Preskes PPOK RSPA
Preskes PPOK RSPA
IDENTITAS PASIEN
Nama / No.CM
: Ny. SDY / 11386459
Umur
: 51 tahun
Alamat
: Gumuk RT 01/ RW 09, Rogomulyo, Kaliwungu, Semarang
Jenis Kelamin
: Perempuan
Status
: Menikah
Pekerjaan
Tanggal Masuk
: 11 Januari 2016
: Autoanamnesis
: Sesak napas yang memberat sejak 4 hari SMRS
: disangkal
Riwayat Hipertensi
: disangkal
: disangkal
Riwayat Mondok
: disangkal
Riwayat Hipertensi
: disangkal
: disangkal
Riwayat DM
: disangkal
Riwayat Asma
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: (+)
: disangkal
Riwayat Olahraga
: disangkal
: (+)
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum
Kesadaran
Vital Sign
Kulit
Kepala
Bentuk
: Mesocephal
2
Rambut
Mata
Telinga
Hidung
Leher
Thoraks
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Paru (anterior )
Inspeksi statis
Inspeksi dinamis
Palpasi
Perkusi
: Sonor/sonor
Auskultasi
Paru (posterior)
Inspeksi statis
Inspeksi dinamis
Palpasi
Perkusi
: Sonor/sonor
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Perkusi
: Tympani
Palpasi
Ekstremitas
Oedem _
Akral dingin
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil pemeriksaan darah tanggal 11 Januari 2016
Hb
: 12.1 gr/dl
(12.0-16.0)
Ht
: 41 %
(37-47)
Antal Leukosit
: 11.100/uL
(4.800-10.800)
Antal Trombosit
: 317.000/uL
(150.000-450.000)
GDS
: 140 mg/dl
(60-140)
Ureum
: 68 mg/dl
(10-50)
Creatinin
: 0.94 mg/dl
(0.6-1.1)
SGOT
: 39 U/L
(<31)
SGPT
: 28 U/L
(<31)
HbsAG
: Non Reaktif
Hasil Analisa Gas Darah tanggal 11 Januari 2016
PH
: 7.29
(7.35-7.45)
BE
: -4.2
(0-2.5)
PCO2
: 45
(35-45)
PO2
: 82
(80-100)
HCO3
: 22.1
(22-26)
Total CO2
: 23.5
(24-31)
O2 saturasi
: 95%
Foto Thorax
: dubia ad malam
Ad sanam
: dubia ad malam
Ad fungsionam
: ad malam
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai
dengan hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel.
Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons
inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya.1,2,4
inhalan yang paling kuat menyebabkan PPOK adalah Cadmium, Zinc dan
debu. Bahan asap pembakaran/pabrik/tambang. Bagaimanapun peningkatan
relatif kendaraan sepeda motor di jalan raya pada dekade terakhir ini.1,2
d. Polusi di tempat kerja: polusi dari tempat kerja misalnya debu-debu organik
(debu, sayuran dan bakteri atau racun-racun dari jamur), industri tekstil
(debu dari kapas) dan lingkungan industri (pertambangan, industri besi dan
baja, industri kayu, pembangunan gedung), bahan kimia pabrik cat, tinta,
sebagainya diperkirakan mencapai 19%.2
2. Genetik (defisiensi Alpha 1-antitrypsin): Faktor risiko dari genetic memberikan
kontribusi 1 3% pada pasien PPOK.1,2 Faktor genetik yang utama adalah
kurangnya alfa 1 antitripsin, yaitu suatu serin protease inhibitor. Hiperesponsif
jalan napas juga dapat terjadi akibat pajanan asap rokok atau polusi.
Pertumbuhan paru dikaitan dengan masa kehamilan, berat lahir dan pajanan
semasa anak-anak. Penurunan fungsi paru akibat gangguan pertumbuhan paru
diduga berkaitan dengan risiko mendapatkan PPOK.1
3. Riwayat infeksi saluran napas berulang : Infeksi saluran napas akut adalah
infeksi akut yang melibatkan organ saluran pernafasan, hidung, sinus, faring,
atau laring. Infeksi saluran napas akut adalah suatu penyakit terbanyak diderita
anak-anak. Penyakit saluran pernafasan pada bayi dan anak-anak dapat pula
memberi kecacatan sampai pada masa dewasa, dimana ada hubungan dengan
terjadinya PPOK.2,3
D. Patogenesis
Pada bronkitis kronik terdapat
metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi
akibat fibrosis. Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus
terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis
emfisema:
Sumber : http://eprints.uns.ac.id/963/1/pengukuhan_suradi.pdf
Kelainan struktur parenkim diawali inflamasi kronik sehingga terjadi
destruksi jaringan elastin parenkim dan berakibat terjadi penurunan fungsi paru.
Bentuk kelainan struktur yang dijumpai berupa destruksi serat elastin septum
interalveoler dan ditemukan peningkatan serat kolagen sebagai bentuk remodeling
jaringan ikat paru. Elastin dan kolagen merupakan komponen utama
yang
menyusun anyaman (network) jaringan ikat paru dan secara bersama menentukan
daya elastisitas dan kekuatan tensil paru. Destruksi serat elastin merupakan
10
penyebab timbulnya hilangnya daya elastisitas dan tensil dinding alveoler, terjadi
deposisi dan bentuk remodeling kolagen, terjadilah pembesaran ruang udara pada
emfisema.3
E. Diagnosis dan Klasifikasi (derajat) PPOK
Dalam mendiagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang (foto toraks, spirometri dan lain-lain).
