pertanian


Universitas Sam Ratulangi
ABSTRACT

This research aims to study techniques bioethanol production from cassava to produce ethanol
from cassava and determines the quality of the bioethanol produced by analyzing the ethanol content
and pH as well as knowing the yield of bioethanol produced from the process is used. The results have
been known to a variety of constraints in the production process from raw material storage,
fermentation and distillation that can affect the end result in obtaining bioethanol from cassava. By
using 5 kg of cassava feedstock with 3 times distillation process which has produced 215 ml of
ethanol to 53% ethanol content and pH 6.902; 185 ml of ethanol to 74% ethanol content and pH
6.927, and 130 ml ethanol with 49% ethanol content and pH 6.573.
Keywords: Bioethanol.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari teknik produksi bioetanol dari singkong hingga
menghasilkan bioetanol dari singkong dan menentukan nilai mutu dari bioetanol yang dihasilkan
dengan menganalisis kadar etanol dan pH serta mengetahui rendemen yang dihasilkan dari proses
bioetanol yang digunakan. Hasil penelitian telah diketahui berbagai macam kendala dalam proses
produksi mulai dari penyimpanan bahan baku, fermentasi dan destilasi yang dapat mempengaruhi
hasil akhir dalam memperoleh bioetanol dari singkong. Dengan menggunakan bahan baku 5 kg
singkong dengan 3 kali proses destilasi telah dihasilkan yaitu 215 ml bioetanol dengan kadar etanol
53% dan pH 6,902; 185 ml bioetanol dengan kadar etanol 74% dan pH 6.927; dan 130 ml bioetanol
dengan kadar etanol 49% dan pH 6,573.
Kata kunci : Bioetanol.

kebutuhan energi. Secara umum dapat


dikatakan bahwa laju pertumbuhan kebutuhan
energi di negara berkembang lebih tinggi
dibandingkan negara maju. Tertulis dalam
Pusdatin (2012), kebutuhan energi suatu
negara cenderung meningkat sejalan dengan
pertumbuhan
ekonomi.
Secara
umum
kebutuhan energi di dunia sampai saat ini
masih bergantung pada sumberdaya fosil,
terutama minyak dan gas bumi, serta batubara.
Sumberdaya alam tersebut telah terbentuk dari
ribuan tahun lalu. Tingkat konsumsi manusia
terhadap energi fosil lebih tinggi dibandingkan

PENDAHULUAN
Sebagaimana halnya kebutuhan pangan
dan sandang, kebutuhan energi secara global
maupun nasional meningkat seiring dengan
peningkatan jumlah penduduk dan dipacu oleh
pertumbuhan ekonomi secara global dan
pengaruh perkembangan teknologi (Zen,
1988).
Demikian juga keadaan ekonomi suatu
negara yang berpengaruh pada kesejahteraan
warganya yang tercermin dari corak dan gaya
hidup juga menjadi pemacu peningkatan

dengan laju pembentukannya. Padahal,


sumberdaya
energi
tersebut
termasuk
sumberdaya tak terbarukan (non renewables),
yang berarti bila dilakukan pengambilan terusmenerus maka pada suatu saat ketersediaannya
di alam akan habis. Dengan harga minyak
dunia yang sangat tinggi yaitu dikisaran 100
US$ per barel menjadi masalah besar bagi
negara-negara termasuk Indonesia. Dan tak
menutup kemungkinan jika kelangkaan terjadi,
maka harga akan semakin tinggi. Lonjakan
harga ini akan memberikan dampak yang besar
bagi pembangunan di Indonesia.
Pada abad ke-21, tidak hanya negara
maju yang dituntut untuk mengembangkan
program penganekaragaman sumber energi.
Negara berkembang termasuk Indonesia, perlu
mengembangkan energi alternatif dari
sumberdaya yang ada, terutama sumberdaya
terbarukan (Mangunwidjaja, 1988).
Dalam
pelaksanaannya,
usaha
pengembangan dan pemanfaatan sumber
energi baru dan terbarukan menyangkut
masalah kelayakan ekonomi. Permasalahan ini
akan lebih tampak bila usaha penerapannya
dikembangkan di negara-negara yang sedang
berkembang. Namun, penerapan teknologi
tertentu masih belum layak secara ekonomi
apabila diterapkan untuk wilayah pedesaan.
Oleh
karena
itu
perlu
dipikirkan
pengembangan teknologinya yang tepat guna
agar tingkat adaptasinya dapat lebih tinggi
bagi keadaan pedesaan dan pertanian di
Indonesia (Mangunwidjaja dan Sailah, 2005).
Sudah saatnya penggunaan sumber energi
terbarukan berupa bahan bakar nabati (BBN)
atau bioenergi ditingkatkan, menggantikan
bahan bakar fosil yang semakin menipis,
seperti dalam Inpres No 1/2006 dan Perpres
No 5/2006 tentang kebijaksanaan energi
nasional. Contoh bahan bakar nabati (BBN)
cair yaitu pengganti bensin yang bernama
bioetanol.
Bioetanol adalah etanol yang dihasilkan
dari fermentasi glukosa (gula) menggunakan
bantuan
ragi/yeast
terutama
jenis
Saccharomyces
cerevisiae.
Pemisahan
bioetanol selanjutnya dilakukan dengan
destilasi (Khaidir dkk, 2012).
Indonesia memiliki 60 jenis tanaman
yang berpotensi menjadi sumber energi BBN.
Bioetanol dapat dihasilkan dari bahan bergula
(molasses, aren dan nira lain), bahan berpati
(singkong, jagung, sagu, dan jenis umbi
lainnya), dan bahan berserat (lignoselulosa).

Pada saat ini Pemerintah Indonesia masih


memfokuskan pengembangan bioetanol dari
bahan baku singkong dengan tidak menutup
kemungkinan untuk menggunakan bahan baku
lainnya yang lebih murah dan mudah
didapatkan tanpa bersaing dengan bahan
pangan maupun pakan.
Salah satu bahan pokok yang baik
digunakan untuk menghasilkan bioetanol
adalah singkong/ubi kayu. Namun pada saat
ini Badan Ketahanan Pangan Kementerian
Pertanian Indonesia sedang mengadakan
program Mengangkat Gengsi Singkong untuk
Memperkuat Ketahanan Pangan Alternatif
sehingga singkong lebih diutamakan untuk
persediaan bahan pangan (Anonimous, 2012).
Bertolak dari hal tersebut, kemungkinan
bahwa akan ada persaingan dalam penggunaan
singkong sebagai sumber energi dengan
penggunaan singkong sebagai bahan pangan.
Namun hingga saat penelitian ini dilakukan
belum tersedia data konkrit tentang konsumsi
singkong sebagai bahan pangan. Masalah
kemungkinan adanya persaingan kebutuhan
singkong tersebut akan dapat diatasi jika
petani singkong di setiap daerah lebih
menaikan lagi produksi singkong.
Dengan kandungan pati yang tinggi
dalam singkong maka untuk menjadikan
singkong sebagai bahan utama pembuatan
bioetanol akan lebih baik. Penggunaan
bioetanol menjadi bahan bakar kendaraan
dapat menjadi sebuah alternatif yang aman,
karena sumbernya berasal dari tumbuhan dan
dapat mengurangi pencemaran lingkungan.
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mempelajari teknik produksi bioetanol dari
singkong dan menghasilkan bioetanol dengan
skala laboratorium; menentukan nilai mutu
bioetanol dari singkong dengan menganalisis
kadar etanol dan pH; dan mengetahui
rendemen bioetanol yang dihasilkan dari
proses pembuatan bioetanol yang digunakan.

METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian
ini
dilaksanakan
di
Laboratorium Keteknikan Perbengkelan dan
Laboratorium Pasca Panen Jurusan Teknologi
Pertanian Universitas Sam Ratulangi Manado.
Penelitian ini telah dilakukan pada bulan
Agustus - September 2012.

terbawah berupa endapan protein, dan


diatasnya adalah air dan etanol.
Pisahkan larutan etanol dengan endapan
protein dengan melakukan proses penyaringan.
Hasilnya yaitu larutan etanol yang
masih mengandung air siap untuk diproses ke
tahap selanjutnya yaitu proses destilasi.

Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam penelitian
ini adalah pisau untuk mengupas singkong,
pemarut singkong, wadah masak (panci),
wadah fermentasi, alat destilasi, alat
penyaring, termokopel LH type 666-190, gelas
ukur 1 liter, labu ukur alkohol meter, pH meter
Chott type Lab 850 dan alat tulis menulis.
Bahan utama yang digunakan adalah
singkong dan bahan pembantu yaitu bakteri
Saccharomyces cerevisiae dan lain-lain.

Proses Destilasi
Proses destilasi dilakukan untuk
memisahkan etanol dari larutan hasil
fermentasi dengan cara memanaskan larutan
tersebut dengan menjaga suhu pemanasan
pada titik didih etanol yaitu 78C, sehingga
etanol lebih dahulu menguap dan penguapan
tersebut dialirkan pada pipa, terkondensasi dan
kembali lagi menjadi etanol cair.
Pada wadah masak telah terhubung pada
termokopel dengan cara menempelkan kawat
sensor panas termokopel ke wadah masak. Hal
ini bertujuan untuk mengetahui berapa
temperatur pada wadah masak sehingga
memudahkan untuk pengaturan besarnya
pembakaran agar dapat mempertahankan
temperatur wadah masak pada suhu 78C.
Alat destilasi terdiri dari kompor
minyak tanah 14 sumbu untuk pembakaran,
wadah masak untuk bahan hasil fermentasi
terbuat dari panci stainless steel berkapasitas
10 liter, pipa untuk menyalurkan uap etanol
dan proses kondensasi terdiri dari 2 bagian
dengan ukuran masing-masing 3 meter, dan
wadah untuk menampung hasil destilasi yaitu
botol kaca.
Etanol cair yang telah dihasilkan dari
proses destilasi selanjutnya dilanjutkan untuk
pengukuran parameter kadar etanol dan pH
(derajat keasaman).

Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan
adalah metode deskriptif terhadap pembuatan
bioetanol dari singkong dengan skala
laboratorium.
Prosedur Penelitian
Penyiapan Bahan Baku
Bahan baku singkong dipersiapkan
sebanyak 5 kg yang telah dikupas dan dicuci
bersih, kemudian selanjutnya diadakan
pemarutan hingga menghasilkan singkong
yang telah halus. Masukan singkong halus
kedalam panci dan tambahkan air sebanyak 4
liter per 1 kg singkong. Kemudian dipanaskan
hingga suhu 100C kurang lebih 30 menit
sambil diaduk hingga mengental menjadi
bubur. Setelah campuran singkong halus dan
air telah menjadi bubur pati, dinginkan dahulu
sebelum dilanjutkan untuk proses fermentasi.
Proses Fermentasi
Setelah bubur pati dingin, maka
selanjutnya
diadakan
fermentasi
yang
bertujuan untuk mengkonversi larutan yang
mengandung glukosa menjadi alkohol.
Bubur pati yang dihasilkan dipindahkan
ke dalam wadah fermentasi.
Tambahkan bakteri Saccharomyces
cerevisiae sebanyak 10% dari total bubur pati
yang terdapat dalam wadah fermentasi sedikit
demi sedikit sambil diaduk agar tercampur
rata.
Tutup rapat wadah fermentasi untuk
mencegah
kontaminasi
dan
bakteri
Saccharomyces cerevisiae akan bekerja secara
optimal. Fermentasi berlangsung anaerob yaitu
tak memerlukan udara dan tetap menjaga
suhunya pada 30C - 40C.
Proses fermentasi berlangsung selama
2-3 hari dan setelah itu larutan pati akan
berubah menjadi 3 lapisan yaitu lapisan