Diagnosis
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat menentukan PPOK
Klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan
diagnosis PPOK sesuai derajat (PPOK ringan, PPOK sedang, dan PPOK berat)
1. Diagnosis PPOK klinis ditegakkan apabila :
a. Anamnesis :
1) Ada faktor risiko
o Usia (pertengahan)
o Riwayat pajanan
Asap rokok
Polusi udara
11
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang
jelas terutama auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai terdapat
hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat sedang dan PPOK
derajat berat seringkali terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan
bentuk anatomi toraks.
Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal
sebagai berikut:
o Inspeksi
o Perkusi
o Auskultasi
Ekspirasi memanjang
Ronki
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada diagnosis PPOK antara lain :
o Radiologi (foto toraks)
Diafragma mendatar
Bulla
Jantung pendulum
diagnosis,
melihat
perkembangan
penyakit,
dan
13
Paksa 1 detik (VEP1). Rasio dari kedua pengukuran ini juga harus
dilakukan (VEP1/KVP).4
Penderita PPOK secara khas akan menunjukkan penurunan dari
VEP1 dan KVP. Adanya nilai VEP1/KVP < 70% disertai dengan hasil
tes bronkodilator yang menghasilkan nilai VEP1 < 80% dari nilai
prediksi mengkonfirmasi terjadinya pembatasan aliran udara yang tidak
sepenuhnya reversibel. VEP1 merupakan parameter yang paling umum
dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan
penyakit. VEP1 juga amat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, etnis,
dan tinggi penderita, sehingga paling baik dinyatakan berdasarkan
sebagai persentase dari nilai prediksi normal.
Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE
meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan
memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%.
Uji faal paru juga dapat dilakukan dengan uji bronkodilator. Uji
bronkodilator juga menggunakan spirometri. Teknik pemeriksaan ini
adalah dengan memberikan bonkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan,
dan 15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai FEV1. Bila perubahan
nilai FEV1 kurang dari 20% maka ini menunjukkan pembatasan aliran
udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Uji ini dilakukan saat PPOK
dalam keadaan stabil (di luar eksaserbasi akut).
Stage I : Ringan
14
Stage II : Sedang
Pada stage II, hasil rasio VEP1/KVP < 70% dengan perkiraan nilai
VEP1 diantara 50-80% dari nilai prediksi. Gejala klinis dengan atau
tanpa batuk, dengan atau tanpa produksi sputum, sesak nafas derajat
2 (sesak timbul pada saat aktivitas).
nilai
dibutuhkan
untuk
diagnosis
klinis
PPOK
adanya
15
disingkirkan
16
G. TATALAKSANA
1. Non Farmakologis
Penghentian merokok mempunyai pengaruh besar untuk mempengaruhi
riwayat dari PPOK. Kita sebagai dokter harus bisa membuat pasien untuk
berhenti merokok.4,5
Konseling dengan dokter secara signifikan meningkatkan angka berhenti
merokok, konseling selama 3 menit dapat menghasilkan angka berhenti
merokok hingga 5-10%. Terapi penggantian nikotin (permen karet nikotin,
inhaler, patch transdermal, tablet sublingual atau lozenge) dan juga obat dengan
varenicline,
bupropion
atau
nortriptyline
dengan
baik
meningkatkan
penghentian merokok jangka panjang dan pengobatan ini lebih efektif daripada
placebo.4
Mendorong kontrol tembakau secara komprehensif dari pemerintah dan
membuat program dengan pesan anti merokok yang jelas, konsisten dan
berulang. Aktivitas fisik sangat berguna untuk penderita PPOK dan pasien harus
didorong untuk tetap aktif.4
Melakukan pencegahan primer, dapat dilakukan dengan baik dengan
mengeleminasi atau menghilangkan eksposur pada tempat kerja. Pencegahan
sekunder dapat dilakukan dengan baik dengan deteksi dini. Kita menghindari
atau mengurangi polusi indoor berupa pembakaran bahan bakar biomass dan
17
memperkuat
efek
itu
penggunaan
obat
kombinasi
lebih
sederhana
dan
mempermudah penderita.
Golongan xantin
18
19
b. Anti inflamasi
Kortikosteroid
inhalasi
dipilih
jangka
20
Lini II :
Amoksisilin
Makrolid
Amoksisilin dan asam klanuvalat
Sefalosporin
Kuinolon
Makrolid baru
d. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan
sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik,
tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
3. Terapi oksigen 1,4,5
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan
hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan
mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ lainnya
Indikasi
Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%
Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal,
perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan,
sleep apnea, penyakit paru lain.
tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila penderita tidur.
Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan menghilangkan sesak napas dan
meningkatkan kemampuan aktiviti. Sebagai parameter digunakan analisis gas
darah atau pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen
di atas 90%.
DAFTAR PUSTAKA
1. KEMENKES RI NO 1022/MENKES/SK/XI/2008 tentang Pedoman
Pengendalian
Penyakit
Paru
Obstruktif
Kronik
http://www.btklsby.go.id/wp-content/uploads/2010/07/kepmenkes-1022-thn2008-ttg-pedoman-pengendalian-ppok.pdf.
22
Sebelas
Maret
http://eprints.uns.ac.id/963/1/pengukuhan_suradi.pdf.
4. Putra, Wijaya I P., Artika, Made I D., 2011., Diagnosis Dan Tata Laksana
Penyakit
Paru
Obstruktif
Kronis.,
http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/download/4872/3658.
5. PDPI., 2003., Penyakit Paru Obstruktif Kronik ( Ppok ) Pedoman
Diagnosis
Dan
Penatalaksanaan
Di
Indonesia.
http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf
23