Prosedur pengukuran parameter


Pengukuran kadar etanol dilakukan
dengan menggunakan alkohol meter. Prinsip
kerja dari alkohol meter berdasarkan berat
jenis campuran antara alkohol dengan air. Cara
pengukurannya yaitu memasukkan alkohol
meter dalam gelas ukur yang panjangnya
melebihi alkohol meter dan dalam gelas ukur
tersebut telah berisi cairan etanol yang akan
diukur. Alkohol meter akan tenggelam dan
batas cairannya akan menunjukan berapa
kandungan etanol dalam larutan tersebut.
Pengukuran pH (derajat keasaman)
dilakukan dengan menggunakan pH meter. pH
meter adalah alat untuk mengukur tingkat
keasaman dan kebasaan suatu larutan.

Keasaman dalam larutan itu dinyatakan


sebagai kadar ion hidrogen disingkat dengan
[H+], atau sebagai pH yang artinya log [H+].
Dengan kata lain pH merupakan ukuran
kekuatan suatu asam. pH suatu larutan dapat
diukur dengan beberapa cara antara lain
dengan jalan menitrasi larutan dengan asam
dengan indikator atau yang lebih teliti lagi
dengan pH meter. Pengukur pH tingkat asam
dan basa pada larutan dalam hal ini yaitu
larutan etanol bekerja secara digital. pH
larutan disebut asam bila kurang dari 7, pH
larutan disebut basa bila lebih dari 7, dan pH
larutan disebut netral bila pH sama dengan 7.
Cara penggunaan pH meter yaitu mencelupkan
kedalam larutan etanol yang akan diukur dan
secara otomatis alat bekerja mengukur dan
nilai pH larutan akan ditampilkan dalam angka
digital. Pada saat pertama kali pH meter
dicelupkan dalam larutan etanol ini, maka
angka yang ditunjukkan masih berubah-ubah,
sehingga harus menunggu sampai angka
digital yang ditampilkan telah stabil.
Perhitungan rendemen dilakukan untuk
mengetahui persentase hasil bagi antara etanol
yang dihasilkan dengan jumlah bahan baku.
Adapun rendemen yang akan diukur yaitu :
Rendemen fermentasi
Untuk mengetahui presentase hasil bagi antara
larutan etanol dan air hasil fermentasi dengan
jumlah bahan baku yaitu singkong, air dan
bakteri Saccharomyces cerevisiae dengan
menggunakan persamaan (1).
Hf
Rf =
x 100% .(1)

Untuk mengetahui berapa banyak bioetanol


yang akan dihasilkan dari per kilogram bahan
utama singkong dengan menggunakan teknik
produksi sesuai dengan prosedur penelitian
yang dilakukan
dengan menggunakan
persamaan (3).
1
Je = Jb x Bd .(3)
dimana :
Je = Jumlah etanol per kilogram singkong
(liter/kg)
Jb = Jumlah bahan baku (kg)
Bd = Bioetanol yang dihasilkan (liter)
Perhitungan nilai kalori dari bioetanol yang
dihasilkan
Untuk mengetahui nilai kalori bioetanol yang
dihasilkan dari masing-masing hasil destilasi
dengan menggunakan persamaan (4).
Kadar etanol yang dihasilkan
6100 kkal/
Kadar etanol acuan
liter jumlah etanol . (4)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Sistem Produksi Bioetanol dari Singkong
Penelitian ini telah memproduksi
bioetanol dari singkong dengan menggunakan
sistem produksi sederhana dengan skala
laboratorium. Sistem produksi terdiri dari
beberapa proses yaitu penyiapan bahan baku,
proses fermentasi dan proses destilasi.
Penyiapan
bahan
baku
yaitu
mempersiapkan bahan utama singkong yang
telah dikupas bersih sebanyak 5 kg dan diparut
hingga halus. Singkong yang digunakan yaitu
singkong varietas mentega dengan umur panen
6 bulan. Selanjutnya dimasak dengan 20 liter
air sambil diaduk hingga singkong hancur dan
menyatu dengan air menjadi bubur pati,
setelah itu mendiamkannya hingga dingin.
Proses
selanjutnya
yaitu
proses
fermentasi dengan menggunakan bantuan
bakteri Saccharomyces cerevisiae atau yang
disebut dengan ragi. Pencampuran bubur pati
dengan ragi yaitu pada saat bubur pati telah
dingin dan menambahkan ragi sebanyak 500
gr dengan cara mencampurkan sedikit demi
sedikit hingga ragi larut dengan bubur pati.
Banyaknya penggunaan ragi mengacu pada
penelitian yang telah dilakukan oleh Rikana
dan Adam (2008) yaitu semakin banyak ragi
yang ditambahkan maka etanol yang
dihasilkan juga semakin banyak, sehingga
bakteri yang mengurai glukosa menjadi etanol
pun semakin banyak.

Bp

dimana :
Rf = Rendemen fermentasi (%)
Hf = Larutan hasil fermentasi yang telah
disaring dan siap untuk didestilasi (liter)
Bp = Volume bubur pati (liter)
Rendemen destilasi
Untuk mengetahui presentase hasil bagi antara
bioetanol hasil destilasi dengan jumlah larutan
etanol dan air hasil fermentasi dengan
menggunakan persamaan (2).
Bd
Rd =
x 100% .(2)
Hf
dimana :
Rd = Rendemen destilasi (%)
Bd = Bioetanol hasil destilasi (liter)
Hf = Larutan hasil fermentasi (liter)
Perhitungan hasil bioetanol dari per kilogram
singkong

Proses fermentasi dilakukan selama


lebih dari 72 jam dan berlangsung secara
anaerob atau tidak memerlukan oksigen
sehingga wadah yang dipakai harus tertutup.
Setelah itu, hasil fermentasi tersebut disaring
dengan menggunakan saringan 60 mesh yang
biasa digunakan untuk penyaringan santan/teh,
penyaringan ini bertujuan untuk memisahkan
larutan campuran air dan etanol dengan
endapan protein. Dan yang akan dipakai untuk
proses selanjutnya yaitu larutan campuran air
dan etanol. Hasil penyaringan tesebut yaitu
18,34 liter larutan campuran air dan etanol dan
ini yang menjadi bahan utama dalam proses
destilasi.
Jika dibandingkan dengan proses
pembuatan bioetanol yang ditulis oleh Richana
tahun 2011, dengan 3 kali proses berbeda yaitu
liquifikasi, sakarifikasi dan fermentasi, dan
dengan menggunakan cara enzimatis dan
mampu
menghasilkan
larutan
setelah
fermentasi
berkadar
etanol
8%-12%.
Sedangkan pada proses fermentasi yang telah
dilakukan dalam penelitian ini, walau sangat
sederhana dengan hanya sekali proses dan
menyatukan proses liquifikasi, sakarifikasi dan
fermentasi dengan menggunakan bakteri
Saccharomyces cerevisiae dapat menghasilkan
larutan hasil fermentasi yang siap untuk
didestilasi berkadar etanol 6,7%. Jadi,
fermentasi sederhana yang telah dilakukan
dalam penelitian ini cukup baik tak kalah jauh
dibandingkan dengan memakai ketiga proses
secara enzimatis tersebut.
Proses selanjutnya yaitu proses destilasi
yaitu untuk memisahkan etanol dari larutan
hasil fermentasi. Pemisahan ini dilakukan
dengan menggunakan alat destilasi sederhana.
Pada dasarnya, prinsip alat yang digunakan
sama dengan alat destilasi konvensional yang
biasa digunakan untuk pembuatan cap tikus.
Namun, beberapa komponen yang digunakan
berbeda karena wadah destilasi hanya
berkapasitas 10 liter dengan sumber panas
memakai kompor minyak tanah 14 sumbu, dan
untuk proses penguapan dan kondensasi
dialirkan dalam pipa galvanis berdiameter 2
inci sepanjang 2 x 3,5 meter. Adapun
pengukuran suhu yang dilakukan selama
proses destilasi dengan memakai termokopel.
Hal ini dilakukan untuk memudahkan dalam
pengaturan suhu untuk mengatur agar suhu
wadah destilasi dapat bertahan pada titik didih
etanol 78C dan mencegah agar tidak sampai
pada titik didih air 100C.

Untuk proses destilasi dilakukan dalam


tiga kali ulangan sehingga larutan hasil
fermentasi yang telah disaring dibagi tiga.
Larutan hasil fermentasi dipanaskan hingga
etanol menguap melewati pipa I dan akan
terkondensasi melewati pipa II sehingga
menetes dalam bentuk etanol cair dan hasil
tersebut adalah bioetanol. Adapun
hasil
destilasi dapat dilihat dalam tabel 1.
Pengukuran suhu
Pengamatan dan pengukuran suhu
dilakukan pada tiga titik yang berbeda pada
alat destilasi. Titik yang pertama yaitu pada
wadah destilasi dan bukan pada bahan di
dalam wadah destilasi, kondisi ini memiliki
kelemahan karena tidak memberikan informasi
yang tepat untuk suhu bahan yang sementara
didestilasi. Titik yang kedua yaitu pada pipa I,
dan titik yang ketiga yaitu pada pipa II. Pada
kedua titik ini pipa I dan pipa II telah
diberikan lubang kecil yang berguna untuk
pengukuran suhu uap di dalam pipa.
Pengukuran suhu dilakukan setiap 3 menit
selama 60 menit dan diukur pada masingmasing titik yang telah ditentukan. Pengaturan
besarnya api kompor hanya dengan cara
manual. Ketika didapatkan suhu wadah
destilasi telah menunjukan diatas angka 78C
maka besarnya api harus dikurangi. Semakin
lama waktu memanaskan wadah destilasi,
maka suhu cairan di dalam wadah destilasi
akan semakin panas mendekati titik didih air.
Sehingga, proses mendidihnya air akan
mengakibatkan banyaknya air yang akan
menguap bersama-sama dengan etanol jika
suhu wadah destilasi telah mendekati titik
didih air yaitu 100C. Hasil pengukuran suhu
pada ketiga proses destilasi dapat dilihat pada
lampiran 1, lampiran 2 dan lampiran 3.
Pada hasil pengukuran suhu pada proses
destilasi ke-1 yang terdapat dalam lampiran 2,
dapat dilihat bahwa suhu wadah destilasi
cukup baik karena suhu tertingginya hanya
mencapai pada 89.6C. Walaupun pada proses
destilasi ini terdapat sedikit kesalahan yaitu
tidak dipasangnya penyangga antara kompor
dan wadah destilasi sehingga api yang
dihasilkan kompor sedikit lama dalam proses
naiknya suhu karena kurangnya udara dari luar
yang masuk dalam ruang pembakaran di
kompor dan api yang menyala kurang
sempurna.
Ini
menyebabkan
proses
mendidihnya etanol, kondensasi, hingga
menetesnya etanol ke dalam wadah

Suhu (C)

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
0

9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45 48 51 54 57 60

Waktu (Menit)
Wadah destilasi
Pipa 1

Pipa 2

Gambar 1. Grafik hubungan waktu dengan perubahan suhu pada destilasi ke-1

Suhu (C)

penampung terjadi sedikit lebih lama yaitu


pada menit ke 39 - 48. Namun adanya sedikit
kesalahan tersebut, ada keuntungan yang bisa
terlihat yaitu pada titik pengukuran di pipa 1
dan pipa 2 kenaikan suhu yang terjadi hanya
mencapai 67,6C pada pipa 1 dan 57,6C pada
pipa 2 dan ini sangat memudahkan proses
terjadinya kondensasi yang terjadi pada pipa 2.
Kenaikan suhu ini dapat dilihat dalam gambar
1.
Pada hasil pengukuran suhu pada proses
destilasi ke-2 yang terdapat dalam lampiran 3,
dapat dilihat bahwa naiknya suhu disetiap titik
lebih cepat terjadi sehingga menetesnya etanol
setelah terkondensasi terjadi pada saat suhu
wadah destilasi telah mencapai bahkan
melewati titik didih etanol yaitu 78C dan hal
itu terjadi berkisar pada menit ke 21 - 33. Pada
gambar 2 menunjukkan bahwa disetiap titik

suhu yang diukur berangsur-angsur naik


hingga menit ke 18 dan selanjutnya suhu di
ketiga titik berada diantara 75,8C - 93,5C.
Suhu tertinggi wadah destilasi yaitu pada
menit ke 33 dimana suhu mencapai 93,5C.
Pada hasil pengukuran suhu disetiap
titik yang telah ditentukan dalam proses
destilasi yang ke-3 dalam lampiran 4 juga
hampir sama dengan destilasi ke-2 yaitu
naiknya suhu di setiap titik lebih cepat terjadi
dan proses menetesnya bioetanol ke dalam
wadah penampung yaitu pada menit ke 18 30. Grafik kenaikan suhu pada destilasi ke-3
dapat dilihat dalam gambar 3.
Pada saat cairan yang menetes sudah
bersamaan dengan uap yang keluar
menandakan bahwa etanol yang terkandung
dalam cairan yang didestilasi kemungkinan
telah habis dan yang menetes itu sebagian

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
0

12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45 48 51 54 57 60

Waktu (Menit)
Wadah destilasi
Pipa 1

Pipa 2

Gambar 2. Grafik hubungan waktu dengan perubahan suhu pada destilasi ke-2

120

Suhu (C)

100
80
60
40
20
0
0

12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45 48 51 54 57 60

Waktu (Menit)
Wadah destilasi
Pipa 1

Pipa 2

Gambar 3. Grafik hubungan waktu dengan perubahan suhu pada destilasi ke-3
besar adalah air, sedangkan uap yang keluar
bersama tetesan air tersebut adalah uap air.
Tindakan yang harus dilakukan adalah
mengganti wadah penampung agar bioetanol
yang diperoleh pada wadah penampung
pertama tidak banyak tercampur dengan air
yang telah terkondensasi. Jadi di setiap proses
destilasi masing-masing terjadi pergantian
wadah penampung dan yang dipakai sebagai
bioetanol hasil destilasi adalah pada wadah
penampung yang pertama saja, karena cairan
yang diperoleh dalam wadah kedua di masingmasing proses destilasi sudah tidak lagi
mengandung etanol.

dengan
buffer
yang
berguna
untuk
menstabilkan indikator pengukuran pada
angka pH 7. Adapun hasil pengukuran yang
telah diperoleh dan dapat dilihat dalam tabel 1.
Dalam tabel 1 memperlihatkan bahwa
pada jumlah larutan sebelum destilasi dalam
hal ini larutan tersebut adalah hasil fermentasi
yang telah disaring dibagi tiga bagian yaitu 6
liter untuk destilasi ke-1, 6 liter untuk destilasi
ke-2, dan 6,34 liter untuk destilasi ke-3.
Keseluruhan larutan yang siap didestilasi
tersebut sebelumnya telah diukur kadar
etanolnya yaitu 6,7 %. Setelah destilasi,
larutan yang masih terdapat di dalam wadah
masak kemudian diukur berapa banyak yang
tidak terdestilasi dan tetap berada dalam
wadah masak. Dan hasil pengukuran tersebut
yaitu pada proses destilasi ke-1 jumlah larutan
yang tidak terdestilasi sebanyak 5,42 liter,
pada proses destilasi ke-2 jumlah larutan yang
tidak terdestilasi sebanyak 5,45 liter, dan pada
destilasi ke-3 jumlah larutan yang tidak
terdestilasi sebanyak 5,58.
Dalam proses destilasi ke-1, bioetanol
yang dihasilkan yaitu sebanyak 215 ml dengan
kadar etanol 53% dan pH 6,902. Pada proses

Pengukuran Parameter
Pengukuran kadar alkohol dilakukan
dengan
menggunakan
alkohol
meter.
Sebelumnya alkohol meter telah dikalibrasi
untuk
mengetahui
bagaimana
akurasi/ketepatan (presisi) dengan mengukur
alkohol 75% berlabel yang didapatkan dari
apotek. Sedangkan untuk pengukuran pH yaitu
dengan menggunakan pH meter, sedangkan
kalibrasi untuk pH meter tak perlu lagi karena
pH meter yang digunakan telah dilengkapi

Tabel 1. Beberapa hasil pengukuran


Destilasi
Jenis pengukuran
Ke-1
Ke-2
Jumlah larutan sebelum destilasi (l)
6
6
Kadar etanol sebelum destilasi (%)
6,7 %
6,7 %
Jumlah larutan setelah destilasi (l)
5,42
5,45
Kadar etanol setelah destilasi (%)
53 %
74 %
Jumlah bioetanol hasil destilasi (ml)
215 ml
185 ml
pH larutan bioetanol
6,902
6,927

Ke-3
6,34
6,7 %
5,58
49 %
130 ml
6,573

destilasi ke-2, bioetanol yang dihasilkan yaitu


sebanyak 185 ml dengan kadar etanol 74% dan
pH 6,927. Sedangkan pada proses destilasi ke3, bioetanol yang dihasilkan yaitu sebanyak
130 ml dengan kadar etanol 49% dan pH
6,573.
Kadar etanol yang dihasilkan pada
proses destilasi ke-2 lebih tinggi dibandingkan
dengan destilasi ke-1 dan destilasi ke-3. Ini
dikarenakan pada proses destilasi ke-1 terdapat
sedikit kesalahan pada waktu penggantian
wadah destilasi dimana saat etanol yang
terkandung dalam larutan di dalam wadah
masak kemungkinan telah habis dan yang
menguap, terkondensai dan menetes dari pipa
2 ke dalam wadah penampung bukan lagi
etanol melainkan air sehingga tercampur
bersama dengan bioetanol dan menyebabkan
kadar air dalam bioetanol meningkat,
jumlahnya semakin banyak, namun kadar
etanolnya telah berkurang.
Pada proses destilasi ke-2, beberapa
faktor yang mempengaruhi proses destilasi
telah
diminimalisir
karena
berbagai
kekurangan yang terjadi pada proses destilasi
ke-1 tak lagi terulang pada destilasi ke-2
sehingga hasil yang didapatkan lebih baik dari
hasil destilasi yang lain.
Sedangkan pada proses destilasi ke-3
yang paling rendah kadar etanolnya dan paling
sedikit jumlah bioetanol, hal ini disebabkan
karena pada setiap pembagian larutan yang
siap untuk didestilasi ini tidak didahulukan
dengan pengadukan agar terbagi rata.
Mengingat jika larutan yang siap untuk
didestilasi tersebut tidak diaduk dahulu, maka
etanol yang terkandung didalamnya akan
berada pada bagian atas larutan karena berat
jenis etanol lebih rendah dibandingkan dengan
air dan protein yang masih terkandung dalam
larutan tersebut. Jadi, proses destilasi ke-3 ini
mendapatkan bagian dari sisa pembagian,
sehingga etanol yang terkandung pada larutan
sebelum didestilasi telah banyak terbagi ke
dalam proses destilasi ke-1 dan ke-2 yang
telah dilakukan sebelumnya.
Untuk pengukuran pH yang telah
didapatkan dari ketiga hasil tersebut telah

memenuhi syarat dalam standar mutu


bioetanol untuk bahan bakar. Namun untuk
kadar etanol yang didapatkan dalam tiga kali
destilasi masih belum memenuhi syarat untuk
dijadikan sebagai bahan bakar.
Perhitungan Rendemen
Ada beberapa perhitungan rendemen
yang telah dilakukan yaitu rendemen
fermentasi,
rendemen
destilasi
dan
perhitungan hasil bioetanol dari per kilogram
singkong. Hasil beberapa perhitungan tersebut
dapat dilihat dalam tabel 2.
Dalam tabel 2 telah tertulis bahwa
rendemen
fermentasi
yaitu
67,93%.
Perhitungan tersebut dihasilkan dari jumlah
larutan campuran etanol dan air hasil
fermentasi yang telah disaring dan terpisah
dari endapan protein atau total dari ketiga
bagian larutan yang siap untuk didestilasi yaitu
18,34 liter, kemudian dibagi dengan volume
bubur pati yaitu 27 liter dan dikalikan dengan
100%. Perlu diketahui bahwa volume bubur
pati tersebut adalah hasil campuran 5 kg
singkong, 20 liter air dan 500 gr ragi.
Perhitungan
rendemen
destilasi
diperoleh dari jumlah bioetanol hasil destilasi
dari ketiga proses destilasi yang telah
dilakukan yaitu 0,53 liter bioetanol, dibagi
dengan jumlah larutan campuran etanol dan air
hasil fermentasi yang telah disaring dan
terpisah dari endapan protein atau total dari
ketiga bagian larutan yang siap untuk
didestilasi yaitu 18,34 liter. Kemudian
dikalikan dengan 100 % maka akan didapatkan
hasilnya yaitu 2,89 %. Jadi persentase antara
larutan hasil fermentasi yang telah disaring
dan siap didestilasi dengan hasil destilasi
adalah 2,89 %.
Perhitungan
hasil
bioetanol
per
kilogram singkong yaitu untuk mengetahui
berapa banyak bioetanol yang dihasilkan dari
per kilogram bahan utama singkong dengan
menggunakan teknik produksi sesuai dengan
prosedur penelitian yang dilakukan. Untuk
mengetahuinya yaitu dengan cara, satu dibagi
dengan jumlah bahan baku yaitu 5 kg
singkong bersih dan dikalikan dengan total

Tabel 2. Hasil perhitungan rendemen


Jenis perhitungan
Hasil perhitungan
Rendemen fermentasi
67,93 %
Rendemen destilasi
2,89 %
Hasil bioetanol per kilogram singkong
0,106 liter/kg

etanol yang telah dihasilkan dari tiga kali


destilasi yaitu 0,53 liter, maka akan
menghasilkan bioetanol sebanyak 0,106
liter/kg
Dengan asumsi rata-rata per hektar di
Sulawesi Utara dapat menghasilkan 130,6
kwintal singkong (BPS, 2012) atau 13.060 kg
per hektar. Jika dari per kilogram singkong
dapat diperoleh singkong bersih yang telah
dikupas dan siap untuk menjadi bahan baku
hanya sebanyak 80%, maka dari 13.060 kg
singkong bisa dipakai sebagai bahan bakunya
yaitu sebanyak 10.448 kg. Untuk mengetahui
berapa asumsi bioetanol yang dapat dihasilkan
per hektar singkong di Sulawesi utara yaitu,
hasil bersih 10.448 kg/ha dikalikan dengan
0,106 liter/kg, maka diperkirakan akan
didapatkan 1.107,49 liter bioetanol per hektar
singkong.
Dari segi energi, efisiensi penggunaan
bahan bakar pada proses destilasi yang dipakai
untuk bahan bakar di kompor pada saat 3 kali
destilasi, masing-masing 1 jam dan
menghasilkan bioetanol sebanyak 0,53 liter,
yaitu 1,3 liter minyak tanah. Untuk nilai
kalori minyak tanah yang didistribusikan oleh
pertamina yaitu 9.000 kkal/liter (Triastuti
dkk, 2010). Nilai kalori minyak tanah yang
dipakai yaitu 1,3 liter minyak tanah dikalikan
dengan 9.000 kkal/liter adalah 11.700 kkal.
Menurut Muljadi (2009), untuk nilai
kalori bioetanol dengan kadar etanolnya
dikisaran 75% yakni mempunyai rata-rata
6.100 kkal/liter. Untuk perhitungan nilai kalori
di setiap hasil destilasi, diperoleh dengan cara
yaitu kadar etanol yang dihasilkan dibagi
dengan 75 % (kadar etanol acuan) kemudian
dikalikan dengan 6.100 kkal/liter dan dikalikan
lagi dengan jumlah etanol di setiap hasil
destilasi. Maka telah didapatkan nilai kalori
disetiap hasil destilasi yakni, nilai kalori dari
bioetanol 53 % sebanyak 215 ml hasil destilasi
ke-1 adalah 926,79 kkal, nilai kalori dari
bioetanol 74 % sebanyak 185 ml hasil destilasi
ke-2 adalah 1113,45 kkal, dan nilai kalori dari
bioetanol 49 % sebanyak 130 ml hasil destilasi
ke-3 adalah 518,09 kkal. Total nilai kalori dari
ketiga hasil tersebut yaitu 2558,33 kkal.
Jadi dalam penelitian ini, untuk
menghasilkan bioetanol dari singkong dengan
nilai kalori 2558,33 kkal dibutuhkan energi
sebanyak 11.700 kkal dari minyak tanah.
Maka pemilihan dan penggunaan sumber
energi masih kurang tepat dan belum efisien.
Kelemahan-kelemahan utama yang dihadapi

pada proses destilasi yaitu yang pertama


adalah sistem permanasan masih banyak yang
hilang karena setiap pemanasan yang
dilakukan belum terarah. Yang kedua yaitu di
setiap proses destilasi telah ditetapkan selama
60 menit, tetapi lamanya waktu efektif
pelaksanaan destilasi berdasarkan pengamatan
untuk menentukan akhir pengumpulan hasil
destilasi kurang dari 60 menit. Dan yang
ketiga yaitu sulitnya mengatur suhu optimal
pemanasan dalam proses destilasi. Dengan
demikian jika ketiga hal tersebut dapat
diperbaiki maka efisiensi penggunaan energi
akan dapat ditingkatkan.

KESIMPULAN
Penelitian ini menghasilkan bioetanol
dari singkong dengan sistem produksi
sederhana berskala laboratorium. Penulis juga
telah mempelajari dan mengetahui berbagai
macam kendala-kendala dalam proses
produksi mulai dari penyiapan bahan baku,
fermentasi dan destilasi yang dapat
mempengaruhi hasil akhir dalam memperoleh
bioetanol dari singkong, sehingga jika untuk
penelitian lanjutan akan dapat meminimalkan
kesalahan-kesalahan tersebut.
Dari tiga kali proses destilasi yang telah
dilakukan dan hasil yang telah diperoleh yaitu,
pada destilasi ke-1 menghasilkan bioetanol
sebanyak 215 ml dengan kadar etanol 53% dan
pH 6,902, pada destilasi ke-2 menghasilkan
bioetanol sebanyak 185 ml dengan kadar
etanol 74% dan pH 6,927, dan pada destilasi
ke-3 menghasilkan bioetanol sebanyak 130 ml
dengan kadar etanol 49% dan pH 6,573.
Walaupun pH dari bioetanol yang dihasilkan
telah memenuhi syarat dalam standar mutu
bioetanol untuk bahan bakar, namun untuk
kadar etanol yang didapatkan dalam tiga kali
destilasi masih belum memenuhi syarat untuk
dijadikan sebagai bahan bakar.
Hasil penelitian menunjukkan rendemen
dengan menggunakan bahan baku singkong 5
kg, air 20 liter dan ragi 500 gr, maka
persentase hasil fermentasi yang akan
dihasilkan dari campuran tersebut yaitu 67,93
%, sedangkan presentase antara larutan hasil
fermentasi yang telah disaring dan siap
didestilasi dengan hasil destilasi yaitu 2.89 %
dan setiap 1 kg singkong akan menghasilkan
bioetanol sebanyak 0.106 liter.

Muljadi, E. 2009. Pemakaian gasohol


sebagai bahan bakar pada kendaraan
bermotor. Semarang.

DAFTAR PUSTAKA
Anonimous,
2012.
Singkong
dapat
memperkuat
ketahanan
pangan.
http://www.ekon.go.id/news/2012/04/17
/singkong-dapat-perkuat-ketahananpangan. Diakses tanggal 12 November
2012.

Pusdatin 2010, Buku Pegangan Statistik


Ekonomi Energi Indonesia DESDM
2010.
http://www.esdm.go.id/publikasi/indone
sia-energy-outlook/ringkasaneksekutif/doc_download/1255ringkasan-eksekutif-indonesia-energyoutlook-2010.html. diakeses tanggal 29
Oktober 2012.

Badan Pusat Statistik (BPS). 2012. Tanaman


Pangan.
http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php?kat
=3. Diakses tanggal 10 Agustus 2012.
Khaidir, Setyaningsih, Haerudin. 2012.
Dehidrasi bioetanol menggunakan zeolit
alam termodifikasi. Jurnal Teknologi
Industri Pertanian. Institut Pertanian
Bogor.

Triastuti dkk, 2010. Solusi cerdas atasi


tumpukan
limbah
daun
nilam
(Pogestemon Cablin) sebagai bioenergi
alternatif. Universitas Negeri Malang.
Zen. 1988. Energi, Sumberdaya, Lingkungan
Hidup
dalam
Pembangunan
Berkesinambungan.
Penerbit
Dian
Rakyat. Jakarta.

Mangunwidjaja, D. 1988. Prospek dan Peran


Pengembangan Bioenergi di Indonesia.
Bogor.
Mangunwidjaja, D dan Sailah, I. 2005.
Pengantar
Teknologi
Pertanian.
Penebar Swadaya. Depok.

10

Lampiran 1. Tabel hasil pengukuran suhu pada proses


destilasi ke-1
Suhu (C)
Waktu
Wadah
(Menit)
Pipa 1
Pipa 2
destilasi
0
36.0
31.4
30.5
3
42.6
35.0
32.7
6
37.5
34.3
32.3
9
41.5
34.8
33.2
12
42.9
35.0
32.3
15
45.6
36.3
34.5
18
43.0
36.8
33.1
21
46.8
40.0
34.2
24
48.8
32.0
32.1
27
62.1
35.1
39.2
30
67.3
36.4
37.3
33
80.3
36.3
37.3
36
81.8
38.2
38.3
39
83.5
39.1
37.2
42
85.2
40.5
39.3
45
86.1
42.6
39.5
48
87.3
56.2
54.1
51
88.5
67.6
55.2
54
89.6
58.8
57.6
57
83.5
55.3
55.2
60
84.3
44.1
44.4

Lampiran 3. Tabel hasil pengukuran suhu pada proses


destilasi ke-3
Suhu (C)
Waktu
Wadah
(Menit)
Pipa 1
Pipa 2
destilasi
0
36.8
30.6
29.2
3
38.6
34.6
34.5
6
49.2
42.7
40.2
9
55.5
50.1
49.1
12
64.8
57.8
51.3
15
73.9
60.7
57.5
18
80.0
68.9
67.6
21
92.3
70.6
68.3
24
94.5
85.5
84.2
27
93.3
87.0
86.3
30
94.6
89.2
89.1
33
92.7
90.1
89.9
36
96.4
89.7
87.3
39
91.7
90.1
89.6
42
92.2
87.3
86.9
45
93.2
88.8
87.7
48
91.6
86.7
86.5
51
94.5
89.9
89.4
54
93.9
91.3
91.3
57
88.7
87.1
87.0
60
90.6
89.2
88.6

Lampiran 2. Tabel hasil pengukuran suhu pada proses


destilasi ke-2
Suhu (C)
Waktu
Wadah
(Menit)
Pipa 1
Pipa 2
destilasi
0
36.5
31.5
30.2
3
42.8
33.7
31.5
6
55.2
41.5
31.6
9
60.1
43.0
31.8
12
63.5
42.1
33.3
15
72.8
45.5
36.2
18
89.3
55.0
47.1
21
91.8
85.6
77.5
24
90.5
87.5
79.2
27
89.8
88.6
80.0
30
91.6
89.9
79.3
33
93.5
90.0
79.1
36
87.6
86.2
80.9
39
88.2
85.3
78.6
42
86.5
83.9
79.7
45
85.5
82.8
79.9
48
82.8
80.1
80.0
51
80.7
79.2
77.7
54
85.9
78.8
76.3
57
88.3
79.7
75.8
60
87.0
82.1
80.0

11

Anda mungkin juga menyukai